pidato pengukuhan prof. dr. barmawi sp.pd-kp

26
TUBERKULOSIS: ANCAMAN KEGAWATAN DUNIA ASPEK IMUNOLOGI DAN TERAPI UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. dr. Barmawi, Sp.PD-KP.

Upload: iyas-athallah

Post on 30-Dec-2015

80 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

TUBERKULOSIS:

ANCAMAN KEGAWATAN DUNIA ASPEK IMUNOLOGI DAN TERAPI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Oleh:

Prof. dr. Barmawi, Sp.PD-KP.

Page 2: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

2

Tuberkulosis: Ancaman Kegawatan Dunia Aspek Imunologi dan Terapi

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit yang membunuh

hampir 2 – 3 juta masyarakat di dunia per tahun. Penyakit ini lebih banyak menyerang usia muda dan dewasa dibanding yang disebabkan oleh penyakit infeksi lain. Fakta bahwa TBC sebagai ancaman kegawatan dunia antara lain: tahun ini lebih banyak penderita TBC yang meninggal daripada tahun yang lalu; dalam satu detik ada seorang terinfeksi TBC; setiap 10 detik seorang akan meninggal; setiap tahun satu persen penduduk dunia terinfeksi dengan TBC. Basil TBC sangat menular, dan telah menyebabkan sepertiga penduduk dunia menderita penyakit ini. Apabila seseorang penderita, dengan alasan apa pun, tidak berobat, dalam waktu setahun akan menularkan antara 10 – 15 ke orang lain. Hal yang mengerikan, penyakit TBC seperti penyakit influenza, ditularkan lewat udara, menginfeksi orang lain melalui batuk, dan percikan ludah. Berbicara dengan penderita TBC paru dapat menularkan ke lawan bicara. Bahkan dengan bersin pun, mudah sekali menularkan ke orang lain. Ancaman kegawatan yang lain adalah TBC membunuh penderita dengan perlahan-lahan, menggerogoti, melubangi paru, dengan akibat kematian yang sangat mengerikan (WHO, 1998).

Penderita dengan terapi yang tidak teratur, juga sebagai ancaman, karena akan menjadi sumber penularan yang berbahaya, karena basil TBC yang ditularkannya bersifat kebal obat ganda yang dikenal dengan istilah multi drug resistant (MDR). Hal ini berarti seseorang yang tertular akan menjadi kebal (resistant) terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Ketidakteraturan berobat dapat disebabkan karena penderita sudah merasa enak waktu diberi obat, sehingga enggan meneruskan terapi yang dianjurkan dalam waktu tertentu. Hal ini jelas kesalahan penderita. Dapat pula terjadi justru kesalahan pada dokter atau petugas kesehatan, dengan menulis resep atau memberikan obat yang keliru, bahkan keliru memberikan kombinasi obat (macam-nya OAT), atau persediaan obat yang kurang lancar, kurangnya pengawasan. Perlu ditegaskan terapi yang tidak teratur justru lebih buruk dibandingkan dengan tanpa terapi. Penderita dengan MDR lebih sulit diobati, sehingga perlu obat lain yang lebih mahal dan akan

Page 3: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

3

menjadi lebih fatal prognosisnya (di negara sedang berkembang). Di negara industri, biaya pengobatan TBC sekitar US $ 2,000 per penderita, sedang penderita dengan MDR menjadi 100 kali lipat, sampai US $ 250,000 (WHO, 1998).

Penyakit TBC ada hubungannya dengan penyakit yang mulai mewabah di dunia yaitu H.I.V (Human Immunodeficiency Virus), termasuk di Indonesia. WHO (1997) melaporkan adanya epidemi H.I.V. merupakan beban bagi penderita TBC. Di dunia sekitar 2 miliar orang terinfeksi basil TBC, 16 juta terinfeksi HIV. HIV merupakan faktor penunjang memburuknya TBC (WHO, 1998).

Penyakit TBC merupakan penyakit yang sudah sangat kuno. Di negeri Mesir ditemukan pada mummi sekitar 3700 tahun sebelum Masehi. Penemu penyebab TBC pertama adalah Robert Koch, yang sekarang disebut Mycobacterium tuberculosis (basil TBC) pada tahun 1882. Mycobacterium yang lain adalah M.bovis dan M.africanum tetapi yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia hanya Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar (85%) menyerang paru, 15% menyerang di luar paru.

Beberapa tahun TBC telah dipikirkan sebagai penyakit yang ditularkan melalui genetis (genetically transmitted). Teori berkem-bang pada tahun 1856, ternyata penularan lain, yang terbanyak melalui percikan ludah yang lembut (droplet nucleus). Percikan dapat dikeluarkan melalui batuk, bersin, bernyanyi, atau meludah. Basil TBC dapat keluar bersama percikan, tidak dapat dihambat oleh masker, apalagi hanya dengan menutup mulut dan hidung. Penderita jangan meludah di tempat yang gelap (di bawah tempat tidur atau disudut rumah) walaupun dengan alasan supaya tidak ketahuan tetangga (terutama bercampur darah), sebab basil TBC dapat hidup berbulan-bulan di tempat yang gelap (lembab). Di tempat terang (kena sinar matahari), basil TBC dapat mati dalam beberapa jam.

Penderita TBC dengan basil positip pada ludahnya, juga sebagai ancaman, karena mudah menularkan ke pada orang lain. Sekali batuk, dapat mengeluarkan 3.500 percikan yang mengandung basil TBC, yang sangat mengancam kehidupan. Jumlah ini sesuai bila kita berbincang-bincang selama 5 menit dengan penderita. Pernah diteliti oleh Loudon dan Roberts, bila penderita semalam batuk 48 kali akan bisa menularkan 48% yang serumah, sedangkan bila batuk kurang 12

Page 4: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

4

kali semalam kemungkinan menularkan 28%. Padahal salah satu gejala penderita TBC, adalah batuk selama 3-6 bulan. Jumlah dahak penderita juga menentukan daya tularnya. Dahak yang kental, lengket, lebih menular daripada yang cair.

Dengan adanya ancaman kegawatan ini, maka kerjasama petugas kesehatan dengan penderita harus terpadu, penderita harus berobat dengan teratur, sesuai anjuran program pemberantasan TBC yang dicanangkan WHO yang diikuti seluruh negara. Teraturnya berobat setelah 2 minggu, dengan obat yang dianjurkan, walaupun penderita dengan dahak yang sebelumnya mengandung basil TBC penularannya akan turun drastis (Crafton, Douglas, 1974; Barmawi 2001). Dapat ditambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi penu-laran TBC antara lain status gizi, kebiasaan merokok, dan ekonomi lemah (Aris dkk, 2001).

