proposal inkuiri penelitian pendidikan matematika open ended
TRANSCRIPT
PROPOSAL PENELITIAN PENDIDIKAN MATEMATIKA open ended-inquiry untuk
meningkatkan berpikir kritis
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Bila tujuan pendidikan matematika yang tercantum pada kurikulum 1975, 1984, 1994,
1999 dan kurikulum berbasis kompetensi kita cermati, dapat kita katakan bahwa
tujuannya sama. Tujuan yang ingin dicapai pada intinya adalah agar siswa mampu
menggunakan atau menerapkan matematika yang dipelajarinya dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam belajar pengetahuan lain. Dengan belajar matematika diharapkan
siswa mampu memperoleh kemampuan yang tercermin melalui berpikir sistematis,
kritis, obyektif, jujur, dan disipilin. Selain itu juga dengan belajar matematika diharapkan
siswa dapat memanfaatkan matematika untuk berkomunikasi dan mengemukakan
gagasan.
Pada awal abad yang lalu, John Dewey mengatakan bahwa sekolah harus mengajarkan
cara berpikir yang benar pada anak-anak. Vincent Ruggiero (1988) mengartikan berpikir
sebagai segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan
masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami; berpikir
adalah sebuah pencarian jawaban, sebuah pencapaian makna.
Menurut Fraenkel (Tarwin, 2005: 8) tahapan berpikir terdiri dari :
1. Tahapan berpikir konvergen, yaitu tahapan berpikir yang mengorganisasikan
informasi atau pengetahuan yang diperoleh untuk mendapatkan jawaban yang benar
2. Tahapan berpikir divergen, yaitu tahapan berpikir dimana kita mengajukan beberapa
alternatif sebagai jawaban
3. Tahapan berpikir kritis
4. Tahapan berpikir kreatif, yaitu tahapan berpikir yang tidak memerlukan penyesuaian
dengan kenyataan
Dari tahapan berpikir di atas, berpikir kritis berada pada tahap tiga. Ujung dari berpikir
kritis adalah berpikir kreatif yang merupakan tindak lanjut dari berpikir kritis. Artinya
untuk berpikir kreatif seseorang harus lebih dahulu berpikir kritis.
Carole Wade dan Carol Travis (2007) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah
kemampuan dan kesediaan untuk membuat penilaian terhadap sejumlah pernyataan
dan membuat keputusan objektif berdasarkan pada pertimbangan yang sehat dan fakta-
fakta yang mendukung, bukan berdasarkan pada emosi dan anekdot. Berpikir kritis
adalah kemampuan seseorang untuk mencari berdasarkan masalah yang ada dengan
pertimbangan yang sehat.
Tyler (Sugiyarti, 2005:13) berpendapat bahwa pengalaman atau pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan
dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berpikir kritis siswa.
Hal lain yang tidak bisa dipungkiri bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah
kurang diminati oleh siswa. Di kelas siswa kurang bersemangat dalam mengikuti proses
pembelajaran matematika. Ada yang mengobrol dengan teman, keluar masuk kelas,
melakukan aktivitas di luar matematika dan hanya sedikit yang benar-benar mengikuti
apa yang dijelaskan guru. Dari pengalaman peneliti sebagai seorang guru les privat, ada
beberapa anak yang mengeluh saat belajar matematika dan merasa kurang paham
dengan pelajaran matematika karna tidak merasakan manfaatnya dalam kehidupan
nyata. Ada pula yang mengerjakan soal matematika hanya dengan melihat contoh soal
yang ada di buku tanpa menelusuri prosesnya.
Kondisi itu tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Guru sebagai salah satu
komponen pendidikan yang berperan secara langsung dalam membelajarkan siswa,
harus dapat mengatasi masalah seperti ini dan mengupayakan metode pembelajaran
yang sesuai dengan materi yang disajikan.
Salah satu metode pembelajaran matematika yang dapat diterapkan dalam
mengantisipasi masalah yang timbul selama proses pembelajaran matematika adalah
metode pembelajaran inkuiri. Diharapkan dengan metode pembelajaran inkuiri, siswa
dapat berpikir kritis, logis, sistematis dan kreatif untuk mencari dan menemukan sendiri
jawaban dari suatu masalah atau problem yang dipertanyakan. Dengan adanya metode
pembelajaran inkuiri diharapkan mampu menarik perhatian dan minat siswa dalam
mengikuti proses pembelajaran matematika.
Problem tradisional yang diterapkan dalam pembelajaran matematika adalah dalam
bentuk problem lengkap atau problem tertutup, yaitu memberikan permasalahan yang
telah diformulasikan dengan baik, memiliki jawaban benar atau salah dan jawaban yang
benar bersifat unik (hanya ada satu solusi). Problem yang diformulasikan memiliki
multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga problem open-
ended atau problem terbuka. Menurut Rama Klavir (O’Neil & Brown, 1998; Shepard,
1995) problem open-ended ini membuka pandangan baru bahwa setiap permasalahan
tidak harus memiliki satu jawaban benar. Setiap siswa diberikan kebebasan untuk
menyelesaikan permasalahan yang sama sesuai dengan kemampuannya. Namun
demikian, permasalahan penting utama dengan digunakannya jenis ini adalah siswa
dapat belajar berbagai macam strategi dan hal ini bergantung pada pengetahuan
matematika serta pengembangan berpikir kritis matematika mereka.
Menurut Martha Yunanda dengan problem terbuka atau open ended yang dapat
memberikan keleluasaan pada siswa dalam mengerjakan permasalahan dan metode
pembelajaran inkuiri yang menuntut siswa untuk menemukan jawaban sendiri disertai
dengan bimbingan guru, diharapkan berpikir kritis siswa dapat semakin terasah lebih
lagi.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa Dengan Menggunakan Strategi Pembelajaran Inkuiri
Terbimbing Dan Pendekatan Open Ended Dalam Pembelajaran Matematika”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka secara umum
permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah strategi pembelajaran inkuiri terbimbing dan pendekatan open ended dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa?
2. Apakah strategi pembelajaran inkuiri terbimbing dan pendekatan open ended dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika?
3. Bagaimanakah kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan strategi
pembelajaran inkuiri terbimbing dan pendekatan open ended?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian dengan
menggunakan kombinasi pembelajaran matematika open-ended dan pembelajaran
inkuiri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
D. Manfaat Penelitian
Sebagai sumber informasi bagi pihak yang memberi perhatian terhadap pelaksanaan
dan pengembangan strategi pengajaran pada semua jenjang pendidikan
Sebagai alternatif bagi guru dalam memilih strategi-strategi, penerapan model
pembelajaran di kelas
Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya dalam mengkaji masalah yang serupa
Bagi penulis secara pribadi yaitu sebagai sarana perluasan wawasan mengenai
pembelajaran matematika open-ended dan pembelajaran inkuiri
E. Definisi Operasional
Dengan memperhatikan judul penelitian, ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan agar
tidak terjadi salah penafsiran.
1. Berpikir kritis adalah menelaah, menganalisis, dan mengorganisasikan terhadap
informasi yang diterimanya, diperiksa dan dibandingkan dulu kebenarannya dengan
pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki sebelumnya sehingga seseorang tersebut
mampu memberikan kumpulan terhadap informasi tersebut dengan alasan yang tepat.
2. Problem Open-ended adalah problem yang diformulasikan memiliki multijawaban
yang benar atau disebut problem tak lengkap
3. Pembelajaran Inkuiri adalah kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal
seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan
sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Berpikir Kritis
Berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan di masyarakat, karena dalam kehidupan di
masyarakat manusia selalu dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan
pemecahan. Untuk memecahkan suatu permasalahan tentu diperlukan data-data agar
dapat dibuat keputusan yang logis, dan untuk membuat suatu keputusan yang tepat,
diperlukan kemampuan berpikir kritis yang baik.
Karena begitu pentingnya, berpikir kritis pada umumnya dianggap sebagai tujuan utama
dari pembelajaran. Selain itu berpikir kritis memainkan peranan yang penting dalam
banyak macam pekerjaan, khususnya pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan ketelitian
dan berpikir analitis (Watson dan Glaser (1980:1)).
Pendapat tersebut sesuai pula dengan tujuan pembelajaran matematika di jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah seperti tertuang baik dalam Kurikulum
1994 maupun Kurikulum 2004, yang bertujuan agar siswa dapat menggunakan
matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis, kritis, sistematis, dan objektif) yang
dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, baik masalah dalam kehidupan sehari-
hari maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Menurut Krulik dan Rudnick (1995: 2) penalaran meliputi berpikir dasar (basic thinking),
berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Terdapat delapan
buah deskripsi yang dapat dihubungkan dengan berpikir kritis, yaitu menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari sebuah situasi atau masalah,
memfokuskan pada bagian dari sebuah situasi atau masalah, mengumpulkan dan
mengorganisasikan informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan
menganalisis informasi, menentukan masuk akal tidaknya sebuah jawaban, menarik
kesimpulan yang valid, memiliki sifat analitis dan refleksif.
Berpikir kritis seringkali dibicarakan sebagai suatu kemampuan manusia yang sangat
umum sehingga menyentuh hampir setiap aktivitas berpikir yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan sintesis terhadap hasil-hasil penelitian yang relevan,
Costa dan Ennis (dalam Marzano dkk., 1988) mendifinisikan berpikir kritis sebagai suatu
proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu
seseorang untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang
diyakini atau dilakukan.
Pengertian yang lain diberikan oleh Ennis (1996) yaitu: berpikir kritis merupakan sebuah
proses yang bertujuan untuk membuat keputusan yang masuk akal mengenai apa yang
kita percayai dan apa yang kita kerjakan.
Berpikir kritis merupakan salah satu tahapan berpikir tingkat tinggi. Costa (Liliasari,
2000: 136) mengkategorikan proses berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi
kedalam empat kelompok yang meliputi pemecahan masalah (problem solving),
pengambilan keputusan (decision making), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir
kreatif (creative thinking).
Sedangkan pengertian berpikir kritis menurut penulis adalah menelaah, menganalisis,
dan mengorganisasikan terhadap informasi yang diterimanya, diperiksa dan
dibandingkan dulu kebenarannya dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki
sebelumnya sehingga seseorang tersebut mampu memberikan kumpulan terhadap
informasi tersebut dengan alasan yang tepat.
Dengan demikian agar para siswa tidak salah pada waktu membuat keputusan dalam
kehidupannya, mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Menurut
Ruber (Romlah, 2002: 9) dalam berpikir kritis siswa dituntut menggunakan strategi
kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan, pemecahan masalah,
dan mengatasi masalah serta kekurangannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tapilouw
(Romlah, 2002:9), bahwa “berpikir kritis merupakan berpikir disiplin yang dikendalikan
oleh kesadaran. Cara berpikir ini merupakan cara berpikir yang terarah, terencana,
mengikuti alur logis sesuai dengan fakta yang diketahui”.
Berdasarkan hasil penelitian Fawcett (dalam O’Daffer dan Thornquist, 1993), ditemukan
bahwa apabila siswa menggunakan berpikir kritisnya maka mereka melakukan di antara
hal berikut: (1) memilih kata dan ungkapan yang tepat dalam setiap pernyataan penting
yang diungkapkan serta bertanya tentang hal yang memerlukan pendefinisian secara
jelas, (2) mencari buktibukti yang dapat mendukung suatu kesimpulan, sebelum
kesimpulan tersebut diterima atau dibuat, (3) menganalisis bukti-bukti tersebut serta
membedakan antara fakta dan asumsi, (4) memperhatikan asumsi-asumsi penting
berkenaan dengan kesimpulan baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun tidak, (5)
mengevaluasi asumsi-asumsi tersebut serta menerima sebagian atau menolak sebagian
lainnya, (6) mengevaluasi argumen terhadap suatu kesim-pulan yang menjadi dasar
untuk menerima atau menolak kesimpulan tersebut, dan (7) menguji kembali asumsi-
asumsi yang melatarbelakangi pandangan serta proses pengambilan kesimpulan yang
telah dilakukan. Berdasarkan hal-hal yang sudah diutarakan di atas, selanjutnya O’Daffer
dan Thornquist (1993) mengajukan suatu model dari proses berpikir kritis seperti
tampak pada gambar di bawah ini.
Menerapkan kesimpulan, keputusan atau solusi
Memahami masalah
Melakukan pengkajian terhadap hal di luar bukti , data dan asumsi di atas
Melakukan pengkajian terhadap bukti, data dan asumsi
Menyatakan dan mendukung suatu kesimpulan, keputusan atau solusi
O’Daffer dan Thornquist (1993) juga mencoba melakukan sintesis terhadap hasil-hasil
penelitian yang berfokus pada berpikir kritis sehingga diperoleh beberapa kesimpulan
berikut: (1) siswa pada umumnya menunjukkan hasil belajar yang kurang memuaskan
dalam menghadapi tugas-tugas akademik yang memuat tuntutan penerapan
kemampuan berpikir kritis, (2) Disposisi untuk berpikir secara kritis merupakan suatu
komponen berpikir kritis yang sangat efektif, (3) Terdapat sejumlah bukti kuat bahwa
upaya untuk melakukan pembelajaran berpikir kritis dapat dilakukan secara efektif,
walaupun masih sedikit bukti yang diketahui tentang penyebab utama berkembangnya
kemampuan berpikir kritis seseorang, dan (4) Kemampuan berpikir kritis dapat
diterapkan secara efektif pada suatu tugas akademik manakala dikembangkan tiga hal
berikut: kemampuan berpikir kritis, pengetahuan materi subyek, dan pengalaman untuk
menerapkan kedua hal tersebut.
Karena kurangnya bukti tentang penyebab berkembangnya kemampuan berpikir kritis
seseorang, sejumlah peneliti mencoba mencari jawaban melalui studi yang berfokus
pada penggunaan matematika sebagai bidang studi untuk meningkatkan kemampuan
tersebut. Sebagai contoh, Fawcett (dalam O’Daffer dan Thornquist, 1993, h.41)
menyatakan dalam studinya bahwa “It is the purpose of this study to describe classroom
procedures by which geometric proof may be used as a means for cultivating critical and
reflective thought and to evaluate the effect of such experiences on the thinking of the
pupils.” Dalam studi tersebut Fawcett mencoba menggunakan contoh-contoh
permasalahan nyata sehari-hari untuk membantu siswa melakukan transfer berpikir
kritisnya yang biasa digunakan dalam proses bembuktian geometri terhadap situasi
sehari-hari. Untuk mengetahui dampak dari upaya tersebut, telah dilakukan wawancara
dengan orangtua siswa yang antara lain menunjukkan keyakinannya bahwa cara
tersebut berdampak positif pada kemampuan berpikir kritis anak-anaknya. Studi lain
yang dilakukan Lewis (O’Daffer dan Thornquist, 1993) juga mencoba mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran pembuktian dan logika pada
bidang geometri yang dikaitkan dengan situasi sehari-hari. Studi tersebut menemukan
bahwa cara yang dilakukan dapat secara efektif meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa. Sementara Price (dalam O’Daffer dan Thornquist, 1993) yang melakukan
studi tentang pengaruh penggunaan pendekatan penemuan dan pembelajaran yang
dirancang untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematik, menemukan bahwa
pendekatan tersebut dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa. Dari pendapat para ahli seperti telah diutarakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran.
Dari uraian di atas tampak bahwa berpikir kritis berkaitan erat dengan argumen, karena
argumen sendiri adalah serangkaian pernyataan yang mengandung pernyataan
penarikan kesimpulan. Seperti diketahui kesimpulan biasanya ditarik berdasarkan
pernyataan-pernyataan yang diberikan sebelumnya atau yang disebut premis. Dalam
argumen yang valid sebuah kesimpulan harus ditarik secara logis dari premis-premis
yang ada.
Selanjutnya bagaimana cara mengajar para siswa agar mereka memiliki kemampuan
berpikir kritis yang baik? Menurut Bonnie dan Potts (2003) secara singkat dapat
disimpulkan bahwa ada tiga buah strategi untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan
berpikir kritis, yaitu : (1) Building Categories (Membuat Klasifikasi), (2) Finding Problem
(Menemukan Masalah), dan (3) Enhancing the Environment (Mengkondusifkan
lingkungan).
Disebutkan pula bahwa beberapa “ciri khas” dari mengajar untuk berpikir kritis
meliputi : (1) Meningkatkan interaksi di antara para siswa sebagai pebelajar, (2) Dengan
mengajukan pertanyaan open-ended, (3) Memberikan waktu yang memadai kepada
para siswa untuk memberikan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalah-
masalah yang diberikan, dan (4) Teaching for transfer (Mengajar untuk dapat
menggunakan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi-situasi lain dan
terhadap pengalaman sendiri yang para siswa miliki).
B. Pendekatan Open-ended
Tujuan pembelajaran menurut Nohda (2000) adalah untuk membantu mengembangkan
kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui problem solving yang simultan.
Dengan kata lain kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa harus dikembangkan
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan setiap siswa. Hal yang dapat digaris
bawahi adalah perlunya memberi kesempatan siswa untuk berpikir dengan bebas sesuai
dengan minat dan kemampuannya. Aktivitas kelas yang penuh dengan ide-ide
matematika ini pada gilirannya akan memacu kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Suherman (1993:220) mengemukakan pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu
jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian
tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi
pembelajaran itu, umum atau khusus. Suherman (1993:221) menyatakan pula bahwa
pendekatan pembelajaran merupakan suatu konsep atau prosedur yang digunakan
dalam membahas suatu bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Suherman dkk (2003) jenis-jenis pendekatan dalam pembelajaran matematika
adalah:
a. Pendekatan Konstruktivis
b. Pendekatan pemecahan masalah matematika
c. Pendekatan Open Ended
d. Pendekatan realistik
Sama halnya seperti ilmu-ilmu sosial, permasalahan atau soal-soal dalam matematika
pun secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi menjadi dua bagian. Yang pertama
adalah masalah-masalah matematika tetutup (closed problems). Dan yang kedua adalah
masalah-masalah matematika terbuka (open problems).
Menurut Suherman dkk (2003; 123) problem yang diformulasikan memiliki
multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-Ended
problem atau soal terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan Open-Ended problem, tujuan
utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara
bagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu
pendekatan atau metode dalam mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak.
Sifat “keterbukaan” dari suatu masalah dikatakan hilang apabila hanya ada satu cara
dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang
mungkin untuk masalah tersebut. Contoh penerapan masalah Open-Ended dalam
kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau
pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan
berorientasi pada jawaban (hasil) akhir.
Tujuan dari pembelajaran Open-Ended problem menurut Nohda (Suherman, dkk, 2003;
124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematik
siswa melalui problem posing secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan
pola pikir matematik siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan setiap siswa.
Pendekatan Open-Ended menjanjikan kepada suatu kesempatan kepada siswa untuk
meginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan
mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir
matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama
kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi melalui proses pembelajaran.
Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan Open-Ended, yaitu
pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa
sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended, siswa diharapkan bukan hanya
mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban.
Menurut Suherman dkk (2003:124) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematik
dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut:
a. Kegiatan siswa harus terbuka
Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus
mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai
kehendak mereka.
b. Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir
Kegiatan matematik adalah kegiatan yang didalamnya terjadi proses pengabstraksian
dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau
sebaliknya.
c. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan
Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman
dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu. Meskipun pada
umumnya guru akan mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
pengalaman dan pertimbangan masing-masing. Guru bisa membelajarkan siswa melalui
kegiatan-kegiatan matematika tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-
kegiatan matematika yang mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya
rendah. Pendekatan uniteral semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan
siswa ataupun terbuka terhadap ide-ide matematika.
Yang selama ini muncul di permukaan dan banyak diajarkan di sekolah adalah masalah-
masalah matematika yang tertutup (closed problems). Di mana memang dalam
menyelesaikan masalah-maslah matematika tertutup ini, prosedure yang digunakannya
sudah hampir bisa dikatakan standar alias baku. Akibatnya timbul persepsi yang agak
keliru terhadap matematika. Matematika dianggap sebagai pengetahuan yang pasti,
prosedural, dan saklek.
Sementara itu, masalah-masalah matematika terbuka (open problems) sendiri hampir
tidak tersentuh, hampir tidak pernah muncul dan disajikan dalam proses pembelajaran
matematika di sekolah. Akibatnya bila ada permasalahan matematika macam ini, soal
atau permasalahan itu dianggap ‘salah soal’ atau soal yang tidak lengkap.
Secara sederhana, open problems sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian.
Yakni open-ended problems dan pure open problems. Untuk open-ended problems
sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Yakni: (1) problems dengan satu
jawaban banyak cara penyelesaian; dan (2) problems dengan banyak cara penyelesaian
juga banyak jawaban.
C. Model Pembelajaran Inkuiri
Menurut Herdian (2010) sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk
menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang alam sekitar di
sekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak ia lahir ke dunia. Sejak kecil manusia
memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui indera penglihatan,
pendengaran, pengecapan dan indera-indera lainnya. Hingga dewasa keingintahuan
manusia secara terus menerus berkembang dengan menggunakan otak dan pikirannya.
Pengetahuan yang dimiliki manusia akan bermakna (meaningfull) manakala didasari oleh
keingintahuan itu. Didasari hal inilah suatu strategi pembelajaran yang dikenal dengan
inkuiri dikembangkan.
Inkuiri berasal dari kata to inquire yang berarti ikut serta, atau terlibat, dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan. Ia
menambahkan bahwa pembelajaran inkuiri ini bertujuan untuk memberikan cara bagi
siswa untuk membangun kecakapan-kecakapan intelektual (kecakapan berpikir) terkait
dengan proses-proses berpikir reflektif. Jika berpikir menjadi tujuan utama dari
pendidikan, maka harus ditemukan cara-cara untuk membantu individu untuk
membangun kemampuan itu.
Tujuan dari pembelajaran setidak-tidaknya seorang guru menanamkan tiga domain,
yakni, kognitif, afektif dan psikomotor dan ketiga domian itu secara langsung akan
tertanam pada setiap siswa yang mengikuti suatu proses pembelajaran. Oleh karena itu,
yang paling mendasar di pahami oleh guru adalah melatih siswa untuk berpikir,
memecahkan masalah dan menemukan sesuatu bukan merupakan tujuan pendidikan
yang baru. Demikian pula halnya dengan strategi pembelajaran penemuan, inkuiri atau
induktif. Inkuiri, pada tingkat paling dasar dapat dipandang sebagai proses menjawab
pertanyaan atau memecahkan permasalahan berdasarkan fakta dan pengamatan. Siklus
inkuiri terdiri dari kegiatan mengamati, bertanya, menyelidiki, menganalisa dan
merumuskan teori, baik secara individu maupun bersama-sama dengan teman lainnya.
Pada prinsipnya tujuan pengajaran inkuiri membantu siswa bagaimana merumuskan
pertanyaan, mencari jawaban atau pemecahan untuk memuaskan keingintahuannya
dan untuk membantu teori dan gagasannya tentang dunia. Lebih jauh lagi dikatakan
bahwa pembelajaran inkuiri bertujuan untuk mengembangkan tingkat berpikir dan juga
keterampilan berpikir kritis.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat bagi
timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana
bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada
hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan
di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta,
sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.
Selanjutnya Sanjaya (2008;196) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi ciri
utama strategi pembelajaran inkuiri. Pertama, strategi inkuiri menekankan kepada
aktifitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya pendekatan
inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa
tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal,
tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan
sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan
sikap percaya diri (self belief). Artinya dalam pendekatan inkuiri menempatkan guru
bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar
siswa. Aktvitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru
dan siswa, sehingga kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan
syarat utama dalam melakukan inkuiri. Ketiga, tujuan dari penggunaan strategi
pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian
dari proses mental, akibatnya dalam pembelajaran inkuiri siswa tidak hanya dituntut
agar menguasai pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi
yang dimilikinya.
Sanjaya (2008:202) menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Orientasi
Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim
pembelajaran yang kondusif. Hal yang dilakukan dalam tahap orientasi ini adalah:
i. Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa
ii. Menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai
tujuan. Pada tahap ini dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah,
mulai dari langkah merumuskan merumuskan masalah sampai dengan merumuskan
kesimpulan
iii. Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka
memberikan motivasi belajar siswa.
2. Merumuskan masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang
mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang
siswa untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki dalam rumusan masalah tentu ada
jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari
jawaban itulah yang sangat penting dalam pembelajaran inkuiri, oleh karena itu melalui
proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai
upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir.
3. Merumuskan hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang dikaji. Sebagai
jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Salah satu cara yang dapat
dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan menebak (berhipotesis) pada setiap
anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa
untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai
perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.
4. Mengumpulkan data
Mengumpulkan data adalah aktifitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk
menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data
merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses
pemgumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan
tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi
berpikirnya.
5. Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan
data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Menguji hipotesis
juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban
yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh
data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh
berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan yang akurat
sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan.
Alasan rasional penggunaan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah bahwa
siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai matematika dan akan
lebih tertarik terhadap matematika jika mereka dilibatkan secara aktif dalam
“melakukan” penyelidikan. Investigasi yang dilakukan oleh siswa merupakan tulang
punggung pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Investigasi ini difokuskan untuk
memahami konsep-konsep matematika dan meningkatkan keterampilan proses berpikir
ilmiah siswa. Sehingga diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil dari proses
berpikir ilmiah tersebut.
Pendekatan inkuiri terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan besarnya intervensi guru
terhadap siswa atau besarnya bimbingan yang diberikan oleh guru kepada siswanya.
Ketiga jenis pendekatan inkuiri tersebut adalah:
1) Inkuiri Terbimbing (guided inquiry approach)
Pendekatan inkuiri terbimbing yaitu pendekatan inkuiri dimana guru membimbing siswa
melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu
diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap
pemecahannya. Pendekatan inkuiri terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang
berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Dengan pendekatan ini siswa belajar
lebih beorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami
konsep-konsep pelajaran. Pada pendekatan ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas
yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual
agar mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri.
Pada dasarnya siswa selama proses belajar berlangsung akan memperoleh pedoman
sesuai dengan yang diperlukan. Pada tahap awal, guru banyak memberikan bimbingan,
kemudian pada tahap-tahap berikutnya, bimbingan tersebut dikurangi, sehingga siswa
mampu melakukan proses inkuiri secara mandiri. Bimbingan yang diberikan dapat
berupa pertanyaan-pertanyaan dan diskusi multi arah yang dapat menggiring siswa agar
dapat memahami konsep pelajaran matematika. Di samping itu, bimbingan dapat pula
diberikan melalui lembar kerja siswa yang terstruktur. Selama berlangsungnya proses
belajar guru harus memantau kelompok diskusi siswa, sehingga guru dapat mengetahui
dan memberikan petunjuk-petunjuk dan scafolding yang diperlukan oleh siswa.
2) Inkuiri Bebas (free inquiry approach).
Pada umumnya pendekatan ini digunakan bagi siswa yang telah berpengalaman belajar
dengan pendekatan inkuiri. Karena dalam pendekatan inkuiri bebas ini menempatkan
siswa seolah-olah bekerja seperti seorang ilmuwan. Siswa diberi kebebasan menentukan
permasalahan untuk diselidiki, menemukan dan menyelesaikan masalah secara mandiri,
merancang prosedur atau langkah-langkah yang diperlukan.
Selama proses ini, bimbingan dari guru sangat sedikit diberikan atau bahkan tidak
diberikan sama sekali. Salah satu keuntungan belajar dengan metode ini adalah adanya
kemungkinan siswa dalam memecahkan masalah open ended dan mempunyai alternatif
pemecahan masalah lebih dari satu cara, karena tergantung bagaimana cara mereka
mengkonstruksi jawabannya sendiri. Selain itu, ada kemungkinan siswa menemukan
cara dan solusi yang baru atau belum pernah ditemukan oleh orang lain dari masalah
yang diselidiki.
Sedangkan belajar dengan metode ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: 1)
waktu yang diperlukan untuk menemukan sesuatu relatif lama sehingga melebihi waktu
yang sudah ditetapkan dalam kurikulum, 2) karena diberi kebebasan untuk menentukan
sendiri permasalahan yang diselidiki, ada kemungkinan topik yang diplih oleh siswa di
luar konteks yang ada dalam kurikulum, 3) ada kemungkinan setiap kelompok atau
individual mempunyai topik berbeda, sehingga guru akan membutuhkan waktu yang
lama untuk memeriksa hasil yang diperoleh siswa, 4) karena topik yang diselidiki antara
kelompok atau individual berbeda, ada kemungkinan kelompok atau individual lainnya
kurang memahami topik yang diselidiki oleh kelompok atau individual tertentu, sehingga
diskusi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
3) Inkuiri Bebas yang Dimodifikasikan ( modified free inquiry approach)
Pendekatan ini merupakan kolaborasi atau modifikasi dari dua pendekatan inkuiri
sebelumnya, yaitu: pendekatan inkuiri terbimbing dan pendekatan inkuiri bebas.
Meskipun begitu permasalahan yang akan dijadikan topik untuk diselidiki tetap
diberikan atau mempedomani acuan kurikulum yang telah ada. Artinya, dalam
pendekatan ini siswa tidak dapat memilih atau menentukan masalah untuk diselidiki
secara sendiri, namun siswa yang belajar dengan pendekatan ini menerima masalah dari
gurunya untuk dipecahkan dan tetap memperoleh bimbingan. Namun bimbingan yang
diberikan lebih sedikit dari Inkuiri terbimbing dan tidak terstruktur.
Dalam pendekatan inkuiri jenis ini guru membatasi memberi bimbingan, agar siswa
berupaya terlebih dahulu secara mandiri, dengan harapan agar siswa dapat menemukan
sendiri penyelesaiannya. Namun, apabila ada siswa yang tidak dapat menyelesaikan
permasalahannya, maka bimbingan dapat diberikan secara tidak langsung dengan
memberikan contoh-contoh yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi, atau
melalui diskusi dengan siswa dalam kelompok lain.
Berdasarkan pengertian dan uraian dari ketiga jenis pembelajaran dengan pendekatan
inkuiri, penulis memilih Pendekatan Inkuiri Terbimbing yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Pemilihan ini penulis lakukan dengan pertimbangan bahwa penelitian
yang akan dilakukan terhadap siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP), dimana
tingkat perkembangan kognitif siswa masih pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke
operasi formal, dan siswa masih belum berpengalaman belajar dengan pendekatan
inkuiri serta karena siswa masih dalam taraf belajar proses ilmiah, sehingga penulis
beranggapan pendekatan inkuiri terbimbing lebih cocok untuk diterapkan.
Selain itu, penulis berpendapat bahwa pendekatan inkuiri bebas kurang sesuai
diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena dalam proses pembelajaran
matematika topik yang diajarkan sudah ditetapkan dalam silabus kurikulum matematika,
sehingga siswa tidak perlu mencari atau menetapkan sendiri permasalahan yang akan
dipelajari.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII-7 SMP Negeri 21 Kota Bandung, dengan jumlah
siswa 40 orang yang terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 22 orang siswa perempuan. Waktu
pelaksanaan penelitian adalah mulai dari tanggal 21 Juni-19 Juli 2011.
B. Metode dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen
dengan menggunakan desain penelitian berbentuk “pretest-postest control group”.
Penelian ini melibatkan dua kelas, yakni kelas yang pembelajarannya dengan strategi
pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan open ended dan kelas yang
pembelajarannya biasa. Sebelum mendapatkan perlakuan, dilakukan pretest (tes awal)
dan setelah mendapatkan perlakuan dilakukan postest (tes akhir). Sementara itu, tujuan
dilaksanakan pretest dan postest adalah untuk melihat perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir kritis pada kedua kelas tersebut. Adapun desain penelitian ini
digambarkan sebagai berikut :
A O X1 O
A O X2 O
Keterangan :
A : Menunjukkan pengelompokkan subjek
O : Pretest dan postest
X1 : Pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri
terbimbing dengan pendekatan open ended
X2 : Pembelajaran matematika biasa
C. Instrumen
Instrumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Tes kemampuan berpikir kritis yang digunakan berbentuk uraian. Tes ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa, yang meliputi pretest dan postest. Pretest
digunakan untuk mengetahui kemampuan awal berpikir kritis siswa. Postest digunakan
untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa setelah mendapatkan perlakuan.
2. Angket
Angket adalah jenis evaluasi yang berisi daftar pernyataan yang harus diisi oleh siswa
dengan tujuan untuk mengetahui atau mengukur aspek afektif siswa terhadap
pembelajaran yang diterapkan.
3. Lembar Kerja Siswa
Observasi ini digunakan oleh peneliti sekaligus guru sebagai alat bantu dalam
menganalisis dan merefleksi setiap tahapan tindakan pembelajaran untuk
merencanakan tindakan pembelajaran berikutnya bila tindakan yang sudah dilakukan
dinilai memiliki kekuarangan. Observasi sangat mendukung data pokok yang
mengungkap tingkat pemahaman siswa.
