psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus
TRANSCRIPT
Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus
Dr. Frieda Mangunsong(dosen fakultas Psikologi, Universitas Indonesia)Cetakan Pertama (2009, LPSP3 UI)
ISBN: 978-602-8137-03-4
PENTINGNYA MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK DIDIK YANG TUNARUNGUSiswa adalah individu yang unik. Keunikan bisa dilihat dari adanya perbedaan. Artinya, tidak ada dua individu yang sama meskipun kembar atau memiliki kemiripan. Pada hakekatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan, dan sebagainya. Di samping itu, setiap individu adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tidaklah sama.
Oleh karena itu, kita hendaknya memiliki yang mendalam tentang psikologi perkembangan anak tunarungu. Ini akan berguna supaya kita bisa mendekati dan memahami anak tunarungu kita dalam berbagai hal. Seorang guru hendaknya memiliki pemahaman psikologi perkembangan anak tunarungu.
Dengan adanya pemahaman terhadap peserta didik yang tunarungu, akan mewujudkan keberhasilan dalam proses pendidikan. Guru diperlukan memiliki pemahaman yang benar terhadap psikologi perkembangan ini. “Peserta didik yang tunarungu berada di wilayah berbeda dan mereka adalah bagian dari satu generasi dan punya cara sendiri untuk merasakan suatu hal”.
Mengapa mempelajari perkembangan anak tunarungu itu penting? Mengapa kita perlu mempelajari mereka? Masa anak-anak merupakan fase penting dalam kehidupan manusia. Anak tunarungu ini akan berkembang sebagaimana anak-anak lainnya, dan ada sebagian berkembang dengan cara berbeda. Kita sering melihat keunikan anak tersebut.
Umumnya, para psikolog yang mempelajari perkembangan sering sekali tertarik pada karakteristik yang di miliki anak-anak, demikian pula guru juga harus bisa mengelola dan mendidik anak tunarungu. Kita sendiri pernah
mengalami dan melalui masa anak-anak, bermain-main, menambah kosa kata dan merangakai kalimat di saat sekolah, sehingga sampai sekarang kita bisa menjadi bebas.
Pada manusia, perkembangan yang paling menarik untuk diamati ialah pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada seorang anak. Di mana proses tumbuh dan kembang ini berlangsung terus menerus sejak masa konsepsi hingga masa remaja.
Perkembangan ialah pada perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional yang dimulai sejak lahir hingga akhir usia (di masa tua). Perkembangan di sini diartikan sebagai bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, berbicara atau berbahasa, serta kemampuan sosialisasi. Bila disederhanakan, perkembangan adalah bertambah pintarnya kemampuan sel-sel.
Pendidikan harus sesuai dengan perkembangan ini. Artinya, pengajaran terhadap siswa harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak tersebut sehingga tidak terlalu sulit, terlalu menegangkan, dan menjemukan. Pendidikan SLB berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Begitu juga pengajaran SDLB dan dengan SMPLB.
Pola perkembangan anak sendiri merupakan pola yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses yaitu proses biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Proses BiologisProses biologis adalah perubahan dalam tubuh anak. Faktor ras, keluarga, umur, jenis kelamin, genetik serta kelainan kromosom akan memerankan penting proses ini. Ini berarti proses biologis yang melandasi perkembangan otak, berat, dan tinggi badan, perubahan dalam kemampuan gerak, dan perubahan hormonal di masa puber.
Proses KognitifProses kognitif merupakan aktivitas yang memerlukan perolehan atau pengungkapan pengetahuan (struktur), yaitu perubahan dalam pemikiran, inteligensi, dan bahasa anak. Proses ini terdiri dari dua tingkat yaitu representasional dan eksekutif. Penting membicarakan kemampuan individu dalam mengungkapkan informasi tentang lingkungan di dalam otak
dan kemampuan untuk melakukan dengan menggunakan pengetahuannya. Proses kognitif merujuk pada kesadaran yang dimiliki individu tentang daya pikir dan nalar mereka. Proses perkembangan kognitif memampukan anak untuk merangkai kalimat yang bermakna, mengingat puisi, memecahkan persoalan-persoalan mata pelajaran, dan sebagainya.
Proses Sosio-emosionalProses sosio-emosional adalah perubahan dalam anak dengan orang lain, perubahan dalam emosi, dan perubahan dalam kepribadian. Misalnya: interaksi dalam keluarga, perkembangan sosial, dan kepribadian, pembentukan suatu subkultur yakni budaya kaum tunarungu. Perkembangan sosio-emosional berkaitan dengan prestasi akademik. Perkelahian anak, perkembangan inteligensi anak, dan persahabatan anak merupakan perkembangan sosio-emosional.
Memahami perkembangan anak didik yang tunarungu akan membuat guru makin bijak dalam pendidikan tunarungu. Semua anak memiliki tingkat perkembangan yang berbeda, begitu pula dengan kecenderungan atau potensi dan bakatnya. Penyikapan yang benar terhadap perkembangan dan perbedaan anak ini akan membuat anak didik yang tunarungu akan nyaman dalam belajar karena merasa dihargai dan dihormati hak-hak dan kemampuannya.
Pernahkah anda memperhatikan seorang bayi atau balita yang meneliti dengan seksama sebuah mainan yang baru? Mainan yang baru merupakan benda asing baginya. Dia memasukkannya ke dalam mulut untuk mengetahui rasanya. dia menggoyah-goyahkannya, mengangkatnya, dan memutarkannya perlahan-lahan, sehingga bisa melihat bagaimana setiap sisinya. Dia menempelkan mainan ke telinga, menjatuhkan ke tanah, lalu mengambil kembali dan membongkarnya.
Proses ini disebut belajar secara menyeluruh (Global Learning). Global learning merupakan cara alamiah bagi seorang manusia untuk mempelajarinya, yaitu menyerap berbagai fakta. Peranan guru sangat fundamental terhadap masa ini, agar setiap anak mampu menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Mereka akan dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya sebagai bekal hidup mereka, dan dapat mencapai serta melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dia dapat tumbuh dan berkembang
sebagai manusia ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan masyarakat.
http://ketunarunguan.blogspot.com/2009/12/pentingnya-memahami-psikologi.html
BIMBINGAN SOSIAL PSIKOLOGIS PADA ANAK TUNARUNGU Oleh: Drs. Jon Efendi, M.PdOleh jofipasi
BIMBINGAN SOSIAL PSIKOLOGISPADA ANAK TUNARUNGUOleh: Drs. Jon Efendi, M.Pd
A. PendahuluanAnak tunarungu merupakan individu yang unik, yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Setiap individu sama-sama memiliki potensi atau kekuatan yang dapat untuk dikembangkan demi untuk mencapai suatu keseimbangan, keserasian dalam menempuh hidup untuk berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan di rumah, sekolah maupun masyarakat. Potensi-potensi yang dimilki dapat dikembangkan seoptimal mungkin dalam rangka mempersiapkan hidupnya di masa mendatang dengan penuh ketenangan dan kebahagian. Semuanya ini tentu tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan dan bimbingan Sebagaimana yang tersirat dalam UU.No.2.Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu “ bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya dimasa akan datang”.Semua unsur yang tercermin dalam Undang-Undang tersebut tidak hanya di berlakukan untuk anak-anak normal saja melain kan mencakup bagi anak luar biasa. Dalam hal ini bahwa anak tunarungu merupakan salah satu bagian dari anak luar biasa yang mengalami kecacatan fisik terutama pada pendengaran. Dengan adanya kecacatan pendengaran otomatis berpengaruh lansung terhadap kemampuan didalam berkomunikasi. Untuk itu perlu mendapatkan bimbingan, pengajaradan dan/atau latihan seperti anak normal lainnyaPP.No. 29/1990. Ps. 27. Menegaskan “ bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal
lingkungan, dan merencanakan masa depan “.Selanjutnya dalam PP. No. 72 Tahun 1991, Bab II. Ps. 2 menjelaskan bahwa“Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan”
Memperhatikan ketiga pandangan di atas, diharapkan bagi anak tunarungu mampu memahami dan menemukan pribadinya (jati dirinya), mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri serta dapat menerima secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan lebih lanjut. Sebab secara nyata anak tunarungu perlu bersosialisasi dengan lingkungan, baik itu lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat luas.Kadang kala dalam berinteraksi sosial terhadap lingkungan anak merasa dirinya terasing dari yang lain. Hal ini barang tentu merupakan dampak dari ketunarunguannya, karena berkomunikasi terhambat sehingga psikologi dan sosialnya berpengaruh, maka dalam bertingkah laku menunjukkan keangkuhan dan kesombongannya.Untuk mengatasinya kita selaku pendidik dituntut untuk dapat menge-tahui dan memahami karakteristik dan membaca situasinya. Sebagaimana kompleknya permasalahan yang dimilikinya semua akan berpengaruh kepada tingkah laku ATR.Meadow dalam Harris (1997) berpendapat: “ … Inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa anak tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian dari anak-anak yang berpendengaran normal. Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-masalah nyata atau serius diteliti, mereka ternyata menunjukkan kekhasan akan kekakuan, , implusif dan keras kepala.
Kekakuan, egosentris, dan keras kepala ini merupakan bagian dari aspek psikologis dan sosial, semua ini akan muncul apabila anak tunarungu telah berinteraksi dengan lingkungan. Sehingga didalam menghadapi hidup ini anak tunarungu merasa asing dari lingkungan sosialnya. Ini disebabkan karena penyandang tunarungu kurang atau tidak dapat merespon perintah-perintah secara verbal yang meliputi kepada kekurangan dalam penguasaan bahasa sehingga fokus pemikirannya juga terbatas, sehingga semua ini
dapat mengakibatkan kemunduran untuk bersoialisasi.B. PermasalahanBerdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan diatas maka penulis merumuskan permasalahan diataranya adalah “ Bagaimanakah upaya guru dan/atau konselor dalam mengembangkan aspek psikologis dan sosial anak tunarungu melalui layanan bimbingan?
C. Tujuan PembahasanAdapun dari tujuan pembahasan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana upaya guru dan/atau konselor di dalam melaksanakan proses pendidikan agar tidak terjadi penyimpangan dari aspek psikologis dan sosial yang lebih jauh, dan guru serta konselor diharapkan betul-betul bisa untuk mengetahui segala tindakan yang tercermin pada prilaku anak tunarungu tersebut.D. Metode PendekatanPembahasan bersifat komprehensif tentang konsep siswa tunarungu, serta konsep layanan bimbingan yang dapat di lakukan guna untuk mengembangkan aspek-aspek psikologis dan sosial anak tunarungu. Pembahasan ini berupaya menggali dengan menggunakan kajian pustaka, selanjutnya dirumuskan dalam bentuk uraian, serta masukan dari sejawat serta sekelumit persepsi yang ada pada penulis.E. Pembahasan1. Bimbingan psikologis dan sosial anak tunarunguDalam kehidupan sehari-hari kita mendengar banyak peristilahan yang muncul. Untuk anak yang mengalami kelainan pendengaran, ada yang mengatakan “Tuli, bisu, tunawicara, cacat dengar, kurang dengar ataupun tunarungu” Istilah-istilah dan pandangan tersebut tidaklah semuanya benar, sebab bila memperhatikan pengertian dari masing-masing kata menimbulkan pengertian yang kabur, dan tidak dapat menggambarkan kepada keadaan yang sebenarnya. Namun istilah yang lazim dipergunakan dalam pendidikan luar biasa adalah Tunarungu.Peserta didik yang mengalami gangguan pendengaran , sering juga disebut dengan anak tunarungu. Ada dua macam pengertian atau definisi mengenai ketunarunguan sesuai dengan bidang garapan yang memandangnya, yaitu pengertian berdasarkan medis dan pengertian berdasarkan pedagogis.Secara medis ketunarunguan berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan fungsi dari sebagian atau seluruh alat/organ-organ pendengaran.
Sedangkan secara pedagogis ketunarunguan adalah kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan, sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Kemudian Dwidjosomarto dalam Somad (1996) yang mengutip pendapat dari hasil seminar pada tahun 1988 di Bandung menyebutkan” bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai ransangan terutama melalui indera pendengaran.Bila memperhatikan dari ketiga defenisi tersebut maka dapat di-simpulkan bahwa “tunarungu adalah mereka yang kekurangan atau kehilang pendengaran walaupun telah diberikan rangsangan tetapi tetap tidak dapat memahami atau menangkap reaksi yang ada, sehingga menghambat terhadap perkembangannya, dan dampaknya kepada kehidupan yang kompleks dengan demikian perlu layanan bimbingan dan pendidikan khusus.Dampak terhadap kehidupannya secara kompleks mengandung arti bahwa akibat dari ketunarunguan dapat menghambat perkembangan-perkembangan anak tunarungu dalam melaksanakan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat menghambat terhadap perkembangan kepribadian secara keseluruhan misalnya aspek psikologis (inteligensinya), emosi dan sosialnya.Yang perlu diperhatikan terhadap akibat ketunarunguan ialah hambatan dalam berkomunikasi. Sebab komunikasi adalah merupakan hal yang sangat penting di dalam menempuh kehidupan. Kenyataannya anak tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengaran, sehingga anak sulit untuk memahami bahasa yang di ucapkan oleh orang lain dan anak tunarungu tidak bisa berkomunikasi apabila tidak diberikan latihan dan bimbingan dalam berbahasa.Dengan demikian karena pendengarannya kurang berfungsi sehingga ia mengalihkan pengamatannya melalui mata, maka anak tunarungu disebut dengan “insan pemata”. Dengan mata anak tunarungu dapat melihat bahasa lisan dan oral dan dapat melihat ekspresi wajah dari lawan bicara, guna untuk menangkap makna yang disampaikan oleh lawan bicaranya melalui gerak bibir.2. Penyebab KetunarunguanKetunarunguan seseorang bisa terjadi sebelum lahir yang disebut dengan prenatal, ketika lahir disebut dengan natal , dan setelah lahir disebut dengan posnatal. Namun didalam menyampaikan tentang penyebab anak tunarungu tergantung kepada kita dari mana kita memandang.
Trybus dalam Kirk dan Gallagher yang dialih bahasakan oleh Amin (1990) mengemukakan penyebab ketunarunguan antara lain:1. Keturunan2. Campak jerman dari pihak ibu3. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran4. Radang selaput otak (maningitis)5. Otitis madia (radang pada telinga bagian tengah)6. Penyakit anak-anak , radang dan luka-luka.Sedangkan para ilmuwan dari pihak lain ada yang mengelompokan berdasarkan faktor-faktor penyebab ketunarunguan ,yaitu:a. Faktor dalam diri anakFaktor dari dalam diri anak dapat disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tua yang mengalami ketunarunguan. Banyak kondisi genetik yang berbeda sehingga mengakibatkan ketunarunguan. Dalam hal ini juga karena tranmisi antara gen dari kedua orang tua anak ada yang dominan dan ada pula yang resesif serta berhubungan dengan jenis kelamin. Meskipun ini merupakan pendapat umum tapi belum ada kepastian berapa persen yang disebabkan oleh keturtunan namun diperkirakan oleh Moores dalam Somad (1996) Ibu yang mengandung menderita penyakit campak jerman (rubella). Penyakit rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh buruk pada janin. Sedangkan Hardy dalam Kirk dan Gallagher (1986) melaporkan 199 anak-anak yang ibunya terkena virus rubella selagi mengandung selam masa tahun 1964 sampai 1965, 50% dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran. Rubellah dari pihak ibu merupakan penyebab yang paling umum yang dikenal sebagai penyebab ketunarunguan.Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia, hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran maka anak tersebut akan lahir dalam keadaan tunarungu.b. Faktor luar diri anakAnak mengalami infeksi pada saat lahir atau kelahiran. Misalnya, anak terserang Herpes Implex, jika infeksi ini menyerang kelamin ibu dapat menular kepada anak saat dilahirkan. Penyakit kelamin dapat ditularkan melalui virus. Penyakit-penyakit yang ditularkan bisa menimbulkan infeksi dan dapat menyebabkan kerusakan pada alat-alat syaraf pendengaran.Menurut Kirk dan Gallagher (1986). yang telah mengutip pendapat Vermon (1968) menyatakan “bahwa meningitis atau radang selaput otak sebanyak
8,1%, Ries (1973), melaporkan 4,9%, sedang Trybus (1985) memberikan keterangan sebanyak 7,3%Otitis Media (radang telinga bagian tengah), telinga berair ( nanah) dan nanah mengumpul dapat mengganggu hantaran bunyi .Jika kondisi ini kronis dan tidak segera diobati, bisa menimbulkan kehilangan pendengaran. Penyakit ini sering terjadi pada masa kanak-kanak sebelum mencapi usia 6 tahun. Ketunarunguannya bertipe konduktif, selain itu bisa karena infeksi pernapasan atau pilek dan penyakit anak-anak seperti campak.Penyakit lain bisa disebabkan oleh kecelakaan yagn dapat menimbulkan benturan pada bagian kepala sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan pada alat pendengaran bagian tengah dan dalam.3. Karakteristik Anak TunarunguBila memperhatikan anak tunarungu secara fisik dibanding dengan anak normal lainnya secara umum tidak tampak perbedaanya, justru anak tunarungu tampil seperti orang biasa. Tetapi bila kita ajak betransaksi berbicara (komunikasi ) terlihat ada tampak suatu kejanggalan-kejanggalan pada dirinya, hal ini merupakan wujud nyata dari dampak ketunarunguan-nya. Dengan demikian bahwa anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas diantaranya adalah sebagai berikut:b. Karakteristik dari segi inteligensiPada umumnya anak tunarungu memiliki inteligensi normal atau rata-rata akan tetapi, semua perkembangan inteligensi juga dipengaruhi oleh perkembangan bahasa , maka tampaknya inteligensinya rendah disebabkan karena kesulitan dalam memahami bahasa. Perkembangan inteligensi anak tunarungu tidak sama cepatnya dengan mereka mendengar, karena dengan pendengaran ini lah yang dapat membuat mereka berfikir.Rendahnya inteligensi anak tunarungu bukan disebabkan IQ poten-sialnya yang tidak berkembang, tetapi fungsinya kurang memperoleh kesempatan untuk berkembang. Aspek inteligensi yang terhambat hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam memberikan makna, menarik kesimpulan dan meramalkan suatu kejadian.b. Karakteristik dalam segi bahasa dan bicaraPerkembangan bahasa bicara anak tunarungu sampai saat meraban , tidak mengalami hambatan, karena merapan merupakan kegiatan alami, dalam upaya melatih pernapasan dan pita suaraBahasa bagi anak tunarungu adalah merupakan alat berfikir dan sarana utama seseorang untuk berkomunikasi. Maka melalui mendengar mereka dilatih dan didik secara khusus. Dengan melalui latihan maka bahasa
bicaranya diharapkan dapat berkembang. Kita memahami dengan ketidak mampuannya berbahasa dan bicara dibandingkan dengan anak normal sebayanya akan tampak mereka lebih tertinggal. Hal ini dapat disadari bahwa anak tunarungu walaupun sudah didik secara khusus banyak diantara mereka yang tetap ketinggalan 2 sampai 4 tahun dalam kemampuan membaca dan menulis jika hal ini kita banding dengan anak yang mendengar. Untuk kita mengharapkan dalam pengembangan komunikasi perlu tenaga pendidik dan bimbingan yang professional.c. Karakteristik dalam segi emosi dan sosialDengan ketunarunguan dapat mengakibatkan kurang kepercayaan dirinya dan merasa asing dari masyarakat tempat mereka hidup, sehingga tampak adanya kekurangan dalam interaksi ocial dengan lingkungan tersebut. Dengan demikian semua ini mengakibatkan pada diri muncul adanya suatu keterasingan antara mereka dengan anak normal yang mendengar lainnya. Selain itu pada anak tunarungu punya pandangan yang negetif atau bertindak kurang menyenangkan terhadap lingkungan. Melihat gejala yang tampak ini akan dapat mempengaruhi kepada perkembangan kepribadian anak tunarungu. Untuk itu akan tampak pula efek-efek negatifnya diantara:d. Egosentrisme yang melebihi anak normalDaerah pengamatan anak tunarungu lebih kecil jika dibandingkan dengan anak yang mendengar, mereka hanya mampu menangkap dan memasukan sebagian kecil dunia luar ke dalam dirinya. Jadi makin sempit perhatiannya, dunia di luar hidupnya semakin menutup dan mempersempit kesadaran.Bagi anak yang masih mempunyai sisa pendengaran, dan jika alat bantu pendengarannya dipakai sejak kecil maka akan dapat membantu memfungsikan sisa pendengaran yang ada. Sehingga didalam menepuh hidupnya dapat terjalin komunikasi dan interaksi sosial dengan masyrakat dilingkungannya.Selain itu kita sangat menyadari bahwa penglihatan dan pengamatan anak tunarungu sangat besar peranannya, sehingga dalam perjalanan hidupnya mereka memiliki sifat “sangat ingin tahu” seolah-olah mereka selalu haus untuk melihat. Hal tersebut bisa juga terjadi pada orang yang mendengar, tetapi bagi anak tunarungu sifat tersebut lebih menonjol.a. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luasBagi orang normal yang mendengar dapat saja suatu saat dihinggapi perasaan takut akan kehidupan ini, tetapi bagi anak tunarungu lebih sering muncul perasaan tersebut. Semua ini dapat terjadi karena anak tunarungu sering merasa kurang menguasai keadaan yang ada hal ini di akibatkan
karena pendengaran yang mengalami ganguan, sehing sering muncul pada dirinya kekuatiran yang lebih akhirnya dapat menimbulkan suatu ketakutan.b. Ketergantungan tehadap orang lain.Siakap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan sikap bahwa mereka memiliki rasa keputusasaan dan selalu mencari bantuan dan perlindungan terhadap orang lain, maka di sini berarti anak tunarungu kurang percaya diri dan kurang yakin dengan apa yang telah dimiliki.c. Perhatian yang sukar dialihkanSuatu hal yang sering terjadi pada anak tunarungu baik disekolah maupun di lingkungan tempat mereka tinggal, apabila ia menyukai suatu benda, atau menyukai suatu jenis kegiatan yang berupa keterampilan maupun permainan bisa mereka melakukannya maka perhatiannya sulit untuk dialihkan. Anak tunarungu sukar diajak berfikir tentang hal-hal yang belum terjadi artinya anak tunarungu lebih miskin akan fantasi (abstrak).e. Memiliki sifat polos, sederhana tanpa banyak masalahDidalam hidupnya sehari-hari mereka seakan-akan tidak mempunyai beban biasanya dengan mudah menyampaikan perasaannya kepada orang lain tanpa berfikir dan mempertimbangkan atau memandang bermacam-macam segi yang mungkin menjadi penghalang. Hal ini bisa dipahami karena anak tunarungu tidak memilih alternatif lain karena anak tunarungu tidak menguasai suatu ungkapan dengan baik, bila itu tidak berkenan dalam hatinya maka anak tunarungu lansung menyampaikan walaupun perkataannya akan menyingung perasaan seseorang.f..Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggungKarena sering mengalami kekecewaan disebabkan karena kesukaran dalam menyampaikan fikiran perasaan kepada orang lain, hal ini diekspre-sikan dengan kemarahan. Mereka kadang kala berfikir bahwa setiap orang yang berbicara dihadapan mereka seakan-akan yang dibicarakan oleh orang lain tersebut adalah membicarakan dia, atau mengeledeknya.Anak tidak akan tersinggung apabila mampu memahami, mengerti dan menguasai dirinya melalui bahasa yang dimilikinya luas. Artinya apa yang dibicarakan orang lain akan lebih mudah dia kuasai dan akan semakin mudah pula mereka berbicara. Akhirnya semua ini akan dapat menumbuhkan keyakinan di dalam menerima dirinya, dengan kata lain kepercayaan diri semakin tinggi, akhirnya akan menunjukkan kematangan dalam berprilaku (kepribadiannya).
BAB III.PEMBAHASAN TENTANG UPAYA PENGEMBANGAN ASPEK PSIKOLOGIS DAN SOSIAL ANAK TUNARUNGUMELALUI LAYANAN BIMBINGAN
A. Hakekat Dan Pengertian BimbinganDalam rangka menjawab permasalahan yang telah dikemukakan pada bab pendahuluan tentang upaya guru dan/atau konselor untuk mengem-bangkan aspek psikologis dan sosial anak tunarungu melalui layanan bimbingan, maka dapat kita simak dan kita pahami apa itu sebenarnya konsep dari bimbingan.Bimbing merupakan terjemahan dari “guidance”. Sesuai dengan istilah bimbingan dapat diartikan sebagai bantuan. Dalam bantuan ini adalah sesuatu yang membutuhkan syarat tertentu, prosedur tentu, pelaksanaannya tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat difinisi-difinisi tentang bimbingan yang telah disamapaikan oleh para pakar pendidikan.Didifinisi yang mengarah kepada bimbingan di sekolah sebagaimana Mortensen dan Schmuller dalam Suheiri (1996) menyampaikan bahwa bimbingan adalah merupakan bagian dari program pendidikan yang membantu menyediakan kesempatan dan layanan dari staf khusus agar semua siswa dapat mengembangkan kecakapan dan kemampuan mereka sepenuhnya sesuai dengan arti konsep demokratis.Shertzer & Stone dalam suheiri (1996) menyebutkan bahwa bimbingan itu suatu konsep, bimbingan merupakan, sebagai suatu upaya membantu individu suatu konstruk pendidikan, bimbingan mengacu kepada suatu bentuk pengalaman yang dapat membantu siswa untuk memahami diri sendiri, dan sebagai suatu program, bimbingan mengacu pada prosedur dan proses yang terorganisasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pribadi tertentu.Natawidjaja ( 1988) menyebutkan pula bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara bersinambungan, supaya individu tersebut dapat memenuhi dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarkat serta kehidupan pada umumnya. Dengan demikian , ia dapat mengecap kebahagian hidupnya dan dapat memberi sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat umumnya. Bimbingan membantu
indivindu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.
Melihat kepada pengertian bimbingan yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan, bahwa “bimbingan untuk anak tunarungu adalah proses bantuan secara rutinitas dalam upaya mengoptimalisasikan sikap dan pribadinya sebagai makhluk sosial dalam rangka mahami diri sendiri, mengatasi bermacam kesulitan, mengambil keputusan,dan bisa bertindak sesuai dengan tuntutan lingkungan agar individu merasa bahagia di dalam melansungkan kehidupan di masa mendatang”. Dengan demikian secara lansung tersirat misi dari bimbingan adalah memahami, menerima mencegah dan mengembangkan pontensinya yang ada.E. PENGEMBANGAN PSIKOLOGIS DAN SOSIAL ANAK TUNARUNGUDalam menuju dan mempersiapkan pribadi yang baik untuk dapat berinteraksi sosial dengan lingkungannya, maka pendidikan anak tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan yang dapat disesuaikan dengan kondisi masa depan. Guru atau konselor harus memiliki pengetahuan khusus guna untuk memahami permasalahan yang dihadapi anak tunarungu.Dalam proses bimbingan terdapat tiga unsur pokok yang terlibat yaitu : guru bimbingan, siswa ( anak tunarungu), dan situasi bantuan. Ketiga unsur pokok ini sangat menentukan keberhasilan bantuan. Meskipun demikian diantara ketiganya kemampuan guru bimbingan adalah paling menentukan. Karena guru bimbingan perlu dibekali keterampilan-keterampilan dan sifat-sifat kepribadian yang menunjang kemampuannya dalam mencapai tujuan bimbingan. Supriadi (1997) mengemukakan bahwa kompetensi yang perlu dimiliki guru pembimbing antara lain: (1) mengetahui dan menerapkan teknik-teknik bimbingan, (2) keterampilan-keterampilan sosial yaitu mampu membina hubungan baik dengan siswa (empati, lemah lembut, hangat, penuh pngertian, dan penghargaan pada siswa). (3) kelincahan dalam mengum-pulkan data dan informasi yang diperlukan, untuk kemudian menafsirkan, (4) kemampuan menafsirkan isyarat yang ditujukan oleh siswa dalam proses bimbingan, (5) rendah hati, tetapi mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, (6) jujur dan murni, tidak berpura-pura terhadap dirinya maupun siswanya dan mempunyai integritas diri. Sifat-sifat dan keterampilan tersebut dapat diperoleh melalui belajar (pendidikan atau pelatihan) dan pengalaman.Untuk selanjutnya seorang petugas bimbingan atau pun guru, harus memiliki latar belakang pengetahuan mengenai dinamika tingkah laku anak
tunarungu. Pengetahuan ini diperlukan untuk dapat memahami kepribadian setiap anak. Seorang guru harus menyadari bahwa efek dari masalah yang sekunder ketunarunguan lebih berat atau sukar ditangani dari pada ketunarunguannya.Dalam pelaksanaan bimbingan untuk anak tunarungu seorang konselor harus mampu membangkitkan kepercayaan dirinya, berfikir baik dan berinteraksi sosial dengan lingkungan tempat di mana anak tinggal atau hidup, dengan demikian secara bertahap tentu kepribadiannya dapat dikembangkan, dan diharapkan dia mampu mengambil suatu keputusan, sehingga tidak dihinggapi oleh kecemasan yang berlebihan, kecurigaan yang tingi, serta anak tunarungu betul-betul dapat menerima dan mengerti batas-batas kemampuannya tanpa penyesalan atau rasa rendah diri.Dengan adanya dampak ketunarunguan yang telah tercermin dalam karakteristik diungkapkan diatas, semuanya berpengaruh terhadap kelancaran berjalannya proses pendidikan. Untuk mengatasi tantangan tersebut ada empat prinsip sebagai pertimbangan untuk mensukseskan pendidikan anak tunarungu, Harris dkk (1997) dan kawanya dari Universitas Gallauded (1997) menyampaikan antara lain : (1) anak tunarungu diharapkan mampu mengakses bereneka ragam lingkungan pendidikan secara luas, (2) para siswa tunarungu diharapkan mampu mengakses semua layanan khusus yang diperlukan untuk pertumbuhan pendidikan normal, (3) siswa dan para orang tua diharapkan mampu mengakses secara bebas pilihan program pendidikan, dan (4) tingginya biaya pendidian anak tunarungu tidak semata-mata disebabkan oleh satu atau beberapa faktor melainkan kompleks.Cohen et.al. dalam Harris dkk (1997) berpendapat bahwa tingkat kemampuan yang rendah anak tunarungu tidak disebabkan karena ketidak mampuan belajar mereka tapi lebih disebabkan adanya problem-problem dalam komunikasi antara guru dan siswa tunarungu. dan juga disebabkan ketakmampuan mereka mengakses/memahami bahasa dalam setting di kelas. Hal yang paling penting lagi bahwa anak-anak didik secara meinstreming (terintegrasi) harus mampu memahami bahasa yang ada di lingkungan.Para pendidik diharapkan mampu memberikan bantuan pada anak tunarungu dengan mengarahkan mereka pada lembaga bimbingan sebagai bimbingan tambahan. Seorang konselor/ pendidik apabila menemui masalah-masalah atau kesulitan dalam hal kebahasaan atau komunikasi dengan anak tunarungu, maka ia dapat menggunakan jasa penterjemah bahasa anak
tuanarungu.Upaya pengembangan psikologis dan sosial anak tunarungu dapat pula dilakukan dalam bentuk bimbingan dan pelayanan yakni :1. Full Inclusion (integrasi penuh) melalui Program mentoring.Giongreco dalam Gloria D. dkk (1997), mengemukakan definisi Full Inclusion adalah sebagai suatu keberadaan di mana hanya terdapat satu kesatuan sistem pendidikan formal yang meliputi semua anggota (peserta didik) secara wajar tanpa memandang perbedaan status mereka. Dan selanjut ia menyebutkan dalam hal Individual with Disabilities Education Act tahun 1990 (IDEA) mengungkapkan bahwa sekolah harus mencoba mengajar anak-anak yang mengalami gan gguan (Anak Luar Biasa) di kelas-kelas pendidikan umum dengan dukungan dan pelayanan yang sesuai sebelum mereka dipertimbangkan untuk ditempatkan di lingkungan yang lebih terbatas. Di mana sebelum anak luar biasa (ALB) yang mengalami penyimpangan yang berarti dari teman-teman seusianya sering ditempatkan secara langsung pada kelas-kelas pendidikan khusus dan tidak dimasukkan ke dalam seting pendidikan umum.Full Inclusion tidak diartikan bahwa semua siswa akan dididik dengan menggunakan metode pengajaran yang sama atau mengerjakan tugas-tugas untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama (Stainback & Stainback, dalam Berhring dkk (1997). Full Inclusion berarti bahwa semua siswa akan diberikan program pendidikan yang layak yang direfleksikan pada kemampuan dan kebutuhan siswa dengan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan. Dukungan-dukungan yang penting ini bisa dalam bentuk pengajaran yang khusus, perlengkapan yang disesuaikan dan/atau personal-personal yang khusus. Agar Full inclusion berhasil, perlu adanya kerja sama (kolaborasi) antara guru pendidik umum, staf pendidikan khusus, dan konselor sekolah agar dapat memberikan program yang layak dan berarti bagi semua siswa (Horner dalam Berhring dkk ,1998).Full inclusion harus dipandang sebagai suatu proses, dan proses ini menumbuhkan adanya individualisasi bagi setiap sekolah, siswa dan keluarga. IDEA secara jelas mengidentifikasikan pendidikan khusus sebagai suatu pelayanan bukan sebagai tempat.Berarti pelayan yang diberikan oleh seorang konselor atau guru diharapkan dapat membangkitkan semangat hidup dalam mengambil sikap serta keputusan dengan penuh kesabaran dengan tidak mudah terpengaruh atau marah di dalam menghadapi lingkungan yang ada. Lingkungan hendaknya dapat memberikan respon-respon yang positif demi untuk pencegahan dari
aspek psikologis maupun sosial. Melalui full incklusion merupakan alternatif pemecahan permasalahan dalam diri individu (Anak tunarungu). Dengan full inclusion kita memandang anak tunarungu sama dengan anak norma lainnya, tidak ada suatu jarak atau pemisahan antara anak normal dengan anak tunarungu.Tujuan utama dari full inclusion adalah meningkatkan kompetensi anak tunarungu dalam hubungan dengan teman sebayanya. Yang menjadi tuntutan utama adalah keberhasilan penyesuaian sosial. Sedangkan manfaatnya dari integrasi penuh untuk masa depan antara lain:• Anak Luar Biasa (anak tunarungu ) memperoleh peranan yang lebih normal• Akan memudahkan mengarahkan ALB (anak tunarungu) untuk menunjukkan perilaku-perilaku yang lebih baik• Bagi anak norma lainnya akan dapat memahami, sabar, dan meng-hargai perbedaan-perbedaan individual ALB (anak tunarungu) belajar menerima modifikasi aturan-aturan dalam PBMDengan memperoleh peranan yang lebih besar maka anak tunarungu akan merasa mampu memahami dirinya, menerima dirinya, mencegah dirinya dari permasalahan serta akan bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Bila anak tunarungu sanggup mencegah dan mengembangkan potensi yang dimilikinya tersebut maka secara psikologis aspek sosialnya akan terbentuk dan terbina dengan baik. Untuk itu seorang konselor dalam memberikan pelayanan diharapkan dapat mengarah kepada apa yang diinginkan dan keputusan yang diambil tidak memaksakan kehendak dari konselor sendiri melainkan mengacu kepada keinginan yang sangat diharapkan individu sendiri.Merujuk kepada pendapat di atas untuk anak tunarungu dalam upaya pengembangan aspek psikologis dan sosial maka bisa kita terapkan dengan sistem integrasi penuh. Kita menyadari bahwa pelayanan pendidikan bagi anak luar biasa ( anak tunarungu khususnya) di Indonesia selama ini masih mempergunakan sistem segregasi, hal ini sangat berpengaruh kepada prilaku individu sehingga dalam berinteraksi dengan lingkungan di luar dari lingkungannya ia merasa minder dan curiga. Kondisi demikian langkah yang perlu ditempuh melalui layanan sistem integrasi. Sebagaiman yang di-kemukakan oleh Pemerintah melalui keputusan Mendikbud. No. 002/0/1986, tanggal 4 Januari 1986 tentang pendidikan terpadu, bahwa semua anak Indonesia usia sekolah, baik yang tergolong normal maupun luar biasa memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di sekolah. Dengan demikian layanan pendidikan perlu didiseminasikan di seluruh wilayah
Indonesia.Maka kecenderungan pelayanan pendidikan anak luar biasa (anak tunarungu) maka dapat di arah-kan kepada jenis layanan melalui sistem pendidikan Full inclusion, ini merupakan langka positif untuk pengem-bangan psikologis dan sosial dari dampak ketunarunguan.Pelaksanaan layanan dalam pengembangan aspek psikologis dan sosial maka guru/ konselor dapat melakukan pertama, pelayanan bimbingan dilakukan melalui teman sebaya atau dengan sistem mentoring, semua ini akan membantu kita di dalam menangani dan memberikan layanan bagi anak tunarungu yang ada di sekolah terpadu. Dan kegiatan, ini akan efektif dan efisien dalam pelaksanaannya dan mentor tinggal memantau bagaimana pelaksanaan bimbingan tersebut.Orang-orang yang dijadikan sebagai konselor adalah teman sebayanya baik anak normal maupun dengan teman yang memiliki latar belakang dan karakteristik yang sama, misalkan anak tunarungu yang memiliki gangguan pendengaran yang ringan.Mentoring adalah suatu kegiatan hubungan manusia yang melibat-kan pemberian dorongan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Seorang mentor bukanlah konselor profesional, orang tua, pekerja sosial, atau teman bermain, tetapi mentor adalah seorang teman dan orang kepercayaan. Sedangkan Langkah-langkah untuk memulai sebuah program mentoring, Preyer dalam Gloria D. dkk (1997), berpendapat bahwa aspek-aspek untuk memulai suatu program mentoring dapat dilakukan yaitu: (1) Libatkan sekolah secara keseluruhan; program mentoring harus melengkapi kegiatan akademik siswa yang reguler. Guru, konselor dan administrator merupakan sumber untuk menentukan siswa yang akan dilibatkan dalam program mentoring. Guru dapat memberikan masukan terhadap jenis program yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Konselor oreantasinya membantu memecahan masalah, dan dapat membantu mentor untuk berkomunikasi baik, sedangkan administrator terlibat dalam dan pemilihan mentor, dan dapat juga dilibatkan dalam kegiatan perencanaan sekolah, (2) Identitas dan pilihan staf program; dari setiap sekolah dapat menunjuk satu orang untuk mengkoordinasikan program ini dan menjadi nara sumber bagi siswa dan mentor, (3) Perbaiki tujuan program, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pencapaian akademik dan tingkah lakunya serta meningkatkan komunikasi, kehadiran, partisipasi dan keterampilan sosial (4) Menentukan target populasi, populasi yang menjadi target harus diidentifikasi dengan jelas sesuai dengan kriteria
yang mau dilibatkan. Jumlah siswa tidak terlalu besar sehingga dapat ditangani dengan baik. (5) Mengembangkan kegiatan dan prosedur, membuat petunjuk tentang pertemuan kontak antara mentor dengan siswa. Pertemuan tersebut hendaknya sering, mungkin antara 1 s.d 3 perminggu, dan hubungan antara siswa dengan mentor perlu dievaluasi setelah 6 bulan dan kemudian bila ternyata berhasil hendaknya dilanjutkan. (6) Orentasi mentor dengan siswa, sebelum mentor bekerja dengan siswa, maka harus ada pelatihan bagi mereka. Dan sebelum dimulai siswa harus sadar akan proses mentoring dan paham terhadap peranannya. (7) Monitorlah keberhasilan mentoring, monitoring selama pelaksanaan program supaya jangan terjadi penyimpangan. Diadakan pertemuan secara teratur dengan mentor untuk mengemukakan permasalahan dan keberhasilan yang dicapai. Kemudian diadakan pertemuan dengan siswa guna untuk mengkonfirmasikan manfaat dari kegiatan ini, (8) Pengelolaan proses yang sesuai, mentor harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan empaty terhadap siswa saat mengidentifikasi dan memberikan bantuan.(9) Evaluasi keefektifan program, evaluasinya didasarkan pada informasi yang diperoleh sebelumnya, selama dan sesudahnya, serta akan dapat mengukur keefektivan program mentoring dan mungkin dapat memberikan saran untuk perubahan dan perbaikan di masa mendatang. Peranan mentor, sebelum memberikan gambaran tetang peranan-nya terutama kita harus memahami makna atau pengertian dari mentoring itu sendiri. Peranan dari mentor adalah untuk memberikan bimbingan, dukungan, dan dorongan kepada siswa dengan cara memberikan model terhadapa sejumlah keterampilan termasuk di dalamnya komunikasi yang efektif, empathy, perhatian terhadap orang lain dan kemaun untuk bersikap terbuka dan jujur. Seorang mentor adalah orang yang matang, nara sumber, menjadi tempt bergantung dan dapat menunjukkan nilai-nilai dan rasa hormat terhadap orang lain.Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan siswa dan mentor dalam kunjungan. Saran untuk komunikasi ( berbicara dan mebaca), kegiatan santai, dan pemberian dukungan akademik (misal tutorial) dengan program pengajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut.Berbicara: siswa dan mentor dapat bercakap-cakap sebagaimana halnya teman dan mengkomunikasikan tentang permasalahan tertentu, hobi, kegiatan sekolah dan lain-lain; Membaca: kunjungan ke perpustakaan atau pusat media merupakan kegiatan yang baik untuk dimaksudkan dalam kegiatan mentoring. Mentor dan siswa dapat saling bercerita tentang cerita
yang mereka baca; Kegiatan santai: permaianan semacam catur, main kartu, dan sebagainya dapat menjadi pengalaman yang memperakrab siswa dan mentor; Tutoring: mentor dapat membantu siswa untuk mengerjakan tugas tertentu, atau hal-hal lain bersifat akademik; Kunjungan lapangan, mentor, siswa, orang tua, dan guru dapat melakukan kegiatan lapangan bersama ke tempat-tempat bersejarah atau kegiatan olah raga.Beberapa keberatan dan pertimbangan akhir dalam penggunaan mentoring ini menyangkut dengan keterkaitan hukum dan kebijakan sekolah dalam menjelaskan kepada peserta program. Kerja sama dengan guru dan dukungan dari suatu kebijakan merupakan prioritas utama. Kebijakan tersebut antara lain: (1) Orang tua hendaknya diberi tahu tentang program mentoring yang akan melibatkan anaknya, (2) mentor hendaknya tidak memindahkan siswa tanpa izin sekolah dan orang tua.(3) kegiatan di luar sekolah dan di luar jam harus dibawah pengawasan petugas sekolah, (4) di sekolah harus mempunyai informasi yang lengkap tentang mentor,(5) Sekolah harus tetap menjaga kerahasian informasi tentang siswa.Kedua ;Konsultasi dengan keluarga dan konselor harus bekerja sama dan berkomunikasi dengan para orang tua. Konselor dapat membagi imformasi tentang perkembangan anaknya pada saat pelaksanaan pendidikan yang telah dilakukan dengan sistem inclusion. Guru-guru umumnya telah dipersiapkan dengan strategi pengajaran, program perilaku sosial yang sesuai dalam penempatan untuk memudahkan penyesuian siswa, dan secara terus-menerus memonitor kemajuan siswa melalui team yang ada yakni konselor sekolah dan guru khusus.Konsultasi antara guru bimbingan dengan tenaga pengajar dapat meningkatkan komunikasi antara mereka, asal dalam berkonsultasi hendaknya menghindari sikap serba tahu dan berusaha menciptakan hubungan-hubungan yang bersifat kerja sama, dengan mengakui sepenuhnya keahlian guru dalam bidang yang dikelolanya.Dalam berkonsultasi dengan orang tua anak tunarungu, guru pem-bimbing harus ingat bahwa mereka sangat terlibat secara pribadi dalam topik pembicaraan, lebih-lebih bila anak menimbulkan suatu masalah bagi keluarga atau sekolah. Guru bimbingan harus berusaha menciptakan suasana komunikasi yang menyenangkan antara pribadi yang serasi. Orang tua harus merasa bebas untuk mengungkapkan fikiran dan perasaan mereka secara luas, tanpa merasa terancam atau kecemasan dari dirinya.
BAB III.KESIMPULAN
1. Anak tunarungu adalah mereka yang kekurangan atau kehilangan pendengarannya walaupun telah diberikan ransangan tetapi tetap tidak dapat memahami atau menagkap reaksi yang ada, sehingga menghambat terhadap perkembangan dan dampaknya kepada kehidupan yang kompleks dengan demikian perlu layanan bimbingan dan pendidikan khusus.2. Bimbingan untuk anak tunarungu adalah proses bantuan secara rutinitas dalam upaya mengoptimalisasikan sikap dan pribadinya sebagai makhluk sosial dalam rangka pemahami diri sendiri, mengatasi bermacam kesulitan, dapat mengambil keputusan,dan bisa bertindak sesuai dengan tuntutan lingkungan sehingga individu merasa bahagia di dalam melansungkan hidupnya dimasa mendatang.2. Mentoring adalah suatu kegiatan hubungan manusia yang melibatkan pemberian dorongan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Seorang mentor bukanlah konselor profesional, orang tua, pekerja sosial, atau teman bermain, tetapi mentor adalah seorang teman dan orang kepercayaan.3. Dalam upaya pengembangan psikologis dan sosial anak tunarungu dapat di lakukan dengan pendekatan pelayanan pendidikan full inclusion melalui konselor teman sebaya, dengan sistem mentoring dan kita dapat mem-bantu anak tunarungu dalam mengoptimalisasikan dirinya demi tercapai keberhasilan baik akademik, pengembangan emosi maupun sosialisasi-nya serta dapat berinteraksi dengan lingkungan.4. Full inclusion (interagsi penuh) adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk dapat bersama-sama belajar di sekolah umum. Dalam pelaksanaan nati hanya ada satu lembaga yang berada dalam lembaga pendidikan anak normal dan antara yang tunarungu dengan anak normal tidak memiliki suatu pemisahan.5. Peranan guru bimbingan di sekolah luar biasa bagi anak tunarungu disamping sebagai pemberi layanan bimbingan secara lansung kepada siswa juga berperan sebagai konsultan keluarga, serta harus mampu berkolaborasi dengan pihak yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Berhring, Shari Tarver, dkk. 1998. School Counselors and Full Inclusion For Children With Special Needs, Jurnal Professional School Counseling Volume 1 N0.3.p Pepruari . ASCA
Depdikbud. 1987. Pedoman Pelaksanaan Kurikulum SLB-B (Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Dikdasmen Depdikbud.
—————.1993. Himpunan Peraturan-Peraturan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud.
Gloria D. dkk. 1997. Using Mentoring to Improve Academic Programming for Afrika Amerika Male Youth Whith Mild Disabilities, Jurnal The School Counselor. Vol. 44
Harris, Leslie K. dkk. 1997. Counselling Needs Students Who Are Deaf and Hard Of Hearing, Jurnal The Scool Counselor, Maret. Vol.44
Kirk, Samuel A dan Gallagher, James J. (1990), Pendidikan Anak Luar Biasa III (Alih Bahasa: Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah). Jakarta: DNIKS.
Natawidjaja, Rochman. 1988. Peranan Guru Dalam Bimbingan di Sekolah Bandung: Cv. Abardin.
Somad, Permanarian. 1996. Ortopedagogik Anak Tunarungu, Jakarta: Depdikbud.
Suhaeri HN.1996. Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud.
Supriadi, Dedi. 1997. Profesi Konseling dan Keguruan. Bandung: Bidang Studi Bimbingan dan Konseling Program Pascasarjana dan Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP IKIP Bandung.
William L, Eeward dan Orlanski, Michel D. 1988. Exceptional Children, The Ohio State University. Colombus.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semua orang tua pasti berharap dapat melahirkan dengan selamat dan
mendapatkan anak yang sehat jasmani dan rohani. Namun, terkadang Tuhan
berkehendak lain, yang lahir adalah anak kurang sehat, tidak sempurna atau
memiliki kecacatan fisik maupun psikis. Meskipun anak terlahir tidak normal,
tetapi dia juga manusia yang memiliki hak untuk menikmati dunia ini. Dalam
kondisi itu, peran orangtua, keluarga, dan warga masyarakat lainnya dituntut
untuk memahami serta memberi dukungan agar si anak dengan kebutuhan khusus
itu tidak menjadi beban orang lain.
Menurut Sumadi dan Talkah (dalam Sumampow dan Setiasih, 2003)
bahwa remaja tunarungu dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan
berbagai kesulitannya mempunyai masalah utama yaitu hambatan dalam
berkomunikasi. Seorang ahli lain yaitu Salim (1976) menyimpulkan bahwa anak
tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau
seluruh alat pendengar sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan
bahasanya. Penyandang cacat tunarungu sering mengalami berbagai konflik,
kebingungan, dan ketakutan karena adanya rasa takut atau kekhawatiran terhadap
penolakan orang lain, adanya sikap sulit menerima realitas diri (terlebih sikap
menerima kekurangan diri) dan memandang rendah diri sendiri, perasaan pesimis
dan takut akan kegagalan sehingga akan menghindari segala resiko dan tidak
berani memasang target untuk berhasil. 3
Walaupun memiliki kekurangan dan keterbatasan, pendidikan bagi anak
yang berkebutuhan khusus mutlak harus diberikan untuk bekal masa depannya.
Untuk mencapai hasil yang optimal dalam proses belajar setiap anak dituntut
untuk memiliki kemandirian tidak terkecuali anak yang memiliki kebutuhan
khusus dalam hal ini khususnya adalah anak tunarungu. Dalam kegiatan belajar
siswa dituntut untuk memiliki sikap mandiri, artinya siswa perlu memiliki
kesadaran, kemauan, dan motivasi dari dalam diri siswa untuk melakukan usaha
belajar (Kemp, 1994). Belajar merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan diri
siswa dan bukan semata – mata tekanan guru ataupun pihak lain. Melalui sikap
mandiri dalam diri siswa maka tujuan belajar akan berhasil dicapai sebagaimana
yang di harapkan.
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara
kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk
bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga
individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Melalui
kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang
lebih mantap. Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan,
dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya agar dapat
mencapai otonomi atas diri sendiri. Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi
dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat, dan
keyakinan orang lain sehingga anak diharapkan akan lebih bertanggung jawab
terhadap dirinya.
Seseorang yang memiliki sikap mandiri dalam dirinya biasanya akan
melakukan segala sesuatu yang dikerjakannya dengan penuh tanggung jawab dan 4
kesungguhan yang tinggi, dia akan melakukan tugas tersebut dengan ketekunan
dan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya tanpa bantuan orang lain
sampai batas kemampuannya. Begitupun dalam hal belajar, seseorang yang
memiliki sikap mandiri ia akan belajar dengan serius dan mengerjakan tugas –
tugasnya dengan penuh ketekunan sampai ia benar-benar menguasai pelajaran
tersebut. Melalui sikap mandiri yang dimiliki para siswa, diharapkan proses
belajar mengajar akan berjalan dengan lancar dan akan memperoleh hasil belajar
yang maksimal. Cronbach ( dalam Ahmadi dan Supriyono, 1991), menyatakan
bahwa belajar ditunjukkan oleh adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil
pengalaman.
Belajar berhubungan dengan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi
tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang- ulang dalam situasi di
mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar respon
pembawaan, kematangan, atau kesadaran sesaat seseorang, misalnya kelelahan,
pengaruh obat, dan sebagainya (Purwanto, 1990).
Seorang pelajar yang memiliki sikap mandiri dan berhasil memperoleh
hasil belajar yang baik akan menimbulkan sikap optimis dalam dirinya untuk
menghadapi masa depannya. Menurut Weinstein (1980), optimime masa depan
berkaitan dengan harapan positif mengenai rangkaian peristiwa umum yang akan
dialami oleh individu pada tahap kehidupan selanjutnya. Umumnya peristiwa –
peristiwa tersebut berkaitan dengan masalah studi, pekerjaan, perkawinan,
kesehatan, dan sebagainya. Setiap individu pasti mempunyai harapan untuk masa
depannya. Harapan tersebut juga dapat merupakan perubahan yang lebih baik
pada dirinya dari keadaan sekarang. 5
Individu yang mempunyai sikap optimis dalam menghadapi masa
depannya biasanya akan selalu berpikir positif dan mengerjakan segala sesuatu
dengan sebaik –baiknya walaupun dia menemui kesulitan dan hambatan dalam
melaksanakan tugas tersebut, walaupun hambatan tersebut datang dari dirinya
sendiri, misalnya dia mempunyai kekurangan yang dapat menghambat
aktivitasnya sehari-hari tetapi dia tetap akan berusaha sebaik-baiknya untuk
mencapai target yang diinginkannya.
Sikap mandiri dan tingginya motivasi diri seorang anak tunarungu untuk
meraih apa yang dicita – citakan sehingga memperoleh hasil belajar yang baik
akan menumbuhkan sikap optimis dalam diri anak untuk menghadapi masa
depannya walaupun dengan kekurangan yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan
fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan sekarang ini, seperti yang telah
dibuktikan oleh seorang lulusan UGM yang menyandang tunarungu yang
bernama Galuh. Dia telah membuktikan bahwa dengan semangat yang tinggi dan
sikap kemandiriannya untuk meraih prestasi dan hasil belajar yang baik dia
mampu mengalahkan semua cobaan dan tantangan yang dia hadapi untuk meraih
gelar sarjananya sehingga dia sekarang berani untuk menatap masa depannya
dengan sikap optimis dan penuh keberanian ( Taschan, 2000 ).
Kodir, seorang siswa SMP Sekolah Luar Biasa Negeri A (Tuna Netra)
persiapan SLB Negeri B-C DKI Jakarta, yang sehari-hari belajar sambil bekerja
di bengkel kerja sebagai montir sepeda motor dan cuci mobil juga menunjukkan
kemampuannya untuk mandiri dan optimis menghadapi masa depannya walaupun
memiliki kekurangan. Pekerjaan ini bukan sebagai pekerjaan pokok namun
sebagai bekal pelajaran untuk kemandiriannya. Melalui hasil kerjanya ini ia bisa 6
mendapatkan insentif. Meski memiliki keterbatasan fisik, sebagai penyandang
tunarungu, Kodir menyadari kekurangannya itu tanpa malu-malu ataupun minder.
Ia berusaha meyakinkan pelanggan bahwa mereka yang mempunyai keterbatasan
fisik pun bisa mandiri dan mampu bekerja dibidang otomotif ( Irwan,2001 ).
Kedua contoh tersebut setidaknya dapat membuktikan bahwa dengan
memiliki sikap mandiri dan pantang menyerah seseorang akan bisa meraih apa
yang dicita – citakan walaupun dengan segala keterbatasan yang dimiliki sehingga
akan dapat menatap masa depan dengan lebih optimis.
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk meneliti hubungan
antara kemandirian dan hasil belajar dengan optimisme masa depan anak
tunarungu. Berdasarkan ketertarikan tersebut, penulis dapat mengambil suatu
perumusan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara
kemandirian dan hasil belajar dengan optimisme masa depan pada anak
tunarungu.
Berdasarkan perumusan tersebut, penulis mengajukan judul untuk
penelitian ini adalah: Hubungan Antara Kemandirian dan Hasil Belajar
Dengan Optimisme Masa Depan Pada Anak Tunarungu.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan antara kemandirian dan hasil belajar dengan
optimisme masa depan pada anak tunarungu.
2. Untuk mengetahui hubungan antara kemandirian dan optimisme masa
depan pada anak tunarungu. 7
3. Untuk mengetahui hubungan antara hasil belajar dan optimisme masa
depan pada anak tunarungu.
4. Untuk mengetahui sejauh mana kemandirian pada anak tunarungu.
5. Untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar pada anak tunarungu.
6. Untuk mengetahui sejauh mana optimisme masa depan pada anak
tunarungu.
C. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Kepala Sekolah SLB penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan yang positif terutama yang berkaitan dengan kemandirian dan
hasil belajar anak – anak yang bersekolah di SLB yang menyangkut
pandangannya terhadap masa depannya.
2. Bagi Guru kelas penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran nyata
tentang kemandirian yang dimiliki oleh anak didiknya sehingga dalam
proses belajar mengajar dapat lebih memberi kebebasan pada siswanya
untuk lebih mandiri.
3. Bagi individu yang mempunyai kekurangan khususnya tunarungu, semoga
dapat memberikan inspirasi dan cara pandang yang baru bahwa dengan
kekurangannya ia masih bisa menatap masa depan dengan cerah asalkan
dengan usaha dan mempunyai kemandirian yang kuat dalam menjalani
hidupnya.
4. Bagi perkembangan ilmu psikologi penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan dan memperkaya ilmu psikologi khususnya 8
psikologi pendidikan yang berkaitan dengan kemandirian, hasil belajar dan
cara pandang anak tuna rungu tentang optimisme masa depan.
5. Bagi Fakultas Psikologi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi untuk perkembangan ilmu psikologi.
6. Bagi peneliti selanjutnya semoga dapat memberi masukan untuk
penelitiannya yang akan datang tentang kemandirian dan hasil belajar
dengan optimisme masa depan pada anak tunarungu..
http://etd.eprints.ums.ac.id/3751/1/F100040228.pdf
146,6