pkm gt kebudayaan

32
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA EKSPANSI KEBUDAYAAN INDONESIA BIDANG KEGIATAN: PKM-GT DIUSULKAN OLEH: YULIANA SARI (A 241 07 004) SUPRIADI (A 241 08 040) PUJIATI SARI (A 231 08 009) i

Upload: kyojin-no-exodia

Post on 20-Oct-2015

650 views

Category:

Documents


105 download

DESCRIPTION

aaaaa

TRANSCRIPT

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

EKSPANSI KEBUDAYAAN INDONESIA

BIDANG KEGIATAN:

PKM-GT

DIUSULKAN OLEH:

YULIANA SARI (A 241 07 004)SUPRIADI (A 241 08 040)PUJIATI SARI (A 231 08 009)UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2010

LEMBAR PENGESAHAN USUL

1. Judul Kegiatan

:Ekspansi Kebudayaan Indonesia

2. Bidang Kegiatan:PKM-GT

3. Ketua Pelaksana Kegiatan

a. Nama Lengkap:Yuliana Sari

b. NIM:A 241 07 004

c. Jurusan: Pendidikan MIPA

d. Universitas: Tadulako, Palu

e. Alamat Rumah dan No. Telp./HP:Jl. Nagaya IV, Pondok Karya No.1,

LIK Bumi Roviga, Kel. Tondo,

Palu-Sulawesi Tengah (94118)

No. HP: 085241209158

f. Alamat Email: [email protected]

4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis:2 orang

5. Dosen Pendamping

a. Nama Lengkap

: Dr. Unggul Wahyono, M.Si

b. NIP

: 196801161993031001

c. Alamat Rumah dan No. Telp./HP:Jl. Sisinga Mangaraja, Lr. 3 No. 4,

Palu-Sulawesi Tengah

No. HP: 08114502135

Palu, 27 Maret 2010

Menyetujui

Ketua Pelaksana

Wakil/Pembantu Dekan III

Kegiatan Bidang Mahasiswa

(Drs. Lukman Nadjamuddin, M. Hum) ( Yuliana Sari )

NIP. 19660621199203 1 004

NIM. A 241 07 004Wakil/Pembantu Rektor III

Dosen Pendamping

Bidang Kemahasiswaan

( Supriadi, S.H, M.Hum ) (Dr. Unggul Wahyono, M.Si)

NIP. 19570727198403 1 002

NIP. 19680116199303 1 001KATA PENGANTARSubhanallah, walhamdulillah, walailahailallah, wallahuakbar.

Segala puja dan puji hanyalah untuk Allah SWT semata, serta

Salam dan salawat atas Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW.

Limpahan rahmat-Nya senantiasa tercurah kepada kita sekalian.

Puji syukur penulis haturkan dengan penuh suka cita atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nyalah, sehingga penysunan karya tulis ilmiah dalam Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT) 2010, yang berjudul Animation and Flash Player sebagai Media Information Technology (TI) dalam Pembelajaran Fisika ini dapat terselesaikan. Adapun maksud dan tujuan penyusunan PKM-GT ini adalah karya tulis ini dapat menjadi sarana bagi penulis, dalam memberikan sumbangsih pikiran atau ide-ide kreatif penulis, sebagai respons intelektual atas persoalan-persoalan aktual yang dihadapi masyarakat pada umumnya, dan tenaga pengajar (guru) pada khususnya.

Namun, disadari bahwa apapun yang tertuang dalam karya tulis ini masih butuh kesempurnaan, karena dibuat oleh manusia yang tidak terlepas dari kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu, keberadaan tulisan ini masih sangat membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak.Penyelesaikan karya tulis PKM-GT ini, tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dan rasa hormat sedalam-dalamnya kepada:

1. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional, selaku penyelenggara dan pemberi kesempatan bagi penulis untuk memenuhi undangan sumbangsih karya tulis ini.2. Rektor Universitas Tadulako

3. Pembantu Rektor III Universitas Tadulako

4. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako

5. Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako

6. Ketua Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako

7. Ketua Program Studi Pendidikan Fisika Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako

8. Bapak Dr. Unggul Wahyono, M.Si selaku Dosen Pendamping yang telah banyak memberi masukan dan saran yang sangat membantu penulis, dalam menyusun karya tulis ini.

9. Bapak/Ibu Dosen Wali yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

10. Bapak/Ibu Staf Pengajar di lingkungan Program Studi Pendidikan Fisika Pendidikan MIPA FKIP Universitas Tadulako

11. Ayahanda dan Ibunda penulis, terima kasih atas pengorbananmu, cinta dan kasih sayang yang begitu mendalam, serta tiada batasnya sampai akhirat kelak.

12. Seluruh teman penulis, senior dan junior, mahasiswa Pendidikan Fisika FKIP Universitas Tadulako, yang memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis.Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini, dapat bermanfaat bagi setiap insan yang membacanya, khususnya bagi insan yang mengabdikan dirinya untuk mencari ilmu dan berbagi ilmu antarsesama di seluruh Indonesia.

