kuli gendong pasar legi (studi kasus sektor informal kuli gendong di pasar …... · penghasilan...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KULI GENDONG PASAR LEGI
(Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Kota Surakarta
Jawa Tengah)
Oleh:
WAHYU SARWONO PUTRO
NIM K840705
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, 20 Juli 2011
Pembimbing I
Drs. Basuki Haryono, M.Pd.
NIP. 195002251975011002
Pembimbing II
Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd.
NIP. 195308261980031005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. T. Widodo, M.Pd. ………………
Sekretaris : Dra. Siti Rochani, M.Pd. ……………...
Anggota I : Drs. Basuki Haryono, M.Pd. ………………
Anggota II : Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd. ………………
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.
NIP. 19600727 198702 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
WAHYU SARWONO PUTRO. K8407050, KULI GENDONG
PASAR LEGI (Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong Pasar Legi Kota
Surakarta) Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, Juli 2011.
Penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui alasan orang-orang
menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu matapencaharian
bagi masyarakat, 2) untuk mengetahui eksistensi kuli gendong sebagai orang tua,
anggota SPTI, dan anggota masyarakat, 3) untuk mengetahui pemanfaatan
penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi.
Penelitian ini menggunakan menggunakan metode kualitatif eksplanatif
dengan strategi studi kasus tunggal. Sumber data dalam penelitian ini dari; 1)
informan, yaitu pengurus SPTI dan anggota (kuli gendong), 2) tempat dan
peristiwa di pasar Legi Kota Surakarta. Teknik cuplikan dengan menggunakan
purposive dengan teknik snowball. Sedangkan dalam mengumpulkan data
menggunakan teknik pengumpulan data observasi berperan pasif dan wawancara
mendalam (indepth interviewing). Triangulasi data dan triangulasi metode
digunakan dalam teknik validitas data. Untuk teknik analisis data menggunakan
teknik interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data
(collecting data), reduksi data (reduction), sajian data (display), dan penarikan
kesimpulan/verifikasi data.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa 1) latar belakang
orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota; (a) faktor pendorong (berasal dari
daerah asal); ketidakberdayaan kuli gendong, minimnya keterampilan yang
dimiliki , tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal), (b) faktor penarik
(daerah tujuan); pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih
besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau buruh tani), (c) faktor fasilitas
(transportasi yang mudah diakses), (d) faktor nilai (nilai kemanusiaan dan
perjuangan hidup), 2) eksistensi kuli gendong sebagai; (a) orang tua, (b) anggota
masyarakat, (c) anggota SPTI, 3) pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari
hasil kerja kuli gendong di pasar Legi; (a) penghasilan sebagai kuli gendong rata-
rata mereka mendapatkan penghasilan penghasilan bersih sekitar Rp 29.000,-
hingga Rp 39.000,- untuk kuli gendong laki-laki setiap harinya. Sedangkan untuk
kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki penghasilan bersih setiap hari
Rp 9.000,- hingga Rp 24.000,- (b) pemanfaatan penghasilan, digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk
membeli pakaian, biaya menyekolahkan anak, biaya transportasi, tempat tinggal
atau rumah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
WAHYU SARWONO PUTRO. K8407050. CARRYING PORTERS
OF LEGI MARKET (Case Study Of Porters Carrying as Informal Sector In
Legi Market of Surakarta City) Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training
and Education, Sebelas Maret University, July 2011.
This study aims: (1) to learn why people become carrying porters in the
market Legi selected as one of the livelihood for the people, (2) to determine the
existence of carrying porters as a parent, a member of SPTI, and community
members, (3) to knows the use of income derived from the work of carrying
porters in Legi market.
This study uses qualitative methods explanative with a single case study
strategy. Sources of data in this study are: (1) informants; chairman and members
of SPTI, (2) places and events in the market Legi Surakarta city. Sample
thecnique by using purposive and by snowball. While collecting data using
observation data collection techniques play a passive role and in-depth interviews.
Triangulation of data and triangulation methods used in data validation
techniques. For data analysis techniques using interactive techniques that include
four components, namely data collection, data reduction, data presentation
(display), and drawing conclusions / verification data.
Based on this research can be concluded that 1) the background of the
people to be porters carrying who are all factors which affects people migrating
into the city (a) the push factors (pushed from the come from area); carrying
porters powerlessness, lack of skills possessed, the lack of jobs in the village (area
of origin), (b) pull factors (destination); work that is not binding and hopefull
larger income than the original work (factory workers or farm laborers), (c)
facilities factors (transportation is easily accessible), 2) the existence of porters
carrying as: (a) parents, (b) members community, (c) a member of SPTI, 3) use of
income derived from work in the market porters carrying Legi (a) income as
carrying porters on average they netto income of Rp 29.000,- until Rp 39.000,-
/day, for male porters carry every day. As for the carrying poter the women have
an average netto income of Rp 9.000,- until Rp 24.000,- /day, (b) use of income,
used to meet the needs of daily living such as eating and drinking every day, to
buy clothes, the cost of sending children to school, transportation, shelter or home.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
(Q.S. Al-Am Nasyrah: 9)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka
mengubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri.
(Q.S. Ar Ra’adu: 11)
Dimana ada kemauan, disitu ada jalan
(Anonim)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur, cinta, bakti, dan terima
kasihku teruntuk:
1. Allah SWT atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan pada
hamba.
2. Bapakku Sukimin dan Ibuku Sarjinem tercinta, yang selalu memberi
doa dan kasih sayang untukku menikmati hidup.
3. Bapak-ibu dosen Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS
atas bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada peneliti selama di
bangku kuliah..
4. FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, almamaterku tercinta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. iii
ABSTRAK …………………………………………………………….. iv
ABSTRACT ……..…………………………………………………….. v
MOTTO ……………………………………………………………….. vi
PERSEMBAHAN ……………………………………………………... vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. viii
KATA PENGANTAR ………………………………………………… xi
DAFTAR TABEL …………………………………………………….. xiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….. xv
I. PENDAHULUAN …………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1
B. Perumusan Masalah ……………………………………….. 7
C. Tujuan Penelitian ………………………………………...... 7
D. Manfaat Penelitian………….………………………………. 8
II. LANDASAN TEORI …………………………………………. 9
A. Tinjauan Pustaka …………………………………………… 9
1. Konsep Kebudayaan ……………………………………. 9
a) Pengertian Kebudayaan …………………………….. 9
b) Wujud Kebudayaan ………………………………… 11
c) Unsur-unsur Kebudayaan ………………………….. 13
2. Konsep Mata Pencaharian ……………………………… 15
a) Pengertian Mata Pencaharian ……..……………….. 15
b) Jenis Mata Pencaharian …………………………….. 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
3. Konsep Sektor Informal ………………………………… 18
a) Pengertian Sektor Informal …...……………………. 18
b) Ciri-ciri Sektor Informal …………………………… 19
c) Bidang-bidang Sektor Informal ……………………. 22
d) Munculnya Sektor Informal di Kota ……………….. 24
4. Kuli Gendong di Pasar Legi sebagai
Sektor Informal …………………………………………. 26
a. Pengertian Kuli Gendong ………………………….. 27
b. Kuli Gendong Merupakan Kegiatan
Sektor Informal ……………………………………. 27
c. Migrasi ke Kota Menjadi Kuli Gendong …………... 29
B. Hasil Penelitian yang Relevan ……………………………… 33
C. Kerangka Berpikir ………………………………………...... 35
III. METODE PENELITIAN ………………………………………. 38
A. Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………… 38
B. Bentuk dan Strategi Penelitian …………………………….... 39
C. Sumber Data ……………………………………………….. 41
D. Teknik Cuplikan .....................……………………………… 43
E. Teknik Pengumpulan Data ………………………………..... 44
F. Validitas Data ……………………………………………..... 46
G. Analisis Data ……………………………………………...... 47
H. Prosedur Penelitian …………………………………………. 49
IV. HASIL PENELITIAN …………………………………………. 50
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ………………………………... 50
1. Gambaran Umum Pasar Legi …………………………. 50
2. Gambaran Umum Kuli Gendong di Pasar Legi ………. 53
3. Gambaran Umum Serikat Pekerja Transport Indonesia
(SPTI) Unit Pasar Legi ………………………………... 55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
B. Deskripsi Hasil Penelitian ………………………………….. 57
1. Latar Belakang Orang-orang Menjadi Kuli Gendong …. 59
2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang Tua,
Anggota asyarakat, dan Anggota SPTI ……………….. 64
3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil
Kerja Kuli Gendong Pasar Legi ……………………….. 68
C. Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan
dengan Teori ………………………………………………. 71
V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ……………………. 85
A. Simpulan ………………………………………………….. 85
B. Implikasi ………………………………………………….. 90
C. Saran ………………………………………………………. 91
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 92
LAMPIRAN ………………………………………………………….... 94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan di lingkungan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menghadapi banyak hambatan.
Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, maka hambatan-hambatan tersebut
dapat peneliti atasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuan, peneliti menyampaikan
terima kasih kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta,
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta,
3. Drs. M. H. Sukarno, M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi
Antropologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. Basuki Haryono, M.Pd, Pembimbing I yang telah memberikan
semangat, bimbingan, dorongan, pengarahan, dan saran-saran dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd., Pembimbing II yang telah memberikan
semangat, bimbingan, dorongan, pengarahan dan saran-saran dalam
penulisan skripsi ini.
6. Dra. Siti Chotidjah, M.Pd., pembimbing akademik yang telah memberikan
dorongan dalam menyelesaikan kewajiban akademis.
7. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Soiologi Antropologi
FKIP UNS yang selama ini telah membimbing dan memberikan ilmu dan
pengethuan kepada peneliti selama di bangku kuliah.
8. Bapak Wagiman selaku Ketua SPTI unit Pasar Legi atas bantuannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
9. Ayah dan Ibun tercinta, terima kasih atas bimbingan, do’a dan
dukungannya selama ini.
10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terima kasih tak terhingga peneliti ucapkan, atas segala kebaikan,
dukungan, dan doa pada peneliti, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan.
Peneliti berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang terkait khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta bagi
yang berkepentingan. Disamping itu peneliti juga mengharapkan adanya saran dan
kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini.
Surakarta, Juli 2011
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel.1. Waktu Penelitian ……………………………………………....... 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan daerah
tujuan serta rintangam ………………………………………. 30
Gambar 2. Skema Kerangka Berfikir …………………………………… 35
Gambar 3. Model Analisis Interaktif ……………………………………. 48
Gambar 4. Keadaan pasar Legi Nampak depan samping ……………….. 51
Gambar 5. Kuli gendong sedang bekerja ………………………………….
Gambar 6. Kartu Tanda Anggota (KTA) SPTI …………………………. 54
Gambar 7. Kantor SPTI unit pasar Legi …………………………………. 55
Gambar 8. Ketua SPTI menunjukkan seragam anggota SPTI …………... 70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Field note …………………………………………………………… 95
2. Interview Guide …………………………………………………….. 120
3. Denah Gedung Pasar Legi ………………………………………….. 123
4. Peta Lokasi Pasar Legi ……………………………………………… 124
5. Foto kegiatan penelitian …………………………………………….. 125
6. Surat ijin menyusun skripsi kepada PD I ……………………………. 126
7. Surat ijin menyusun skripsi kepada Rektor UNS ……………………. 127
8. SK Dekan FKIP tentang Ijin Penyusunan Skripsi …………………… 128
9. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Dinas Pasar Kota Surakarta …... 129
10. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Kepala Pasal Legi …………….. 130
11. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Ketua SPTI Pasar Legi ………... 131
12. Daftar kelompok kerja kuli gendong pasar Legi ………………….... 132
13. Surat keterangan penelitian dar SPTI Pasar Legi ………………….... 133
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KULI GENDONG PASAR LEGI
(Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Surakarta
Jawa Tengah)
SKRIPSI
Oleh:
WAHYU SARWONO PUTRO
NIM K8407050
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap negara memiliki karakteristik tertentu untuk mendefinisikan
tingkat ekonomi mereka. Perekonomian pada mayoritas negara berkembang
bahkan dibeberapa negara maju dicirikan dari tingginya pertumbuhan penduduk
dan banyaknya penduduk yang bekerja di sektor informal, melimpahnya sumber
daya alam dan kurangnya modal, industri skala kecil, penggunaan teknologi
sederhana, dan lain sebagainya. Sementara itu negara maju diidentikkan dengan
kurangnya sumber daya alam, banyaknya ketersediaan modal, industri skala besar,
penggunaan teknologi tinggi dalam kegiatannya.
Negara berkembang termasuk Indonesia memiliki banyak karakteristik
yang menunjukkan tingkat perekonomiannya. Kehidupan sosial ekonomi
dibeberapa daerah di Indonesia pada dewasa ini telah mengalami perubahan.
Salah satunya ditandai dengan semakin beragam serta banyaknya aktivitas
ekonomi baik di sektor formal maupun sektor informal. Salah satu jenis pekerjaan
yang banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia adalah sektor informal.
Banyaknya keberadaan sektor informal ini didorong oleh tingkat urbanisasi yang
cukup tinggi di perkotaan sehingga membuat sektor informal menjadi salah satu
pilihan pekerjaan.
Baik sektor formal dan informal sama-sama mendukung pertumbuhan
perekonomian dalam suatu daerah bahkan dalam suatu negara. Kedua sektor
tersebut memiliki peran masing-masing dalam kegiatan ekonomi sehari-hari.
Sektor formal dikuasai oleh kapital dimana usahanya teratur, berbadan hukum
(ijin usaha), dan ter-audit. Sementara sektor informal lebih bersifat fleksibel,
bebas, tanpa ikatan yang tegas, serta lebih merambah sebagian besar kalangan
masyarakat, baik marginal maupun urban.
Menurut Keith Hart dalam Manning dan Effendi (1996: 78), “Perbedaan
kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pokoknya didasarkan atas perbedaan pendapatan dari gaji dan pendapatan dari
usaha sendiri”. Sektor informal yang muncul tidak berdasarkan struktur
permintaan yang efektif dan produktif, akan tetapi muncul karena tidak
seimbangnya struktur kapitalisme pada saat ini. Dengan demikian pemberdayaan
ekonomi kerakyatan yang diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan
ekonomi individu - individu tingkat bawah seperti pedagang kecil, industri mikro
dan sebagainya dilakukan dalam upaya untuk menegakkan sistem ekonomi yang
berlandaskan kerakyatan, kemartabatan dan kemandirian.
Sistem perekonomian yang diharapkan dapat membawa perkembangan
kehidupan yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan para masyarakat. Sistem
perekonomian yang diharapkan berpihak pada rakyat justru terkadang tidak
berpihak pada rakyat kecil. Dalam hal ini adalah masyarakat lapisan bawah
terutama para pedagang, petani, dan kuli. Harga-harga kebutuhan pokok yang
semakin lama semakin tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat terutama rakyat
kecil. Mulai dari harga sembako yang melonjak, BBM, listrik, biaya pendidikan,
biaya kesehatan, dan lain sebagainya. Belum lagi biaya air PDAM pun tak luput
dari kenaikan tarif bagi masyarakat perkotaan.
Sama halnya yang terjadi di kota Surakarta (juga disebut kota Solo atau
Sala) adalah nama salah satu kota di provinsi Jawa Tengah Indonesia. Sisi timur
kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong,
Bengawan Solo. Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan
akronim dari Bersih, Sehat, Rapi dan Indah. Selain itu Solo juga memiliki
slogan pariwisata “Solo the Spirit of Java” yang diharapkan bisa membangun
pandangan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Keramahan dan kesopan
santunan warganya menjadi pelengkap citra bahwa Surakarta merupakan kota
yang berbudaya tinggi.
Selain dalam hal budaya, sisi lain yang menarik adalah perekonomian
dimana banyak terdapat pasar-pasar sentral yang berada di wilayah Kota
Surakarta, diantaranya yaitu; pasar Klewer yang merupakan pusat tekstil dan
batik, pasar Kembang yang merupakan pusat bunga hias dan bunga rangkai, pasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Gedhe yang merupakan pusat alat dan bahan kebutuhan sehari-hari, dan pasar
Legi yang merupakan pusat penjualan dan pembelian hasil bumi.
Sebelum berbicara mengenai pasar yang ada di Kota Surakarta lebih
lanjut, kita berbicara terlebih dahulu apa itu pasar. Menurut Everes dan Korff
terjemahan Zulfahmi (2002: 217) “pasar merupakan memperjual-belikan barang-
barang dan tempat produksi serta memproduksi makna dan sekaligus menjadi
simbol kehidupan urban”. Dalam pengertian ini, pasar selain memilki peran
utama sebagai sarana jual beli atau tempat memperjual-belikan barang-barang
sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat sehari-hari, baik kebutuhan pangan,
sandang, peralatan, perlengkapan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Pasar juga merupakan penciptaan makna dan simbol kehidupan urban,
maksudnya bahwa pasar dengan adanya pasar dapat menandakan dan
mempresentasikan kehidupan urban yang lekat dengan aktifitas ekonomi yang
kompleks, dan pola konsumsi masyarakat perkotaan. Sebagaimana pusat
konsumsi kolektif memproduksi barang atau jasa tidak secara individual,
melainkan secara kolektif sehingga apabila sebuah kota sudah tergolong ke dalam
kota yang kapitalistik, maka akan sering terjadi konflik - konflik akibat perebutan
konsumsi kolektif. Konsumsi kolektif terjadi di lapisan bawah masyarakat
perkotaan, mereka melakukan konsumsi kolektifnya dalam sektor informal,
konsumsi mereka ditandai dengan adanya penggunaan barang-barang bekas untuk
perumahan, serta pembuatan dan pemasaran bahan-bahan makanan dan barang-
barang lain untuk konsusmsi langsung. Kondisi demikian merupakan tipe
ekonomi bazar yang identik dengan tipikal ekonomi informal.
Berbeda di masyarakat rural, sebagian besar mencukupi kebutuhannya
dengan produksi sendiri dan subsisten. Namun tidak sedikit pula di daerah
tersebut sudah berdiri pasar-pasar meskipun tidak permanen. Pasar merupakan
pusat pertemuan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, baik pedagang
pembeli berekumpul dalam satu tempat. Di pasar merupakan tempat bertemunya
segala lapisan masyarakat, di mana para petani menjual hasil taninya ke pasar dan
tengkulak membeli dagangan maupun sebaliknya untuk segala macam komoditi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
maupun kebutuhan, sesama pedagang, sampai perangkat pemerintah setempat.
Hal yang demikian merupakan salah satu sektor informal di masyarakat.
Damsar (2002: 83), “pasar merupakan salah satu lembaga yang paling
penting dalam institusi ekonomi. Di dalam pasar banyak terdapat fenomena
ekonomi. Fenomena itu tercermin dengan adanya aktivitas yang dilakukan oleh
para pedagang dan pembeli serta para tenaga kerja di dalamnya”. Pasar selain
merupakan salah satu lembaga yang penting dalam institusi ekonomi, juga
menyatakan bahwa pasar juga terdapat banyak fenomena ekonomi. Banyak terjadi
kegiatan ekonomi yang merupakan fenomena ekonomi yang dapat ditemukan di
pasar, pembelian, penjualan, tawar-menawar harga, serta karyawan yang bekerja
dalam pasar, kuli gendong yang bekerja menawarkan jasa angkut barang
dagangan, atau bahkan tukang becak menawarkan jasa dan bersiap di depan pintu
pasar.
Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang
dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya.
Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di
pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa
yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli
gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula
yang memanggul barang - barang dagangan pedagang atau pembelian oleh
pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah
- rempah, dan sebagainya. Hal ini terjadi setiap hari di pasar Legi. Pasar Legi
merupakan sebuah pasar yang merupakan pusat perdagangan hasil bumi. Pasar
Legi berada di jalan S. Parman No. 23 Kelurahan Stabelaan Kecamatan Banjarsari
Kota Surakarta. Pasar Legi dibatasi oleh stasiun kereta api Solo Balapan di
sebelah utara, samping barat kantor penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI)
Surakarta, sebelah selatan keraton Mangkunegaran, dan sebelah timur kompleks
pertokoan Widuran dan monument Juang 45 atau monument Banjarsari.
Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya
kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu
untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal
sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain.
Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya,
mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi
bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk
menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau
paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam
Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI).
Pekerjaan sebagai kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal,
yang terkoordinasi, karena dengan adanya organisasi Serikat Pekerja Transport
Indonesia (SPTI) yang mengkoordinasi kuli-kuli gendong tersebut. Koordinasi
yang dimaksud meliputi pembagaian wilayah maupun lokasi kerja di pasar,
penyediaan Kartu Tanda Anggota (KTA) kuli gendong pasar Legi, penyediaan
kaos atribut bagi kuli gendong yang tertera nama dan bagian wilayah kerja
masing-masing, dan melakukan penarikan iuran kepada tiap kuli gendong
perbulan. Namun bagi kuli gendong laki-laki masih ditambah lagi biaya untuk
membeli keanggotaan bagi kuli gendong yang ingin berhenti hingga puluhan juta
rupiah.
Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau
tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat
tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul.
Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi
dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras
dalam mencari penghasilan. Bila kita melihat tentang peluang kerja di sektor
formal, permintaan tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga
kerja berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga
batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan
oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan.
Syarat-syarat demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang
yang telah bekerja sebagai kuli gendong untuk berusaha mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik dan penghasilan rutin karena menjadi karyawan. Dilihat dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
pendidikan, tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli
gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk
menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran untuk
menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau pembeli di pasar
Legi. Berbicara mengenai penghasilan, sebagai kuli gendong memiliki
penghasilan yang sah.
Menurut Keith Hart dalam Manning dan Effendi (1996: 79) “kesempatan
memperoleh penghasilan yang sah terdiri atas;
a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder; pertanian, perkebunan yang
berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain.
b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar; perumahan,
transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain.
c. Distribusi kecil-kecilan; pedagang kaki lima, pedagang pasar,
pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain.
d. Transaksi pribadi; pinjam-meminjam, pengemis.
e. Jasa yang lain; pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang
sampah, dan lain-lain.
Dari pendapat Hart di atas dapat diketahui bahwa penghasilan dari kuli gendong
termasuk ke dalam penghasilan jasa, dimana kuli gendong menjual jasa gendong
mereka kepada orang lain di pasar.
Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini
dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang
yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau
putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan mereka tidak
memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal
pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Dengan
menjadi kuli gendonglah mereka dapat menyambung hidup baik bagi dirinya
maupun menghidupi keluarganya.
Kehidupan yang dijalani sebagai kuli panggul diharapkan tidak terjadi
pada anak-anak mereka. Oleh sebab itu sebagai orangtua, mereka menyekolahkan
anak-anak mereka dan memotivasi mereka untuk giat belajar agar mendapatkan
kehidupan yang lebih baik daripada orangtua mereka. Dengan demikian para
orangtua yang bekerja sebagai kuli gendong memperhatikan masa depan anaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
dengan menyekolahkan anak-anak mereka agar tidak menjadi seperti orang
tuanya, dengan harapan memilki kehidupan yang lebih baik..
Meskipun setiap hari mereka harus lebih bekerja lebih keras lagi, dan rela
bermukim di kompleks pasar Legi setiap hari, selainitu juga menjalin hubungan
baik dengan sesama kuli gendong, kordinator SPTI, petugas pasar, pedagang, dan
pembeli di pasar. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji
lebih dalam mengenai kuli gendong Pasar Legi dalam sebuah penelitian yang
berjudul “Kuli Gendong Pasar Legi (Studi Kasus Kuli Gendong Sektor
Informal di Pasar Legi Kota Surakarta)”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu mata
pencaharian bagi masyarakat?
2. Bagaimana eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI, dan
anggota masyarakat?
3. Bagaimana pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli
gendong pasar Legi?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui alasan orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi
dipilih sebagai salah satu matapencaharian bagi masyarakat.
2. Untuk mengetahui eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI,
dan anggota masyarakat?.
3. Untuk mengetahui pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja
kuli gendong pasar Legi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata
pelajaran Sosiologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 1.
Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan
mobilitas sosial, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 1.3 Menganalisis
struktur sosial dengan mobilitas sosial.
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata
pelajaran Antropologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi
2. Menganalisis unsur-unsur proses dinamika dan pewarisan budaya
dalam rangka integrasi nasional, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 2.1
Mendeskripsikan unsur-unsur budaya, dan 2.2 Mendeskripsikan
hubungan antara unsur-unsur kebudayaan.
c. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan dan menambah
wawasan, pengalaman, referensi, dan pengetahuan bagi pengembangan
ilmu-ilmu sosial khususnya dalam kaitannya Sosiologi Ekonomi.
d. Mampu mendorong adanya penelitian sejenis serta bisa digunakan
sebagai acuan dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian diharapkan dapat memberikan acuan kepada Pemerintah Kota
Surakarta dalam pengelolaan pasar dan kuli gendong di pasar Legi
Surakarta.
b. Dapat memberikan gambaran terkait mengenai sektor informal dan
kehidupan kuli panggul di pasar Legi Kota Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang akan dilaksanakan bertujuan untuk menerangkan
fenomena sosial yang dijadikan pusat penelitian, untuk menerangkan fenomena
tersebut perlu mengkaji pustaka. Dari pustaka terdapat konsep dan teori yang
dapat digunakan sebagai pedoman bagi peneliti untuk mengungkapkan
permasalahan dan mencoba menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian.
Adapun fungsi utama dalam pemilihan teori yang tepat adalah memberi landasan
dan acuan agar peneliti tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sehingga peneliti mendapat penjelasan tentang fenomena yang
diangkat, dapat melakukan analisis data dan prediksi kesimpulan. Adapun konsep
dan teori yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan adalah sebagai
berikut;
1. Konsep Kebudayaan
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan memiliki cipta, rasa, dan
karsa sehingga menjadi makhluk yang sempurna ciptaan Allah SWT. Dengan hal
tersebut menjadikan manusia lebih dibandingkan makhluk yang lain. Dengan
kelebihan inilah manusia merupakan makhluk yang beradab.
Berbicara mengenai manusia, tidak terlepas pula kita berbicara mengenai
kebudayaan. Di kehidupan sehari-hari, orang sering membicarakan tentang
kebudayaan. Di dalam kehidupan sehari-hari orang tidak akan mungkin tidak
berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang yang melihat,
mempergunakan, dan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan. Namun
apakah yang dimaksud dengan kebudayaan itu sendiri, berikut penjelasannya;
a. Pengertian Kebudayaan
Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luas seolah - olah tidak
ada batasannya. Dengan demikian sukar sekali untuk mendapatkan batasan
untuk mendapatkan pembatasan pengertian atau definisi yang tegas dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalam
pengertian tersebut. dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering
diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Akan tetapi
apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial, maka kesenian
merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan.
Dua antropolog terkemuka yaitu Merville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski dalam Soekanto (2002: 171), mengemukakan bahwa
Cultural Determination berarti segala sesuatu terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
Kemudian Herskovits mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan super-
organic, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi
tetap hidup terus. Walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat
silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian.
Menurut Soerjono Soekanto (2002: 172), kata “kebudayaan” berasal
dari (bahasa Sansekerta) “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak kata
“buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal
yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Adapun istilah “culture” yang
merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan,
berasal dari kata Latin “colere”. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu
mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu “colere” kemudian
“culture”, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk
mengolah dan mengubah alam.
Seorang antropolog lain, yaitu E.B.Tylor (1871) dalam Soekanto
(2002: 172) pernah mencoba memberikan definisi mengenai kebudayaan
sebagai berikut (terjemahannya); “Kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat,
dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat.”
Dengan kata lain kebudayaan mencakup kesemuanya yang
didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir,
akan sangat tertarik oleh obyek-obyek kebudayaan seperti rumah, sandang,
jalan, alat komunikasi dan sebagainya. Seorang sosiolog mau tidak mau harus
menaruh perhatian juga pada hal tersebut. akan tetapi dia juga akan
memperhatikan perilaku sosial, yaitu pola-pola perilaku yang membentuk
struktur sosial masyarakat. Jelas bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi
oleh peralatan yang dihasilkannya serta ilmu pengetahuan yang dimilki atau
didapatkannya.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (2002:
173) merumuskan bahwa kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta
masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan
oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya
dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa
kebudayaan merupakan apa yang diwariskan turun temurun dari generasi ke
generasi berupa semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat yaitu yang
kompleks, mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
b. Wujud Kebudayaan
Kebudayaan bukan hanya sesuatu yang kasat mata, yang berupa
bahasa, adat-istiadat, alat-alat, maupun bangunan yang menjadi bukti suatu
peradaban, namun juga bewujud ide, gagasan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Koentjaraningrat (1987: 2) yang menyatakan bahwa kebudayaan itu
mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu;
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratruran, dan sebagainya,
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat,
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
(artifact).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Dari pendapat di atas dapat dijelaskan betuk-bentuk atau wujud kebudayaan;
1) kebudayaan yang berwujud ide. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau
difoto, berada di dalam kepala-kepala, atau dengan kata lain dalam alam
pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu
hidup. Jika warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka itu dalam
tulisan, maka kebudayaan ide sering berada dalam karangan, buku-buku hasil
karya para penulis warga yang bersangkutan. Sekarang ini kebudayaan ide
juga dapat tersimpan dalam tape recorder, arsip, kartu memori (memory
card), recorder digital, dan lain sebagianya.
Kebudayaan ide ini dapat kita sebut adat, tata kelakuan, atau secara
singkat dalam arti khusus atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan
tata kelakuan tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan ide itu biasanya juga
berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi
arah kepada tingkah laku dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam
fungsi itu, secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu
dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas.
Lapisan yang paling abstrak misalnya sistem nilai budaya. Lapisan yang
kedua, yaitu sistem norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan
peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktifitas aktifitas sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat (misal; sopan-santun), merupakan lapisan adat-
istiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya. 2) kebudayaan
berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.
sistem sosial ini berisi tentang aktifitas-aktifitas individu-individu yang
berinteraksi (berhubungan antara satu dengan yang lain dalam kurun waktu
tertentu yang mengikuti pola-pola tertentu menurut adat tata kelakuan).
Sebagai rangkaian dalam suatu aktifitas individu-individu dalam
suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling
kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. 3) kebudayaan
fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas, perbuatan, dan karya
individu-individu dalam sauatu masyarakat, maka sifatnya paling konkret,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Berbentuk benda-benda yang amat besar seperti pabrik, stasiun; ada benda-
benda yang amat kompleks seperti suatu computer berkapasitas tinggi: atau
benda-benda besar dan bergerak seperti bus, pesawat: ada benda yang besar
dan indah seperti masjid, candi; atau pula benda-benda kecil seperti kain
batik; atau yang lebih kecil lagi kancing baju batik.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari
tentu tidak terpisah antara satu sama lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat
memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan
ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda
kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu
lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya,
bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.
Dalam hal ini kegiatan sebagai kuli gendong termasuk ke dalam
wujud kebudayaan yang kedua, yaitu kebudayaan berwujud sistem sosial,
mengenai kelakuan berpola dari individu-individu yang berada di dalam
pasar Legi. Dalam hal ini tentang aktifitas-aktifitas individu-individu sebagai
kuli gendong yang berinteraksi baik sesama kuli gendong, koordinator SPTI,
pedagang, pembeli di pasar, maupun keluarga dan masyarakat tempat asal
mereka.
c. Unsur-Unsur Kebudayaan
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-
kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk agama, ideologi,
kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa
manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta
merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup
di masyarakat dan antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu-ilmu
pengetahuan. Cipta merupakan teori murni, maupun yang telah disusun untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
langsung diamalakan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta
dinamakan pula ke budayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture).
Semua karya, rasa dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang
menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagaian besar
atau seluruh masyarakat.
Kebudayaan setiap masyarakat itu sendiri terbentuk oleh beberapa
unsur-unsur yang merupakan bagian dari satu kebulatan yang bersifat sebagai
satu kesatuan. Beberapa unsur kebudayaan diklasifikasikan ke dalam unsur-
unsur pokok atau besar kebudayaan yang lazim disebut dengan cultural
universal, yang merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua
kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam kehidupan masyarakat pedesaan
yang kecil terpencil maupun di dalam masyarakat perkotaan yang besar dan
kompleks.
C. Khluchon dalam Soekanto (2002: 176) dalam sebuah karyanya
yang berjudul Universal Categories of Culture, dimana berisi inti
pendapat para sarjana dalam karyanya menunjuk tujuh unsur
kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu;
1. peralatan dan perlengkapan hidup manusia,
2. mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi,
3. sistem kemasyarakatan,
4. bahasa (lisan maupun tertulis)
5. kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya)
6. sistem pengetahuan,
7. religi (kepercayaan).
Unsur-unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam
sub-unsur-unsurnya (unsur-unsur yang lebih kecil). Unsur yang pertama yaitu
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, hal ini dapat dijabarkan lagi
menjadi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat
produksi, alat tansportasi dan lain sebagainya. Yang kedua, mata pencaharian
hidup dan sistem-sistem ekonomi dijabarkan lagi menjadi pertanian,
peternakan, buruh/kuli, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya.
Unsur yang ketiga sistem kemasyarakatan dapat dikerucutkan lagi menjadi
sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Unsur yang keempat adalah bahasa baik berupa lisan maupun
tertulis, setiap masyarakat baik dalam suku, bangsa, maupun negara memiliki
sistem bahasa yang dimiliki oleh masing-masing, dan dengan bahasa mereka
dapat berkomunikasi antara individu satu dengan yang lain, kelompok
masyarakat satu dengan yang lain, disini bahasa berguna sebagai pengantar
komunikasi. Selanjutnya unsur yang kelima adalah kesenian, unsur ini
menyangkut tentang keindahan, dimana kesenian dapat dijabarkan lagi
menjadi unsur seni yang lain, berupa seni rupa, seni suara, seni gerak dan
sebagainya. Selain kesenian, suatu kebudayaan dapat diperkuat dengan
unsur sistem pengetahuan, dimana dengan unsur ini dapat digunakan sebagai
tolok ukur peradaban suatu masyarakat. Dan unsur yang terakhir adalah
religi atau sistem kepercayaan, dalam unsur ini masyarakat dari kebudayaan
yang bersangkutan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan besar yang
menciptakan dan mengatur, baik kepercayaan animisme, dinamisme,
maupun agama yang mempercayai adanya tuhan. Demikian tujuh unsur
kebudayaan universal memang mencakup kebudayaan manusia secara
keseluruhan.
Kemudian jika dilihat dari unsur-unsur kebudayaan di atas, manusia
berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan
hidup, usaha manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan
dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja
sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan.
2. Konsep Mata Pencaharian
a. Pengertian Mata Pencaharian
Untuk mencukupi kebutuhan agar dapat bertahan hidup, manusia
akan berusaha untuk mendapatkan pemenuh kebutuhan, salah satunya dengan
memiliki mata pencaharian, dimana mata pencaharian bisa juga dikatakan
dengan pekerjaan. Misalnya masyarakat pedesaan yang identik dengan
bidang agraris, keadaan alam yang mendukung untuk menjadi petani.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Berbeda lagi untuk masyarakat pesisir (pantai), keadaan geografis yang
menjadikan mereka nelayan untuk melaut dan mencari ikan.
Dua hal tersebut di atas merupakan contoh mata pencaharian, namun
secara definisi dalam arti luas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2007), “mata pencaharian merupakan pekerjaan atau pencaharian utama
(yang dikerjakan untuk biaya hidup sehari-hari)”. Dari definisi tersebut, dapat
dikatakan bahwa mata pencaharian merupakan pekerjaan yang utama,
sehingga jika seseorang memiliki suatu pekerjaan atau beberepa pekerjaan,
yang bisa disebut mata pencaharian adalah pekerjaan yang utama. Istilah
pekerjaan dalam arti sempit, digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang
menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini
sering dianggap sinonim dengan profesi. Mata pencaharian merupakan hal
yang sangat melekat bagi individu, terutama dalam keluarga mata
pencaharian orangtua sangat berperan penting dalam kelanjutan hidup baik
anggota-anggota keluarga, maupun orang tua dalam keluarga tersebut.
b. Jenis Mata Pencaharian
Dari berbagai macam mata pencaharian atau pekerjaan mulai dari
penyemir sepatu, tukang becak, kuli gendong, sampai pengusaha, anggota
legislatif bahkan pejabat negara merupakan bagian dari macam-macam
pekerjaan, namun dari banyaknya pekerjaan tersebut dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu;
1) Sektor Formal
Sektor formal merupakan salah satu jenis usaha yang resmi, ada ijin atau
berbadan hukum, membutuhkan modal besar, memiliki aturan/tata tertib
yang jelas, jumlah pekerja berpendidikan dan memilki keahlian, serta
jumlah pekerja tetap dan digaji, memiliki batasan waktu kerja yang jelas,
dan menggunakan teknologi dalam usahanya.
Contoh pekerjaan dalam sektor formal; a) seseorang yang bekerja sebagai
PNS, dimana untuk menjadi PNS seseorang dituntut memiliki jenjang
pendidikan tertentu, mengikuti seleksi masuk yang ketat yang diadakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
oleh dinas setempat, bekerja dengan ikatan dinas, jam dan hari kerja
jelas, digaji setiap bulan lengkap lengkap dengan tunjangan dan
mendapat dana pensiun jika sudah tidak bekerja, memilki tata tertib/ kode
etik yang jelas, dan lain sebagainya, b) karyawan pabrik, untuk menjadi
karyawan pabrik seseorang melamar di lowongan pekerjaan, melalui
beberapa tes, dan membutuhkan syarat-syarat tertentu baik berupa
pendidikan, pengalaman kerja di bidang-bidang tertentu dan keahlian
khusus.
2) Sektor Informal
Sedangkan sektor informal merupakan sektor kebalikan dari sektor
formal, dimana tidak perlu ijin dalam melaksanakan kegiatan usaha,
modal relatif kecil, tidak ada aturan yang jelas, tidak memerlukan
pendidikan yang tinggi, tanpa batasan waktu kerja yang jelas , serta tidak
menggunakan terknologi ataupun menggunakan teknologi sederhana.
