proposal study
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkembangan hukum internasional dewasa ini, terdapat berbagai macam
masalah yang rumit, sehingga terkadang sulit untuk diselesaikan hanya berdasarkan
kebiasaan dunia internasional. Sengketa menurut Riech Friedman yaitu:
Perselisihan antar negara yang sifatnya mempengaruhi kepentingan negara, seperti
integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.
Sedangkan Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan hak-hak hukum
yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu
hukum yang telah ada.1
Sengketa internasional hampir setiap saat terjadi, karena merupakan suatu hal
yang menentukan keberlangsungan dunia global. Dalam hal terjadinya sengketa,
hukum internasional memainkan peran yang sangat penting, karena hukum
internasional memberikan pedoman, aturan dan cara ataupun sebuah metode
bagaimana suatu sengketa dapat diselesaikan para pihak secara damai.
Sulit mencari perbedaan mendasar, antara mana yang merupakan sengketa
hukum dan mana yang disebut sebagai sengketa politik. Terkait hal ini ada dua
doktrin didalam hukum internasional yang dapat dipakai untuk mencari pembeda
antara sengketa hukum dan sengketa politis. Pertama dikemukakan oleh para sarjana
dan ahli hukum internasional dari Inggris yang membentuk suatu kelompok studi
mengenai penyelesaian sengketa tahun 1963. Kelompok study yang diketuai oleh
Sir Humpry Walldock ini menerbitkan laporannya yang sampai sekarang masih
1 Ahmad Izzan, Dasar Hukum Internasional, Bandung, 2003, hal 65.
1
dipakai sebagai sumber penting untuk study penyelesaian sengketa internasional.
Menurut mereka penentuan suatu sengketa apakah merupakan sengketa hukum
ataukah politis bergantung sepenuhnya pada pihak yang bersangkutan, yakni: jika
para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum, maka sengketa
tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya jika sengketa tersebut menurut para
pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional,
misalnya soal perlucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politis.2
Kedua adalah golongan yang menurut para akademisi hukum internasional
disebut sebagai pendapat jalan tengah, dikemukakan oleh sekelompok sarjana yang
merupakan gabungan para sarjanawan Eropa (de Vischer, Geamanu, Oppenheim)
dan sarjanawan Amerika Serikat Hans Kelssen. Menurut mereka tidak ada
pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar objektif yang mendasari pembedaan antara
sengketa hukum dan sengketa politis. Setiap sengketa memiliki aspek politis dan
aspek hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat.
Mungkin saja dalam sengketa yang dianggap sebagai sengketa hukum terdapat
kepentingan politis yang tinggi dari negara para pihak yang bersangkutan, dan
begitupun sebaliknya. Terhadap sengketa yang dianggap memiliki sifat politis,
prinsip-prinsip atau aturan hukum internasional boleh diterapkan.3
Sengketa dapat terjadi dalam suatu wilayah negara. Wilayah merupakan salah
satu atribut yang sangat penting bagi eksistensi suatu negara. Diatas wilayahnya
negara memiliki hak-hak untuk melaksanakan kedaulatan atas orang, benda dan juga
peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi didalam wilayahnya. Didalam
wilayahnya negara wajib untuk tidak menggunakannya bagi tindakan-tindakan yang
2 Edy Setiabudi SH, Isu-isu Terkini Hukum Internasional, FH Unair, Surabaya, 2006 hal 71.3 Huala Adolof SH LLM, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, 2004, hal 8.
2
merugikan negara lain serta tindakan-tindakan yang membahayakan perdamaian dan
kedamaian internasional (pasal 7 deklarasi PBB tentang hak-hak dan kewajiban
negara 1949).4 Dalam kaitannya dengan wilayah negara wajib untuk tidak
memperolehnya dengan menggunakan cara-cara kekerasan (pasal 12 deklarasi PBB
tentang hak-hak dan kewajiban negara). Disamping berkewajiban untuk tidak
mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh dengan menggunakan jalan kekerasan,
sangat penting bagi suatu negara untuk mengatur wilayahnya sendiri.