Palu, 25 Maret 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

BAGIAN AWALHALAMAN JUDUL . i

HALAMAN PENGESAHAN USUL .................................................................. ii

KATA PENGANTAR .. iii

DAFTAR ISI . v

RINGKASAN viBAGIAN INTI

PENDAHULUAN . 1TELAAH PUSTAKA 2

METODE PENULISAN 6

ANALISIS DAN SINTESIS . 6

PENUTUP .................................. 14

BAGIAN AKHIR

DAFTAR PUSTAKA . 15

DAFTAR RIWAYAT HIDUP viiLAMPIRAN viiiEKSPANSI KEBUDAYAAN INDONESIA

PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata penulis menjadi akrab dengan kata sapaan Annyon haseyo!, yang kurang lebih berarti Hai, apa kabar! dalam bahasa Korea. Cukup banyak teman penulis yang menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti Kamsahamnida, (terima kasih), Sarang haeyo, (I love you) dan sebagainya. Teman-teman penulis (terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa dan sebagainya.

Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budaya asing di negeri kita.

Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!, Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita. Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Benar, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apapun. Maka strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri.

Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Adapun ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.

Tapi ada satu kebanggaan bagi kita, di luar negeri sana, cerita teman penulis yang lain yang tengah berada di negeri Paman Sam, Jember Fashion Carnaval (JFC) kini telah menjadi salah satu ikon Indonesia. Indonesia tak lagi hanya diidentikkan dengan Bali. Dynand seorang pendiri awal JFC telah mengajari sekaligus menginspirasi nasionalisme, dengan menyampaikan pesan untuk menyatukan dan mendamaikan dunia krisis global, krisis pangan, krisis ekonomi, krisis budaya, dan krisis sosial seharusnya menyatukan manusia.

Oleh karenanya, sebelum Indonesia hanya tinggal nama, lewat tulisan ini, penulis ingin memberikan suatu kontribusi pemikiran yang dapat dijadikan alternatif solusi untuk menanggulangi lemahnya perlindungan kebudayaan negeri dan lemahnya rasa nasionalisme bangsa. Harapannya kebudayaan-kebudayaan tradisional negeri yang kita miliki tidak dapat diklaim seenaknya lagi oleh negara lain dan rasa nasionalisme akan semakin terpupuk dan meningkat. Semoga tulisan ini penulis dapat menginspirasi kita semua dalam memaknai dan membangun nasionalisme pada Indonesia tercinta, menjaga kualitas dan kuantitas kebudayaan Indonesia yang telah ada dari pengaruh kebudayaan asing, dan menciptakan karya cipta budaya yang bermakna pendidikan bagi setiap elemen masyarakat. Jadi, kita merasa bangga dan tak malu menjadi 'Orang Indonesia'. Sekali lagi nasionalisme bukan sekedar kata-kata, juga bukan sekedar rasa bangga yang membuncah jiwa, nasionalisme dalah akumulasi dari rasa bangga, kreatifitas, inovasi, dan kerja keras yang konsisten dalam sebuah karya nyata, untuk kejayaan Indonesia tercinta.

TELAAH PUSTAKANasionalisme sedahsyat itu! Karena itu, dalam banyak hal nasionalisme menemukan bangsa dan mengumumkan negara dan dalam prosesnya bagi negara menemukan bangsa (Daniel Dhakida).

Berbicara soal nasionalisme, maka pemaknaan kita tidak bisa lepas dari proses politik. Nasionalisme seakan menjadi doktrin yang terus diproduksi. Akhirnya, bangsa sebagai ruang kolektivitas sosiologis dan nation, dibayangkan sebagai komunitas yang tidak peduli terhadap ketidakadilan. Bangsa selalu dipahami sebagai kesetiakawanan. Pada akhirnya selama berabad-abad banyak orang yang rela melenyapkan orang lain demi doktrin bangsa yang diasumsikan Anderson sebagai yang terbatas. Hal ini yang menjadi persoalan besar dari nasionalisme, yaitu mengenal hubungannya dengan kekuasaan.

Ada banyak definisi bisa diajukan, tapi yang paling pokok di sini adalah bahwa cara pandang baru manusia dalam mengidentifikasi iri dan komunitas sosial yang melingkupinya, kemudian menjadi komoditas politik yang paling laris manis. Dalam Declaration of the Right of Man 1789 (oleh para pakar, deklarasi tersebut sering dianggap sebagai wahyu nasionalisme yang selama dua abad terakhir menjadi agen perubahan politik paling kuat), Majelis Nasional Perancis memunculkan klausul: Bangsa pada dasarnya merupakan sumber semua kekuasaan; seorang individu atau sekelompok orang, tidak memiliki hak untuk memegang kekuasaan yang secara jelas tidak berasal dari bangsa. Beberapa saat setelah itu segeralah semangat kebangsaan menduduki urutan pertama pada ruang-ruang berpikir orang Eropa. Tulisan seorang teoritisi nasionalisme Perancis, Abbe Sieyes (1748-1836) bisa mewakili: Bangsa mendahului segala sesuatu. Kehendak bangsa selalu absah: Bangsa adalah hukum itu sendiri.

