radiology kuli a hent

23
BAB I PENDAHULUAN Pemeriksaan radiologis berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain pada umumnya. Kemajuan ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi fisika, kimia, biologi, elektronik, komputer dan sebagainya. Cara-cara pemeriksaan yang menghasilkan gambar tubuh manusia untuk tujuan diagnostik dinamakan pencitraan diagnostik.Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga bagi ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien. Karena banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan letak struktur) saja, tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi. Hal ini bukan berarti bahwa setiap pasien membutuhkan pencitraan diagnostik. Beberapa pasien mungkin hanya memerlukan pencitraan dignostik konvensional seperti film tipis sinar-X, atau beberapa justru membutuhkan pencitraan dengan teknologi tinggi untuk memperoleh hasil terbaik demi rencana terapi yang akan dia jalani nantinya. 1 Pengaruh lingkungan pekerjaan dan tim yang terlibat juga terus akan berkembang. Radiologis telah memiliki sangkut paut yang sangat erat dengan dunia radiologi kepala dan leher. Pemeriksaan radiologi merupakan sebuah referensi untuk menentukan proses pencitraan mana yang lebih bagus. Hal ini sangat penting dalam sebuah pencitraan diagnostik, karena hal tersebut dicapai secara efektif melalui komunikasi yang baik antara otolaryngologist dan 1

Upload: rizka-amelia

Post on 10-Apr-2016

205 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

nnnn

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan radiologis berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu

kedokteran dan ilmu-ilmu lain pada umumnya. Kemajuan ini dipengaruhi oleh perkembangan

teknologi fisika, kimia, biologi, elektronik, komputer dan sebagainya. Cara-cara pemeriksaan yang

menghasilkan gambar tubuh manusia untuk tujuan diagnostik dinamakan pencitraan

diagnostik.Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga

bagi ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien. Karena

banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang

pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan

letak struktur) saja, tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi. Hal ini bukan

berarti bahwa setiap pasien membutuhkan pencitraan diagnostik. Beberapa pasien mungkin hanya

memerlukan pencitraan dignostik konvensional seperti film tipis sinar-X, atau beberapa justru

membutuhkan pencitraan dengan teknologi tinggi untuk memperoleh hasil terbaik demi rencana

terapi yang akan dia jalani nantinya.1

Pengaruh lingkungan pekerjaan dan tim yang terlibat juga terus akan berkembang.

Radiologis telah memiliki sangkut paut yang sangat erat dengan dunia radiologi kepala dan leher.

Pemeriksaan radiologi merupakan sebuah referensi untuk menentukan proses pencitraan mana yang

lebih bagus. Hal ini sangat penting dalam sebuah pencitraan diagnostik, karena hal tersebut dicapai

secara efektif melalui komunikasi yang baik antara otolaryngologist dan radiologis. Selanjutnya,

tim konsulting yang akan menentukan pencitraan mana yang akan digunakan. Peralatan yang biasa

digunakan dalam pencitraan konvensional diberikan oleh table 1.1. Hingga saat ini, peralatan

pencitraan konvensional yang masih bertahan dan paling banyak digunakan adalah sinar-X atau

rontgen.1

BAB II1

ISI

1. Sinus Paranasal

Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis yang mengarah kepada dugaan adanya sinusitis

antara lain pilek-pilek kronik, nyeri kepala kronik, nyeri kepala satu sisi (kanan atau kiri), nafas

berbau atau kelainan- kelainan lain pada sinus paranasal antara lain, misalnya mukokel,

pembentukan cairan dalam sinus, atau tumor, trauma sekitar sinus paranasalis, diperlukan informasi

mengenai keadaan sinus tersebut. 2

Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus

paranasal adalah:

- pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas

- pemeriksaan tomogram dan

- pemeriksaan CT-scan2

Adapun pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai

macam posisi antara lain:

a. Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)

Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus

pada film. Idealnya pada film tampak piramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita

atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan

sentrasi membentuk sudut 150 kaudal.2

2

Gambar 1: Posisi AP Kepala (Posisi Caldwell)

3

b. Foto kepala lateral

Dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan sentrasi diluar kantus mata, sehingga

dinding poterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.2

Gambar 2: Posisi Lateral Kepala

4

c. Foto kepala posisi waters

Dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap kaset, garis orbito meatus membentuk

sudut 37° dengan kaset. Sentrasi sinar kira-kira di bawah garis interorbital. Pada foto waters, secara

ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus

maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Fata Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut

tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sfenoid

dengan baik.2

5

Gambar 3: Posisi Waters

Gambar 4: posisi waters dengan mulut terbuka

d. Foto kepala posisi submentoverteks

Diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala pasien menengadah sehingga garis

infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui

sella tursika kearah verteks. Banyak variasi-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar

supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus

frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris.2

6

Gambar 5: Posisi Submentoverteks

e. foto posisi Rhese (oblique)

Dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid, kanalis optikus dan lantai dasar orbita

sisi lain.2

Gambar 6: Posisi Rhese

f. Foto posisi Towne

Diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30º-60º kearah garis orbito meatal.

Sentrasi dari depan kira-kira 8cm di atas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital.

Proyeksi ini adalah proyeksi yang paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus

maksilaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zygomatikus posterior.2

7

Gambar 7: Posisi Towne

Penyakit yang sering dijumpai pada pemeriksaan radiologik sinus antara lain:

A. Sinusitis

Pada foto polos, sinus yang normal adalah transradian karena berisi udara. Foto polos

berperan dalam menunjukkan penebalan mukosa, fluid level, destruksi tulang dan fraktur. Tetapi

pada pemeriksaan penyakit sinus, CT-scan merupakan pilihan karena memberikan gambaran sinus

yang lebih baik, MRI juga menggambar sinus yang baik, tetapi jarang digunakan sebagai investigasi

primer.3

Adanya cairan di sinus pada pasien dengan foto posisi berdiri terlihat sebagai garis

horizontal yang terbentang pada sinus dan tetap horizontal meskipun pasien dalam posisi Head-

tilted (gambar 8 kanan). Fluid level terlihat pada infeksi sinus dan juga dengan trauma bila fraktur

yang terjadi menyebabkan darah atau cairan sebrospinal terkumpul didalam sinus. Penebalan

mukosa dapat terlihat dengan adanya udara yang sedikit didalam sinus (gambar 8). Permukaan

mukosa yang menebal bisa terlihat licin atau polipoid. Polip ini bisa membesar dan menyebar ke

nasofaring.3

8

Gambar 8 : Sinusitis, kanan (a) dan kiri (b)

Pada gambar 8 kanan (a) terlihat adanya penebalan mukosa dan level cairan. Pada antrum

kanan, terdapat penebalan mukosa (tanda panah dua) yang menyebabkan semakin kecilnya tempat

keluar dari sinus. Adanya garis horizontal pada antrum kiri pada foto berdiri ini (tanda panah)

mengindikasikan fluid level yang tetap horizontal meskipun kepala pasien ditekuk kebelakang

(head-tilted). Sedangkan pada gambar 8 kiri (b) erlihat antrum yang opak dan penebalan mukosa.

Antrum kanan terlihat opak dan densitasnya lebih tinggi daripada orbita. Adanya penebalan mukosa

pada antrum kiri (tanda panah) dengan sedikit udara pada antrum kiri. 3

Gambar 9. CT-scan koronal. (a) Sinus normal. A, antrum maksila; E, Sinus Etmoid; I, Inferior

turbinate; M, midlde Turbinate. (b) Sinusitis. Adanya penebalan mukosa yang mencegah drainase

sinus. Kedua antrum terlihat opak. Tanda panah menunjukkan adanya penebalan mukosa pada

antrum.