Proporsi TBC di Indonesia dalam peta dunia, menurut laporan WHO (1999), Indonesia merupakan ”penyumbang” angka insidensi TBC terbesar ketiga di dunia, sesudah India dan Cina. Ancaman kegawatan yang dihadapi Indonesia antara lain, pertama, hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Kedua, diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 penderita baru dengan kematian karena TBC sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita TBC baru dengan BTA positif. Ketiga, TBC menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah. Keempat, sampai saat ini ujung tombak yang kita unggulkan yaitu Program Penanggulangan TBC dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) strategi yang diterapkan WHO untuk menanggulangi TBC setelah digaungkannya ”global emer-gency” pada tahun 1993, belum dapat menjangkau seluruh Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah, Swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya, padahal DOTS ini merupakan strategi yang komprehensif dari upaya kesehatan primer yang digunakan untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TBC. Strategi tersebut meliputi pengawasan dan monitoring pengobatan oleh tenaga kesehatan/tenaga terlatih

Page 5: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

5

sampai penderita sembuh dan didukung oleh komitmen politis dan sumberdaya yang memadai (Dye, 1998; DepKes. 2000; Barmawi, 2001). Kelima, tahun 1995-1998, cakupan penderita TBC dengan strategi DOTS baru mencapai sekitar 10% dan error rate belum dihitung dengan baik meskipun cure rate lebih besar dari 85%. Keenam, terapi penderita TBC dan sistem pencatatan pelaporan belum seragam di semua unit pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta. Yang terakhir, merupakan kunci ancaman dan kegawatan adalah pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu, diduga sebagai momok yang telah menimbulkan kebal ganda obat basil TBC terhadap OAT (WHO, 1999).

Sepuluh ancaman terhadap wanita dan anak, merupakan ancam-an kegawatan penyakit TBC di dunia. Pertama, TBC membunuh wanita lebih banyak daripada kematian yang disebabkan karena beberapa sebab. Kedua, TBC membunuh wanita hampir satu juta pertahun, melebihi kematian wanita yang disebabkan oleh penyakit infeksi. Termasuk seperempat juta wanita dalam giat-giatnya sebagai penopang ekonomi keluarga yang produktif. Dalam penelitian, 60% penderita TBC adalah wanita. Ketiga, TBC membunuh 100.000 anak pertahun. Keempat, TBC menyebabkan lebih banyak anak menjadi yatim-piatu dari pada penyebab penyakit yang lain. Kelima, penyakit TBC memperparah kejurang kemiskinan. Keenam, beberapa negara, anak dipaksa bekerja untuk menopang keluarga jika orang tua yang sebagai tiang hidup meninggal karena TBC. Ketujuh, penyakit TBC mempunyai ciri khas menyerang usia muda, sebagai usia produktif dalam kehidupan. Kedelapan, dalam tahun 1990, 10% wanita usia produktif meninggal akibat penyakit TBC. Kesembilan, sebagian besar anak-anak terkena serangan TBC berat yang menyerang otak dan tulang belakng. Terakhir, di beberapa bagian dunia, wanita ada yang lebih ulet berjuang bekerja di lapangan, sehingga mempunyai risiko lebih besar terkena penyakit TBC (WHO, 1998).

Penyumbang lain, yang menyebabkan ancaman meluasnya penyakit TBC adalah sosial ekonomi (kemiskinan). Penderita TBC sebagian besar adalah orang miskin. Laporan Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyatakan, penyakit TBC merupakan beban berat bagi Indonesia. Kerugian ekonomi akibat 1,7 juta penderita TBC di Indonesia tidak

Page 6: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

6

kurang dari Rp 8,5 trilyun, setara dengan dua kali anggaran Depar-temen Kesehatan, sehingga bila kita bersama dapat berhasil menanggulangi penyakit ini, dalam delapan tahun kedepan, dapat diselamatkan Rp 61 trilyun. Oleh karena itu semua pihak harus terlibat dalam pemberantasan penyakit TBC, karena kesehatan merupakan syarat agar orang berproduksi (bidang ekonomi). Sebaliknya sakit memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik biaya pengobatan, biaya ekonomi dan sosial bagi penderita TBC, dan hilangnya pajak negara karena tidak bisa bekerja. Karenanya, penanggulangan penyakit TBC harus dilakukan tuntas dengan intervensi tepat waktu, dana memadai, kualitas pelayanan sesuai standar, dan melibatkan semua pihak. Penderita TBC jangan diandalkan akan mengobati diri sendiri. Seluruh pihak, pemerintah dan masyarakat perlu berkontribusi dalam pemberantasannya, mengingat faktor eksternalitas penyakit TBC, di mana penyakit bisa menular kepada siapa saja. Kemiskinan menyebabkan orang terancam kekurangan gizi, apalagi tinggal di daerah kumuh, menyebabkan meningkatnya penyebaran penyakit TBC. Lingkaran setan antara penyakit TBC dan kemiskinan perlu diputus lewat penyembuhan sehingga penderita bisa terangkat dari kemiskinan. Pemberantasan penyakit TBC harus merupakan program utama pemerintah, dengan didukung pembiayaan memadai dan menjadi gerakan masyarakat (Aris, dkk., 2001; Barmawi, 2001).

Ancaman yang memicu meluasnya atau sulitnya pemberantasan penyakit TBC adalah budaya atau perilaku penderita TBC khususnya. Ada anggapan bahwa penyakit TBC tidak dapat disembuhkan, hal ini mempengaruhi perilaku pengobatan. Penderita enggan berobat, atau berobat tidak teratur, sehingga meningkatkan angka MDR. Anggapan sebagian masyarakat bahwa penyakit TBC disebabkan ”kutukan” atau dibuat orang lain (di guna-guna) harus dihilangkan. Penderita TBC bukanlah orang yang harus dikucilkan, tetapi orang yang kurang beruntung, perlu dukungan untuk kesembuhan. Budaya ini harus diakhiri, ajakan dalam perkumpulan, organisasi, didukung dan disa-rankan berobat teratur. Peran masyarakat/petugas kesehatan adalah membantu menemukan tersangka penderita TBC dan merujuk ke pusat kesehatan, memberikan penyuluhan pada penderita TBC, mengingatkan/mengawasi penderita untuk minum obat dan meng-

Page 7: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

7

ingatkan segera periksa ke petugas kesehatan, dan periksa dahak di laboratorium (Barmawi, 2002).

Dana, merupakan bagian dari keberhasilan pemberantasan penyakit TBC, menurut Direktur Jendral Kesehatan Departemen Kesehatan pada Maret 2002, Indonesia perlu dana sebesar Rp 170 miliar untuk memberantas penyakit TBC yang kini sudah menjangkiti sebagian masyarakat Indonesia. Disebutkan bahwa dana sebesar itu hanya bisa mengobati penderita TBC maksimal 40%. Untuk mendapat dana itu pemerintah pusat akan meminta partisipasi pemerintah kota maupun kabupaten agar mau memberikan sebagian anggarannya untuk kepentingan tersebut. Pemerintah pusat akan menganggarkan sebesar Rp 45 miliar, pemerintah kota dan kabupaten diminta menyumbang Rp 10 juta pertahun, sedangkan pemerintah provinsi sebesar Rp 50 juta pertahun, sisanya akan dicarikan dana bantuan dari donatur asing, seperti Jepang, Amerika, Belanda, dan negara donor lainnya, sebab kalau mengandalkan dari pusat jelas tidak mungkin. Dengan demikian pemberantasan penyakit TBC bukan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat saja. Ada usulan dari Ketua Umum PPTI (Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Indonesia), yaitu menjalankan program bapak angkat bagi penderita TBC. Program bapak angkat diperlukan karena 80-90% penderita TBC adalah golongan masyarakat miskin. Maksudnya, supaya penderita TBC bisa dipantau sampai sembuh yang rata-rata memerlukan waktu enam bulan. Juga untuk membantu ekonomi penderita TBC dan keluarganya secara tidak langsung, baik melalui permodalan maupun saran-saran karena kemiskinan yang berujung pada tingkat kebersihan lingkungan, termasuk penyumbang besar bagi berkembangnya penyakit TBC. Yang sulit dalam pelaksanaanya, yaitu berapa target jumlah bapak angkat, kalau program ini terlaksana. Dikatakan, program-program pemberantasan penyakit TBC yang sudah dicanangkan ternyata kurang berhasil akibat kurangnya dana, tenaga dan fasilitas. Hal ini merupakan ancaman kegawatan penyakit TBC (Barmawi, 2001).

