preskas
DESCRIPTION
preskasTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
GASTROENTERITIS AKUT DENGAN TB PARU
Disusun Oleh :
Alfaria Elia Rahma Putri
030.10.018
Pembimbing :
dr. Hot SH, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE 29 JUNI– 11 SEPTEMBER 2015
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2015
1
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : Alfaria Elia Rahma Putri
NIM : 030.10.018
Pembimbing : dr. Hot SH, Sp.A
Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RRM
Umur : 1 tahun 4 bulan
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 02 Februari 2014
Alamat : Jl. Cipinang Bali, Kp Melayu, Jakarta Timur
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : -
Orang tua / Wali
Ayah : Ibu :
Nama : Tn. EP Nama : Ny. TM
Umur : 30 tahun Umur : 26 tahun
Alamat : Jl. Cipinang Bali Alamat : Jl. Cipinang Besar
Kp Melayu, Jakarta Timur Kp Melayu, Jakarta Timur
Pekerjaan : Karyawan Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Penghasilan : Rp. 2,2 juta /bulan Penghasilan : -
Pendidikan : SMK Pendidikan : SMK
Suku bangsa : Sunda Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung
2
I. RIWAYAT PENYAKIT
ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. TM (ibu kandung pasien)
Lokasi : Bangsal lantai VI Timur, kamar 611
Tanggal / waktu : 4 Juli 2015 pukul 12.00 WIB
Tanggal masuk : 28 Juni 2015
Keluhan utama : Muntah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan tambahan : Diare, batuk, sesak nafas
I. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih diantar ibunya dengan keluhan muntah
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Menurut ibu pasien, muntah bisa
terjadi 8 – 10 kali dalam sehari. Muntah berisi air bercampur dengan makanan dengan
volume kurang lebih ½ gelas aqua. Pasien akan muntah jika diberi makan atau
minum. Ibu pasien juga mengeluhkan BAB cair sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Frekuensi BAB 3x/hari, volume kurang lebih 1 gelas aqua dengan konsistensi
cair, terdapat ampas dan lendir, berwarna kuning, berbau asam, tidak terdapat darah.
Pasien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, demam tidak diukur dengan termometer. Demam dirasakan sepanjang hari terus
menerus tanpa pernah turun hingga suhu normal, lalu pasien diberi obat parasetamol
anak yang dibeli di apotek. Demam sempat turun karena parasetamol, namun tidak
lama kemudian suhu tubuh pasien naik kembali. Demam tidak disertai menggigil.
Tidak ada keringat dingin maupun kejang. Orang tua pasien juga bercerita bahwa
pasien menjadi lebih gelisah, gampang menangis dan nafsu makan menurun sejak
gejala BAB cair dan demam muncul.
Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya batuk-batuk sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Menurutnya, batuk anaknya adalah batuk berdahak dikarenakan setiap
selesai batuk, os sering muntah, dan muntahannya berisi susu yang diminum serta
lendir yang berwarna putih kental, tidak berbau dan tidak ada darah.
3
Buang air kecil tidak ada masalah. Adanya sesak nafas, keringat malam maupun
riwayat terseak sebelumnya disangkal oleh ibu os. Menurut ibu os, os memang kurus
sejak sebelum sakit, setelah sakit berat badan os cenderung tidak meningkat. Adanya
sesak nafas, keringat malam maupun riwayat sesak sebelumnya disangkal oleh ibu
pasien.
II. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare 6 bulan Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita :
OS pernah terkena diare saat berusia 6 bulan, os sempat dibawa ke IGD RSBA dan
dirawat.
III. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan di puskesmas
setempat, sudah mendapat imunisasi vaksin
TT 2 kali
KELAHIRAN Tempat persalinan Rumah bersalin
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinanNormal
Penyulit : -
Masa gestasi Cukup Bulan
Keadaan bayi Berat lahir : 3700 gram
Panjang lahir : 55 cm
Lingkar kepala : (tidak tahu)
4
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran :
Neonatus Cukup Bulan – Sesuai Masa Kehamilan.
IV. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I : Umur 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 5 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Umur 10 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Belum bisa (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Belum bisa (Normal: 13 bulan)
Bicara : Belum bisa (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Terdapat sedikit keterlambatan pada riwayat pertumbuhan dan perkembangan os.
V. RIWAYAT MAKANAN
Umur
(bulan)ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0 – 2 ASI - - -
2 – 4 ASI - - -
4 – 6 ASI - - -
6 – 8 PASI + + -
8 – 10 PASI + + +
10 -11 PASI + + +
5
Kesulitan makan : menurut pengakuan ibu os, sejak sakit os jadi malas makan.
Kesimpulan riwayat makanan :
Pasien menjadi berkurang nafsu makan sejak sakit. Asupan dari usia 0 bulan – 11
bulan cukup baik.
VI. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 2 bulan - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Campak - - -
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi : imunisasi dasar lengkap dan sesuai jadwal.
VII. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No Tanggal lahir (umur)
Jenis kelamin
Hidup Lahir mati
Abortus Mati (sebab)
Keterangan kesehatan
1. 02 Feb 2014 Perempuan + - - - Pasien
b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. EP Ny. TM
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 28 tahun 24 tahun
Pendidikan terakhir Tamat SMK Tamat SMK
Agama Islam Islam
Suku bangsa Sunda Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
6
Penyakit, bila ada - -
a. Riwayat Penyakit Keluarga
Kakek (ayah dari ibu) os menderita TBC, sudah dicek sputum 2 kali BTA negatif.
Namun tetap mendapat terapi, tetapi kakek os ini tidak patuh sehingga pengobatannya
terputus. Beliau tinggal serumah dengan os. Selain kakek os, tidak ada anggota
keluarga lainnya yang mengalami batuk-batuk lama dan tidak ada anggota keluarga
lainnya yang mengalami hal yang sama dengan os.
Kesimpulan Riwayat Keluarga :
Adanya anggota keluarga yang memiliki TBC meningkatkan faktor resiko seorang
anak terkena TBC pula.
VIII. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, kakek dan neneknya di sebuah rumah yang
dikontrak 1 lantai, dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, beratap genteng,
berdinding tembok. Pencahayaan tidak baik, cahaya matahari tidak masuk ke rumah,
ventilasi hanya ada di ruang tamu. Sumber air bersih dari air PAM. Air limbah rumah
tangga disalurkan dengan baik dan pembuangan sampah setiap harinya diangkut oleh
petugas kebersihan.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan :
Lingkungan rumah tidak terlalu baik. Proses pertukaran udara dan penyinaran sinar
matahari kurang baik.
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 4 Juli 2015 pukul 12.30 WIB)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan Gizi : Gizi kurang
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
7
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 7,2 kg
Tinggi Badan : 74 cm
Lingkar kepala : 45 cm
Lingkar dada : 41,5 cm
Lingkar lengan atas : 11 cm
Status Gizi
- BB / U = 7,2 / 10,6 x 100 % = 67,92 % (Tanpa oedema gizi kurang)
- TB / U = 74 / 78 x 100 % = 94,87 % (Tinggi normal)
- BB / TB = 67,2 / 9,6 x 100 % = 75% (Gizi kurang)
- Kehilangan BB = -
Tanda Vital
Nadi : 110 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular.
Nafas : 48 x / menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 2.
Suhu : 36,8 °C, axilla (diukur dengan termometer air raksa).
KEPALA : Normocephali, ubun-ubun besar sudah menutup.
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
WAJAH : wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut.
MATA :
Visus : tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjunctiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+
Cekung : -/-
8
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : normal
Serumen : -/-
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum : -
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi : +
BIBIR : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-).
MULUT : Trismus (-) , oral hygiene baik, gigi geligi lengkap.
LIDAH : Normoglotia, tremor (-), lidah kotor (-).
TENGGOROKAN : Hiperemis (-).
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid,
tidak tampak deviasi trakea.
THORAKS :
Pulmo
Inspeksi :
Gerak thoraks terlihat simetris saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang
tertinggal, tipe pernafasan abdominotorakal, tidak ada retraksi sela iga,
epigastrium maupun suprasternal.
Palpasi :
Gerak nafas teraba simetris pada kedua hemithorax, vocal fremitus pada
hemithorax kanan dan kiri teraba sama kuat.
Perkusi :
Sonor pada kedua hemithorax.
Auskultasi :
Suara napas vesikuler +/+, ronchi (+/+) terdengar keras pada apex paru dextra dan
sinistra, wheezing (-/-).
9
Cor
Inspeksi :
Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi :
Ictus cordis teraba pada ICS V linea 1 cm medial line midclavicularis sinistra.
Auskultasi :
Bunyi jantung I , II reguler, murmur (-), gallop (-).
ABDOMEN :
Inspeksi :
Perut buncit, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut maupun benjolan.
Palpasi :
Supel, nyeri tekan (-). Hepar dan lien tidak teraba membesar.
Perkusi :
Timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Auskultasi :
Bising usus (+) normal.
GENITALIA : tidak dilakukan pemeriksaan.
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Kekuatan otot 5 5
10
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Kekuatan otot 5 5
STATUS NEUROLOGIS
Refleks Kanan Kiri
Patella + +
Babinski + +
Chaddock - -
KULIT : warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
baik, petechie (-).
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
11
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
(Lab. Dari IGD pada tanggal 28 Juni 2015)
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Darah Lengkap
Eritrosit 4.9 jt/uL 3.6 jt – 5.2 jt Normal
Hemoglobin 11.6 g/dL 10.7 – 13.1 Normal
Leukosit 18.100 /uL 6000-17.000
Trombosit 499.000/uL 229.000-553.000 Normal
Hematokrit 36 % 35 - 43 Normal
MCV 74 fL 73 – 101 Normal
MCH 23.7 pg 23-31 Normal
MCHC 32.1 g/dL 26-34 Normal
RDW 15.9 % <14
Kimia Klinik
GDS jam 06.00 109 mg/dL 33 – 111 Normal
Elektrolit Serum
Natrium 141 mmol/L 135-155 Normal
Kalium 3.0 mmol/L 3.6-5.5
Klorida 107 mmol/L 98-109 Normal
Pemeriksaan Radiologi :
(Dilakukan tanggal 1 Juli 2015)
Jenis Foto : Thoraks PA
Deskripsi :
Bronchopneumonia
Hilus dalam batas normal
Cor dalam batas normal
12
IV. RESUME
Pasien adalah seorang anak perempuan berusia 1 tahun 4 bulan yang datang diantar
ibunya ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Budhi Asih dengan keluhan muntah sejak 4
hari sebelum masuk rumah sakit. Menurut ibu pasien, muntah bisa terjadi 8 – 10 kali
dalam sehari. Muntah berisi air bercampur dengan makanan dengan volume kurang
lebih ½ gelas aqua. Pasien juga mengalami BAB cair sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Frekuensi BAB 3x/hari, volume kurang lebih 1 gelas aqua dengan
konsistensi cair, terdapat ampas dan lendir, berwarna kuning, berbau asam, tidak
terdapat darah. Keluhan lainnya yaitu, demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit,
demam tidak diukur dengan termometer. Demam dirasakan sepanjang hari terus
menerus tanpa pernah turun hingga suhu normal, lalu pasien diberi obat parasetamol
anak yang dibeli di apotek. Demam sempat turun karena parasetamol, namun tidak
lama kemudian suhu tubuh pasien naik kembali. Demam tidak disertai menggigil.
Batuk berdahak sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Dahak keluar setiap pasien
muntah berawrna putih kental Tidak ada keringat dingin maupun kejang. pasien
menjadi lebih gelisah, gampang menangis dan nafsu makan menurun sejak gejala
BAB cair dan demam muncul.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan Umum : Tampak Sakit
Sedang, Kesadaran : Compos Mentis, dan Status Gizi : Gizi Kurang. Pada
pemeriksaan paru didapatkan pada auskultasi didapatkan ronki yang terdengar jelas
pada apex pulmo dextra dan sinistra. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit
yang sedikit meningkat namun tidak terlalu signifikan yaitu 18.100/uL dan penurunan
kadar Kalium yaitu 3.0 mmol/L. Pada foto toraks didapatkan gambaran
bronchopneumonia.
V. DIAGNOSIS BANDING
- Gastroenteritis akut bakterial dengan dehidrasi ringan
- Gastroenteritis akut viral dengan dehidrasi ringan
- Disentri amebiasis
13
- TB Paru
- Infeksi Saluran Napas Atas
- Bronkopneumonia
VI. DIAGNOSIS KERJA
- Gastroenteritis akut bakterial tanpa dehidrasi + TB paru
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Tes Mantoux
- Hematologi ulang, cek Elektrolit serum, hitung jenis leukosit
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Non medika Mentosa
1. Rawat inap untuk observasi tanda vital dan perawatan yang intensif
2. Memperbaiki asupan gizi (diet TKTP).
3. Menghilangkan sumber penularan dengan cara mengobati kakek os yang terkena
TB.
B. Medika Mentosa
1. IVFD KaEN 1 B 3cc/kgBB/jam
2. Ampicilin 4 x 200 mg (i.v.)
3. Probiokid 1 x 1 sachet
4. Zinc kid 1 x 20mg
5. Paracetamol drip 80mg bila suhu > 38oC
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
14
FOLLOW UP
Tgl S O A P
30/6/2015
Rawat
hari ke 2
- Demam +
- Batuk +
- BAB cair -
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 114 x/m
Suhu : 38 0 C
RR : 40 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
+/+ (serous)
Mulut :
kering (-) sianosis (–)
Thorax :
sn vesikuler, rh +/+, wh
-/-, BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : supel,
turgor baik, nyeri tekan
(-), bu (+), hepar & lien
ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
GEA
tanpa
dehidrasi
Gizi
kurang
- Diet Lunak
- IVFD KaEN 1 B
3cc/kgBB/jam
- Pct 80 mg drip
jika suhu > 38°C
- Ampisilin 4 x
200 mg (i.v.)
- Probiokid 1 x 1
bungkus
- Puyer 3x1 :
Ambroxol 4 mg,
Salbutamol 0,4
mg
- Tes mantoux
1/7/2015
Rawat
hari ke 3
- Batuk +
- Demam -
- BAB cair -
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 100 x/m
GEA
tanpa
dehidrasi
Gizi
kurang
- Diet Lunak
- IVFD KaEN 1 B
3cc/kgBB/jam
- Pct 80 mg drip
jika suhu > 38°C
15
Suhu : 37,2 0 C
RR : 28 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
-/-
Mulut :
kering (-) sianosis (–)
Tonsil : T2/T2, faring
hiperemis
Thorax :
sn vesikuler, rh +/+, wh
-/-, BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : supel,
turgor baik, nyeri tekan
(-), bu (+), hepar & lien
ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Batuk
Kronik
Berulang
- Ampisilin 4 x
200 mg (i.v.)
- Probiokid 1 x 1
bungkus
- Puyer 3x1 :
Ambroxol 4 mg,
Salbutamol 0,4
mg
Tes mantoux
Foto Thorax
2/7/2015
Rawat
hari ke 4
- Batuk +
- Demam -
- BAB cair -
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 104 x/m
Suhu : 36,8 0 C
RR : 24 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
GEA
tanpa
dehidrasi
Gizi
kurang
Batuk
Kronik
Berulang
- Diet Lunak
- IVFD KaEN 1 B
3cc/kgBB/jam
- Pct 80 mg drip
jika suhu > 38°C
- Ampisilin 4 x
200 mg (i.v.)
- Probiokid 1 x 1
bungkus
- Puyer 3x1 :
16
-/-
Mulut :
kering (-) sianosis (–)
Tonsil : T2/T2, faring
hiperemis
Thorax :
sn vesikuler, rh +/+, wh
-/-, BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : supel,
turgor baik, nyeri tekan
(-), bu (+), hepar & lien
ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Hasil Foto Thorax :
gambaran
bronchopneumonia
Ambroxol 4 mg,
Salbutamol 0,4
mg
Tes mantoux
3/7/2015
Rawat
hari ke 5
- Batuk +
- Demam -
- BAB cair -
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 98 x/m
Suhu : 36,5 0 C
RR : 28 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
-/-
Mulut :
kering (-) sianosis (–)
GEA
tanpa
dehidrasi
Gizi
kurang
TB paru
- Diet Lunak
- Venflon
- Pct 80 mg drip
jika suhu > 38°C
- Ampisilin 4 x
200 mg (i.v.)
- Probiokid 1 x 1
bungkus
- Puyer 3x1 :
Ambroxol 4 mg,
Salbutamol 0,4
mg
OAT:
17
Tonsil : T2/T2, faring
hiperemis (-)
Thorax :
sn vesikuler, rh +/+, wh
-/-, BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : supel,
turgor baik, nyeri tekan
(-), bu (+), hepar & lien
ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Tes mantoux (+)
Indurasi 17 mm
Skoring TB = 8
- INH 1 x 70 mg
- Rif 1 x 90 mg
- PZA 2 x 75 mg
Rencana pulang
4/7/2015
Rawat
hari ke 6
- Batuk +
- Demam -
- BAB cair -
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 110 x/m
Suhu : 36,2 0 C
RR : 24 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
-/-
Mulut :
kering (-) sianosis (–)
Tonsil : T2/T2, faring
hiperemis (-)
Thorax :
TB paru
GEA
tanpa
dehidrasi
(perbaik
an)
Gizi
kurang
- Diet Lunak
- Venflon
- Ampisilin 4 x
200 mg (i.v.)
- Probiokid 1 x 1
bungkus
- Puyer 3x1 :
Ambroxol 4 mg,
Salbutamol 0,4
mg
OAT:
- INH 1 x 70 mg
- Rif 1 x 90 mg
- PZA 2 x 75 mg
Boleh pulang / rawat
jalan
18
sn vesikuler, rh +/+, wh
-/-, BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : supel,
turgor baik, nyeri tekan
(-), bu (+), hepar & lien
ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Tes mantoux (+)
Indurasi 17 mm
Skoring TB = 8
19
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS PARU
I. Pendahuluan
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara
maju. Salah satu diantaranya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga
penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. Tuberculosis, dengan
angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. 1
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan
salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi
epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian,
infeksi HIV dan pertumbuhan populasi yang cepat. 2
Dengan meningkatnya kejadian TBC pada orang dewasa, maka jumlah anak yang
terinfeksi TBC akan meningkat dan jumlah anak dengan penyakit TBC juga
meningkat. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak
khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak sulit
didapatkan specimen diagnostic yang dapat dipecaya. Seorang anak dapat terkena
infeksi TBC tanpa menjadi sakit TBC dimana terdapat uji tuberkulin positif tanpa
ada kelainan klinis, radiologis dan laboratoris.3
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang
diikuti overtreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB
umumnya adalah orag dewasa dengan hasil sputum basil tahan asam positif,
sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa.
Akibatnya, penanganan TB anak kurang diperhatikan. .3
Tuberkulosis primer pada anak kurang membahayakan masyarakat karena
kebanyakan tidak menular, tetapi bagi anak itu sendiri cukup berbahaya oleh
karena dapat timbul TBC ekstra thorakal yang sering kali menjadi sebab kematian
atau menimbulkan cacat, Misal pada TBC Meningitis.
20
II. Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah
menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.2 Tuberkulosis
merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Pada
peninggalan Mesir Kuno, ditemukan relief yang menggambarkan orang dengan
gibbus. Kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh
Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Walaupun telah
dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obat antituberkulosis yang
poten hingga saat ini TB masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh
dunia. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan masalah yang menonjol. Bahkan
secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang kasus
terbanyak di dunia. .3
III. Morbiditas dan Mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5 – 6 % dari total kasus TB. Berdasarakan laporan tahun
1985, dari 1261 kasus TB anak usia < 15 tahun, 63 % di antaranya berusia < 5
tahun. Di negara berkembang, tuberkulosis pada anak berusia < 15 tahun adalah
15 % dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah,
yaitu 5-7 %. Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat
1,3 juta kasus baru TB anak dan 450.000 usia dibawah 15 tahun , meninggal
dunia karena TB. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga
dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus)
dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak 10 % dari seluruh kasus terjadi pada anak
berusia di bawah 15 tahun.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat; (2) pengobatan yang tidak
adekuat ; (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat; (4)
infeksi endemik human immuno-deficiency virus (HIV); (5) migrasi penduduk;
21
(6) mengobati sendiri (self treatment); (7) meningkatnya kemiskinan; (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai. .3
IV. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Ada 2 macam
mycobacteria yang menyebabkan penyakit tuberculosis yaitu tipe human ( berada
dalam bercak ludah dan droplet ) dan tipe bovin yang berada dalam susu sapi.
Agen tuberculosis, Mycobacterium tuberculosa, Mycobacterium bovis, dan
Mycobacterium africanum, merupakan anggota ordo Actinomycetes dan famili
Mycobacteriacea. Ciri – ciri kuman berbentuk batang lengkung, gram positif
lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, dengan ukuran panjang 1 – 4 μm dan tebal 0.3
– 0.6 μm, tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan sinar
matahari dan ultra violet. Mereka dapat tampak sendiri – sendiri atau dalam
kelompok pada spesimen klinis yang diwarnai atau media biakan, tumbuh pada
media sintetis yang mengandung gliserol sumber karbon dan garam ammonium
sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37 –
22
41°C, menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid
menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen.4,5
Tanda semua mikobakteria adalah ketahanan asamnya, kapasitas membentuk
kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan aril metan seperti kristal violet, karbol
fuschin, auramin dan rodamin. Bila diwarnai mereka melawan, perubahan warna
dengan ethanol dan hidroklorida atau asam lain. Sifatnya aerob obligat, hal ini
menunjukan kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigen
nya, dan sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak, sehingga membuat kuman
lebih tahan terhadap asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan
terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Selain itu kuman terdiri dari protein yang
menyebabkan nekrosis jaringan.
Kuman dapat tahan hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan
udara kering maupun dalam keadaan dingin, hal ini terjadi karena kuman berada
dalam sifat dormant. Tetapi dalam cairan mati pada suhu 60°C dalam waktu 15 –
20 menit. 4,5 Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni
dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah
kemudian disenangi karena banyak mengandung lipid.
V. Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tresebut dibagi menjadi faktor
risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko
penyakit).1
1. Risiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif ), daerah
endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (hygiene dan sanitasi
tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau
panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi
23
daris eorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi
terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar
pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei )
yang infeksius. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke
anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA
sputum postif, infiltrate luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum
banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
TB pada anak jarang meularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di
dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang
menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman TB pada anak biasanya
sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lema, jumlah
yang sedikit tersebut sudah menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi
primer yang kemudia berkembang menjadi sakit TB primer biasanya
terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak
terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya
terdapat gejala batuk pada TB anak. 1
2. Risiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya
infeksi TB menjadi sakit TB.
a. Usia : Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum
berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan
berkurang seiring secara bertahap seiring dengan pertambahan usia.
Pada bayi yang terinfeksi TB, 43 % nya akan menjadi sakit TB, pada
anak usia 1 – 5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24 %, pada usia remaja
15 %, dan pada dewasa 5 – 10 %. Anak berusia < 5 tahun memiliki
risiko tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
24
meningitis TB). Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi
menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi,
terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara
terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun)
dan biasanya timbul gejala akut. 1
b. Infeksi baru : Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji
tuberculin (dari negative menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
c. Faktor risiko lainnya : Malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan penobatan
imunosupresi, diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik. 1
d. Faktor virulensi dari M. tuberculosis. Akan tetapi, secara klinis hal ini
sulit untuk dibuktikan. 1
e. Faktor epidemiologi TB : status sosioekonomi rendah, penghasilan
kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan
kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat. 1
VI. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (< 5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan
segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman
TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelanjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
25
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar dan saluran limfe
yang meradang. 3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lenkap disebut masa inkubasi TB.6 Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yag
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 1000-10.000, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler. 3
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersenitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaiu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler
tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system
imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Naumn, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan.3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahundalam kelenjar ini. 3
26
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer
di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelectasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau mebentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelectasis, yang
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematoen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada
penyebaran hematogen, kuman masuk ke sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. 3
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada
anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru
kronik. Sebanyak 0,5-3 % penyebaran limfohematogen akan menjadi TB TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3 – 6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempuna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. 3
27
28
*Catatan :
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread) dapat juga secara akut dan menyeluruh. Kuman TB
kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari (1) fokus primer; (2) limfangitis; dan (3)
limfadenitis regional.
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pasca primer karena mekanismenya
bisa melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) biasanya pada
orang dewasa, TB dewasa juga dapat, karena infeksi baru.
VII. Diagnosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura,
atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti
disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan
sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus
pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB
paru primer terletak di kelanjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer.
Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman
BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000
kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan kedua, pengambilan sputum sulit dilakukan.
Pada anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga
diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui NGT dan harus dilakukan oleh
petugas berpengalaman. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan
mikroskopis adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan
dengan volume 3-5 ml. 3
Oleh karena berbagai alasan diatas, diagnosis TB anak bergantung pada
penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya sering kali tidak spesifik.
Kadang-kadang, TB anak ditemukan karena ditemukannya TB dewasa di
29
sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto
rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji
tuberkulin positif, dan foto paru mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan
bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB. 3
Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa mendiagnosis TB anak sulit
dilakukan karena gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan
penanggulangan TB anak oleh beberapa pakar. Kesepakatan ini dibuat untuk
memudahkan penanganan TB anak secara luas. Sekarang digunakan sistem
skoring yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Penilaian atau skoring dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 3
30
Pada tabel, dapat dilihat bahwa pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan
menunjang diagnosis. Demikian pula adanya kontak dengan orang dewasa BTA
positif dapat menjadi sumber penularan yang berbahaya karena berdasarkan
penelitian akan menularkan sekitar 65 % orang di sekitarnya. 3
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakan oleh dokter. Jika dijumpai
skrofuloderma, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang.
Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 harus ditatalaksana
sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Alur tatalaksana pasien TB anak dapat
dilihat di bawah ini.
31
VIII. Manifestasi Klinis
Oleh karena patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB
sangat bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan
adalah kuman TB (jumlah dan virulensi), pejamu (usia, kompetensi imun,
kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi) serta interaksi antara keduanya.
Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak
pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Permulaan tuberkulosis primer
biasanya sukar diketahui secara klinis karena penyakit mulai secara perlahan –
lahan. Kadang – kadang tuberkulosa ditemukan pada anak – anak tanpa keluhan
atau gejala – gejala tuberkulosis primer, salah satu gejala sistemik yang sering
terjadi adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar anatara 40 – 80 %
32
kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang
cukup lama. Manifestasi sistemik lainnya yang sering dijumpai adalah anoreksia,
BB tidak naik (turun, tetap atau naik namun tidak sesuai dengan grafik tumbuh),
malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait
dengan penyakit penyerta. Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak
ada manifestasi respiratorik yang menonjol. Gejala batuk kronik pada anak bukan
merupakan gejala utama. Akan tetapi, gejala ini dapat timbul apabila limfadenitis
regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik.
Selain itu, batuk berulang dapat terjadi karena anak dengan TB mengalami
penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah sekali mengalami infeksi respiratorik
akut (IRA) berulang. 1
IX. Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang
terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji tuberkulin sangat dibutuhkan.
Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan
diagnosis tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji Mantoux karena dosis
antigen tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di kontrol. Uji
tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui adanya
konvensi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5 tahun dengan uji tuberkulin
positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak menunjukkan
kelainan klinis dan radiologis. 1
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan
salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan
menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 – 6 jarum
berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1
mL yang mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan
(PPD) yang distabilkan dengan Tween 80.Sampai sekarang cara Mantoux masih
dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah
tuberkulin yang dimasukkan dapat diketahui banyaknya. 1
33
Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas :
1. Eritema karena vasodilatasi perifer
2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibodi
3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 – 72 jam. Setelah penyuntikan diukur
diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang – kadang penderita akan
mulai berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji, ini adalah hasil positif.
Faktor – factor yang terkait hospes, termasuk umur yang amat muda, malnutrisi,
immunosupresi karena penyakit atau obat – obat, infeksi virus, vaksin virus hidup,
dan tuberculosis yang berat, dapat menekan reaksi uji kulit pada anak yang
terinfeksi dengan M.tuberculosis.
Terapi kortikosteroid dapat menurunkan reaksi terhadap tuberkulin, dengan
pengaruh yang sangat bervariasi.
Interpretasi hasil test Mantoux :
1. Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif . Arti klinis adalah sedang atau pernah
terinfeksi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis.
2. Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan .Arti klinis adalah kesalahan teknik atau
memang ada infeksi dengan Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu
diulang dengan konsentrasi yang sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm atau
lebih berarti infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 – 9 mm
berarti cross reaction atau BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain
dari tubeculosis yang jelas maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali
infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
3. 3. Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif. Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis.
Reaksi positif palsu terhadap tuberkulin dapat disebabkan oleh sensitisasi silang
terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi silang ini biasanya selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun dan menghasilkan indurasi kurang dari 10
– 12 mm. Vaksinasi sebelumnya ( BCG ) juga dapat menimbulkan reaksi terhadap
uji kulit tuberkulin. Sekitar setengah dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak
34
pernah menimbulkan uji kulit tuberkulin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2
– 3 tahun kemudian pada penderita yang pada mulanya memiliki uji kulit positif. 1
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal pemeriksaan radiologis
memberikan beberapa keuntungan seperti tuberkulosis pada anak – anak dan
tuberkulosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologi dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. 1
Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:
1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.
2. Pembesaran kelenjar paratrakeal.
3. Penyebaran milier.
4. Penyebaran bronkogen.
5. Atelektasis.
6. Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang –
kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai (aktif) akan
didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih
normal. Laju Endap Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai turun kearah
normal lagi.
35
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan, tetapi kadang – kadang tidak mudah untuk
menemukan sputum terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak –
anak. Pada pemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena pada
umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas
laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti membutuhkan
biaya yang banyak.
Adapun bahan – bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah :
Bilasan lambung
Sekret bronkus
Sputum
Cairan pleura
Liquor cerebrospinalis
Cairan asites
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang nya ditemukan tiga
batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 ml sputum. 1
X. Penatalaksanaan
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah :
Obat TB diberikasn dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi dan profilaksis. Terapi
TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada
anak yang kontak TB (profilaksis primer ) atau anak yang terinfeksi TB tanpa
sakit TB (profilaksis sekunder). 3
36
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2
bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini
ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap
hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi
ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum
setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB anak
adalah paduan rifampisin, INH dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan
rifampisin, INH dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya diberikan
rifampisin dan INH. 3
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal (TB milier,
meningitis TB, TB tulang dan lain-lain) pada fase intensif diberikan minimal 4
macam obat (rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol atau streptomisin).
Sedangkan fase lanjutan diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. 3
37
Untuk beberapa kasus TB anak, selain OAT perlu diberikan juga steroid berupa
prednison dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Untuk efusi pleura
TB dan peritonitis TB tipe asites, prednison diberikan selama 2 minggu dosis
penuh, dilanjutkan dengan 2 minggu penurunan dosis bertahap (tappering off).
Untuk meningitis TB, prednison diberikan selama 4 minggu dosis penuh dan 4
minggu tappering off. 3
Kombinasi dosis tetap OAT (FDC)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket
kombipak dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg dan
pirazinamid (PZA) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk
38
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak, dalam program penanggulangan TB anak telah
dibuat obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap (fixed dose combination =
FDC). FDC ini dibuat denga komposisi rifampisin, INH, dan pirazinamid masing-
masing 75 mg/50 mg/150 mg untuk 2 bulan pertama, sedangkan untuk fase 4
bulan berikutnya terdiri dari rifampisin dan iNH masing-masing 75 mg dan 50
mg. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut. 3
39
Pemberian OAT dapat mengakibatkan terjadinya ikterus. Bila terjadi ikterus,
pasien harus dirujuk ke sarana kesehatan yang lebih lengkap, sementara itu OAT
dihentikan dulu.
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respons pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respons pengobatan dikatakn baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan
meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang dan batuk berkurang.
Apabila respons pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai
dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respons pengobatan kurang atau tidak baik
maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang
lebih lengkap. Sistem skor hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai
hasil pengobatan. Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain
seperti foto rontgen dada. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan. 3
DIARE
I. Definisi
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi
lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi
cair), dengan/tanpa darah dan/ atau lendir. Diare akut adalah diare yang terjadi
secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat.7
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari,
disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan
darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Kadang-kadang pada seorang
40
anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan
ini sudah dapat disebut diare8.
II. Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan
kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun8. Di dunia,
sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar
kejadian tersebut terjadi di negara berkembang7.
III. Cara Penularan dan Faktor Risiko
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal - oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung
tangan dengan dengan penderita atau barang - barang yang telah tercemar tinja
penderita atau tidak langsung melalui lalat8.
Faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain: tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4 - 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak
memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana
kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik8.
IV. Etiologi
Pada saat ini, telah dapat diidentifikasikan tidak kurang dari 25 jenis
mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi. Penyebab
infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri, dan
parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non
imflammatory dan inflammatory.
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi
enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh
parasit, perlekatan oleh dan /atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya
41
inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara
langsung atau memproduksi sitotoksin.
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan
diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-
ujung villus pada usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan berbagai tingkat
penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar pada lamina propria. Perubahan-
perubahan patologis yang diamati tidak berkolerasi dengan gejala - gejala klinis
dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare. Mukosa lambung tidak
terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”.
Virus menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus
halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel - sel epitel
usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang
belum matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak
dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan
makanan yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik
usus dan terjadi hipereristaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak
terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari
penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna7.
V. Manifestasi Klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala
lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik.
Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut, dan muntah7. Sedangkan
manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya.
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila
ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat
menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolis dan hipokalemia. Dehidrasi
merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan
hipovolemia, kolaps kardiovaskular, dan kematian bila tidak diobati dengan
tepat1. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi
42
isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut
derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, atau
dehidrasi berat.
Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen
antara lain: vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis,
meningitis, pneumonia, hepatitis, peritonitis, dan septik trombophlebitis. Gejela
neurologik dari infeksi usus bisa berupa paresthesia (akibat makan ikan, kerang,
monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot (C.botulinum) .
Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat
dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.
Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah
serta rektum menunjukkan terkenanya usus besar.
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin
disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas
seperti: enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan
Cryptpsporidium.
VI. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila
disertai muntah: volume dan frekuensinya9. Kencing: biasa, berkurang, jarang
atau tidak kencing dalam 6 - 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang
diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti:
batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama
anak diare: memberikan oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah
Sakit dan obat - obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya10.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda
- tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda
- tanda tambahan lainnya: ubun - ubun besar cekung atau tidak, mata: cekung atau
43
tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut, dan lidah kering atau
basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising
usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstrimitas
perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang
terjadi.
Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara:
objektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare.
Subjektif dengan menggunakan skor Maurice King:
Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan - Maurice King (1974) 7
Bagian tubuh yang
diperiksa
Nilai untuk gejala yang ditemukan
0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng,
apatis, ngantuk
Mengigau, koma atau
syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering dan sianosis
Denyut nadi/menit Kuat < 120 Sedang (120-140) Lemah > 140
Nilai 0 - 2 = tanpa / dengan dehidrasi ringan 3 – 6 = Sedang 7 – 12= Berat
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab - sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur urin,
dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang - kadang diperlukan pada diare akut: 7
44
Darah Darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur, dan
tes kepekaan terhadap antibiotika.
Urin Urin lengkap, kultur, dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
Tinja Makroskopik
Mikroskopik
Tinja: Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare
meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa
mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa, atau
disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal12.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang
menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan
mukosa atau parasit usus seperti: E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila
terdapatdarah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E.
histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC
terdapat garis - garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada
infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides13.
Tinja: Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan
informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan
mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang
menyerang mukosa kolon. Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan
adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella,
Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan
kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides.
VII. Terapi medikamentosa
45
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti:
antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetik, dan obat yang mempengaruhi mikroflora
usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak
diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak
direkomendasikan untuk anak dengan usia kurang dari 2 - 3 tahun. Secara umum
dikatakan bahwa obat - obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut.
Antibiotik
Antibiotik pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak
dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 - 20%) yang disebabkan
oleh bakteri patogen seperti V. Cholera, Shigella, Enterotoksigenik E. Coli,
Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
Antibiotik pada diare7
Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif
Kolera Tetrasiklin
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari
Erythromycin
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari
Shigella dysentery Ciprofloxacin
15 mg/kgBB
2x sehari selama 3 hari
Pivmecillinam
20 mg/kgBB
4x sehari selama 5 hari
Ceftriaxon
50 - 100 mg/kgBB
1x sehari IM selama 2 - 5
hari
Amoebiasis Metronidazole
10 mg/kgBB
3x sehari selama 5 hari atau 10 hari pada kasus berat
Giardiasis Metronidazole
46
5 mg/kgBB
3x sehari selama 5 hari
Obat antidiare
Obat - obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan
tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat - obat
ini diantaranya:
Adsorben (kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine)
Obat - obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya
untuk mengikat dan menginaktivasi toksin bakteri atau bahan lain yang
menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai kemampuan untuk melindungi
mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti keuntungan praktis dari
penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.
Antimotilitas (loperamide hydrochloride)
Obat - obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi
tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus
paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan
memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada
dosis normal. Tidak satupun dari obat - obatan ini boleh diberikan pada bayi dan
anak dengan diare.
Antiemetik
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral.
Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah
karena biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.
VIII. Komplikasi
Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa
diantaranya membutuhkan pengobatan khusus.
47
1. Gangguan Elektrolit
- Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium
secara perlahan - lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat
berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau
nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na < 130 mmol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi
berat dengan oedema.
- Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 - 1 ml/kgBB i.v pelan - pelan dalam 5 - 10
menit dengan monitor detak jantung.
- Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3,5 mEq/L, Hipokalemi dapat menyebabkan
kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal, dan aritmia jantung.
Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan
menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan
sesudah diare berhenti.
2. Demam
Demam sering terjadi pada infeksi Shigella disentriae dan rotavirus. Pada
umumnya demam akan timbul jika penyebab diare mengadakan invasi ke dalam sel
epitel usus. Demam juga dapat terjadi karena dehidrasi. Demam yang timbul akibat
dehidrasi pada umunya tidak tinggi dan akan menurun setelah mendapat hidrasi yang
cukup. Demam yang tinggi mungkin diikuti kejang demam. Pengobatan: kompres dan
antipiretika. Antibiotika jika ada infeksi.
48
3. Edema/overhidrasi
Terjadi bila penderita mendapat cairan terlalu banyak. Tanda dan gejala yang
tampak biasanya edema kelopak mata, kejang-kejang dapat terjadi bila ada edema
otak. Edema paru-paru dapat terjadi pada penderita dehidrasi berat yang diberi larutan
garam faali. Pengobatan dengan pemberian cairan intravena dan atau oral dihentikan,
kortikosteroid jika kejang.
4. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan bertambahnya asam atau hilangnya basa
cairan ekstraseluler. Sebagai kompensasi terjadi alkalosis respiratorik, yang ditandai
dengan pernafasan yang dalam dan cepat (kussmaul). Pemberian oralit yang cukup
mengadung bikarbonat atau sitrat dapat memperbaiki asidosis.
IX. Pencegahan
Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:
1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.
Kuman - kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal - oral.
Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara
penyebaran ini.
Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:
a. Pemberian ASI yang benar.
b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
c. Penggunaan air bersih yang cukup.
d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang
air besar dan sebelum makan.
e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota
keluarga.
f. Membuang tinja bayi yang benar.
2. Memperbaiki daya tahan tubuh penjamu (host).
49
Cara - cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan
dapat mengurangi risiko diare antara lain:
a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahun
b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberikan
makan dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak.
c. Imunisasi campak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI; 2008.p.162-227.
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Seyiati S, editors. Jakarta :
Interna Publishing; 2009. p. 2230-2.
3. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak.
Jakarta: Depkes-IDAI; 2008.p. 1-23.
4. Husein A,et al. Ilmu Kesehatan Anak. 7th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1997.p.573 – 761.
5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 15 th ed.
Jakarta : EGC ; 2000.p.1028–42.
6. Donald PR. Childhood tuberculosis. In : Madkour MM. tuberculosis. Berlin : Springer;
2004.p. 243-64.
7. Suraatmaja Sudaryat. Diare dalam Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta:
Sagung Seto. 2007:1-24
50
8. Juffrie M, Soenarto Sri, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS.. Diare akut
dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1, Edisi 1. Jakarta: Badan
penerbit UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. 2012:87-118
9. Pickering LK. Gastroenteritis in Nelson textbook of pediatrics 19th edition. United
Stated of America, Lippincot wiliams
10. Gaurino et al. European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition/European Society for Paediatric Infectious disease Evidenced Based
Guidelines for Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe.
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 46: S81-184.2008.
11. Diarrhea. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/diarrhea/DS00292/DSECTION=tests-and-
diagnosis. Accessed on January 7th, 2015.
12. Firmansyah A dkk. Modul pelatihan Tata laksana diare pada anak. Jakarta: Badan
Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia.2005.
13. Isolaun E. Probiotics : A role in the treatment of intestinal infection and
inflammation. Gut.2002,50 (Supple III):III:54-1159
51