un matematika menyiapkan anak menjadi kuli nirnalar

12
12/15/2011 UN Matematika Menyiapkan Anak Indonesia Menjadi Kuli Nirnalar Republik Telah Menyerobot Kesempatan Anak Bangsa Bernalar Iwan Pranoto

Upload: iwan-pranoto

Post on 29-Jun-2015

1.050 views

Category:

Education


1 download

DESCRIPTION

Republik Telah Menyerobot Kesempatan Anak Bangsa Bernalar.

TRANSCRIPT

Page 1: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

12/15/2011

UN Matematika Menyiapkan Anak Indonesia Menjadi Kuli Nirnalar Republik Telah Menyerobot Kesempatan Anak Bangsa Bernalar

Iwan Pranoto

Page 2: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

1

UN Matematika Menyiapkan Anak Indonesia Menjadi Kuli Nirnalar Republik Telah Menyerobot Kesempatan Anak Bangsa Bernalar

Pendidikan dasar dan menengah sampai tinggi di sejarah Indonesia pegang peranan penting. Kemerdekaan Republik ini sampai pembangunannya juga berkat pendidikannya. Pendidikan sebagai sebuah unsur esensial dalam dinamika perkembangan Bangsa ini akan berdampak pada masa mendatang. Pada era lampau pendidikan itu berdampak sekitar 20 tahun. Pendidikan era 20-an berdampak pada era 45. Namun, dengan berjalannya waktu, pada masa sekarang, jangka tunda dari pendidikan dan dampaknya menjadi semakin singkat. Jika di masa lampau pertanyaan para pendidik dan rakyat adalah bagaimana kesiapan putra-putri Bangsa untuk mampu hidup di usia dewasanya, sekarang para pendidik, rakyat, dan juga para ekonom adalah bagaimana kesiapan putra-putri Bangsa untuk mampu berfungsi efektif di percaturan dunia global masa kini. Pertanyaan ini juga menjadi pertanyaan utama para pakar di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Organisasi yang terdiri dari banyak negara maju dan berkembang ini berangkat dari pertanyaan: “Kecakapan apa yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi efektif dalam kehidupan di Abad 21?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para pakar OECD memanfaatkan studi bersama oleh Richard J. Murnane dan Frank Levy. Hasil riset bersama pakar pendidikan dan ekonomi urban, masing-masing dari MIT dan Universitas Harvard ini mengenali kecenderungan kecakapan yang semakin dibutuhkan dan kecakapan yang semakin tak dibutuhkan. Dan pemahaman tentang kecakapan baru ini yang menjadi dasar OECD dalam menyusun Programme for International Student Assessment (PISA). Secara ringkas, dalam studi mereka, dikenali beberapa kecakapan yang cenderung semakin dibutuhkan dan beberapa

kecakapan yang semakin tak dibutuhkan. Secara grafik, hasil studi mereka disajikan dalam diagram Gambar 1, dikutip dari (Trilling dan Fadel, 2009, hal. 8). Dari situ, tampak bahwa kecakapan yang memiliki kecenderungan semakin dibutuhkan adalah:

1. Berkomunikasi kompleks (complex communication)

2. Berpikir pakar (expert thinking)

Sedangkan sebaliknya, kecakapan yang cenderung paling semakin tak

Gambar 1 Kecenderungan Kebutuhan Jenis Kecakapan

Page 3: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

2

dibutuhkan adalah kognitif rutin (routine cognitive).

Yang dimaksud sebagai berkomunikasi kompleks adalah upaya menyampaikan pendapat untuk mempengaruhi atau meyakinkan orang lain. Artinya, kecakapan ini tidak saja pada kemampuan untuk menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh lagi harus sampai meyakinkan pendengarnya. Misalnya, upaya meyakinkan orang lain untuk membuang sampah di tempatnya atau memisahkan sampah organik dan anorganik. Kecakapan berkomunikasi seperti ini yang semain dibutuhkan pada berbagai profesi. Misalnya seorang manajer yang harus meyakinkan bawahannya untuk berprestasi. Kemudian, yang dimaksud sebagai berpikir pakar adalah kecakapan untuk memecahkan masalah yang belum diketahui cara pengerjaannya. Masalah-masalah jaman sekarang, seperti di dunia kedokteran, misalnya, muncul sebagai berbagai penyakit baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Ini berarti bahwa manusia modern dituntut untuk mampu memecahkan masalah tak rutin. Kata “tak rutin” di sini sangat penting, karena berarti manusia modern harus cakap dan terbiasa menghadapi masalah-masalah baru.

