ppok

27
PRESENTASI KASUS ILMU FARMASI KEDOKTERAN Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut PEMBIMBING : Prof. dr. Mulyardjo, Sp. THT-KL PENYUSUN : Tista Artu Indra Kusuma (2010.04.0.0172) Amanda Octabrina Permata Sari (2010.04.0.0173) Mardiyyah (2010.04.0.0174) David Tanujaya Kurniawan (2010.04.0.0175) Erni Mariana Tjahyadi (2010.04.0.0179) Ririn Ramli (2010.04.0.0180) FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: diyahwahab

Post on 05-Jan-2016

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ilmu paru

TRANSCRIPT

Page 1: PPOK

PRESENTASI KASUS

ILMU FARMASI KEDOKTERAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut

PEMBIMBING :

Prof. dr. Mulyardjo, Sp. THT-KL

PENYUSUN :

Tista Artu Indra Kusuma (2010.04.0.0172)

Amanda Octabrina Permata Sari (2010.04.0.0173)

Mardiyyah (2010.04.0.0174)

David Tanujaya Kurniawan (2010.04.0.0175)

Erni Mariana Tjahyadi (2010.04.0.0179)

Ririn Ramli (2010.04.0.0180)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

S U R A B A Y A

2015

Page 2: PPOK

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB 1 KASUS ......................................................................................1

BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................2

DAFTAR PUSTAKA................................................................................15

Page 3: PPOK

BAB 1

KASUS

Problem

Pak Supardjo, tukang servis AC usia 40 tahun adalah seorang pekerja

keras yang tidak kenal lelah. Dia sering bekerja dari pagi sampai sore hari.

Disamping pekerja keras dia juga perokok berat sehingga dalam sehari dapat

menghabiskan rata- rata 25 batang rokok kretek.

Enam bulan terakhir ini dia sering merasa sesak nafas terutama bila

berjalan cepat atau menganggkat beban yang berat. Bila malam sering

mengalami batuk dengan banyak dahak. Sebulan yang lalu dia berobat ke

dokter umum diberi obat batuk dan dinasehati untuk mengurangi rokok.

Sejak 5 hari yang lalu badannya mulai demam, batuk bertambah berat,

dahak mengental, bertambah sesak dan kembali berobat ke dokter

Pada pemeriksaan didapatkan penderita tampak sakit, kurus, napas

26/ menit, nadi 88/ menit, tensi 160/90, suhu badan 38,5 derajat Celcius.

Pada auskultasi terdengar wheezing bercampur ronkhi pada paru kanan dan

kiri. Dokter membuat diagnosis PPOK dengan eksaserbasi akut.

Tugas:

1. Uraikan secarra singkat tentang pathogenesis dan patofisiologi

penyakit Pak Supardjo!

2. Obat apakah yang perlu diberikan kepadanya? Jelaskan alasannya!

3. Uraikan farmakologi obat yang diberikan!

4. Bagaimana edukasi terhadap penderita? Jelaskan!

Page 4: PPOK

BAB 2

PEMBAHASAN

1. PATOGENESIS PPOK

Inflamasi saluran nafas pada pasien PPOK merupakan respon

inflamasi akibat dari iritasi kronik salah satunya dari asap rokok. Pada pasien

PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respons inflamasi

yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh adanya stress

oksidatif.Sel inflamasi yang terlibat pada PPOK antara lain adalah neutrophil,

makrofag, danlimfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan

berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim

paru-paru.

a. Sel Inflamasi pada PPOK

Neutrofil : meningkat dalam sputum perokok. Peningkatan neutrophil

pada PPOK sesuai dengan beratnya penyakit.Neutrofil ditemukan sedikit

pada jaringan.Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi dan

pelepasan protease.

Makrofag : banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim paru dan

cairan bronko alveolar. Berasal dari monosit yang mengalami diferensiasi

di jaringan paru.Makrofag meningkatkan mediator inflamasi dan protease

padapasien PPOK sebagai respon terhadap asap rokok.

Limfosit T :sel CD4 dan CD8 meningkat pada dinding saluran napas dan

parenkim paru, dengan peningkatan CD8 lebih besar dari CD4.