9

B. Keganasan

Gambar 10: (a) Karsinoma pada antrum. Antrum kiri terlihat opak dan ada destruksi yang ekstensif

(tanda panah). Bandingkan dengan antrum kanan yang normal. (b) CT-scan pada pasien yang

menunjukkan adanya massa besar yang memenuhi antrum kiri dan merusak dinding tulangnya dan

menyebar ke jaringan lunak disekitarnya (tanda panah). Antrum kiri dalam keadaan normal.

2. Mastoid

Pemeriksaan radiologik konvensional pada tulang temporal memiliki nilai penyaring serta

dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan piramid tulang petrosus. Dengan pemeriksaan

radiologik konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari

tulang temporal atau yang merupakan perluas dan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal ke

arah tulang temporal.2

Ada delapan jenis proyeksi radiologik konvensional yang dapat dibuat untuk menilai tulang

temporal, tetapi dalam tulisan ini hanya dibahas tiga proyeksi yang paling lazim dan cukup

bermanfaat serta dapat mudah dibuat dengan memakai alat Roentgen yang tidak terlalu besar.2

A. Posisi Schuller

Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan

bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar X ditujukan dengan sudut

30º cephalo-caudal. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat

tampak dengan lebih jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis

auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis.2

10

Gambar 11: Posisi Schuller

B. Posisi Owen

Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat dengan

kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah putar 30º menjauhi film dan berkas

sinar X ditujukan dengan sudut 30º- 40º chepalo- caudad. Umumnya posisi Owen dibuat untuk

memperlihatkan kanalis auditoris eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran dan

sel udara mastoid.2

11

Gambar 12: Posisi Owen

C. Posisi Chausse III

Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang telinga tengah. Proyeksi dibuat

dengan oksiput terletak di atas meja pemeriksaan, dagu ditekuk kearah dada lalu kepala diputar 10º-

15º kearah sisi berlawanan dari telinga yang akan diperiksa. Posisi ini merupakan posisi tambahan

setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi Chausse III ini merupakan posisi radiologik

konvensional yang paling baik untuk pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis

kronik dan kolesteatoma.2

Gambar 13: Posisi Chausse III

12

Gambar 14: mastoiditis akut

Gambar 15: mastoiditis kronis

3. Laring

Peralatan pencitraan radiologi penting untuk mengamati dan menentukan ukuran atau

dimensi dari sebuah kelainan pada laring. Meskipun laring dapat terlihat dengan mudah

menggunakan mata telanjang atau biopsi, akan tetapi, perluasan daerah dibawah kelenjar tidak akan

terlihat oleh mata telanjang. Bila memungkinkan, studi pencitraan harus segera dilakukan sebelum

pemeriksaan biopsi apapun dilakukan terhadap laring. Hal ini untuk mencegah terjadinya kesalah

pahaman penafsiran antara tumor dan trauma lokal akibat tumor.1

Pencitraan konvensional menggunakan beberapa kV tegangan dapat digunakan sebagai

13

informasi awal. Xeroradiography, meskipun kapasitasnya adalah sebagai pelengkap, akan tetapi

peralatan ini dapat membedakan dengan jelas mana yang jaringan lunak, stenosa, dan terkadang

dapat mengenali adanya keganjilan pada tulang lunak. Sementara itu, ultrasonografi mempunyai

keterbatasan karena tulang lunak memantulkan lebih banyak suara, yang akhirnya akan merusak

kualitas pencitraan yang dihasilkan. MRI dan CT keduanya dapat memberikan informasi akurat

mengenai tingkat/level dari tumor laring ini, terutama ukuran tumor atau kanker. Untuk proses

pencitraannya sendiri, CT dapat dengan mudah memperoleh data hanya dengan waktu kurang dari

10 detik, sehingga menghindari kesalahan yang diakibatkan oleh gerak pasien. Sedangkan laring

sangat sulit untuk dicitra dengan MRI karena adanya motion artifac akibat denyut nadi pasien. 1,5

Gambar 16. Beberapa struktur dari bagian leher yang dapat terlihat pada pandangan lateral secara

polos dari leher

14

Gambar 17: Kv tegangan tinggi dari lateral leher dapat memberikan gambaran yang cukup untuk

memperlihatkan anatomi dari jaringan lunak.

Gambar 18: Laryngocele pada kedua komponen dari internal dan external dapat dilihat pada foto

15

polos lateral di A dan gambaran AP secara tomogram dapat dilihat (panah) di B

Laryngocele merupakan kantung yang berisi udara ari ventrikel laring dan saccule yang

terdapat laryngocele. Ia dapat bilateral dan mungkin dapat timbul secara kongenital, akan tetapi

ekspirasi menentang resistensi dinyatakan antara penyebab yang memicu pembentukannya. Seperti

yang dinyatakan sebelumnya, laryngocele dapat terjadi secara internal ataupun eksterna, ini karena

ia tergantung dari kedudukannya samada di dalam atu di luar dari lamina tiroid. Laryngocele

internal dapat menyebabkan timbulnya simptom obstruktif pernapasan manakala pada yang

eksterna dapat membentuk pembengkakan jaringan lunak di leher, Gambaran yang diambil secara

posisi AP adalah lebih bermanfaat jika dibandingkan gambaran secara lateral dalam menentukan

laryngocele.Laryngocele bersaiz kecil mungkin dapat terjadi superimposed di atas bayangan udara

laring yang normal dan mungkin dapat terabaikan tanpa disadari.5

BAB III

PENUTUP

Pada pemeriksaan radiologi THT, posisi foto yang sering dilakukan untuk pemeriksaan

sinus paranasal adalah posisi kepala PA, lateral, waters dan kelainan yang bisa dijumpai berupa

adanya ganbaran penebalan mukosa dan adanya air fluid level. Untuk pemeriksaan mastoid yang

sering dilakukan adalah foto posisi Schuller dan kelainan yang bisa dijumpai adalah perselubungan

yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid.

16

Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga bagi

ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien. Karena

banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang

pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan

letak struktur) saja,tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi. Hal ini bukan

berarti bahwa setiap pasien membutuhkan pencitraan diagnostik. Beberapa pasien mungkin hanya

memerlukan pencitraan dignostik konvensional seperti film tipis sinar-X, atau beberapa justru

membutuhkan pencitraan dengan teknologi tinggi untuk memperoleh hasil terbaik demi rencana

terapi yang akan dia jalani nantinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Moeller,T.B., and Reif, B., 2000. Skulls. In: Moeller,T.B., and Reif, B., Pockets Atlas of

Radiographic Anatomy. 2nd ed. USA: Georg Thieme Verlag, 12 – 41.

2. Armstrong, P., Wastie M.L., Rockall, A.G., 2003. Sinuses, Orbit and Neck. In: Armstrong,

P et all., Diagnostic Imaging. 16th ed. USA: Blackwell Publishing, 419 – 424.

17

3. Phelps, P.D., 1998. The Pharynx and Larynx: T he Neck. In: Sutton, D et all., Text book of

Radiology and Imaging. 6th ed. Volume 2. USA: Churchill Livingstone Inc, 1297 – 1305.

4. Loyd, G. L., 1998. The Sinuses. In: Sutton, D et all., Text book of Radiology and Imaging.

6th ed. Volume 2. USA: Churchill Livingstone Inc,.

5. Rachman, M.D., 2009. Sinus Paranasal & Mastoid. In: Sutarto, A.S et all., Radiologi

Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 431 – 446.

6. Makes, D., 2009. Pemeriksaan Radiologi Mastoid. In: Sutarto, A.S et all., Radiologi Diag-

nostik. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 447 – 452.

7. Faradilla, N, 2009. Diagnosis Radiologi di Bidang THT. FK UNRI

18