Dari gambaran kecenderungan kebutuhan kecakapan itu, OECD dengan PISAnya membuat rangkaian soal untuk menguji kesiapan siswa-siswa berumur 15 tahun terhadap pencapaian setidaknya dua kecakapan tersebut. Asesmen ini sudah dilakukan pada tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009. Indonesia turut serta dalam semua asesmen ini sejak tahun 2000. Hasilnya, dalam asesmen literasi matematika PISA dari tahun 2000-2009, secara umum dapat disimpulkan tiga masalah berikut:

M1. Siswa kita tidak terbiasa menyelesaikan permasalahan tak rutin. Ini berarti bahwa siswa kita hanya biasa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang sudah dibahas di kelas. Mereka kesulitan jika menghadapi permasalahan baru.

M2. Siswa kita lemah dalam memodelkan situasi nyata ke masalah matematika dan menafsirkan solusi matematika ke situasi nyata. Padahal kecakapan bermatematika yang dituntut dunia adalah kecakapan bermatematika yang utuh: dari memodelkan, mencari solusi matematika, menafsirkan ke masalah awal. Siswa-siswi di RI umumnya terbiasa mengerjakan Tahap 4 semata, seperti di Gambar 2. Artinya siswa-siswi kita fokus pada dunia matematika semata, tetapi tidak utuh melengkapinya dengan pengalaman berinteraksi antar dunia nyata dan dunia matematika.

Gambar 2 Proses Bermatematika atau Matematisasi (PISA)

Masalah Nyata

1,2,3Masalah

Matematika

4

Solusi Matematika

5Solusi Nyata

5 Dunia Matematika Dunia Nyata

Page 4: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

3

M3. Jenjang bernalar merangkum (comprehension) dan menganalisis sangat kurang. Ini berarti bahwa kecanggihan bernalar yang dituntut dunia lebih tinggi dari yang berjalan dalam praktik pembelajaran matematika Indonesia. Sebaliknya, tuntutan dunia thd ketrampilan menyelesaikan perhitungan ruwet sudah berkurang.

Dari hasil PISA 2000 sampai 2009 ini, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin siswa kita memiliki kelemahan 3 butir di atas? Hasil buruk yang konsisten dari anak-anak Indonesia dalam peringkat negara-negara yang ikut PISA 2000 sampai 2009 bukan sesuatu yang perlu ditangisi berkepanjangan. Yang lebih utama, yang harus diselidiki adalah permasalahan atau kelemahan apa dalam program pembelajaran matematika yang dimiliki siswa-siswi Indonesia. Dari diagnosa tentang kelemahan tiga hal di atas, sebetulnya yang paling wajar adalah mempertanyakan satu hal paling mendasar: “Seberapa relevan Pendidikan Matematika RI saat sekarang dengan kecakapan modern: berpikir pakar dan berkomunikasi kompleks?”

Relevansi UN Matematika dengan Kecakapan Modern Pada praktiknya, pendidikan matematika dari kelas 1 sampai 12 di Indonesia – suka atau tidak – ditujukan untuk Ujian Nasional Matematika. Karena UN Matematika ini bersifat high-stake atau