4. Jurnal Harian Siswa
Jurnal Harian Siswa ini bertujuan untuk mengetahui kesan, pesan, atau pun aspirasi dari
siswa terhadap pembelajaran yang sudah dilaksanakan. Jurnal ini diberikan kepada
masing-masing siswa setiap akhir pertemuan.
5. Angket (Questionare)
Angket adalah sebuah daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab oleh
orang yang akan dievaluasi (responden). Angket berfungsi sebagai alat pengumpul data.
Data tersebut berupa keadaan atau data diri, pengalaman, pengetahuan, sikap,
pendapat, mengenai sesuatu hal.
6. Lembar Observasi
Lembar observasi merupakan alat untuk mengetahui sikap serta aktivitas siswa dan guru
selama proses pembelajaran berlangsung. Data ini dapat bersifat relatif karena dapat
dipengaruhi oleh subjektivitas observer.
7. Wawancara
Wawancara adalah cara yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari responden
dengan tanya jawab. Wawancara ini dilakukan terhadap siswa untuk mengetahui kesan
pembelajaran yang dilaksanakan mengacu pada pedoman wawancara. Wawancara ini
dilakukan setelah pembelajaran berakhir.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada setiap kegiatan siswa dan situasi yang berkaitan
dengan penelitian menggunakan instrumen berupa tes, jurnal harian siswa, angket,
lembar observasi, dan wawancara. Test berupa pretest dan postest diberikan kepada
kedua kelas eksperimen. Begitu pula dengan angket dan jurnal siswa diberikan kepada
kedua kelas eksperimen untuk melihat respon dan tanggapan siswa terhadap
pembelajaran matematika yang meliputi sikap terhadap matematika, sikap terhadap
pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan open ended, sikap terhadap
penampilan guru dan sikap terhadap bahan ajar. Untuk menunjang kebenaran dari
jawaban siswa maka dilengkapi dengan lembar observasi yang diisi oleh observer dan
wawancara terhadap beberapa siswa.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini secara garis besar dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :
1. Tahap Persiapan
a. Observasi awal dan Identifikasi masalah
b. Merencanakan bahan ajar dan instrumen
c. Membuat bahan ajar (LAS, media, RPP) dan instrumen
d. Uji coba instrumen tes kemampuan berpikir kritis pada siswa (pretest) kemudian
menghitung validitas, realibitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran.
v Validitas
v Realibitas
v Daya pembeda
v Indeks kesukaran
e. Kegiatan Akhir
Menganalisis dan mengevaluasi peningkatan kemampuan akhir yaitu pemahaman siswa
setelah diterapkan pendekatan keterampilan proses melalui alat evaluasi berupa tes
tulis dan menganalisis aspek keterampilan proses apa saja yang dipahami siswa melalui
pedoman observasi dan lembar kerja siswa; menjaring respon siswa terhadap
pembelajaran Matematika menggunakan pendekatan keterampilan melalui pedoman
wawancara.
f. Evaluasi Tindakan
Hasil seluruh tindakan yang dilakukan dianalisis dan direfleksi sehingga nantinya akan
diperoleh apakah pelaksanaan tindakan-tindakan ini telah mencapai tujuan yang
diharapkan atau belum untuk menentukan kejelasan tindakan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Becker, Shimada. 1997. The Open-Ended Approach. NCTM
Bonnie dan Potts. (2003). Strategies for Teaching Critical Thinking. Practical Assesment,
Research & Evaluation.
Ennis, R, H. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Krulik, S dan Rudnick, J.A (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and
Problem Solving in Elementary School. Massachusetts: Allyn & Bacon A Simon &
Schuster Company.
Liliasari. (2000). Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir
Konseptual Tingkat Tinggi Calon Guru IPA. Dalam Proceeding Nasional Science Education
Seminar, The Problem of Mathematics and Science Education and Alternative to Solve
the Problems. Malang: JICA-IMSTEP FMIPA UM.
Nurdiansyah, Budi (2010). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan.
Romlah, N. H. S. (2002). Peningkatan Berpikir Kritis dan Analisis dalam Pembelajaran
Bryophyta. Skripsi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Russeffendi, E.T. (1998). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta
Lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press.
Sanjaya, Wina. Dr. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Sugiyarti, Henik. 2005. Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Siswa
SMPN 1 Tambakromo Kabupaten Pati Melalui Pembelajaran Matenatika Berbasis
Masalah. Skripsi pada Universitas Negeri Semarang. Tidak diterbitkan.
Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kotemporer. Bandung:
UPI.
Suherman, et al. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. FPMIPA
UPI.
Tarwin, Y. W (2005). Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui
Pendekatan Open Ended Dalam Pembelajaran Matematika. Skripsi. Jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan.
Watson, G dan Glaser, E. M. (1980). Critical Thinking Appraisal. New York: Harcourt
Brace Jovanovich, Inc.