problem bedah pada thymoma

Upload: togar-erkasan-sitorus

Post on 14-Oct-2015

110 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pembedahan pada Thymoma MG atau nonMG

TRANSCRIPT

PROBLEM BEDAH PADA THYMOMA, MG ATAU NONMGI.THYMOMAThymoma menempati urutan pertama dalam neoplasma primer kompartemen mediastinum anterior-superior. Penyakit ini merupakan 20% dari seluruh neoplasma mediastinal pada orang dewasa (Strollo et al.,1997). Walaupun thymoma dapat muncul pada segala kelompok usia, insidens terbanyak didapat pada usia dekade III-IV dengan rasio berimbang antara jenis kelamin pria maupun wanita (Puruhito, 2013). Meskipun kemunculan thymoma pada pasien anak-anak jarang, namun anak-anak lebih sering menunjukkan gejala daripada pasien thymoma dewasa. Beberapa penjelasan terhadap gejala yang terlihat pada anak-anak telah diajukan, salah satunya (1) anak-anak lebih mudah terkena keganasa, (2) lesi lebih mudah untuk mengakibatkan gejala-gejala kompresi atau invasi dalam ruang thorax yang lebih kecil pada anak-anak, dan (3) lokasi paling sering thymoma adalah dekat trakea, yang berujung pada gejala pernafasan (Medscape, 2013). Etiologi dari thymoma masih belum ditemukan secara pasti, namun tumor ini telah dikaitkan dengan berbagai macam sindrom sistemik. Sebanyak 30-40% pasien dengan thymoma mengalami gejala yang mirip dengan myasthenia gravis. Sebanyak 5% pasien yang memiliki thymoma juga memiliki sindrom sistemik lainnya, termasuk aplasia sel darah merah, dermatomiositis, systemik lupus erythematous, sindrom Cushing, dan sindroma ketidakadekuatan sekresi hormon antidiuretik (Medscape, 2013). Tidak ada perbedaan histologis yang jelas antara thymoma jinak dan ganas. Kecenderungan suatu thymoma menjadi ganas ditentukan dengan tingkat invasif thoma. Thymoma ganas dapat menginvasi vascular, limfatik, dan struktur pendukung di area mediastinum. Tingkat 15-year survival rate pada pasien dengan invasif thymoma mencapai 12,5% dan 47% pada pasien dengan noninvasif thymoma (Medscape, 2013). Kematian biasanya disebabkan oleh cardiac tamponade atau komplikasi kardiorespiratori lainnya.Secara patofisiologis, pada penyakit ini terjadi berkurangnya reseptor asetilkolin yang dikarenakan reaksi antibodi anti-Ach yang menimbulkan kelemahan pada tegangan potensial end-plate otot (neuromuscular junction) hingga menyebabkan ketidakmampuan dan kegagalan kontraksi otot. Antibodi antiasetilkolin reseptor ini pada timoma terdapat positif pada 74% dan bila ada miastenia generalisata positif pada 80% penderita (Kawanami, 1984). Berdasar penelitian sekitar 25-50% penderita dengan timoma tidak menampakkan gejala dan tumor ditemukan tanpa sengaja pada pemeriksaan radiologis (Puruhito, 2013). Gejala yang sering dikeluhkan antara lain nyeri dada yang tidak jelas, batuk, dan sesak (dispnea). Gejala konstitusi yang juga sering dikeluhkan adalah lemah, demam, berat badan menurun, dan kaki bengkak. Pemeriksaan umum biasanya tidak ada yang khas, tetapi penderita menunjukkan tanda-tanda distres pernafasan, myastenia gravis, sindroma vena kava superior sehingga tidak seluruh kejadian timoma didapatkan miastenia gravis (Puruhito, 2013).Diagnosis timoma membutuhkan pemeriksaan biopsi jaringan, setelah langkah-langkah diagnosis foto Rontgen, CT Scan, dan bronkoskopi dilakukan secara berurutan jika fasilitas memadai. Computed Tomography adalah alat diagnosis standar dan modalitas staging preoperatif bagi kasus thymoma. Thymoma sering tampak sebagai massa bulat atau oval berbatas tegas pada tahap awal. Terlihatnya batas yang iregular, multipel kalsifikasi, dan area dengan attenuasi rendah menunjukkan tingkat invasivitas. Masih adanya bagian lemak antara thymoma dan struktur pendukung di sekitar mengindikasikan thymoma noninvasif, dimana ketiadaan hal tersebut mengindikasikan suatu invasi thymoma. Ekstensi ke lemak mediastinal atau pleura dapat terlihat pada pemeriksaan CT Scan, namun hal ini masih meragukan. Terlihatnya kontur halus atau lobulated, homogenous enhancement, dan absennya area dengan atenuasi rendah, tidak ditemukannya efusi perikard atau pleura dan tidak adanya kalsifikasi tumor menunjukkan suatu thymoma atau karsinoma thymus berbatas tegas. BANYAK YANHG DARI CMJ. Timoma dapat dibagi menurut berbagai macam klasifikasi, salah satunya adalah cara tradisional yang membagi timoma berdasar proporsi sel epitelial atau sel limfoid, yaitu subgrup:1. Limfositik, >2/3 bagian sel limfoid2. Campuran limfo-epitelial, 1/3-2/3 bagian adalah sel limfoid3. Epitelial, >2/3 bagian adalah sel epitelial4. Spindle, >2/3 bagian adalah sel epitelial dan sel spindleCara yang lain (Mueller-Hemmerlink) membagi berdasar proporsi sel thymic-medullar atau sel thymic-cortical; yang terdiri atas enam subtipe: medullary, mixed, predominantly cortical, cortical, well-differentiated carcinoma, dan high grade carcinoma.Staging Masaoka merupakan sistem yang dipakai sampai saat ini sebagai staging timoma. Sistem staging ini paling baik ditentukan pada saat pasca operatif saat pemeriksaan histopatologi telah selesai mendapatkan hasilnya.Stage INoninvasif thymoma. Neoplasma masih belum menyebar ke kapsul (outer layer) dari thymus. Stage II, yang dibagi menjadi IIA dan IIB Stage IIA: Thymoma tumbuh kedalam kapsul (outer layer jaringan thymus). Stage IIB: Tumor telah tumbuh melewati kapsul kedalam kelenjar lemak sekitar, dan dapat terhenti pada pleura mediastinum (lapisan tipis yang melapisi ruang antara kedua paru) atau perikardium. Stage IIIThymoma tumbuh ke jaringan sekitar atau organ di leher bagian bawah atau area dada atas, termasuk perikardium, paru, atau pembuluh darah utama menuju atau keluar dari jantung (vena cava superior dan aorta). Stage IV, yang dibagi menjadi IVA dan IVB Stage IVA: Thymoma telah menyebar luas melewati pleura dan/atau perikardium. Stage IVB: Thymoma telah menyebar ke organ jauh. Yang paling umum adalah tulang, hati, dan paru.

Bila terlihat adanya pembesaran kelenjar timus (timoma), maka Timektomi adalah terapi bedah yang harus ditempuh, dan merupakan therapy of choice. Semua thymoma sebaiknya direseksi oleh karena potensinya untuk menjadi keganasan. Reseksi seluruh kelenjar thymus dan jaringan areolar sekitar dilakukan pada kebanyakan center saat ini. Reseksi komplit telah secara konsisten ditentukan sebagai suatu alat penentu prognosis mayor dalam usaha terapi thymoma segala stadium. Hal ini dapat termasuk reseksi dan rekonstruksi struktur vital seperti vena cava superior atau aorta. Jika ditemukan satu nervus frenikus terlibat, nervus tersebut harus dikorbankan, meskipun pada pasien dengan myasthenia gravis kecuali pasien tersebut memiliki kapasitas paru yang terbatas (Detterbeck et al., 2008).Strategi penatalaksanaan pembedahan timoma menurut staging Masaoka adalah:Stage I: pembedahan reseksi sajaStage II: pembedahan + adjuvant therapy (50 Gy radiotherapy + Cisplatin base kemoterapi)Stage III& IV: neoadjuvant therapy (30 Gy) + pembedahan + adjuvant therapy (20-24 Gy radioterapi + Cisplatin berbasis kemoterapi).Sedangkan terapi medis adalah: obat-obat antikolinesterase: memecah Ach secara pelan/bertahap; obat-obat imunosupresif agents: menekan pembentukan antibody; dan plasmaferesis: membuang faktor-faktor terkait plasma. Pengobatan timoma bila ada gejala miastenia harus didasarkan pada pemeriksaan pendahuluan yang teliti. Prinsip terapi adalah langkah-langkah sebagai berikut: AchE inhibitors, terapi Immunomodulasi, dan plasmaferesis.

II. MYASTHENIA GRAVISMyasthenia gravis ditemukan dan dilaporkan pertama kali oleh Thomas Willis pada tahun 1672 dan pada tahun 1936 Alfred Blalock melakukan operasi timektomi pertama pada penderita MG dengan timoma, dan dia percara pada suatu saat nanti seluruh penderita MG baik dengan atau tanpa timoma akan mendapat perbaikan dari operasi timektomi. Dalam Buku Ajar Prime Ilmu Bedah Toraks, Kardiak, dan Vaskular, Prof. Dr. med. Puruhito, Sp.B(K)TKV mendapati pendapat ini benar berdasar pengalaman beliau, yaitu gejala MG akan dikurangi/hilang apabila jaringan timus (yang mungkin tempak secara radiologis kecil) dibuang dengan pembedahan.Myasthenia gravis mempunya prevalensi 5-12,5 per 100.000 populasi, wanita terkena dua kali lebih banyak dibanding pria dengan insidens tertinggi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Sedangkan pada pria insidens tertinggi pada dekade keenam dan ketujuh. MG adalah kelainan autoantibodi: terdapat autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) pada 80-90% penderita; autoantib odi tersebut bereaksi terhadap antigen (AchR); dan pengurangan kadar antibodi akan menyebabkan perbaikan kondisi klinis penderita.Walaupun demikian proses interaksi antara antibodi terhadap reseptor tidak sepenuhnya dimengerti, berdasarkan fakta bahwa sekitar 10-20% penderita dengan MG tidak memiliki autoantibodi. Diperikirakan terdapat pula suatu faktor plasma yang bereaksi pada suatu faktor plasma yang bereaksi pada membran sel otot dan kemudian mengaktifkan 2nd messenger yang bereaksi pada reseptor AchR. Sebagian besar penderita memiliki autoantibodi IgG yang bereaksi pada reseptor. Hubungan antara autoantibodi dengan reseptor pada akhirnya menyebabkan penurunan fungsi dan jumlah reseptor (Puruhito, 2013).Diagnosis ditegakkan melalui cara: terjadi perburukan kelemahan otot okular dan bulbar akibat adanya tes exercise yang kemudian terjadi perbaikan bila beristirahat. Kemudian penderita disuntikkan 8 mg edrophonium (short-acting antikolinesterase) secara iv; penderita akan mengalami perbaikan yang nyata dari gejala kelemahan otot mata. Bila pemeriksaan tersebut masih tidak mencukupi, maka penderita dilakukan pemeriksaan repetitive nerve seimulation, pemeriksaan antibodi antireseptor asetilkolin, atau elektromiografi.Penatalaksanaan medikamentosa pada kasus MG antara lain menggunakan obat antikolinesterase, short term immunotherapy, plasma exchange, IVIG, dan long term immunoterapi. Adapun pembedahan dapat dilakukan timektomi pada kasus myasthenia gravis. Tindakan ini diindikasikan untuk semua penderita MG karena sebagian besar penderita MG memiliki kelainan hiperplasia pada timus (60-70%) dan 30% memiliki timoma dan secara general dipercaya dan dibuktikan bahwa penderita non-timoma akan mengalami perbaikan pascatimektomi. Saat ini tindakan timektomi diindkasikan pada penderita dengan MG moderate-severe dengan hasil terjadinya total remisi dalam tingkat yang jauh lebih baik (40%) daru oengobatan medikamentosa (7%); dan perbaikan klinis pascaoperasi (35%) dibanding medikamentosa (17%).III. THYMOMA DENGAN MYASTHENIA GRAVISThymoma pada kasus myasthenia gravis (MG) adalah neoplasma yang berasal dari sel epitel thymus, dan biasanya merupakan subtipe kortikal (WHO tipe B)(1). 50% pasien thymoma juga mengidap myasthenia gravis (selanjutnya kasus ini disebut dengan thymoma MG)(2,3). Thymoma kortikal biasanya memiliki kesamaan morfologis dengan korteks thymus; kedua penyakit ini memiliki kapasitas untuk menjalankan maturasi dari sel T CD4 immatur dan memindah sel T matur ke perifer(4). Thymoma yang tidak memiliki kemampuan ini tidak menginduksi terjadinya MG (4). Thymoma dengan kesamaan histologis terhadap thymus meduler atau thymoma yang tidak memiliki kemampuan mengembangkan sel T jarang diasosiasikan dengan myasthenia gravis (4). Karakteristik thymoma lainnya yang mampu melemahkan kemampuan toleransi termasuk adalah ekspresi gen defektif epitelial regulator autoimun (AIRE) dan atau molekul kompleks histokompabilitas mayor kelas II, absennya sel myoid, kegagalan menghasilkan sel T regulator FOXP3(+), dan polymorfism genetis yang memengaruhi sinyal sel T (5).Secara histologis, thymoma adalah sel epitel neoplastik yang dikelilingi oleh sel T yang bermaturasi. Sel-sel pitelial tersebut mampu mengekspresikan reaksi silang epiteope dengan protein muskuloskeletal, seperti reseptor asetilkolin (AchR), titin, dan reseptor ryanodine (RyR) (6,7). Epitop mirip otot ini dipresentasikan kepada sel T bersamaan dengan molekul kostimulator (7). Sel T autoreaktif yang spesifik terhadap AchR dan titin ditemukan baik pada sera pasien thymoma dan thymoma MG (8). Sel epitel thymoma mempresentasikan peptida AchR kepada barisan sel T di pasien dengan thymoma MG, memungkinkan terjadinya immunisasi intrathymus (9).Profil genetis pasien dan kemampuan thymus untuk mengeluarkan sel T autoreaktif sama pentingnya dalam perkembangan myasthenia gravis. MG memiliki keterkaitan genetik terhadap HLA-DR3 atau haplotipe 8.1 pada kemunculan awal MG (onset MG terjadi sebelum usia 50 tahun) dengan hiperplasia thymus dan beberapa kelemahan yang diasosiasikan terhadap polumorfisme gen immunoregulator seperti FcR, TNF-/, GM-phenotypes, CTLA-4 [10], HLA, dan PTPN22 R620W [11]. Peluang mengidap thymoma meningkat seiring dengan jumlah polimorfisme terkait thymoma pada pasien myasthenia gravis, menunjukkan bahwa thymoma MG adalah suatu penyakit polygenik dan bahwa pasien thymoma dengan profil genetis tertentu memiliki risiko tinggi untuk mengidap myasthenia gravis (11).Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang khas dengan kelemahan otot dan kondisi mudah capai, diakibatkan oleh antibodi AchR pada 85% pasien (12). Ketika myasthenia gravis juga muncul bersamaan dengan thymoma, myasthenia gravis tersebut adalah penyakit paraneoplastis yang disebabkan oleh adanya thymoma. Thymoma MG didapat pada 15% keseluruhan kasus MG (13).Respon imun terhadap epitop yang diekspresikan kepada sel thymoma menyebar ke komponen neuromuscular junction yang memiliki kesamaan epitope (14). Pada pasien thymoma MG, epitop disalurkan antara protein otot dan thymoma.Pasien MG dengan antibodi RyR memiliki karakteristik seringnya keterlibatan dari otot-otot bulbar, respirator dan leher pada MG onset. Kelemahan leher pada onset MG merupakan ciri yang kahs pada pasien dengan antibodi RyR, sedangkan gangguan respirator juga ditemukan pada pasien dengan antibodi titin dengan atau tanpa antibodi RyR. Keterlibatan anggota gerak dengan sedikit atau tidak ada gejala bulbar umum ditemukan pada onset MG di myasthenia gravis tanpa antibodi RyR(27). Karena banyak pasien thymoma MG memiliki antibodi RyR, kelemahan di leher dan distribusi bulbar nonanggota gerak adalah karakteristik awal yang terkait dengan thymoma MG. Ditemukannya gejala distribusi tersebut sebaiknya meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya thymoma pada pasien MG.Tingkat kejadian thymoma MG sama pada jenis kelamin laki-laki dan wanita dan muncul pada segala kelompok umur dengan puncak kemunculan pada usia sekitar 50 tahun (28). Thymoma MG cenderung memiliki gejala yang lebih parah daripada nonthymoma MG onset awal (29). Pada suatu studi, pasien MG dengan thymoma atau atrofi thymus memiliki prognose yang lebih buruk daripada pasien MG dengan hiperplasia thymus(31). Pasien thymoma MG dan pasien thymoma nonMG pada kelompok umur yang sama memiliki prognosis jangka panjang yang sama (19).Diagnosa thymoma pada pasien MG ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis pascaoperasi. Antibodi titin dan RyR dan pemeriksaan radiologis dari mediastinum anterior memiliki sensitivitas yang sama pada pasien thymoma dengan MG (29,35,36). Bagaimanapun, terdeteksinya antibodi titin dan antibodi RyR pada pasien MG berusia kurang dari 60 tahun secara kuat mengindikasikan adanya thymoma, sedangkan absennya antibodi-antibodi tersebut pada kelompok umur apapun mengeksklusi thymoma (13,37). Pengetesan ulang terhadap antibodi-antibodi tersebut dan pemeriksaan radiologis baru sebaiknya dilakukan ketika ada deteriorasi gejala klinis untuk meminimalkan risiko tidak terdeteksinya thymoma pada pasien myasthenia gravis.Ketika diagnosa thymoma pada pasien MG telah ditegakkan, neoplasma tersebut harus dihilangkan dengan pembedahan, dan adalah penting untuk memastika eksisi radikal neoplasma tersebut. Thymektomi dapat dilakukan transternal atau melalui pendekatan VATS (Video Assisted Thoracoscopic Surgery), yang mana biasanya memiliki hasil akhir yang sama (38). Radikal eksisi thymoma pada kebanyakan kasus menyembuhkan neoplasia thymus, akan tetapi pasien akan terus menderita myasthenia gravis pasca thymektomi. Hal ini menekankan pentingnya followup yang berkelanjutan dan terapi farmakologis. Ketika thymoma menginvasi pleura atau perikardium, radikal eksisi tidak mungkin dilakukan dan pengobatan onkologis lebih lanjut diperlukan. Plasmapheresis prapembedahan atau infus immunoglobulin intravena menghilangkan antibodi patogen yang berada di sirkulasi (36). I.V-Ig sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan utama pada pasien dengan risiko tinggi terjadinya kegagalan kardiopulmoner sekunder terhadap overload cairan yang disebabkan oleh plasmapheresis (39). Hasil akhir MG setelah thymektomy pada umumnya kurang dapat diharapkan pada pasien berusia diatas 45 tahun.Plasmapheresis dan terapi imunoglobulin juga diindikasikan pada kasus-kasus thymoma MG yang parah meskipun telah dilakukan thymektomi, seperti halnya pada kasus krisis MG dan kasus MG berat dengan respon jelek terhadap terapi farmakologis standar (41). Sama dengan terapi imunoglobulin dan plasmapheresis, terapi farmakologis sebaiknya diintensifkan pada pasien-pasien tersebut.Pengobatan farmakologis pilihan pertama pada pengobatan thymoma MG adalah asetilkolinesterase inhibitor. Pilihan kedua adalah obat-obatan immunosupresif di setiap kondisi dimana pengobatan farmakologis dibutuhkan baik sebelum atau setelah timektomi. Beberapa obat-obatan immunosupresif yang tersedia antara lain adalah kortikosteroid, azathioprine, cyclophosphamide, cyclosporine, methotrexate, mycophenolate mofetil, rituximab, dan tacrolimus. Steroid-steroid seperti prednisolone sering diberikan pada hari-hari tertentu, dengan peningkatan dosis hingga 60-80 mg awalnya dan kemudian diturunkan menjadi 20 mg atau lebih rendah. Jika pengobatan jangka panjang dengan steroid dikira perlu, immunosuppresant nonsteroid seperti azathioprine dapat digunakan sebagai tambahan (biasanya 100-150mg sehari). Ketika efek steroid muncul dengan cepat, efek klinis dari obat immunosuppresant lainnya membutuhkan beberapa minggu hingga bulan untuk muncul (29). Pada umumnya, sekitar 80% dari pasien MG dan 95% pasien thymoma MG membutuhkan obat-obatan immunosuppresive lebih dari setahun (42).Tacrolimus, yang merupakan immunosuppressant dan penguat rilis kalsium sarkoplasmik terkair RyR, dapat secara khusus berguna pada pasien dengan myasthenia gravis dengan antibodi RyR yang secara teori dapat mengeblok RyR dari fungsinya. Karena kebanyakan pasien dengan thymoma MG memiliki RyR antibodi, tacrolimus dapat berguna secara khusus pada pasien-pasien tersebut. Tacrolimus telah dibuktikan memiliki efek yang dapat diharapkan pada pengobatan MG, baik sebagai monoterapi dan sebagai tambahan terhadap prendisolon (43,44). Pasien harus menjalani pemeriksaan kardiologis menyelutuh sebelum menjalani pengobatan dengan tacrolimus.Observasi jangkan panjang terhadap thymoma MG dan nonthymoma MG pada kelompok umur yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan pada tingkat keparahan MG dari waktu ke waktu, dan kelompok-kelompok tersebut membaik pada level yang sama setelah diagnosa MG sebagai hasil dari terapi farmakologis dan thymektomi. Kebutuhan akan pengobatan immunosuppresive pada kedua kelompok ditemukan sama tingginya. Kasus thymoma yang telah dihilangkan secara pembedahan tidak secara nyata berarti prognosa yang lebih buruk pada pasien thymoma MG (19).

III. PEMBAHASAN PENATALAKSANAAN BEDAH PADA KASUS THYMOMA MG DAN NONMGThymoma menempati urutan pertama dalam neoplasma primer kompartemen mediastinum anterior-superior. Penyakit ini merupakan 20% dari seluruh neoplasma mediastinal pada orang dewasa (Strollo et al.,1997). Walaupun thymoma dapat muncul pada segala kelompok usia, insidens terbanyak didapat pada usia dekade III-IV dengan rasio berimbang antara jenis kelamin pria maupun wanita (Puruhito, 2013). Secara patofisiologis, pada penyakit ini terjadi berkurangnya reseptor asetilkolin yang dikarenakan reaksi antibodi anti-Ach yang menimbulkan kelemahan pada tegangan potensial pada end-plate otot (neuromuscular junction) hingga menyebabkan ketidakmampuan dan kegagalan kontraksi otot. Antibodi antiasetilkolin reseptor ini pada timoma terdapat positif pada 74% dan bila ada miastenia generalisata positif pada 80% penderita (Kawanami, 1984). Gejala yang sering dikeluhkan penderita thymoma antara lain nyeri dada yang tidak jelas, batuk, dan sesak (dispnea). Gejala konstitusi yang juga sering dikeluhkan adalah lemah, demam, berat badan menurun, dan kaki bengkak. Saat ini staging yang dipakai untuk penyakit thymoma adalah Staging Masaoka.Thymoma dengan MG dicurigai pada pasien dimana didapatkan kelemahan pada leher dan distribusi nonlimb bulbar (Romi, 2011). Dikarenakan patofisiologi yang mirip pada kedua penyakit ini, terapi yang dilakukan berupa thymektomi pun dapat diterapkan pada pasien yang menderita salah satu penyakit tersebut maupun pasien yang menderita keduanya. Pada tahun 1936 Alfred Blalock melakukan operasi timektomi pertama pada penderita MG dengan timoma, dan dia percaya pada suatu saat nanti seluruh penderita MG baik dengan atau tanpa timoma akan mendapat perbaikan dari operasi timektomi. Dalam Buku Ajar Primer Ilmu Bedah Toraks, Kardiak, dan Vaskular, Prof. Dr. med. Puruhito, Sp.B(K)TKV mendapati pendapat ini benar berdasar pengalaman beliau, yaitu gejala MG akan dikurangi/hilang apabila jaringan timus (yang mungkin tempak secara radiologis kecil) dibuang dengan pembedahan.Adapun penelitian oleh Crucitti et al. yang dipublikasikan dalam jurnal berjudul Effects of surgical treatment in thymoma with myasthenia gravis: our experience in 103 patients pada tahun 1992 menyimpulkan bahwa extended thymectomy via sternotomy merupakan tindakan intervensi terbaik pada pasien dengan myasthenia gravis yang berhubungan dengan thymoma berdasar mortalitas operasi yang rendah dan 10-year survival rate yang memuaskan. Walaupun demikian, beberapa kasus myasthenia gravis yang muncul setelah dilakukannya thymectomy pada thymoma juga dilaporkan. Dalam penelitian oleh Kondo et al. yang dipublikasikan pada tahun 2005 dijelaskan bahwa postoperative MG didapat pada 8 dari 827 pasien thymoma yang menjalani thymectomy tanpa preoperatif MG serta bahwa reseksi kelenjar thymus tidak mencegah terjadinya postoperatif MG.Kesimpulan dari referat ini adalah, pembedahan timektomi merupakan terapi pembedahan yang diindikasikan pada seluruh kasus pembesaran kelenjar timus (thymoma) baik disertai myasthenia gravis maupun tidak, meskipun penelitian oleh Kondo di tahun 2005 melaporkan beberapa kejadian munculnya postoperatif MG pada pasien yang menjalani thymektomi tanpa preoperatif MG. Terapi adjuvant dan neoadjuvant dapat diterapkan pada stage tertentu setelah dilakukan reseksi kelenjar timus (timektomi).

Strollo DC, Rosado de Christenson ML, Jett JR: Primary mediastinal tumors. Part 1: tumors of the anterior mediastinum. Chest 1997, 112(2):511-22.Kawanami, S., Tsuji, R. and Oda, K. (1984), Enzyma-linked immunosorbent assay for antibody against the nicotinic acetylcholine receptor in human myasthenia gravis. Ann Neurol., 15:195200. doi:10.1002/ana.410150214 (http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ana.410150214/abstract)Frederick Romi. Thymoma in Myasthenia Gravis: From Diagnosis to Treatment. SAGE-Hindawi Access to Research Autoimmune Diseases Volume 2011, Article ID 474512, 5 pages doi:10.4061/2011/474512 (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3155972/pdf/AD2011-474512.pdf)Roy A, Kalita J, Misra U K, Kar D, Agarwal A, Misra S K. A study of myasthenia gravis in patients with and without thymoma. Neurol India 2000;48:343 Crucitti F1, Doglietto GB, Bellantone R, Perri V, Tommasini O, Tonali P. Effects of surgical treatment in thymoma with myasthenia gravis: our experience in 103 patients. J Surg Oncol. 1992 May;50(1):43-6.Kondo K1, Monden Y. Myasthenia gravis appearing after thymectomy for thymoma. Eur J Cardiothorac Surg. 2005 Jul;28(1):22-5. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15935686Detterbeck F, Parsons A. Thymic tumors: a review of current diagnosis, classification, and treatment. In: Patterson GA, Deslauriers J, Lerut A, Luketich JD, Rice TW, Pearson FG. eds. Thoracic and esophageal surgery. 3rd Ed. Philadelphia: Elsevier; 2008: 1589-1614.