Gambar 3 UN Matematika sebagai Target Belajar

Pembelajaran Matematika di

Sekolah

Ujian Nasional Matematika

Pemahaman

Page 5: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

4

taruhannya besar – yakni kalau tak lulus, tak akan dapat melanjutkan studi – maka siswa akan belajar dengan fokus untuk UN Matematika tersebut, bukan demi pemahaman. Karena konsekuensi jika seseorang gagal UN Matematika sangat besar, yakni masa depannya dalam dunia akademik dilabel suram, maka siswa akan mati-matian belajar agar lulus UN Matematika, dengan segala cara yang mungkin. Sampai kapanpun, jika ada UN yang taruhannya besar, misalnya bukan untuk kelulusan tetapi untuk masuk ke perguruan tinggi, maka siswa tidak akan belajar untuk memahami, tetapi strategi mereka adalah fokus pada kemampuan atau ketrampilan mengerjakan soal-soal UN Matematika. Ini jelas tak ideal, namun akan menjadi jauh lebih tidak ideal lagi jika siswa kita mengejar ketrampilan-ketrampilan yang diujikan di UN Matematika yang ternyata tidak relevan dengan kecakapan modern yang dituntut dunia masa kini dan masa depan. Ini layaknya siswa-siswi diminta untuk memanjat pohon yang buahnya sebenarnya tidak dibutuhkan. Jadi, kalau demikian, pertanyaan mendasar dan paling wajar selanjutnya adalah seberapa relevan UN Matematika dengan kecakapan modern yang memang sengaja diukur seperti oleh PISA. Untuk itu, selanjutnya akan dilakukan komparasi antara soal-soal di PISA (Literasi Matematika) dan UN Matematika. Akan dikaji dan dicari perbedaan antara dua asesmen tersebut.

M1. Pemecahan Permasalahan Tak Rutin Seperti sudah diungkapkan di atas, dalam PISA jelas-jelas dikatakan bahwa kecakapan yang diukur adalah kecakapan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang tak rutin. Ini berarti bahwa memang didesain asesmen PISA ini menyajikan masalah-masalah yang belum pernah dihadai siswa. Malahan secara tegas, dikatakan dalam laporan PISA 2006: Science Competencies for Tomorrow’s World, Executive Summary, (OECD, 2007, p.9), bahwa mereka tertarik terhadap kemampuan siswa memanfaatkan apa yang dipelajari di kelas. Tepatnya,

…concerned with the capacity of students to extrapolate from what they have learned and to analyse and reason as they pose, solve and interpret problems in a variety of situations.

Ini berarti bahwa dalam PISA, siswa memang diharapkan mampu memecahkan suatu masalah baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya, memanfaatkan apa yang dipelajari di kelas dengan mengembangkannya. Ini yang diistilahkan secara tepat sebagai ekstrapolasi. Siswa harus mampu mengekstrapolasi apa yang dipelajari secara formal di kelas untuk menghadapi masalah baru. Ini tentunya sejalan dengan berpikir pakar yang memang dibutuhkan di abad sekarang. Nah, pada kecakapan ini, justru UN Matematika fokus pada pemecahan permasalahan yang rutin atau malah minim sekali mengujikan pemecahan permasalahan.

Berikut ini contoh permasalahan rutin yang dikutip dari Ujian Nasional Matematika SMP, Paket 54, No. 34.

Bu Mira mempunyai 1 kaleng penuh berisi beras. Kaleng berbentuk tabung dengan diameter 28 cm dan tinggi 60 cm. Setiap hari bu Mira memasak nasi dengan mengambil 2 cangkir beras. Jika cangkir berbentuk tabung dengan diameter 14 cm dan tinggi 8 cm, maka persediaan beras akan habis dalam waktu …

A. 15 hari

… seberapa relevan UN Matematika dengan kecakapan modern yang

memang sengaja diukur seperti oleh PISA.

Page 6: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

5

B. 20 hari C. 30 hari D. 40 hari

Untuk menyelesaikannya, kecuali membutuhkan ingatan tentang rumus volume tabung, siswa perlu ingat nilai 𝜋𝜋 = 22

7. Ini sifatnya meskipun jenis problem solving atau pemecahan permasalahan, tetapi ini

permasalahan yang rutin. Siswa sudah tahu harus pakai apa. Kecakapan yang justru diuji dengan soal ini bukan kecakapan memecahkan masalah lagi, tetapi justru bergeser ke kecakapan berhitung yang tepat. Perlu dicatat pula soal di atas tidak sahih secara matematika, karena nilai 𝜋𝜋 bukan 22

7 itu hanya

pendekatan. Padahal kalau pakai pendekatan nilai 𝜋𝜋 ≈ 3,14 jawabnya jadi tidak ada di pilihan tersebut.

Dapat dilihat juga bahwa masalah seperti ini sudah diajarkan gurunya di kelas. Akibatnya, kecakapan siswa menghadapi masalah baru menjadi tidak diukur. Siswa hanya menuliskan kembali metode yang diajarkan gurunya. Ini gagal menguji kemampuan siswa untuk mengkstrapolasi (melanjutkan dan memperluas) pengetahuan/kecakapan yang diajarkan guru di kelas.