Contoh pekerjaan dalam sektor informal: a) pedagang kaki lima,
merupakan contoh sektor informal yang kerap mendapat perhatian besar
karena keberadaannya terutama di kota-kota besar, tanpa perlu
pendidikan tinggi untuk menjadi pedagang kakai lima, melainkan
keterampilan yang di dapat dari bekerja pada orang lain, dan diterapkan
untuk usaha sendiri, biasanya menempati trotoar jalan, pinggir-pinggir
jalan, dengan modal tidak besar dan relatif kecil seseorang dapat menjadi
pedagang kaki lima, tidak ada ijin yang kuat mengatur berdirinya
pedagang kaki lima, kebanyakan pekerjanya adalah anggota keluarga
sendiri dan tidak ada aturan kerja yang jelas, dan tempat bekerja
(berjualan) bersifat sementara (non-permanen) hal ini dikarenakan
mereka menempati tempat-tempat umum, b) kuli gendong (buruh
gendong), merupakan salah satu contoh usaha sektor informal yang tanpa
mempergunakan modal uang, namun menggunakan modal yang utama
yaitu kekuatan atau tenaga untuk menggendong bawaan, namun jika
sudah masuk dalam satu wadah paguyuban yang mengoordinasi, maka
juga dikenakan iuran sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3. Konsep Sektor Informal
a. Pengertian Sektor Informal
Tadjudin Noer Effendi (1995: 74) memberikan pengertian tentang
sektor informal, yaitu sektor yang diartikan sebagai “pekerja yang berusaha
sendiri tanpa buruh, berusaha sendiri dengan buruh tak tetap, atau dibantu
tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar”. Ini memberikan definisi bahwa
sektor informal merupakan suatu jenis usaha mandiri, atau usaha keluarga,
tanpa adanya aturan yang tidak tetap.
Dipak Mazmundar dalam Manning dan Effendi (1996: 12)
memberikan definisi mengenai sektor informal, “sektor informal sebagai
pasaran tenaga kerja yang tak dilindungi salah satu aspek penting perbedaan
antara sektor informal dan formal sering dipengaruhi oleh jam kerja yang
tidak tetap dalam jangka waktu tertentu.”
Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 139), tanpa
memberikan batasan ilmiah yang jelas tetapi membedakan sektor informal
dan formal yang menunjuk pada suatu sektor ekonomi masing-masing
dengan konsistensi dan dinamika strukturnya sendiri.. Sektor formal
digunakan dalam pengertian pekerjaan yang permanen, meliputi;
1) sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan
bagian dari suatu struktur pekerjaan dan terjalin dan amat
terorganisir,
2) pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian,
3) syarat-syarat pekerja dilindungi oleh hukum.
Dari pengertian dan ciri-ciri sektor informal yang telah dijelaskan di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, sektor informal adalah suatu unit
usaha dengan pola kegiatan tidak teratur baik waktu, modal, maupun
penerimaannya, hampir tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan dari
pemerintah, modal dan pendapatan relatif kecil, peralatan dan perlengkapan
yang dipergunakan sangat sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus
dalam menjalankan kegiatannya, dan pada umumnya satuan usaha
mempekerjakan tenaga kerja yang sedikit dari lingkungannya, berhubungan
denga keluarga, mudah berganti ke profesi yang lain. Selain itu sektor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
informal merupakan unit kerja yang mampu menciptakan lapangan kerja,
kesempatan kerja, dan memilki daya serap tinggi bagi angkatan kerja.
Sektor informal lebih difokuskan pada aspek-aspek ekonomi, aspek
sosial, dan budaya. Aspek ekonomi misalnya penggunaan modal yang rendah,
pendapatan yang rendah dan skala usaha yang relatif kecil. Aspek sosial
diantaranya meliputi tingkat pendidikan yang rendah, berasal dari kalangan
ekonomi lemah. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan
untuk beroperasi di luar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana,
tidak terikat oleh waktu kerja. Dengan cara pandang tersebut terhadap sektor
informal tentunya lebih menitikberatkan pada suatu proses yang dinamis dan
bersifat kompleks.
b. Ciri-ciri Sektor Informal
Sektor informal memiliki “cara kerja” yang memiliki ciri-ciri
tertentu, yang membedakan sektor informal dengan sektor formal, dan
memiliki karakteritik tertentu sebagai sektor informal.
Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal
adalah sebagai berikut;
1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya
unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan
yang tersedia di sektor formal,
2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,
3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi
maupun jam kerja,
4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu
golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,
5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor,
6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,
7) modal dan putaran usaha relatif kecil,
8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal
karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman
sambil bekerja,
9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang
mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh
berasal dari keluarga,
10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari
lembaga keuangan tidak resmi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan
kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang
juga berpenghasilan menengah.
Pendapat Effendi di atas telah dapat mempresentasikan pendapat-pendapat
dari tokoh-tokoh lain mengenai ciri-ciri sektor informal. Dari hal-hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa kegiatan sektor informal merupakan usaha
tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak
mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal,
misalnya pedagang kaki lima tidak ada lembaga yang mengikat dan
mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya
oleh para pedagang kaki lima itu sendiri dalam sebuah paguyuban atau
komunitas. Berbeda dengan sektor informal, misalkan PNS, ada organisasi
yang konkret yang mengatur dan mengoordinasi terdapat fasilitas-fasilitas
yang dapat dipergunakan, baik kantor, tempat kerja, akomodasi, alat
transportasi dan lain sebagainya
Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam
sektor informal tidak mempunyai ijin usaha. Jika dalam sektor informal
perlu ijin dalam usahanya, contoh membuka pabrik rokok, dokter membuka
praktek, dan sebagainya. Untuk usaha dalam sektor informal dilaksanakan
dalam lingkup kecil, tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk di
dalamnya. Dengan kata lain siapa saja dapat membuka usaha dalam sektor
informal. Bahkan ada usaha dalam sektor informal yang justru melanggar
hukum dan penghasilan yang tidak sah, seperti copet, penadah barang
curian, lintah darat, dan lain sebagainya.
Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi
maupun jam kerja. Maksudnya adalah lokasi atau tempat yang digunakan
untuk usaha tidak pasti, berpindah-pindah antara satu tempat ke tempat lain,
misal pedagang keliling, dan pedagang asongan. Selain itu tidak ada rentang
jam kerja yang jelas pula, kapan harus mulai kerja dan kapan harus selesai
kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan
ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian,
karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan
usaha sektor informal, tidak adanya “tangan panjang” dari pemerintah yang
langsung berhubungan dengan usaha tersebut, dan ketiadaan data yang jelas
mengenai keberadaan dari usaha sektor informal tersebut sehubungan
dengan pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik lokasi maupun jam
kerja, sehingga kebijakan dari pemerintah baik aturan maupun bantuan tidak
sampai pada sektor ini.
Dalam sektor informal, unit usaha mudah keluar masuk dari
subsektor ke lain subsektor. Tidak adanya batasan dan keterikatan dalam
satu subsektor, karena usaha ini milik pribadi dan bebas dalam menetukan
jenis usaha apa yang akan dilaksanakan. Perpindahan ini sah-sah saja dalam
sector informal. Misal kegiatan primer dan sekunder seperti pertanian
perkebunan yang pindah ke sektor jasa yang lain, seperti kuli gendong.
Teknologi yang digunakan dalam kegiatan sektor informal bersifat
tradisional. Berbeda dengan sektor formal, menggunakan teknologi yang
tinggi, sophisticated (canggih), dan mahal, berupa alat-alat berat,
komputerisasi, dan lain sebagainya. Untuk sektor informal dalam
kegiatannya hanya menggunakan teknologi sederhana, murah, dan dapat
dibuat sendiri, berupa alat-alat sederhana. Misalnya pedagang kaki lima
dengan menggunakan gerobak, pedagang asongan dengan kotak atau box
dagangan, kuli gendong dengan selendang dan kekuatan badannya untuk
mengangkat barang.
Jika dilihat dari segi permodalan, modal dan putaran usaha dalam
kegiatan sektor informal relatif kecil, karena jenis usaha juga relatif
sederhana, hasil produksi hanya sanggup mencukupi kebutuhan untuk
sekitar atau domestik. Sumber dana modal biasanya dari tabungan sendiri
atau dari lembaga keuangan tidak resmi, misal dari potang (Jawa), yaitu
tukang kredit atau lintah darat yang setiap hari memungut angsuran dari
hutang tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal
karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil
bekerja. Cukup dengan kemauan untuk bekerja dan lama-kelamaan
pengalaman serta pengetahuan tentang pekerjaannya dapat didapatkan oleh
yang seseorang dalam proses ia bekerja (otodidak), misal tukang cukur dan
penyemir sepatu, penjual es potong. Berbeda dengan kegiatan sektor formal
yang membutuhkan pendidikan formal, bahkan sampai pendidikan yang
tinggi dan disertai keterampilan atau kecakapan khusus khusus untuk
bekerja dalam sekor formal, misal untuk menjadi perawat, menjadi manajer
perusahaan.
Suatu usaha dikatakan usaha sektor informal juga dilihat dapat
dilihat bahwa pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang
mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal
dari keluarga, ada beberapa yang juga termasuk subsisten. Sedangkan hasil
produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa
yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan
menengah.
c. Bidang-bidang Sektor Informal
Bidang yang ada dalam sektor informal cukup luas. Sektor ini
sangat luas baik di tingkat daerah maupun di desa-desa dan daerah
perkotaan. Sektor informal yang lahir diperkotaan merupakan hasil dari
urbanisasi yang mana perpindahan ini untuk mencari penghasilan. Perkotaan
yang persaingannya sangat ketat dan kadang tidak mendapat pekerjaan
maka para urban ini membuka lapangan pekerjaan baru dalam perkotaan
yaitu yang disebut sektor informal.
Menurut Keith Hart dalam Manning dan Tadjudin (1996:79-80)
“bidang-bidang dalam sektor informal yang ditinjau dari
pendapatan yang sah dan tidak sah sebagai berikut:
1) Sektor informal dengan penghasilan sah
a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder: pertanian,
perkebunan yang berorientasi ke pasar, kontraktor
bangunan dan kegiatan yang berhubungan dengannya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, penjahit,
pengusaha bir dan alkohol.
b) Usaha tersier dengan modal yang relatif besar:
perumahan, transportasi, usaha kepentingan umum,
spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa-
menyewa.
c) Distribusi kecil-kecilan: pedagang pasar, pedagang
kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi,
pelayan bar, pengangkut barang, agen atau komisi, dan
penyalur.
d) Jasa yang lain: pemusik, pengusaha binatu, penyemir
sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret,
pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya,
makelar dan perantara.
e) Transaksi pribadi: arus uang dan barang pemberian
maupun semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis.
2) Sektor informal dengan penghasilan tidak sah
Kegiatan-kegiatan sektor informal tidak hanya yang
berkategorikan kegiatan sah, namun juga adapula kegiatan
yang tidak sah. Sektor kegiatan informal yang tidak sah
antara lain:
a) Jasa, merupakan kegiatan dan perdagangan gelap pada
umumnya penadah barang curian, lintah darat, pedagang
obat bius, pelacur, mucikari, penyelundupan, suap-
menyuap, berbagai macam korupsi politik, perlindungan
kejahatan.
b) Transaksi, sebagai contohnya adalah pencurian kecil,
pencurian besar, pemalsuan uang dan penipuan.
Berdasarkan penjelasan mengenai bidang-bidang sektor informal
diatas maka,dapat disimpulkan bahwa kuli gendong pasar Legi Surakarta
dapat dikategorikan sebagai kegiatan informal dengan penghasilan sah. Hal
ini dapat dilahat dari jenis usaha yang dilakukan oleh para kuli gendong.
Jenis kuli gendong adalah menjual jasa mereka. Kuli gendong pasar Legi
dikatakan sebagai sektor informal yang berpenghasilan sah karena tidak
melanggar aturan-aturan hukum, atau tidak melakukan tindakan
mengganggu para pembeli dan pedagang di dalam pasar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d. Munculnya Sektor Informal di Kota
Tadjudin Noer Effendi (1995: 73) menyatakan bahwa “sektor
informal tidak dapat keberadaannya di dalam pembangunan”. Kehadiran
sektor informal dipandang sebagai gejala transisi dalam proses
pembangunan di negara berkembang. Sektor informal harus dilalui dalam
menuju tahapan modern, selain itu juga merupakan gejala adanya
ketidakseimbangan kebijakan pembangunan.
Konsep informal muncul dalam keterlibatan pakar-pakar
internasional dalam perencanaan pembangunan dunia ketiga, gejala ini
muncul setelah kelahiran negara maju dan berakhirnya perang dunia kedua.
Pada waktu itu muncul gagasan di tingkat internasional maupun nasional
untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi pada negara-negara yang
dimaksud. Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 138)
menyatakan “sektor informal pertama kali diungkapkan oleh Keith Hart
pada tahun 1971 dengan menggambarkan sektor informal senbagai bagian
dari angkatan kerja yang tidak terorganisir.” Keith Hart merupakan seorang
antropolog Inggris yang pertama kali menyatakan gagasan sektor informal.
Meskipun sudah berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun
sejak gagasan mengenai sektor informal dicetuskan oleh Hart hingga kini
perdebatan sektor informal masih juga belum mencapai kesepakatan.
Pembahasan mengenai kegiatan-kegiatan sektor informal selama ini
umumnya terfokus secara ekslusif pada konteks kontemporernya yang
diantaranya membahas tingkat penghasilan pedagang, jumlah tenaga kerja,
latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya. Namun hanya sedikit yang
membahas apa yang melatar belakangi kegiatan di sektor informal ini
muncul. Sehingga peneliti merasa perlu untuk memberikan ulasan mengenai
latar belakang munculnya kegiatan sektor informal ini yang dikaji beberapa
ahli.
Tumbuhnya sektor informal disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya, perpindahan penduduk yang dapat menyebabkan semakin
sempitnya peluang kerja tempat yang didatangi. Seperti yang diungkapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
oleh Rachbini dan Hamid (1994: 13), “perbedaan tingkat upah serta
kesempatan kerja di desa dan di kota merupakan faktor yang menstimulasi
angkatan kerja untuk pindah ke kota”. Masyarakat umumnya menganggap
di kota lebih mudah untuk mencari pekerjaan dan lebih menghasilkan uang.
Padahal dengan perpindahan mereka ke kota mengakibatkan semakin sempit
pula lapangan pekerjaan yang ada dan pada akhirnya membuka lahan
pekerjaan baru di sektor informal.
Selain itu tumbuhnya sektor informal juga disebabkan kesenjangan
kapasitas keahlian dan tuntutan kerja formal yang modern. Sektor formal
menuntut keahlian tinggi dari pekerjanya namun hal tersebut tidak
diimbangi oleh keahlian yang dimililki para angkatan kerja. Menurut Mc
Gee dalam Rachbini dan Hamid (1994: 26) “Sektor informal tumbuh karena
perpindahan, dan penggunaan teknologi modern yang tidak selektif, yang
berarti tidak memperhitungkan manfaat sosialnya, akan menciptakan sektor
informal”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan
menggunakan teknologi modern berarti banyak manusia yang tergantikan
oleh teknologi yang berat kurang dibutuhkannya tenaga manusia di sektor
formal. Akibatnya banyak sektor informal yang tumbuh karena kurang
dibutuhkannya tenaga manusia di sektor formal. Karena sempitnya lahan
pekerjaan, serta kurang dibutuhkan tenaga kerja manusia sehingga
mengakibatkan munculnya pengangguran. Faktor tumbuhnya sektor
informal juga disebabkan karena adanya pengangguran. Di sini sektor
imformal berfungsi untuk mempertahankan hidup.
Kota sebagai suatu pemusatan penduduk di dalam wilayah yang
sempit memilki masalah fundamental dalam pemenuhan kebutuhan pokok
penduduk-penduduknya, maka kota sebagai pusat konsumsi kolektif
memproduksi barang atau jasa tidak secara individual, melainkan secara
kolektif sehingga apabila sebuah kota sudah tergolong ke dalam kota yang
kapitalistik, maka akan sering terjadi konflik-konflik akibat perebutan
konsumsi kolektif. Konsumsi kolektif terjadi di lapisan bawah masyarakat
perkotaan, mereka melakukan konsumsi kolektifnya dalam sektor informal,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
konsumsi mereka ditandai dengan adanya penggunaan barang-barang bekas
untuk perumahan, serta pembuatan dan pemasaran bahan-bahan makanan
dan barang-barang lain untuk konsusmsi langsung.
Sektor informal sebagai identitas problematika perkotaan
berkembang di berbagai bidang meliputi bidang industri, perdagangan, jasa,
dan sebagainya. Profesi-profesi sektor informal di kota seperti pedagang
kaki lima, pedagang asongan, kuli gendong, penyemir sepatu, pelacur,
portir, pengemis, pengamen, pengemudi becak, tukang parkir, dan lain
sebagainya. Mereka merupakan pedagang kecil, pekerja yang tidak terikat
dan tidak terampil dengan pendapatan yang relatif rendah dan tidak tetap.
Keberadaan sektor ekonomi informal di perkotaan sangat mudah
dijumpai dan dikenali di trotoar-trotoar, alun-alun kota, dan dekat pusat
keramaian kota serta ruang-ruang publik di perkotaan. Keberadan pedagang
sektor informal ini muncul dan berkembang karena memangg kehadiran
mereka merupakan sebuah response atas kondisi yang ada. Pedagang sektor
informal merupakan sebuah pilihan dari ketidakberdayaan akan kondisi ini
kemunculannya bahkan tidak dikehendaki oleh pelakunya sendiri itu. Saat
ini jumlah pekerjaan informal menggelembung sedemikian besar bahkan
hampir menyamai jumlah mereka yang bekerja di sektor formal.
4. Kuli Gendong sebagai Kegiatan Sektor Informal
Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang
dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya.
Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di
pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa
yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli
gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula
yang memanggul barang - barang dagangan pedagang atau pembelian oleh
pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah
-rempah, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
a. Pengertian Kuli Gendong
Secara umum kuli adalah orang yang bekerja dengan mengandalkan
kekuatan fisiknya atau buruh kasar yang menerima upah dari jasa
mengangkut barang (www.wikipedia.com). Pekerjaan ini dilakukan oleh laki-
laki dan perempuan. Untuk kuli perempuan sering disebut dengan kuli
gendong, sedangkan untuk kuli laki- laki sering disebut kuli panggul. Kuli
adalah sebuah profesi yang bergerak di bidang jasa (www.kbbi.com).
Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk
pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya
dan menggaji dirinya sendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain petani,
nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari
proses penciptaan nilai tambah yang mereka buat sendiri. Istilah tenaga kerja
di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk mengganti kata buruh yang
mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.
Pengertian tenaga kerja mempunyai makna yang sangat luas yang
bersifat umum dan terkadang rancu dengan istilah angkatan kerja. Buruh saat
ini identik dengan pekerja level bawah. Orang yang bekerja dengan
mengandalkan kekuatan fisiknya atau pekerja kasar (seperti membongkar
muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain).
b. Kuli Gendong Merupakan kegiatan sektor informal
Pekerjaan sebagai kuli gendong Pasar Legi memenuhi ciri-ciri
daripada sektor informal
Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah
sebagai berikut;
1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya
unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang
tersedia di sektor formal,
2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,
3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi
maupun jam kerja,
4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan
ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,
5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor,
6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
7) modal dan putaran usaha relatif kecil,
8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal
karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman
sambil bekerja,
9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang
mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh
berasal dari keluarga,
10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari
lembaga keuangan tidak resmi,
11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan
kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang
juga berpenghasilan menengah.
Dari ciri-ciri di atas kegiatan kuli gendong juga memenuhi ciri-ciri tersebut;
1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak
terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan
fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga
yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi
secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban,
komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia
(SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam
sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan
bersifat bebas siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong namun untuk
menjadi kuli gendong di pasar Legi bagi perempuan dan hanya dikenakan
biaya iuran perbulan. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam
arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel
yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta
memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah
untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini.
Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas
menyangkut keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa
menggunakan teknologi tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan
selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan
barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak
mempergunakan modal finansial yang besar bagi kuli gendong, cukup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam,
namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli
gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli
gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan
untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan.
c. Migrasi ke kota menjadi kuli gendong
Secara sederhana migrasi didefenisikan sebagai aktivitas
perpindahan. Sedangkan secara formal, migrasi didefenisikan sebagai
perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke
tempat lain yang melampaui batas politik/ negara ataupun batas
administrasi/batas bagian suatu negara. Bila melampaui batas negara maka
disebut dengan migrasi internasional (migrasi internasional). Sedangkan
migrasi dalam negeri merupakan perpindahan penduduk yang terjadi dalam
batas wilayah suatu negara, baik antar daerah ataupun antar propinsi.
Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan disebut dengan migrasi masuk.
Sedangkan perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan
migrasi keluar (www.depnaker.go.id).
Orang-orang rela ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang
mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di
sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebaagai kuli gendong.
Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras
mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak
dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi
lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam
organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang Pasar
Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli
gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan
berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Jika kita berbicara daerah asal orang-orang yang menjadi kuli
gendong, kita akan berbicara mengenai perpindahan mereka (migrasi),
tepatnya urbanisasi dari daerah asal ke kota Surakarta. Ada hal-hal yang
mempengaruhi seseorang melakukan migrasi, atau yang sering kita sebut
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi.
Menurut Everett S. Lee dalam Widodo (2011: 102) “ada empat
faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk
melakukan migrasi, yaitu:
1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan
3. Rintangan-rintangan yang menghambat
4. Faktor-faktor pribadi
Faktor-faktor 1,2 dan 3, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1
Rintangan
Daerah Asal Daerah Tujuan
Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di Daerah Asal dan
Daerah Tujuan serta Rintangan
Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan
seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk
pindah ke daerah tersebut (+), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa
mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (-). Selain itu ada pula faktor-
faktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk melakukan migrasi (o).
Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian
positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu
sendiri.
Jika dikaitkan dengan migrasi penduduk ke kota Surakarta yang
menjadi kuli gendong di pasar Legi, ada beberapa hal yang mempengaruhi
o+ o - + o-
- + - o + - o
+ - o - o - o
- o - + o -
+ o + - o + -
+ o - + - o +
o - + o + - o
+ o + - o
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kenapa masyarakat berpindah ke pasar Legi kota Surakarta yang menjadi kuli
gendong. Faktor-faktor tersebut adalah;
1) Faktor pendorong (daerah asal)
Dalam setiap kegiatan manusia maka akan selalu diiringi dengan
dorongan atau motif yang mendasari mereka melakukan kegiatan tersebut.
Dorongan atau motif ini akan sangat dipengaruhi beberapa faktor
pendorong (push factor), misalalnya adalah aspek ekonomi, sosial, bahkan
aspek psikologis.
Rendahnya upah tenaga kerja di sektor pertaian dan semakin
langkanya lahan-lahan pertanian di pedesaan, maka banyak tenaga kerja
yang memelih alternatif lain untuk urbanisasi dan bekerja di sektor non
pertanian. Dari proporsi tenaga kerja yang mencari nafkah di berbagai
sektor dalam pembangunan ekonomi, ternyata dari tahun ke tahun
penyediaan kesempatan kerja sektor pertanian semakin menurun,
sedangkan pada sektor non pertanian menunjukkan kenaikan.
Dipak Mazumdar dalam Manning dan Efendi (1996: 113)
menjelaskan mengenai faktor dominan yang menjadi pendorong seseorang
memasuki sektor informal perkotaan adalah faktor ekonomi. Dorongan
dalam faktor ini meliputi 3 hal yaitu:
a) adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota
b) imbas dari terpusat dan terkonsentrasinya pembangunan
yakni menimbulkan kemiskinan di desa.
c) perubahan persepsi angkatan kerja yang ada di desa.
Adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Sehingga
berbagai sumber-sumber skonomi dan sasaran perekonomian terpusat dan
terkonsentrasi di kota dibandingkan di desa. Imbas dari terpusat dan
terkonsentrasinya pembangunan yakni menimbulkan kemiskinan di desa.
Sehingga pembangunan perekonomian di desa kurang diperhatikan
menjadikan lapangan pekerjaan tidak dapat menutup jumlah angkatan
kerja yang ada di desa. Oleh karena itu mereka melakukan urbanisasi ke
kota-kota besar dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan. Perubahan
persepsi angkatan kerja yang ada di desa. Adanya perubahan persepsi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
motivasi, dan sikap terhadap sektor pertanian yang ada di desa. Mereka
menganggap bahwa pekerjaan di sektor pertanian kurang begitu
menjanjikan sehingga mereka cenderung memilai pekerjaan non pertanian,
salah satunya adalah pekerjaan di sektor informal.
2) Faktor penarik (daerah tujuan)
Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah
dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor). Yaitu hal-hal yang
menjadi daya tarik kepada calon pendatang untuk datang ke tempat tujuan.
Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan
berbagai faktor penarik, seperti; a) adanya anggapan orang desa bawah di
kota banyak pekerjaan dan penghasilan yang besar, b) di kota lebih banyak
kesempatan untuk mendirikan perusahaan, industri, dan usaha lain, c)
peredaran uang di kota lebih cepat dan lebih besar, d) sarana pendidikan di
kota lebih banyak dan mudah didapat, e) kota merupakan tempat yang
lebih menguntungkan untuk mengembangkan bakat, f) kota dianggap
mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan tempat pergaulan
dengan segala lapisan masyarakat.
3) Faktor fasilitas yang mendukung
Adanya fasilitas-fasilitas yang mendukung perpindahan masyarakat dari
daerah asal para kuli gendong ke daerah tujuan yaitu pasar Legi kota
Surakarta. Faktor-fakltor tersebuta antara lain; a) lowongan kerja banyak,
b) pelayanan masyarakat yang lengkap, seperti kesehatan, keamanan, dan
sebagainya, c) transportasi yang lengkap dan mudah diakses,
mempermudah masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, d)
komunikasi dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang canggih.
4) Faktor nilai
Merupakan faktor yang berupa nilai-nilai yang menjadi dorongan dalam
bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai kuli gendong pasar Legi sebagai sektor informal
memilki banyak kaitan terhadap penelitian-penelitian lain yang relevan mengenai
kuli gendong maupun studi kasus mengenai sektor informal. Salah satunya adalah
penelitian dari Heni, 2010, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul penelitian “PERAN KULI
PANGGUL DI PASAR KLEWER SURAKARTA DALAM PENDIDIKAN
FORMAL ANAK TINGKAT SMA”. Penelitian ini berusaha mengungkapkan
peranan kuli panggul sebagai orang tua (ayah ibu) bagi anak-anaknya dalam
pendidikan formal anak-anaknya pada taraf SMA.
Dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa para kuli panggul di Pasar
Klewer ini sudah bernaung dalam suatu paguyupan. Penghasilan setiap hari
mungkin kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi kalau sudah memiliki
anak yang bersekolah. Dengan upah yang tidak terlalu bisa mencukupi semua
kebutuhan hidup, orang tua pasti akan berjuang keras untuk memberikan apapun
yang terbaik untuk anaknya.
Oleh karena itu peran keluarga terutama orang tua (ayah dan ibu)
mempunyai arti yang sangat penting terutama dalam pendidikan anak. Karena
keluarga merupakan guru atau contoh yang nantinya bakal ditiru oleh anak-
anaknya kelak, selain keluarga lingkungan juga ikut berperan. Mungkin kalau
masih usia anak-anak tidak terlalu berpengaruh akan tetapi jika sudah usia remaja
dan dewasa sudah lain ceritanya. Tidak ada orang tua yang mau anaknya bernasib
sama dengan dirinya. Orang tua menginginkan anaknya bisa bersekolah
setinggitinginya agar dapat meraih mimpi atau cita-cita yang diharapkan.
Ayah dan ibu berkewajiban untuk memberikan pendidikan terbaik
kepada anak-anaknya, namun pendidikan di rumah biasanya dibebankan pada ibu
karena lebih berperan penting dalam mengasuh anak disbanding dengan ayah.
Tetapi pendidikan adalah tanggung jawab kedua orang tua tidak bisa dibebankan
kepada salah satu pihak. Namun tidak semua orangtua memiliki kebiasaan dan
pola pendidikan yang sama dalam mendidik anak-anaknya, memiliki kesamaan
dalam mengambil keputusan dan sikap, sehingga orang tua kurang dan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
memperhatikan anak karena kesibukannya mencari nafkah guna mencukupi
kebutuhan hidup. Setiap orang tua berjuang keras demi membiayai pendidikan
anaknya, walaupun tahu biaya pendidikan jaman sekarang ini tidaklah murah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
C. Kerangka Berfikir
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir
Kuli Gendong
Pasar Legi
Kebutuhan Dasar
1. Pangan,
2. Sandang,
3. Papan,
4. Kesehatan
Ketimpangan
pembangunan
antara desa dan
kota.
Terbatasnya
lapangan
pekerjaan di
daerah asal/desa
dll
Adanya anggapan orang
desa bawah di kota
banyak pekerjaan dan
penghasilan yang besar.
Di kota lebih banyak
kesempatan untuk
mendirikan perusahaan,
industri, dan lain-lain.
Peredaran uang di kota
lebih cepat dan lebih
besar.
dll
Pendidikan Anak
Migrasi
Faktor Pendorong
Daerah Asal
(Push Factor)
Faktor Penarik Daerah
Tujuan
(Pull Factor)
Faktor Fasilitas
(Facility Factor)
Komunikasi
Transportasi Pelayanan
masyarakat
dll
Kehidupan Sosial
Masyarakat
Faktor Nilai
(Value
Factor)
Kemanusiaan
Perjuangan
hidup
dll.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Dari skema kerangka berpikir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
keadaan-keadaan di daerah asal yang mendorong penduduknya melakukan
urbanisasi, hal ini di sebut faktor-faktor pendorong (push factor), faktor- faktor
penarik (pull factor), kemudian faktor fasilitas (facility factor) yang
mempermudah dalam akses untuk melakukan urbanisasi, dan faktor nilai (value
faktor) merupakan faktor dari aspek kemanusiaan. Hal-hal diatas mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota besar, dalam hal ini adalah
Kota Surakarta. Karena di kota terdapat banyak pabrik, pusat perbelanjaan, dan
pasar serta sektor formal yang lain maka dengan jalan “hijrah” ke kota berharap
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (sektor formal), berpengasilan lebih besar
daripada di daerah asal untuk mencukupi segala macam kebutuhan hidup keluarga
di rumah.
Namun bila dilihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan
tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja
berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga
batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan
oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan. Syarat-syarat
demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang yang berasal dari daerah
yang biasanya berasal dari perekonomian lemah.
Ketidakberdayaan kuli panggul dalam hal pendidikan ini dilatarbelakangi
oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang yang bekerja
sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah
merupakan hal biasa yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk
memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan,
fasilitas, dan sebagainya.
Kehidupan yang dijalani oleh kuli panggul sebagai orangtua diharapkan
tidak terjadi pada anak-anak mereka, oleh sebab itu mereka menyekolahkan anak-
anak mereka dan memotivasi mereka untuk giat belajar agar mendapatkan
kehidupan yang lebih baik daripada orangtua mereka. Dengan demikian para
orangtua yang bekerja sebagai kuli gendong memperhatikan masa depan anaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dengan menyekolahkan anak-anak mereka. Selain sebagai orang tua, mereka juga
memilki kewajiban memenuhi kebutuhan dasar keluarga, berinteraksi terhadap
lingkungan soaial masyarakat daerah rasal, dan tentunya menjalin hubungan baik
dengan sesama kuli gendong, kordinator SPTI, petugas pasar, pedagang, dan
pembeli di pasar Legi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan salah satu unsur yang penting dalam
melakukan suatu penelitian. Menurut H.B.Sutopo (2002: 5), “Metode penelitian
merupakan bentuk dan strategi penelitian yang digunakan untuk memahami
berbagai aspek penelitian atau pendekatan yang digunakan dalam melaksanakan
aktifitas penelitian”.
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian mengenai kuli gendong yang dilihat dari aspek informal ini
dilakukan di pasar Legi yang berada di jalan S. Parman No. 23 Kelurahan
Stabelaan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Lokasi ini dipilih karena di
pasar ini terdapat kuli gendong dalam jumlah yang banyak, baik laki-laki maupun
perempuan. Selain itu lokasi ini dipilih karena tidak terlalu jauh dengan domisili
peneliti sehingga dirasa mudah dijangkau dan lebih cepat dalam proses
pengambilan data. Proses ricek dapat dilakukan dengan cepat dan mudah,
sehingga validitas data dapat dicapai.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu lima bulan, mulai dari bulan
Pebruari sampai dengan bulan Juli 2011.
Tabel Waktu Penelitian
N
o
Kegiatan Bulan
Peb’11 Mar’11 Apr’11 Mei’11 Jun’11 Jul’11
1. Penyusunan proposal
2. Perijinan
3. Pengumpulan data
4. Analisis data
5. Penyusunan laporan
Tabel.1. Waktu Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Dalam penelitian ilmiah, metode penelitian dapat dibedakan menjadi
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang
dikutip Lexy J. Moleong (2007: 4), ”Metode kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
Sedangkan menurut Kirk dan Miller yang dikutip Lexy J. Moleong
(2007: 4), “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik
dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya”. Denzin dan Lincoln yang
dikutip Lexy J. Moleong (2007: 5), menyatakan bahwa “Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode
yang ada”.
Dalam penelitian kualitatif, terdapat tiga macam strategi pendekatan,
yaitu eksplanatif, eksploratif dan deskriptif. Penelitian eksploratif bertujuan untuk
menemukan hal-hal baru, sedangkan penelitian eksplanatif bertujuan menjelaskan
suatu pegangan atau patokan untuk pembuktian suatu pendapat, dan penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan data
dengan kata atau uraian dan penjelasan.
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif eksplanatif. Jenis
penelitian ini akan mampu menjelaskan secara rinci dan mendalam mengenai
kejadian atau potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi, apa adanya di
lapangan studinya, menjelaskan fakta-fakta yang tampak dilapangan studinya.
2. Strategi Penelitian
Menurut H.B.Sutopo (2002: 112), ”Strategi penelitian digunakan untuk
mengumpulkan dan menganalisis data sehingga dapat menjelaskan bagaimana
tujuan penelitian akan dicapai dan bagaimana masalah akan dikaji dan dipecahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
untuk dipahami”. Sedangkan menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi
Mudzakir (2006: 1), “Strategi penelitian kualitatif dibagi menjadi lima, yaitu:
Metode studi kasus, metode eksperimen, metode survei, metode historis dan
metode analisis informasi dokumenter”.
Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
studi kasus. Menurut Robert K.Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 18),
”Studi kasus merupakan suatu cara penelitian terhadap masalah empiris dengan
mengikuti rangkaian prosedur yang telah dispesifikasikan sebelumnya”. Studi
kasus menyelidiki fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata,
dengan ketentuan batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan
tegas dan memanfaatkan multisumber bukti.
Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok dengan
pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana atau mengapa
dan peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa
yang akan diselidiki dan fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer
(masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Menurut Robert K. Yin terjemahan
M. Djauzi Mudzakir (2006: 28), menjelaskan mengenai desain penelitian;
”Desain penelitian adalah suatu rencana yang membimbing peneliti
dalam proses pengumpulan, analisis dan intepretasi observasi. Ia
merupakan suatu model pembuktian logis yang memungkinkan peneliti
untuk mengambil inferensi mengenai hubungan kausal antarvariabel di
dalam suatu penelitian. Desain penelitian juga menentukan ranah
kemungkinan generalisasi terhadap situasi-situasi yang berbeda”.
Desain penelitian studi kasus dibedakan menjadi dua macam menurut Robert K.
Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 28), yaitu:
a) Desain kasus tunggal
Kasus-kasus tunggal merupakan desain umum bagi
penyelenggaraan studi kasus. Syarat penyelenggaraan studi kasus
tunggal adalah kasus tersebut mengetengahkan suatu uji penting
mengenai teori yang ada; merupakan peristiwa yang langka / unik
dan berkaitan dengan tujuan penyingkapan.
Tahap penting dalam pendesainan dan penyelenggaraan
kasus tunggal adalah menentukan unit analisis. Terdapat beberapa
keterkaitan dengan sub – subunit analisisnya, agar desain yang lebih
kompleks atau terpancang, dapat berkembang. Subunit seringkali
dapat menambah peluang-peluang signifikansi bagi analisis yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
lebih luas, yang mengembangkan bagian-bagian kasus tunggal yang
bersangkutan.
b) Desain multikasus
Menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir
(2006) menyatakan bahwa penggunaan desain multikasus mengikuti
logica replica, bukan replika sampling dan pemilihan kasus harus
hati-hati. Kasus-kasus tersebut harus memiliki hasil yang sama
(replika literal) atau hasil yang bertentangan (replika teoritis) dengan
yang diprediksikan secara eksplisit pada awal penelitiannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini termasuk penelitian
kualitatif eksplanatif dengan menggunakan metode penelitian studi kasus
tunggal. Menurut H.B.Sutopo (2002: 112), “penelitian studi kasus tunggal
terarah pada satu karakteristik karena hanya dilakukan pada satu sasaran (satu
lokasi atau satu subjek)”. Permasalahan atau fokus penelitian sudah
ditentukan sebelum peneliti menggali permasalahan di lapangan. Dalam
penelitian ini, permasalahan sudah terfokus pada kuli gendong sebagai
kegiatan sektor informal di pasar Legi Kota Surakarta.
C. Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland yang dikutip Lexy J. Moleong (2007: 157)
”Sumber data utama dalam peneltian kualitatif adalah kata-kata, tindakan
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Sedangkan
menurut HB.Sutopo (2002 : 49) bahwa ” Sumber data kualitatif dapat berupa
manusia, tingkah laku, dokumen dan arsip serta berbagai benda lain”. Karena data
kulaitatif merupakan data yang abstrak, dimana yang digali adalah apa yang ada
dalam alam pikiran manusia, yang terwujud pula dalam tingkah laku dan
didukung oleh lingkungan sekitar maka perlu beberapa sumber bukti yang dapat
dijadikan fokus pengumpulan data.
Menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 103-
118), enam sumber bukti yang dapat dijadikan fokus bagi pengumpulan
data studi kasus adalah:
1. Dokumentasi
2. Rekaman arsip
3. Hasil wawancara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
4. Observasi langsung
5. Observasi partisipan
6. Perangkat fisik
Dari berbagai sumber data tersebut beragam informasi dapat digali untuk
menjawab dan memahami masalah yang telah dirumuskan. Adapun sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan informan
atau narasumber, observasi langsung tempat dan permasalahan.
1. Informan
Lexy J.Moleong (2007: 132), menyatakan bahwa ”Informan adalah orang
yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar
penelitian”. Seorang informan dapat memberikan pandangan tentang objek
penelitian. Menurut H.B.Sutopo (2002: 50), “Informan adalah individu yang
mempunyai beragam posisi dan memiliki akses informasi yang sesuai dengan
kebutuhan peneliti”. Posisi yang beragam tersebut menyebabkan perbedaan
kelengkapan informasi yang dimiliki dan diperoleh.
