proposal praperadilan (fix)

37
TINJAUAN YURIDIS PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK KETIGA ATAS PENGHENTIAN PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN DALAM PERKARA KORUPSI A. Latar Belakang Masalah Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. 1 Penilaian Transparency International menyatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2014 dari 175 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan 107 di dunia dengan skor 2,2 naik dari urutan ke 108 tahun 2013 dengan skor 2,0. 2 1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 2 2 http://www.ti.or.id ,diakses, tanggal, 27 Januari 2015. 1

Upload: hafizritonga

Post on 15-Jan-2016

100 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Praperadilan (FIX)

TINJAUAN YURIDIS PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK KETIGA ATAS PENGHENTIAN PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN

DALAM PERKARA KORUPSI

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi

kehidupan. Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke

tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah

kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak

pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki

seluruh aspek kehidupan masyarakat.1

Penilaian Transparency International menyatakan bahwa Indeks Persepsi

Korupsi Indonesia tahun 2014 dari 175 negara yang disurvei, Indonesia

menempati urutan 107 di dunia dengan skor 2,2 naik dari urutan ke 108 tahun

2013 dengan skor 2,0.2

Indonesia belum beranjak dari posisi sepuluh besar negara terkorup di

Asia disebabkan adanya hambatan-hambatan dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan korupsi. Hambatan-hambatan tersebut diidentifikasikan oleh Moh.

Yamin,3 pertama, mengenai peraturan perundang-undangan yang menyangkut

upaya pemberantasan korupsi baik yang diatur dalam undang-undang maupun

peraturan di bawahnya mempunyai kelemahan baik dari aspek substansi maupun

dari aspek teknis pelaksanaan sehingga memungkinkan terjadi kemacetan dalam

pemberantasan korupsi bahkan bukan tidak mungkin seringkali dimanipulasi serta

1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 22 http://www.ti.or.id ,diakses, tanggal, 27 Januari 2015.3 Moh. Yamin, Dengan Dukungan Rakyat Memberantas Korupsi, Majalah Komisi

Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 3

1

Page 2: Proposal Praperadilan (FIX)

dimanfaatkan oleh koruptor untuk membebaskan diri dari hukuman. Selain itu

tidak adanya undang-undang perlindungan saksi dan pelapor serta terlalu

ringannya hukuman bagi koruptor menyebabkan lemahnya penanganan korupsi.

Kedua, selain karena lemahnya sumber daya penegak hukum yang ada, penyebab

lainnya adalah karena aparat penegak hukum itu sendiri merupakan aktor yang

ikut menyuburkan korupsi. Ketiga, sudah membudayanya praktek korupsi. Dalam

prakteknya korupsi sudah dipandang sebagai suatu perilaku yang lazim dilakukan

oleh masyarakat. Sikap skeptis terhadap pemberantasan korupsi dan budaya turut

serta menyebarkan korupsi ke tengah masyarakat. Keempat, tidak adanya political

will dari para elit politik menjadi faktor penghambat dalam pemberantasan

korupsi, bahkan sering terjadi para elit politik ikut melindungi dan atau menjadi

bagian konspirasi tindak pidana korupsi. Kelima, karena rendahnya akuntabilitas

publik penyelenggara negara dan tidak adanya transparansi.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa korupsi ternyata tidak lepas dari

pengaruh dan atau peran masyarakat. Masyarakat telah menjadi salah satu

penyebab timbulnya tindak pidana korupsi sekaligus salah satu penghambat

pemberantasannya, bahkan korupsi itu sendiri timbul dari masyarakat. Oleh

karena itu dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat lepas

dari peran serta masyarakat. Korupsi juga telah menimbulkan kerugian yang

cukup besar, tidak hanya kerugian atas keuangan negara namun lebih luas lagi

telah merugikan masyarakat.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi menjelaskan korupsi di Indonesia telah terjadi secara

2

Page 3: Proposal Praperadilan (FIX)

sistemik dan meluas sehingga tidak saja menimbulkan kerugian keuangan negara,

tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.4

Dalam keuangan negara ada juga yang bersumber dari masyarakat dan akan

dikembalikan kepada masyarakat, jadi apabila uang tersebut dikorupsi maka ada

hak rakyat yang tidak dikembalikan dan tidak dapat dinikmati masyarakat.

Artinya dengan terjadinya korupsi maka telah terjadi pula pelanggaran terhadap

hak asasi manusia.