Peningkatan sel T CD8 dan sel Th1 yang mensekresikan interferon dan

mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel

sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan

alveolar.

Limfosit B: meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel limfoid

sebagai respons terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran napas.

Page 5: PPOK

Eosinofil :meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas selama

eksaserbasi.

b. Mediator Inflamasi pada PPOK

Faktor kemotaktik:

Lipid mediator: misalnya, leukotrin B4 menarik neutrophil dan limfosit

T.

Kemokin :misalnya, interleukin-8 (IL8) menarik neutrophil dan monosit.

Sitokin Pro Inflamasi:

Misalnya TNF Alpha, IL-1 beta dan IL-6 memperkuat proses inflamasi

dan berkontribusi terhadap efek sistemik PPOK.

c. Stress Oksidatif

Stress oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam

PPOK. Biomarker stress oksidatif (peroksida hydrogen) meningkat dalam

sputum, hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK.

Stress oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang

dihasilkan oleh asap rokok dan partikel lainnya yang dihirup dan

dilepaskan dari sel-sel inflamasi (makrofag dan neutrophil). Adanya

stress oksidatif memiliki beberapa hal yang merugikan pada paru-

paru,yaitu aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiprotease, dan stimulasi

hipersekresi mucus.

2. PATOFISIOLOGI PPOK

Perubahan struktur paru pada PPOK ditemukan pada saluran napas

proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru.Perubahan

tersebut akibat peningkatan sel inflamasi di berbagai bagian paru yang

menimbulkan kerusakan dan perubahan structural paru yang diantaranya

adalah pembesaran kelenjar submukosa, metaplasia sel epitel

skuamosa,dilatasi dan kerusakan pada dinding bronkiolus dan alveolus.

Page 6: PPOK

Sedangkan pada pembuluh darah,menyebabkan disfungsi sel endotel dan

penebalan otot polos.

Asap rokok

Alveolar makrofag

Neutrofil

Protease inhibitor (-) Protease

Destruksi dinding alveolar Hipersekresi mucus

3. PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut merupakan peningkatan lebih lanjut respon inflamasi

pada PPOK yang ditandai dengan peningkatan hiperinflasi dan

terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi, sehingga

sesak napas dirasakan berlebihan. Keadaan ini dapat dipicu oleh infeksi

bakteri atau virus ataupun polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang

mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum

diketahui.Beberapa studi menemukan bahwa ada keterkaitan peningkatan

konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, IL-8 serta peningkatan dari

stress oksidatif.

4. Obat-obatan yang Diberikan Pada PPOK Eksaserbasi Akut

a. Bronkodilator

Pada PPOK, terjadi obstruksi parsial jalan napas reversibel karena

reaksi inflamasi. Obstruksi ini dapat diatasi dengan pemberian

bronkodilator, utamanya adalah β agonis dan antikolinergik (Pauwels et

al, 2001). Pada beberapa percobaan, kedua bronkodilator ini secara

Page 7: PPOK

fisiologis bekerja pada volume ekspirasi paksa pada 1 detik, kualitas

hidup atau gejala. Antikolinergik menunjukkan efikasi yang kurang lebih

sama atau bahkan lebih baik dibanding β agonis pada perbaikan

parameter fungsi paru (Rennard et al,1966).

1. β2 agonis

-Salbutamol (Albuterol)

Tersedia dalam bentuk inhaler dosis terukur dan tablet.

Dosis inhaler : 2-4 semprot; 3-4x/hari (100 µgr/semprot)

Dosis tablet : 2-4 mg

Onset : 15-30 menit

Durasi : 3-4 jam

Mekanisme kerja : Meningkatkan laju sintesis cAMP melalui

adenilil siklase (AC) sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi

Efek samping : tremor otot rangka, gelisah, kelemahan, aritmia

jantung, hipoksemia pada penggunaan akut, dan takifilaksis

atau toleransi pada pemberian berulang

2. Antikolinergik

-Ipratropium bromida

Tersedia dalam bentuk inhaler dosis terukur.

