tugas study
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ruwat sendiri merupakan kebudayaan yang ada sebelum Islam masuk ke Jawa. Oleh
karena itu masih banyak hal yang berhubungan dengan kepercayaan yang ada pada waktu
sebelumnya. Acara ruwat bukan hanya merupakan ruwat mala saja tetapi dalam masyarakat
Jawa masih banyak lagi yang lain. Karena waktu yang terus berjalan dan berubahnya
kebudayaan dengan adanya teknologi modern, maka keberadaan ritual ruwatan sedikit
tergeser.
Pergeseran yang dialami kebudayaan yang ada dalam masyarakat Jawa sekarang ini, baik
yang berupa ritual maupun yang lain merupakan hal penting untuk diperhatikan. Jika
memang kebudayaan yang ada sesuai dengan kemajuan zaman, mengapa tidak dilakukan
pelestarian sebagai bukti kekayaan masyarakat Jawa ?
Kejawen selalu identik dengan hal-hal yang berbau mistis, spiritual, dan makhluk halus di
dalamnya. Di dalam ritual ruwat terdapat beberapa tokoh gaib yaitu Bethara Kala, Bethara
Wisnu, dan beberapa tokoh penting lain yang ada dalam cerita dan mitos tentang ritual ruwat.
Manusia yang diruwat adalah manusia yang sudah pernah melakukan kesalahan sehingga ia
bisa saja menyebabkan sebuah kerusuhan di muka bumi ini. Oleh karena itu, sebagai sukerta,
ia harus diruwat.
\Ruwat sendiri sebenarnya memiliki arti pelepasan, dan maksud dilakukannya ruwat
adalah untuk membebaskan atau melepaskan manusia yang sudah tergolong sebagai sukerta.
Karena bersifat sebagai upacara pelepasan, maka upacara ini selalu berhubungan dengan
dunia mistis dan tidak pernah lepas dari pengaruh gaib di dalamnya. Dalam kepercayaan
Jawa, orang yang telah diruwat dipercaya akan terlepas dari segala sesuatu yang akan
menimbulkan kesialan baginya.
B. Perumusan Masalah
Di dalam penulisan makalah ini penulis ingin mengetahui:
1. Apa yang dimaksud dengan ruwatan?
2. Bagaimana proses ruwatan yang dilakukan masyarakat jawa saat ini?
C. Tujuan Masalah
Didalam penulisan makalah ini penulis memiliki tujuan dengan melihat dari rumusan
yang ditulis.tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.Mengetahui apa yang dimaksud dengan ruwatan?
2.Mengetahui bagaimana proses ruwatan yang dilakukan masyarakat jawa saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN RUWATAN
1. Sejarah Tradisi Ruwatan
Ruwatan, sebagai salah satu warisan upacara tradisional Jawa sampai sekarang masih
terlestarikan. Terlestarikannya upacara ini oleh karena keberadaaannya memang dianggap masih
bermanfaat bagi pelestarinya.
Lepas dari itu, menurut beberapa ahli Ruwatan semula berkembang di dalam suatu cerita
Jawa kuno yang pada pokoknya memuat masalah penyucian. Penyucian ini menyangkut
pembebasan para dewa yang terkena kutukan atau tidak suci (diturunkan derajadnya) menjadi
binatang, raksasa, manusia, dan sebagainya. Ruwatan ini dilakukan untuk membebaskan dewa-
dewa bernoda itu agar menjadi dewa kembali.
Ruwat juga sering diartikan sebagai upaya untuk mengatasi atau menghindarkan sesuatu
kesulitan (batin) yang mungkin akan diterima seseorang di dalam mengarungi kehidupannya.
Ruwatan biasanya selalu diikuti dengan pertunjukan wayang kulit yang mengambil lakon tertentu
(misalnya Murwakala atau Sudamala).
Munculnya Ruwatan juga disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa manusia yang dianggap
cacad keberadaannya (karena kelahirannya atau kesalahannya dalam berperilaku) perlu
“ditempatkan” atau dikembalikan dalam tata kosmis yang benar agar perjalanan hidupnya
menjadi lebih tenang, tenteram, sehat, sejahtera, dan bahagia. Orang yang dianggap cacad karena
kelahiran dan juga karena kesalahannya dalam bertindak dalam masyarakat Jawa disebut sebagai
wong sukerta. Dalam keyakinan Jawa wong sukerta ini kalau tidak diruwat akan menjadi mangsa
Batara Kala.
