ppok
DESCRIPTION
ilmu paruTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
ILMU FARMASI KEDOKTERAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut
PEMBIMBING :
Prof. dr. Mulyardjo, Sp. THT-KL
PENYUSUN :
Tista Artu Indra Kusuma (2010.04.0.0172)
Amanda Octabrina Permata Sari (2010.04.0.0173)
Mardiyyah (2010.04.0.0174)
David Tanujaya Kurniawan (2010.04.0.0175)
Erni Mariana Tjahyadi (2010.04.0.0179)
Ririn Ramli (2010.04.0.0180)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
S U R A B A Y A
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB 1 KASUS ......................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................2
DAFTAR PUSTAKA................................................................................15
BAB 1
KASUS
Problem
Pak Supardjo, tukang servis AC usia 40 tahun adalah seorang pekerja
keras yang tidak kenal lelah. Dia sering bekerja dari pagi sampai sore hari.
Disamping pekerja keras dia juga perokok berat sehingga dalam sehari dapat
menghabiskan rata- rata 25 batang rokok kretek.
Enam bulan terakhir ini dia sering merasa sesak nafas terutama bila
berjalan cepat atau menganggkat beban yang berat. Bila malam sering
mengalami batuk dengan banyak dahak. Sebulan yang lalu dia berobat ke
dokter umum diberi obat batuk dan dinasehati untuk mengurangi rokok.
Sejak 5 hari yang lalu badannya mulai demam, batuk bertambah berat,
dahak mengental, bertambah sesak dan kembali berobat ke dokter
Pada pemeriksaan didapatkan penderita tampak sakit, kurus, napas
26/ menit, nadi 88/ menit, tensi 160/90, suhu badan 38,5 derajat Celcius.
Pada auskultasi terdengar wheezing bercampur ronkhi pada paru kanan dan
kiri. Dokter membuat diagnosis PPOK dengan eksaserbasi akut.
Tugas:
1. Uraikan secarra singkat tentang pathogenesis dan patofisiologi
penyakit Pak Supardjo!
2. Obat apakah yang perlu diberikan kepadanya? Jelaskan alasannya!
3. Uraikan farmakologi obat yang diberikan!
4. Bagaimana edukasi terhadap penderita? Jelaskan!
BAB 2
PEMBAHASAN
1. PATOGENESIS PPOK
Inflamasi saluran nafas pada pasien PPOK merupakan respon
inflamasi akibat dari iritasi kronik salah satunya dari asap rokok. Pada pasien
PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respons inflamasi
yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh adanya stress
oksidatif.Sel inflamasi yang terlibat pada PPOK antara lain adalah neutrophil,
makrofag, danlimfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim
paru-paru.
a. Sel Inflamasi pada PPOK
Neutrofil : meningkat dalam sputum perokok. Peningkatan neutrophil
pada PPOK sesuai dengan beratnya penyakit.Neutrofil ditemukan sedikit
pada jaringan.Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi dan
pelepasan protease.
Makrofag : banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim paru dan
cairan bronko alveolar. Berasal dari monosit yang mengalami diferensiasi
di jaringan paru.Makrofag meningkatkan mediator inflamasi dan protease
padapasien PPOK sebagai respon terhadap asap rokok.
Limfosit T :sel CD4 dan CD8 meningkat pada dinding saluran napas dan
parenkim paru, dengan peningkatan CD8 lebih besar dari CD4.
Peningkatan sel T CD8 dan sel Th1 yang mensekresikan interferon dan
mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel
sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan
alveolar.
Limfosit B: meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel limfoid
sebagai respons terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran napas.
Eosinofil :meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas selama
eksaserbasi.
b. Mediator Inflamasi pada PPOK
Faktor kemotaktik:
Lipid mediator: misalnya, leukotrin B4 menarik neutrophil dan limfosit
T.
Kemokin :misalnya, interleukin-8 (IL8) menarik neutrophil dan monosit.
Sitokin Pro Inflamasi:
Misalnya TNF Alpha, IL-1 beta dan IL-6 memperkuat proses inflamasi
dan berkontribusi terhadap efek sistemik PPOK.
c. Stress Oksidatif
Stress oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam
PPOK. Biomarker stress oksidatif (peroksida hydrogen) meningkat dalam
sputum, hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK.
Stress oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang
dihasilkan oleh asap rokok dan partikel lainnya yang dihirup dan
dilepaskan dari sel-sel inflamasi (makrofag dan neutrophil). Adanya
stress oksidatif memiliki beberapa hal yang merugikan pada paru-
paru,yaitu aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiprotease, dan stimulasi
hipersekresi mucus.