Ini sangat beda dengan jenis soal-soal di literasi matematika di PISA dan asesmen matematika di negara-negara lain. Misalnya, berikut diberikan ilustrasi soal di PISA, dikutip dari dokumen Contoh Soal-soal PISA, Puspendik, Balitbang, Kemendikbud, 2011, hal. 8-9.

Page 7: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

6

Dapat diamati walaupun kedua soal di atas sama-sama pemecahan masalah, tetapi betapa berbedanya kecakapan pemecahan permasalahan yang diujikan tersebut. Dua kecakapan yang sangat berbeda pula yang akan dikejar oleh para pelajar. Yang pertama, rumit dalam perhitungan, tetapi jelas menggunakan metode apa, sedang masalah di PISA itu lebih pada menghadapi masalah yang tak rutin dan bukan permasalahan kecakapan ingatan atau ketepatan berhitung lagi.

M2. Proses Matematisasi Utuh Metode matematika dalam upaya memecahkan permasalahan nyata dapat digambarkan dalam Gambar 2. Siklus metode matematika merupakan siklus yang utuh tersebut. Pertama, dari masalah nyata dilakukan tahap 1, yakni menata permasalahan nyata menurut konsep matematika. Di sini, siswa perlu mengenali konsep matematika yang relevan. Kemudian, dalam tahap 2, siswa memangkas hal-hal yang tidak perlu serta menyederhanakan dengan membuat asumsi-asumsi yang pantas. Kemudian, dalam tahap 3, dibuatlah dalam bentuk model matematika, seperti persamaan, fungsi, dsb. Pada tahap ini, permasalahan nyata itu telah diterjemahkan menjadi sebuah model matematika yang formal, yang memungkinkan dicari solusi matematikanya. Kadangkala pola dimanfaatkan di sini untuk merumuskan model matematika itu.

Pada tahap 4, model matematika itu dikenakan berbagai teknik dalam matematika guna menemukan solusi matematikanya. Ini solusi formal matematika. Pengetahuan, ketrampilan berhitung, dan pemahaman gagasan matematika perlu digunakan untuk menemukan solusi matematika ini.

Kemudian, pada tahap 5, solusi matematika yang formal tersebut perlu diterjemahkan ke konteks yang sesuai dengan masalah nyata semula. Solusi matematika tersebut ditafsirkan menjadi solusi untuk

Page 8: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

7

permasalahan nyata semula. Dan, kemudian solusi tersebut diperiksa apakah dapat masuk akal untuk permasalahan nyata semula. Juga tidak lupa pada tahap 5 ini dilakukan pemeriksaan apakah solusinya telah lengkap. Secara umum, dalam seluruh lima tahap itu dibutuhkan kecakapan bernalar, ketrampilan manipulasi simbolik, kemampuan berkomunikasi, dan kecakapan memecahkan masalah.

Asesmen PISA ditujukan untuk mengukur kemampuan siswa dalam lima tahap di atas tersebut secara utuh. Lalu bagaimana dengan soal-soal di Ujian Nasional Matematika? Pada umumnya, soal-soal matematika di pembelajaran matematika serta Ujian Nasional Matematika menguji tahap 4 semata, yakni mencari solusi soal-soal yang sudah berbentuk persamaan matematika. Kebanyakan persamaan sudah diberikan. Artinya, siswa tidak dituntut untuk merumuskan persamaan atau model matematika lainnya. Salah satu bentuk yang masih sering ditanyakan di Ujian Nasional Matematika adalah bentuk soal cerita. Namun, ini pun biasanya sudah langsung tahap 3. Juga, perlu dicatat di sini, siswa Indonesia banyak yang menghadapi kesulitan di dalam bentuk soal cerita yang menuntut siswa untuk memahami masalah dalam bentuk paragraf tulisan kata-kata.

Sebagai ilustrasi soal-soal yang sudah diberikan rumusan fungsi atau persamaan seperti berikut ini sangat banyak di Ujian Nasional Matematika. Ini dikutip dari Ujian Nasional Matematika SMP 2011, No. 16.

Suatu fungsi didefinisikan dengan rumus 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 3 − 5𝑥𝑥. Nilai 𝑓𝑓(−4) adalah...