Ancaman kegawatan penyakit TBC datang lagi dengan adanya jumlah penderita TBC yang terinfeksi dengan kuman kebal obat ganda (MDR) terhadap obat OAT. Ada sepuluh fakta dunia yang dilaporkan WHO 1998. Pertama, sekitar 50 juta penduduk terinfeksi dengan MDR. Kedua, penderita TBC dengan MDR terhadap OAT, tidak

Page 8: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

8

dapat diobati sejak 50 tahun yang lalu. Ketiga, para ilmuwan berfikir kembali penelitian yang telah dilakukan 50 tahun, dengan adanya ancaman strain (jenis) dari basil TBC yang mengancam dan tidak dapat diobati. Keempat, bagi negara yang sedang berkembang penderita dengan MDR, sulit diobati (tidak berhasil). Kelima, sampai sekarang diidentifikasi daerah-daerah/negara yang cenderung mempu-nyai MDR TBC, seperti Rusia, Latvia, Estonia, India, Argentina dan Republik Dominica, didapat antara 7 sampai 22%. Keenam, MDR basil TBC disebabkan oleh tidak konsistennya (penderita berobat) atau berobat hanya setengah jalan, penderita tidak teratur minum obat sesuai waktu yang ditentukan, hal ini bisa karena kesalahan penderita yang sudah merasa sehat pada waktu minum obat selang beberapa waktu, sehingga lebih ”menyumbang” penyakit TBC sebagai ancaman kegawatan dunia. Ketujuh, dari sudut pandang kesehatan masyarakat, jeleknya pengawasan, pengobatan penyakit TBC yang kurang lengkap justru lebih berbahaya dari pada tidak diobati sama sekali. Kedelapan, angka kesembuhan hanya dicapai kurang 70% . Kesembilan, penderita TBC dengan kekebalan ganda lebih sulit diobati dan mudah menjadi kegawatan di negara yang sedang berkembang. Terakhir, di negara industri, adanya penderita TBC dengan MDR akan meningkatkan biaya lebih dari 100 kali bila dibandingkan dengan penderita TBC biasa (WHO, 1998).

Sebagian besar (85%) penyakit TBC menyerang paru, 15% di luar paru/tuberkulosis ekstra paru (TBEP). TBEP antara lain lim-phadenopati TBC (mediastinum atau hilus) atau efusi pleura, tanpa ada kelainan foto dada. Apabila penderita menderita TBC paru dan kebetulan ada TBEP, dianggap TBC paru. Penyakit dapat dimasukkan TBC paru atau TBEP tergantung lebih berat mana sisi infeksinya. Dalam pengobatan, umumnya sama, walaupun penelitian ada yang menganjurkan untuk TBC otak (meningitis), membutuhkan waktu pengobatan lebih lama. Kepentingan untuk mengetahui letak infeksi, adalah untuk pencatatan dan pelaporan (recording and reporting) atau RR. Tentang jeleknya RR di negeri kita termasuk penyumbang ancaman kegawatan di negeri kita.

Beratnya penyakit TBC dapat digambarkan dari muatan kuman yang ada dalam sputum penderita; makin banyak muatan kuman makin berat penyakitnya dan makin mudah menularnya. Meluasnya

Page 9: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

9

penyakit, serta organ tubuh yang terkena, menentukan beratnya TBC, termasuk yang menyerang jantung, tulang, otak, perut (peritonitis), adanya cairan pada kedua paru, dan alat saluran kencing. TBEP yang ringan, menyerang kelenjar getah bening, cairan paru hanya sebelah sisi, persendian, dan kulit (WHO, 1997).

Aspek Imunologi

Imunitas yang berperan pada penyakit TBC adalah reaksi seluler dan humoral. Karena penyebabnya mikro organisme intra seluler, yang berperan dominan adalah reaksi imunologi seluler. Mekanisme humoral sedikit perannya, dan tidak secara tegas, tetapi memang secara koordinatif bekerja sama dengan mekanisme imun seluler (Male dan Roitt, 1989). Aspek imunologi, berperan pula pada pato-genesis penyakit TBC.

Patogenesis TBC paru dimulai sejak terjadinya infeksi pada organ paru akibat menghirup partikel basil TBC (nucleus) atau basil TBC berukuran 1-5 yang berasal dari penderita TBC paru yang keluar melalui batuk, berbicara, maupun bersin. Hasil sekresi dari penderita tersebut dapat dua kemungkinan, yang pertama tetap berada pada udara bebas sampai ada individu yang menghirupnya dan basil TBC akan dapat mencapai alveoler paru karena partikelnya sangat kecil. Kemungkinan kedua basil TBC akan jatuh di lantai, meja, atau peralatan lain yang bercampur dengan debu kering berukuran lebih dari 5 yang sifatnya tidak terlalu infeksius karena sistem mukosiliare pada partikel sebesar itu mampu bekerja secara efisien membersihkan dan mengeluarkan dari saluran pernafasan (Freeman, 1985; Warren, 1992). Diperkirakan 5-15% individu yang terinfeksi basil TBC akan berkembang menjadi penderita TBC aktif, yang mempunyai variasi dalam hubungannya dengan waktu setelah infeksi primer atau beberapa tahun kemudian melalui reaktivasi (Barnes, dkk, 1991; Freeman, 1985; Warren, 1992). Mengapa tidak semua individu yang terinfeksi basil TBC tidak berkembang menderita penyakit TBC lebih lanjut. Hal ini diperkirakan pada individu yang normal atau individu yang berada dalam kondisi imunokompeten akan mampu mengatasi infeksi tuberkulosis, walaupun sebagian kecil basil TBC mungkin menetap sebagai bakteri dorman melalui mekanisme pertahanan diri.

Page 10: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

10

Kemampuan basil TBC dapat menetap selama bertahun-tahun dalam jaringan (dorman) merupakan suatu misteri dalam bidang miko-bakteriologi (Grange, 1994). Basil TBC dapat tetap hidup untuk jangka lama dalam keadaan anaerob tanpa mengadakan replikasi. Imunitas individu turut berperan untuk mempertahankan keadaan dorman dimana reaktifasi terjadi bila sistem imun melemah (Grange, 1994). Pada 5-15% kasus individu akan berkembang menjadi penderita TBC paru karena diduga sebagai konsekuensi adanya defek sel T dan fungsi makrofag atau kedua-duanya sehingga kemampuan fagisitosis dan membunuh basil TBC menjadi lemah (Barnes dkk., 1991; Warren, 1992).

Patogenesis akibat tidak berfungsinya sel T pada penyakit akibat basil TBC belum sepenuhnya dimengerti. Dua mekanisme yang dapat menerangkan kemungkinan terjadinya adalah adanya defek genetis dalam presentasi antigen dan tertekannya fungsi kekebalan secara maksimal (Daniel dan Ellner, 1988; Shorff dkk., 1991). Beberapa penelitian menunjukkan, pada penyakit infeksi termasuk penyakit TBC terdapat peningkatan risiko relatif pada beberapa HLA, baik HLA klas I maupun HLA klas II (Chen, dkk, 1985; Pollack dan Rich, 1985; Singh dkk, 1983).