Dalam hubungannya antara hak asasi manusia dengan proses peradilan

pidana yang patut menjadi perhatian adalah hak warga negara yang oleh T.H.

Marshall dikatakan bahwa Civil Rights adalah "the right to defend and assert all

one's right, on terms of equality with others and by due process of law"5 yang

terjemahan bebasnya adalah hak seseorang untuk membela diri dan menuntut hak-

haknya dengan pengakuan atas kesamaan kedudukan dalam hukum melalui proses

hukum yang adil.

Dalam konteks korupsi di Indonesia, karena masyarakat sebagai warga

negara telah terlanggar hak-haknya maka masyarakat dengan demikian berhak

menuntut hak-haknya yang telah terlanggar melalui proses hukum yang adil.

Proses penegakan hukum dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim bersama-sama

masyarakat dalam suatu sistem peradilan pidana (Criminal Justice System).

Menurut Mardjono Reksodiputro, criminal justice system adalah sistem dalam

masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi kejahatan

4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5 http://www.hukumonline.com ,diakses, tanggal 10 Maret 2015

3

Page 4: Proposal Praperadilan (FIX)

adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas

toleransi masyarakat. Berhasil atau tidaknya suatu sistem peradilan pidana dapat

dinilai dari jumlah kejahatan yang sampai pada penegak hukum yang dapat

diselesaikan melalui proses peradilan pidana dan diputus bersalah serta mendapat

hukuman.6

Penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi upaya penciptaan

Indonesia yang damai dan sejahtera. Ketiadaan penegakan hukum akan

menghambat pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan adanya

keterkaitan yang erat antara damai, adil dan sejahtera. Untuk itu perbaikan pada

aspek keadilan akan memudahkan pencapaian kesejahteraan dan kedamaian.7

Namun demikian dalam pandangan masyarakat penegakan hukum masih

jauh dari rasa keadilan. Ada pandangan dalam masyarakat yang menilai hahwa

negara belum dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum. Praktek penegakan

hukum yang terjadi juga dinilai semakin jauh dari penegakan hukum yang

seharusnya dilakukan. Usaha untuk memperbaiki penegakan hukum bukannya

tidak dilakukan. Salah satu usaha yang dilakukan untuk memperbaiki penegakan

hukum adalah di undangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Lembaran Negara 1981 Nomor 76) atau

disebut KUHAP. Ini merupakan perbaikan dari hukum acara pidana sebelumnya

yang menggunakan peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda,

Herziene Inlands Reglement Staatsblad 1941 Nomor 44 atau disingkat HIR.

6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 90.

7 Ibid. hlm. 109.

4

Page 5: Proposal Praperadilan (FIX)

Sebagai produk pemerintahan kolanial Belanda tentu saja HIR jauh dari cita-cita

hukum bangsa Indonesia karena HIR dibuat untuk melindungi pemerintah

penjajah dan merepresi warga negara. HIR dinilai kurang menghargai hak asasi

manusia, keadilan dan kepastian hukum.

Untuk melakukan kontrol terhadap penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum,

KUHAP memberikan hak kepada tersangka, korban, penyidik, penuntut umum

maupun pihak ketiga untuk mengajukan praperadilan sebagaimana diatur dalam

Pasal 79-80 KUHAP.

Praperadilan merupakan salah satu lembaga hukum baru yang diciptakan

dalam KUHAP. Ditinjau dari struktur dan susunan peradilan lembaga

praperadilan bukanlah lembaga yang berdiri sendiri. Ia hanya merupakan

pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap

Pengadilan Negeri.8

Lembaga Praperadilan sejak semula dimaksudkan sebagai sarana hukum

yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan baik oleh tersangka, korban,

penyidik, penuntut umum maupun pihak ketiga yang berkepentingan. Namun

dalam penerapannya masih banyak kendala-kendala baik dari segi substansinya

(peraturannya), segi struktur mekanisme kerja institusi yang terlambat, maupun

segi masyarakatnya (kultur).9

KUHAP memiliki kelemahan, diantaranya dalam hal praperadilan. Salah

satunya dalam hal praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan terhadap

8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang, banding, dan kasasi), Sinar Grafika, Jakarta: 2000, hlm. 1

9 http://www.hukumonline.com/praperadilan, diakses, tanggal, 10 Maret 2015.

5

Page 6: Proposal Praperadilan (FIX)

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, khususnya penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi. Dalam pasal 80

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dinyatakan:

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau

penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga

yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut

alasannya.