Konflik-konflik yang terjadi di masa yang akan datang lebih disebabkan oleh faktor-faktor budaya daripada ekonomi atau ideologi (Jacques Delors, Question Concerning European Security). Pernyataan Jacques Delors ini ada benarnya juga melihat permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari kasus klaim budaya Indonesia oleh pihak Malaysia. Mulai dari gamelan, wayang, reog ponorogo, sampai yang terakhir adalah Tari Pendet. Kejadian tersebut memunculkan sikap kemarahan terhadap Malaysia dan seruan-seruan Ganyang Malaysia kembali berkumandang. Ini menunjukkan bahwa ternyata budaya memang mampu menimbulkan suatu konflik.Tamparan keras yang kita peroleh dari Malaysia memberikan pelajaran berharga bahwa bangsa ini belum mampu memberikan perlindungan terhadap aset-aset budaya. Ketakutan beberapa kalangan budayawan tampaknya akan menjadi kenyataan budaya kita akan menemui The end of story. Ini menjadi sebuah peringatan yang perlu menjadi perhatian lebih. Secara tidak disadari pencaplokan budaya oleh Malaysia membangkitkan nasionalisme kita. Ernest Renan pernah berkata bahwa bangsa adalah satu jiwa. Terbukti tidak hanya orang Jawa yang geram ketika wayang kulit diklaim, tidak hanya orang Bali yang marah ketika Tari Pendet dikomersialkan Malaysia, tampaknya semua masyarakat bangsa ini juga ikut gondok. Rasa saling memiliki budaya di tiap-tiap daerah membuat alam bawah sadar bergejolak dan merasa tersinggung, ketika budaya yang kita banggakan direbut oleh pihak asing. Tanpa disadari benih-benih nasionalisme yang ada di dada kita bangkit.

Era globalisasi membuat daya saing antarnegara bahkan antarindividu di seluruh dunia menjadi meningkat dan untuk dapat bertahan di era ini, setiap negara harus memiliki nilai unggul. Namun, sangat disayangkan sifat ketergantungan ini membuat Indonesia tidak memiliki suatu nilai unggul yang dapat bersaing dengan negara-negara lainnya dalam era globalisasi ini.

Merujuk pada data yang dikeluarkan lembaga dunia, posisi Indonesia memang miris. Data yang dikeluarkan UNDP tahun 2008 kemarin tentang Indeks Pembangunan Manusia menempatkan Indonesia di urutan 109. Terpaut jauh dari Malaysia di urutan 63. Masih dari sumber yang sama, Indeks Kemiskinan yang dirilis UNDP pada tahun 2008 menempatkan Indonesia di urutan 69 dari 135 negara dunia. Benar juga apa yang dikatakan oleh Koil dalam lagu Sistem Kepemilikan tentang Indonesia. Ini negara bodoh yang sangat aku bela, layaknya kekasih tercinta. Sejujurnya, apa sih yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengurusi dirinya sendiri masih kelimpungan. Belum lagi upaya membangun reputasi di mata Internasional. Masih saja menjadi mainan negara lain. Kebanggaan menjadi Indonesia justru seringkali dirampok. Parahnya, perampokan itu tak lain dan tak bukan dilakukan oleh orang dalam. Dengan kata lain orang Indonesia sendiri. Hutan dibabat, pulau dijual, belum lagi batik yang tak dijaga baik-baik dari lemari.

Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antarbudaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Salah seorang teman laki-laki penulis, memakai baju koko dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi kuning, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta mendengarkan lagu ST12 yang disetel di MP3 ponsel teman lainnya. Ketika penulis mengamati dan menanyakannya, dalam situasi seperti ini pilihannya hanya mempengaruhi atau dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.

Alangkah baiknya mula-mula kita tentukan ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari paule cinde, tari saman, gotongroyong, paguyuban, nagari, apapun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya konkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku memiliki sekaligus menyebarkan. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Tentu saja, ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita. Akan tetapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi dalam festival budaya Indonesia? Penulis juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.

Prof. Dr. Slamet Muljana mengartikan nasionalisme sebagai manifestasi kesadaran bernegara atau semangat bernegara. Sedangkan Bung Karno dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II membedakan nasionalisme di barat dengan nasionalisme di Indonesia. Beliau beranggapan bahwa nasionalisme eropa ialah suatu sistem yang melahirkan kolonialisme serta imperialis yang besifat menghisap, merampas, dan menjajah. Beda dengan nasionalisme Indonesia yang ingin terbebas dari penjajahan karena baginya nasionalisme sejati lahir karena semangat menuntut keadilan dan melawan penindasan.

Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi yang memiliki arti budi atau akal. Dari sini kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Menurut Clifford Geertz, Kebudayaan (culture) sebagai sebuah pola makna atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan. Sedangkan menurut Ruth Benedict, kebudayaan adalah kunci utama untuk bisa memahami peradaban. Pun ia sekaligus berguna buat memahami manusia sebagai person.

Nasionalisme merupakan sarana untuk mengungkap jati diri bangsa yang nantinya berfungsi untuk penetapan identitas. Terkadang nasionalisme muncul seperti sebuah orientasi kultural sehingga sering ditemui dalam tindakan politik. Kuntowidjoyo mengintrodusir bahwa paralelisme transformasi sosial berarti bahwa perubahan-perubahan memang sedang terjadi dalam skala dan kecepatan yang lebih, sementara antara perubahan struktural dan perubahan kultural tidak sejalan, sehingga terjadi anomie pada perangkat nilai. Anomie terjadi karena kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya tradisional di lain pihak. Industrialisasi telah melahirkan budaya massa yang mengarah ke semangat kolektif dalam tata nilai; teknologisasi telah menuntut penerapan metode dan teknik dalam segala bidang; urbanisasi telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai komunal sebuah masyarakat tradisional.

Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle daing n dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping media massa seperti televisi, majalah dan internet. Penulis ingin mengambil contoh, di kampus penulis terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan J-Dorama. Hampir setiap hari mereka membahas bagian tertentu dari budaya Jepang seperti artis, festival, masakan, permainan, sampai hantunya. Tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrungi kemudian mengarahkannya pada produk lain.

Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan, maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat.

Untuk masalah ini kita perlu berguru kepada Jepang karena negara ini merupakan negara maju yang tidak lupa akan budayanya, serta memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Keistimewaan bangsa Jepang adalah kuatnya memegang tradisi. Mereka merasa malu jika telah mengabaikan atau tidak tahu akan budayanya. Meskipun terkenal dengan kemajuan teknologi dan informasi, tetapi hal ini tidak lantas mengubah cara hidup rakyatnya. Penerapan tradisi masih bisa dilihat dari segi sikap, cara berpikir, berpakaian, berbahasa, cara menghormati orang lain, serta cara makan makanan, mereka bisa melakukan penyerapan budaya luar yang disesuaikan dengan budaya lokal.

Ini menunjukkan bahwa ternyata tidak semua budaya menghambat modernisasi. Dan buktinya kita bisa melihat Jepang. Bukan berarti penulis memihak Jepang, tapi kita wajib menjadikan teladan bagi kita untuk memajukan bangsa tanpa membuang budaya atau tradisi yang dianggap kuno.

METODE PENULISAN

Gagasan tertulis ini, disusun oleh penulis berdasarkan melihat realita kehidupan yang ada, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kampus secara khusus, dan keadaan Indonesia pada umumnya. Kemudian, tulisan ini juga dapat diselesaikan berdasarkan hasil telaah pustaka, jelajah internet dan teknik wawancara kepada narasumber. Pada akhirnya, penulis menyusun berbagai sumber informasi tersebut menjadi sebuah tulisan bermakna dan semoga menjadi salah satu referensi bagi masyarakat Indonesia tercinta.

ANALISIS DAN SINTESIS

Paradigma yang ada, sesuatu yang tradisional diangap ketinggalan zaman. Seolah-olah kita telah menjadi satu bangsa tiruan yang lupa akan kulitnya. Kita menganggap budaya barat lebih bagus dibandingkan dengan budaya kita, sehingga semua budaya sendiri ditinggalkan. Inilah yang dinamakan Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order sebagai Benturan Peradaban atau Vaclav Havel menyebutnya konflik-konflik kultural. Menurut beliau lagi, Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya.

Kita saat ini hampir kalah melawan budaya barat ketika mencermati penduduk Indonesia. Konsep yang ditawarkan Bung Karno mengenai Nation Building and Character Building bukannya tanpa sebab. Pelarangan menyanyikan musik-musik barat bertujuan agar kita mencintai musik tradisional dalam negeri. Tetapi hal ini banyak ditentang masyarakat Indonesia dan baru sekarang terasa dampaknya, ketika angklung diakui sebagai alat musik Malaysia.

Bila dibiarkan terus-terusan yang tejadi adalah kita akan kehilangan identitas kebangsaan, karena budaya kita akan diambil oleh negara lain atau hilang dengan sendirinya akibat terabaikan oleh masyarakatnya. Padahal begitu banyak suku, bahasa daerah, tarian, lagu, serta budaya yang hidup dan berasal dari negeri ini tetapi yang diketahui dan dilestarikan begitu sedikit. Bahkan dalam kunjungan Bung Karno ke Amerika Serikat yang waktu itu dipimpin oleh John F. Kennedy, pernah berkata Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi.

Banyak komentar bermunculan mengenai klaim negara tetangga tersebut atas beberapa kebudayaan yang berasal dari negara kita. Sejumlah pihak mengatakan bahwa Malaysia telah mencuri kebudayaan Indonesia, bahkan ada yang berpendapat bahwa akan ada ganyang Malaysia edisi II. Komentar-komentar tersebut memperkuat anggapan bahwa sepertinya yang salah dalam masalah ini adalah hanya pihak Malaysia. Padahal jika kita mau intropeksi diri, kesalahan tersebut tidak sepenuhnya datang dari Malaysia. Kesalahan itu juga terdapat pada kita (baca: bangsa Indonesia). Oleh karena itu, kita juga harus mulai berpikir apa sebenarnya kesalahan kita dan segera membenahinya.

Menurut penulis fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia sudah kian memudar. Rasa memiliki bangsa terhadap kebudayaan tradisional negeri sebagai simbol dan identitas Indonesia sudah sangat lemah. Bangsa kita sudah tidak terlalu peduli lagi terhadap kebudayaan-kebudayaan yang dimilikinya. Hal tersebut ditunjukkan dengan lemahnya perlindungan terhadap kebudayaan-kebudayaan tersebut. Selain itu, bangsa kita akhir-akhir ini juga lebih tertarik untuk mengikuti kebudayaan asing daripada kebudayaannya sendiri yang akhirnya menyebabkan kebudayaan asli bangsa ini semakin terpinggirkan.