Tuberkulosis paru primer terjadi pada individu yang tidak mempunyai respon imunitas cukup kuat terhadap basil TBC. Partikel yang masuk ke dalam alveoli melalui pernafasan akan ditangkap makrofag. Karena respon imunitas tidak ada maka basil TBC akan berproliferasi di dalam phagosome. Pada makrofag yang mati, basil TBC akan keluar sel kemudian ditangkap oleh makrofag yang lainnya, sedangkan sebagian basil TBC lainnya meloloskan diri dari tangkapan makrofag melalui aliran limfatik dan menetap sebagai fokal infeksi pada limfonodi hilus ipsilateral dari paru. Dari limfonodi hilus basil TBC menyebar melalui ductus thoracicus masuk ke dalam sirkulasi, dan menempati beberapa organ termasuk sumsum tulang, hati, lien, ginjal, otak, dan sebagian besar akan menentukan perkembangan TBC paru kronik pada daerah apek posterior dari lobus paru superior dan segmen superior dari lobus bawah. Pada fase infeksi basil TBC secara klinis akan terjadi hipersensitivitas seluler pada host terhadap tuberkel basil TBC dalam bentuk respon inflamasi granulomatosa pada tempat jaringan yang mengalami infeksi. Granulomatosa menghasilkan fokal

Page 11: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

11

agregat yang terdiri dari kumpulan makrofag, sel-sel Langhans, dan jaringan granulasi (Warren, 1992).

Dilihat dari cara penyebarannya, komplikasi dapat dibagi ke dalam bentuk perkontinuitatum atau penyebaran di sekitarnya yang dapat dilihat pada kejadian adanya penekanan bronkus terutama bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar hingga menimbulkan sumbatan (obstruksi) pada saluran nafas yang bersang-kutan dengan akibat atelektasis. Basil TBC akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis tersebut dan dikenal sebagai penyebaran epituberkulosis. Bentuk lain penyebaran secara bronkhogen, baik di paru yang bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Dengan tertelannya sputum bersama ludah, penyebaran ini juga dapat terjadi ke dalam usus. Penyebaran melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah ini sangat tergantung dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil TBC. Sarang-sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan walaupun jarang. Akan tetapi bila tidak mempunyai imunitas yang adekuat penyebaran ini akan menimbulkan keadaan yang berakibat fatal, seperti tuberkulsos milier, meningitis tuberkulosis, maupun penyebaran ke organ-organ dalam lainnya (Warren, 1992).

Reaktivasi atau TBC paru kronik terjadi pada individu yang mempunyai beberapa hambatan imunitas terhadap basil TBC. Setelah fase infeksi primer yang memberikan hasil penyebaran tuberkel basil TBC, akan terjadi respon imunitas seluler. Akan tetapi tidak selalu tuberkel basil TBC dapat dieradikasi sehingga proses kavitasi dapat terjadi pada daerah paru tersebut dalam waktu yang berdekatan dengan fase infeksi, atau biasanya setelah periode yang cukup lama setelah fase laten. TBC paru kronik kebanyakan terjadi pada daerah posterior dari apek paru. Hal ini mungkin berhubungan erat dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi dan sedikitnya aliran limfatik pada daerah tersebut.

Akumulasi konsentrasi antigen Mycobacterium tuberculosis yang besar merupakan manifestasi hebatnya reaksi hipersensitivitas. Dari pusat perkejuan yang terisi tuberkel-tuberkel tersebut akan menjadi bentuk liquid yang akhirnya akan mengalami nekrosis liquefaction. Erosi dari sarang perkejuan ke dalam bronkhus menghasilkan aliran material nekrotik masuk ke dalam cabang-cabang

Page 12: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

12

bronkhial dan akan membentuk kavitas baru pada paru. Bentuk kavitasi ini adalah sangat penting sebagai petunjuk adanya bentuk tuberkulosis paru kronik.

TBC paru kronik atau menahun dimulai dengan sarang dini, mula-mula berbentuk sarang pneumonik kecil. Kemudian nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu tahapan, yaitu diresorbsi kembali, dan sembuh tanpa meninggalkan cacat atau sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan ditandai adanya jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan menyembuh dalam bentuk kalsifikasi. Sebaliknya dapat juga terjadi sarang tadi menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas, bila jaringan perkejuan dibatukkan keluar. Kemungkinan selanjutnya, kavitas dapat pula memadat dan membungkus diri atau encapsulated dinamakan tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur untuk sembuh atau justru mencair untuk menjadi aktif kembali dalam bentuk kavitas menjadi bersih dan menyembuh yang disebut dengan istilah open healed cavity, akhirnya mengecil. Selanjutnya kavitas yang terbung-kus dan menciut ini dapat kelihatan sebagai bintang atau stellate shaped.

Imunitas seluler dapat memperlambat proses TBC paru yang progresif, dalam bentuk penyembuhan berupa fibrosis dan kalsifikasi distropik dari lesi kavitas. Walaupun demikian, basil TBC yang masih mampu hidup pada lesi kalsifikasi fibrogranuloma pada TBC paru kronik ini tetap merupakan lesi potensial untuk berkembang menjadi aktif kembali (Warren, 1992).

Mekanisme pertahanan imunitas seluler

Dua kelompok besar sel fagositosis yang berperan aktif adalah makrofag dan leukosit polimorfonuklear yang mampu menelan basil TBC. Akan tetapi mereka tidak mampu untuk sekaligus menghan-curkannya. Pertempuran untuk tetap hidup selanjutnya diperebutkan antara basil TBC yang patogen tersebut dengan makrofag. Makrofag berubah menjadi aktif terhadap sel Mycobacterium tuberculoisis melalui respon imunitas. Setiap aktivasi makrofag mampu secara aktif menelan basil TBC patogen.

Page 13: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

13

Peranan penting respon imun spesifik terjadinya aktivasi makro-fag dan bentuk granulasi disebut sebagai cell-mediated immunity. Setelah stimuli antigen asing, sel limfosit T yang berasal dari thymus akan berproliferasi dan mensintesis sejumlah molekul menyerupai hormon yang disebut limfokin. Salah satu bentuk limfokin tersebut antara lain macrophage activating factor (MAF) yang merangsang peningkatan aktivitas metabolik makrofag. Bentuk lain yang juga berperan penting adalah macrophage migration inhibition factor (MIF) dan macrophage fusion factor (MFF) yang meningkatkan bentuk sifat-sifat granulasi yang berisi sel-sel raksasa (Barnetson dan Gawkrodger, 1989).

Sering terjadi kegagalan diferensiasi limfosit T. Hal ini disebab-kan tertekannya antigen responsive cell sehingga mempengaruhi besarnya respon terhadap semua sel antigen. Kemungkinan lain dari bagian imunodefisiensi adalah pada tingkat gangguan mekanisme regulasi limfosit T. Jumlah limfosit normal tetapi fungsinya tertekan sehingga pada tahap pengoperasian dalam fungsinya akan meng-akibatkan kegagalan produksi limfokin dan proliferasi dari antigen responsive cell. Akhirnya imunodefisiensi pada tingkat lainnya merupakan akibat dari defek fungsi limfosit akan mempengaruhi kerja pada tingkat sel fagosit. Dengan tidak berjalannya kerjasama yang optimal di antara makrofag dengan limfosit akan menyebabkan kegagalan aktivitas mikrosidal (Hopewell, 1986).