Daratan suatu negara terdiri dari darat (bagian wilayah yang kering) serta
perairan (yang terdiri dari sungai dan danau). Daratan suatu negara dapat merupakan
daratan awal suatu negara atau wilayah tambahan negara tersebut. Luas daratan awal
dapat terjadi atau ditentukan oleh tindakan atau pernyataaan sepihak suatu negara
ketika memproklamirkan kemerdekaannya, oleh perjanjian internasional, suatu
kebiasaan internasional ataupun akan ditentukan oleh perkembangan setelah negara
itu terbentuk.5
Dalam hukum internasional terdapat beberapa cara penambahan wilayah
teritorial yang memungkinkan suatu negara memperluas wilayah kedaulatan
hukumnya. Diantaranya yakni: Okupasi atau Pendudukan, merupakan perolehan
kedaulatan atas wilayah yang terra nulius yaitu wilayah yang bukan dan sebelumnya
belum pernah diletakan dibawah kedaulatan suatu negara, 6 berikutnya yakni:
Aneksasi atau Penaklukan, merupakan penggabungan suatu wilayah negara lain
dengan menggunakan jalan kekerasan atau paksaan kedalam wilayah negara yang
menganeksasi.7 Perbedaannya dengan okupasi yakni pada cara perolehannya dan
4 Sefriani SH M,Hum, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), Jakarta, 2011, hal 204.5 Budi Lasaruzli dan Syahmin A.K, Suksesi Negara Dalam Hubungannya Dengan Perjanjian Internasional, Bandung, 1986, hal 56.6 Ibid, hal 2077 Ibid, hal 208
3
juga wilayahnya, jika pada okupasi wilayahnya adalah wilayah tidak bertuan, pada
aneksasi wilayahnya adalah milik negara tertentu. Syarat atau unsur telah terjadi
perolehan wilayah dengan cara aneksasi adalah bahwa wilayah memang telah benar-
benar sudah ditaklukan serta adanya pernyataan kehendak secara formal oleh negara
penakluk untuk menganeksasinya.
Kemudian dijelaskan yakni: Referendum atau pemungutan suara merupakan
implementasi atau tindak lanjut dari keberadaan hak menentukan nasib sendiri atau
(self determination right) dalam hukum internasional.8 Referendum merupakan cara
yang lebih modern, tidak menggunakan unsur kekerasan ataupun unsur paksaan dan
merupakan cara yang paling populer sekarang ini, sebagai akibat dari prinsip
kebebasan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat dunia.
Terkait dengan cara perolehan wilayah di atas, hal tersebut juga terjadi dalam
sengketa yang sementara berlangsung antara Rusia dan Ukraina. Rusia adalah salah
satu negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Berasal dari Uni Republict
Socialist Soviet (USSR), yang dikenal dengan sebutan Uni-Soviet. Pasca runtuhnya
rezim Komunis era perang dingin Rusia bangkit sebagai negara yang memegang
penuh segala aset kekayaan milik Uni-Soviet dengan suksesinya yang meliputi
gedung dan tanah milik Uni-Soviet, dana pemerintahan yang tersimpan di bank, alat
transportasi milik Uni-Soviet, pelabuhan dan sebagainya yang merupakan milik Uni-
Soviet beralih kepada Rusia. Termasuk salah satu badan usaha milik uni soviet yang
bergerak dibidang gas bumi yakni Gazprom. Selama beberapa dekade setelah
runtuhnya Uni-Soviet, Rusia adalah satu-satunya suplier gas bumi kepada seluruh
daratan eropa. Gazprom mengekspor sepertiga dari kebutuhan dunia di bidang gas
bumi. Sekitar 50 persen dari kebutuhan gas bumi negara-negara Uni Eropa dipasok
8 Ibid, hal 211-212
4
dari Rusia. Dan 80 persen dari volume gas bumi itu melintasi Ukraina. Sedangkan
25 persen dari kebutuhan gas bumi Ukraina dipasok dari negara tetangganya, Rusia,
yakni Gazprom.
Sengketa gas pada Januari 2006 antara Moskow dan Kiev bermula sejak Rusia
menaikkan harga gas ekspornya ke Ukraina. Hal itu menyebabkan terhambatnya
ekspor energi Ukraina dan penyalurannya ke Eropa. Hal ini mengakibatkan suatu
revolusi yang dikenal dengan sebutan revolusi oranye. Sebelum terjadi revolusi
oranye, Rusia setiap tahunnya memberikan subsidi energi kepada negara-negara
persemakmuran. Memasuki tahun 2014 Presiden Ukraina Vicktor Yanukovich
menarik ukraina keluar dari Uni-Eropa ini mengakibatkan gelombang protes besar-
besaran yang dimotori oleh para mahasiswa ukraina yang pro barat (Uni-Eropa
Amerika), dalam pernyataan sikapnya mahasiswa menuntut presiden membawa
ukraina kembali bekerja sama dengan Uni-Eropa jika tidak maka akan dilengserkan
dari jabatan. Demonstrasi semakin tidak terkendali, mengingat bahwa Ukraina juga
adalah merupakan negara pecahan Uni-Soviet, yang hampir 65% warganya adalah
etnis Rusia dan berbahasa Rusia.