Satu pertanyaan menarik dari klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia sebagaimana disebutkan di awal adalah bagaimana klaim itu bisa terjadi. Apakah Malaysia tidak tahu bahwa kebudayaan-kebudayaan tersebut sudah beratus-ratus tahun menjadi milik bangsa Indonesia, sehingga Malaysia mengklaim kebudayaan-kebudayaan tersebut? Ataukah bangsa Indonesia sendiri yang sesungguhnya bermasalah dengan perlindungan kebudayaannya, sehingga Malaysia bisa melakukan klaim? Dari kedua kemungkinan tersebut, kemungkinan kedua adalah kemungkinan yang paling masuk akal, karena kecil kemungkinan Malaysia tidak mengetahui bahwa Reog Ponorogo berasal dari Indonesia, sementara Malaysia mengimpor Topeng Reog dari Indonesia.

Perlindungan terhadap kebudayaan tradisional di Indonesia memang sangat lemah. Hal tersebut terbukti dari sistem hukum yang mengaturnya. Sistem hukum yang ada belum begitu cukup mengakomodir pelindungan terhadap kebudayaan tradisional. Terlihat misalnya pada minimnya pengaturan tentang perlindungan kebudayan dan kesenian. Satu-satunya undang-undang yang secara langsung mengatur tentang perlindungan kebudayaan adalah Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC), itupun belum diatur secara rinci.

Selain itu, permasalahan mentalitas masyarakat Indonesia yang lebih suka mengekor pada kebudayaan asing daripada kebudayaan bangsa sendiri juga menjadi salah satu penyebab rentannya kebudayaan tradisional kita diklaim oleh bangsa asing. Hal ini sangat berbahaya karena akan dapat mengeliminir kebudayaan asli yang dimiliki oleh bangsa ini yang pada akhirnya ketika kebudayaan itu tidak lagi dipedulikan oleh bangsa ini akan sangat mudah diklaim bangsa asing.

Jika dilihat dari segi dampak, kebudayaan massa seringkali dirisaukan karena penyebarannya berjalan beriringan dengan kemajuan perkembangan komunikasi. Sinetron (sebagai contoh kebudayaan massa) yang memiliki rating yang tinggi di kalangan masyarakat, itu pun hasil dari kontribusi perkembangan media komunikasi audio-visual; televisi. Kembali kepada sinetron Indonesia, 4 hal di atas tercakup semuanya di dalam sinetron Indonesia tanpa terkecuali. Jika memang masyarakat Indonesia tidak sedang 'sakit keras' maka berarti mereka tidak mempunyai pilihan tayangan untuk ditonton. Lalu masihkah kita berdiam diri?

Sebagian besar kita mungkin tengah mengalami krisis nasionalisme, atau bahkan kita malu menjadi orang Indonesia. Negara dengan sejumlah predikat terburuk di dunia, sarang koruptor, pembajak bahkan mungkin teroris. Terbelit sejumlah masalah multidimensi seperti angka kemiskinan yang spektakuler. Jumlah pengangguran yang fantastis dan terus meningkat, kualitas SDM yang rendah, ditambah lagi kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah, serta ancaman terhadap keamanan dan integrasi. Kita juga negara paradoks, kaya tapi sebagian rakyatnya hidup dalam kemiskinan bahkan mati kelaparan, seperti yang pernah terjadi di Papua. Indonesia kaya akan sumber daya alam tapi punya hutang luar negeri yang sangat besar jumlahnya, hingga masuk kelompok Negara-negara Miskin Penghutang Berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPS); banyak rakyat miskin dan kelaparan tapi para pejabatnya justru bergelimang kemewahan.

Indonesia merupakan negara berkembang. Apa itu negara berkembang? Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang, dibandingkan dengan norma global (Negara Berkembang; Wikipedia). Pada dasarnya, satu hal yang menghambat Indonesia menjadi negara maju, yaitu ketergantungan. Ketergantungan Indonesia terhadap World Bank, IMF, dan negara-negara maju seperti Amerika Serikat membuat Indonesia tidak beranjak dari posisi berkembang menuju maju. Padahal tidak diragukan lagi bahwa kekayaan alam Indonesia itu sangat melimpah ruah, namun dengan sifat ketergantungan ini membuat posisi Indonesia lemah di hadapan negara-negara maju lainnya. Dapat kita lihat Papua, seluruh kekayaan alam yang terkandung dimiliki Amerika dengan PT. Freeport Indonesia-nya. PT. Telkom Tbk. yang 49% sahamnya dimiliki publik, hampir sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia pun banyak yang dimiliki oleh pihak asing.

Ketika kita dihadapkan pada keadaan identitas yang hilang, yang terjadi adalah penyesalan. Di samping itu, pemuda yang menjadi generasi penerus telah tidak sadar kalau sedang dijajah. Penjajahan saat ini memang bukan secara fisik, tetapi penjajahan budaya yang terjadi secara terang-terangan. Telah terjadi modernisasi dan westernisasi yang kita telan mentah-mentah. Eksisnya berupa universalisasi kultur tanpa memperhatikan budaya kita lagi dan menganggapnya kuno. Maka daripada itu dibutuhkan formula untuk menjaga tradisi, serta khasanah budaya bangsa jangan sampai kita tidak mengenal diri kita sendiri.

Permasalahan ini sangat dapat terjadi akibat dari (salah satunya) lemahnya sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini sangat mempengaruhi masa depan Indonesia. Hanushek et al (2008) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi dan budaya sangat berkaitan dengan kualitas sistem pendidikan. Jika sistem pendidikan Indonesia tetap tidak mampu mengembangkan kepemimpinan dan sikap mempertahankan kebudayaan, maka bangsa ini akan semakin berkutat dalam masalah-masalah dan menjadi semakin tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain.

Selama ini sistem pendidikan di Indonesia terlalu menekankan materi yang bersifat hafalan bukannya kemampuan pemecahan masalah (baca: kemampuan kepemimpinan). Tabrina (Kompas, 25 Mei 2009) misalnya melaporkan bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak memberikan ruang untuk pemikiran alternatif yang dalamnya menguji kreativitas dan imajinasi. Menurut Tabrina, pendidikan yang ideal adalah yang dapat menuntun anak didik untuk bisa memecahkan masalah masing-masing. Meski banyak materi dalam kurikulum yang seharusnya mengasah kemampuan pemecahan masalah seperti matematika dan fisika, titik berat pengajaran tetap terletak pada hafalan pendekatan-pendekatan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu tanpa pemahaman dan apresiasi makna yang melandasinya. Akibatnya, hasil pengajaran tersebut termasuk pola pikir sistematis dan etika berpengetahuan, sukar untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Kebanggan akan Indonesia lalu menjadi persoalan yang mengemuka, terlebih bila dikaitkan dengan banjir arus informasi sebagai imbas dari perkembangan teknologi komunikasi. Memang dengan makin terbukanya kran informasi, Indonesia tidak ketinggalan dari negara lain, minimal dalam hal update isu-isu mutakhir dunia. Namun di sisi lain, banjir informasi tadi perlahan tapi pasti juga menggerus budaya lokal khas Indonesia. Ini yang perlu menjadi perhatian serius. Persoalannya adalah bagaimana menyadarkan masyarakat. Upaya penyadaran akan kebanggaan menjadi bagian dari bangsa besar bernama Indonesia, selama ini dihadapkan pada nasionalisme semu. Nasionalisme ala buku teks pelajaran sekolah serta upacara kenegaraan. Nasionalisme yang selama ini membodohi karena masyarakat dibiarkan bermimpi dalam kondisi-kondisi ideal yang sebenarnya semu. Bagaimana slogan seperti adil-makmur berhadapan dengan kenyataan bahwa hampir 30 juta masyarakat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat kemudian menjadi bosan dan jenuh dengan slogan-slogan seperti Cinta Indonesia yang sudah kadung menganggap jargon-jargon tadi tak lebih dari sekedar pepesan kosong belaka.

'Perubahan', satu kata yang tak asing dilontarkan oleh masyarakat di Indonesia. Pria-wanita, tua-muda, kaya-miskin, semua menuntut perubahan terhadap negeri tercinta kita, Indonesia. Rakyat miskin menuntut perubahan akan kesejahteraan sosial, mahasiswa menuntut perubahan terhadap sistem pendidikan, wanita menuntut perubahan akan persamaan hak, seluruh pihak yang merasa tidak puas terhadap keadaan akan menuntut suatu perubahan, sedangkan pihak yang sudah nyaman dengan keadaan tidak akan berbuat apa-apa dan cenderung tidak peduli akan tuntutan perubahan yang diajukan masyarakat yang merasa tidak puas (unsatisfied people). Namun, satu hal yang perlu diketahui, perubahan tidak akan terjadi tanpa tindakan. Seluruh masyarakat menuntut tanpa ada tindakan dan tanpa ada yang mendengarkan, maka tuntutan tersebut akan sia-sia, percuma, Indonesia sangat membutuhkan suatu perubahan dari berbagai bidang. Salah satu bidang yang urgen akan perubahan adalah pendidikan.

Melindungi Kebudayaan Tradisional Sebagai Wujud Nasionalisme

Nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Kita sebagai warga negara Indonesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan negara Indonesia. Hal ini senada dengan pandangan Prof. Sartono Kartodirdjo yang mengungkapkan bahwa nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.

Apabila nasionalisme dipahami seperti dijelaskan di atas maka upaya perlindungan terhadap kebudayaan tradisional sangat relevan dengan semangat nasionalisme. Karena upaya perlindungan tersebut merupakan bentuk dari usaha rakyat Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negaranya sekaligus juga sebagai bukti bahwa rakyat juga mencintai dan bangga terhadap negara dan bangsanya dengan peduli terhadap hasil karya dan produk-produknya.

Dengan demikian, tidak terasa berlebihan apabila dikatakan bahwa adanya suatu upaya merevitalisasi perlindungan terhadap kebudayaan tradisional yang akhir-akhir ini sering diklaim oleh bangsa asing merupakan wujud rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Oleh karenanya upaya tersebut harus dilakukan secara optimal dengan harapan rasa nasionalisme rakyat Indonesia akan semakin terpupuk dan meningkat yang dengannya akan menciptakan rasa kepemilikan atas dasar cinta yang mendalam terhadap apa saja yang berbau bangsa dan negara Indonesia tercinta termasuk kebudayaan tradisionalnya.

Dalam perspektif masyarakat China, masalah hari ini adalah peluang di masa datang. Pandangan ini pun hendaknya menjadi pijakan kita dalam menyelesaikan bayangan masalah yang potensial timbul dalam usaha menabur benih nasionalisme konsumen di Indonesia. Generasi digital sebagai garda terdepan dalam usaha ini, perlu mendesain ulang aksi dan wacananya agar bayangan masalah tersebut dapat menjadi peluang untuk menancapkan nasionalisme di tubuh konsumen Indonesia.

Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat. Meskipun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dahulu dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Penulis memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang penulis maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para menonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.

Apabila produk-produk budaya yang kita pelopori oleh perfilman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih juah dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.

Penulis telah memikirkan untuk mencapai keberhasilan dalam memajukan kebudayaan Indonesia. Pelajaran pertama yaitu tentang bagaimana memaknai sebuah nasionalisme, jangan pernah tinggalkan Indonesia. Rasa malu dan muak pun harus kita tinggalkan. Pelajaran kedua untuk beranilah bermimpi, hingga membuahkan hasil yang spektakuler! Sama halnya dengan Indonesia dalam konteks negara. Indonesia memiliki potensi meskipun juga terbelit dengan begitu banyak masalah multidimensi. Kita harus optimis dan berani bermimpi, bahwa kita mampu menjadi negara yang besar di kemudian hari.

Pelajaran ketiga yaitu Just be yourself. Kita tak harus menjadi orang lain untuk menjadi berguna bagi Indonesia. Just be you: Kenali diri, gali potensi dan maksimalkan sosok berpotensi yang harus tumbuh dan berkembang di semua lini kehidupan: politik, ekonomi, sosial, seni dan budaya, pendidikan dan pertanian, peternakan, kesehatan, dan semuanya, sebagai tiang penyangga yang akan membangun mimpi besar Indonesia di kemudian hari. Pelajaran berharga keempat adalah think globally, act locally. Misalnya, seorang Dynand bermimpi menjadikan Jember sebagai Kota Karnaval yang setara dengan Kota Karnaval kelas dunia dengan menjadikan Rio de Jenairo sebagai pembanding. Dan pelajaran yang terakhir atau kelima adalah forward looking atau berpikir jauh ke depan dan merencanakan apa yang akan kita lakukan satu atau tiga bahkan beberapa tahun ke depan.

Selain itu, pemerintah perlu melakukan terobosan dengan memberlakukan Hari Budaya Nusantara. Hari di mana tiap-tiap provinsi atau minimal desa memiliki hari budaya masing-masing yang telah disepakati oleh perangkai pemerintah setempat. Setiap daerah wajib menggali budaya daerah serta mentransformasikannya ke dalam sebuah pertunjukkan budaya di daerah tersebut. Penentuan hari budaya juga tidak sembarangan karena harus memiliki nilai-nilai history serta muatan lokal yang berkembang di daerah masing-masing.

Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan diselenggarakannya Hari Budaya Nusantara bagi pemerintah dan warga setempat. Pertama, inventarisasi aset budaya bangsa. Dengan hari tersebut, kita bisa mempatenkan budaya tiap-tiap daerah serta bisa juga membuat database seluruh budaya Indonesia. Jadi, kita mampu membungkam anggapan bangsa asing bahwa kita mengabaikan budaya kita sendiri!

Kedua, nation building and character building yang terwujud. Agenda ini mampu membangkitkan wawasan kebangsaan. Dengan mengetahui nilai-nilai budaya dan sejarah yang terkandung dalam Hari Budaya Nusantara di tiap-tiap daerah, akan mampu membangkitkan rasa nasionalisme serta mampu membentuk karakter bangsa yang asli. Orang Indonesia yang rajin, ramah, telaten, dan beradab akan menjadi cermin bahwa pembangunan budaya juga ikut andil dalam pembangunan karakter bangsa. Diharapkan dengan ini kita juga bisa memadukan kearifan lokal nilai-nilai global, sehingga adopsi yang kita lakukan mampu membentuk budaya dan karakter yang unik dan khas untuk Indonesia.

Sikap mental sebagian besar masyarakat Indonesia belum cocok untuk pembangunan. Oleh sebab itu sikap mental bangsa Indonesia harus diubah, dicocokkan dan dimatangkan untuk pembangunan. Terutama konsep memandang buruk, apabila seseorang menonjol (yang merupakan salah satu aspek dari pranata gotong royong) menjadi penghalang bagi manusia Indonesia untuk berkembang dan terus-menerus menyempurnakan mutu karyanya, disebabkan oleh ejekan-ejekan dan tuduhan masyarakat, bahwa ada orang yang ingin maju sendiri.

Ketiga, mengangkat ekonomi masyarakat dan negara. Hari Budaya Nusantara yang berbeda tiap daerah memungkinkan setiap saat dikunjungi wisatawan domestik maupun internasional. Secara otomatis akan menambah devisa negara dan menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakatnya. Tidak boleh dilupakan juga perlunya promosi, pengelolaan serta bantuan pemerintah untuk membantu budaya di tiap-tiap daerah untuk terlaksana dan berkembang karena hal ini bersifat mutualisme.