Antigen basil TBC yang telah diproses dapat juga dipresen-tasikan ke sel T helper, disebut CD4 melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) class II (Abbas dkk, 1994; Munk dan Emoto, 1995). Sel CD4 sendiri terdiri dari dua subpopulasi yaitu sel T helper 1 (Th1) dan Th2 masing-masing menghasilkan beberapa sitokin yang berperan dalam regulasi sistim imun. Sel Th1 mengha-silkan Interleukin 4 (IL-4) yang dapat menghambat aktivitas makrofag dan IL-6 yang berperan dalam pematangan sel B (Barnes dkk., 1991).

Basil TBC yang bersifat intraseluler merangsang sel makrofag untuk menghasilkan IL-12 yang berperan dalam pembentukan sel Th1 baik secara langsung maupun tidak langsung (Trichieri, 1993). Secara tidak langsung IL-12 akan bekerja sama dengan IL-1 dan Tumor Necrosis Factor (TNF) untuk merangsang sel T dan sel Natural killer (NK) agar menghasilkan Interferon-gamma (IFN). IFN sendiri akan

Page 14: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

14

memberikan umpan balik yang positif terhadap produksi IL-12 oleh sel makrofag, sedangkan IL-4 dan IL-10 yang dihasilkan oleh sel Th2 memberikan umpan balik negatif sehingga dapat menghambat produksi IL-12 (Triencheri, 1993). Selain itu peningkatan produksi IL-12 oleh sel makrofag dapat juga terjadi karena hambatan IFN terhadap produksi IL-10 endogen makrofag (Barnes dkk, 1993; Mung dan Emoto, 1995).

Dengan kemajuan bidang imunologi, ada sumbangan untuk ikut memberantas TBC sebagai ancaman kegawatan dunia umumnya, Indonesia khususnya. Pada tahun 1991, telah diteliti, apakah daya tahan tubuh penderita akan bangkit kembali sehingga bisa membunuh basil TBC dengan memberikan gizi yang baik saja? Ternyata, kalau pengobatan penderita tidak sesuai program, tidak mengikuti waktu yang ditentukan (hanya 1 bulan pengobatan), lalu berhenti, daya tahan untuk membunuh basil TBC tidak ada manfaatnya (Sumining dkk, 1991). Dengan adanya penelitian ini, Barmawi dkk. (1993) melan-jutkan penelitian serupa, dengan tambahan, waktu pengobatan selama 6 bulan. Dari 22 penderita TBC, sebelum pengobatan, 19 penderita (87,36%) daya tahan turun, sehingga mudah terancam jiwanya. Setelah diberikan terapi dan dipantau pengobatan selama 6 bulan, daya tahan naik dengan pesat dan mampu mengatasi penyakit TBC yang mengancam jiwa (tinggal 2 orang/9,09% daya tahan masih turun). Sedang 3 penderita TBC yang daya tahannya dalam batas normal (sebelum pengobatan), setelah pengobatan 6 bulan, daya tahan naik dengan cepat sehingga dapat mengatasi kegawatan jiwanya sebanyak 20 orang (90,91%).

Penelitian imunologi diteruskan Barmawi dkk (2000) yang menekankan bahwa penderita TBC yang berat, kadar INF rendah, sedang yang ringan, kadar INF lebih tinggi. Dalam penelitian ini didapat 7 penderita TBC (20%) ringan, 12 penderita TBC sedang (34,25%) dan 16 penderita TBC berat. Kadar INF menunjukkan bahwa pada penderita TBC berat terjadi suatu mekanisme anergi dari sistem imun, sehingga produksi INF lebih rendah (Barmawi dkk, 2000).

Page 15: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

15

Harapan masa depan, menurut Sodhi dkk (1997), dengan diketa-hui bahwa sel T mensekresi INF, sedang yang mensekresi INF adalah CD4, sedang CD8 dan sel NK dalam jumlah sedikit, ada tehnik tertentu dengan analisis molekuler, untuk mengurangi kuman MDR dengan OAT. Metode ini cepat mengetahui pola kepekaan terhadap OAT. Harapan cerah lainnya dengan PCR dan identifikasi sequens DNA, dapat mendeteksi basil TBC tanpa melakukan kultur. Namun adaptasi metode diagnostik di negara berkembangpun masih terbatas cita-cita (Grango, 1996). Fenomena ini menunjukkan bahwa faktor genetik tertentu, mempengaruhi kemampuan individu untuk tidak terkena penyakit TBC, dalam aplikasi klinis mengapa 90% penderita hanya terkena infeksi, tanpa kena penyakit, sedang lebih kurang 10% saja yang berkembang menjadi penderita TBC (Hill, 1998).

Aspek Terapi

Terapi penderita TBC digencarkan lagi, setelah WHO pada 1993 mencanangkan ancaman kedaruratan (kegawatan) global, karena pada sebagin besar di dunia, penyakit TBC tidak terkendali. Disebabkan, banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular. Apalagi tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi 9 juta penderita TBC baru dengan kematian 3 juta orang. Di negara berkembang, kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian, yang seharusnya dapat dicegah.

Ada harapan dalam terapi penyakit TBC. Antara lain, dengan biaya yang lebih sedikit, teknik sederhana, justru dapat menjanjikan, bahkan melawan MDR, kalau dijalankan dengan baik, yaitu program DOTS. WHO merekomendasikan strategi terapi TBC dengan DOTS yang ternyata telah dilaksanakan dengan sukses di sebagian negara dan sangat menghemat biaya negara.

Pesan-pesan yang manjur untuk berhasilnya terapi yang perlu disampaikan pengambil keputusan adalah, penyakit TBC adalah ancaman kegawatan dunia (penyakit yang bisa membinasakan/TBC is devastating disease), yang dapat mengancam perorangan, famili, masyarakat, dan ekonomi. Pesan yang kedua, dengan strategi program DOTS, yang lebih menjanjikan, efektif, murah. Apalagi untuk mendiagnosis kadang-kadang sulit, karena perjalanan penyakit yang

Page 16: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

16

tidak jelas/berbeda-beda, (Grange,1994; Barmawi dkk, 2002; Barma-wi dkk, 2002; Barmawi dkk, 2002; Barmawi dan Nadrizal, 2001; Barmawi dan Lulus Budiarto, 2001; WHO, 1998).

Berbagai terapi untuk menanggulangi penyakit TBC telah dila-kukan, tetapi hasilnya belum memuaskan, apalagi dengan mewa-bahnya penyakit HIV / AIDS, ekstra paru dan keadaan khusus.

Untuk penyakit TBC, sejak 1995, program pemberantasan TBC, telah dilaksanakan dengan strategi DOTS, yang direkomendasikan WHO. Perkembangan selanjutnya, dibentuk GERDUNAS-TB (Gerak-an Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis), maka Pemberan-tasan Penyakit Tuberkulosis berubah menjadi Program Penanggu-langan Tuberkulosis. Dengan program DOTS, memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost-effective. Hal ini ditempuh karena adanya program TBC yang dilaksanakan bersama oleh Indonesia dan WHO pada April 1994 (Indonesia-WHO Joint Evaluation on National TBC program) dan dicanangkan Gerdunas-TBC, 24 Maret 1999. Tugas dan tanggung jawab Gerdunas, mene-tapkan kebijaksanaan, memberikan panduan, serta melakukan evaluasi program secara teratur. Di samping itu memciptakan iklim kemitraan dalam upaya penanggulangan penyakit tuberkulosis. Manajemen penanggulangan TBC di Indonesia dengan strategi DOTS ditekankan pada kabupaten/kota. Tujuan penanggulangan penyakit TBC ada dua, jangka panjang dan jangka pendek. Jangka panjang bertujuan memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TBC tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Yang jangka pendek , tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA yang ditemukan, tercapainya cakupan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2005 dapat mencapai 70% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif.

Tujuan terapi TBC selain menyembuhkan penderita, mencegah kematian, kekambuhan juga menurunkan risiko penularan. Prinsip terapi penderita TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 bulan – 8 bulan. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan),

Page 17: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

17

basil TBC akan berkembang menjadi MDR sehingga sulit sembuh, maka dari itu untuk menanggulangi, perlu pengawasan langsung dengan strategi DOTS. Terapi TBC ada dua tahap, intensif dan lanjutan. Tahap intensif penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi. Bila dua minggu terapi teratur, penderita menurun drastis penularannya. Tahap lanjutan, penderita mendapat obat dalam jangka waktu lebih lama, jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan.

Terapi TBC di Indonesia, sesuai dengan program dari WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, Kategori I yaitu 2 bulan, R (Rifampisin), H (Isoniazid), Z (Pirazinamide), E (Etambutol) tiap hari dilanjutkan 4 bulan R3H3 (R 3 x seminggu, H 3 x seminggu) atau 2RHZE/4RH, dapat juga 2RHZE/6HE. Kategori 2 yaitu 2RHZES/RHZE/5R3H3E3 atau 2RHZES/RHZE/5RHE. Sedang kategori 3 yaitu 2RHZ/4R3H3 atau 2RHZ/RH atau 2RHZ/6HE. Di Indonesia menggunakan 2RHZE/4R3H3 (kategori 1), 2RHZES/RHZE/5R3H3E3 (kategori 2) dan 2 RHZ/4R3H3 (kategori 3) disamping ketiga kategori, disediakan paduan obat sisipan (RHZE), yaitu bila pada akhir tahap intensip dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil pemeriksaan dahak BTA (basil tahan asam) positif, diberikan 1 bulan. Obat kategori 1 diberikan untuk penderita baru TBC dengan BTA positif, atau BTA negatif dengan foto dada pada paru terlihat ”sakit berat” atau kasus TBC ekstra paru berat. Dosis tahap intensif (dosis harian) 2 bulan R (450 mg), H (300 mg), Z (3 biji @ 500 mg), E (3 biji @ 250 mg), selama 60 hari ( 60 kali menelan obat). Dilanjutkan tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu) selama 4 bulan R (450 mg), H (2 biji @ 300mg) selama 54 hari (54 kali menelan obat). Dosis tersebut diatas untuk penderita dengan berat badan 33 – 50 kg. Bila kasus TBC kambuh (relaps), gagal (failure), atau lalai (default) harus diberikan obat kategori 2 yang terdiri dari 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 artinya tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan

Page 18: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

18

tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Bila penderita TBC dengan BTA negatif, foto dada positif sakit ringan, atau ekstra paru ringan seperti TBC kelenjar limfe, efusi pleura unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi, kelenjar adrenal, diberikan kategori 3, yaitu 2 RHZ/4 R3H3. Bila pada akhir tahap intensif terapi dengan kategori 1 atau 2, hasil pemeriksaan dahap BTA masif positif, diberikan obat sisipan (RHZE) setiap hari selama 1 bulan (Dep. Kes., 2000).

Dalam aspek terapi, ada kaitannya dengan strategi penanggu-langan TBC secara nasional sesuai rekomendasi WHO. Salah satunya adalah kegiatan penelitian. Ditingkat nasional, indikator dikembang-kan sebagai ”alat ukur kemajuan” (marker of progress). Indikator nasional yang dipakai untuk mencapai target program antara lain proporsi kasus TB positif diantara suspek, angka konversi (conversion rate), angka kesembuhan (cure rate).

Salah satu kebijakan operasional adalah target program untuk mencapai angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA positif dengan angka kesalahan maksimal 5%. Strategi penanggu-langan TBC Nasional antara lain kegiatan penelitian. (DepKes RS, 2000). Penelitian telah dilakukan Barmawi (2001) di RS Dr. Sardjito, sejak April 2000 sampai Maret 2001 dengan judul Tuberculosis Control in Sardjito Hospital: Success of The Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) Strategy. Sebetulnya sejak April 2000, RS Dr. Sardjito telah melakukan strategi DOTS tetapi belum ada evaluasi. Penelitian ini untuk mengevaluasi antara lain proporsi kasus BTA positif diantara suspek, angka konversi dan angka kesembuhan, yang termasuk sebagian indikator sejauh mana tujuan telah dicapai. Diteliti sebanyak 613 kasus suspek TBC di RS Dr. Sardjito. Ditemukan 59 kasus (9,6%) sputum BTA positif. Hal ini menunjukkan keberhasilan proses penemuan sampai sekitar 10%. Angka konversi merupakan prosentase penderita TB dengan BTA positif yang mengalami konversi menjadi negative setelah menjalani pengobatan intensif. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Pada penelitian di RS Dr. Sardjito, angka konversi didapat 85,2%. Diantara kasus TB yang dipantau didapat angka kesembuhan 85,2%.

Page 19: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

19

Angka kesembuhan merupakan persentase penderita TBC, BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara penderita TBC yang tercatat. Pada penelitian ini angka konversi merupakan indikator yang penting dalam strategi DOTS. Di RS Dr. Sardjito didapat lebih dari 80% angka ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang lain, yaitu yang dilakukan Walley, (2001); Floyd, (1997); Mushtaque, (1999). Strategi DOTS lebih baik bila dibanding-kan dengan program konvensional, karena diikuti dengan PMO (Pengawas Menelan Obat).

Harapan masa depan, terapi laser Nitrogen intrakavitas (dengan panjang gelombang 337 nm) dan Laser Hilium-Neon endovaskuler (panjang gelombang 632,8 nm) berperan dalam terapi adjuvant kasus TBC dengan MDR. Radiasi laser semi konduktor eksternal mempu-nyai efek pemendekan waktu konversi sputum. Studi yang sedang dikembangkan adalah efek laser Gallium Arsenide (panjang gelombang 890 nm) yang diberikan bersama OAT, yang sampai sekarang mekanisme yang pasti belum diketahui (Puri dan Arora, 2003).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang mulai mewabah, menambah TBC sebagai ancaman kegawatan dunia. Mewabahnya HIV seiring dengan berkembangnya TBC, apalagi seperti di Indonesia, TBC merupakan ”penyumbang” insidensi ketiga tertinggi di dunia. Diperkirakan 2 miliar penduduk yang terinfeksi TBC, 16 juta terinfeksi HIV dan 5-6 juta terinfeksi keduanya, 20% diantaranya di Asia. HIV merupakan faktor terkuat sebagai pencetus berjangkitnya TBC. Di Afrika, 30%-70% penderita TBC terkena HIV.

Hubungan berkembangnya HIV dengan TBC dalam bidang daya tahan (imunologi), adalah sistem pertahanan tubuh, yang disebut CD4 limfosit, jumlah dan fungsinya menurun. Karena menurun, maka penyakit TBC akan cepat berkembang, menyebar dan umumnya menyerang di luar paru (ekstra paru) seiring dengan mewabahnya HIV. Ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati, efusi pleura, perikarditis, milier dan radang otak. Terapi TBC yang mengidap HIV, sama dengan TBC biasa.

Page 20: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

20

Terapi penyakit TBC pada keadaan khusus

Pada wanita hamil terapi sama dengan TBC umumnya, kecuali streptomisin, sebab mengakibatkan ototoxic, yaitu gangguan pende-ngaran pada janin. Obat tersebut dapat diganti dengan etambutol. Seyogyanya dijelaskan pada ibu hamil, terapi penyakit TBC ini sudah berdasar dengan pedoman standar terapi, tidak berbahaya demi kelancaran persalinan.