2. PATOFISIOLOGI PPOK
Perubahan struktur paru pada PPOK ditemukan pada saluran napas
proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru.Perubahan
tersebut akibat peningkatan sel inflamasi di berbagai bagian paru yang
menimbulkan kerusakan dan perubahan structural paru yang diantaranya
adalah pembesaran kelenjar submukosa, metaplasia sel epitel
skuamosa,dilatasi dan kerusakan pada dinding bronkiolus dan alveolus.
Sedangkan pada pembuluh darah,menyebabkan disfungsi sel endotel dan
penebalan otot polos.
Asap rokok
↓
Alveolar makrofag
↓
Neutrofil
↓
Protease inhibitor (-) Protease
Destruksi dinding alveolar Hipersekresi mucus
3. PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut merupakan peningkatan lebih lanjut respon inflamasi
pada PPOK yang ditandai dengan peningkatan hiperinflasi dan
terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi, sehingga
sesak napas dirasakan berlebihan. Keadaan ini dapat dipicu oleh infeksi
bakteri atau virus ataupun polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang
mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum
diketahui.Beberapa studi menemukan bahwa ada keterkaitan peningkatan
konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, IL-8 serta peningkatan dari
stress oksidatif.
4. Obat-obatan yang Diberikan Pada PPOK Eksaserbasi Akut
a. Bronkodilator
Pada PPOK, terjadi obstruksi parsial jalan napas reversibel karena
reaksi inflamasi. Obstruksi ini dapat diatasi dengan pemberian
bronkodilator, utamanya adalah β agonis dan antikolinergik (Pauwels et
al, 2001). Pada beberapa percobaan, kedua bronkodilator ini secara
fisiologis bekerja pada volume ekspirasi paksa pada 1 detik, kualitas
hidup atau gejala. Antikolinergik menunjukkan efikasi yang kurang lebih
sama atau bahkan lebih baik dibanding β agonis pada perbaikan
parameter fungsi paru (Rennard et al,1966).
1. β2 agonis
-Salbutamol (Albuterol)
Tersedia dalam bentuk inhaler dosis terukur dan tablet.
Dosis inhaler : 2-4 semprot; 3-4x/hari (100 µgr/semprot)
Dosis tablet : 2-4 mg
Onset : 15-30 menit
Durasi : 3-4 jam
Mekanisme kerja : Meningkatkan laju sintesis cAMP melalui
adenilil siklase (AC) sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi
Efek samping : tremor otot rangka, gelisah, kelemahan, aritmia
jantung, hipoksemia pada penggunaan akut, dan takifilaksis
atau toleransi pada pemberian berulang
2. Antikolinergik
-Ipratropium bromida
Tersedia dalam bentuk inhaler dosis terukur.
Dosis inhaler: 2-4 semprot; 3-4x/hari (20 µgr)
Durasi : 6-8 jam
Mekanisme kerja : Menghambat efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik secara kompetitif sehingga kontraksi otot polos
saluran napas dan sekresi mukus dihambat
3. Methylxanthine
-Aminophylline
Tersedia dalam bentuk tablet
Dosis tablet : 150 mg; 3-4x/hari
Dosis tablet lepas lambat : 400-800 mg/hari
Durasi : 12 jam atau lebih
Mekanisme kerja : Menurunkan laju degradasi cAMP dengan
cara menghambat enzim fosfodiesterase (khususnya PDE4)
sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. Selain itu, juga
menghambat kerja adenosin sehingga kontraksi otot polos
saluran napas dan pelepasan histamin dari sel mast tidak
terjadi.
Efek samping : kegelisahan dan tremor pada dosis tinggi,
takikardi ringan karena efek kronotropik dan inotropik positif,
anoreksia, mual, muntah, aritmia
b. Antibiotik
Agen infeksi dalam PPOK eksaserbasi dapat berupa virus atau
bakteri, penggunaan antibiotik dalam eksaserbasi masih kontroversial.
Ada bukti yang mendukung penggunaan antibiotik pada eksaserbasi
ketika pasien memiliki tanda-tanda klinis dari infeksi bakteri, misalnya
peningkatan sputum purulence. Studi placebo-controlled menunjukkan
bahwa antibiotik mengurangi risiko kematian sebesar 77%, kegagalan
pengobatan sebesar 53% dan sputum purulen sebesar 44%. Ulasan ini
mendukung antibiotik hanya digunakan pada pasien yang menderita
PPOK eksaserbasi sedang atau berat dengan peningkatan batuk dan
dahak purulen. Pada pasien rawat jalan, kultur sputum tidak layak
digunakan karena membutuhkan waktu terlalu lama (minimal 2 hari) dan
sering tidak memberikan hasil yang dapat diandalkan karena alasan
teknis, yaitu lebih dari 4 jam berlalu antara dahak sputum dan analisis di
laboratorium mikrobiologi. Prokalsitonin III, penanda yang spesifik untuk
infeksi bakteri, digunakan untuk pemberian antibiotik, namun tes ini
mahal dan tidak banyak digunakan.
Sebuah penelitian pada pasien PPOK dengan eksaserbasi yang
membutuhkan ventilasi mekanis (invasif atau non-invasif) menunjukkan
bahwa tidak memberikan antibiotik bisa menyebabkan peningkatan
mortalitas dan kejadian yang lebih besar yaitu pneumoni nosokomial
sekunder(Gold,2014).
Singkatnya, antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan PPOK
eksaserbasi yang memiliki tiga gejala cardinal yaitu peningkatan
dyspnea, Volume sputum, dan dahak purulence (Evidence B); memiliki
dua gejala kardinal, peningkatan dahak purulen adalah salah satu dari
dua gejala (Evidence C); atau memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau
non-invasif) (Evidence B). Lamanya terapi antibiotik yang dianjurkan
biasanya 5-10 hari. (Gold,2014)
Pilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi lokal bakteri.
Biasanya terapi empiris awal adalah aminopenicillin dengan atau tanpa
clavulanic acid, macrolide, atau tetracyclin. Cara pemberian (oral atau
intravena) tergantung pada kemampuan dari pasien untuk makan dan
farmakokinetik antibiotik, meskipun sebaiknya antibiotik diberikan secara
oral. perbaikan dalam dypspnea dan dahak purulen menunjukkan
keberhasilan klinis. (Gold, 2014)
1. Tetracycli n
Asal : klortetracyclin yang diisolasi dari Steptomyces aureofaciens
Sifat : sukar larut dalam air tapi bentuk garam Na dan garam HCl
mudah larut dalam air
Khasiat : antimikroba spektrum luas dan bakteriostatik
Mekanisme : menghambat sintesa protein dengan mengganggu
ikatan Aminoasil t-RNA dengan ribosom mRNA komplex.
Absorpsi : saluran cerna
Ekskresi : urine dan empedu
Interaksi obat :
o Tidak boleh diberikan bersama susu
o Mengganggu sifat penicillin
o Nefrotiksik meningkat apabila diberikan bersama metoksifluran
o Bersama cimethidine menurunkan absorpsi obat ini
Indikasi :
o Infeksi Mycoplasma pneumoniae , klamidia, riketsia
o Sinusitis
o Bronkitis
o Kolera
o Pengobatan acne
o Infeksi saluran kemih
o Demam berulang-ulang
o Leptospirosis
Kontra indikasi :
o Ibu hamil dan menyusui
o Gangguan fungsi ginjal
Dosis :
o Dewasa 250-500 mg/x (2-4x/hari per oral)
o Anak 20-40 mg/kg BB/hr (dibagi 2-3 dosis)
o Dosis suntikan intravena 0,1-0,5g setiap 6-12 jam
Efek samping :
o Iritasi saluran cerna
o Anoreksia
o Mual muntah
o Diare
o Hepatotoksik
o Warna coklat gigi (Katzung,2007)
2. Eritromisin (Makrolid)
Eritomisin adalah suatu kelompok yang berhubungan dengan erat
dengan senyawa makrolid yang dicirikan dengan cincin makrosiklik
(biasanya mengandung 14-16 atom) dimana gula melekat.
Sifat : sukar larut dalam air (0,1%)tetapi mudah larut dalam pelarut
organik
Khasiat : efektif terhadap organisme gram positif, terutama
pneumokokus, streptokokus, stafilokokus dan korinobakteri. Aktivitas
antibakteri eritromisin adalah bakteriostatik dan bakterisid untuk
organisme yang peka.
Farmakokinetik : eritromisin basa dirusak oleh asam lambung dan
harus diberikan dalam bentuk enteric coating. Bentuk stearat dan
ester agak tahan asam dan relatif diabsorpsi dengan baik. Obat yang
diabsorpsi didistribusikan secara luas kecuali otak dan cairan
serebrospinal. Obat ini dapat menembus plasenta dan mencapai
janin.
Ekskresi : empedu dan urin
Indikasi :
o Difteri
o Sepsis karena korinebakter
o Infeksi klamidia pada saluran nafas, neonatus, mata, genitalia
o Pneumonia yang disebabkan mycoplasma dan Legionella
Dosis :
o Dewasa 200-500mg/x per oral
o Anak 30-50mg/kg/hr
o Dosis suntik intravena 0,5g tiap 6 jam untuk dewasa, dan 20-
40mg/kg/hr untuk anak. (Katzung,2007)
Efek samping :
o Anoreksia
o Mual muntah
o Diare
o toksisisitas
c. Glukokortikoid
Pengobatan di rumah
Pemakaian glukokortikoid sistemik menguntungkan dalam manajemen
dari eksaserbasi PPOK. Glukokortikoid mempercepat pemulihan,
meningkatkan fungsi paru (FEV 1) dan hipoksemia (PaO2), dan juga
menurunkan resiko kambuh, dan kegagalan terapi.
Pemakaian glukokortikoid sebaiknya bersamaan dengan bronkodilator
jika FEV1 predicted pasien <50%. Dosis glukokortikoid yang
direkomendasikan 30-40 mg ialah prednisolone 30-40 mg/ hari
selama 7 -10 hari. Budesonide nebulizer dapat menjadi alternatif
sebagai glukokortikoid oral pada terapi eksaserbasi non asidosis dan
jika berhubungan dengan penurunan signifikan dari komplikasi seperti
seperti hiperglikemia.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja Glukokortikoid intraseluler kemudian bermigrasi ke
nukleus, dan kemudian berinteraksi dengan DNA untuk memodifikasi
transkripsi gen, termasuk sintesis dari beberapa protein dan
menghambat sintesis protein lainnya.
1. Metabolik:
Karbohidrat: menurunkan uptake dan penggunaan glukosa,
meningkatkan glukoneogenesis, sehingga menyebabkan
hiperglikemia
Protein: meningkatkan katabolisme protein, menurunkan
anabolisme protein.
Lemak: efek permitif pada hormon lipolitik dan men-redistribusi
lemak.
2. Anti inflamasi dan imunosupresif
Inhibisi transkripsi gen-gen dari cyclo-oxygenase-2, sitokin dan
interleukin, cell adhesion molecules.
Meningkatkan sintesis dan pelepasan dari annexin-1, yang
merupakan anti inflamasi poten pada sel.
Pada inflamasi akut: menurunkan influk dan aktivitas leukosit
Pada inflamasi kronik: menurunkan aktivitas dari sel MN,
menurunkan angiogenesis dan mengecilkan fibrosis
Pada jaringan limfoid: menurunkan ekspansi klonal dari sel B dan
sel T, dan menurunkan kerja dari sel T pensekresi sitokin.
Menurunkan komponen komplemen di darah
Menurunkan generasi eicosanoid dan IgG
3. Sistem Kardiovaskular
Mengurangi vasodilatasi dan eksudasi cairan
4. Muskuloskeletal
Menurunkan aktivitas osteoblas dan meningkatkan aktivitas
osteoklas.
Farmakokinetik
Glukokortikoid di administrasikan dalam berbagai cara, di mana
sebagian besar aktif saat diberikan secara oral, dan semuanya dapat
diberikan secara sistemik baik intra vena maupun intra muskular.
Glukokortikoid sebagian besar juga dapat diberikan secara topikal,
injeksi intra artikular, inhalasi ke sistem respirasi, dengan tetesan ke
mata atau hidung, maupun sebagai krim atau salep di kulit.
Administrasi secara topikal tidak memberikan toksisitas sistemik yang
signifikan kecuali diberikan dalam jumlah yang besar.
Glukokortikoid endogen di transpor sebagai ikatan Corticosteroid
Binding Globulin (CBG) dan dengan albumin, dimana albumin memiliki
afinitas yang lebih rendah tetapi mengikat steroid baik yang natural
maupun sintetik. Kedua ikatan ini secara biologis masih tidak aktif.
Sebagai molekul lipofilik yang kecil, glukokortikoid masuk ke sel target
dengan difusi sederhana. Hidrokortisone mempunyai waktu paruh 90
menit, meskipun mempunyai efek biologis 2-8 jam.
Indikasi Klinis
1. Terapi Pengganti (Replacement Therapy) untuk pasien dengan
gagal adrenal (Addison’s disease)
2. Anti inflamasi / terapi imunosupresif
Pada asma
Secara topikal pada kondisi kulit, mata, telinga atau hidung yang
mengalami inflamasi ( contoh: ekzema, konjungtivitis alergi,
rhinitis)
Keadaan hipersensitivitas
Penyakit lain dengan gangguan autoimun atau inflamasi
( contohnya Rheumatoid Arthritis, Inflamatory Bowel Disease,
Anemia Hemolitik, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura , dll).
3. Pada penyakit keganasan
Dikombinasikan dengan obat-obatan sitotoksisk pada pengobatan
keganasan spesifik (misalnya Hodgkin Disease, Acue Lymphocytic
Leukimia)
Untuk menurunkan edema serebral pada pasien dengan tumor
otak primer atau metastatik.
Toksisitas Glukokortikoid
1. Toksisitas akibat penghentian terapi secara tiba-tiba
Komplikasi yang paling parah penghentian steroid ialah terjadinya
insufisiensi adrenal akut, dimana penghentian terlalu cepat
kortikosteroid setelah terapi berkepanjangan telah menekan HPA
axis. sindrom peghentian terapi glukokortikoid terdiri dari demam,
mialgia, arthralgia, dan malaisw. Pseudotumor cerebri, sindrom
klinis yang mencakup peningkatan tekanan intrakranial dengan
papilledema, adalah suatu kondisi langka yang kadang-kadang
dikaitkan dengan pengurangan atau penghentian tiba-tiba dari terapi
kortikosteroid.
2. Penggunaan terus menerus glukokortikoid dengan dosis yang
besar
Selain konsekuensi yang dihasilkan dari penindasan sumbu HPA,
ada sejumlah komplikasi lain yang dihasilkan dari terapi
berkepanjangan dengan kortikosteroid. Ini termasuk kelainan cairan
dan elektrolit, hipertensi, hiperglikemia, peningkatan kerentanan
terhadap infeksi, osteoporosis, miopati, gangguan perilaku, katarak,
penangkapan pertumbuhan, dan habitus karakteristik overdosis
steroid, termasuk redistribusi lemak, striae, dan ekimosis.
Contoh resep :
dr.Pompi
NIP. 2010.04
Jl. Kemenangan No.1 Surabaya
Surabaya, 24 Maret 2015
R/ Salbutamol tab 2 mg No.XXI
S 3 dd tab I
R/ Erythromicine tab 500 mg No.XIV
S 2 dd tab I
R/ Prednisolone tab 5 mg No.XXI
S 3 dd tab I
Pro : Tn.Supardjo
Umur : 40 tahun
5. Edukasi
Edukasi merupakan hal yang penting dalam mengelola penyakit PPOK
yang stabil dalam jangka panjang. PPOK merupakan suatu penyakit
menahun yang ireversibel dan progresif, sehingga inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktivitas danmencegah kecepatan penurunan
fungsi paru.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit serta pengobatannya
2. Menjalani pengobatan secara maksimal
3. Melakukan aktivitas secara optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak diagnosis ditegakkan dan terus-
menerus secara berulang pada setiap kunjungan. Edukasi tidak hanya
diberikan kepadapenderita saja, tetapi keluarga juga perlu terlibat. Edukasi
dapat diberikan dipoliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat
ataupun di ICU dan di rumah. Secaraintensif edukasi diberikan di klinik
rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktuyang khusus dan
memerlukan alat peraga.
Edukasi yang tepat diharapkan mampu menurunkan tingkat
kecemasan pasien PPOK, serta memberikan semangat hidup meskipun
disertai dengan keterbatasanaktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup
merupakan salah satu cara untuk meningkatkankualitas hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat
berat penyakit, tingkatpendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi
ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat, manfaat,serta efek sampingnya
3. Cara mencegahmemburuknya penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
- Disampaikan pertama kali kepada penderita setelah diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaktu tertentu atau bila
perlu
saja)
- Dosis obat yang tepat beserta efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari faktor pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah
diterima, langsung ke pokokpermasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Tabel 1.1 Derajat penyakit PPOK (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
Pemberian edukasi sebaiknya diberikanberulang dengan bahan edukasi yang
tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasimerupakan hal
penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOKmerupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2003).
Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit :
DAFTAR PUSTAKA
Antariksa et al, 2011, Penyakit Paru Obstruktif Kronik : Diagnosis dan
Penatalaksanaan, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2007, MCR Vision
Brunton, et al., 2006. Goodman and Gilman : The pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th edition, The McGraw-Hill Companies Inc.
Katzung, BG 2007, Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 10, The McGraw-Hill
Companies Inc.
Pauwels RA, Buist AS, Calverley PM, et al. Global strategy for the diagnosis,
management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease.
NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
Workshop summary. Am J Respir Crit Care Med. 2001;163:1256–76.
Rang and Dales, Pharmacology, sixth edition. Churchill Livingstone.
Rennard SI, Serby CW, Ghafouri M, et al. Extended therapy with ipratropium
is associated with improved lung function in patients with COPD. A
retrospective analysis of data from seven clinical trials. Chest. 1996;110:62–
70.
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf