prosedur medikolegal
DESCRIPTION
forensikTRANSCRIPT
Prosedur Medikolegal
Peraturan Medikolegal diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana). Dimana didalamnnya memuat tatalaksana bagaimana suatu perkara pidana itu harus
ditangani. Penanganan Kasus Pidana itu sendiri antara lain:
a. Penemuan dan Pelaporan
Penemuan dan pelaporan dilakukan oleh warga masyarakat yang melihat,
mengetahui atau mengalami suatu kejadian yang diduga merupakan suatu tindak pidana.
Pelaporan dilakukan ke pihak yang berwajib dan dalam hal ini yaitu Kepolisian RI, dll.
Pelaporan juga bisa dilakukan melalui instansi pemerintah terdekat seperti RT (Rukun
Tetangga) atau RW (Rukun Warga). Hak dan kewajiban pelaporan ini diatur didalam
pasal 108 KUHAP.
b. Penyelidikan
Yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknnya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Penyelidik yang
dimaksud adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia yang tertera didalam
Pasal 4 KUHAP. Didalam Pasal 5 KUHAP disebutkan wewenang dan tindakan yang
dilakukan oleh penyelidik:
1. Penyelidik sebagaimana dimaksud pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
2. Mencari keterangan dan barang bukti
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik
2. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebgaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan b kepada penyidik.
c. Penyidikan
Adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Penyidikan dilakukan oleh penyidik yaitu pejabat polisi Negara RI dan pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang sebagaimana
diatur di dalam pasal 6 KUHAP. Penyidik dapat meminta bantuan seorang ahli dan
didalam hal kejadian mengenai tubuh manusia, maka penyidik dapat meminta bantuan
dokter untuk dilakukan penanganan secara kedokteran forensik. Kewajiban seorang
dokter antara lain:
1. Melakukan pemeriksaan kedokteran forensik atas korban apabila diminta secara
resmi oleh penyidik.
2. Menolak melakukan kedokteran pemeriksaan kedokteran forensik tersebut diatas
dapat dikenai pidana penjara, selama lamanya 9 bulan.
Kewajiban untuk membantu peradilan sebagai seorang dokter forensik itu diatur
dalam asal 133 KUHAP dimana seperti yang disebutkan diatas penyidik berwenang
muntuk mengajukan permintaan keterangan ahli pada dokter forensik atau kedokteran
kehakiman. Untuk hak dokter menolak menjadi saksi/ahli diatur dalam Pasal 120,168,170
KUHAP. Sedangkan sangsi bagi pelanggar kewajiban dokter diatur di dalam Pasal 216,
222, 224, 522 KUHP. Untuk melakukan prosedur bedah mayat klinis, anatomis, dan
transplantasi oleh seorang dokter forensik diatur menurut peraturan pemerintah No.18
Tahun 1981. Bagi seorang dokter forensik yang membuat sebuah keterangan palsu
didalam hasil akhir pemeriksaan dikenakan Pasal 267 KUHP dan pasal 7 KODEKI.
d. Pemberkasan Perkara
Dilakukan oleh penyidik, menghimpun semua hasil penyidikannya termasuk hasil
pemeriksaan kedokteran forensik yang dimintakan kepada dokter. Hasil berkas perkara
ini diteruskan ke penuntut umum.
e. Penuntutan
Yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.
f. Persidangan
Didalam persidangan dipimpin oleh hakim atau majelis hakim, dimana di dalam
persidangan itu dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, para saksi, dan juga para ahli.
Dokter dapat dihadirkan di sidang pengadilan untuk bertindak selaku saksi ahli atau
selaku dokter pemeriksa. Dokter pun berhak menolak menjadi saksi/ahli yang
sebagaimana diatur di dala pasal 120, 168, 179 KUHAP.
g. Vonis
Vonis dijatuhkan oleh hakim dengan ketentuan sebagai berikut:
Keyakinan pada diri hakim bahwa memang telah terjadi suatu tindak pidana dan
bahwa terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana tersebut
Keyakinan hakim harus ditunjang oleh sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah
yang diatur dalam pasal 184 KUHAP (keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, keterangan terdakwa)
Hubungan dengan kasus:
Pada kasus ini diketahui bahwa seorang ayah membawa anak perempuannya ke rumah
sakit untuk dilakukan pemeriksaan apakah anaknya telah disetubuhi karena anaknya sudah 3 hari
keluar kota dibawa lari oleh teman laki-lakinya. Dalam hal ini sebelum dokter melakukan
pemeriksaan, sebaiknya ditanyakan dahulu maksud dari pemeriksaan, apakah sekedar ingin
mengetahui saja atau ada maksud melakukan penuntutan. Apabila dimaksudkan akan melakukan
penuntutan maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak tersebut. Sebaiknya melaporkan
terlebih dahulu kepada polisi sehingga dapat dilakukan pemeriksaan berdasarkan permintaan
polisi untuk dibuat visum et repertum. Namun apabila dokter telah memeriksa korban karna
permintaan ayahnya bukan berdasarkan permintaan polisi dan beberapa waktu kemudian polisi
mengajukan permintaan dibuatkan visum et repertum, maka dokter harus menolak, karena segala
sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum permintaan visum et repertum
merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpan (KUHP ps. 322). Dalam keadaan ini, dokter
dapat meminta polisi supaya korban dibawa kembali dan visum et repertum dibuat berdasarkan
keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan yang lalu tidak
diberikan dalam bentuk visum et repertum melainkan dalam bentuk surat keterangan. **
** Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Hertian S, et all. Ilmu
Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1997. p. 151-2.