Perlawanan juga ikut berdatangan dari warga Ukraina pro Rusia.
Memanfaatkan situasi ini Rusia dengan segala kemampuan militernya masuk
kedalam wilayah Ukraina tepatnya pada provinsi Crimea, dan menyatakan
referendum pada wilayah tersebut. Dengan dalih melindungi warga yang berbahasa
Rusia, Rusia mengirim tentaranya masuk ke daerah Crimea guna melaksanakan
referendum (pemungutan suara) dengan opsi tetap dengan ukraina atau kembali
bergabung dengan rusia. Hasil daripada referendum yang dilaksanakan adalah 94%
warga semenanjung Crimea memilih untuk kembali bergabung dibawah kedaulatan
5
Federasi Rusia. Negara-negara barat menilai bahwa rusia sengaja memanfaatkan
faktor kedekatan emosinal serta faktor linguistik untuk kembali menancapkan
pengaruhnya pada daerah bekas negara-negara satelit milik uni-soviet, yang
kebetulan ukraina adalah salah satunya. Spekulasi tentang krisis ini adalah bahwa
Rusia ingin mendapatkan sumber daya alam yang ada di daerah Crimea yakni
sumber gas alamnya.
Referendum Crimea dinilai sebagai tindakan aneksasi yang dilakukan oleh
pemerintah Rusia terhadap wilayah kedaulatan Ukraina, dikarenakan referendum
yang dilakukan tidak memenuhi persyaratan yakni, ketika referendum dilaksanakan
tidak mendapatkan ijin dari pemerintah yang berwenang (waktu itu sementara terjadi
kekosongan jabatan yang dikarenakan lengsernya presiden Vicktor) dan tidak
mendapat pengawasan dari lembaga internasional yang independent. Jika dikatakan
aneksasi proses tersebut terjadi tidak dengan menggunakan tindakan kekerasan atau
paksaaan, rakyat Crimea sendiri yang ingin kembali pada Federasi Rusia. Jika
dikatakan referendum, proses tersebut dilaksanakan dengan tidak melalui prosedur
yang diakui menurut negara-negara barat.
Maka berdasarkan uraian singkat yang telah disebutkan diatas, penulis sangat
tertarik untuk mengangkat penulisan ini dengan judul:
‘’PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP
KASUS ANEKSASI RUSIA ATAS CRIMEA UKRAINA’’
B. Rumusan masalah
6
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang penulis rumuskan sebagai
masalah adalah sebagai berikut: ‘’Bagaimana penyelesaian hukum internasional
terhadap kasus rusia dan ukraina’’?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk menganalisis bagaimana penyelesaian dalam hukum
internasional yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa
antar negara khususnya Rusia dengan Ukraina.
2. Untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
D. Manfaat penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Secara ilmiah, sebagai masukan untuk kepentingan Ilmu Hukum,
terutama Hukum Internasional.
E. Kerangka teoritis
7
Sengketa (dispute) menurut Merills adalah ketidak sepahaman mengenai
sesuatu, sedangkan konflik adalah istilah umum atau daripada pertikaian (hostility)
antara pihak-pihak yang seringkali tidak fokus.9 Dengan demikian setiap sengketa
adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa.
Persoalan antara Malaysia dan Indonesia menyangkut kepemilikan pulau Sipadan
dan Ligitan adalah sengketa (dispute). Namun perseteruan antara Amerika dan Iran
semenjak kejatuhan Syah Iran adalah konflik karena begitu kompleksnya persoalan
antar kedua negara berdaulat.
Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif
merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak
hanya eksklusif menyangkut hubungan antar negara saja, mengingat subjek-subjek
hukum internasional saat ini sudah banyak mengalami perluasan yang melibatkan
banyak aktor non negara. Permasalahan yang dipersengketakan dalam suatu
sengketa internasional dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union
menyangkut kebutuhan integrasi politik yang lebih kuat, adalah sengketa
menyangkut kebijakan. Sengketa menyangkut perbatasan wilayah adalah sengketa
tentang ‘’legal rights’’. Sengketa juga dapat menyangkut fakta. Dimana posisi kapal
negara A ketika diintersepsi oleh negara B adalah salah satu contoh sengketa
mengenai fakta.
Menurut Louis Henkin ukuran suatu sengketa dianggap sebagai sengketa
politis atau sengketa hukum yakni: sengketa tersebut bisa atau dapat diserahkan dan
diselesikan oleh pengadilan internasional. Menurut St Paul: sesulit apapun suatu
sengketa selalu dapat diserahkan kepada pengadilan internasional, karena pengadilan
9 Op,cit, hal 1
8
internasional selalu bisa memutuskan suatu sengketa berdasarkan prinsip ‘’ex acquo
et bono’’ (kepatutan dan kelayakan).10
Sengketa antara Federasi Rusia dan Ukraina, terlebih dulu kita melihat
geopolitik federasi Rusia. Geopolitik bukan lagi suatu istilah baru pada kalangan
akademisi hukum internasional dan hubungan internasional. Menurut Yves Lacaste
seorang akademis berkebangsaan Prancis geopolitik yaitu: semua hal yang
berhubungan dengan persaingan kekuasaan atau perebutan pengaruh diatas wilayah-
wilayah tertentu dan masyarakat yang hidup diatasnya.11 Dari pengertian tersebut
dapat kita lihat bahwa geopolitik merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh
negara-negara didunia untuk memperebutkan kekuasaan dan memperoleh eksistensi
negaranya yang dilihat dari posisi geografis negaranya dalam dunia. Dunia ini juga
dipetakan dalam beberapa bagian, Sir Halford Mckinder pada tahun 1904
memperkenalkan teori ‘’heartland’’.12 Heartland adalah tempat-tempat yang dimana
posisinya sangat strategis dan potensial yang bisa dikelola untuk kemakmuran suatu
negara, baik secara ekonomis maupun secara politis. Sebagai contoh persengketaan
memperebutkan heartland selain antara Ukraina dan Rusia, juga antara Kuwait dan
Irak.
Yang mana Irak menginvasi Kuwait dengan alasan, Terjadinya pelanggaran
kuota minyak yang dilakukan oleh Kuwait, Arab dan Uni Emirat Arab sehingga
produksi minyak melimpah, mengakibatkan harga minyak dunia anjlok. Irak yang
waktu itu mengandalkan pendapatan negara hanya dari sektor minyak terpukul
dengan peristiwa ini, dikarenakan Irak saat itu sedang membangun negaranya yang
rusak akibat perang melawan Iran.
10 Op,cit, hal 211 Roy Abimanyu, Sketsa Geopolitik, Jakarta, 2002, hal 7212 Ibid.
9
Kuwait dituduh mencuri minyak Irak di Padang Rumelia yang terletak
diperbatasan kedua negara (wilayah sengketa). Akibat invasi ini, Arab Saudi
meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan
Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990. Misi
diplomatik antara James Baker dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz gagal
pada tanggal 9 Januari 1991. Irak menolak permintaan PBB agar menarik
pasukannya dari Kuwait hingga tanggal 15 Januari 1991. Dikarenakan Irak tidak
beriktikad baik untuk menjalankan Resolusi damai PBB, akhirnya Presiden Amerika
Serikat George H. Bush diizinkan menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat
tanggal 12 Januari 1991, guna memulai misi pembebasan Kuwait atas invasi Irak,
yang mana Irak telah menjadikan Kuwait sebagai provinsinya yang ke 19. Pada
tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan
Presiden Bush menyatakan perang selesai. Akibat invasi Irak terhadap Kuwait
mengakibatkan ladang minyak Kuwait mengalami kerusakan berat. Perekonomian
Irak mengalami kehancuran serta terkena blokade ekonomi dan sanksi embargo dari
PBB. 13 Itulah salah satu contoh perebutan heartland yang pernah terjadi antara
Kuwait dan Irak, selain yang saat ini sementara terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Mckinder menjelaskan bahwa: aktor yang mendominasi heartland akan
memiliki potensi geopolitik dan ekonomi yang diperlukan untuk akhirnya
mengendalikan dan menguasai dunia. Kawasan heartland yang sementara
dipersengketakan antara Rusia dan Ukraina ini memiliki banyak kekayaan alam.
Kawasan ini juga merupakan kawasan negara ex Uni-Soviet. Rusia ingin berjaya
seperti Uni-Soviet dimasa lalu dengan melihat geopolitik Soviet pada jaman dahulu,
yang merupakan supplier gas terbesar di dataran Eropa. Semenjak keruntuhan
13 John Simpson, The War Against Saddam, Oxford, 2003, hal 116.
10
Komunisme oleh Kapitalis Barat, Uni-Soviet terpecah menjadi 15 negara baru
dengan Ukraina menjadi salah satu dari negara-negara tersebut.
Sebagai subjek hukum internasional, hubungan antara Rusia dan Ukraina
tentunya juga diatur oleh hukum internasional itu sendiri. Hukum internasional lahir
agar menjamin ketertiban, keamanan dan kedamaian dunia internasional. Hukum
internasional dibuat oleh negara-negara selaku subjeknya, baik melalui kebiassaan
maupun melalui hukum tertulis, maka negara juga yang menjadi pelaksana maupun
pengawas daripada hukum internasional itu sendiri.
Masyarakat hukum internasional mau menerima hukum internasional sebagai
hukum yang sesungguhnya dan tidak hanya merupakan moral positif saja. Salah satu
aliran hukum, yakni aliran hukum positif yang mengemukakan bahwa hukum
internasional juga mempunyai kekuatan mengikat. Dasar kekuatan mengikat hukum
internasional yakni kehendak dari negara-negara selaku subjek hukum internasional
itu sendiri.14 Karena kekuatan mengikat hukum internasional datangnya dari
kehendak negara-negara yang ingin tunduk pada ketentuan hukum internasional,
maka akan sulit jika di dalam beberapa kasus terdapat negara-negara yang tidak
bersedia mematuhi ketentuan hukum internasional, apabila oleh negara tersebut
dirasakan bahwa hukum internasional tidak menjamin kepentingan nasionalnya,
seperti pada kasus sengketa semenanjung Crimea antara Rusia dan Ukraina.
Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan negara. Setiap negara
merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun yang
terjadi didalam wilayah teritorialnya. Negara merupakan subjek hukum yang
terpenting dibanding dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Pasal 1
konvensi Montevideo 27 December 1933 mengenai hak dan kewajiban negara
14 Ade Maman SH MH, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, 2002, hal 56.
11
menyebutkan bahwa, negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus
memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan
yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain. Sebagai
implementasi dimilikinya kedaulatan, negara berwenang untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan hukum dan untuk menetapkan atau menegakkan ketentuan-
ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, perbuatan dan kekayaan.15
Namun jika terjadi suatu sengketa antar subjek hukum internasional, maka
hukum nasional kehilangan daya mengikatnya. Hal tersebut sulit dijawab. Terhadap
permasalahan demikian, menurut kalangan akademisi hukum internasional, ada dua
teori yang dapat dipakai untuk menjawab hal tersebut yakni teori Monisme dan
Dualisme : yang pertama menurut teori monisme antara hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua kesatuan hukum dari suatu kesatuan hukum yakni
hukum pada umumnya. Karena terletak pada satu sistem hukum maka besar
kemungkinan terjadinya ketidaksepahaman antara keduanya. Teori monisme terbagi
menjadi dua yaitu teori monisme primat hukum internasional dan monisme primat
hukum nasional. Menurut teori monisme primat hukum nasional, hukum
internasional berasal dan bersumber dari hukum nasional yakni hukum internasional
berasal dari praktik negara-negara, maka dengan begitu kedudukan hukum
internasional lebih rendah dari hukum nasional, sehingga jika terjadi konflik maka
hukum nasionallah yang semestinya digunakan.
Aliran monisme primat hukum internasional berpendapat bahwa hukum
nasional bersumber dari hukum internasional, apabila terjadi konflik maka hukum
internaisonallah yang harusnya digunakan. Kedua aliran ini belum sepenuhnya
15 Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta, 1990, hal 116.
12
menjawab persoalan sengketa antar negara tentang bagaimana jalan
penyelesaiannya.