Pada ibu yang sedang menyusui, terapi anti TBC diberikan sama dengan yang tidak menyusui, supaya tidak menular ke bayinya. Dijelaskan pula, ibu dan anak dapat tidur sekamar. Bayi dapat diberikan INH sebagai pencegahan dan perlu imunisasi BCG.

Pada wanita pengguna kontrasepsi (pil), terapi TBC dengan rifampisin dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi, maka disarankan menggunakan pil yang mengandung hormon estrogen lebih 50 meg.

Untuk penderita TBC dengan kelainan hati, dapat diberikan OAT seperti umumnya (misalnya pada pengidap hepatitis virus, riwayat hepatitis akut, peminum alkohol). Pada penyakit hati kronik, dapat diberikan INH, rifampisin, ditambah satu atau dua obat non hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol selama 8 bulan; atau streptomisin, INH, etambutol pada fase initial dilanjutkan fase lanjutan INH, etambutol dengan total 12 bulan, jangan diberikan pirazinamid. Terapi yang dianjurkan adalah 2 RHES/6RH atau 2 SHE/10HE. Pada hepatitis akut (misalnya hepatitis virus), sebetulnya jarang terjadi bersama-sama dengan TBC. Kadang-kadang hepatitis akut bersama dengan penderita TBC yang sedang mendapat terapi OAT. Bila terjadi, OAT ditunda dulu, sampai sakit kuningya (hepatitis akut) mereda. Bila harus diterapi, diberi streptomisin dan etambutol maksimum 3 bulan. Dapat diterapi fase lanjutan (6HR)(WHO, 1997).

Pada gagal ginjal, OAT yang diberikan HR dan Z yang diekskresi melalui empedu atau dimetabolisir menjadi zat yang tidak toksik dengan dosis normal. Bila gagal ginjal berat, beri piridoksin dan H, untuk mencegah gangguan syaraf. S dan E diekskresi melalui ginjal. Pada penderita kencing manis (Diabetes Mellitus), R akan mengurangi efek anti Diabetes (sulfonil urea) sehingga perlu peningkatan dosis. Pemakaian E perlu hati-hati, karena mempunyai komplikasi pada mata. Penderita yang perlu tambahan kortikosteroid

Page 21: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

21

adalah meningitis, TBC milier, pleuritis TBC, dan perikarditis (WHO, 1997; DepKes, 2000; Barmawi dan Wibisono, 2000).

Pesan-pesan pada murid saya, ini bukan perintah, tetapi demi perbaikan kita bersama baik yang sedang bekerja di puskesmas, menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, yang telah menjadi ahli penyakit dalam maupun yang sedang menduduki jabatan pengambil keputusan di Rumah Sakit, marilah kita bersama-sama ikut berpartisipasi dalam penanggulangan/pembe-rantasan penyakit TBC yang merupakan ancaman kegawatan dunia.

Jangan mengobati penderita TBC tersangka sebelum sputum BTA+. Jangan memberikan terapi TBC dengan obat tunggal. Jangan menambah obat tunggal pada penderita TBC yang sudah mendapat obat kombinasi yang sudah disesuaikan program (menambah resisten). Jangan berhenti memantau dan pastikan lengkap (6-8 bulan), terutama 2 bulan pertama. Jangan memberikan obat irrasional, misalnya kombinasi penisilin dan streptomisin, bahaya kekebalan streptomisin.

Pada teman sejawat sebagai pimpinan atau pengambil keputusan, di Rumah sakit, kita sadari bahwa penderita TBC adalah sebagian besar orang miskin. Perlakukan penderita sama dengan penderita lain (yang tidak miskin). Ada kesan bahwa ”buruknya” pelayanan, baik di puskesmas, Rumah Sakit, bukan merupakan sebagai pilihan utama berobat penderita TBC khususnya tetapi karena pasien ”terpaksa” masuk. Hal ini dapat dipantau setelah keluar, kebanyakan menyesal kurang baiknya pelayanan. Untuk penderita TBC yang tidak kembali berobat, sangat mengancam terhadap masyarakat sekitarnya. Ada yang mengatakan pula ”buruknya” pelayanan akibat birokrasi yang berbelit-belit, padahal pelayanan kepada masyarakat membutuhkan kecepatan, ketepatan waktu (Barmawi, 2001).

Bagi murid saya yang bekerja di puskesmas, kartu TB 09 (surat rujukan ke Puskesmas), supaya dibalas apakah penderita TBC sudah sampai di puskesmas. Kami minta untuk menjawab sampai dimana perkembangan atau apakah sudah diterima surat dari kami sebagai petugas di RS Pusat Pelayanan/Pendidikan. Penelitian Barmawi 2001, kurang dari 10% surat yang kembali. Salah satu provinsi di Indonesia mengatakan mutu Puskesmas rendah, petugas kurang kreatif dan responsif, ” menyepelekan ” konsep puskesmas yang kreatif dan

Page 22: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

22

responsif, kami himbau pimpinan puskesmas supaya pro aktif dalam menunjang penanggulangan penyakit TBC. Penelitian survei ini sebetulnya merupakan, masalah yang dihadapi puskesmas, sebagai ujung tombak penanggulangan TBC, tujuannya baik yaitu untuk melaksanakan 5 komponen DOTS yang telah direkomendasi WHO yaitu, Komitmen politis para pengambil keputusan, diagnosis penyakit TBC dengan pemeriksaan mikroskop, terapi dengan diawasi PMO, kesinambungan persediaan OAT, pencatatan dan pelaporan baku (WHO, 1997; Barmawi, 2001)

Harapan kita semua penyakit TBC tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (bukan ”penyumbang” terbesar ketiga di dunia), mempercepat cita-cita masyarakat Indonesia sehat, sejahtera, menuju Indonesia sehat tahun 2010.

Page 23: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

23

KEPUSTAKAAN

Abbas, AK., Lichtman, AH., Pober, J.S. 1994 Cellular ang molecular immunology. 2th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 324-7

Aris M, Barmawi, Mukti, AG ( 2001) Faktor-faktor yang mempe-ngaruhi penularan Tuberculosis paru di Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan. Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 33 No. 1.

Barmawi Hisyam, (2001) Pelaksanaan dan hambatan dalam program TB dengan strategi DOTS di Rumah Sakit. Pertemuan Koor-dinasi Lintas Fungsi Program P2TB, Yogyakarta

Barmawi Hisyam, 2001. Tuberculosis Control in Sardjito Hospital: Success of The Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) Strategy. In J Of Clinical Epidemiology & Biostatistics.

Barmawi Hisyam, 2001. Tuberkulosis paru dan permasalahannya (perilaku yang mendukung meningkatnya Tuberkulosis paru), Edukasi Program Tuberkulosis, Yogyakarta.

Barmawi Hisyam, 2002 TB dengan permasalahannya, partisipasi PKK dalam Sosialisasi penanggulangan Penyakit Tuberkulosa di Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.

Barmawi Hisyam, 2002. Tuberkulosis paru dan permasalahan. Dibacakan pada Pelatihan Petugas Puskesmas DIY.

Barmawi Hisyam, A.H. Asdie, Sumining, Ibnu Purwanto, 1993. Status respon imun limfosit-T penderita Tuberkulosis paru dalam pengobatan. Acta Medica Indonesia, Vol. XVI, No. 2, Maret Juni 1993.

Barmawi Hisyam, Yanri W Subronto, Teddy Sunardi, 2000. gambaran Interferon pada penderita tuberkulosis paru, KOPAPDI Surabaya.

Barmawi Hisyam, Sony Yusuf Wibisono, 2000. Manfaat terapi Kortikosteroid pada pada tuberkulosis paru dan ekstra paru. Simposium and Exhibition Up Date on New Drugs and Methods In Medicine, Hyatt Regency Hotel, Bandung.

Barmawi Hisyam, 2001. Tuberkulosis paru dan permasalahannya. Pelatihan petugas Puskesmas DIY.

Page 24: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

24

Barmawi Hisyam, Sumardi, Bambang SR, Priyander Funay, 2002 Profil klinis, Radiologis dan Laboratoris pada penderita Tuberkulosis paru aktif dan tuberkulosis paru tersangka di RS Dr. Sardjito Yogyakarta. KONKER IX Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Surakarta.

Barmawi Hisyam, Sumardi, Bambang SR, Suharno, 2002 perban-dingan gambaran Tuberkulosis paru antara lansia dengan non lansia di Rs Dr. Sardjito Yogyakarta. KONKER IX Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Surakarta.

Barmawi Hisyam, Sumardi, Susi Anggraini, Bambang SR, 2002 Profil penderita tuberkulosis lemoptiasis dan perbandingannya dengan tuberkulosis tanpa lemoptiasis di RS Dr. Sardjito periode 1996 – 2000. KONKER IX Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Surakarta.

Barmawi Hisyam, Sumardi, Bambang SR, Liliani Mustika D, 2002. Profil klinis, Radiologis dan Laboratorium penderita pleuritus tuberkulosis yang BTA negatof dan BTA positif. KONKER IX Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Surakarta.

Barmawi Hisyam, Nadrizal, 2001 Gambaran Klinis tuberkulosis paru pada penderita lanjut usia di Bagian Penyakit Dalam RS Dr. Sardjito /FK UGM Yogyakarta selama tahun 1999 – 2000. Buku Panduan KONAS Bersama, Yogyakarta

Barmawi Hisyam, Lulus Budiarto, 2001 Beberapa aspek klinis tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus. Buku Panduan KONAS Besama, Yogyakarta

Barnes, P.F., Bloch, A.B., Davidson, P.T., dan Snider, D.F., 1991 Tuberculosis in patient with human immuno deficienty virus infection. N.Engl.J.Med. 324: 1644-50

Barnetson, R.C. dan Gawkrodger, D. 1989 Hypersensitivity-Type IV, dalam I. Roitt, J. Brosstoff, & D. Male (eds): Immunology, pp. 22. 22. 1-9. Gower Medical Publishing, London.

Chen, H.H., Khan, S., Ende, N., Manguro, B.T., Jean, C., & Reichman, L.B. 1985 The HLA-A, -B and DR phenotypes and tuberculosis, Am. Rev. Respir.Dis. 132:382-5.

Crofton & Douglas’s Respiratory Diseases 1974, Fourth Edition, Blackwell Scientific Publications, Oxford London Edinberg Boston Melbourne: 367-95

Page 25: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

25

Daniel, T.M. 1991 Mycobacterium disease: Tuberculosis, dalam J.D. Wilson, E. Braunwald, K.J. Isselbacher, R.G. Petersdorf, J.B. Martin, A.S. Fauci, R.K. Root (eds): Harrison’s Principles of Internal Medicine 12th ed., pp. 637-45. Mc. Graw-Hills, Inc. New York.

___________, & Ellner, J.J. 1988 ATS Conference of tuberculosis research: Future reseach in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 138: 1327-29.

Departemen Kesehatan RS, 2000. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke 5, Jakarta.

Dye Christopher, 1998. Prospect For World Wide Tuberculosis Control Under The WHO DOTS Strategy, lancet 352: 1886-91.

Floyd K, Wilkinson D, Gilks C, 1997. Comparison on cost effectiveness of Directly Observed Treatment (DOT) and conventionally delivered treatment for tuberculosis: experience from rural South Africa, BMJ; 315: 1407-11.

Freeman, B.A. 1985 Mycobacterium, dalam B.A. Freeman (ed) Text Book of Microbiology , pp. 607-28. W.B. Sounders Company, Philadelphia.

Grange, J.M. 1994 The inmuno physiology and inmunopathology of tuberculosis. Clinical tuberculosis, London: Chapman dan Hill Medical ; 55-68

Grange, J.M., 1996 Mycobacteria and Human Disease, 2nd ed. Arnold, London

Hill, A.V., 1998 The inmunogenetic of human infectious disease. Annu Rev Inmunol. (16): 593-617.

Hopewell, P. 1986 Improving Treatment for Tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis., 134: 417-23.

Male, D. dan Roitt, I. 1989 Adaptive and innate immunity, dalam I. Roitt, J. Brostoff, D. Male. (eds): Immunology pp. 1. 1-1.9. Gower Medical Publishing, London.

Munk, M.E., Emoto, M. 1995 Function of T.cell subset and cytokines in mycobacterial infection. Eur Respir J (8) ; 668s-72s

Mustaque A, Chowdhurry, R, 1999. Success with DOTS strategy. Lancet; 353: 1003-04.

Pollack, M.S., & Rich, R.R. 1985 The HLA Complex and the phatogenesis of infectious disease. J. Infect. Dis.; 151: 1-7.

Page 26: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Barmawi Sp.pd-kp

26

Puri NM and Arora V.K. 2003. Role of Gallium Arsenide laser Irradialogis at 890 nm as an Adjunctive to anti tuberculosis drugs in the treatment of pulmonary tuberculoiss. Indian J Chest Dis Allied Sci; 2: 45: 13-19

Singh, S.P.N., Mehra, N.K., Dingley, H.B., Pande, J.N. Vaidya, M.C. 1983 Human leukocyte antigen (HLA)-linked control of susceptibility to pulmonary tuberculoiss and association with HLA-DR types. J. Infect Dis. 23: 64-6.

Shroff, K., Sainis, K.B., SEngupta, S.R. & Kamat, R.S. 1990 Mayor Histocompatibility Complex restriction of T-cell suppression of immune response to Mycobacteria. Int. J. Lep. 59-57.

Sodhi, A, Gong, J, Silva, C, Qian, D. and barnes, P.F. 1997. Clinical correlates of interferon production in patients with tuber-culosis. Clin Int Dis, 25; 617 – 620.

Sumining, Sofia Mubarika, Osman Sianipar, 1991. Pemantauan Respon imun limfosit dengan menggunakan Timidin (-34). Proseding Pertemuan dan presentasi ilmiah, PPNY-Batan, Yogyakarta.

Trinchieri, G., 1993 Interleukin-12 its. Immunol Today. (14); 335-7. Walley J.D., et al., 2001 Efectiveness of the direct observation

component of DOTS for tuberculosis: a randomized controlled trial in Pakistan. Lancet; 357: 664-669.

Warren, J. 1992 Mycobacterial Infections, dalam S.T. Shulman, J.P. Phair, H.M. Sommers (eds): The Biologic & Clinical Basic of Infection Diseases, pp. 190-207. W.B. sauders Company Phyladelphia.

WHO (1988) TB advocacy A Practical Guide. WHO (1997) Treatment of Tuberculosis: guidelines for national

Programmes. WHO (1999) Global Tuberculosis Control WHO Report,

Communicable Disease, Genewa.