Dosis inhaler: 2-4 semprot; 3-4x/hari (20 µgr)

Durasi : 6-8 jam

Mekanisme kerja : Menghambat efek asetilkolin pada reseptor

muskarinik secara kompetitif sehingga kontraksi otot polos

saluran napas dan sekresi mukus dihambat

3. Methylxanthine

-Aminophylline

Tersedia dalam bentuk tablet

Dosis tablet : 150 mg; 3-4x/hari

Dosis tablet lepas lambat : 400-800 mg/hari

Page 8: PPOK

Durasi : 12 jam atau lebih

Mekanisme kerja : Menurunkan laju degradasi cAMP dengan

cara menghambat enzim fosfodiesterase (khususnya PDE4)

sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. Selain itu, juga

menghambat kerja adenosin sehingga kontraksi otot polos

saluran napas dan pelepasan histamin dari sel mast tidak

terjadi.

Efek samping : kegelisahan dan tremor pada dosis tinggi,

takikardi ringan karena efek kronotropik dan inotropik positif,

anoreksia, mual, muntah, aritmia

b. Antibiotik

Agen infeksi dalam PPOK eksaserbasi dapat berupa virus atau

bakteri, penggunaan antibiotik dalam eksaserbasi masih kontroversial.

Ada bukti yang mendukung penggunaan antibiotik pada eksaserbasi

ketika pasien memiliki tanda-tanda klinis dari infeksi bakteri, misalnya

peningkatan sputum purulence. Studi placebo-controlled menunjukkan

bahwa antibiotik mengurangi risiko kematian sebesar 77%, kegagalan

pengobatan sebesar 53% dan sputum purulen sebesar 44%. Ulasan ini

mendukung antibiotik hanya digunakan pada pasien yang menderita

PPOK eksaserbasi sedang atau berat dengan peningkatan batuk dan

dahak purulen. Pada pasien rawat jalan, kultur sputum tidak layak

digunakan karena membutuhkan waktu terlalu lama (minimal 2 hari) dan

sering tidak memberikan hasil yang dapat diandalkan karena alasan

teknis, yaitu lebih dari 4 jam berlalu antara dahak sputum dan analisis di

laboratorium mikrobiologi. Prokalsitonin III, penanda yang spesifik untuk

infeksi bakteri, digunakan untuk pemberian antibiotik, namun tes ini

mahal dan tidak banyak digunakan.

Sebuah penelitian pada pasien PPOK dengan eksaserbasi yang

membutuhkan ventilasi mekanis (invasif atau non-invasif) menunjukkan

Page 9: PPOK

bahwa tidak memberikan antibiotik bisa menyebabkan peningkatan

mortalitas dan kejadian yang lebih besar yaitu pneumoni nosokomial

sekunder(Gold,2014).

Singkatnya, antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan PPOK

eksaserbasi yang memiliki tiga gejala cardinal yaitu peningkatan

dyspnea, Volume sputum, dan dahak purulence (Evidence B); memiliki

dua gejala kardinal, peningkatan dahak purulen adalah salah satu dari

dua gejala (Evidence C); atau memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau

non-invasif) (Evidence B). Lamanya terapi antibiotik yang dianjurkan

biasanya 5-10 hari. (Gold,2014)

Pilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi lokal bakteri.

Biasanya terapi empiris awal adalah aminopenicillin dengan atau tanpa

clavulanic acid, macrolide, atau tetracyclin. Cara pemberian (oral atau

intravena) tergantung pada kemampuan dari pasien untuk makan dan

farmakokinetik antibiotik, meskipun sebaiknya antibiotik diberikan secara

oral. perbaikan dalam dypspnea dan dahak purulen menunjukkan

keberhasilan klinis. (Gold, 2014)

1. Tetracycli n

Asal : klortetracyclin yang diisolasi dari Steptomyces aureofaciens

Sifat : sukar larut dalam air tapi bentuk garam Na dan garam HCl

mudah larut dalam air

Khasiat : antimikroba spektrum luas dan bakteriostatik

Mekanisme : menghambat sintesa protein dengan mengganggu

ikatan Aminoasil t-RNA dengan ribosom mRNA komplex.