Batara Kala adalah putra Batara Guru yang lahir karena nafsu yang tidak terkendalikan.
Ceritanya, waktu itu Batara Guru dan Dewi Uma sedang bercengkerama dengan menaiki seekor
lembu melintas di atas samudera. Tiba-tiba hasrat seksual Batara Guru timbul. Ia ingin
menyetubuhi istrinya di atsa punggung Lembu Andini. Dewi Uma menolaknya. Akhirnya sperma
Batara Guru pun terjatuh ke tengah samudera. Sperma ini kemudian menjelma menjadi raksasa
yang dikenal bernama Batara Kala. Sperma yang jatuh tidak pada tempatnya ini dalam bahasa
Jawa disebut sebagai kama salah kendhang gemulung. Jadi Batara Kala ini merupakan
perwujudkan dari kama salah itu.
Dalam perkembangannya, Batara Kala minta makanan yang berwujud manusia kepada Batara
Guru. Batara Guru mengijinkan asal yang dimakannya itu adalah manusia yang digolongkan
dalam kategori wong sukerta. Wong sukerta atau orang-orang yang digolongkan sebagai wong
sukerta ini ternyata memiliki beberapa versi pula. Salah satu versi menyatakan bawah golongan
wong sukerta ada 19 jenis, ada pula sumber yang menyatakan bahwa jenis wong sukerta ada 60
macam, 147, 136, dan sebagainya.
Untuk melaksanakan Ruwatan ini orang yang menyelenggarakan biasanya akan melengkapi
syarat-syarat yang diperlukan, di antaranya adalah sajen.
Sajen untuk upacara Ruwatan secara garis besar terdiri atas: tuwuhan, ratus/kemenyan wangi,
kain mori putih dengan panjang sekitar 3 meter, kain batik 5 (lima) helai), padi segedeng (4 ikat
sebelah-menyebelah ujung gawang kelir), bermacam-macam nasi, bermacam-macam jenang,
jajan pasar, benang lawe, berbagai unggas sepasang-sepasang, aneka rujak, sajen buangan, air
tujuh sumber, aneka umbi-umbian, aneka peralatan pertukangan, aneka peralatan pertanian, dan
sebagainya.
2.Macam-macam Ruwatan
Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan pada siapa yang akan
melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan
ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan
mengadakan pagelaran pewayangan. Pagelaran pewayangan ini berbeda dengan
pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang
hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat.
1. Ruwatan Diri Sendiri
Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa
(ajaran sinkretisme), melakukan selamatan, melakukan tapa brata. Dalam masyarakat
Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud
untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk
dalam ruwatan. Dengan memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik),
akan memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh
para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal yang bersifat
baik.
Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda
dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Ruwatan lebih cenderung
dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan
yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga
sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara
ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain
adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya
timbul dari sedulur papat limo pancer atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain
(makhluk halus). Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan pendeteksian.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan (petungan) Jawa yaitu : Ha:
1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu
orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian
dibagi 9 dandiambil sisanya. Jika sisa:
1.Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,
2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,
3. Bersemayam di telinga kanan,
4. Bersemayam di telinga kiri,
5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,
6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,
7. Bersemayam di mulut,
8. Bersemayam di sekeliling pusar,
9. Bersemayam di kemaluan,
Sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sedikit darah di sekitar tempat
keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung). Cara mengambil darah
ini adalah dengan mengunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas puti. Duri dan
kapas nantinya akan dilabuh bersama-sama dengan syarat yang lain, berupa :
1. Beras 4 kg,
2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram),
3. Ayam,
4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),
5. Benang Lawe satu gulung,
6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),
7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,
8. Kelapa 1 buah.
Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan duri dilabuh sambil membaca
mantera: “Ingsung ora mbuwang klapa lan isine, ananging mbuwang apa kang
ndadekake apesing awakku”. (Aku tidak membuang kelapa beserta isinya, tetapi aku
membuang apa yang menjadikan kesialan bagiku).
Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, dikrarkan untuk
disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang
membutuhkan.
2. Ruwatan Untuk Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan
sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi. Sebagai contoh yang
sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita adalah memberikan pagar gaib. Hal
semacam memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi (anggap saja rumah) ditujukan
untuk beberapa hal, antara lain :
a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau
memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau
hendak masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya
dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan, misalnya kepala
kerbau atau kepala kambing.
b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak
berniat jahat.
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung
makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.
Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang
menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang cukup luas dengan
kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib pada
manusia dan pada lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan
menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.
Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa
sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal, membaca doa untuk membuat
pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk
memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian
masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah.
Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah
pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan
melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh berbeda antara satu tujuan
dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa
adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri.
Dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis
lakon.
3. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas
Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan
yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki
kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong
rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah
menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena
pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang
cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran
wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.
B. PROSES TRADISI RUWATAN
Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang
akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat
lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan
waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.
Urut-urutan ruwatan sebagai berikut :
a) Dimulai dengan doa pembuka
b) Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang Hyang Kala,
yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip
seperti nyanyian, tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat
pembukaan sang dalang dalam membuka pagelaran wayang
c) Diteruskan dengan membaca Pakem Sontheng. Pakem ini dimulai
dilagukan
d) Setelah Pakem Sontheng selesai
e) Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca Kidung Sastra
Pinandhati
f) Diteruskan dengan membaca “Sastra Banyak Dalang” lagu
kentrung
g) Diteruskan dengan membaca Sastra Gumbalageni, Geni, atau api
yang datang dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat
dan utara, disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah
menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan melakukan pembacaan
mantera
h) Diteruskan dengan Kidung Sastra Puji Bayu
i) Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri
j) Diteruskan dengan Sastra Kakancingan. Pada proses ini
merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan
cara atau ritual ruwat.
k) Diteruskan dengan Sastra Panulak, pada proses ini, kekuatan gaib
dari Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut
kepercayaan masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan
musnah
l) Diteruskan dengan Sastra Ruwat Panggung, dengan dinyanyikan
lagu dandhanggula
m) Diteruskan dengan Sastra Panengeran, dengani dinyanyikan lagu
Dandhanggula
n) Diteruskan dengan Kidung Panengeran lanjutan, dengan
dinyanyikan lagu dandhanggula
o) Diteruskan dengan Kidung Sastra Pangruwatan, dengan
dinyanyikan lagu dandhanggula
p) Diteruskan dengan Kidung Pangruwat Pamungkas, dengan
dinyanyikan lagu dandhanggula
Setelah selesai melantunkan Kidung Ruwat Muewakala, rambut anak sukerta dipotong
sebagai syarat yang nantinya akan dilarung. Kemudian anak Sukerta tersebut dimandikan air
bubga setaman oleh yang meruwat. Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang
meruwat (dalang). Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat (dalang ruwat).
Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan (gila), atau
sudah lama mengalami kesurupan, maka harus dibacakan Kidung Rumaya, sekar sinom yang
menyebutkan adanya lelembut di tanah Jawa sebagai berikut :
Tembang Sinom
Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning
dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong
sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.
Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku
ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan,
Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura.
Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrjeksa, ing Magetan, Jenggal si
Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang,
Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga.
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan,
Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa,
Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan.
Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran
sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara,
Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira.
Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing
Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si
Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa.
Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-
manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon
Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang.
Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran, Sapuregol ing
Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa
ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang.
Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan,
Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki
Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan.
Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi
Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka
ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa.
Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala Nadah ing Tojamas, Segaluh aran si
Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng Lowange, gunung Duk Geniyara, Bok Bereng
Parangtaritis, Drembamoa ingkang aneng Purbalingga.
Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing Jenu si Karungkala, ing
Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek
putih kang nenggani, Buta Glemboh ing Ngayah kajanganira.
Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin, Juwal-pajal ing Talsinga, ing Tremas
Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si Kuncung Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si
Asmara aneng Taji, Bagus-anom ing Kudus kayanganira.
Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati, Cucuk Dandang ing Kartika,
Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga Buwana ranipun, Pak Kecek Pejarakan, Cing-
cing Goling Kalibening, ing Dahrama Karawelang kang rumeksa.
Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban,
Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung Garunggung, kang aneng
Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura ingkang aneng Majaraga.
Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si Londir ing Wirasaba, Madura
Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih ranipun, si Gober Pecangakan, Danapi ing
Jatisari, Abar-abir ingkang aneng Jatimalang.
Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Parangtandang ing Kesanga, ing
Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang aran si Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang,
Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa sukuning ardi Baita.
Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih, Buta Kepala Prambanan, Bok
Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing
Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji, Pager Waja Rahaden Kusumayuda.
Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit, kalangkung kasektenira, titihane
jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege
wesi, cametine pat-upate ula lanang.
Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali mangetan, mangidul panyabet neki,
ana lara teka bali, tinulak bali mangidul, ngulon panyabetira, ana lara teka bali, pan tinulak bali
mangandap kang lara.
Mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak ngalor parannya, manginggil panyabet
neki, ana lara teka bali, tinulak bali manduwur, mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan
tinulak bali mangandap kang lara.
Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati, kalangkung kasektenira, keringan
samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli, Yudapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara,
Gambir Anom aneng Pti, si Kecebung Kadilangu kang den reksa.
Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang rumeksa Parang Wedang,
Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga Nyai Kidul, sampun pepak sadaya, para
pramukaning demit, nungsa Jawa paugeran kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”.
Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan ritual ruwat secara lengkap dan
menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden Hadipati Danureja IV).
Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala, selanjutnya dibuatlah Rajah
Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat. Pembuatan Rajah Kalacakra
Balik adalah menulis huruf hanacaraka secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan nga ta ba ga
ma sampai ka ra ca na ha dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Ditulis melingkar diatas lempengan emas,
Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada
tengah malam saja,
Pati geni selama sehari semalam penuh,
Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau
ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.
Penulisan huruf dengan aksara Jawa.
Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang berwarna putih kemudian ditempel
pada tembok atau pintu depan rumah. Penggunaan warna tinta dengan menggunakan dua warna,
misalnya hitam dan merah. Dalam menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
Melakukan puasa selama 21 hari,
Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa.
BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Ruwatan, sebagai salah satu warisan upacara tradisional Jawa sampai sekarang masih
terlestarikan. Terlestarikannya upacara ini oleh karena keberadaaannya memang dianggap masih
bermanfaat bagi pelestarinya.
Lepas dari itu, menurut beberapa ahli Ruwatan semula berkembang di dalam suatu cerita
Jawa kuno yang pada pokoknya memuat masalah penyucian. Penyucian ini menyangkut
pembebasan para dewa yang terkena kutukan atau tidak suci (diturunkan derajadnya) menjadi
binatang, raksasa, manusia, dan sebagainya. Ruwatan ini dilakukan untuk membebaskan dewa-
dewa bernoda itu agar menjadi dewa kembali.
Ruwat juga sering diartikan sebagai upaya untuk mengatasi atau menghindarkan sesuatu
kesulitan (batin) yang mungkin akan diterima seseorang di dalam mengarungi kehidupannya.
Ruwatan biasanya selalu diikuti dengan pertunjukan wayang kulit yang mengambil lakon
tertentu (misalnya Murwakala atau Sudamala). Munculnya Ruwatan juga disebabkan oleh
adanya keyakinan bahwa manusia yang dianggap cacad keberadaannya (karena kelahirannya
atau kesalahannya dalam berperilaku) perlu “ditempatkan” atau dikembalikan dalam tata kosmis
yang benar agar perjalanan hidupnya menjadi lebih tenang, tenteram, sehat, sejahtera, dan
bahagia. Orang yang dianggap cacad karena kelahiran dan juga karena kesalahannya dalam
bertindak dalam masyarakat Jawa disebut sebagai wong sukerta. Dalam keyakinan Jawa wong
sukerta ini kalau tidak diruwat akan menjadi mangsa Batara Kala.
2.SARAN
Ruwatan yang merupakan salah satu tradisi kebudayaan daerah jawa,yaitu tradisi
penyucian yaitu penyucian dari marabahaya,kejelekan,kesialan atau apapun yang besangkutan
dengan kejelekan baik bagi diri sendiri,keluarga,rumah,maupun lingkungan sekitar seharusnya
kita lestarikan karena bagaimanapun bentuknya ruwatan ini bagi masyarakat Jawa masih sangat
bermanfaat.
LAMPIRAN
Ritual Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon Mantrawara III, Mantra Yuda
Ruwatan untuk Desa atau wilayah yang luas
Contoh lain ritual ruwatan di Jogja
TRADISI RUWATAN MASYARAKAT JAWA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Masyarakat dan Kebudayaan
Dosen pengampu: E.S. Ardinarto
Disusun oleh:
Clara Sherin I K6410011
Dwi Wulandari K6410019
Dwita Putri N K6410021
Faizurrohman Nur W K6410027
Kholidatur R K6410039
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010