Dengan sumber informan ini, peneliti akan memperoleh informasi yang
berupa pernyataan, kata-kata, pendapat atau pandangan mengenai objek
penelitian. Dari sekian banyak pengurus dan anggota SPTI di pasar Legi, peneliti
akan mengambil seorang yang mengetahui secara keseluruhan tentang kuli
gendong pasar Legi (key informan) yaitu Ketua SPTI Cabang Unit pasar Legi,
kemudian berlanjut ke anggota SPTI yatu para kuli gendong secara langsung, dan
pihak-pihak yang akan ditemui pada siklus alur pemilihan informan. Hal tersebut
dipilih karena dari informan-informan tersebut akan mewakili populasi kuli
panggul di Pasar Legi.
2. Tempat dan Permasalahan
Tempat dan peristiwa dapat dimanfaatkan oleh peneliti sebagai salah satu
sumber data. Peristiwa atau aktifitas dapat digali secara cermat dari kondisi suatu
lokasi untuk mengkaji dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian, baik berupa peristiwa atau perilaku yang terjadi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
berkaitan dengan sikap dan pandangan seseorang. Tempat dan peristiwa ini terdiri
dari lingkungan tempat tinggal penduduk dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-
kejadian yang menunjukkan adanya sutau kondisi atau situasi objek penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil tempat atau lokasi penelitian di pasar
Legi, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta dan permasalahan yang diteliti adalah
moral ekonomi kuli gendong pasar Legi.
D. Teknik Cuplikan
Menurut H.B.Sutopo (2002: 55), “Teknik cuplikan merupakan suatu
bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang
mengarah pada seleksi”. Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik purposive dengan teknik snowball. Dalam purposive, peneliti
memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahan secara
mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Menurut
Basuki Haryono (2008: 31) menyatakan bahwa, “ teknik purposive dipandang
lebih mampu mengangkat kelengkapan dan kedalaman data dalam melengkapi
realitas yang tidak tunggal.”
Menurut Patton yang dikutip H.B.Sutopo (2002: 56), “Dalam pelaksanaan
pengumpulan data, pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan
dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data”. Dengan kata lain, metode
pengambilan cuplikan yang digunakan adalah teknik informasi kunci (key
informan) yaitu peneliti mengambil orang-orang kunci untuk dijadikan sebagai
sumber data.
Teknik purposive dalam penelitian ini adalah peneliti tidak menjadikan
semua orang sebagai informan, tetapi peneliti memilih informan yang dipandang
mengerti dan cukup memahami tentang objek penelitian serta orang-orang yang
dapat diajak bekerja sama seperti orang yang bersikap terbuka dalam menjawab
semua pertanyaan yang diajukan peneliti. Dalam hal ini, sebagai informan kunci
adalah ketua paguyupan Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) wilayah Pasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Legi. Karena ketua paguyupan SPTI adalah orang yang paling tahu kondisi dan
berbagai hal mengenai kuli panggul yang ada di Pasar Legi Kota Surakarta.
Penelitian ini menggunakan juga menggunakan teknik cuplikan snowball,
karena setelah mendapatkan data dari key informan data akan dicari dengan
petunjuk atau arahan dari key informan atau informan 1 untuk menanyakan hal-hal
yang lebih diketahui pihak lain, yaitu, imforman1, informan 2, informan 3,
informan 4, dan seterusnya sehingga data jenuh.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi dilakukan untuk menggali data atau informasi dari sumber data
yang brupa tempat atau lokasi, peristiwa, benda dan rekaman gambar baik
langsumng maupun tidak langsung.
Menurut Spradley yang dikutip H.B.Sutopo (2002: 65), “Observasi dapat
dibagi menjadi observasi tak berperan dan observasi berperan yang
terdiri dari berperan pasif, berperan aktif dan berperan penuh”.
a) Observasi tak berperan
Kehadiran peneltii dalam observasi ini tidak diketahui oleh subjek
yang diteliti. Observasi ini dapat dilakukan dengan jarak jauh untuk
mengamati perilaku seseorang atau sekelompok orang di suatu lokasi
tertentu dengan memilih tempat khusus yang berada dilokasi tetapi
di luar perhatian kelompok yang diamati.
b) Observasi berperan
Observasi ini dilakukan dengan mendatangi suatu lokasi atau
peristiwa sehingga kehadirannya diketahui oleh pihak yang diamati.
1) Observasi berperan pasif
Observasi dapat dilakukan secara langsung dengan mengadakan
pencatatan secara sistematis tentang keadaan yang sebenarnya
dari objek yang diteliti.
2) Observasi berperan aktif
Peneliti memainkan berbagai peran yang memungkinkan berada
dalam situasi yang berkaitan dengan penelitiannya. Peneliti
tidak hanya berperan dalam bentuk dialog yang mengarah pada
pendalaman dan kelengkapan data, juga dapat mengarahkan
peristiwa yang sedang dipelajari demi kemantapan data.
3) Observasi berperan penuh
Peneliti memiliki peran dalam lokasi studinya sehingga benar-
benar terlibat dalam suatu kegiatan yang ditelitinya dan peran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
peneliti tiak bersifat sementara sehingga peneliti tidak hanya
mengamati, tetapi bisa berbuat sesuatu, berbicara dan
sebagainya.
Dari pendapat tersebut, penelitian ini peneliti menggunakan teknik
observasi berperan pasif. Peneliti datang ke lokasi penelitian yaitu di Pasar Legi,
Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta untuk melihat dan mengamati situasi dan
kondisi yang ada untuk mendapatkan kebenaran dan melihat kenyataan yang
terjadi.
2. Wawancara mendalam (Indepth Interview)
Menurut H.B.Sutopo (2002: 58-59), “Secara umum, teknik wawancara
dibedakan menjadi teknik wawancara terstruktur dan wawancara yang tidak
terstruktur yang disebut wawancara mendalam”. Wawancara terstruktur
merupakan jenis wawancara yan terfokus dan pertanyaannya telah disiapkan oleh
peneliti secara pasti. Menurut Patton yang dikutip H.B.Sutopo (2002: 184),
“Wawancara mendalam adalah wawancara yang bersifat lentur dan terbuka, tidak
berstruktur ketat, tidak dalam suasana formal dan dapat dilakukan berulang kali”.
Menurut H. B. Sutopo (2002: 59), “Wawancara dalam penelitian
kualitatif pada umumnya dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang
open-ended dan mengarah pada kedalaman informasi, dilakukan dengan
cara yang tidak secara formal, terstruktur, untuk menggali pandangan
subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk
menjadi dasar bagi penggalian informasinya secara lebih jauh dan
mendalam”.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam karena dalam wawancara ini pertanyaan yang diajukan dapat semakin
rinci dan mendalam serta dapat mengorek kejujuran informan untuk mendapatkan
informasi yang sebenarnya. Dari sekian banyak pengurus dan anggota SPTI di
pasar Legi, peneliti akan mengambil seorang yang mengetahui secara keseluruhan
tentang kuli gendong pasar Legi (key informan) yaitu Ketua SPTI Cabang Unit
pasar Legi, kemudian berlanjut ke anggota SPTI yatu para kuli gendong secara
langsung, dan pihak-pihak yang akan ditemui pada siklus alur pemilihan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
informan. Hal tersebut dipilih karena dari informan-informan tersebut akan
mewakili populasi kuli panggul di Pasar Legi.
F. Validitas Data
Data yang telah dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian ini
harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya untuk menjamin dan
mengembangkan kesahihan data. Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa
cara untuk pengembangan validitas data penelitian, antara lain teknik trianggulasi.
Menurut Lexy J.Moleong (2007: 330), “Trianggulasi merupakan teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, di luar data
itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”.
Sedangkan menurut Patton yang dikutip H.B Sutopo (2002:78), menyatakan
bahwa “Ada 4 macam teknik trianggulasi yaitu: (1) trianggulasi data (data
triangulation), (2) trianggulasi peneliti (investigator triangulation), (3) trianggulasi
metodologi (methodological triangulation) dan (4) trianggulasi teoretis
(theoretical triangulation).
Trianggulasi data juga disebut tringgulasi sumber. Trianggulasi data ini
digunakan untuk memperoleh data yang sejenis dari sember data yang berbeda-
beda. Trianggulasi metodologi dilakukan dengan menggunakan metode atau
teknik pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan data yang sama atau
sejenis. Trianggulasi peneliti merupakan hasil penelitian data atau simpulan
mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya dapat diuji validitasnya dari
beberapa peneliti. Trianggulasi teori yaitu dalam membahas permasalahan yang
dikaji peneliti menguraikan perspektif dari beberapa teori.
Adapun validitas data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
trianggulasi data dan trianggulasi metodologi. Dengan trianggulasi data peneliti
memperoleh data dari narasumber yang berbeda-beda posisinya dengan teknik
wawancara mendalam sehingga informasi dari nara sumber yang satu dapat
dibandingkan dengan informasi dari nara sumber yang lain. Trianggulasi ini juga
diterapkan dengan cara menggali informasi dari hasil pengamatan dan dari sumber
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
yang berupa catatan atau arsip dan dokumen yang memuat catatan yang berkaitan
dengan data yang dimaksudkan peneliti.
Trianggulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode atau teknik
pengumpulan data yang berbeda untukk mendapatkan data yang sama atau sejenis
yaitu dengan teknik pengamatan langsung (observasi), teknik wawancara
mendalam (in-dept interview) dan teknik analisis dokumen.
G. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data
model interaktif yang memiliki tiga komponen, yaitu pemilihan data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan. Untuk lebih jelasnya masing-masing tahap
(termasuk proses pengumpulan data) dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Pengumpulan data
Data yang di dapat berwujud kata-kata yang dikumpulkan dalam aneka
cara yaitu observasi, wawancara mendalam serta data dokumentasi, kemudian
data yang diperoleh melalui pencatatan di lapangan dianalisa melalui tiga jalur
kegiatan yaitu pemilihan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data-
data tersebut diperoleh dari wawancara para informan selaku kuli panggul di Pasar
Legi Surakarta.
2. Pemilihan data atau reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul catatan-
catatan tertulis di lapangan (field note). Pemilihan data sudah dimulai sejak
peneliti mengambil keputusan dan menyatakan bahwa tentang kerangka kerja
konseptual, tentang pemilihan kasus, pertanyaan yang diajukan dan tentang tata
cara pengumpulan data yang dipakai pada saat pengumpulan data berlangsung.
Pemilihan data berlangsung terus-menerus selama penelitian kualitatif
berlangsung dan merupakan bagian dari analisis. Reduksi data dilakukan agar
data-data yang diperoleh dapat sejalan dengan masalah yang akan penulis sajikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Sehingga akan terjadi pengurangan data yang tidak sesuai dengan permasalahan
yang akan diteliti.
3. Penyajian Data
Penyajian data meliputi berbagai jenis gambar atau skema, jaringan kerja,
keberkaitan kegiatan dan tabel yang dapat membantu satu per satu informasi yang
memungkinkan kesimpulan dapat dilakukan. Hal ini merupakan kegiatan yang
dirancang untuk menyusun secara sistematik agar mudah dilihat dan dimenerti
sebagai informasi yang lengkap dan saling mendukung.
4. Penarikan Kesimpulan
Merupakan proses konklusi yang terjadi selama pengumpulan data dari
awal sampai proses pengumpulan data selesai. Untuk lebih jelasnya, proses
analisis interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Gambar.3. Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2002: 96)
Pengumpulan
data
Penyajian data
Penarikan
kesimpulan
Reduksi
data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan suatu proses tahapan/langkah-langkah
penelitian yang dimulai dari persiapan sampai dengan pembuatan laporan.
1. Persiapan
a. Mengajukan judul penelitian kepada pembimbing
b. Mengumpulkan bahan atau sumber materi penelitian
c. Menyusun proposal penelitian
d. Menyiapkan instrument penelitian atau alat observasi.
2. Pengumpulan Data (Observasi)
a. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi langsung, wawancara
mendalam dan analisis dokumen.
b. Membuat field note.
c. Memilih dan mengatur data sesuai kebutuhan.
3. Analisis Data
a. Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai dengan proposal penelitian.
b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di- recheck-kan
dengan temuan di lapangan.
c. Melakukan verifikasi, pengayaan dan pendalaman data.
d. Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
4. Penyusunan Laporan Penelitian
a. Penyusunan laporan awal.
b. Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan
orang yang memahami penelitian tersebut.
c. Melakukan perbaikan laporan dan disusun sebagai laporan akhir.
d. Perbanyakan laporan sesuai dengan kebutuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Pasar Legi
a) Sejarah Perkembangan Pasar Legi
Pasar Legi didirikan pada masa pemerintahan Mangkunegoro I
(Pangeran Samber Nyawa). Berdasarkan foto-foto yang terpajang di dinding
kantor pasar Legi dapat dilihat perjalananan sejarah pasar Legi. Pasar yang
menghadap ke arah barat ini pada tahun 1930 masih berupa pasar yang masih
sangat tradisional dimana para pedagang membuka dasaran di tanah terbuka
atau dengan kata lain masih terdiri dari para pedagang oprokan, yaitu
pedagang yang menggelar dagangannya diatas alas gelaran atau lesehan.
Dibawah pengelolaan Mangkunegaran I, pada tahun 1935 berdiri
sebuah bangunan pasar permanen tersusun dari tembok berwarna putih yang
bila dilihat dari samping mirip sebuah benteng. Mulai saat itu pasar ini mulai
terus berkembang. Namun pasar Legi baru mengalami pemugaran pada tahun
1992 oleh pemerintah kota Surakarta, sehingga menjadi wujud pasar Legi
dengan 2 lantai seperti sekarang. Pasar Legi kemudian dibagi menjadi 6 blok,
terdiri dari 146 kios, 1016 los, dan 570 pedagang oprokan (gelaran atau
lesehan).
b) Letak Geografis Pasar Legi
Pasar Legi terletak di jalan S. Parman No. 23 Kelurahan Stabelaan
Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Pasar Legi mempunyai luas
wilayahnya sekitar 16.640 𝑚2. Wilayah pasar Legi dibatasi oleh perempatan
Gilingan di sebelah utara, samping barat kantor penyiaran Radio Republik
Indonesia (RRI) Cabang Surakarta, sebelah selatan keraton Mangkunegaran,
dan sebelah timur dibatasi oleh monumen Juang 45 atau monumen Banjarsari
dan kompleks pertokoan Widuran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Gambar 4. Keadaan pasar legi nampak depan samping
c) Pasar Legi merupakan pusat perdagangan hasil bumi
Pasar Legi merupakan sebuah pasar yang merupakan pusat
perdagangan hasil bumi, Laboratorium UCYD FISIP UNS menyebutkan
bahwa pasar Legi merupakan pusat perdagangan hasil bumi terbesar di Jawa
Tengah. Dengan omzet 10 milyar/hari, bahkan hingga 15 milyar lebih pada
hari-hari tertentu. Pasar Legi merupakan salah satu penopang utama
perekonomian kota Surakarta saat ini dipandang dari sirkulasi uang yang
beredar di pasar.
Meskipun dikenal sebagai pasar hasil bumi, namun kita bisa
menemui beberapa pedagang pakaian dan kelontong, juga barang-barang
hasil pabrik yang berhubungan dengan bumbu, seperti gula, vetsin, dan lain-
lain. Pasar Legi juga merupakan tempat transit bagi pasar-pasar lain seperti
pasar Gedhe. Perbedaannya jika di pasar Legi buah-buahan dan sayuran
belum disortir, sedangkan di pasar Gedhe sudah disortir berdasarkan kualitas
sehingga harganya lebih mahal dari pasar Legi.
Hasil bumi yang dijual di pasar Legi tidak hanya berasal dari daerah
sekitar Solo saja seperti Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.
Namun juga berasal dari berbagai daerah lain di luar karesidenan Surakarta.
Seperti ikan dari Banjarmasin, Bagansiapi-api dan Nusa Tenggara, sayur dari
Kopeng Salatiga dan Dieng, garam dari Madura, Jeruk dari Bali, dan lain-
lain. Di pasar Legi sebagian pedagang menjual dagangannya dalam partai
besar kepada pedagang untuk kulakan, namun kita masih dilayani oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
beberapa pedagang yang menjual dagangannya secara eceran. Untuk
mendapatkan barang yang murah kita harus pandai-pandai menawar sebelum
membeli, seperti halnya proses jual beli di pasar-pasar lain di wilayah
Surakarta baik kota maupun karesidenan.
d) Pasar Legi merupakan “pasar yang tak pernah tidur”
Pasar Legi mulai dibuka dan beroperasi dari pukul 06.00 WIB
sampai pukul 18.00 WIB atau selama 12 jam, namun dalam kenyataannya
pasar ini tidak pernah tidur, maksudnya adalah pasar ini tetap beroperasi
selama 24 jam. Terdapat rutinitas rutinitas unik disini, setiap sore sekitar
pukul 15.00 WIB ketika pasar didalam bangunan utama sudah mulai
berbenah untuk kukut (tutup), berdatangan para pedagang malam yang
membuka dasaran di bagain luar bangunan utama, ada yang memang khusus
pedagang malam ada juga yang siang hari berdagang di dalam bangunan dan
malam hari berdagang di bagian luar bangunan membawa dagangannya ke
luar dan berdagang sampai pagi. Hal ini mengakibatkan padagang yang ada
dibagian dalam bangunan pada malam hari hanya tinggal beberapa saja.
Inilah yang menyebabkan mengapa pasar Legi ini tidak pernah tidur. Dengan
omset yang disebutkan di depan (minimal 10 milyar rupiah per hari) maka
tidak mengherankan apabila terdapat banyak sekali bank-bank yang
beroperasi di sekitar bangunan utama pasar Legi, seperti; BII, BRI, BCA,
Bank Bali, Maspion, Bank Buana, Bank CIMB Niaga, Bank Mayapada, Bank
NISP, Lippobank, Bank Bukopin, dan beberapa BPR.
e) Keaparatan Pasar
Untuk keaparatan sendiri di kantor pasar terdapat 24 orang yang
bertugas di pasar Legi, terdiri dari 16 orang laki-laki dan 8 orang perempuan.
Dari 24 orang tersebut baru 9 orang yang diangkat sebagai pegawai negeri
sipil dan kesemuanya adalah laki-laki. Yang memprihatinkan, 7 orang dari
PNS tersebut berpendidikan SD, sedangkan 1 orang lulusan STM, dan yang 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
lagi berpendidikan Sarjana hukum, yaitu kepala pasar Legi. Para PNS rata-
rata sudah lebih dari 40 tahun.
f) Paguyuban di Pasar Legi
Kompleknya ragam kehidupan di Pasar Legi juga sedikit banyak
menandakan adanya berbagai masalah yang timbul sebagai gejala normal
dalam setiap interaksi sosial. Pasar Legi selain memilki aktifitas perdagangan,
juga memiliki aktifitas komunitas sesama profesi atau sejenis. Yang berwujud
paguyuban-paguyuban. Paguyuban tersebut antara lain yaitu SPTI (Serikat
Pekerja Transport Indonesia) yang berperan dalam menjembatani komunikasi
kuli gendong, kemudian ada IKAPPAGI (Ikatan Keluarga Pedagang Pasar
Legi) yang berperan dalam menjembatani komunikasi pedagang, SATIB
(Satuan Ketertiban) sebagai satuan keamanan pasar, selain itu paguyuban lain
seperti di kalangan para pengemudi becak terdapat Paguyuban Pengemudi
Becak Solo (PPBS) unit Pasar Legi, paguyuban umat muslim KAMUS
(Keluarga Muslim), serta paguyuban rohani lainnya.
2. Gambaran Umum Kuli Gendong di Pasar Legi
Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang
dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya.
Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di
pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa
yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli
gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula
yang memanggul barang - barang dagangan pedagang atau pembelian oleh
pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah
- rempah, dan sebagainya. Hal ini terjadi setiap hari di pasar Legi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
..
Gambar 5. Seorang kuli gendong sedang bekerja
Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya
kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu
untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan
harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal
sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain.
Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya,
mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi
bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk
menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau
paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam
Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda
Anggota (KTA) SPTI sehingga dapat bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi.
Gambar 6. Kartu Tanda Anggota (KTA) SPTI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
3. Gambaran Umum Serikat Pekerja Transport (SPTI)
Unit Pasar Legi
Dari banyaknya kuli gendong yang bekerja di pasar Legi, maka
dibentuklah semacam paguyuban yang mewadahi dan menaungi kuli-kuli
gendong yaitu dengan terbentuknya Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI)
yang mengkoordinasi kuli-kuli gendong tersebut. SPTI tidak hanya ada di pasar
Legi, namun setiap pasar besar atau pasar di kota-kota besar di Indonesia hampir
semuanya terdapat SPTI. Paguyuban ini beranggotakan kuli-kuli gendong yang
bekerja dalam satu lingkup wilayah, yakni pasar Legi, misal di pasar Gedhe dan
pasar Klewer juga ada SPTI dan sekretariat atau kantornya masing-masing
Gambar 7. Kantor SPTI Unit Pasar Legi
a) Sekretariat SPTI unit Pasar Legi
Untuk di pasar Legi, kantor atau sekretariat SPTI berada di lantai
atas bangunan baru bagian selatan, tepat di pojok tenggara bangunan terdapat
satu ruang yang digunakan sebagai kantor SPTI, berhimpitan samping barat
dengan kantor salah satu BPR yang ada di pasar Legi, samping timur kantor
adalah mushola, dan bagian dengannya adalah los pedagang rempah-rempah
dan pedagang makanan, yang menyediakan hidangan-hidangan kuli gendong,
Pekerjaan sebagai kuli gendong merupakan kegiatan sektor
informal, yang terkoordinasi. Koordinasi yang dimaksud meliputi
pembagaian wilayah maupun lokasi kerja di pasar, penyediaan Kartu Tanda
Anggota (KTA) kuli gendong pasar Legi, penyediaan kaos atribut bagi kuli
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
gendong yang tertera nama dan bagian wilayah kerja masing-masing, dan
melakukan penarikan iuran kepada tiap kuli gendong perbulan.
Paguyuban yang dipimpin oleh seorang ketua, yaitu Pak Wagiman
dan dibantu oleh seorang sekretaris Pak Suratmin ini berperan menjembatani
komunikasi antara kuli gendong dengan ketua kelompok (mandor), Dewan
Pimpinan Cabang (DPC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Dinas Pasar,
serta membina rasa kebersamaan dan kekeluargaan sesama kuli gendong.
b) Pembagian Kelompok Kerja Kuli Gendong SPTI Pasar Legi
Dalam SPTI wilayah kerja dibagi menjadi 18 kelompok, masing-
masing kelompok dipimpin oleh ketua kelompok. Pembagian wilayah kerja
tersebut berdasarkan langganan masing-masing yang masih dalam lingkup
pasar. Setiap ketua kelompok wajib dan bertanggungjawab atas anggota
dibawahnya.
c) Pengurus SPTI Pasar Legi
SPTI Pasar Legi Surakarta baru saja melakukan pemilihan pengurus
yang baru. Pemilihan dilakukan setiap 3 tahun sekali dengan melalui
pemungutan suara (demokrasi). Adapun orang yang berhak memilih adalah
perwakilan dari masing-masing 18 kelompok dan perwakilan dari DPC yang
berkantor di Pasar Gedhe. Jumlah peserta yang memenuhi syarat untuk
melakukan pemungutan suara adalah jika telah mencapai 70-80 orang.
Berikut ini adalah susunan kepengurusan SPTI yang baru periode 2010-2013.
Ketua : Wagiman
Wakil Ketua : Margono
Sekretaris : 1. Suratmin Wito Suseno
2. Budi Waluyo
Bendahara : 1. Warjito
2. Giyono
Humas : 1. Kardi
2. Ngadimin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
B. Deskripsi Hasil Penelitian
Pada deskripsi hasil penelitian ini merupakan gambaran yang didasarkan
pada penemuan data yang dikaitkan pada rumusan masalah penelitian yaitu
alasan atau latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi
dipilih sebagai salah satu mata pencaharian bagi masyarakat, bagaimana eksistensi
kuli gendong sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI, serta
bagaimana pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong
pasar Legi. Terdapat 8 informan yang bersedia diwawancarai untuk memberikan
gambaran yaitu 2 orang pengurus SPTI Pak Wagiman, Pak Suratmin, dan 6 orang
kuli gendong yaitu Bu Ngatiyah, Pak Rohamdi, Pak Warsono, Bu Sukinah, Bu
Saminem, dan Bu Situm. Dari jawaban informan-informan tersebut diharapkan
dapat memberikan gambaran tentang persoalan yang diangkat dalam penelitian.
Sistem perekonomian yang diharapkan dapat membawa perkembangan
kehidupan yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan para masyarakat. Sistem
perekonomian yang diharapkan berpihak pada rakyat justru terkadang tidak
berpihak pada rakyat kecil. Dalam hal ini adalah masyarakat lapisan bawah
terutama para pedagang, petani, dan kuli. Harga-harga kebutuhan pokok yang
semakin lama semakin tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat terutama rakyat
kecil. Mulai dari harga sembako yang melonjak, BBM, listrik, biaya pendidikan,
biaya kesehatan, dan lain sebagainya. Belum lagi biaya air PDAM pun tak luput
dari kenaikan tarif bagi masyarakat perkotaan.
Manusia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan-
kebutuhan hidup, usaha dan upaya manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup
memiliki kaitan dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan
bekerja sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan. Begitu pula dengan apa
yang terjadi di pasar Legi kota Surakarta, berbagai upaya dan usaha untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka membuka usaha dagang baik pedagang besar
maupun oprokan, jasa angkut kendaraan (motor, mobil, truk), ada yang menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
berupaya menjadi penarik becak, dan bahkan memilih bekerja menjadi kuli
gendong.
Mereka rela pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka
miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor
formal akhirnya mereka memilih bekerja sebagai kuli gendong. Meskipun sedikit
perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala
kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli
gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan
sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam organisasi Serikat Pekerja
Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang Pasar Legi dan tertib dalam membayar
iuran perbulan dan bahkan bagi kuli gendong yang laki-laki membeli keanggotaan
kuli gendong yang akan berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah.
Kegiatan kuli gendong di pasar Legi dapat dikatakan sebagai kegiatan
dalam sektor informal, karena kegiatan kuli gendong memenuhi ciri-ciri; 1) bahwa
kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak terorganisir secara baik,
karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan
yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan
mengkoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh
para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat
yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari
ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin
usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan bersifat “bebas namun terbatas”, maksudnya
siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong menggantikan kuli gendong yang
akan keluar atau berhenti. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam
arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang
disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta
memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk
membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang
terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut
keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa menggunakan teknologi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan selendang dan kekuatan
badannya untuk mengangkat dan memindahkan barang-barang di pasar. 6) Jika
dilihat dari segi permodalan, tidak mempergunakan modal finansial yang besar
bagi kuli gendong, cukup membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran
kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli
keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk
menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang
dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan.
1. Latar Belakang Orang-orang Menjadi Kuli Gendong
Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya
kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu
untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan
harapan memperbaiki tingkat kehidupan lebih baik. Hidup di pasar yang jauh dari
keluarga yang dicintai, dan mau tak mau tidur di kontrakan atau los pasar yang
ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat tinggal tidak begitu jauh merupakan
pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul. Hal ini merupakan dampak lain dari
bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi dihadapkan dengan perekonomian
sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras dalam mencari penghasilan. Bila kita
melihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan tenaga kerja yang
diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja berpendidikan, memililki
keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga batasan umur bagi pelamar
pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan oleh instansi atau perusahaan
yang membuka lapangan pekerjaan.
Syarat-syarat demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang
yang telah bekerja sebagai kuli gendong untuk berusaha mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik dan penghasilan rutin dan dapat mencukupi kebutuhan pokok.
a) Ketidakberdayaan kuli gendong
1) Rendahnya pendidikan pendidikan yang “dikenyam”
Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini
dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat
bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang
menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh
berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas,
pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Mayoritas pekerja kuli gendong
ini tidak pernah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan
menengah atas hanya lulus SMP dan bahkan yang berasal dari desa-desa
tidak pernah bersekolah dengan latar belakang ekonomi lemah tidak
mampu untuk bersekolah pada waktu mereka masih muda. Hal ini
diungkapkan pula oleh Bu Saminem,
“kagem maem saben dinten mawon sampun Alhamdulillah Mas,
jaman riyin uripe rekoso. Moboten gadah kepinginan kagem
sekolah” (untuk makan setiap hari saja sudah Alhamdulillah
Mas, jaman dulu hidup susah. Tidak punya keinginan untuk
sekolah). (W/Saminem/21/7/2011)
Dari latar belakang inilah yang menjadikan orang-orang
memilih untuk mencari pekerjaan yang sekiranya tidak memerlukan
syarat-syarat pendidikan, pekerjaan yang bebas dan yang jelas halal.
Tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli
gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk
menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran
untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau
pembeli di pasar Legi.
2) Minimnya keterampilan yang dimiliki
Selain rendahnya pendidikan yang didapat oleh para kuli
gendong di waktu muda, minimnya keterampilan yang dimiliki juga
semakin mendorong untuk menjadi kuli gendong. Hal ini juga dinyatakan
oleh Pak Rohmadi,
“Lha ajeng pripun mas, sagede geh nayambut damel ngoten
niku, mboten gadah ketrampilan. Paling-paling menawi prei
ngoten ten griyo dados tani. Sekedik-sekedik geh gadah sabin
lha urip ten dusun mas” (Lha mau bagaimana lagi mas, bisanya
juga bekerja demikian, tidak mempunyai keterampilan. Paling-
paling kalau di rumah jadi petani. Meskipun sedikit juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
memiliki sawah berhubung hidup di desa). (W/Rohmadi/20/
7/2011)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan kuli gendong yang lain,
yang menyatakan tidak memiliki keterampilan. Dan jika tidak bekerja
menjadi kuli gendong di pasar Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah
tangga, menganggur, atau menjadi buruh tani saja karena tidak memiliki
sawah sendiri. Berbeda bagi mereka yang memiliki sawah sendiri, paling
tidak ada yang diharapkan sebagai penghasilan.
b) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal)
Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di luar kota
Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari masing-masing
melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum begitu banyak jenis usaha
yang berdiri disana, apalagi untuk sektor formal yang berdiri. Dan jika
adapun, membutuhkan karyawan yang berpendidikan serta berketerampilan
ditambah lagi sekarang dibutuhkan yang berpengalaman.
Jika hanya mengandalkan sektor pertanian, tidak semua angkatan
kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak semua memiliki sawah, paling-
paling juga menjadi buruh tani, seperti yang diungkapkan Bu Saminem,
”Lha menawi mboten buruh geh mboten saged nyambut damel, lha
mboten gadah sabin kok Mas” (Kalau tidak jadi buruh tani ya tidak
bisa bekerja, karena tidak memiliki sawah sendiri).
(W/Saminem/21/7/2011)
Ketiadaan atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa
penduduk desa untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari pekerjaan. Jiksa
terus berada di rumah sulit mendapatkan penghasilan, mengingat di daerah
asal para kuli gendong mayoritas penduduknya bertani. Dan jika tidak musim
tandur (tanam) dan panen maka tidak ada penghasilan bagi buruh tani.
c) Fasilitas transportasi yang mendukung akses ke kota
Kemjuan dan pembanguan di daerah yang lambat laun semakin
berkembang, selain pembanguan jalan di daerah-daerah baik dari pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
maupun swadaya masyarakat sendiri juga bermanfaat bagi masyarakat itu
sendiri. Dengan dibukanya jalan-jalan, akses transportasi bisa masuk ke
daerah-daerah bahkan di daerah terpencil pun. Hal ini mendorong pengadaan
alat transportasi yang memperlancar aktifitas masyarakat. Adanya fasilitas
sarana transportasi yang mempermudah akses mobilitas dan migrasi. Hal ini
dimanfaatkan oleh masyarakat yang di daerah asal tidak memiliki pekerjaan
untuk menuju ke daerah lain demi mencari sebuah pekerjaan atau pengasilan
yang lebih baik.
Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari
desa ke kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi umum
yang murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk desa
untuk pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke pasar Legi
menjadi kuli gendong. Hal ini sesuai pernyataan Bu Ngatiyah yang
menggunakan angkot dari tempat tinggalnya di Ngemplak Mojosongo cukup
dengan membayar Rp 2.000,- beliau dapat diantar ke pasar Legi, pulang pun
juga menggunakan angkot dengan kode jurusan yang sama yaitu 07. Hal ini
juga didukung penuturan Bu Sukinah yang setiap hari melaju ke pasar Legi
dari rumahnya di Kalioso,
“Naming tigang ewu men mpun saged dugi Solo, mangkat mulih
geh naming nemewu ngangge bis ngangge bis utawi angkutan”
(Hanya dengan ongkos tiga ribu sudah bisa sampai Solo, pulang
pergi ya cuma enam ribu dengan naik bus atau angkot).
(W/Sukinah/21/7/2011)
Akses yang cepat karena adanya sarana transportasi yang mudah dan murah
untuk dijangkau oleh semua kalangan merupakan fasilitas yang mendukung
untuk memilih bekerja ke Solo.
Dengan adanya sarana transportasi yang mendukung, menjadikan
jam kerja para kuli gendong juga lumayan lama, sekitar pukul 5 pagi atau
pukul 6 pagi mereka yang melaju sudah sampai di pasar Legi dan siap
bekerja. Dan selesai menggendong untuk pulang sekitar pukul 4 sore mereka
sudah pulang dengan jasa bus atau angkot yang ada, seperti yang dipaparkan
oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Bu Sukinah, dan Bu Saminem.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Sedangkan bagi mereka yang mempunyai motor, seperti Pak
Wagiman yang setiap hari ke kantor SPTI datang dan pergi tanpa ada
kekhawatiran untuk mematok jam menunggu bus. Namun tidak sedikit dari
mereka yang harus rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumahnya
yang relatif jauh jaraknya dari pasar Legi hanya demi bekerja sebagai kuli
gendong. Seperti yang dialami oleh Bu Situm, yang tidak seperti rekan-
rekannya setiap hari melaju dari rumah. Bu Situm memilih untuk menginap
di pasar Legi dikarenakan jarak rumah yang cukup jauh dan harus oper bus
berkali-kali sehingga biaya untuk transport juga tambah mahal. Beliau
memilih pulang dua minggu sekali kalau mendapat penghasilan lebih, jika
pasar sedang sepi beliau mengumpulkan uang terlebih dahulu dan baru
pulang tiga minggu sekali bahkan pernah sebulan sekali baru pulang.
d) Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar
daripada buruh pabrik
Salah satu alasan lagi yang menjadi alasan mengapa orang-orang
yang keluar dari pabrik lebih memilih bekerja sebagai kuli gendong di Pasar
Legi. Situasi kerja yang terikat dan tidak bebas, menjadikan seseorang
menjadi tertekan dan tidak betah dalam bekerja, apalagi upah atau gaji tidak
sesuai yang diharapkan. Hal ini yang dialami pula sebagian para kuli gendong
yang semula bekerja sebagai buruh pabrik. Ada yang berpendapat bahwa
menjadi kuli gendong lebih baik daripada menjadi karyawan pabrik yang
berpenghasilan sedikit selain itu sebagai kuli gendong menjadi memiliki
kebebasan untuk bekerja, hal yang sama diungkapkan Pak Wagiman,
“Lha menawi wonten pabrik, artane sekedhik mas, mboten bebas
kedah mlebet terus, asring ngantos dalu, nanging nggeh mboten
angsal bayaran lemburan. Benten menawi dados kuli mas, ajeng
mlebet mboten mlebet mboten enten ingkang dukani, nanging geh
menawi mboten kerjo terus lha anak bojo dipakani menapa?” (Kalau
bekerja di pabrik uang yang didapatkan sedikit mas, tidak bebas dan
harus setiap hari masuk terus, sering sampai malam, namun juga
dapat uang bayaran lemburan. Beda kalau menjadi kuli gendong,
mau masuk kerja atau tidak masuk kerja tidak ada yang memarahi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
tapi kalau tidak kerja terus anak istri mau diberi makan apa?).
(W/Wagiman/20/07/2011)
Hal senada juga diungkapkan oleh Bu Ngatiyah, beliau menuturkan bahwa 10
tahun yang lalu beliau bersama dengan suami bekerja menjadi buruh pabrik.
Namun dengan penghasilan yang sedikit, dirasa kebutuhan-kebutuhan tidak
tercukupi, maka mereka berdua keluar dari pekerjaan tersebut
“menawi ten pabrik naming angsal gaji sedoso ngantos kalih welas
ewu sedinten” (kalau di pabrik hanya mendapatkan gaji sepuluh
sampai dua belas ribu). (W/Ngatiyah/20/7/2011)
Dengan penghasilan yang relatif kecil dan status kerja terikat menjadikan
buruh pabrik keluar dari pekerjaannya dan mencoba berusaha mendapat
pekerjaan yang dirasa mencukupi, bebas dan tidak terikat namun
penghasilannya dapat diharapakan.
2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan
Anggota SPTI
Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau
tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat
tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul.
Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi
dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras
dalam mencari penghasilan.
a) Kuli Gendong sebagai Orang tua
Sebagai orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada di
dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan papan,
kesehatan, kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun kebutuhan sosial
masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Kuli gendong merupakan
pekerjaan di pasar, namun juga memiliki peran sebagai orang tua di rumah.
Jika sudah di rumah mereka kembali ke peran mereka sebagai orang tua dari
anak-anaknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Merekalah yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang tua
merupakan pendidik paling pertama dan paling utama bagi anak-anaknya.
Baru setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran formal di
sekolah. Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak mereka lebih
baik dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah motivasi orang tua
untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak mereka memiliki kehidupan
kelak yang lebih baik dan sukses tidak seperti kedua orangtuanya yang
sebagai kuli gendong.
Hal ini dibuktikan dengan pengakuan para informan yang telah
memiliki anak-anak yang disekolahkan. Seperti yang diutarakan oleh Pak
Wagiman yang memiliki 4 orang anak yang disekolahkan semua. Anak yang
pertama dan kedua disekolahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi, anak
yang ketiga lulus SMA, serta yang terakhir masih duduk di bangku SMA.
Dari anak yang pertama sampai ketiga sudah bekerja dan hidup mandiri
bersama keluarga masing-masing. Hal ini juga didukung oleh pernyataan
yang sama dari ketujuh informan, yang berniat menyekolahkan anak-anaknya
demi masa depan mereka lebih baik dibandingkan orang tuanya, terutama Pak
Warsono dan Pak Rohmadi memiliki anak yang masih kecil-kecil.
b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat
Selain bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli gendong
juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun hampir sebagian
besar waktu dihabiskan di pasar Legi untuk bekerja dari pukul 6 pagi hari
sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari masyarakat di pasar
maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di sekitar tempat tinggal
ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai hajatan para kuli gendong juga
akan meluangkan waktu pulang untuk datang dan membantu acara yang ada
di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini samap dengan yang diutarakan Pak
Rohmadi, jika ada kegiatan di sekitar tempat tinggal baik ada tetangga yang
mempunyai hajatan, atau gotong-royong bila diberitahu atau dijawab (Jawa)
maka tidak berangkat ke pasar Legi, namun jika ada kegiatan di lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
sekitar dan beliau tidak di beritahu atau dijawab (Jawa), Pak Rohmadi juga
tetap bekerja.
Hal yang sama diungkapkan pula oleh Bu Sukinah, jika di sekitar
rumah ada yang punya hajat, kesripahan (kematian), atau ada kegiatan lain
beliau menyempatkan diri untuk datang, dan tidak berangkat kerja.
“gesang niku mboten piyambak to Mas, menawi dipun jaluki tulung
tangga teparo geh saged mboten saged geh dipun lakoni, mbok bilih
sanes wekdhal kula gadahi kaperluan geh betahaken pitulungan sing
cedhak-cedhak, napa maleh ten dusun kados kula niki” (hidup itu
tidak sendirian mas, kalau dimintai tolong tetangga kanan-kiri ya
bisa tidak bisa harus dilaksanakan, mungkin dilain waktu saya punya
keperluan juga membutuhkan bantuan orang-orang di sekitar rumah,
apalagi hidup di desa seperti saya ini) (W/Sukinah/21/7/2011)
Selain bekerja Bu Sukinah juga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga
beliau mau menyempatkan waktu untuk tidak berangkat ke pasar demi
keperluan di tempat tinggalnya.
c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI
Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-
barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau
sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan
barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa
angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli
gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan
menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang dagangan
pedagang atau pembelian oleh pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan,
sayur-mayur, bumbu masak, rempah - rempah, dan sebagainya.
Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa
gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut
malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi
kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah
atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap
lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun
suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal
tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu
dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai
mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport
Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat
bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos
seragam SPTI dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota
SPTI pada waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan
dapat diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan
bekerja dengan siapa.
Sebagai makhluk sosial, pada kodratinya membutuhkan orang lain
untuk tetap bertahan hidup. Hal ini juga dapat dilihat bahwa seorang kuli
gendong membutuhkan para pelanggan atau pengguna jasa mereka,
membutuhkan seorang ketua kelompok, mandor, atau juragan dalam
mendapatkan peekerjaan, membutuhkan SPTI untuk ijin kerja di pasar Legi.
Begitu pula sebaliknya para pedagang membutuhkan jasa para kuli untuk
membawa barang-barang bawaannya, para mandor, juragan dan SPTI
membutuhkan pemasukan dari koordinasi kuli-kuli gendong tersebut.
Gambar 8. Ketua SPTI menunjukkan seragam anggota SPTI
unit pasar Legi kepada peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja
Kuli Gendong Pasar Legi
Melihat etos kerja dan semangat kerja keras kuli gendong yang tinggi tak
heran penghasilan mereka relatif tinggi namun mungkin tidak sepadan dengan
tenaga dan kerja keras yang mereka lakukan. Untuk kuli gendong yang laki-laki
penghasilannya lebih besar daripada kuli gendong laki-laki dibandingkan dengan
kuli gendong yang perempuan. Faktor kekuatan fisik dan kemampuan
mengangkat barang yang membedakan dengan sendiri penghasilan mereka Untuk
kuli gendong laki-laki bertugas bongkar muat barang menuju atau dari mobil pick
up atau truk dengan muatan yang lebih banyak dan berkali-kali seperti beras,
garam, kelapa, sayur-mayur dan lain-lain. Sedangkan untuk kuli gendong yang
perempuan menggendong barang bawaan namun dalam permintaan yang relative
kecil, misal jeruk satu becak dipindahkan satu kelompok. Sebenarnya mereka
bekerja juga sama beratnya baik laki-laki maupun perempuan, tidak sedikit pula
yang perempuan ikut bongkar muat barang-barang dari truk menuju ke dalam
pasar, bahkan sampai naik ke lantai atas.
a) Penghasilan sebagai kuli gendong
Dari pekerjaan demikian rata-rata mereka mendapatkan penghasilan
sebesar Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari, untuk kuli gendong laki-laki
setiap harinya.
“Saben dinten nggih kula roto-roto angsal seket“ (Setiap hari rata-
rata saya dapat lima puluh ribu) (W/Rohmadi/20/7/2011)
“roto-roto kulo angsal arto sedinten niku benten kalih Pak Rohamdi,
luwih sekedik paling-paling nggih naming sekawan doso ewu” (rata-
rata saya dapat uang sehari berbeda dengan Pak Rohmadi, lebih
sedikit sekitar empat puluh ribu) (W/Warsono/20/7/2011)
Untuk upah dari pelanggan tidak dibayarkan langsung ke kuli
gendong yang bersangkutan, namun dibayarkan ke mandor yang
mengkoordinasi dari masing-masing kelompok. Sebelum pada akhirnya
diberikan kepada kuli gendong yang bersangkutan berdasarkan frekuensi
gendongan, dan masih dipotong sebesar Rp 5.000,-/orang dalam sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
bongkaran untuk mandor dan sebagian iuran perbulan ke SPTI. Dari
penghasilan rata-rata Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari diluramgi
ongkos Mandor Rp 5.000,- dan transport tiap hari Rp 6.000,- (PP) menjadi Rp
29.000,- hingga Rp 39.000,- per hari.
Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki
penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari. Meskipun
penghasilan mereka dibilang lebih sedikit dibandingkan kuli gendong laki-
laki namun penghasilan mereka sudah “lepas”, maksudnya upah langsung
diterima dari pengguna jasa atau pelanggan tanpa potongan untuk mandor
atau juragan Dari penghasilan masing-masing dipotong iuran perbulan Rp
2.000,- yang dibayarkan ke SPTI. Belum untuk transport bagi yang laju Rp
6.000,- (PP), sehingga penghasilan bersih setiap hari rata-rata Rp 9.000,-
hingga Rp 24.000,- per hari.
b) Pemanfaatan Penghasilan
Penghasilan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli pakaian terutama
jika hari raya Idul fitri tiba bagi mereka yang memilki anak yang masih kecil
atau cucu yang masih kecil jika masih ada sisa uang untuk membelikan
sesuatu pada anak atau cucunya yang masih kecil, biaya transportasi setiap
hari bagi yang melaju, kemudian kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah.
Jika yang setiap hari melaju mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat
tinggal, namun jika ada yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan, juga
harus memikirkan biaya sewa setiap bulannya. Seperti yang dialami oleh Bu
Ngatiyah (Bu Sembloh) harus menabung setiap hari untuk membayar biaya
sewa kost sebesar uang Rp 75.000,-/bulan. Selain itu bagi yang melaju,
penghasilan mereka berkurang untuk biaya transportasi pulang-pergi dari
rumah menuju pasar Legi setiap harinya. Seperti yang dialami oleh Pak
Rohmadi, Pak Warsono, Bu Ngatiyah, Bu Sukinah, dan Bu Saminem yang
setiap hari melaju. Sehingga setiap hari pulang-pergi menghabiskan uang
sebesar Rp 6.000,- untuk biaya ongkos transport (bus/angkot).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Selain untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas yang mereka juga
memperhatikan pada pendidikan anak-anak. sehingga demi anak sekolah
uang sebesar berapapun akan dicarikan meskipun penghasilan yang tidak
mencukupi, sampai-sampai mencari hutang pun tak jadi masalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
C. Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap subjek penelitian
mengenai kuli gendong pasar Legi sebagai sektor informal dengan hasil temuan
sebagian besar adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan kuli gendong merupakan wujud dan bagian dari unsur-unsur
kebudayaan
2. Kegiatan kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal
3. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota
a) Ketidakberdayaan kuli gendong
1) Rendahnya pendidikan pendidikan yang “dikenyam”
2) Minimnya keterampilan yang dimiliki
b) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal)
c) Fasilitas transportasi yang mendukung akses ke kota
d) Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar
daripada buruh pabrik
4. Eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan
anggota SPTI
a) Kuli Gendong sebagai Orang tua
b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat
c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI
5. Pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong
pasar Legi
a) Penghasilan sebagai kuli gendong
b) Pemanfaatan Penghasilan
Berdasarkan hasil temuan di atas dapat dimasukkan dalam pembahasan
teori sebagai berikut:
1. Kegiatan kuli gendong merupakan wujud dan bagian dari unsur-unsur
kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Menurut pendapat Koentjaraningrat (1987: 2) yang menyatakan
bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu;
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratruran, dan sebagainya,
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat,
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
(artifact).
Dari pendapat di atas dapat dijelaskan betuk-bentuk atau wujud kebudayaan;
1) kebudayaan yang berwujud ide. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau
difoto, berada di dalam kepala-kepala, atau dengan kata lain dalam alam
pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu
hidup. 2) kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola
dari manusia itu sendiri. sistem sosial ini berisi tentang aktifitas-aktifitas
individu-individu yang berinteraksi (berhubungan antara satu dengan yang
lain dalam kurun waktu tertentu yang mengikuti pola-pola tertentu menurut
adat tata kelakuan). Sebagai rangkaian dalam suatu aktifitas individu-
individu dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret,
terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasi. 3) kebudayaan fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari
aktifitas, perbuatan, dan karya individu-individu dalam sauatu masyarakat,
maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari
tentu tidak terpisah antara satu sama lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat
memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan
ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda
kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu
lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya,
bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Kegiatan sebagai kuli gendong jika dilihat dari pendapat di atas
termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang kedua, yaitu kebudayaan
berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari individu-individu
yang berada di dalam pasar Legi. Dalam hal ini tentang aktifitas-aktifitas
individu-individu sebagai kuli gendong yang berinteraksi baik sesama kuli
gendong, koordinator SPTI, pedagang, pembeli di pasar, maupun keluarga
dan masyarakat tempat asal mereka.
Kebudayaan setiap masyarakat itu sendiri terbentuk oleh beberapa
unsur-unsur yang merupakan bagian dari satu kebulatan yang bersifat sebagai
satu kesatuan. Beberapa unsur kebudayaan diklasifikasikan ke dalam unsur-
unsur pokok atau besar kebudayaan yang lazim disebut dengan cultural
universal, yang merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua
kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam kehidupan masyarakat pedesaan
yang kecil terpencil maupun di dalam masyarakat perkotaan yang besar dan
kompleks.
C. Khluchon dalam Soekanto (2002: 176) diamana sebuah karyanya
yang berjudul Universal Categories of Culture, dimana berisi inti
pendapat para sarjana dalam karyanya menunjuk tujuh unsur
kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu;
1. peralatan dan perlengkapan hidup manusia,
2. mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi,
3. sistem kemasyarakatan,
4. bahasa (lisan maupun tertulis)
5. kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya)
6. sistem pengetahuan,
7. religi (kepercayaan).
Unsur-unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam
sub-unsur-unsurnya (unsur-unsur yang lebih kecil). Unsur yang pertama yaitu
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, hal ini dapat dijabarkan lagi
menjadi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat
produksi, alat tansportasi dan lain sebagainya. Yang kedua, mata pencaharian
hidup dan sistem-sistem ekonomi dijabarkan lagi menjadi pertanian,
peternakan, buruh/kuli, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Unsur yang ketiga sistem kemasyarakatan dapat dikerucutkan lagi menjadi
sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan.
Unsur yang keempat adalah bahasa baik berupa lisan maupun
tertulis, setiap masyarakat baik dalam suku, bangsa, maupun negara memiliki
sistem bahasa yang dimiliki oleh masing-masing, dan dengan bahasa mereka
dapat berkomunikasi antara individu satu dengan yang lain, kelompok
masyarakat satu dengan yang lain, disini bahasa berguna sebagai pengantar
komunikasi. Selanjutnya unsur yang kelima adalah kesenian, unsur ini
menyangkut tentang keindahan, dimana kesenian dapat dijabarkan lagi
menjadi unsur seni yang lain, berupa seni rupa, seni suara, seni gerak dan
sebagainya. Selain kesenian, suatu kebudayaan dapat diperkuat dengan
unsur sistem pengetahuan, dimana dengan unsur ini dapat digunakan sebagai
tolok ukur peradaban suatu masyarakat. Unsur yang terakhir adalah religi
atau sistem kepercayaan, dalam unsur ini masyarakat dari kebudayaan yang
bersangkutan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan besar yang
menciptakan dan mengatur, baik kepercayaan animisme, dinamisme,
maupun agama yang mempercayai adanya tuhan. Demikian tujuh unsur
kebudayaan universal memang mencakup kebudayaan manusia secara
keseluruhan.
Jika dilihat dari unsur-unsur kebudayaan di atas, manusia berusaha
untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, usaha
manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan dengan sistem
mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja sebagai
sumber mata pencaharian atau pekerjaan salah satunya adalah sebagai kuli
gendong. Oleh sebab itu kegiatan kuli gendong merupakan bagian dari
unsur-unsur kebudayaan yaitu sebagai sistem mata pencaharian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
2. Kegiatan kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal
Dalam sektor informal memiliki “cara kerja” yang memiliki ciri-ciri
tertentu, yang membedakan sektor informal dengan sektor formal, dan
memiliki karakteritik tertentu sebagai sektor informal.
Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal
adalah sebagai berikut;
1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya
unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan
yang tersedia di sektor formal,
2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,
3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi
maupun jam kerja,
4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu
golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,
5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor,
6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,
7) modal dan putaran usaha relatif kecil,
8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal
karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman
sambil bekerja,
9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang
mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh
berasal dari keluarga,
10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari
lembaga keuangan tidak resmi,
11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan
kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang
juga berpenghasilan menengah.
Dari ciri-ciri di atas kegiatan kuli gendong juga memenuhi ciri-ciri tersebut;
1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak
terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan
fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga
yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi
secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban,
komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia
(SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam
sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan
bersifat bebas siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong namun untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
menjadi kuli gendong di pasar Legi bagi perempuan dan hanya dikenakan
biaya iuran perbulan. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam
arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel
yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta
memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah
untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini.
Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas
menyangkut keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa
menggunakan teknologi tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan
selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan
barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak
mempergunakan modal finansial yang besar bagi kuli gendong, cukup
membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam,
namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli
gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli
gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan
untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan. Dari pemaparan tersebut
dapat dikatakan bahwa kegiatan kuli gendong sebagaian besar memenuhi
ciri-ciri kegiatan sektor informal.
3. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota
Orang-orang migrasi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan
yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan
pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebaagai kuli
gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja
keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan
ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat
berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung
dalam organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Pasar Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli
gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan
berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah.
Jika kita berbicara daerah asal orang-orang yang menjadi kuli
gendong, kita akan berbicara mengenai perpindahan mereka (migrasi),
tepatnya urbanisasi dari daerah asal ke kota Surakarta. Ada hal-hal yang
mempengaruhi seseorang melakukan migrasi, atau yang sering kita sebut
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi.
Menurut Everett S. Lee dalam Widodo (2011: 102) “ada empat
faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk
melakukan migrasi, yaitu:
1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan
3. Rintangan-rintangan yang menghambat
4. Faktor-faktor pribadi
Dari data-data yang ditemukan dalam penelitian dapat dapat diambil
faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang melakukan migrasi ke kota
Surakarta tepatnya di pasar Legi, yaitu faktor pendorong (berasal dari daerah
asal), faktor penarik (daerah tujuan), faktor fasilitas (akses transportasi), dan
faktor nilai yang ada dalam melakukan migrasi.
a) Faktor pendorong (berasal dari daerah asal)
1) Ketidakberdayaan kuli gendong
Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini
dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh
orang-orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang
tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal
ini yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk
memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan,
penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya.
Mayoritas pekerja kuli gendong ini tidak pernah mendapatkan
kesempatan menempuh pendidikan menengah atas hanya lulus SMP
dan bahkan yang berasal dari desa-desa tidak pernah bersekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
dengan latar belakang ekonomi lemah tidak mampu untuk
bersekolah pada waktu mereka masih muda.
Dari latar belakang inilah yang menjadikan orang-orang
memilih untuk mencari pekerjaan yang sekiranya tidak memerlukan
syarat-syarat pendidikan, pekerjaan yang bebas dan yang jelas halal.
Tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai
kuli gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan
untuk menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan
kesabaran untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap
penjual atau pembeli di pasar Legi.
2) Minimnya keterampilan yang dimiliki
Selain rendahnya pendidikan yang didapat oleh para kuli
gendong di waktu muda, minimnya keterampilan yang dimiliki juga
semakin mendorong untuk menjadi kuli gendong. Hal demikian
diakui oleh semua informan yang mebyatakan pernyataan yang sama
bahwa tidak memiliki keterampilan. Dan jika tidak bekerja menjadi
kuli gendong di pasar Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah
tangga, menganggur, atau menjadi buruh tani saja karena tidak
memiliki sawah sendiri. Berbeda bagi mereka yang memiliki sawah
sendiri, paling tidak ada yang diharapkan sebagai penghasilan.
3) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal)
Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di
luar kota Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari
masing-masing melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum
begitu banyak jenis usaha yang berdiri disana, apalagi untuk sektor
formal yang berdiri. Dan jika adapun, membutuhkan karyawan yang
berpendidikan serta berketerampilan ditambah lagi sekarang
dibutuhkan yang berpengalaman.
Jika hanya mengandalkan sektor pertanian, tidak semua
angkatan kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak semua
memiliki sawah, paling-paling juga menjadi buruh tani. Ketiadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa penduduk desa
untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari pekerjaan. Jiksa terus
berada di rumah sulit mendapatkan penghasilan, mengingat di daerah
asal para kuli gendong mayoritas penduduknya bertani. Dan jika
tidak musim tandur (tanam) dan panen maka tidak ada penghasilan
bagi buruh tani.
b) Faktor penarik (daerah tujuan); pekerjaan yang tidak mengikat dan
diharapakn penghasilan lebih besar daripada pekerjaan semula (buruh
pabrik atau buruh tani)
Salah satu alasan lagi yang menjadi alasan mengapa orang-
orang yang keluar dari pabrik lebih memilih bekerja sebagai kuli gendong
di Pasar Legi. Situasi kerja yang terikat dan tidak bebas, menjadikan
seseorang menjadi tertekan dan tidak betah dalam bekerja, apalagi upah
atau gaji tidak sesuai yang diharapkan. Hal ini yang dialami pula sebagian
para kuli gendong yang semula bekerja sebagai buruh pabrik atau buruh
tani. Dengan penghasilan yang relatif kecil dan status kerja terikat
menjadikan buruh pabrik keluar dari pekerjaannya dan mencoba berusaha
mendapat pekerjaan yang dirasa mencukupi, bebas dan tidak terikat namun
penghasilannya dapat diharapakan.