Pihak ketiga yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 80 di atas tidak

diterangkan siapa pihak ketiga tersebut. Dalam ketentuan praperadilan yang dapat

mengajukan praperadilan adalah tersangka, keluarganya atau kuasanya, penyidik,

penuntut umum dan pihak ketiga (Pasal 79-80 Undang-Undang Nomor 8 tahun

1981). Tersangka atau keluarganya jelas tidak mungkin akan mengajukan

praperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan karena dengan adanya

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tersebut mereka justru

diuntungkan. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dalam hal ini

merugikan korban. Dalam kasus korupsi korbannya adalah negara dan masyarakat

karena dalam keuangan negara ada juga yang bersumber dari masyarakat dan akan

dikembalikan kepada masyarakat, jadi apabila uang tersebut dikorupsi maka ada

hak rakyat yang tidak dikembalikan dan tidak dapat dinikmati masyarakat.

Dalam praktek, praperadilan yang diajukan oleh Komunitas Advokat &

Masyarakat Penegak Hukum dan Keadilan sebagai pihak ketiga terhadap

penghentian penuntutan perkara korupsi pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Candra Martha Hamzah permohonannya

6

Page 7: Proposal Praperadilan (FIX)

ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.10 Namun dalam permohonan

praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo selaku pihak ketiga terhadap

kasus tersebut, Pengadilan Jakarta Selatan mengabulkannya.

Untuk melihat bagaimana lembaga praperadilan dalam prakteknya

mengakomodir pihak ketiga dalam perkara tindak pidana korupsi khususnya

mengenai siapa yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga, dan bagaimana

kelemahan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang

berkepentingan, maka penulis mengkaji lebih dalam untuk diteliti yang

dituangkan dalam proposal skripsi ini dengan judul: “Tinjauan Yuridis

Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Ketiga Atas Penghentian Penyidikan Atau

Penuntutan dalam Perkara Korupsi”.

B. Rumusan Masalah

1. Siapakah pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan

praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

dalam perkara korupsi?

2. Apa kelemahan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga

yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan dalam perkara korupsi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

10 Putusan Perkara Pidana Praperadilan Nomor; 46/Pid.Prap/2009/PN. JKT. Sel. Tanggal 21 Desember 2009.

7

Page 8: Proposal Praperadilan (FIX)

a. Untuk mengetahui siapa saja yang dimaksud dengan pihak ketiga yang

berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan atas penghentian

penyidikan atau penuntutan dalam perkara korupsi.

b. Untuk mengetahui kelemahan yang ditemui dalam praktek praperadilan

oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau

penuntutan tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini untuk menambah pengetahuan pemahaman penulis

khususnya mengenai masalah yang diteliti.

b. Sebagai penelitian yang dapat berwawasan ilmiah. Selain itu, diharapkan

juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi almamater kami,

yaitu Fakultas Hukum Universitas Riau.

c. Dapat dijadikan sebagai referensi tambahan kepada mahasiswa lain dalam

melaksanakan penelitian selanjutnya.

D. Kerangka Teori

1. Teori Tindak Pidana

a) Tindak Pidana Umum

Istilah tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda, yaitu

“strafbaar feit”. Ada pula yang mengistilahkan menjadi “delik” yang berasal dari

bahasa latin “delictum”. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah

“offense” atau “criminal act”.11

11 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Acara Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 17.

8

Page 9: Proposal Praperadilan (FIX)

Oleh karena itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia

bersumber pada Wetboek wan Strafbaarfeit Belanda, maka memakai istilah

aslinya pun sama Straafbaar dan feit. Perkataan feit diartikan “sebagian dari

kenyataan”, sedangkan strafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat

dihukum”.

Mengenai perumusan tindak pidana, R. Tressna mengemukakan bahwa

tindak pidana dianalogikan sebagai “peristiwa pidana”, yaitu sesuatu perbuatan

atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau

peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

penghukuman.

Moeljatno, merumuskan tindak pidana sebagai “perbuatan pidana” yaitu

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai

sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.12

Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa

larangan ditujukan pada perbuatan yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan

oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang

menimbulkan kejahatan.

Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsurnya: (1) perbuatan

manusia, (2) memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil), (3)

bersifat melawan hukum (syarat materiil). Syarat formil harus ada, karena asas

legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.13

12 Moeljatno, Hukum Acara Pidana: Bagian Pertama Seksi Kepidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 2.

13 Evi Hartanti, Op.cit, hlm. 7.

9

Page 10: Proposal Praperadilan (FIX)

b) Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andrea, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruptio atau corruptus.14 Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal

dari kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:

corruptio= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-

badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,

pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.

Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:

1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan

ketidakjujuran.15

2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok, dan sebagainya.16

Penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:17

1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan

kebutuhan. Kurangnya gaji pegawai negeri ini akan semakin parah

apabila dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang langsung

maupun tidak langsung mengubah pola hidup pegawai negeri. Kebutuhan

akan alat-alat yang berteknologi seperti televisi, handphone, kendaraan

14 Fockema Andrea, Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, huruf c.15 S. Wojowasito- W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-

Inggris, Hasta, Bandung.16 W.J.S. Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976.17Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 11.

10

Page 11: Proposal Praperadilan (FIX)

bermotor menambah pengeluaran mereka. Belum lagi gaya berbelanja

dengan sistem mencicil dan penggunaan kartu kredit, sampai berbagai

macam potongan semakin memberatkan kehidupan pegawai negeri. Hal

ini akan membuat pegawai negeri semakin mudah tergoda melakukan

korupsi.

2. Latar belakang kultur budaya masyarakat Indonesia. Budaya ini mungkin

berawal justru dari sifat kekerabatan masyarakat Indonesia yang

gampang memberi bingkisan/ hadiah yang di masa selanjutnya

pemberian ini diiringi niat dan maksud atau tujuan tertentu.

Penyalahgunaan kewenangan para pejabat juga telah terdeteksi dari

zaman Hindia Belanda dimana pejabat pribumi cenderung melakukan

penyimpangan karena dapat menjalankan tugas jabatannya di mana saja

dan kapan saja, ini kemudian bertemu dengan budaya hadiah di atas yang

pada masa selanjutnya seiring berubahnya masyarakat menjadi

masyarakat yang hedonis konsumtif yang ingin segala urusan jadi cepat

melahirkan suap dan gratifikasi.

3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan

efisien. Menurut Prof. Soemitro (Alm) kebocoran anggaran mencapai 30

%, ini menunjukkan berbagai pendidikan, pelatihan maupun penataran

seperti Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau P4 tidak

mampu mengurangi korupsi apalagi untuk menghentikannya.

4. Modernisasi. Menurut Samuel P. Huntington sebagaimana dikutip oleh

Andi Hamzah modernisasi menjadi penyebab korupsi karena :

11

Page 12: Proposal Praperadilan (FIX)

a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar

masyarakat.

b. Modernisasi membuka sumber kekayaan dan kekuasaan baru.

Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak

diatur oleh norma tradisional masyarakat, sedangkan norma baru

belum dapat diterima oleh golongan berpengaruh di masyarakat.

c. Modernisasi mengakibatkan perubahan dalam kegiatan sistem

politik, yang pada gilirannya memperbesar kekuasaan pemerintah

dan melipatgandakan kegiatan yang diatur oleh pemerintah.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk tindak pidana khusus

di Indonesia. Kekhususan ini terjadi karena tindak pidana korupsi tidak begitu di

atur secara detail di dalam KUHP. Menurut Robert Klitgaard, korupsi adalah

suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit

kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia.18

Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang

merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan

kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau

istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau

menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga

dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya

yang berhubungan dengan hukum pidana acaranya.19

18 http://www.kpk.go.id, diakses, tanggal, 5 Februari 201519 Ibid

12

Page 13: Proposal Praperadilan (FIX)

Jika membicarakan tentang korupsi secara mendalam memang akan

menemukan kenyataan seperti demikian, dimana hal-hal tersebut sudah sangat

menyangkut dengan segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, kejahatan

dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam

jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga

atau golongan kedalam suatu instansi kedinasan yang ada dibawah kekuasaan

jabatannya.

Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa

sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas, seperti:20

a) Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan

dan sebagainya untuk kepentingan pribadi dan orang lain).

b) Korupsi: busuk: rusak: suka memakai barang atau yang dipercayakan

kepadanya; dapat diberi sogokan (melalui kekuasaannya untuk berbagai

kepentingan pribadi).

Korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum dengan maksud

memperkaya diri sendiri atau orang lain (perseorangan atau korporasi) yang mana

perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara,

pengertian ini tertera dalam pemahaman Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Menurut Andi Hamzah, delik korupsi pada Pasal 1 ayat

(1) sub a UUPTPK urutannya sebagai berikut yaitu:

1) Melawan hukum;

20 Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 10

13

Page 14: Proposal Praperadilan (FIX)

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan;

3) Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara

dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya

bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rumusannya mengenal kata

“melawan hukum”. Kata melawan hukum disini dimaksudkan dalam dua hal

yakni melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Makna melawan

hukum formil disini yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan

sosial dalam masyarakat (melawan hukum materiil), maka perbuatan tersebut

dapat dipidana. Penggunaan kata “dapat” disini menunjukkan bahwa tindak

pidana korupsi telah dianggap ada apabila unsur-unsur perbuatan yang telah

dirumuskan terpenuhi, bukan hanya dengan timbulnya akibat.

2. Teori Penyidikan

14

Page 15: Proposal Praperadilan (FIX)

Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan mekanisme aparat

penegak hukum pidana mulai dari penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan

penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.21

Menurut S.M Amin, penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana

dilakukan oleh kepolisian (penyidik), kejaksaan (penuntut), dan kehakiman

(pemberi hukuman).22

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan osporing

(Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).23

Menurut R. Susilo, penyidikan berasal dari kata “sidik”, pertama sidik berarti

terang, jadi penyidikan artinya membuat terang. Kedua “sidik” berarti “bekas”

(sidik jari), sehingga menyidik berarti mencari bekas-bekas, dalam hal ini bekas-

bekas kejahatan, setelah bekas-bekas itu terdapat dan terkumpul, kejahatan

menjadi terang. Maka penyidikan artinya membuat terang kejahatan.24

Dalam bidang reserse kriminal penyidikan itu dapat dibedakan sebagai

berikut:25

1) Penyidikan dalam arti luas, yang meliputi: penyidikan, pengusutan dan

pemeriksaan, yang sekaligus merupakan rangkaian dari tindakan-tindakan

secara terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya.

21 Syarifuddin Pettanase (dalam tesis Asron Eswandi), Hukum Acara Pidana, Universitas Sriwijaya, Palembang, 1997, hlm. 48.

22 S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 32.

23 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 118.24 R. Susilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politec, Bogor, 1979, hlm.

17.25 Suryono Sutanto, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang, 2003, hlm. 43.

15

Page 16: Proposal Praperadilan (FIX)

2) Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu yang meliputi: semua tindakan-

tindakan yang merupakan suatu bentuk represif dari reserse kriminal

POLRI yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.

Ketentuan tentang pengertian penyidikan tercantum di dalam Pasal 1 butir

(2) KUHAP bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangka”.

16

Page 17: Proposal Praperadilan (FIX)

3. Tinjauan Umum tentang Praperadilan

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan

memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Praperadilan sebagai

salah satu kewenangan pengadilan secara horizontal atau penerapan upaya paksa

oleh Polisi dan Jaksa meliputi:26

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara untuk

kepentingan umum oleh Jaksa Agung)

b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (vide,

Pasal 77 KUHAP)

c. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (vide, Pasal

82 ayat (1) b dan (3) KUHAP)

d. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas

penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau

hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan

Negeri (vide,Pasal 95 ayat (2) KUHAP)

e. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan

tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai

orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke

Pengadilan Negeri (vide, Pasal 97 ayat (3) KUHAP).

26 Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana (Surat Resmi Advokat di Pengadilan), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2014, hlm. 99.

17

Page 18: Proposal Praperadilan (FIX)

Terhadap putusan Praperadilan dalam hal sah atau tidaknya penangkapan

atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), sah atau tidaknya penghentian penyidikan

atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), dan anti kerugian atau rehabilitasi (Pasal 81

KUHAP), tidak dapat dimintakan banding terkecuali untuk putusan Praperadilan

yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang

untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah

hukum yang bersangkutan.

Praperadilan sebagai salah satu lembaga baru dalam dunia peradilan

Indonesia, mempunyai ciri dan eksistensi yaitu:27

a. Praperadilan berada dan merupakan suatu kesatuan yang melekat pada

pengadilan negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, praperadilan hanya

dapat dijumpai pada tingkat pengadilan negeri;

b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar

dengan pengadilan negeri, tapi hanya merupakan bagian atau divisi dari

pengadilan negeri;

c. Urusan administratif yustisial, personil, peralatan dan financial bersatu

dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah pimpinan dan

pengawasan serta pembinaan ketua pengadilan negeri;

d. Malasah tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi

yustisial pengadilan negeri itu sendiri.

Tujuan praperadilan yaitu untuk melakukan pengawasan secara horizontal

atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

27 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 186.

18

Page 19: Proposal Praperadilan (FIX)

(polisi dan penuntut umum) kepada tersangka selama dalam pemeriksaan

penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.28 Dan juga

sebagai perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa.29

E. Kerangka Konseptual

1. Tinjauan yuridis adalah suatu tinjauan menurut hukum atau dari segi

hukum.

2. Praperadilan adalah suatu lembaga baru yang diintrodusir oleh KUHAP

yang fungsinya melakukan pengawasan horizontal terhadap adanya

tindakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan

oleh instansi kepolisian selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku

penuntut umum.30

3. Pihak ketiga adalah pihak ketiga yang berkepentingan antara lain saksi

korban tindak pidana, pelapor dan/atau masyarakat luas yang diwakili oleh

LSM.

4. Saksi korban adalah

5. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

28 Ibid29 Achmad Roestandi, Hukum, Beracara di Pengadilan, dan Hak Asasi30 Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm.

180.

19

Page 20: Proposal Praperadilan (FIX)

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.31

6. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.32

7. Penghentian penyidikan adalah pemberitahuan dari penyidik pada

penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya dengan

dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lazim disebut

SP3.33

8. Penghentian penuntutan adalah penuntut umum dapat menghentikan

penuntutan, dalam arti hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang

disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang

pengadilan.34

9. Korupsi adalah perbuatan yang busuk, rusak,menerima uang sogok,

menyelewengkan uang atau barang, milik perusahaan atau negara,

menerima uang dengan jabatannya untuk kepentingan pribadi.35

F. Metode Penelitian1. Jenis Penelitian

31 Pasal 1 angka 1 KUHAP jo. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara R.I.

32 Pasal 1 angka 7 KUHAP.33 M. Yahya Harahap, Loc.cit.34,Ibid, hlm. 436.35 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

20

Page 21: Proposal Praperadilan (FIX)

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

penelitian hukum normatif atau dapat disebut juga dengan penelitian

hukum doktrinal. Dalam penelitian normatif ini hukum dikonsepkan

sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in

books) ataupun juga hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Dalam

penelitian hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap

sinkronisasi hukum yang bertitik tolak dari hukum yang ada, dengan cara

mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum

yang telah dirumuskan didalam perundang-undangan tertentu.

2. Sumber Data

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

melalui studi kepustakaan/studi dokumen, sehingga penelitian ini disebut

penelitian hukum normatif, sehingga data yang digunakan penulis dalam

penelitian ini adalah data sekunder yang dibedakan menjadi tiga bagian

yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.36 Peraturan

perundang-undangan yang meliputi:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2005, hlm. 181.

21

Page 22: Proposal Praperadilan (FIX)

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana.

3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer

dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan

hukum primer yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, artikel

internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan makalah.37

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

atas hukum primer dan sekunder, misalnya eksiklopedia, kamus

hukum, dan sebagainya.38

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data untuk penelitian normatif (legal

research) digunakan metode kajian kepustakaan atau studi dokumenter.

Sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

37 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 32.

38 Ibid, hlm. 33.

22

Page 23: Proposal Praperadilan (FIX)

4. Analisis Data

Dalam penelitian normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan

untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis. Analisis

yang dilakukan adalah analisis data secara kualitatif yaitu bertujuan

memahami, menginterpretasikan, mendeskripsikan suatu realitas. Penulis

menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari

hal-hal yang bersifat khusus, dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh

teori-teori.

G. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian ini memuat rencana penelitian. Dengan ini diharapkan

tergambar jadwal penelitian yang akan dilaksanakan.

Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu selama 6 (enam) bulan

atau 180 (seratus delapan puluh) hari. Penelitian ini dimulai bulan Februari tahun

2015 dan selesai bulan Juli 2015. Rencana kegiatan penelitian ini digambarkan

dalam tabel dibawah ini:

Tabel I.3Jadwal Penelitian

Uraian KegiatanBulanFeb

BulanMar

BulanApr

BulanMei

BulanJun

BulanJul

Penulisan Proposal

Seminar Proposal

Perbaikan Proposal

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

23

Page 24: Proposal Praperadilan (FIX)

Seminar Skripsi

Perbaikan Skripsi

Penyerahan Skripsi ke Fakultas

24