Dapat dibandingkan perbedaannya dengan kecakapan mematematikakan situasi yang justru diujikan di jenis soal-soal seperti di bawah ini.

Gambar 4 Soal MCAS Kelas 8, 2008, No. 26

M3. Kecakapan Bernalar Jenjang Tinggi Pada masa sekarang, informasi dan teknologi sangat tersedia dan sangat murah. Akibatnya, bagaimana hidup di masa sekarang sangat berbeda dibanding waktu 25 tahun lalu, misalnya. Kognitif rutin seperti menghafal dan berhitung prosedural semakin tak dibutuhkan lagi. Pada grafik di Gambar 1, misalnya dapat dilihat bahwa kecakapan jenis kognitif rutin cenderung semakin tidak dibutuhkan lagi di dunia

Page 9: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

8

kerja. Walaupun tidak dapat disangkal bahwa jenjang bernalar tingkat rendah, yakni menghafal, merangkum, dan menerapkan (sederhana) masih dibutuhkan, namun jenjang tinggi semakin relevan dengan kehidupan modern. Kecakapan bernalar tingkat rendah dan kecakapan bernalar tingkat tinggi harus dilihat sebagai kecakapan yang saling menguatkan, bukan dibuat dikotomi lagi. Pendidikan Asia tradisional yang cenderung diasosiasikan dengan kecakapan rutin dan teknis, saat sekarang telah ditransformasikan menjadi pendidikan yang dilengkapi dengan kecakapan bernalar tingkat tinggi serta bernalar kreatif. Sebaliknya pendidikan di Barat, terutama di AS, yang cenderung diasosiasikan dengan pendidikan yang mendewakan jenjang bernalar tinggi, saat sekarang justru memposisikan kembali pentingnya jenjang bernalar tingkat rendah untuk mendukung jenjang bernalar tingkat tinggi, serta kecakapan pemecahan masalah. Secara ringkas, masa kini pendidikan matematika di dunia cenderung konvergen menuju penyatuan tiga kecakapan yang saling menguatkan, yakni ketrampilan teknis berhitung, pemahaman konsep, dan pemecahan masalah tak rutin. Ketiga hal itu saat sekarang sudah dipandang sebagai suatu kecakapan yang tidak perlu dipertentangkan kembali. Hampir semua negara di dunia cenderung melihat tiga-tiganya menyatu saat sekarang serta saling mendukung satu terhadap lainnya.

Dalam konteks Indonesia saat ini, pendidikan matematika nasional kita cenderung fokus pada kecakapan teknis berhitung serta penghafalan rumus, yang dikategorikan sebagai jenjang bernalar rendah. Ujian Nasional Matematika juga sangat condong pada jenjang bernalar rendah tersebut. Misalnya amati soal di Gambar 5 berikut, yang menunjukkan bahwa siswa mutlak harus hafal rumusnya untuk mengerjakan. Memang dapat diturunkan rumusnya dari rumus luas cakram serta pemahaman sifat geometri kerucut, namun itu membutuhkan waktu yang lebih dari 2 menit, yang jelas tak mungkin dalam UNAS Matematika.

Gambar 5 Soal UNAS SMP 2011, No. 37

Ini sama sekali tidak mengatakan bahwa tingkat kesulitan soal-soal di Indonesia lebih rendah dibanding negara lain. Tidak sama sekali, justru soal-soal di UN Matematika sangat rumit perhitungannya. Jauh lebih rumit dibanding asesmen internasional. Namun, tuntutan bernalar di UN Matematika cenderung rendah, sedang di asesmen internasional justru tinggi. Perbandingan ini dapat digambarkan pada Gambar 6. Di dunia saat sekarang cenderung pembelajaran matematika serta evaluasinya pada bagian kiri-bawah dan kiri-atas. Sedangkan dalam praktik pendidikan matematika nasional serta Ujian Nasional Matematika yang ada sekarang, justru dipenuhi dengan jenis masalah yang ada di kanan-bawah. Ini jenis-jenis masalah yang sangat mudah disiasati dengan rumus-rumus “cepat” yang diajarkan di berbagai bimbingan tes komersial.