Semula menjadi buruh tani yang mendapatkan penghasilan pada
musim-musim tertentu, itupun tidak sesuai yang diharapkan. Pada
akhirnya mereka memilih pergi ke kota berharap mendapat penghasilan
yang rutin dan lebih besar daripada buruh tani. Adanya pendapat bahwa
menjadi kuli gendong lebih baik daripada menjadi karyawan pabrik yang
berpenghasilan sedikit selain itu sebagai kuli gendong menjadi memiliki
kebebasan untuk bekerja dengan harapan berpenghasilan lebih mereka
menuju ke kota Surakarta tepanya pasar Legi menjadi kuli gendong,
berharap mendapat penghasilan yang lebih besar dan di dapat setiap hari
c) Faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Kemajuan dan pembanguan di daerah yang lambat laun semakin
berkembang, selain pembanguan jalan di daerah-daerah baik dari
pemerintah maupun swadaya masyarakat sendiri juga bermanfaat bagi
masyarakat itu sendiri. Dengan dibukanya jalan-jalan, akses transportasi
bisa masuk ke daerah-daerah bahkan di daerah terpencil pun. Hal ini
mendorong pengadaan alat transportasi yang memperlancar aktifitas
masyarakat. Adanya fasilitas sarana transportasi yang mempermudah akses
mobilitas dan migrasi. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang di
daerah asal tidak memiliki pekerjaan untuk menuju ke daerah lain demi
mencari sebuah pekerjaan atau pengasilan yang lebih baik.
Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari
desa ke kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi
umum yang murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk
desa untuk pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke
pasar Legi menjadi kuli gendong. Dengan menggunakan angkot dari
tempat tinggalnya di dalam lingkup kota Surakarta sendiri cukup dengan
membayar Rp 2.000,- sampai Rp 5.000,- sekali jalan sudah dapat menuju
ke pasar Legi.
Kemudian untuk yang rumahnya jauh atau di luar kota Surakarta,
akses sarana transportasi yang cepat, mudah, dan murah untuk dijangkau
oleh semua kalangan merupakan fasilitas yang mendukung untuk memilih
bekerja ke Solo. Dengan adanya sarana transportasi yang mendukung,
menjadikan jam kerja para kuli gendong juga lumayan lama, sekitar pukul
5 pagi atau pukul 6 pagi para kuli gendong yang melaju sudah sampai di
pasar Legi dan siap bekerja. Selesai menggendong untuk pulang sekitar
pukul 4 sore mereka sudah pulang dengan jasa bus atau angkot yang ada.
d) Faktor Nilai
Dari sudut pandang nilai, terdapat hal-hal yang mendorong orang-
orang bekerja sebagai kuli gendong, yakni nilai kemanusiaan dan nilai
perjuangan hidup. Hal ini dihadapkan pada eksistensi kuli gendong sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI. Bekerja merupakan
sebuah tuntutan hidup, dimana seseorang memilki kewajiban untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Selain itu, nilai kemanusiaan yang ada pada pengguna jasa kuli
gendong, unsur kemanusiaan yang muncul apakah sampai hati
menggunakan jasa kuli gendong terutama yang sudah berusia senja dengan
upah hanya Rp 1.000,-.
4. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan
Anggota SPTI
a) Kuli Gendong sebagai Orang tua
Sebagai orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada
di dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan
papan, kesehatan, kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun
kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Kuli
gendong merupakan pekerjaan di pasar, namun juga memiliki peran
sebagai orang tua di rumah. Jika sudah di rumah mereka kembali ke
peran mereka sebagai orang tua dari anak-anaknya.
Merekalah yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang
tua merupakan pendidik paling pertama dan paling utama bagi anak-
anaknya. Baru setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran
formal di sekolah. Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak
mereka lebih baik dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah
motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak
mereka memiliki kehidupan kelak yang lebih baik dan sukses tidak
seperti kedua orangtuanya yang sebagai kuli gendong.
b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat
Selain bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli
gendong juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun
hampir sebagian besar waktu dihabiskan di pasar Legi untuk bekerja dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
pukul 6 pagi hari sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari
masyarakat di pasar maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di
sekitar tempat tinggal ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai
hajatan para kuli gendong juga akan meluangkan waktu pulang untuk
datang dan membantu acara yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Selain
bekerja kuli gendong juga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga
mereka mau menyempatkan waktu untuk tidak berangkat ke pasar demi
keperluan di tempat tinggalnya.
c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI
Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa
gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai
larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk
memenuhi kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat
kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran
atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain. Namun tidak
sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya, mereka
rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi
bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula
untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota
organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli
gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk
mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat bekerja sebagai kuli
gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos seragam SPTI
dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota SPTI pada
waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan dapat
diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan bekerja
dengan siapa.
Sebagai makhluk sosial, pada kodratinya membutuhkan orang
lain untuk tetap bertahan hidup. Hal ini juga dapat dilihat bahwa seorang
kuli gendong membutuhkan para pelanggan atau pengguna jasa mereka,
membutuhkan seorang ketua kelompok, mandor, atau juragan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
mendapatkan peekerjaan, membutuhkan SPTI untuk ijin kerja di pasar
Legi. Begitu pula sebaliknya para pedagang membutuhkan jasa para kuli
untuk membawa barang-barang bawaannya, para mandor, juragan dan
SPTI membutuhkan pemasukan dari koordinasi kuli-kuli gendong
tersebut.
5. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli
Gendong Pasar Legi
a) Penghasilan sebagai kuli gendong
Penghasilan yang didapatkan dalam satu kali gendong untuk
kuli gendong perempuan sekitar Rp 2.000,-, namun jua ada yang hanya
memberi Rp 1.000,- bagi mereka yang terkadang kurang menghargai
kerja keras kuli gendong. Namun untuk kuli gendong laki-laki tidak
dihitung per gendongan namun per bongkaran muatan barang. Untuk
upah dari pelanggan tidak dibayarkan langsung ke kuli gendong laki-laki,
namun dibayarkan ke mandor yang mengkoordinasi dari masing-masing
kelompok. Sebelum pada akhirnya diberikan kepada kuli gendong yang
bersangkutan berdasarkan frekuensi gendongan, dan masih dipotong
sebesar Rp 5.000,-/orang dalam sekali bongkaran untuk mandor dan
sebagian iuran perbulan ke SPTI. Dari penghasilan rata-rata Rp
40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari dikuramgi ongkos Mandor Rp
5.000,- dan transport tiap hari Rp 6.000,- (PP) menjadi Rp 29.000,-
hingga Rp 39.000,- per hari.
Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata
memiliki penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari.
Meskipun penghasilan mereka dibilang lebih sedikit dibandingkan kuli
gendong laki-laki namun penghasilan mereka sudah “lepas”, maksudnya
upah langsung diterima dari pengguna jasa atau pelanggan tanpa
potongan untuk mandor atau juragan Dari penghasilan masing-masing
dipotong iuran perbulan Rp 2.000,- yang dibayarkan ke SPTI. Belum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
untuk transport bagi yang laju Rp 6.000,- (PP), sehingga penghasilan
bersih setiap hari rata-rata Rp 9.000,- hingga Rp 24.000,- per hari.
c) Pemanfaatan Penghasilan
Penghasilan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli
pakaian terutama jika hari raya Idul fitri tiba bagi mereka yang memilki
anak yang masih kecil atau cucu yang masih kecil jika masih ada sisa
uang untuk membelikan sesuatu pada anak atau cucunya yang masih
kecil, biaya transportasi setiap hari bagi yang melaju, kemudian
kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah. Jika yang setiap hari melaju
mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat tinggal, namun jika ada
yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan, juga harus memikirkan
biaya sewa setiap bulannya.
Selain itu bagi yang melaju, penghasilan mereka berkurang
untuk biaya transportasi pulang-pergi dari rumah menuju pasar Legi
setiap harinya. Seperti yang dialami oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Bu
Ngatiyah, Bu Sukinah, dan Bu Saminem yang setiap hari melaju dengan
membayar ongkos Rp 3.000,- sekali jalan berangkat dan Rp 3.000, untuk
transport pulang. Sehingga setiap hari pulang-pergi menghabiskan uang
sebesar Rp 6.000,- untuk biaya ongkos transport (bus/angkot). Selain
untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas mereka juga memperhatikan
pada pendidikan anak-anak, sehingga demi anak sekolah uang sebesar
berapapun akan dicarikan meskipun penghasilan tidak mencukupi,
sampai-sampai mencari hutang pun tak jadi masalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan sajian data dan pembahasan terhadap hasil penelitian
tentang studi kasus kuli gendong sebagai sektor informal di pasar Legi, peneliti
dapat mengambil simpulan sebagai berikut:
1. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota
a) Faktor pendorong (berasal dari daerah asal)
1) Ketidakberdayaan kuli gendong
Kuli gendong termasuk kelompok marginal atau miskin
yang ditandai dengan ketidakberdayaan dalam segala aspek,
termasuk dalam hal pendidikan. Berpendidikan rendah atau bahkan
tidak berpendidikan atau tidak lulus SD/ MI. Masa kecil yang tidak
dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini
yang menyebabkan orang tua mereka tidak memiliki kesempatan
untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan,
penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya.
Mayoritas pekerja kuli gendong ini tidak pernah mendapatkan
kesempatan menempuh pendidikan menengah atas hanya lulus SMP
dan bahkan yang berasal dari desa-desa tidak pernah bersekolah
dengan latar belakang ekonomi lemah tidak mampu untuk
bersekolah pada waktu mereka masih muda.
2) Minimnya keterampilan yang dimiliki
Para kuli gendong selain memiliki pendidikan rendah, yang
didapat oleh para kuli gendong di waktu muda, minimnya
keterampilan yang dimiliki juga semakin mendorong untuk menjadi
kuli gendong. Hal demikian diakui oleh semua informan yang
mebyatakan pernyataan yang sama bahwa tidak memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
keterampilan. Dan jika tidak bekerja menjadi kuli gendong di pasar
Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah tangga, menganggur, atau
menjadi buruh tani saja karena tidak memiliki sawah sendiri.
Disamping termasuk ke dalam kelompok marginal, mereka
juga tidak memiliki sawah hal ini menjadikan mereka beradu nasib
ke kota tanpa bekal untuk bertahan hidup. Sehingga dengan terpaksa
mereka masuk ke dalam sektor informal sebagai kuli gendong.
Sebab, pekerjaan tersebut tidak membutuhkan keterampilan tertentu
kecuali tenaga yang kuat dan badan sehat.
3) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal)
Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di
luar kota Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari
masing-masing melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum
begitu banyak jenis usaha yang berdiri disana, apalagi untuk sektor
formal yang berdiri. Jika hanya mengandalkan sektor pertanian,
tidak semua angkatan kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak
semua memiliki sawah, paling-paling juga menjadi buruh tani.
Ketiadaan atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa
penduduk desa untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari
pekerjaan. Jiksa terus berada di rumah sulit mendapatkan
penghasilan, mengingat di daerah asal para kuli gendong mayoritas
penduduknya bertani. Dan jika tidak musim tandur (tanam) dan
panen maka tidak ada penghasilan bagi buruh tani.
b) Faktor penarik (daerah tujuan)
Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih
besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau buruh tani). Para kuli
gendong mengadu nasib ke kota karena menurut anggapan mereka daerah
perkotaan tersedia berbagai jenis lapangan kerja dan peluang untuk
bekerja. Maka, mereka berduyun-duyun ke kota dalam rangka untuk
bekerja karena di kota dianggap lebih menjanjikan dibandingkan desa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
tempat tinggal mereka. Namun anggapan itu tidak semuanya benar karena
datang ke kota tanpa mempunyai bekal yang cukup sehingga satu-satunya
pekerjaan yang bisa dimasuki adalah sebagai buruh kasar yaitu kuli
gendong.
c) Faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses)
Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari desa ke
kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi umum yang
murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk desa untuk
pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke pasar Legi
menjadi kuli gendong. Dengan baiaya yang relative terjangkau dan dekat
denganjalan raya sehingga lebih mudah untuk mengakses sarana
transportasi.
d) Faktor nilai
Adanya nilai kemanusiaan yang muncul dalam bekerja untuk memenuhi
kebutuhan dan merupakan wujud perjuangan hidup. Dimana seorang kuli
gendong dituntut peranannya sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan
anggota SPTI. Selain itu, adanya rasa kemanusiaan bagi pengguna jasa
kuli gendong di pasar Legi, apabila yang dimintai jasa gendong adalah kuli
gendongt yang sudah tua.
2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan
Anggota SPTI
a) Kuli Gendong sebagai Orang tua
Selaku orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada
di dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan
papan, kesehatan, kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun
kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka.Merekalah
yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang tua merupakan
pendidik paling pertama dan paling utama bagi anak-anaknya. Baru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran formal di sekolah.
Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak mereka lebih baik
dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah motivasi orang tua
untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak mereka memiliki
kehidupan kelak yang lebih baik dan sukses tidak seperti kedua
orangtuanya yang sebagai kuli gendong.
b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat
Bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli gendong
juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun hampir
sebagian besar waktu dihabiskan di pasar Legi untuk bekerja dari pukul 6
pagi hari sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari
masyarakat di pasar maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di
sekitar tempat tinggal ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai
hajatan para kuli gendong juga akan meluangkan waktu untuk pulang
atau tidak berangkat ke pasar demi datang dan membantu acara yang ada
di sekitar tempat tinggalnya.
c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI
Menjadi kuli gendong dan dapat bekerja di pasar Legi ada
persyaratan yang harus dilaksanakan, yaitu dengan menjadi anggota
organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli
gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk
mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat bekerja sebagai kuli
gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos seragam SPTI
dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota SPTI pada
waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan dapat
diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan bekerja
dengan siapa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli
Gendong Pasar Legi
a) Penghasilan sebagai kuli gendong
Cirri pekerja sektor informal (buruh gendong) yaitu waktu kerja
dalam jumlah jam kerja yang panjang dengan tingkat penghasilan yang
rendah. Hal ini terjadi pada para kuli gendong pasar Legi dengan sekali
menggendong didapatkan upah Rp 2.000,- dalam sekali gendong. Jumlah
kuli gendong 675 orang dalam satu pasar membuat saling berebut untuk
bisa menjual jasa “menggendong barang-barang belanjaan” akibatnya
pendapatan mereka juga terbatas.
Mereka mulai kerja dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 17.00
WIB (selama 11 jam) pendapatan mereka rata-rata kuli gendong laki-laki
mendapatkan penghasilan sebesar Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-
/hari, dan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki
penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari.
Penghasilan tersebut masih dikurangi potongan mandor (kuli
gendong laki-laki), iuran perbulan, makan, rokok, transportasi. Sehingga
berpenghasilan bersih Rp 25.000,- hingga Rp 35.000,- untuk kuli
gendong laki-laki dan Rp Rp 10.000,- hingga Rp 25.000,- untuk kuli
gendong perempuan. Belum lagi biaya untuk yang tinggal dikontrakan
atau kost perbulannya harus mengumpulkan uang tiap hari.
b) Pemanfaatan Penghasilan
Penghasilan tersebut digunakan untuk menopang keluarga,
karena pekerjaan utama keluarga adalah dari pekerjaan tersebut. Yaitu
untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum
setiap hari, untuk membeli pakaian, biaya transportasi setiap hari bagi
yang melaju, kemudian kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah. Jika
yang setiap hari melaju mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat
tinggal, namun jika ada yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan,
juga harus memikirkan biaya sewa setiap bulannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan data di atas dapat dikaji implikasi teoritis dan
implikasi praktis, yaitu;
4. Implikasi Teoritis
1) Dari hasil temuan di atas penelitian ini menggunakan bagian teori
migrasi Everett S. Lee, menurut pendapatnya ada empat faktor yang
menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi,
yaitu; faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor yang
terdapat di daerah tujuan, rintangan-rintangan yang menghambat, dan
faktor-faktor pribadi.
Dari data-data yang ditemukan dalam penelitian dapat dapat diambil
faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang melakukan migrasi ke
kota Surakarta tepatnya di pasar Legi, yaitu; (1) faktor pendorong
(berasal dari daerah asal); ketidakberdayaan kuli gendong baik
pendidikan rendah, minimnya keterampilan yang dimiliki, dan tidak
adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal), (2) faktor penarik
(daerah tujuan); pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn
penghasilan lebih besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau
buruh tani), (3) faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses). (4)
faktor nilai.
2) Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata
pelajaran Sosiologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 1.
Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan
mobilitas sosial, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 1.3 Menganalisis
struktur sosial dengan mobilitas sosial.
3) Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata
pelajaran Antropologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi
2. Menganalisis unsur-unsur proses dinamika dan pewarisan budaya
dalam rangka integrasi nasional, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 2.1
Mendeskripsikan unsur-unsur budaya, dan 2.2 Mendeskripsikan
hubungan antara unsur-unsur kebudayaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
5. Implikasi Praktis
Penelitian diharapkan dapat memberikan acuan kepada Pemerintah
Kota Sursakarta dalam pengelolaan pasar dan kuli gendong di pasar Legi
Surakarta, dan dapat memberikan gambaran terkait mengenai sektor informal
dan kehidupan kuli panggul di pasar Legi Kota Surakarta.
C. Saran
Berdasarkan temuan data di lapangan dan simpulan penelitian ini, maka
beberapa saran yang bisa penulis kemukakanadalah sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Kota Surakarta
Pemerintah Kota Surakarta dengan melaui Dinas Pasar hendaknya
selain para pedagang juga memperhatikan keberadaan daripada jenis uasaha-
usaha lain di pasar Legi terutama kuli gendong, sektor yang sangat jarang
mendapat perhatian selama ini. Sehubungan pasar Legi merupakan tempat
mencari nafkah ribuan orang, sehingga diharapkan dapat mendukung
kesejahteraan segala elemen yang bekerja di dalamnya.
2. Bagi Pengelola Pasar Legi
Bagi pengelola pasar Legi diharapkan hendaknya mengembangkan
pasar, agar semua kalangan masyarakat merasa nyaman dan mau untuk
berbelanja ke pasar Legi, mengingat arus globalisasi yang berdampak pada
modernisasi sehingga bermunculan lokasi-lokasi yang menjadi pusat-pusat
perbelanjaan seperti mall, plasa, dan toko swalayan yang dikhawatirkan dapat
menggeser pasar-pasar yang ada di kawasan kota Surakarta terutama pasar
Legi.
3. Bagi Pengurus SPTI Pasar Legi
SPTI di pasar Legi sudah cukup lancar dalam pengelolaannya, akan
tetapi hendaknya pengurus SPTI lebih melakukan pendekatan kepada setiap
kuli gendong sebagai anggota daripada paguyuban ini. Mungkin dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
pertemuan dengan masing-masing kelompok kerja sebulan sekali, sehingga
dapat lebih dekat dengan anggota, dan anggota merasa terayomi dengan
adanya SPTI.
4. Bagi Kuli Gendong Pasar Legi
Bagi para kuli gendong pasar Legi, hendaknya jika memiliki suatu
saran, usul, maupun permasalahan bisa disampaikan ke kantor secara
langung, bisa dengan meminta pihak terkait untuk mengadakan pertemuan
sebulan sekali dalam satu kelompok, maupun seluruh kelompok kerja
meskipun perwakilan dari masing-masing. Sehingga ada komunikasi yang
aktif dalam SPTI, baik antara anggota ke anggota, anggota ke ketua
kelompok, anggota ke pengurus SPTI dan atau sebaliknya. Sehingga semua
pihak merasa diuntungkan dalam bekerja.