Yang kedua yaitu teori dualisme, teori ini mnyebutkan bahwa antara hukum
internasional dan hukum nasional adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda
satu sama lainnya. Perbedaan yang dimaksud adalah : subjek hukum internasional
adalah negara sementara subjek hukum nasional adalah individu; sumber hukum
internasional adalah praktik dan kebiasaan-kebiasaan negara-negara, sementara
hukum nasional bersumber pada kehendak negara;16
Perbedaan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut Anzzilotti
dapat ditarik dari dua prinsip yang fundamental yakni: hukum nasional mendasarkan
diri pada prinsip bahwa aturan negara harus dipatuhi, sementara hukum internasional
mendasarkan diri pada prinsip bahwa perjanjian antar negara harus dihormati pacta
sunt servanda.17 Sebab dengan saling menghormati mungkin semua persengketaan
dapat diselesaikan oleh hukum internasional.
Hukum internasional memiliki peranan sangat besar dalam menyelesaikan
sengketa internasional, hukum internasional berupaya agar hubungan antar negara
terjalin lewat ikatan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan.
Hukum internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya. Hukum internasional memberikan
pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara, prosedur atau upaya yang
harusnya ditempuh untuk menyelesiakan sengketa. Hukum internasional modern
menganjurkan cara penyelesaian secara damai, apakah sengketa itu sifatnya antar
negara dengan negara ataukah negara dengan subjek yang lainnya. Dan hukum
16 Mieke Komar Kantaatmadja, Tanggung Jawab Negara dan Individu Dalam Hukum Internasional, Pekanbaru, 2000, hal 41.17 Lawrence Anzzilotti, American Law In The World, Jakarta, 1984, hal 303.
13
internsional tidak menganjurkan sama sekali penyelesaian melalui jalur kekerasan,
walaupun tidak bisa dihalangai jika akhirnya kekerasan yang dipakai para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya.18
Sengketa damai menganut beberapa asas atau prinsip sebagai berikut: iktikad
baik (good faith); larangan penggunaan kekerasan didalam penyelesaian sengketa;
kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengket; kebebasan memilih hukum yang
akan diterapkan pada pokok sengketa, kesepakatan para pihak yang bersengketa;
penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan sengketa
(exhaustion of local remedies); prinsip-prinsip hukum internasional tentang
kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah negara-negara.19
Disamping ketujuh prinsip diatas, (PBB) juga memuat prinsip lain yang
bersifat tambahan yaitu: larangan intervensi, baik terhadap masalah dalam maupun
luar negeri para pihak; persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; persamaan
kedaulatan negara-negara; kemerdekaan dan hukum internasional.20
Beberapa aturan yang dikeluarkan mencegah terjadinya perolehan wilayah
dengan cara aneksasi antara lain: Kellog Briand pact 1928, yang melarang perang
sebagai instrumen kebijakan suatu negara; pasal 2 (4) piagam PBB; deklarasi
prinsip-prinsip hukum internasional tentang hubungan baik dan kerjasama antar
negara 1974, wilayah suatu negara tidak dapat dijadikan objek perolehan oleh negara
lain dengan cara ancaman penggunaan kekerasan.21 Tidak ada cara-cara tersebut
yang diakui oleh hukum internasional. Namun tetap saja sengketa antar negara
18 Op,cit hal 219 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, 1999, hal 101.20 Ibid.21 Ibid.
14
menyangkut wilayah terjadi. Jika terjadi suatu persengketaan, terdapat beberapa
kategori penyelesaiannya.
Negosiasi atau perundingan adalah cara yang paling banyak ditempuh serta
cukup efektif dalam penyelesaian sengketa. Praktik negara-negara menunjukan
bahwa mereka lebih sering menggunakan cara-cara negosiasi untuk menyelesaikan
setiap sengketa yang mereka hadapi. Ion Diaconu menyatakan bahwa: konsultasi
adalah bentuk lain dari negosiasi yang sifatnya lebih sederhana, informal dan
langsung. Sementara negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung
antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa
melibatkan pihak ketiga.22
Dengan tidak adanya keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa,
masyarakat internasional telah menjadikan negosiasi sebagai langkah awal untuk
penyelesaian sengketa. Biasanya didalam negosiasi lebih banyak pertimbangan
politisnya daripada pertimbangan hukumnya, tetapi adakalanya argumen-argumen
hukum cukup sering berfungsi untuk saling menguatkan kedudukan para pihak,
sebab hasil daripada negosiasi ini akan dituangkan dalam bentuk sejumlah dokumen
yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan yang dituangkan
dalam bentuk suatu dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya hukum
internasional mengatur manakala cara biasa seperti negosiasi ini tidak berhasil
ataupun kurang maksimal, para pihak biasanya mensyaratkan kata sepakat untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa kepada cara lain, seperti: Arbitrase, konsiliasi,
mediasi, pengadilan dan yang lain sebagainya bahkan mungkin hingga peperangan.
Kemudian terdapat cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang lebih
dikenal dengan sebutan jassa baik. Keikutsertaan pihak ketiga memberikan jasa-jasa
22 Ion Diaconu, Penyelesaian Sengketa Antar Negara, Cambridge, 1981, hal 1102.
15
baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat
perundingan diantara mereka. Ketentuan mengenai jasa baik dapat ditemui dalam
berbagai perjanjian baik yang multilateral maupun bilateral antara lain: the hague
convention on the pacific seetlement of international dispute; Bab 6 (pasal 33-38)
Piagam PBB; the american treaty on pacific seetlement; konvensi wina tahun 1961
(pasal 45&46); konvensi wina tahun 1963 (pasal 8).
Terdapat banyak jalan penyelesaian sengketa bagi kasus antara Rusia dan
Ukraina yang sementara terjadi pada semenjanung Crimea. Penyelesaian sengketa
internasional secara damai, penyelesaian secara diplomatik ataupun penyelesaian
melalui lembaga-lembaga peradilan seperti Mahkamah Internasional.
F. Metodologi penulisan
Dalam memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah terhadap suatu objek
penelitian, dibutuhkan metode yang sistematis dengan melihat permasalahan dalam
penulisan tersebut, maka metode penulisan meliputi ;
1. Pendekatan Masalah
Bertolak dari judul dan permasalahan yang dirumuskan maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, dimana sumber data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yakni berbagai literature dan bahan-bahan ilmiah.23
2. Tipe Penulisan
Bersifat deskritif analitis, dimana mengalisa hal-hal yang menjadi permasalahan, sehingga kemudian dideskripsikan hal-hal yang patut mendapat perhatian dalam penggunaan selanjutnya, melalui penarikan kesimpulan dan saran-saran yang patut dikemukakan.24
3. Teknik Analisis
23 Soerjono Soekamto, Pengantar Penlitian Hukum, UI-Prees, Jakarta, 1984, hal 20424 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Hukum dan Jurimetri, Jakarta, 1982
16
Analisis yang digambarkan dalam pembahasan ini adalah analisa kualitatif yakni suatu analisa yang mengutamakan bahan kuliah dan studi pustaka.25
4. Sumber bahan Hukum
Bahan Hukum yang diperoleh dari Sumber Bahan Hukum Primer berupa Konvensi-Konvensi. Bahan Hukum sekunder, berupa Kepustakaan dan media elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
25 Ibid.
17
Ade Maman SH MH, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Edy Setiabudi SH, Isu-isu Terkini Hukum Internasional, FH Unair, Surabaya, 2006.
Ahmad Izzan, Dasar Hukum Internasional, Bayumedia Publishing, Bandung, 2003.
Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, CV Sinar Remaja, Jakarta, 1999.
Budi Lasaruzli dan Syahmin A.K, Suksesi Negara Dalam Hubungannya Dengan Perjanjian Internasional, CV Remadja Karya, Bandung, 1986.
Huala Adolof SH LLM, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Ion Diaconu, Penyelesaian Sengketa Antar Negara, Oelgeschlager Gunn & main, Cambridge, 1981.
John Simpson, The War Againts Saddam, Penerjemah UI-Press, Oxford, 2003.
Lawrence Anzzilotti, American Law In The World, Penerjemah Wisnu Barata, Genta Publishing, Jakarta, 1984.
Mieke Komar Kantaatmadja, Tanggung Jawab Negara dan Individu Dalam Hukum Internasional, Allumni Sources, Pekanbaru, 2000.
Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Allumni Sources, Yogyakarta, 1990.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Roy Abimanyu, Sketsa Geopolitik, Laksbang Presindo, Jakarta, 2002.
Sefriani SH M,Hum, Hukum Internasional (suatu pengantar),Kencana Prenada Media Group jakarta, 2011.
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Prees, Jakarta, 1984.
18