Page 10: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

9

Gambar 6 Empat kuadran tipe masalah matematika

Ini sekali lagi menekankan bahwa tingkat kesulitan Ujian Nasional Matematika tidak lebih rendah, juga tidak lebih tinggi, daripada asesmen pembanding di negara lain. Ujian Nasional Matematika serta praktik pendidikan matematika nasional di RI ini berbeda dengan negara lain. Orientasi pendidikan matematika di RI saat sekarang melenceng dibanding di negara-negara lain. Siswa-siswi di Republik akibatnya tidak mempelajari kecakapan bernalar tingkat tinggi yang dipelajari seperti teman-temannya di negara lain.

Ilustrasi berikut menunjukkan bahwa tuntutan penghafalan rumus yang semakin menurun serta sebaliknya peningkatan tuntutan kecakapan bernalar tingkat tinggi (jenjang menganalisis). Soal ini dari Massachusetts Comprehensive Assessment System (MCAS) untuk kelas 8, atau SMP kelas 2, tahun 2008.

BernalarCanggih –

PerhitunganSederhana

BernalarCanggih –

PerhitunganRuwet

BernalarRendah –

PerhitunganSederhana

BernalarRendah –

PerhitunganRuwet

Page 11: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

10

Gambar 7 Soal MCAS Kelas 8, 2008

Jadi, sangat wajarlah bahwa hasil siswa-siswi RI dalam PISA atau TIMSS menjadi rendah. Menjadi lebih aneh lagi jika tingkat kesulitan soal-soal Ujian Nasional matematika akan lebih dipersulit dalam artian kompleksitas/keruwetan perhitungan. Ini akan membuat siswa-siswi kita semakin melenceng dari arah kecakapan dunia modern. Keadaan pendidikan matematika di Republik ini saat sekarang dapat dikatakan sudah berada pada jalur yang berbeda dengan negara-negara lain, bukan lebih rendah.

Kesimpulan 1. Karena Ujian Nasional Matematika fokus pada pengujian kecakapan bernalar tingkat rendah

serta kecakapan yang sudah kedaluarsa, akibatnya – mau tak mau – para pemuda/i Indonesia dalam proses pembelajaran matematikanya kehilangan kesempatan belajar bernalar jenjang tinggi serta mempelajari kecakapan masa modern ini. Sebenarnya, kuat dugaan hal yang sama terjadi pada bidang studi lainnya, seperti bahasa, misalnya.

2. Keberadaan sistem Ujian Nasional Matematika seperti sekarang yang menempatkan fungsinya sebagai sebuah exit exam (ujian kelulusan) atau ditambah wacana UN sebagai ujian saringan

Page 12: UN Matematika Menyiapkan Anak Menjadi Kuli Nirnalar

Iwan Pranoto

11

masuk perguruan tinggi dan ditambah kualitas soal yang buruk – seperti diulas di atas – sangat menyulitkan perbaikan mutu pendidikan matematika nasional. Secara langsung dan tak langsung artinya Negara menyokong pengabaian pengembangan kecakapan modern yang dibutuhkan di Abad 21 bagi putra-putri bangsanya.

3. Jika keadaan seperti sekarang ini – yakni sistem Ujian Nasional Matematika serta jenis soalnya yang kurang memperhatikan kecakapan modern seperti sekarang – diteruskan, maka bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa program pendidikan matematika nasional di Republik ini menyiapkan pemuda-pemudinya untuk menjadi kuli kasar di masa depan. Akan sangat sulit bagi para pemuda pemudi Indonesia di masa depan dalam berfungsi secara efektif di percaturan dunia global. Dampak selanjutnya adalah perekonomian Republik Indonesia yang rapuh dan tak akan mampu bertahan di percaturan dunia masa depan. Sebaliknya, dengan membenahi pendidikan, matematika khususnya, akan berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian Bangsa ini di masa sekarang dan masa depan.

Daftar Pustaka Massachusetts DOE (2011). Massachusetts Comprehensive Assessment System, Math Test, Grade 8,

http://www.doe.mass.edu/mcas/testitems.html?yr=08

OECD (2007). PISA 2006: Science Competencies for Tomorrow’s World, Executive Summary.

Puspendik (2011). Contoh Soal-Soal PISA, Balitbang, Kemendikbud.

Trilling, B. dan Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times, John-Wiley & Sons, San Francisco.

… education becomes the key to economic survival in the 21st

century.

Trilling dan Fadel (2009 ,hal. 6)