Penulis berpikir bahwa strategi utama untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan membangun sinergitas Online dan Ofline. Sinergi antara dunia Online dan offlline ini dapat terwujud menjadi 2 (bentuk) bentuk, yaitu pertama, sinergi dalam wacana dan kampanye cinta produk dalam negeri. Wacana dan kampanye memupuk nasionalisme konsumen di ranah maya sudah sangat baik. Namun, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia belum familiar dengan dunia internet maka semestinya kampanye tersebut juga dilakukan di ranah Offline. Para pengusung gerakan ini dapat melakukannya seperti yang dilakukan oleh para pebisnis-pebisnis kecil di AS. Mereka melakukan kampanye tersebut dengan turun langsung ke lapangan guna mengedukasi masyarakat akan pentingnya membeli produk-produk lokal. Para pengusung kampanye ini pun dapat mencipta pelbagai seminar, penyuluhan ataupun program-program sosial lainnya guna menabur benih nasionalisme konsumen di Indonesia. Dengan sinergi ini, usaha menabur benih nasionalisme konsumen akan lebih nyaring, karena dengan internet ide tersebut akan cepat menyebar dan dengan aktivitas darat ide tersebut akan cepat mengakar.

Kedua, menguatkan keterlibatan publik melalui OVOP dan SOHO. Usaha menabur benih nasionalisme konsumen selama ini cenderung digiring pada logika pemenuhan patriotisme dan nasionalisme belaka. Usaha ini terkadang menihilkan agenda utama di balik kampanye ini: kemandirian dan kreativitas bangsa.

Menurut penulis, selain kampanye di ranah maya, pemerintah dan generasi digital perlu membangun keterlibatan masyarakat dalam mencipta produk-produk lokal. Di Jepang, pemerintahnya telah mengeluarkan kebijakan One Village One Product (OVOP). Setiap desa di Jepang, diharuskan untuk menghasilkan minimal satu produk unggulan yang dapat menjadi sumber penghasilan daerahnya. Program ini mestinya dapat ditiru oleh pemerintah Indonesia. Setiap desa dituntut untuk mengeluarkan produk sesuai potensi yang dimilikinya sehingga produk tersebut dapat menjadi ikon desa tersebut. Program ini memiliki beberapa manfaat sekaligus, yaitu mengasah kreativitas masyarakat dalam memberdayakan potensi daerahnya, menciptakan lapangan kerja baru dan berkontribusi dalam dinamika produksi yang pada akhirnya terus menggiatkan roda perekonomian negara.

Sejumlah Home Work (PR)

Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan dilematis, akan industri yang cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena menyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan misalnya pada dunia sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Produk-produk budaya yang yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke seluruh dunia. Sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-film sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk, maka pemerintah pun wajib mengeluarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang tinggi selama ini dikenakan kepada produk dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan peran aktif pemerintah.

Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi penulis mengenai kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam perkembangan kebudayaan kita selama beberapa dekade terakhir. Kebijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan apa itu film nasional? Bohong, yang ada hanya lah film-film dan artis-artis Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta. Apa itu Monas? Monumen nasional? Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta.

Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional. Dalam penjelasan pasal 32 Undang-undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemajuan bangsa Indonesia.

Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak dulu telah memiliki banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita unik karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda ke dalam satu identitas baru yaitu Indonesia. Harus diakui, konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh penjajah. Itu menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu. Juga mengapa mayarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meski sesama anak Timor. Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat oleh para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-states) modern seperti yang kita kenal saat ini. PENUTUP

Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami secara bijak. Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda, yang dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Dan karena nasionalisme kita bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajah, maka sangat tidak pantas jika Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung dalam rumah Indonesia.

Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, penulis sangat berharap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan berlangsung lebih adil. Kita butuh lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di seluruh dunia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, penulis mendengar berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, penulis cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan nasional secara dinamis yang didorong oleh desentralisasi akan menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Dan apabila putra-putri Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara.

Marilah kita memaknai secara penuh arti sebuah nasionalisme, betapapun kita tak bangga bahkan mungkin muak dan malu menjadi orang Indonesia, jangan pernah tinggalkan Indonesia! Rasa malu dan muak itu harus kita yang melakukannya!

Darinya penulis bisa menyimpulkan, ke depan interaksi antarnegara dalam rangka saling mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya akan semakin intens, dan kompetisi pun akan kian mengentara. Di titik inilah sebuah negara yang besar dan kuat bisa menatap masa depannya dengan lebih optimis, sehingga mampu keluar dari kungkungan pesimistis dan mampu bertindak dengan efektif menyelesaikan masalah. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict. 2002. Imagineg Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar

Beberapa Kebudayaan Indonesia yang Diklaim Malaysia, dalam http://www.malingsia.com/2009/08/beberapa-kebudayaan-indonesia-y-diklaim-malaysia/, diakses tanggal 20 Maret 2010

http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/arcvhive20_e.html#eIbn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood. 1967. The Muqaddimah: An Introduction To History. Princeton: University Press

Tunggul Alam, Wawan (ed). 2001. Bung Karno: Demokrasi Terpimpin Milik Rakyat Indonesia. Jakarta: GramediaTurner, Kathleen J. 1984. Mass Media and Popular Culture. Chicago: Science Research Associatesi