Absorpsi : saluran cerna

Ekskresi : urine dan empedu

Interaksi obat :

o Tidak boleh diberikan bersama susu

o Mengganggu sifat penicillin

o Nefrotiksik meningkat apabila diberikan bersama metoksifluran

Page 10: PPOK

o Bersama cimethidine menurunkan absorpsi obat ini

Indikasi :

o Infeksi Mycoplasma pneumoniae , klamidia, riketsia

o Sinusitis

o Bronkitis

o Kolera

o Pengobatan acne

o Infeksi saluran kemih

o Demam berulang-ulang

o Leptospirosis

Kontra indikasi :

o Ibu hamil dan menyusui

o Gangguan fungsi ginjal

Dosis :

o Dewasa 250-500 mg/x (2-4x/hari per oral)

o Anak 20-40 mg/kg BB/hr (dibagi 2-3 dosis)

o Dosis suntikan intravena 0,1-0,5g setiap 6-12 jam

Efek samping :

o Iritasi saluran cerna

o Anoreksia

o Mual muntah

o Diare

o Hepatotoksik

o Warna coklat gigi (Katzung,2007)

2. Eritromisin (Makrolid)

Eritomisin adalah suatu kelompok yang berhubungan dengan erat

dengan senyawa makrolid yang dicirikan dengan cincin makrosiklik

(biasanya mengandung 14-16 atom) dimana gula melekat.

Page 11: PPOK

Sifat : sukar larut dalam air (0,1%)tetapi mudah larut dalam pelarut

organik

Khasiat : efektif terhadap organisme gram positif, terutama

pneumokokus, streptokokus, stafilokokus dan korinobakteri. Aktivitas

antibakteri eritromisin adalah bakteriostatik dan bakterisid untuk

organisme yang peka.

Farmakokinetik : eritromisin basa dirusak oleh asam lambung dan

harus diberikan dalam bentuk enteric coating. Bentuk stearat dan

ester agak tahan asam dan relatif diabsorpsi dengan baik. Obat yang

diabsorpsi didistribusikan secara luas kecuali otak dan cairan

serebrospinal. Obat ini dapat menembus plasenta dan mencapai

janin.

Ekskresi : empedu dan urin

Indikasi :

o Difteri

o Sepsis karena korinebakter

o Infeksi klamidia pada saluran nafas, neonatus, mata, genitalia

o Pneumonia yang disebabkan mycoplasma dan Legionella

Dosis :

o Dewasa 200-500mg/x per oral

o Anak 30-50mg/kg/hr

o Dosis suntik intravena 0,5g tiap 6 jam untuk dewasa, dan 20-

40mg/kg/hr untuk anak. (Katzung,2007)

Efek samping :

o Anoreksia

o Mual muntah

o Diare

o toksisisitas

Page 12: PPOK

c. Glukokortikoid

Pengobatan di rumah

Pemakaian glukokortikoid sistemik menguntungkan dalam manajemen

dari eksaserbasi PPOK. Glukokortikoid mempercepat pemulihan,

meningkatkan fungsi paru (FEV 1) dan hipoksemia (PaO2), dan juga

menurunkan resiko kambuh, dan kegagalan terapi.

Pemakaian glukokortikoid sebaiknya bersamaan dengan bronkodilator

jika FEV1 predicted pasien <50%. Dosis glukokortikoid yang

direkomendasikan 30-40 mg ialah prednisolone 30-40 mg/ hari

selama 7 -10 hari. Budesonide nebulizer dapat menjadi alternatif

sebagai glukokortikoid oral pada terapi eksaserbasi non asidosis dan

jika berhubungan dengan penurunan signifikan dari komplikasi seperti

seperti hiperglikemia.

Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja Glukokortikoid intraseluler kemudian bermigrasi ke

nukleus, dan kemudian berinteraksi dengan DNA untuk memodifikasi

transkripsi gen, termasuk sintesis dari beberapa protein dan

menghambat sintesis protein lainnya.

1. Metabolik:

Karbohidrat: menurunkan uptake dan penggunaan glukosa,

meningkatkan glukoneogenesis, sehingga menyebabkan

hiperglikemia

Protein: meningkatkan katabolisme protein, menurunkan

anabolisme protein.

Lemak: efek permitif pada hormon lipolitik dan men-redistribusi

lemak.

2. Anti inflamasi dan imunosupresif

Inhibisi transkripsi gen-gen dari cyclo-oxygenase-2, sitokin dan

interleukin, cell adhesion molecules.

Page 13: PPOK

Meningkatkan sintesis dan pelepasan dari annexin-1, yang

merupakan anti inflamasi poten pada sel.

Pada inflamasi akut: menurunkan influk dan aktivitas leukosit

Pada inflamasi kronik: menurunkan aktivitas dari sel MN,

menurunkan angiogenesis dan mengecilkan fibrosis

Pada jaringan limfoid: menurunkan ekspansi klonal dari sel B dan

sel T, dan menurunkan kerja dari sel T pensekresi sitokin.

Menurunkan komponen komplemen di darah

Menurunkan generasi eicosanoid dan IgG

3. Sistem Kardiovaskular

Mengurangi vasodilatasi dan eksudasi cairan

4. Muskuloskeletal

Menurunkan aktivitas osteoblas dan meningkatkan aktivitas

osteoklas.

Farmakokinetik

Glukokortikoid di administrasikan dalam berbagai cara, di mana

sebagian besar aktif saat diberikan secara oral, dan semuanya dapat

diberikan secara sistemik baik intra vena maupun intra muskular.

Glukokortikoid sebagian besar juga dapat diberikan secara topikal,

injeksi intra artikular, inhalasi ke sistem respirasi, dengan tetesan ke

mata atau hidung, maupun sebagai krim atau salep di kulit.

Administrasi secara topikal tidak memberikan toksisitas sistemik yang

signifikan kecuali diberikan dalam jumlah yang besar.

Glukokortikoid endogen di transpor sebagai ikatan Corticosteroid

Binding Globulin (CBG) dan dengan albumin, dimana albumin memiliki

afinitas yang lebih rendah tetapi mengikat steroid baik yang natural

maupun sintetik. Kedua ikatan ini secara biologis masih tidak aktif.

Page 14: PPOK

Sebagai molekul lipofilik yang kecil, glukokortikoid masuk ke sel target

dengan difusi sederhana. Hidrokortisone mempunyai waktu paruh 90

menit, meskipun mempunyai efek biologis 2-8 jam.

Indikasi Klinis

1. Terapi Pengganti (Replacement Therapy) untuk pasien dengan

gagal adrenal (Addison’s disease)

2. Anti inflamasi / terapi imunosupresif

Pada asma

Secara topikal pada kondisi kulit, mata, telinga atau hidung yang

mengalami inflamasi ( contoh: ekzema, konjungtivitis alergi,

rhinitis)

Keadaan hipersensitivitas

Penyakit lain dengan gangguan autoimun atau inflamasi

( contohnya Rheumatoid Arthritis, Inflamatory Bowel Disease,

Anemia Hemolitik, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura , dll).

3. Pada penyakit keganasan

Dikombinasikan dengan obat-obatan sitotoksisk pada pengobatan

keganasan spesifik (misalnya Hodgkin Disease, Acue Lymphocytic

Leukimia)

Untuk menurunkan edema serebral pada pasien dengan tumor

otak primer atau metastatik.

Toksisitas Glukokortikoid

1. Toksisitas akibat penghentian terapi secara tiba-tiba

Komplikasi yang paling parah penghentian steroid ialah terjadinya

insufisiensi adrenal akut, dimana penghentian terlalu cepat

kortikosteroid setelah terapi berkepanjangan telah menekan HPA

axis. sindrom peghentian terapi glukokortikoid terdiri dari demam,

mialgia, arthralgia, dan malaisw. Pseudotumor cerebri, sindrom

klinis yang mencakup peningkatan tekanan intrakranial dengan

Page 15: PPOK

papilledema, adalah suatu kondisi langka yang kadang-kadang

dikaitkan dengan pengurangan atau penghentian tiba-tiba dari terapi

kortikosteroid.

2. Penggunaan terus menerus glukokortikoid dengan dosis yang

besar

Selain konsekuensi yang dihasilkan dari penindasan sumbu HPA,

ada sejumlah komplikasi lain yang dihasilkan dari terapi

berkepanjangan dengan kortikosteroid. Ini termasuk kelainan cairan

dan elektrolit, hipertensi, hiperglikemia, peningkatan kerentanan

terhadap infeksi, osteoporosis, miopati, gangguan perilaku, katarak,

penangkapan pertumbuhan, dan habitus karakteristik overdosis

steroid, termasuk redistribusi lemak, striae, dan ekimosis.

Contoh resep :

dr.Pompi

NIP. 2010.04

Jl. Kemenangan No.1 Surabaya

Surabaya, 24 Maret 2015

R/ Salbutamol tab 2 mg No.XXI

S 3 dd tab I

R/ Erythromicine tab 500 mg No.XIV

S 2 dd tab I

R/ Prednisolone tab 5 mg No.XXI

S 3 dd tab I

Pro : Tn.Supardjo

Umur : 40 tahun

Page 16: PPOK

5. Edukasi

Edukasi merupakan hal yang penting dalam mengelola penyakit PPOK

yang stabil dalam jangka panjang. PPOK merupakan suatu penyakit

menahun yang ireversibel dan progresif, sehingga inti dari edukasi adalah

menyesuaikan keterbatasan aktivitas danmencegah kecepatan penurunan

fungsi paru.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit serta pengobatannya

2. Menjalani pengobatan secara maksimal

3. Melakukan aktivitas secara optimal

4. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak diagnosis ditegakkan dan terus-

menerus secara berulang pada setiap kunjungan. Edukasi tidak hanya

diberikan kepadapenderita saja, tetapi keluarga juga perlu terlibat. Edukasi

dapat diberikan dipoliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat

ataupun di ICU dan di rumah. Secaraintensif edukasi diberikan di klinik

rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktuyang khusus dan

memerlukan alat peraga.

Edukasi yang tepat diharapkan mampu menurunkan tingkat

kecemasan pasien PPOK, serta memberikan semangat hidup meskipun

disertai dengan keterbatasanaktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup

merupakan salah satu cara untuk meningkatkankualitas hidup pasien PPOK.

Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat

berat penyakit, tingkatpendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi

ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK

Page 17: PPOK

2. Obat, manfaat,serta efek sampingnya

3. Cara mencegahmemburuknya penyakit

4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

5. Penyesuaian aktivitas

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan

ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok

- Disampaikan pertama kali kepada penderita setelah diagnosis PPOK

ditegakkan

2. Pengunaan obat - obatan

- Macam obat dan jenisnya

- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)

- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaktu tertentu atau bila

perlu

saja)

- Dosis obat yang tepat beserta efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

- Kapan oksigen harus digunakan

- Berapa dosisnya

- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari faktor pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah

diterima, langsung ke pokokpermasalahan yang ditemukan pada waktu itu.

Page 18: PPOK

Tabel 1.1 Derajat penyakit PPOK (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

Pemberian edukasi sebaiknya diberikanberulang dengan bahan edukasi yang

tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasimerupakan hal

penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena

PPOKmerupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2003).

Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit :

Page 19: PPOK

DAFTAR PUSTAKA

Antariksa et al, 2011, Penyakit Paru Obstruktif Kronik : Diagnosis dan

Penatalaksanaan, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2007, MCR Vision

Brunton, et al., 2006. Goodman and Gilman : The pharmacological Basis of

Therapeutics, 11th edition, The McGraw-Hill Companies Inc.

Katzung, BG 2007, Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 10, The McGraw-Hill

Companies Inc.

Pauwels RA, Buist AS, Calverley PM, et al. Global strategy for the diagnosis,

management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease.

NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

Workshop summary. Am J Respir Crit Care Med. 2001;163:1256–76.

Rang and Dales, Pharmacology, sixth edition. Churchill Livingstone.

Rennard SI, Serby CW, Ghafouri M, et al. Extended therapy with ipratropium

is associated with improved lung function in patients with COPD. A

retrospective analysis of data from seven clinical trials. Chest. 1996;110:62–

70.

http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf