preskas rizky 2007

46
BAB I PENDAHULUAN Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan luar yang mengganggu. (1) Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan sekret purulen. (1) Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut atau menahun. (2) Penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai kedua mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata. (3) Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum. (3) Pada 3% kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika Serikat, 30% adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan

Upload: rizky-fachri

Post on 30-Jan-2016

245 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

preskas rizky 2007

TRANSCRIPT

Page 1: preskas rizky 2007

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya,  konjungtiva

terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari  lingkungan

luar yang mengganggu. (1)

Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini  bervariasi

mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai  konjungtivitis berat

dengan sekret purulen. (1) Konjungtivitis  umumnya disebabkan oleh reaksi alergi,

infeksi bakteri dan virus, serta dapat  bersifat akut atau menahun. (2) Penelitian

yang dilakukan di Belanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu

mata saja, tetapi  bisa mengenai kedua mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan

14,99 pada  kedua mata. (3)

Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia,

jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai

insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit  mata

yang paling umum. (3) Pada 3% kunjungan di departemen penyakit mata di

Amerika Serikat, 30%  adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan

15% adalah  keluhan konjungtivitis alergi. Konjungtivitis juga diestimasi  sebagai

salah satu penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian timur,  dengan

insidensi 32,9% dari 949 kunjungan di departemen mata Aba Metropolis, Nigeria,

pada tahun 2004 hingga 2006. (4)

Pada konjungtivitis bakteri, patogen yang umum adalah Streptococcus

pneumonia, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan Neisseria

meningitidis. Penelitian yang dilakukan di Filadelfia menunjukkan insidensi

konjungtivitis bakteri sebesar 54% dari semua kasus di   departemen mata pada

tahun 2005 hingga 2006. Penelitian di  Kentucky pada tahun 1997 hingga 1998

menunjukkan pada 250 kasus  konjungtivitis bakteri, 70% disebabkan oleh infeksi

Haemophilus influenzae. (3)

Page 2: preskas rizky 2007

Patogen umum pada konjungtivitis virus adalah herpes simpleks virus tipe 1

dan 2, Varicella zoster, pox virus dan  Human Immunodeficiency Virus. (1) Data

statistik yang akurat mengenai frekuensi penyakit ini  tidak tersedia karena banyak

kasus konjungtivitis virus yang tidak mencari  pertolongan medis. (4) Insidensi

konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75%. Data perkiraan jumlah

penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan umur

penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain menunjukkan

bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua

(9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%). (3)

Di Amerika Serikat, dari 3% kunjungan di departemen penyakit mata,  15%

merupakan keluhan konjungtivitis alergi. (5) Konjungtivitis  alergi biasanya disertai

dengan riwayat alergi, dan terjadi pada waktu-waktu  tertentu. Walaupun

prevalensi konjungtivitis alergi tinggi, hanya ada sedikit  data mengenai

epidemiologinya. Hal ini disebabkan kurangnya kriteria  klasifikasi, dan penyakit

mata yang disebabkan oleh alergi umumnya tercatat  di departemen penyakit

alergi. (6)

Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus

konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva sebanyak 99.195 kasus dengan

jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan.

Konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada

tahun 2009, tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang

paling banyak yang akurat. (5)

Page 3: preskas rizky 2007

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur Anatomi dari Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan

dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan

dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini

berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi.(2)

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian: (2)

1. Konjungtiva palpebralis: menutupi permukaan posterior dari palpebra dan

dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva.

a. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar 2

mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal, sulkus

subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara kulit dan

konjungtiva sesungguhnya.

b. Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler.

Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada

kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar

tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.

c. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.

2. Konjungtiva bulbaris: menutupi sebagian permukaan anterior bola mata.

Terpisah dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon.

Tepian sepanjang 3 mm dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut

dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon,

dan jaringan episklera bergabung menjadi jaringan padat yang terikat secara

kuat pada pertemuan korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel

konjungtiva menjadi berlanjut seperti yang ada pada kornea.6 konjungtiva

bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah

melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat

dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang

Page 4: preskas rizky 2007

mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang

memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.

3. Forniks: bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior

palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan konjungtiva

bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks superior,

inferior, lateral, dan medial forniks.

Gambar 2.1. Struktur anatomi dari conjungtiva (8)

2.2 Struktur Histologis dari Konjungtiva

Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari: (1)

a. Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous lapis 5.

b. Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan superfisial dari sel

silindris dan lapisan dalam dari sel pipih.

c. Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lapis epitelium: lapisan

superfisial sel silindris, lapisan tengan polihedral sel dan lapisan dalam sel

kuboid.

Page 5: preskas rizky 2007

d. Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis)

epitelium stratified skuamous

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu

lapisan fibrosa (profundus): (2)

a. Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat

retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat limfosit diantaranya.

Lapisan ini paling berkembang di forniks. Tidak terdapat mulai dari lahir

tetapu berkembang setelah 3-4 bulan pertama kehidupan. Untuk alasan ini,

inflamasi konjungtiva pada bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi

folikuler.

b. Lapisan fibrosa Terdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih tebal

daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal dimana pada

tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh

darah dan saraf konjungtiva. Bergabung dengan kapsula tenon pada regio

konjungtiva bulbar.

Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu: (1)

1. Kelenjar sekretori musin. Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler yang

terletak di dalam epitelium), kripta dari Henle (ada apda tarsal konjungtiva)

dan kelenjar Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini

menseksresi mukus yang mana penting untuk membasahi kornea dan

konjungtiva.

2. Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah:

a. Kelenjar dari Krause (terletak pada jaringan ikat konjungtiva di forniks,

sekitar 42 mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah). Dan

b. Kelenjar dari Wolfring (terletak sepanjang batas atas tarsus superios dan

sepanjang batas bawah dari inferior tarsus).

Suplai arterial konjungtiva:

Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade arteri

periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar disuplai oleh dua set

pembuluh darah: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arcade

arteri kelopak mata; dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari

Page 6: preskas rizky 2007

arteri siliaris anterior. Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior

beranastomose dengan arteri konjungtiva anterior untuk membentuk pleksus

perikornea. (1)

2.3 Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva yang ditandai oleh dilatasi

vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi yang disebabkan oleh mikro-

organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia. (9)

2.4 Etiologi

Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti: (8)

a. infeksi oleh virus atau bakteri.

b. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.

c. iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet.

d. pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang.

2.5. Gejala Klinis

Gejala-gejala dari konjungtivitis secara umum antara lain: (1)

1. Hiperemia. Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis.

Injeksi konjungtival diakibatkan karena meningkatnya pengisian pembuluh

darah konjungtival, yang muncul sebagian besar di fornik dan menghilang

dalam perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemia tampak pada semua

bentuk konjungtivitis. Tetapi, penampakan/visibilitas dari pembuluh darah

yang hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya merupakan kriteria penting

untuk diferensial diagnosa. Seseorang juga dapat membedakan konjungtivitis

dari kelainan lain seperti skleritis atau keratitis berdasar pada injeksinya.

Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi: (10)

Injeksi konjungtiva (merah terang, pembuluh darah yang distended

bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya saat

menuju ke arah limbus).

Page 7: preskas rizky 2007

Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau

cirkumcribed pada tepi limbus).

Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna

terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).

Injeksi komposit (sering).

Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau struktur

yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan konjungtivitis

bakterial, dan penampakan merah susu menandakan konjungtivitis alergik.

Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi dari sebab fisik, seperti

angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi mungkin juda didapatkan pada

penyakit terkait dengan instabilitas vaskuler (contoh, acne rosacea). (8)

Gambar 3. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva (11)

2. Discharge (sekret). Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat

alamiah eksudat (mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung

dari etiologinya. (6)

3. Chemosis (edema conjunctiva). Adanya Chemosis mengarahkan kita secara

kuat pada konjungtivitis alergik akut tetapi dapat juga muncul pada

konjungtivitis gonokokkal akut atau konjungtivitis meningokokkal, dan

terutama pada konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari konjungtiva bulbar

Page 8: preskas rizky 2007

dapat dilihat pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang, chemosis

mungkin timbul sebelum adanya infiltrasi atau eksudasi seluler gross. (1)

Gambar 4. Kemosis pada mata

4. Epifora (pengeluaran berlebih air mata). Lakrimasi yang tidak normal

(illacrimation) harus dapat dibedakan dari eksudasi. Lakrimasi biasanya

mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi dari badan asing pada konjungtiva

atau kornea atau merupakan iritasi toksik. Juga dapat berasal dari sensasi

terbakar atau garukan atau juga dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui

dari pembuluh darah yang hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air

mata. Jumlah pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan

sekresi mukus menandakan keratokonjungtivitis sika. (1)

5. Pseudoptosis. Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena

adanya infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun karena edema

pada palpebra superior. (1)

6. Hipertrofi folikel. Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan

limfoid dari konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara

klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-

abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat

naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus

konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali

konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit,

dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi topikal

seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks inferior dan

pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika

Page 9: preskas rizky 2007

diketemukan terletak pada tarsus (terutama tarsus superior), harus dicurigai

adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi

topikal). (11)

.

Gambar 5. gambaran klinis dari folikel (10)

7. Hipertrofi papiler. Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul

karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril.

Ketika pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla (bersama

dengan elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel,

pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka

dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril,

membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada kelainan yang

menyebabkan nekrosis (contoh, trakoma), eksudat dapat digantikan oleh

jaringan granulasi atau jaringan ikat. Ketika papila berukuran kecil,

konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah normal.

Konjungtiva dengan papila berwarna merah sekali menandakan kelainan

disebabkan bakteri atau klamidia (contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna

merah sekali merupakan karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang

ditandai pada tarsus superior, menandakan keratokunjungtivitis vernal dan

konjungtivitis giant papillary dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada

tarsal inferior, gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila

yang berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada area

yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka (antara jam 2

dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan

Page 10: preskas rizky 2007

gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari

keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik. (10)

Gambar 6. gambaran klinis hipertrofi papiler

8. Membran dan pseudomembran. Merupakan reaksi konjungtiva terhadap

infeksi berat atau konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi

kuman/bahan toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang

nekrotik dan kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa

perdarahan (pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada

permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat

diangkat (membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan seluruh

epitel. (8)

Gambar 7. Bentukan pseudomembran yang diangkat (10)

Page 11: preskas rizky 2007

9. Phylctenules. Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi

terhadap toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari

konjungtiva pada mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan

limfositik pada pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi dari

konjungtiva, dasar ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear. (1)

10. Formasi pannus. Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara

lapisan Bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema

stroma, yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela

kolagen, memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah. (8)

Gambar 8. Pannus tampak pada mata pasien konjungtivitis (12)

11. Granuloma. Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area

bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada

kelainan sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor

eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing

lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus

preaurikular dan submandibular pada kelainan seperti sindroma

okuloglandular Parinaud. (12)

Page 12: preskas rizky 2007

Gambar 17 Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma okuloglandular Parinaud. (12)

12. Nodus limfatikus yang membengkak. Sistem limfatik dari regio mata berjalan

menuju nodus limfatikus di preaurikular dan submandibular. Nodus

limfatikus yang membengkak mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi

sebagai tanda diagnostik dari konjungtivitis viral. (10)

Perbedaan jenis-jenis konjungtivitis secara umum. (2)

Temuan Klinis

Umum

Viral Bakteri Klamidia Alergika

Gatal Minimal Minimal Minimal Hebat

Hiperemi Generalisata Generalisata Generalisata Generalisata

Mata Berair Banyak Sedang Sedang Minimal

Eksudasi Minimal Banyak Banyak Minimal

Adenopati

periaurikular

Sering Jarang Hanya pada

konjungtivitis

inklusi

Tidak ada

Pada kerokan

dan eksudat

yang dipulas

Monosit Bakteri, PMN PMN, sel

plasma, dan

inklusi

Eosinofil

Disertai sakit

tenggorokan

dan demam

Seringkali Sering Kali Tak Pernah Tak pernah

Page 13: preskas rizky 2007

2.6. Klasifikasi

Menurut penyebab terjadinya, konjungtivitis dibagi menjadi beberapa bagian: (1)

a. Konjungtivitis bakteri.

b. Konjungtivitis klamidia.

c. Konjungtivitis viral.

d. Konjungtivitis ricketsia.

e. Konjungtivitis jamur.

f. Konjungtivitis parasit.

g. Konjungtivitis alergi.

h. Konjungtivitis kimia atau iritatif

2.7 Patofisiologi

Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan

mata (konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam

palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat erat dengan sklera pada

bagian limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea. Glandula

lakrima aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada

konjungtiva bertanggung jawab untuk mempertahankan lubrikasi mata. Seperti

halnya membran mukosa lain, agen infeksi dapat melekat dan mengalahkan

mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis seperti mata merah,

iritasi serta fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses yang dapat

menyembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan

infeksi dan komplikasi yang berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus

tersebut. (12)

2.8 Gejala dan Tanda Klinis

Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan

dan sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.

a. Demam faringokonjungtival

Page 14: preskas rizky 2007

Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang tipe

4 dan 7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 - 400C, sakit

tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok

pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini dapat terjadi

bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dapat disertai

keratitis superficial sementara ataupun sedikit kekeruhan di daerah subepitel.

Limfadenopati preaurikuler yang muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang

ditemukan pada pasien mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua

gejala utama (demam, faringitis, dan konjungtivitis). (13)

b. Keratokonjungtivitis epidemika:

Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D

tipe 8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan

sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama

biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti

dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan

subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra, kemosis, dan

hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel dan perdarahan

konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk pseudomembran ataupun membran

sejati yang dapat meninggalkan parut datar ataupun symblepharon. Konjungtivitis

berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi di pusat kornea,

menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa disertai parut. (13)

c. Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV)

Konjungtivitis HSV umumnya terjadi ada anak-anak dan merupakan

keadaan luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi,

disertai sekret mukoid, dan fotofobia. Konjungtivitis dapat muncul sebagai infeksi

primer HSV atau pada episode kambuh herpes mata. Sering disertai keratitis

Page 15: preskas rizky 2007

herpes simpleks, dengan kornea menampakkan lesi-lesi epitelial tersendiri yang

umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus epithelial yang bercabang

banyak (dendritik). Konjungtivitis yang terjadi umumnya folikuler namun dapat

juga pseudomembranosa. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan

tepian palebra, disertai edema berat pada palpebra. Nodus preaurikuler yang nyeri

tekan adalah gejala yang khas untuk konjungtivitis HSV. (2)

d. Konjungtivitis hemoragika akut

Konjungtivitis hemoragika akut disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan

kadang-kadang oleh virus coxsakie tipe A24. Yang khas pada konjungtivitis tipe

ini adalah masa inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam) dan berlangsung singkat

(5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah rasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing,

banyak mengeluarkan air mata, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva.

Kadang-kadang dapat timbul kemosis. Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi

umumnya difus, namun dapat diawali oleh bintik-bintik perdarahan. Perdarahan

berawal dari konjungtiva bulbi superior menyebar ke bawah. Pada sebagian besar

kasus, didapatkan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis

epithelia. Pada beberapa kasus dapat terjadi uveitis anterior dengan gejala demam,

malaise, dan mialgia. Transmisi terjadi melalui kontak erat dari orang ke orang

melalui media sprei, alat-alat optik yang terkontaminasi, dan air. (13)

e. Konjungtivitis Newcastle

Konjungtivitis Newcastle disebabkan oleh virus Newcastle dengan

gambaran klinis sama dengan demam faring konjungtiva. Penyakit ini biasanya

terdapat pada pekerja peternak unggas yang ditulari virus Newcastle pada unggas.

Umumnya penyakit bersifat unilateral walaupun dapat juga bilateral.

Konjungtivitis ini memberikan gejala influenza dengan demam ringan, sakit

Page 16: preskas rizky 2007

kepala dan nyeri sendi. Konjuntivitis Newcastle akan memberikan keluhan rasa

sakit pada mata, gatal, mata berair, penglihatan kabur dan fotofobia. Penyakit ini

sembuh dalam jangka waktu kurang dari satu minggu. Pada mata akan terlihat

edema palpebral ringan, kemosis dan sekret yang sedikit, dan folikel-folikel yang

terutama ditemukan pada konjungtiva tarsal superior dan inferior. Pada kornea

ditemukan keratitis epithelial atau keratitis subepitel. Pembesaran kelenjar getah

bening yang tidak nyeri tekan. (4)

Konjungtivitis virus menahun meliputi:

a. Blefarokonjungtivitis Mulloskum Kontagiosum

Molluscum kontagiosum ditandai dengan adanya reaksi radang dengan

infiltrasi mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak, berwarna putih-

mutiara, dengan daerah pusat yang non radang. Nodul molluscum pada tepian atau

kulit palpebra dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun

unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai

trachoma. (13)

b. Blefarokonjungtivitis varicella-zoster

Blefarokonjungtivitis varicella-zoster ditandai dengan hiperemia dan

konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang penyebaran

Page 17: preskas rizky 2007

dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis yang terjadi

umumnya bersifat papiler, namun dapat pula membentuk folikel,

pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi. Pada awal

perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran kelenjar preaurikula yang nyeri

tekan. Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra, entropion, dan bulu mata salah

arah. Lesi palpebra dari varicella dapat terbentuk di bagian tepi ataupun di dalam

palpebra sendiri dan seringkali meninggalkan parut. Sering timbul konjungtivitis

eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang jelas (kecuali pada limbus) sangat

jarang terjadi. Lesi di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui tahap-

tahap vesikel, papula, dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan

bertambah pembuluh darahnya. (13)

c. Keratokonjungtivitis morbili.

Enantema khas morbili seringkali mendahului erupsi kulit. Pada tahap awal

konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti

pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum erupsi

kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen. Bersamaaan

dengan munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak koplik pada

konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi

pada anak-anak dan orang tua. (13)

2.9 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu

sangat penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada penyakit

ini, pasien akan mengeluhkan gejala-gejala yang berkaitan dengan proses infeksi

(bengkak, merah, nyeri) dan beberapa hari kemudian akan muncul infiltrasi di

bagian subepitel. Infiltrasi subepitel akan muncul sebagai keputihan di daerah

kornea yang bisa menurunkan visus pasien untuk sementara waktu. Sebagian dari

pasien akan mengalami pembengkakan di daerah kelenjar getah bening di bagian

depan telinga (preaurikula). Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp

untuk melakukan pemeriksaan bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien

mengalami pseudo-membrane pada jaringan di bagian bawah kelopak mata pada

konjungtiva. (2)

Page 18: preskas rizky 2007

Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis viral

adalah kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan pada

infeksi yang menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi

konjungtiva yang atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan

yang diberikan sebelumnya. Pengecatan giemsa juga dapat dilakukan. Pada

konjungtivitis virus ditemukan sel mononuklear dan limfosit. Inokulasi

merupakan teknik pemeriksaan dengan memaparkan organisme penyebab kepada

tubuh manusia untuk memproduksi kekebalan terhadap penyakit itu. Deteksi

terhadap antigen virus dan klamidia dapat dipertimbangkan. Polymerase chain

reaction (PCR) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengisolasi virus

dan dilakukan pada fase akut. (2)

1. Konjungtivitis viral akut

a. Demam faringokonjungtiva

Diagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari tanda klinis

maupun laboratorium. Virus penyebab demam faringokonjungtiva ini dapat

dibiakkan dalam sel HeLa dan di identifikasi dengan uji netralisasi. Dengan

berkembangnya penyakit virus ini dapat di diagnosis secara serologis melalui

peningkatan titer antibodi penetral virus. Namun, diagnosis klinis merupakan

diagnosis yang paling mudah dan praktis. Pada kerokan konjungtiva didapatkan

sel mononuklear dan tidak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. (1)

b. Keratokonjuntivitis epidemika

Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat diidentifikasi dengan uji

netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear

primer. Bila terbentuk pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak. (14)

c. Konjungtivitis herpetik

Pada konjungtivitis virus herpes simplek, jika konjungtivitisnya folikuler,

reaksi radangnya terutama akibat kemotaksis nekrosis. Inklusi intranuklear

(karena adanya marginasi kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea

dengan fiksasi Bouin dan pilasan papanicolaou, tetapi tidak tampak dalam pulasan

giemsa. Temuan sel-sel epitel raksasa multinukleus memiliki nilai diagnostik.

Pada konjungtivitis Varisella-Zooster, diagnosis biasanya ditegakkan dengan

Page 19: preskas rizky 2007

ditemukan sel raksasa pada pewarnaan giemsa, kultur virus, dan sel inklusi

intranuklear. (1)

d. Konjungtivitis New castle

Diagnosis dari konjungtivitis ini adalah dari anamnesis dan juga gambaran

klinisnya. (2)

e. Konjungtivitis hemoragik epidemik akut

Diagnosis utama adalah dari gambaran klinisnya. (2)

2. Konjungtivitis Viral Kronis

a. Blefarokonjungtivitis Molluscum contagiosum

Biopsi menunjukkan inklusi sitoplasma iosinofilik yang memenuhi

sitoplasma sel yang rusak, mendesak inti ke satu sisi. (2)

b. Blefarokonjungtivitis varicella zooster

Pada zooster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya

mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear, kerokan dari

konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zooster dapat

mengandung sel raksasa dan monosit. (2)

c. Blefarokonjungtivitis morbili

Kerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali jika ada

pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas giemsa menampilkan sel-

sel raksasa. (1)

Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan konjungtivitis

yang lain dan penyakit mata merah lainnya terkait dengan penatalaksanaannya.

Secara klinis bedasarkan keluhan subyektif dan obyektif perbedaan konjungtivitis

virus dengan konjungtivitis yang lain serta diagnosis mata merah dapat dilihat

pada tabel dibawah ini. (10)

Page 20: preskas rizky 2007

Tabel 1. Diagnosis Banding Penyakit Mata Merah Berdasarkan Keluhan Subjektif

dan Obyektif. (2)

Gejala

subyektif

dan

obyektif

Glaukoma

akut

Uveitis

akut

Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi

Penurunan

Visus

+++ +/++ +++ - - -

Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -

Fotofobia + +++ +++ - - -

Halo ++ - - - - -

Eksudat - - -/++ +++ ++ +

Gatal - - - - - ++

Demam - - - - -/++ -

Injeksi

siliar

+ ++ +++ - - -

Injeksi

konjungtiva

++ ++ ++ +++ ++ +

Kekeruhan

kornea

+++ - +/++ - -/+ -

Kelainan

pupil

Midriasis

nonrekatif

Miosis

iregular

Normal/

miosis

N N N

Kedalaman

COA

Dangkal N N N N N

Tekanan

intraokular

Tinggi Rendah N N N N

Sekret - + + ++/+++ ++ +

Kelenjar

preaurikular

- - - - + -

Page 21: preskas rizky 2007

Keterangan:

a. Konjungtivitis Bakterial

Terdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut) dan

menahun. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering adalah Staphylococcus,

Pneumococcus, dan Haemophilus. Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh

sendiri bila disebabkan mikroorganisme seperti Haemophilus influenza. Lamanya

penyakit dapat mencapai 2 minggu jika tidak diobati dengan memadai. (10)

Konjungtivitis akut dapat menjadi menahun. Pengobatan dengan salah satu

dari sekian antibacterial yang tersedia biasanya mengenai keadaan ini dalam

beberapa hari. Konjungtivitis purulen yang disebabkan Neisseria gonorroeae atau

Neisseria meningitides dapat menimbulkan komplikasi berat bila tidak diobati

secara dini. (2)

Tanda dan Gejala

- Iritasi mata,

- Mata merah,

- Sekret mata,

- Palpebra terasa lengket saat bangun tidur

- Kadang-kadang edema palpebra (2)

Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan menular ke mata sebelahnya

melalui tangan. Infeksi dapat menyebar ke orang lain melalui bahan yang dapat

menyebarkan kuman seperti seprei, kain, dll. (2)

b. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)

1. Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)

Tanda dan gejala

Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai demam

jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput,

bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang gatal-gatal, berair mata, mata

merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam

jaringan sekitarnya”. Terdapat sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan

konjungtiva bulbi, dan selama serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang

Page 22: preskas rizky 2007

menjadi sebab “tenggelamnya” tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata,

khususnya jika pasien telah mengucek matanya. (10)

2. Konjungtivitis Vernalis

Definisi

Penyakit ini, juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan “konjungtivitis

musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau”, adalah penyakit alergi bilateral

yang jarang. (2) Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada di

daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim

panas dan musim gugur daripada musim gugur. (12)

Tanda dan gejala

Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-serat.

Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema, dan lainnya).

Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla halus di

konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering memiliki

papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal,

dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler. (2)

2.10 Komplikasi

Komplikasi dari konjungtivitis viral, antara lain:

Infeksi pada kornea (keratitis) dan apabila tidak ditangani bisa menjadi

ulkus kornea. (2)

2.11 Penatalaksanaan

Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi

simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan

antiviral. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan

pelembab. Kompres dingin pada mata 3 – 4 x / hari juga dikatakan dapat

membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan

konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi. (7)

Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Konjungtivitis viral akut

Page 23: preskas rizky 2007

a. Demam faringokonjungtiva

Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif karena

dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi, sedangkan pada kasus

yang berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid lokal. Pengobatan biasanya

simptomatis dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. (2)

b. Keratokonjungtivitis epidemika

Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan

mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan

kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut sehingga

harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bakteri. (7)

c. Konjungtivitis herpetik

Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anakdiatas satu

tahun atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak

perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus doberikan untuk

mencegah terkena kornea. Jika terjadi ulkus kornea, harus dilakukan debridement

korneadengan mengusap ulkus menggunakan kain steril dengan hati-hati,

oenetesan obat anti virus, dan penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal

sendiri harus diberikan 7-10 hari. Misalnya trikloridin setiap 2 jam sewaktu

bangun. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bias memperburuk

infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari suatu proses singkat yang

sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang berkepanjangan. Pada konjungtivitis

Varicella zooster pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin.

Pada saat acyclovir 400 mg/hari selama 5 hari merupakan pengobatan umum.

Walaupun diduga steroid dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat

mengakibatkan penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat diberikan

analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan peermukaan dapat

diberikan salep terasilin. Steroid tetes deksametason 0,1% diberikan bila terdapat

episkleritis, skleritis dan iritis. (14)

d. Konjungtivitis Newcastle

Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat diberikan

antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat simtomatik. (10)

e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akut

Page 24: preskas rizky 2007

Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya simtomatik.

Pengobatan antibiotika spektrum luas, sulfacetamide dapat digunakan untuk

mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan dapat terjadi dalam 5-7 hari. (12)

3. Konjungtivitis viral kronik

a. Konjungtivitis Molluscum contagiosum

Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi yang

memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis. Pada kondisi

ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya. (14)

b. Blefarokonjungtivitis Varicella zoster

Pada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi (800mg/oral 5x selama

10 hari) (14)

c. Keratokonjungtivitis morbili

Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang

dilakukan, kecuali ada infeksi sekunder. (12)

Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya

cukup tinggi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan

juga bisa terjadi di fasilitas kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang

memeriksa pasien. Langkah – langkah pencegahan yang perlu diperhatikan adalah

mencuci tangan dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan tangan kosong,

serta tidak menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan

pasien lain. Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan

untuk menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah

dalam 1 – 2 minggu, juga menghindari pemakaian handuk bersama. (2)

2.12 Prognosis

Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat

sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi

apabila tidak ditangani dengan baik. (3)

Page 25: preskas rizky 2007

BAB III

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien

Nama : Yanti

Umur : 32 tahun

Alamat : Aceh Besar

Jenis kelamin : Perempuan

No. CM : 1-02-07-69

2.2 Anamnesis

Keluhan utama: Mata merah

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien mengeluhkan kedua matanya merah sejak 3 hari yang lalu. Pasien

juga mengeluhkan kedua matanya sering berair. Pasien tidak merasakan

penglihatan kabur dan juga tidak merasa silau terhadap cahaya. Pasien juga tidak

merasa nyeri pada kedua matanya. Riwayat trauma dan alergi disangkal.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien belum pernah mengalami sakit yang sama. Tidak ada riwayat

pemakaian kacamata. Riwayat hipertensi dan DM disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:

Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama. Terdapat riwayat keluarga

dengan kacamata. Riwayat hipertensi dan DM di keluarga disangkal.

Riwayat pengobatan:

Pasien belum pernah berobat

Riwayat kebiasaan: 

Pasien tidak merokok. Pola makan teratur dan seimbang.

Page 26: preskas rizky 2007

2.3 Pemeriksaan Fisik Umum

Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84 x/ menit

Suhu : 37 C

RR : 16x/ menit

Page 27: preskas rizky 2007

2.4 Status Ophtalmologis

OD Pemeriksaan OS5/5 Visus 5/5

Normal TIO NormalOrtoforia Hirschberg OrtoforiaNormal kesegala arah Gerak bola mata Normal kesegala arahDalam batas normal Palpebra Dalam batas normalInjeksi konjungtiva (+), injeksi siliar (-), chemosis (-)

Conjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (+), injeksi siliar (-), chemosis (-)

Hiperemis (+), edema (-) Conjungtiva tarsal Hiperemis (+), edema (-)Normal : jernih, infiltrat (-)

Kornea Normal : jernih, infiltrat (-)

Cukup COA CukupCoklat/ bulat, ukuran 3 mmrct(+), rctl (+)

Iris/ Pupil Coklat/ bulat, ukuran 3 mmrct (+), rctl (+)

Jernih Lensa JernihTidak dinilai Vitreus Tidak dinilaiTidak dinilai Fundus Tidak dinilai

2.5 Diagnosis

Page 28: preskas rizky 2007

Konjungtivitis ODS

Page 29: preskas rizky 2007

2.6 Terapi

Cendo Xitrol ED 4 dd gtt ODS

Ciprofloxacin 500mg 2 dd tab

Na-diklofenac 2 dd tab

Sohobion 500mg 1 dd tab 1

2.7 Prognosis

Ocular Dextra Ocular Sinistra

Quo ad vitam Ad bonam

Quo ad functionam Ad bonam

Quo ad sanationam Ad bonam

Page 30: preskas rizky 2007

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

x

1.Vaughan , Daniel G. Oftalmologi Umum Jakarta: Widya Medika; 2000.

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.p128-131.

3.Basic Clinical Science and Course of Ophtalmology. In American Academy of Ophthalmology. In ; 2009; New York.

4.Scott. Viral Conjunctivitis. [Online].; 2011 [cited 2014 September 30. Available from: HYPERLINK "Available:%20http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview" \l "showall" Available: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall .

5.Majmudar PA. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Luke’s Medical CenteR; 2010.

6.Marlin DS. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine. [Online].; 2009 [cited 2014 september 30. Available from: HYPERLINK "%5bhttp://emedicine.medscape.com/article/1191370%5d" [http://emedicine.medscape.com/article/1191370] .

7.Budhistira P. Pedoman Diagnosis dan terapi penyakit Mata RSUP Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Denpasar; 2009.

8.Khuruna AK. Comrehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and Refraction.: New Age Inernational (P) Limited Publishers; 2007; 12: 36-38.

9.Rapuano CA. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology New York; 2008.

10. James B. Lecture Notes Oftalmologi Jakarta: Erlangga; 2005.

11.Lang GK, Gareis O, Amann J, . Conjunctiva. Dalam: Ophthalmology: a short textbook New York: Thieme; 2000.

12.Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A Systematic

Page 31: preskas rizky 2007

Approach. 5th ed. New York; 2009.

13.Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asburry’s General Opthalmology. 16th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2004. p108-112.

14.Wijaya N. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1983.

.