performa produksi dan reproduksi domba garut … · metabolisme dan interaksi mineral cr ......

115
PERFORMA GARUT YAN KROM IN A PRODUKSI DAN REPRODUKSI NG MENDAPAT RANSUM BERSUP MIUM, KALSIUM DAN BERNILA KATION ANION BERBEDA DEDEN SUDRAJAT SEKOLAH PASCASARJANA NSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 DOMBA PLEMEN AI

Upload: buikien

Post on 24-Mar-2019

249 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN

KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA

DEDEN SUDRAJAT

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2012

PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN

KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA

DEDEN SUDRAJAT

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2012

PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN

KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA

DEDEN SUDRAJAT

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DANSUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Performa Produksi dan

Reproduksi Domba Garut yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kromium,

Kalsium dan Bernilai Kation Anion Berbeda adalah karya saya sendiri dengan

arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap topik disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Deden Sudrajat

NIM D162070011

ABSTRACT

DEDEN SUDRAJAT. Production and Reproduction Performances of GarutSheep Fed with Different Levels of Chromium, Calcium and Cation-AnionBalance. Supervised by TOTO TOHARMAT, ARIEF BOEDIONO, IDAT G.PERMANA, and R. IIS ARIFIANTINI.

Chromium (Cr) is an essential mineral for ruminants. Its metabolism andinteractions with other minerals has not been widely known. Besides thatchromium mineral and cation-anion balance in ration affects acid-base balanceand mineral metabolism in body liquid. Changes in the acidity of body liquidindirectly affect the characteristics of animal production and reproduction. Twoexperiments were conducted to assess the production and reproductionperformance of Garut sheep offered rations with different dietary cation anionbalance (DCAB) and supplemented with chromium (Cr) and calcium (Ca). In thefirst experiment four dietary treatments, namely: R0 (basal diet); R1 (R0+Cr 3ppm), R3 (R0+ Ca); R3 (R2+ Cr 3 ppm), were allocated in twenty four of 1.5-2years old Garut grade rams in a randomized block design. Albumin separationmethod was used to separated X and Y spermatozoa of Garut sheep. In the secondexperiment, treatments consisted of combinations of mating patterns and pre-gestating rations, namely: Ram R3 (Cr + DCAB 0) x Ewe R0 (DCAB +14)(RJA); Ram R1 (Cr+ DCAB+14) x Ewe R2 (Cr + DCAB-10) (RBA); Ram R0(DCAB+14) x Ewe R0 (DCAB+14) (RJBB). In the first experiment, the resultsshowed that Cr supplementation in rations containing different levels of Ca didnot affect feed intake, body weight gain, and dry matter digestibility, but reducedthe absorption of Cr and also the absorption of Ca of the low Ca diet. Theincreased of Cr intake decreased the absorption of Cr. Supplementation of Cr hadno effect on Cr, Ca, Zn, and Mg status in blood and semen of the rams. Intake ofCr and Ca were not related to the semen Cr and Ca levels. However Level of Crintake tended to correlate negatively with the Cr absorption and correlatepositively with blood Cr levels. There was a positive relationship between thelevel of Ca intake with the Ca and Mg absorption and blood Ca and Zn levels. Theresults showed that Cr supplementation in the ration with different level of Caand dietary cation anion balance (DCAB) not affect the rectal temperature as wellas in respiration rate of Garut rams. Supplementation of Cr in the ration does notaffect semen quality of Garut rams either macroscopically or microscopically.Supplementation of Cr in ration containing acid DCAB reduced semen pH andmembrane integrity the lower fraction spermatozoa on day 49. In the secondexperiment, results showed that there was a close relationship between gestationalperiods and body weight gain of gestating ewes. Cr supplementation and DCABreduction in ram and ewe pre-gestating rations did not affect gestational periods.Lambs number of the same birth from Cr and DCAB10-supplemented ewes matedwith Cr-supplemented rams tended to increase. Sex ratio of offspring from ewesmated with Cr and DCAB 0-supplemented rams tended to decrease.

Key words: Chromium, dietary cation-anion balance, sex ratio of offspring

RINGKASAN

DEDEN SUDRAJAT. Performa Produksi dan Reproduksi Domba Garut yangMendapat Ransum Bersuplemen Kromium, Kalsium dan Bernilai Kation AnionBerbeda. Dibawah bimbingan TOTO TOHARMAT, ARIEF BOEDIONO, IDATG. PERMANA, and R. IIS ARIFIANTINI.

Kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak ruminansia. Metabolismedan interaksi mineral Cr belum banyak diketahui. Namun demikian beberapalaporan menunjukkan peranannya dalam metabolisme karbohidrat, protein danlemak. Suplementasi garam mineral kromium dan mineral makro lainnya dapatmempengaruhi keseimbangan kation dan anion cairan tubuh, yang pada akhirnyaakan mempengaruhi keseimbangan asam basa cairan tubuh. Suplementasi garammineral Cr juga akan mempengaruhi metabolisme mineral lainnya. Keseimbangankation anion dalam tubuh dapat dipengaruhi melalui pengaturan kadar natrium(Na), kalium (K), khlor (Cl), dan sulfur (S) ransum yang disebut neraca kationanion ransum (NKAR).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji manfaat suplementasi Cr padaransum dengan nilai NKAR dan berkadar Ca berbeda. Domba Garut yang prolifikdigunakan sebagai model untuk mengkaji performa produksi dan reproduksisebagai respon terhadap suplementasi Cr pada ransum dengan nilai NKAR dan Caberbeda. Penelitian ini terdiri atas dua tahap percobaan. Percobaan pertama adalahmengkaji performa produksi, metabolisme mineral dan kualitas semen dombaGarut. Percobaan menggunakan 24 ekor domba Garut Jantan berasal dariSumedang berumur ± 1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg. Ransumperlakuan terdiri atas: R0 (ransum basal); R1 (R0+Cr 3 ppm); R2 (R0+Ca); R3(R2+Cr 3 ppm), menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Mineral Cryang digunakan adalah Cr yang terinkorporasi dalam kacang kedele selama prosesfermentasi tempe oleh ragi (ragi kaya Cr). Separasi spermatozoa menggunakanmetoda separasi albumin telur. Percobaan kedua adalah mengkaji pola kelahirananak domba Garut. Sebanyak 17 ekor domba betina umur 20-30 bulan denganbobot badan awal 30.3±1.98 kg digunakan untuk percobaan ini. Setiap ekordomba betina dikawinkan dengan salah satu dari 3 pejantan yang telah diberiransum perlakuan selama 49 hari dari percobaan pertama. Perlakuan padapenelitian ini adalah pola perkawinan berdasarkan perbedaan jenis ransum yangdiberikan kepada jantan dan betina sebelum bunting. Pola perkawinan dombatersebut adalah sebagai berikut: (1) Perkawinan RJA: Domba Jantan R3(Cr+NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); (2) Perkawinan RBA: DombaJantan R1 (Cr+NKAR +14) x Domba betina R2 (Cr+NKAR -10); (3) PerkawinanRJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14).

Hasil penelitian pada percobaan pertama menunjukkan bahwa suplementasiCr dalam ransum yang mengandung Ca berbeda tidak mempengaruhi konsumsiransum, pertambahan bobot badan, dan kecernaan bahan kering ransum, tetapimenurunkan penyerapan Cr dan juga menurunkan penyerapan Ca pada ransumrendah Ca. Peningkatan konsumsi Cr menurunkan penyerapan Ca. SuplementasiCr tidak berpengaruh pada status Cr, Ca, Zn dan Mg dalam darah dan semen.

Konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan dengan kadar Cr dan Ca semen. Namundemikian, tingkat konsumsi Cr cenderung berhubungan negatif dengan tingkatpenyerapan Cr dan berhubungan positif dengan kadar Cr darah. Terdapathubungan positif antara konsumsi Ca dengan tingkat penyerapan Ca dan Mg jugadengan kadar Ca dan Zn darah. Hasil penelitian menunjukkan suplementasi Crdalam ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi suhu rektaldan laju respirasi domba Garut jantan. Suplementasi Cr dalam ransum tidakmempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupunmikroskopis. Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asammenurunkan pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang sangat erat antaraumur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting. Suplementasi Crdan penurunan NKAR pada ransum domba jantan dan betina sebelum dikawinkantidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anakdomba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan betinayang disuplementasi Cr dan NKAR -10 cenderung meningkat. Rasio jeniskelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yangdisuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun.

Kata kunci: kromium, neraca kation-anion ransum, ratio jenis kelamin anak

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atautinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganyang wajar IPBDilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN

KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA

DEDEN SUDRAJAT

DisertasiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor padaMayor Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2012

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Asep Sudarman, M.RurSc

2. Dr. Ir. Didid Diapari, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof (R). Dr. drh. Herdis, M.Si

2. Dr. Ir. Jajat Jachja, M.Agr

Judul Disertasi : Performa Produksi dan Reproduksi Domba Garut yangMendapat Ransum Bersuplemen Kromium, Kalsiumdan Bernilai Kation Anion Berbeda

Nama Mahasiswa : Deden SudrajatNIM : D162070011Program Studi/Mayor : Ilmu Nutrisi dan Pakan (INP)

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Prof. Dr. drh. Arief BoedionoKetua Anggota

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.Sc. Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.SiAnggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Nutrisi Dekan Sekolah Pascasarjana IPBdan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.Sc. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal ujian: 19 Januari 2012 Tanggal lulus :

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan pada jenjang S3

Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan di Sekolah Pascasarjana IPB serta dapat

menyelesaikan penelitian disertasi ini dengan baik. Disertasi ini bertujuan untuk

mengkaji suplementasi mineral kromium, kalsium dan neraca kation-anion

ransum terhadap performa produksi dan reproduksi domba Garut. selain itu

mengkaji pengaruhnya terhadap nilai rasio kelamin anak domba yang dilahirkan.

Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah Media

Peternakan No. 34(3) tahun 2011, dengan judul Mineral Utilization in Rams Fed

Ration Supplemented with Different Levels of Chromium, Calcium, and Cation-

Anion Balance.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan menyampaikan

penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.

sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. drh. Arief Boediono, Bapak

Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc. dan Ibu Prof. Dr. Dra. R.Iis Arifiantini, M.Si.

masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, nasehat,

perhatian dan bimbingannya sejak pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian

sampai pada penulisan disertasi, sehingga dapat menambah wawasan dan

pengalaman penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Rektor

Universitas Djuanda, Bapak Koordinator Kopertis Wilayah IV Bandung, dan Ibu

Dekan Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Kajur Jurusan Peternakan dan

rekan-rekan dosen atas izin, dorongan semangat, dan doanya sehingga penulis

dapat melanjutkan sekolah pascasarjana. Demikian pula tak lupa penulis

mengucapkan terima kasih kepada Rektor Insitut Pertanian Bogor, Dekan dan

staf Sekolah Pasca sarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan IPB, Koordinator

Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan beserta staf dosen, laboran dan staf administrasi

atas penerimaan dan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan

program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada tim manajemen Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS)

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Hibah

Penelitian Tim Pascasarjana dan Hibah Penelitian Doktor, atas beasiswa dan dana

penelitian yang diberikan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Laboratorium

Nutrisi Ternak Perah, Kepala Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja

Fakultas Peternakan IPB dan Kepala Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan

Inseminasi buatan, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi

dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas izin penggunaan sarana dan

fasilitas laboratorium selama penelitian berlangsung. Tidak lupa penulis ucapakan

terima kasih kepada Mas Bondan, Mbak Dian, dan Amir atas bantuan selama

penelitian berlangsung. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada Fahmul, Rimba

dan Edo atas bantuan dan kerjasamanya. Kepada rekan sesama mahasiswa

program doktor Pak Dede Kardaya, Bu Fauzia Agustin, Mas Iwan dan Bu Sri

Suharti, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan diskusinya selama

penulis mengikuti pendidikan dan penelitian di Sekolah Pascasarjana IPB.

Terima kasih setinggi-tingginya dan penulis persembahkan karya ini

kepada Mamah, Bapak, Istri dan Anak-anak penulis sayangi serta kakak dan adik-

adik penulis atas segala kasih sayang, pengertian, doa dan bantuan moril maupun

meteril sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan

dengan baik.

Akhir kata, semoga disertasi ini bermanfaat dan Alloh SWT senantiasa

meridoi, memberi hidayah, taufik dan inayah kepada kita semua.

Bogor, Januari 2012

Deden Sudrajat

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di DKI Jakarta, pada tanggal 4 September 1965. Penulis

adalah anak kedua dari enam bersaudara dari bapak yang bernama Ading

Supriyatna dan Ibu Hj. Tating Fatimah. Pada tahun 1979 penulis menyelesaikan

pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Silih Asuh II, Cirebon. Kemudian

melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri III, Cirebon dan lulus pada

tahun 1982. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri Cibadak,

Sukabumi, mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus tahun 1985.

Pada tahun 1985, penulis diterima sebagai mahasiswa S1 Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 1991. Sejak tahun 1992

sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar Kopertis IV Bandung

diperbantukan di Jurusan Peternakan Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan,

Unversitas Djuanda Bogor. Pada tahun 1996 sambil tetap bekerja, penulis

melanjutkan pendidikan jenjang S2 pada Program Studi Ilmu Ternak Subprogram

Nutrisi Ternak, Program Pascasarjana IPB Bogor dan lulus tahun 2000. Sejak

tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor pada Mayor Ilmu

Nutrisi dan Pakan, Sekolah Pascasarjana, IPB.

Penulis menikah dengan Lia Sobarliah, S.Pd pada tanggal 28 Pebruari

1998 dan dikaruniai tiga orang putra-putri yaitu Nisrina Alya Sudrajat (13 tahun),

Denia Rizki Sudrajat (10 tahun), dan Fadhlan Fawaz Sudrajat (18 bulan).

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xix

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix

PENDAHULUAN...................................................................................................1

Latar Belakang ....................................................................................................1

Tujuan Penelitian.................................................................................................4

Manfaat Penelitian...............................................................................................5

Hipotesis Penelitian.............................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................7

Deskripsi Domba Garut.......................................................................................7

Neraca Kation Anion Ransum.............................................................................8

Mineral Kromium................................................................................................9

Kromium sebagai Nutrien ...................................................................... 9Metabolisme Kromium......................................................................... 10Interaksi Mineral Cr dengan Mineral Lain ........................................... 11Fungsi dan Keuntungan Bentuk Cr-Organik ....................................... 11Suplementasi Kromium dalam Ransum ............................................... 12

Fisiologi Semen Domba ....................................................................................13

Semen Domba ...................................................................................... 13Spermatogenesis ................................................................................... 14

Rasio Kelamin Anak yang Dilahirkan...............................................................17

UTILISASI MINERAL PADA DOMBA JANTAN DENGANRANSUMBERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN KATION-

ANION BERBEDA ..............................................................................................18

ABSTRAK ........................................................................................................18

PENDAHULUAN.............................................................................................20

MATERI DAN METODE ................................................................................21

Pakan Percobaan................................................................................... 21Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya................................................ 21

xvi

Pengambilan Sampel dan Analisis........................................................ 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 23

Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Jantan......... 23Absorpsi Mineral Ransum pada Domba Garut Jantan.......................... 25Status Mineral Semen dan Darah Domba Garut Jantan........................ 28Kecernaan Nutrien Ransum Perlakuan ................................................. 30

SIMPULAN ...................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 31

KONDISI FISIOLOGIS DAN KUALITAS SEMEN DOMBA GARUTYANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM, KALSIUMDAN NERACA KATION ANION BERBEDA ................................................ 35

ABSTRAK........................................................................................................ 35

PENDAHULUAN ............................................................................................ 37

BAHAN DAN METODE................................................................................ 39

Tempat dan waktu................................................................................. 39Pakan Percobaan ................................................................................... 39Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya ................................................ 40Pengambilan Sampel dan Analisis........................................................ 40

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 41

Suhu dan Kelembaban Kandang........................................................... 41Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Garut Jantan.......................... 42Profil Hematologi Darah Domba Garut Jantan.................................... 44Kualitas Semen Domba Garut .............................................................. 45Motilitas dan MPU Spermatozoa Hasil Separasi .................................. 49

SIMPULAN ...................................................................................................... 52

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 53

POLA KELAHIRAN ANAK DARI INDUK DOMBA GARUT YANGMENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA

KATION ANION BERBEDA ............................................................................ 57

ABSTRAK........................................................................................................ 57

PENDAHULUAN ............................................................................................ 59

BAHAN DAN METODE................................................................................. 61

Bahan Penelitian ................................................................................... 61Rancangan Percobaan ........................................................................... 63Pelaksanaan Penelitian.......................................................................... 63Peubah yang Diamati ............................................................................ 64

xvii

xvii

HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................64

Konsumsi BK Ransum, Nutrien dan Bobot Badan Domba BetinaBunting .......................................................................................... 64

Jumlah Anak, Rasio Jenis Kelamin, Bobot Lahir Anak dan LamaKebuntingan Domba Garut............................................................ 67

SIMPULAN.......................................................................................................70

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................70

PEMBAHASAN UMUM .....................................................................................73

SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................79

Simpulan Umum................................................................................................79

Saran Umum......................................................................................................80

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................81

LAMPIRAN..........................................................................................................85

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan...................................... 22

2 Konsumsi bahan kering (BK), Cr, Ca, Zn, Mg dan pertambahan bobotbadan harian (PBBH) domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca .......................................................................................................... 24

3 Absorpsi mineral Cr, Ca, Zn dan Mg ransum domba Garut jantan yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 26

4 Korelasi dan regresi konsumsi mineral dengan absorpsi dan status mineraldalam semen dan darah domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca .......................................................................................................... 27

5 Status Cr, Ca, Zn dan Mg (ppm) dalam semen dan darah domba Garut yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 29

6 Kecernaan nutrien dan energi dapat dicerna (DE) ransum domba Garut yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 30

7 Suhu rektal dan laju respirasi domba Garut yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca .......................................................................................................... 43

8 Profil hematologi darah domba Garut jantan yang ransumnyadisuplementasi dengan Cr dan Ca..................................................................... 45

9 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr danCa pada H0 ........................................................................................................ 47

10 Kualitas semen domba Garut jantan uang ransumnya disuplementasi Cr danCa pada H21 ....................................................................................................... 48

11 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr danCa pada H49...................................................................................................... 48

12 Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah (%) hasil separasialbumin semen domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca....... 50

13 Komposisi dan kandungan nutrien ransum domba Garut jantan dan betinapra-bunting........................................................................................................ 62

14 Konsumsi nutrien pada domba Garut bunting (g) ............................................ 66

15 Rataan bobot badan domba Garut betina selama kebuntingan (kg) ................. 66

16 Jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan dan bobotlahir anak domba Garut..................................................................................... 68

xix

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan alir penelitian .………………………………………………………… 5

2 Domba Garut jantan .……………………………………………………….… 8

3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis ............................................... 15

4 Konsumsi bahan kering ransum domba Garut jantan ………………………. 23

5 Pertambahan bobot badan domba Garut jantan .............................................. 24

6 konsumsi ransum domba Garut betina bunting (g BK) ................................. 65

7 Pertambahan bobot badan domba Garut betina bunting (kg) ......................... 67

DAFTAR LAMPIRAN

1 Komponen medium Brackett-Oliphant (BO) .................................................. 86

2 Alur proses separasi spermatozoa dengan media albumin (Saili, 1999) .........87

3 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Cr ....................................................88

4 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Ca ....................................................88

5 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Cr .......................... .............................89

6 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Ca .......................................................90

7 Analisis ragam dan uji Tukey MPU spermatozoa fraksi bawah ......................90

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Performa produksi suatu ternak tidak hanya dilihat dari sifat

pertumbuhannya. Selain itu karakteristik reproduksi ternak merupakan bagian

yang penting juga dalam proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan

banyak anak (prolifik) sangat menguntungkan bagi peternak, dan untuk

menghasilkan produksi ternak yang tinggi dibutuhkan induk sebagai penghasil

bakalan anak domba. Oleh karena itu kebutuhan ternak domba betina sangat

penting bagi proses produksi ternak. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah)

peningkatan kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu.

Cunningham (1975) menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan

efsiensi produksi susu sampai 30% jika pada saat inseminasi buatan dapat

diseleksi kelahiran anak betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penentuan

jenis kelamin anak sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) praseleksi jenis

kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting

untuk meningkatkan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia.

Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang

generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi

semakin diperlukan.

Domba Garut adalah ternak domba asal Jawa Barat yang merupakan plasma

nutfah penting untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak domba

mengalami peningkatan dari tahun 2004 (8.075.000 ekor) sampai 2009

(10.199.000 ekor), sedangkan jumlah produksi daging pada tahun 2009 dari sapi

potong dan kerbau 443.9 ribu ton; kambing dan domba 128.1 ribu ton (Direktorat

Jenderal Peternakan 2010). Domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi

(prolifik), memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber

daging dan dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini

banyak dipelihara sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber

pedaging (tipe pedaging) (Mansjoer et al. 2007). Usaha yang dilakukan untuk

mengembangkan dan melestarikan domba Garut dapat dilakukan melalui

optimalisasi dan aplikasi teknologi reproduksi bantuan pada domba Garut

2

(Boediono et al. 2007). Selain itu pelestarian dan pengembangan domba Garut

banyak pula dilakukan melalui perbaikan, manipulasi nutrisi dan pemberian

pakan.

Usaha menggeser rasio jenis kelamin telah dilakukan. Sebagian penelitian

yang dilakukan adalah pemisahan secara langsung spermatozoa X dan Y dari

ejakulat dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa metode pemisahan

spermatozoa X dan Y telah dilakukan dengan teknik Motilty and electrophoretic

separation, Iso electric focusing dan sephadex column (Hafez 1987). Penggunaan

larutan 6% BSA (Bovine Serum Albumin) untuk memisahkan spermatozoa X

dan Y menghasilkan rasio jantan 22.2% dan betina 77.8% (Hendri 1992). Saili

(1999) melakukan separasi spermatozoa dengan menggunakan albumin telur

sebagai medium separasi menghasilkan 71.43% spermatozoa betina pada bagian

lapisan atas.

Selain daripada itu upaya lain dilakukan untuk tujuan tersebut dengan

melakukan manipulasi nutrisi baik itu nutrien makro maupun nutrien mikro dan

mineral. Makanan dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin anak, khususnya

kalori tinggi dalam ransum secara nutrisi lengkap mempengaruhi jenis kelamin

anak (Rosenfeld et al. 2003: Rosenfeld & Robert 2004). Suplementasi mineral

tertentu juga dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin, terutama mineral yang

mempengaruhi keasaman cairan tubuh. Ketidakseimbangan Na, K, dan Ca dalam

ransum dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin (Stolkowski & Lorrain 1980;

Celik et al. 2003). Pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan neraca

kation anion ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar

terhadap proses metabolisme dalam tubuh. Kation Na dan K, serta anion Cl dan S

adalah ion utama yang dapat mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh (Chan

et al. 2005; Fathul et al. 2008).

Nutrien penting bagi pertumbuhan dan proses reproduksi ternak. Kecukupan

nutrien makro, harus disertai pula dengan terpenuhinya akan kebutuhan nutrien

mikro, untuk meningkatkan proses metabolisme dalam tubuh. Kebutuhan akan

akan nutrien makro dan mikro telah didefinisikan dengan baik (NRC 2007).

Pentingnya Cr telah diketahui namun sampai saat ini kebutuhannya belum dapat

dinyatakan dengan tepat (Suttle 2010). Mineral Cr dalam bentuk glucose

3

tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan

masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin

(NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein

(Pollard et al. 2001; Suttle 2010), berpartisipasi menjaga stabilitas struktur protein

dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi untuk pertumbuhan dan

perkembangan fetus (Lindemann et al. 2004; Pechova & Pavlata 2007).

Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan menurunkan jumlah

spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson & Polansky 1981). Kadar

Cr yang tinggi merugikan dalam produksi spermatozoa (Skandhan et al. 2005),

mengubah kualitas semen dan hormon reproduksi serta menurunkan jumlah dan

morfologi spermatozoa yang normal (Kumar 2008).

Penelitian mengenai Cr masih sedikit demikian juga rekomendasi kebutuhan

mineral maupun ketersediannya dalam pakan masih terbatas (NRC 1997).

Kebutuhan nutrisi untuk Cr tidak didefinisikan, tetapi akan meningkat pada

kondisi seperti aktivitas gerak, tranportasi, dan infeksi ketika kehilangan Cr dalam

urin meningkat (NRC 2007) dan pada kondisi cekaman panas (Alsaiady 2004).

Beberapa peneliti memberikan Cr dalam pakan untuk memenuhi kebutuhan akan

Cr. Usaha untuk menentukan kebutuhan konsentrasi Cr serta ketersediaannya

dalam pakan dan suplemen untuk diberikan pada ternak ruminan terus dilakukan

oleh beberapa peneliti. Suplemen Cr meliputi CrNic, CrCl3, CrPic, Cr-khelat dan

jamur kaya Cr. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh

positif tetapi hasilnya tidak konsisten (NRC 1997).

Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengkaji pengaruh perubahan

NKAR terhadap performa produksi dan reproduksi. Fathul et al (2008)

melaporkan rasio jenis kelamin tidak dipengaruhi oleh nilai NKAR dalam ransum

domba Garut betina tetapi berhubungan pH cairan vagina dan pada NKAR

ekstrim akan menurunkan performa produksi. Di sisi lain penurunan NKAR pada

domba Garut jantan akan menurunkan pH semen dan diduga domba betina yang

dikawinkan dengan pejantan yang diberi ransum dengan NKAR asam akan

melahirkan anak betina lebih besar daripada jantan (Hidayat et al. 2009). Hasil

tersebut menunjukkan masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi rasio jenis

kelamin anak yang dilahirkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis

4

tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam

ransum dengan nilai NKAR berbeda terhadap rasio jenis kelamin anak yang

dilahirkan tanpa mengganggu performa produksi dan reproduksi domba Garut

betina dan jantan.

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap percobaan (Gambar 1). Perobaan

pertama dilakukan untuk mengkaji performa produksi, metabolisme mineral dan

kualitas semen domba Garut jantan yang mendapat suplementasi Cr pada ransum

dengan kadar Ca dan NKAR berbeda. Ransum yang memberikan respon positif

terhadap kualitas semen dan karakteristik spermatozoa, digunakan pada percobaan

kedua. Percobaan kedua dilakukan untuk mengkaji pola kelahiran anak domba

Garut dari induk domba yang mendapat ransum bersuplemen Cr dan Ca dengan

NKAR berbeda. Pada penelitian tahap kedua, khususnya akan diperoleh ransum

percobaan yang dapat menggeser ratio jenis kelamin anak dari domba Garut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji performa produksi dan reproduksi

domba Garut jantan yang diberi ransum bersuplemen Cr dan Ca dalam ransum

dengan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Tujuan khusus penelitian

ini adalah:

1. Mempelajari pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan

neraca kation anion berbeda pada performa produksi yaitu utilisasi mineral

dan pertambahan bobot badan domba Garut jantan.

2. Mempelajari pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan

neraca kation anion berbeda pada performa reproduksi yaitu kualitas

semen dan karakteristik spermatozoa fraksi atas dan bawah hasil separasi

albumin semen domba Garut.

3. Mengkaji efektivitas neraca kation anion ransum dan Cr dalam

mempengaruhi pola kelahiran anak khususnya rasio kelamin anak domba

yang dilahirkan.

5

Gambar 1. Bagan alir penelitian

Ransum yang disuplementasi Cr, Ca, pada NKAR Berbeda

Domba Garut Jantan Domba Garut Betina

Pertumbuhandan UtilisasiMineral Ca, Ca,Zn dan Mgdomba GarutJantan

Kualitas SemenSegar danSemen HasilSeparasiAlbumin

Pola kelahiran Anak:Rasio jenis kelaminJumlah kelahiranBobot badan

Pemberian ransumperlakuan dan

pengamatan selama 49hari

Pemberian ransumperlakuan selama 49 hari

Dikawinkan

6

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat khususnya peternak mengenai:

1. Suplementasi Cr dan Ca pada ransum dengan nilai NKAR berbeda pada

ternak ruminansia, khususnya domba.

2. Pola interaksi mineral yang terjadi karena suplementasi Cr dan Ca dalam

ransum.

3. Pola kelahiran anak domba Garut khususnya rasio jenis kelamin akibat

suplementasi Cr dan perubahan nilai NKAR.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan NKAR 0 akan

mempengaruhi konsumsi, pertumbuhan, status mineral semen dan darah,

dan absorpsi mineral ransum domba Garut.

2. Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan NKAR 0 akan

mempengaruhi kualitas makroskopis dan mikroskopis semen serta dan

mempengaruhi karakteristik spermatozoa fraksi atas dan bawah semen

domba Garut hasil separasi albumin.

3. Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan NKAR 0 akan

menurunkan rasio jenis kelamin anak domba Garut yang dilahirkan.

7

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Domba Garut

Domba Priangan atau domba Garut adalah hasil persilangan antara tiga

bangsa domba yaitu domba lokal, merino dan ekor gemuk dari Afrika Selatan.

Ciri-ciri domba priangan adalah berbadan besar dan lebar serta leher kuat

sehingga dapat digunakan sebagai domba aduan. Bobot domba jantan mencapai

60 – 80 kg dan domba betina 30 – 40 kg. Domba jantan bertanduk besar dan

melengkung ke belakang berbentuk spiral (Gambar 2). Bagian pangkal tanduk

kanan dan kiri hampir bersatu. Domba betina tidak bertanduk. Warna bulu

beragam ada yang putih hitam dan coklat atau warna campuran tetapi umumnya

berwarna dasar putih dan berbulu lurus. Ciri khas domba ini ialah mempunyai

daun telinga yang kecil kuat dan agak runcing, atau ada yang tidak mempunyai

daun telinga sama sekali. Domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi

(prolifik), potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan

dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini banyak dipelihara

sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber pedaging (tipe pedaging).

Sesuai dengan namanya domba Priangan berasal dari daerah Priangan di Jawa

Barat dan berpusat di Kabupaten Garut, khususnya domba Garut tipe pedaging

banyak tersebar di Kecamatan Wanaraja dan Sukawening (Mansjoer et al. 2007;

Riwantoro 2005; Sudarmono & Sugeng 2008).

Domba Garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri garis muka

lurus, bentuk mata normal, bentuk telinga hiris dan rubak, garis punggung lurus,

bentuk bulu lurus dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan betina

kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro 2005). Sedangkan tubuh domba Garut

tipe tangkas, yaitu bergaris muka cembung, telinga rumpung atau kecil, jantan

memiliki tanduk yang kokoh dan kuat, bergaris punggung cekung, pundak lebih

tinggi dari bagian belakang dan panggul lebih rapat dengan dada berukuran besar,

ekor bertipe sedang sampai gemuk, sedangkan betina bertanduk kecil, garis

punggung lurus, bagian dada tidak tampak mengembang seperti halnya pada

jantan dan ekornya bertipe sedang (Mulliadi 1996).

8

Gambar 2 Domba Garut jantan

Neraca Kation Anion Ransum

Dietary cation-anion balance (DCAB) atau neraca kation anion ransum

(NKAR), adalah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam

ransum dengan cara mengurangi miliequivalen anion dari miliequivalen kation

dalam seluruh ransum. Pada umumnya, mineral yang sering digunakan dalam

perhitungan NKA, yaitu dua macam kation (Na+ dan K+) dan dua macam anion

(Cl- dan S-2). Perhitungan nilai NKAR yang digunakan oleh Harris dan Beede

(1993), Moore et al. (2000), Roche et al. (2003), Borucki-Castro et al. (2004),

dan Chan et al. (2005) adalah seperti berikut :

NKAR = ( Na + K ) – ( Cl + S ) (meq/100 g BK ransum).

Stewart (1983) menyatakan bahwa keseimbangan ion-ion stabil seperti

natrium (Na+), kalium (K+) dan klorida (Cl-) berperan utama sebagai penentu

keseimbangan asam basa dalam cairan biologis. Selain itu ion sulfur (S-2) juga

mempengaruhi keseimbangan cairan biologis, walaupun S-2 tidak termasuk ion

9

stabil. Ion SO4-2 secara langsung bersifat asam terhadap cairan biologis dan dapat

mengubah keseimbangan asam-basa jika ditambahkan ke dalam ransum

konsentrasi tinggi .

Penelitian mengenai keseimbangan kation-anion telah banyak dilakukan,

tetapi sebagian besar pada sapi perah. Harris dan Beede (1993) menyatakan

bahwa ransum dengan keseimbangan kation-anion positif diberikan pada sapi

perah selama laktasi dapat meningkatkan produksi susu. Sebaliknya, pemberian

ransum dengan keseimbangan kation-anion negatif lebih baik diberikan pada sapi-

sapi perah pada waktu kering kandang sebelum beranak untuk mengurangi resiko

milk fever dan mencegah parturient paresis, melalui mekanisme homeostasis

metabolisme kalsium (Hu & Murphy 2004; Ramberg et al. 2009).

Mineral Kromium

Kromium sebagai Nutrien

Kromium (Cr) adalah unsur logam transisi yang terdapat umumnya pada

kondisi oksidasi 0, 2+, 3+, dan 6+. Mineral ini paling stabil pada valensi 3.

Chromium berasal dari bijih, chromite (FeOCr2O3). Sebagian besar bijih Cr

digunakan pada produksi baja stainless. Unsur Cr telah digunakan sebagai

marker untuk laju makanan dan nutrien dalam saluran pencernaan. Unsur ini

tersebar di air, tanah dan materi hidup. Bervariasi besar antara konsentrasi

mungkin karena perbedaan prosedur analisis, standar dan lokasi geografis.

Teknologi sekarang dapat mengukur konsentrasi Cr yang sangat kecil (sampai

sekecil 1 ppb) namun sayangnya, sampel dapat mudah terkontaminasi bahkan

oleh peralatan baja stainless dan Cr organik glucose tolerance factor (GTF)

mudah hilang pada temperatur pengabuan yang tinggi (McDowell 1992).

Mineral Cr bervalensi 3 merupakan bentuk nutrien dan juga terdapat dalam

bentuk alami, tidak beracun dalam bentuk anorganik dan sebagian besar dalam

bentuk kompleks organik. Pada sisi lain Cr digunakan secara ekstensif pada

industri kimia dan metalurgi untuk baja stainless, pelapisan chrome, detergen,

penyamakan kulit dan lain-lain. Pada proses tersebut Cr dapat berubah menjadi

bentuk valensi 6 yang beracun dan karsinogen, oleh karena itu menjadi perhatian

pemerhati lingkungan. Pada ekskreta dari ternak yang diberi Cr sebagai nutrien,

10

limbah Cr sangat sedikit dibandingkan limbah dari penggunaan industri. Di

samping itu Cr ekskreta dari ternak dalam bentuk valensi 3 yang tidak beracun

sedangkan limbah industri mengandung Cr valensi 6 (Mowat 2008).

Unsur Cr merupakan nutrien penting untuk manusia dan hewan. Peranan

utamanya adalah meningkatkan aksi insulin sebagai bagian dari glucose tolerance

factor (GTF); suatu senyawa organometalik yang terdiri atas Cr+3, asam nikotinat,

glisin dan sistein. Koefisien cerna bentuk Cr anorganik pada ruminansia belum

diketahui, tetapi berkisar antara 0,5 – 2% pada manusia dan hewan laboratorium

(NRC 1997). Efisiensi penyerapan dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh karena itu

kandungan Cr total dalam ransum sangat tidak berhubungan dengan ketersediaan

Cr dalam makanan. Bentuk Cr organik lebih tersedia dibandingkan bentuk

anorganik. Terdapat beberapa Cr organik yang menjadi perhatian dalam

suplementasi bentuk organik Cr ke ternak, diantaranya adalah Cr-pikolinat, Cr-

nikotinat, dan khamir berkadar tinggi Cr (NRC 1997)

Metabolisme Kromium

Dalam larutan asam Cr ditemukan di lambung, Cr3+ terlarut dan membentuk

kompleks dengan ligan. Kromium diserap di seluruh saluran pencernaan terutama

jejenum. Meskipun model penyerapan belum jelas diketahui, namun diduga

diserap secara difusi dan melalui carrier-mediated tranporter. Sekitar 0,4 – 2,5%

Cr yang dikonsumsi diserap masuk ke sel usus.

Dalam darah Cr3+ anorganik berikatan secara kompetisi dengan tranferin

dan diangkut bersama dengan Fe . Jika tranferin site tidak tersedia bagi Cr maka

albumin diduga dapat mengangkut Cr. Tubuh mengandung sekitar 4 – 6 mg Cr.

Jaringan yang mengandung Cr tinggi adalah ginjal, hati, otot, limpa, jantung,

pankreas dan tulang. Kadar Cr jaringan menurun sesuai dengan umur. Unsur Cr

diduga disimpan dalam jaringan bersama dengan besi dalam bentuk ferri (Fe3+)

karena diangkut oleh tranferin (Gropper et al. 2009).

Peningkatan penyerapan Cr dipengaruhi oleh: adanya asam amino dan ligan

lain dapat membentuk chelat dengan Cr dalam lambung. Asam amino seperti

phenylalanin, methionin dan histidin, dapat berperan sebagai ligan untuk

memperbaiki penyerapan Cr. Pikolinat dapat berperan sebagai ligan Cr.

Chelating tersebut membantuk Cr tetap larut dan mencegah proses olasi

11

pada pH alkalin di usus halus. Senyawa lipophilic seperti pikolinat juga

bermanfaat meningkatkan penyerapan melalui membran sel lipid. Vitamin C juga

meningkatkan penyerapan Cr. Mengkonsumsi 1 mg Cr (CrCl2) bersama dengan

100 mg ascorbate akan meningkatkan kadar Cr plasma dibandingkan tanpa

minum askorbat.

Terdapat inhibitor yang mempengaruhi penyerapaan Cr. Kromium

anorganik dalam lingkungan netral atau basa bereaksi dengan hidroksil (OH-),

yang akan segera berpolimerisasi membentuk senyawa dengan bobot molekul

tinggi dalam proses yang disebut olasi. Reaksi ini mengkibatkan presipitasi

(pengendapan) Cr sehingga menurunkan penyerapan. Antacid dan phytat

menurunkan penyerapan Cr secara nyata (Gropper et al. 2009; Solomon 1988;

Luseba 2005).

Interaksi Mineral Cr dengan Mineral Lain

Mineral mikro dapat berinteraksi dengan mineral lain, yang berpotensi

menyebabkan gejala keracunan ataupun defisiensi (Luseba 2005). Interaksi

mineral dengan mineral lainnya dapat terjadi dalam makanan, pada jaringan

tertentu dan selama proses transpor dan ekskresi mineral. Namun yang paling

utama adalah interaksi yang terjadi dalam saluran pencernaan. Interaksi mineral

dengan mineral lainnya terjadi melalui mekanisme kompetisi atau coadaptation

yang berhubungan dengan bentuk yaitu kemiripan mineral secara kimia (Solomon

1988). Konsumsi Cr yang tinggi akan menurunkan retensi mineral lain seperti

Co, Fe, dan Mn (Luseba 2005). Dalam darah Cr3+ anorganik berikatan secara

kompetisi dengan tranferin yang diangkut bersama dengan Fe (Gropper et al.

2009).

Fungsi dan Keuntungan Bentuk Cr-Organik

Peranan fisiologis utama dari Kromium adalah bagian integral dari Cr aktif

biologis atau Glucose Tolerance Factor (GTF) yang berpotensi penting pada

hormon insulin. Insulin tidak akan berfungsi secara efisien jika ransum defisien

Cr. Mineral Cr juga dibutuhkan untuk fungsi normal dari sel-sel β dalam

pankreas, yang mencegah hyperresponsif sekresi insulin terhadap stimulasi

glukosa (Striffler et al. 1995). Kromium (III) dibutuhkan untuk penggunaan

12

glukosa dalam jaringan perifer, yang berperan bersama dengan insulin. Secara

biologis bentuk-bentuk aktif kromium adalah disebut glucose tolerance factor

(GTF). Suatu molekul organik kecil yang mengandung asam nikotinat, glisin,

asam glutamat, sistein dan kromium, tetapi struktur tepatnya belum diketahui

(Vincent 2000).

Kromium dalam tanaman berada dalam bentuk organik dengan konsentrasi

sekitar 30 – 50 ppb. Konsentrasi kromium total yang tinggi dalam makanan

mungkin disebabkan oleh kontaminasi (tanah, debu, baja stainless) dalam pakan,

terutama hijauan, atau kontaminasi dalam suplemen mineral. Analisis kromium

terbatas dan membutuhkan spesialisasi tinggi. Kromium anorganik sangat buruk

diserap, juga kromium anorganik ini harus diubah menjadi komplek organik,

seperti GTF agar dapat berfungsi secara fisiologis. Pengubahan kromium

anorganik (misalnya kromium klorida) dalam hati dan ginjal menjadi bentuk aktif

rendah, bahkan sangat kurang, pada yang tua. Suplementasi bentuk komplek

kromium organik meningkatkan penyerapan, menurunkan variabilitas respon dan

meniadakan kebutuhan untuk kecukupan prekursor makanan (yaitu asam

nikotinat, asam amino tertentu) untuk membantu penyerapan kromium anorganik

dan mengubahnya menjadi bentuk bioaktif (Mowat 2008).

Defisiensi Cr mempunyai kemampuan untuk menekan sintesis asam

nukleat. Tikus yang diberi pakan rendah Cr secara nyata lebih rendah jumlah

sperma dan menurunkan fertilitasnya dibandingkan kontrol yang disuplementansi

Cr. Kromium penting untuk menjaga stabilitas struktural protein dan asam

nukleat dan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa unsur ini sangat penting

bagi pertumbuhan dan perkembangan fetus (Anderson & Polansky 1981).

Sedangkan Cr bervalensi 6 dapat mengganggu spermatogenesis dengan

merangsang terbentuknya racun radikal bebas, dan suplementasi vitamin

antioksidan dapat bermanfaat terhadap ternak yang dipengaruhinya (Aruldhas

2005)

Suplementasi Kromium dalam Ransum

Ketersediaan kromium yang terkandung dalam ransum komersial untuk

ternak ruminansia masih belum diketahui. Usaha terus dilakukan untuk

menentukan kebutuhan konsentrasi kromium dan ketersediaannya dalam pakan

13

dan suplemen untuk diberikan ke ternak ruminan. Suplemen kromium meliputi

CrNic, CrCl3, CrPic, kromium khelat, dan jamur berkromium tinggi. Beberapa

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh positif tetapi hasilnya

tidak konsisten (NRC 1997).

Kromium meningkatkan (P<0.08) jumlah eristrosit domba yang diberi

pakan tinggi protein dan suplemen 400 ppb Cr-pic. Pada penelitian ini

menunjukkan suplementasi Cr pengaruhnya tidak konsisten terhadap produksi

dan karakter metabolik domba (Gentry et al. 1999). Penelitian Kichalong et al.

(1995) pada domba Suffolk juga menunjukkan suplementasi Cr-pic tidak

berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan dan

imbangan nitrogen. Sebaliknya pada penelitian Kornegay et al (1997)

menunjukkan bahwa suplementasi Cr-picolinat sebanyak 200 ppb dapat

memperbesar otot longissimus dan suplementasi ini juga memperbaiki absorpsi N

dan kecernaan bahan kering. Suplementasi Cr menurunkan plasma NEFA (Non

Esterified Fatty Acid) dan 15% kolesterol selama pemberian 2 minggu. Di

samping itu Cr-pic menurunkan 18% lemak rusuk ke-10 pada domba dan babi

(Kichalong et al. 1995; Van de Lig et al. 2002).

Suplementasi Cr-pic pada ransum ternak babi meningkatkan jumlah anak

hidup yang dilahirkan tetapi menurunkan bobot lahir anak. Kadar Cr di kelenjar

adrenal, ginjal dan hati meningkat secara linier oleh peningkatan suplementasi Cr-

pic (Lindemann et al. 2004). Sapi jantan kastrasi yang diberi Cr nikotinat

memiliki insulin serum yang lebih tinggi 15 dan 30 menit setelah infusi daripada

yang disuplementasi dengan CrCl3 dan khamir ber-Cr tinggi. Hal ini menunjukkan

bahwa kompleks Cr nikotinat khamir ber-Cr tinggi dapat mempengaruhi respon

imun, dan kompleks Cr nikotinat mempengaruhi fungsi-fungsi yang berhubungan

dengan insulin (Kegley & Spears 1995). Cara kerjanya, adalah dengan

meningkatkan laju keluarnya glukosa setelah infusi insulin dan meningkatkan

respon insulin pada sapi pedet yang diberi Cr-L methionin (Kegley et al. 2000).

Fisiologi Semen Domba

Semen Domba

Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara normal diejakulasikan ke

14

dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, tetapi dapat pula ditampung

dengan berbagai cara untuk keperluan inseminasi buatan. Semen terdiri atas dua

bagian yaitu spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan yang bersuspensi di dalam

suatu cairan atau medium semi-gelatinous yang disebut plasma semen.

Spermatozoa dihasilkan di dalam testes sedangkan plasma semen adalah

campuran sekresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin

pelengkap yaitu vesikularis dan prostata (Toelihere 1985).

Komposisi kimia plasma semen domba dalam 100 ml semen adalah:

protein 5000 mg, fruktosa 250 mg, asam sitrat 110-260 mg, natrium 178 mg,

kalium 155 mg, kalsium 6 mg, magnesium 6 mg, dan klorida 86 mg (Garner &

Hafez 2000). Sedangkan pada domba Garut, komposisi kimia plasma semen

dalam 100 ml semen adalah: lemak 220 mg, protein 4.140 mg, karbohidrat 800

mg, fruktosa 180 mg, glukosa 5.6 mg, manosa 2.8 mg, maltotriosa 40 mg, vitamin

C 3.2 mg, vitamin E 24 mg, natrium 180 mg, kalium 117 mg, kalsium 9 mg,

magnesium 6.12 mg, fosfat 60 mg, klorida 14 mg dan mangan 5 mg (Rizal et al.

2003)

Spermatogenesis

Spermatozoa dibentuk di dalam testes melalui proses yang disebut

spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididymis

dimana spermatozoa disimpan sampai ejakulasi. Spermatogenesis meliputi

spermatocytogenesis dan spermiogenesis. Proses pembentukan spermatozoa

meliputi 4 fase yaitu; Fase I (15 – 17 hari), pembelahan mitotik spermatogonia

menjadi dua anak sel yaitu satu spermatogenium dormant yang menjamin

kontinuitas spermatogonia dan satu spermatogonium aktif yang membagi diri 4

kali sehingga akhirnya membentuk 16 spermatocyt primer (2n); Fase 2 (kurang

lebih 15 hari). Pembelahan meiotik dari spermatocyt primer (2n) menjadi

spermatocyt sekunder (n); Fase III (beberapa jam), pembelahan spermatocyt

sekunder menjadi spermatid; Fase IV (kurang lebih 15 hari), metamorphosis

spermatid menjadi spermatozoa tanpa pembelahan (Toelihere 1985). Hasil

pembentukan spermatozoa dilepaskan dengan proses yang disebut spermiasi dari

sel-sel sertoli dan memasuki lumen tubuli seminiferi menuju rete testis. Pada

domba, Seluruh proses spermatogenesis berlangsung antara 46-49 hari (Toelihere

15

1985; Senger 2005; Bearden & Fuquay, 2000).

Gambar 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis

Spermatogenesis diatur oleh hormon, yaitu pada spermatocytogenesis

dikendalikan oleh follicle stimulating hormone (FSH) dan spermiogenesis berada

di bawah pengaruh luteinizing hormone (LH), suatu hormon gonadotrophin yang

dihasilkan oleh adenohypophysa dan testesteron (Toelihere 1985). Pengaturan

hormonal dimulai dari disekresikannya gonadotrophin releasing hormone

(GnRH) oleh hipothalamus yang akan mempengaruhi hipofisa anterior

menghasilkan hormon FSH dan LH yang akan mengatur sel-sel Leydig dan

Sertoli (Gambar 3). Testosteron dihasilkan sebagai akibat dari aksi LH terhadap

sel-sel Leydig yang bekerja pada reseptor-reseptor yang terletak pada sel-sel

Sertoli dan sel peritubular. Pengaruhnya terhadap sel-sel gamet hasil dari kerja

hormon pada sel-sel sertoli dan selanjutnya sekresi faktor-faktor paracrine dari sel

15

1985; Senger 2005; Bearden & Fuquay, 2000).

Gambar 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis

Spermatogenesis diatur oleh hormon, yaitu pada spermatocytogenesis

dikendalikan oleh follicle stimulating hormone (FSH) dan spermiogenesis berada

di bawah pengaruh luteinizing hormone (LH), suatu hormon gonadotrophin yang

dihasilkan oleh adenohypophysa dan testesteron (Toelihere 1985). Pengaturan

hormonal dimulai dari disekresikannya gonadotrophin releasing hormone

(GnRH) oleh hipothalamus yang akan mempengaruhi hipofisa anterior

menghasilkan hormon FSH dan LH yang akan mengatur sel-sel Leydig dan

Sertoli (Gambar 3). Testosteron dihasilkan sebagai akibat dari aksi LH terhadap

sel-sel Leydig yang bekerja pada reseptor-reseptor yang terletak pada sel-sel

Sertoli dan sel peritubular. Pengaruhnya terhadap sel-sel gamet hasil dari kerja

hormon pada sel-sel sertoli dan selanjutnya sekresi faktor-faktor paracrine dari sel

15

1985; Senger 2005; Bearden & Fuquay, 2000).

Gambar 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis

Spermatogenesis diatur oleh hormon, yaitu pada spermatocytogenesis

dikendalikan oleh follicle stimulating hormone (FSH) dan spermiogenesis berada

di bawah pengaruh luteinizing hormone (LH), suatu hormon gonadotrophin yang

dihasilkan oleh adenohypophysa dan testesteron (Toelihere 1985). Pengaturan

hormonal dimulai dari disekresikannya gonadotrophin releasing hormone

(GnRH) oleh hipothalamus yang akan mempengaruhi hipofisa anterior

menghasilkan hormon FSH dan LH yang akan mengatur sel-sel Leydig dan

Sertoli (Gambar 3). Testosteron dihasilkan sebagai akibat dari aksi LH terhadap

sel-sel Leydig yang bekerja pada reseptor-reseptor yang terletak pada sel-sel

Sertoli dan sel peritubular. Pengaruhnya terhadap sel-sel gamet hasil dari kerja

hormon pada sel-sel sertoli dan selanjutnya sekresi faktor-faktor paracrine dari sel

16

Sertoli. Umpan balik terhadap pituitary terjadi melalui testosteron dan inhibin.

Sel sertoli dibutuhkan untuk perkembangan sel-sel gamet (Griswold 1995).

Sel-sel Sertoli dan epitelium epididymis mensekresikan cairan nutrien yang

ejakulasikan bersama dengan spermatozoa. Cairan ini mengandung hormon

(testosteron dan estrogen, enzim dan nutrien tertentu yang penting untuk maturasi

spermatozoa. Selanjutnya dalam perjalanan melalui vas deferens, plasma semen

berasal dari ampula, kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar

bulbourethralis (Cowper gland’s). Kelenjar vesikularis mensekresikan bahan-

bahan mucoid yang mengandung banyak fruktosa, asam sitrat dan nutrien lain.

Kelenjar prostat menghasilkan kalsium, ion klorida, ion sitrat, posfat, dan enzim.

Sifat alkalin dari prostar penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum karena cairan

vas deferens relatif asam karena adanya asam sitrat dan produk akhir metabolik

dari sperma dan tentunya akan membantu meningkatkan fertilitas spermatozoa

(Senger 2005; Guyton & Hall 2006).

Spermatozoa memetabolisme molekul sederhana terutama gula-gula dan

turunannya (yaitu fruktosa, glukosa, mannosa dan piruvat) melalui jalur aerobik

dan anaerobik, untuk menghasilkan energi untuk motilitas dan menjaga gradien

ion melewati membran (Noakes et al. 2001). Di samping fruktosa, semen terdiri

atas banyak Ca, Mg dan Cu. Mineral ini dalam bentuk ionik mempengaruhi

spermatogensis, berhubungan dengan produksi spermatozoa, maturasi, motilitas

dan kapasitasi fertilisasi (Guyton & Hall 2006). Seng berperan dalam sistem

reproduksi jantan, salah satunya adalah dalam partisipasi aktivitas ribonuklease

yang sangat aktif selama mitosis spermatogonia dan meiosis spermatocyt. Seng

juga membantu menstabilkan khromatin dan membran spermatozoa dan

meningkatkan sifat mekanis dari spermatozoa seperti flagela normal,

pembentukan midpiece dan motilitas spermatozoa. Mineral Se dalam bentuk

Gpx4 secara efisien melindungi membran sel dari radikal bebas dan terutama

ditemukan dalam sel-sel germinal. Disamping faktor-faktor dari plasma

epididymis caudal, induksi motilitas selanjutnya membutuhkan juga peningkatan

kadar cyclic AMP dan ion Ca. Selama transit epididymal, kadar cAMP

intraspermatozoa dan aktivitas ATPase meningkat dimana zat tersebut penting

untuk induksi motilitas spermatozoa (Cheah & Yang 2011)

17

Rasio Kelamin Anak yang Dilahirkan

Prapenentuan jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan

dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplai

pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan

sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem

produksi menjadi semakin diperlukan (Johnson 2000). Aplikasi teknologi

tersebut mengakibatkan perubahan jenis kelamin ternak yang dilahirkan.

Rasio jenis kelamin didefinisikan sebagai proporsi jantan terhadap betina

pada suatu populasi yang hidup dan biasanya dinyatakan sebagai jumlah jantan

per 100 betina. Cara untuk menyebutkan rasio kelamin dengan angka yang

dibatasi oleh titik dua (misalnya 1.05:1) atau dengan satu nilai misalnya 1.05

(Hylan 2007). Fathul et al. (2008) menyatakan rasio kelamin anak dengan

membagi jumlah anak jantan dengan jumlah total anak sekelahiran dalam persen.

Proses separasi jenis kelamin pada saat ini berdasarkan perbedaan jumlah

DNA dalam kromosom X dan Y, kromosom X manusia mengandung sekitar 2.8%

lebih banyak DNA dibandingkan kromosom Y, sedangkan pada mamalia lain

berkisar 3-5% (Geldhill 1988). Meskipun sekarang metoda pemisahan

spermatozoa yang mengandung kromosom X dan Y sudah efisien, namun semua

laju fertilitas sperma yang dipisahkannya tidak bagus (Grant & Chamley 2007),

dan viabilitasnya rendah (Ollero et al. 2000).

Saat ini penelitian mengenai kemungkinan nutrisi dapat mengubah rasio

jenis kelamin telah mulai yang dilakukan. Hasil penelitian Celik et al. (2003)

menunjukkan bahwa tikus yang diberi pakan kaya Ca cenderung akan

menghasilkan keturunan berjenis kelamin betina. Sedangkan Rosenfeld dan

Robert (2004) melaporkan jenis kelamin tikus dapat dipengaruhi oleh pakan yang

diberikan. Tikus yang diberi pakan yang mengandung zat lemak (60 kkal%) >

karbohidrat (20 kkal%), peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71% .

Sebaliknya jika diberi pakan mengandung karbohidrat (70 kkal% > lemak (10

kkal%), maka peluang untuk mendapatkan anak betina < sekitar 35 – 48%.

18

UTILISASI MINERAL PADA DOMBA JANTAN DENGANRANSUM BERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN

KATION-ANION BERBEDA

ABSTRAK

Kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak ruminansia.

Metabolisme dan interaksi mineral Cr belum banyak diketahui. Penelitian ini

dilakukan untuk mengkaji utilisasi mineral dan pertumbuhan domba Garut yang

diberi mineral Cr, Ca dan neraca kation anion berbeda. Perlakuan ransum adalah

R0 (ransum basal, NKAR+14); R1 (R0+Cr 3ppm, NKAR+14 ), R2 (R0+ Ca,

NKAR 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, NKAR 0). Rancangan penelitian menggunakan

Rancangan Kelompok dengan menggunakan 24 ekor domba Garut jantan

berumur 1.5-2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi Cr dalam

ransum yang mengandung Ca berbeda tidak mempengaruhi konsumsi ransum,

pertambahan bobot badan, dan kecernaan bahan kering ransum, tetapi

menurunkan penyerapan Cr dan juga menurunkan penyerapan Ca pada ransum

rendah Ca. Suplementasi Cr tidak berpengaruh pada status Cr, Ca, Zn dan Mg

dalam darah dan semen. Tingkat konsumsi Cr cenderung berhubungan negatif

dengan tingkat penyerapan Cr dan berhubungan positif kadar Cr darah. Terdapat

hubungan positif antara konsumsi Ca dengan tingkat penyerapan Ca dan Mg juga

dengan kadar Ca dan Zn darah. Konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan dengan

kadar Cr dan Ca semen.

Kata kunci: kromium, kalsium, neraca kation anion, domba Garut

19

MINERAL UTILIZATION IN RAM FED RATIONSUPLEMENTED WITH DIFFERENT LEVELS OFCHROMIUM, CALCIUM AND CATION-ANION

ABSTRACT

Chromium (Cr) is an essential mineral for ruminants. Its metabolism and

interactions with other minerals has not been widely known. This experiment was

designed to evaluate the utilization of minerals and growth of Garut ram fed

ration suplemented with different level of Cr, Ca and Dietary Cation Anion

Balances (DCAB). Dietary treatments, namely: R0 (basal diet, DCAB+14); R1

(R0+Cr 3ppm, DCAB+14 ), R2 (R0+ Ca, DCAB 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, DCAB

0), were alloted in twenty four of 1.5-2 years old Garut rams in a randomized

block design. The results showed that Cr supplementation in rations containing

different levels of Ca did not affect feed intake, body weight gain, and dry matter

digestibility, but reduced the absorption of Cr as well as the absorption of Ca of

the low Ca diet. Supplementation of Cr had no effect on Cr, Ca, Zn, and Mg

status in blood and semen of the rams. Level of Cr intake had tend to negative

correlation with the Cr absorption and tend to positive correlation with blood Cr

levels. There is a positive relationship between the level of Ca intake with the Ca

and Mg absorption and blood Ca and Zn levels. Intake of Cr and Ca were not

related to the semen Cr and Ca levels.

Key words: chromium, calcium, dietary cation anion balance, Garut ram

20

PENDAHULUAN

Mineral kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak. Manfaat Cr telah

diketahui 40 tahun lalu, sejak itu mulai banyak dilakukan penelitian mengenai

peranan Cr dalam tubuh (NRC 1997). Mineral Cr dalam bentuk glucose

tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan

masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin

(NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein

(Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi

dalam menjaga stabilitas struktur protein dan asam nukleat dan berperan dalam

proses reproduksi karena diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus

(Lindemann et al. 2004; Pechova & Pavlata 2007).

Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan menurunkan jumlah

spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson & Polansky, 1981). Kadar

Cr yang tinggi merugikan dalam produksi spermatozoa (Skandhan et al. 2005),

mengubah kualitas semen dan hormon reproduksi serta menurunkan jumlah dan

morfologi spermatozoa yang normal (Kumar, 2008).

Mineral dapat berinteraksi satu dengan lainnya, yang berpotensi

menyebabkan keracunan ataupun defisiensi. Tingkat nutrien yang berlebihan

dapat didiagnosis dan dicegah, sebaliknya defisiensi seringkali sukar dikendalikan

dan diantisipasi karena suatu unsur memiliki berbagai peranan fungsional.

Interaksi mineral terjadi di dalam saluran pencernaan, sehingga konsumsi mineral

secara bersamaan mengakibatkan kompetisi dalam penyerapannya. Konsumsi Cr

yang tinggi menurunkan retensi Co, Fe, dan Mn (Gropper et al. 2009; Luseba

2005). Sebaliknya penurunan penyerapan Cr dapat terjadi jika Ca diberikan

dalam bentuk kalsium karbonat dan antasida (Mateljan 2010) dan ransum

disuplementasi dengan Zn, V dan Fe (Krejpcio 2001). Selain itu asam fitat dalam

pakan secara signifikan mengurangi penyerapan Cr (Krejpcio 2001; Mateljan

2010).

Kation (Na+ dan K+) dan anion (Cl- dan SO4-2) memiliki pengaruh besar

terhadap proses metabolisme dalam tubuh dan nilai asam basa. Kadar kation

anion tersebut dinyatakan dengan dietary anion cation balance (neraca kation

anion ransum/NKAR) (Chan et al. 2005). Nilai NKAR mempengaruhi konsumsi

21

ransum, metabolisme Ca (Tauriainen 2001), kadar Mg dalam plasma dan semen

(Hidayat et al. 2009) dan metabolisme asam amino (Mowat 2008).

Mengingat pentingnya Cr dalam metabolisme nutrien, penelitian ini

bertujuan untuk mengkaji utilisasi mineral dan penampilan domba Garut jantan

yang diberi ransum bersuplemen Cr dengan kadar Ca dan NKAR berbeda.

MATERI DAN METODE

Pakan Percobaan

Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak

halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea.

Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4

untuk semua ransum dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R2 dan R3 (NKAR 0)

Unsur Cr yang disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media

kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al. 2006).

Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985)

(Tabel 1).

Perlakuan dalam percobaan ini adalah suplementasi Cr pada tingkat Ca dan

neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Ransum percobaan adalah sebagai

berikut: R0 (Ransum Ransum basal, NKAR +14); R1 (Ransum basal +Cr,

NKAR+14); R2(Ransum basal+Ca, NKAR 0); R3 (Ransum basal+ Ca + Cr,

NKAR 0). Ransum perlakuan dialokasikan pada 24 ekor domba Garut jantan

dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok sebagai

ulangan.

Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya

Domba jantan berumur ±1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg

digunakan pada percobaan ini. Domba dikelompokkan sesuai dengan bobot

badannya. Domba dipelihara selama tiga bulan pada kandang individu bertempat

di kandang Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pada 21 hari pertama, domba diadaptasikan pada kondisi manajemen,

lingkungan perkandangan dan bahan pakan. Selanjutnya pada hari ke 22 hingga

22

hari ke 96 domba diberi pakan komplit perlakuan sebanyak ±3% dari bobot

badan. Selama percobaan pakan domba diberikan sekitar pukul 7:00 dan 14:00.

Air minum disediakan ad libitum.

Tabel 1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan

Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal (R01)Komposisi

PakanKadar(% BK)

Nutrien Kadar

Hijauan jagung 35 Bahan kering (%) 90.31

Dedak halus 21.5 Abu (%) 7.4

Jagung kuning 19.65 Protein kasar (%) 13.5

Bungkil kedelai 13.6 Lemak kasar (%) 7.5

Bungkil kelapa 8 Serat kasar (%) 17.5

Urea 0.25 BETN (%) 44.4Minyak jagung 2 TDN (%) 67.8

Jumlah 100 Energi Bruto(Kkal/kg)

3263

Zn (ppm) 139.12

Mg (%) 1.46

Ransum PerlakuanSuplemen R02 R1 R2 R3

Cr (ppm) 5.59 8.59 5.59 8.59

Ca (%) 0.21 0.21 0.42 0.42

NKAR (meq) 14 14 0 0Keterangan:R0 = Ransum basal, R1 = R0 + Cr, R2 = R0 + Ca, R3 = R2 + Cr (penambahan mineral pada R1,R2, dan R3 melalui perhitungan).1Hasil analisis proksimat Lab Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, 20092Hasil analisis mineral Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fapet, IPB dan Laboratorium PakanBalitnak, 2009

Pengambilan Sampel dan Analisis

Pada hari ke 35 hingga hari ke 42 dilakukan koleksi feses total untuk

mengukur nilai kecernaan nutrien dan absorpsi mineral. Feses yang dikoleksi

diambil sampelnya sebanyak 10% untuk dianalisis kadar mineralnya. Konsumsi

ransum setiap ekor domba diukur setiap hari dan domba ditimbang setiap minggu.

Pengukuran dan pengamatan peubah mulai dilakukan pukul 07.00.

23

Pemberian pakan perlakuan diteruskan selama 49 hari (satu periode

spermatogenesis). Pada hari ke 50 dilakukan koleksi semen pada setiap domba,

kemudian kadar mineral semen dianalisis. Koleksi semen dilaksanakan pada pagi

hari. Pada hari ke 53 dilakukan pengambilan sampel darah untuk mengetahui

status mineral darah. Pengambilan sampel darah dilaksanakan 2 jam setelah

pemberian pakan.

Analisis kadar bahan kering dan nutrien sampel pakan dan feses

menggunakan metode proksimat (AOAC 2005). Analisis mineral (Cr, Mg, Zn,

dan Ca) sampel pakan, feses, darah dan semen domba diawali dengan pengabuan

basah dan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS) Spectra

AA220 series Varian (Carry & Allaway 1971).

Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk

mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk

mengetahui perbedaan antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Jantan

Konsumsi ransum merupakan indikator dasar dalam menilai performans

ternak maupun kualitas pakan. Pertambahan bobot badan ternak dipengaruhi oleh

konsumsi, demikian pula dengan nilai kecernaan nutrien suatu pakan erat

hubungannya dengan konsumsi.

Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi

bahan kering (BK) total, konsumsi BK mingguan dan pertambahan bobot badan

harian (PBBH) domba Garut jantan (Tabel 2 dan Gambar 4). Namun cenderung

konsumsi BK domba yang diberi ransum R3 lebih tinggi (Gambar 3). Hasil

tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kraidees et al. (2009) bahwa

suplementasi Cr sebanyak 0.3 ppm meningkatkan konsumsi ransum dan

pertambahan bobot badan pada domba yang mengalami cekaman. Sedangkan

pada penelitian Mathius et al. (2005) suplementasi Cr 4 ppm pada ransum ternak

domba tidak mempengaruhi konsumsi dan pertambahan bobot badan. Kadar Cr

ransum percobaan diduga telah cukup dan masih dalam kisaran aman sehingga

24

tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan pertumbuhan. Kebutuhan Cr akan

meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak atau stres, transportasi, dan infeksi

ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 1987).

Gambar 4 Konsumsi bahan kering ransum domba Garut jantan

Tabel 2 Konsumsi bahan kering (BK), Cr, Ca, Zn, Mg dan pertambahanbobot badan harian (PBBH) domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi

Cr dan Ca

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi:BK (g/h) 873±176 865±145 922±167 1088±167BK (%BB) 2.64±0.40 2.63±0.45 2.83±0.29 3.02±0.59Cr (mg) 4.16±0.80a 6.63±1.18b 4.56±0.80a 7.97±1.50b

Ca (g) 1.57±0.30a 1.63±0.29a 3.46±0.61b 3.93±0.74b

Zn (mg) 103.61±19.86 107.5±19.21 113.48±19.95 129.12±22.33Mg (g) 10.84±2.08 11.25±2.01 11.88±2.09 13.52±2.55

PBBH (g) 114±70 102±32 116±25 109±64Keterangan: superksrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05).R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)

600

700

800

900

1000

1100

1200

1 2 3 4 5 6 7

R0

R1

R2

R3

Minggu

Kons

umsi

(g)

25

Gambar 5 Pertambahan bobot badan domba Garut jantan

Absorpsi Mineral Ransum pada Domba Garut Jantan

Suplementasi Cr dalam ransum domba nyata menurunkan persen absorpsi

Cr. Suplementasi Cr menurunkan jumlah Cr yang diabsorpsi pada ransum rendah

Ca (R1) namun tidak berpengaruh terhadap ransum cukup Ca (R3) (Tabel 3).

Ransum R1 dan R3 yang disuplementasi Cr 3 ppm persen absorpsinya menjadi

turun yaitu 19.25% dan 30.01% dibandingkan ransum yang tanpa disuplementasi

Cr. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Anderson et al. (2004) bahwa

dengan suplementasi Cr-histidinate memperbaiki absorpsi kromium. Perbedaan

tersebut diduga karena kebutuhan mineral Cr domba Garut telah tercukupi.

Menurut Anderson et al. (2004), respon terhadap suplementasi Cr akan tampak pada

ternak yang mengalami defisiensi atau marginal Cr. Selain itu konsumsi Cr yang

lebih tinggi menyebabkan absorpsi Cr menjadi lebih rendah dibandingkan

konsumsi Cr yang rendah (Anderson & Kozlovsky 1985). Hal tersebut diperkuat

hasil persamaan regresi dan korelasi antara konsumsi Cr dengan penurunan

absorpsi Cr (R=0.58) (Tabel 4).

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

I II III IV V VI VII

R0

R1

R2

R3

Pert

amba

han

Bobo

t Bad

an (k

g)

Minggu

26

Tabel 3 Absorpsi mineral Cr, Ca, Zn dan Mg ransum domba Garut jantan yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3

Cr (%) 68.52a ±9.86 19.25b ±7.72 58.03a ±12.34 30.01b ±16.31(mg) 2.88b ±0.79 1.22a ±0.34 2.71b ±1.01 2.99b ±1.22

Ca (%) 78.11a ±5.93 70.10b ±10.24 82.53a ±8.09 84.16a ±5.54(g) 10.71a ±2.03 11.01a ±1.89 23.97b ±4.24 26.73b ±5.18

Zn (%) 32.47 ±15.44 30.21 ±8.37 35.58 ±7.65 31.17 ±9.84(mg) 31.92 ±11.14 31.69 ±7.49 40.98 ±14.81 41.56 ±19.02

Mg (%) 73.05 ±7.95 71.25 ±11.89 65.82 ±5.44 61.75 ±6.59(g) 73.28 ±14.11 75.75 ±12.76 79.56 ±14.06 79.68 ±17.56

Keterangan: superksrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05).R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)

Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut menurunkan absorpsi Ca pada

ransum R1 yang rendah Ca. Hal ini berarti bahwa suplementasi Cr pada ransum

rendah Ca memperburuk absorpsi Ca. Pada ransum R2 dan R3 yang mengandung

cukup Ca, suplementasi Cr tidak mempengaruhi absorpsi Ca. Absorpsi Ca dalam

saluran pencernaan memerlukan Calbindin yaitu suatu Ca-binding protein

(CaBP) untuk masuk ke dalam membran saluran pencernaan. Molekul CaBP

memiliki afinitas yang tinggi terhadap Ca (Georgievskii et a1 1982). Namun

afinitas yang lebih tinggi pada mineral lain mempengaruhi ikatan antara Ca dan

Calbindin dalam usus (Suttle 2010). Berdasarkan perioda pada tabel periodik

unsur, afinitas Cr lebih besar dibandingkan Ca, sehingga Cr lebih mudah

berikatan dengan senyawa protein seperti CaBP. Selain itu terdapat kemiripan

mekanisme kerja dan struktur antara Calbindin dan low molecular-weight

chromium binding substance (LMWCr) (Vincent 1999) akan menyebabkan

kompetisi antara mineral (Lehninger et al. 2004). Oleh karena itu rendahnya

absorpsi Ca pada R1 diduga disebabkan oleh adanya kompetisi diantara kedua

mineral tersebut untuk berikatan dengan CaBP.

Rataan absorpsi Ca ransum R2 dan R3 lebih tinggi daripada absorpsi

ransum R0 dan R1 juga disebabkan oleh perbedaan NKAR. Rendahnya NKAR

pada R2 dan R3 merangsang peningkatan penyerapan Ca dari usus. Menurut

Ramberg et al. (2009), penurunan nilai NKAR meningkatkan produksi 1,25-

27

(OH)2D3 dalam ginjal, sehingga meningkatkan efisiensi absorpsi Ca dan

mobilisasi Ca dari tulang.

Absorpsi Zn tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr pada tingkat Ca ransum

berbeda. Nilai absorpsi Zn ransum domba perlakuan berada dalam kisaran cukup

sempit yaitu antara 30.21 – 35.58 ppm. Nilai absorpsi mineral Mg dalam ransum

domba tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr pada tingkat Ca berbeda. Namun

terdapat hubungan negatif antara konsumsi Ca dengan nilai absorpsi Mg (R=0.43,

P<0.05). Tingkat konsumsi Ca yang tinggi dapat mengurangi absorpsi Mg dalam

saluran pencernaan (Gropper et al. 2009).

Tabel 4 Korelasi dan regresi konsumsi mineral dengan absorpsi dan statusmineral dalam semen dan darah domba Garut jantan yang ransumnya

disuplementasi Cr dan Ca

Peubah R Signifikansi Regresi

Konsumsi Cr – Absorpsi Cr -0.58 0.08 Y= 84.691-6.390XKonsumsi Cr – Cr darah 0.42 0.067 Y=0.022+0.016XKonsumsi Ca – Absorpsi Ca 0.48 0.02 Y=69.46+3.58XKonsumsi Ca – Absorpsi Mg -0.45 0.03 Y=77.01-3.41X

Konsumsi Ca – Ca darah 0.56 0.005 Y=30.30+2.84XKonsumsi Ca – Zn darah 0.46 0.024 Y=4.65+0.221XKonsumsi Zn – Zn darah 0.52 0.009 Y=3.695+0.14XKonsumsi Mg – Ca darah 0.43 0.043 Y=24.87+1.101XKonsumsi Mg – Zn darah 0.52 0.009 Y=3.696+0.13X

Nilai absorpsi mineral Cr (Tabel 4) memiliki hubungan negatif dengan

konsumsi Cr (R=0.58). Semakin tinggi konsumsi Cr menurunkan absorpsi Cr.

Setiap peningkatan satu satuan konsumsi Cr maka menurunkan absorpsi Cr

sebesar 6.4%. Nilai Cr darah juga memiliki hubungan positif dengan konsumsi

Cr, semakin tinggi konsumsi Cr maka Cr darah meningkat. Persamaan regresi

berganda yang dilakukan pada hubungan peubah konsumsi Cr dan Ca terhadap

absorpsi Cr menunjukkan hubungan yang nyata (P<0.05), dengan persamaan

regresi Y=0.682Ca – 0.257Cr + 2.035 (R=0.57). Hal tersebut terjadi karena

absorpsi Cr juga dipengaruhi oleh kadar Ca ransum (Tabel 3). Konsumsi Cr

tidak berhubungan dengan kadar Cr dalam semen. Pada kondisi ransum defisien

atau marginal Ca, nilai absorpsi Ca berhubungan dengan konsumsi Ca. Semakin

28

tinggi konsumsi Ca maka terjadi peningkatan absorpsi Ca. Sementara itu

konsumsi Ca berhubungan negatif dengan aborbsi Mg karena adanya kompetisi

dalam saluran pencernaan. Sehingga konsumsi Ca yang tinggi akan menurunkan

absorpsi Mg. Nilai status Ca dan Zn darah berhubungan dengan konsumsi Ca.

Semakin tinggi Konsumsi Ca, meningkatkan nilai Ca dan Zn darah tetapi tidak

diikuti dengan nilai Ca dalam semen. Dengan demikian status Cr dan Ca darah

dapat dijadikan indikator kecukupan Cr dan Ca dalam ransum sedangkan Cr dan

Ca dalam semen tidak menunjukkan informasi Cr maupun Ca dalam ransum.

Status Mineral Semen dan Darah Domba Garut Jantan

Suplementasi Cr pada tingkat Ca berbeda tidak mempengaruhi status Cr

semen dan darah. Namun pada kondisi ransum dengan Ca cukup (R3), rataan

kadar Cr semen cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ransum rendah Ca

(R1). Kadar Cr darah domba perlakuan berkisar antara 0.13 dan 0.22 ppm. Status

Cr tersebut berada dalam kisaran kadar normal yaitu 0.01 – 0.3 ppm (NRC 1997).

Nilai Cr semen tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr dalam ransum dan tidak

juga mempunyai korelasi dengan konsumsi Cr. Hal ini berarti bahwa status Cr

plasma semen lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti antagonisme

mineral, hormon, vitamin, penyakit, stres (NRC 1997; Watts 1989)

Status Ca dalam semen menunjukkan nilai yang sangat bervariasi 30.15 –

90.53 ppm. Hal ini menunjukkan pengaturan imbangan Ca semen tidak ketat

seperti pada homeostasis mineral darah. Namun tampak bahwa suplementasi Cr

cenderung menurunkan kadar Ca dalam semen (Tabel 5). Suplementasi Cr dan

penurunan NKAR 0 tidak mempengaruhi status Ca darah domba. Kadar Ca darah

berada dalam kisaran 32.19 – 42.05 ppm, yang berarti bahwa status Ca domba

dalam kondisi marjinal. Kisaran Ca darah yang normal adalah 40 – 60 ppm

(Georgievskii et al. 1982). Walaupun konsentrasi Ca darah dijaga dalam batas

yang sempit oleh calcitonin dan parathyroid hormon (Suttle 2010), kadar Ca

darah dapat mencapai nilai 112.5 – 118.1 ppm (Ratchford et al. 2001 ; Stojkovic

2009). Respon domba Garut terhadap suplementasi Cr dalam kondisi Ca tinggi

diperkirakan akan lebih positif dibandingkan dengan kondisi rendah Ca.

Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut tidak mempengaruhi Zn

darah. Konsentrasi Zn darah domba percobaan berkisar antara 5 – 5.45 ppm, tetapi

29

masih dalam batas normal 4 – 6 ppm (Suttle 2010). Walaupun kadar Zn ransum

domba penelitian cukup tinggi mencapai 139.12 ppm. Kadar Zn darah domba

Garut lebih rendah dibandingkan kadar Zn plasma darah domba hasil penelitian

Ratchford et al. (2001) yaitu berkisar 9.1 ppm. Rendahnya kadar Zn darah

domba Garut dapat menggambarkan adanya faktor-faktor yang membatasi

penyerapan Zn. Faktor yang membatasi penyerapan Zn dan status Zn dalam darah

adalah interaksi mineral, kecukupan Zn dalam ransum, vitamin, and chelating

agent (Gropper 2009)

Tabel 5 Status Cr, Ca, Zn dan Mg (ppm) dalam semen dan darah domba Garutyang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3

Semen:Cr 0.22±0.02 0.37±0.14 0.42±0.28 0.52±0.36Ca 70.51±107.45 30.15±31.01 92.53±74.44 50.57±60.59Zn 32.87±6.23 37.26±6.23 36.77±6.23 33.15±6.83Mg 225±71 263±68 233±131 186±61

Darah:Cr 0.13±0.06 0.14±0.06 0.18±0.07 0.22±0.06Ca 37.43±5.07 32.19±5.39 39.96±4.79 42.05±4.87

Zn 5.00±0.23 5.15±0.66 5.45±0.55 5.35±0.57Mg 74.21±9.27 83.96±13.62 66.31±8.45 78.06±40.05

Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)

Suplementasi Cr pada Ca ransum rendah dan cukup tidak mempengaruhi

status Mg darah. Kadar Mg dalam darah domba Garut jantan berkisar antara

66.31 – 83.96 ppm. Nilai kadar Mg darah domba Garut percobaan dapat

dikatagorikan tinggi, karena kadar Mg normal darah domba berkisar antara 22.5

sampai 26.1 ppm (Ratchford et al. 2001; Stojkovic 2009). Kadar Mg yang

tinggi dalam darah disebabkan kadar Mg ransum percobaan yang tinggi (Tabel 1).

Menurut Georgievskii (1982) kadar Mg darah merupakan fungsi dari kadar Mg

dalam ransum, semakin tinggi kadar Mg ransum maka kadar Mg darah akan

meningkat. Hal ini berarti bahwa dalam kondisi status Mg yang baik, kadar Mg

darah tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr.

30

Kecernaan Nutrien Ransum Perlakuan

Kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, lemak dan serat kasar tidak

dipengaruhi oleh suplementasi Cr dalam ransum domba (Tabel 6). Suplementasi

Cr tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik

(KCBO) ransum. Penambahan Cr tidak mempengaruhi pencernaan dalam rumen

maupun pasca rumen. Hasil ini sama dengan laporan Kitchalong et al. (1995)

bahwa suplementasi Cr pikolinat 250 ppb pada ransum domba Suffolk tidak

mempengaruhi pertambahan bobot badan dan imbangan nitrogen. Namun hasil

ini berbeda dengan percobaan pada babi, dimana pemberian Cr pikolinat 200 ppb

meningkatkan kecernaan bahan kering dan retensi nitrogen (Kornegay et al.

1997). Mackie et al. (2002), menyatakan bahwa aktivitas mikroba dalam saluran

pencernaan sangat mempengaruhi kecernaan. Pemberian Cr kecil pengaruhnya

terhadap fungsi rumen (Besong et al. 2001). Hal ini berarti bahwa suplementasi

Cr ransum tidak mempengaruhi aktivitas mikroba rumen.

Tabel 6 Kecernaan nutrien dan energi dapat dicerna (DE) ransum domba Garutyang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3

KCBK (%) 63.24±5.70 61.22±3.30 63.61±4.62 60.16±6.42

KCBO (%) 65.2±2.77 64.75±3.00 66.91±4.29 65.15±4.07

Protein Kasar (%) 60.08±3.1 59.43±1.86 61.48±4.79 59.78±5.19

Lemak Kasar (%) 96.5±1.53 94.5±2.30 94.35±2.68 93.04±1.22

Serat Kasar (%) 32.78±3.87 30.7±8.14 34.68±11.19 31.48±15.19

DE (Kkal/kg) 1263±247 1432±268 1518±419 1704±462Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)

SIMPULAN

Suplementasi Cr pada tingkat Ca dan NKAR berbeda dalam ransum domba

Garut jantan tidak mempengaruhi konsumsi pakan, kecernaan nutrien ransum dan

pertambahan bobot badan. Suplementasi Cr menurunkan absorpsi Cr dan Ca pada

ransum rendah Ca. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi status Cr, Ca, Zn, dan

Mg darah dan semen domba Garut. Konsumsi Cr cenderung berkorelasi negatif

31

dengan absorpsi Cr dan berkorelasi positif dengan kadar Cr dalam darah.

Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca dengan absorpsi Ca dan Mg serta

kadar Ca dan Zn dalam darah. Tingkat konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan

dengan kadar Cr dan Ca semen.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson RA, Kozlovsky AS. 1985. Chromium intake, absorption and excretionof subjects consuming self-selected diets. Ame J Clin Nutr 41(6): 1177-1183.

Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect onsperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res. 3:1-5.

Anderson RA, Polansky MM, Bryden NA. 2004. Stability and absorption ofchromium and absorption of chromium histidinate complexes by humans.Biol Trace Element Res 101(3):211-218

[AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 2005. Official Methods ofAnalysis of The Association of Analytical Chemist. 18th Ed. Assoc Off AnalChem, Arlington.

Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkorporasi kromiumpada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromiumanorganik. Med Pet 29: 83-88.

Besong S, Jackson JA, Trammell DS, Akay V. 2001. Influence of supplementalchromium on concentrations of liver triglyceride, blood metabolites andrumen VFA profile in steers fed a moderately high fat diet. J Dairy Sci84(7):1679-85.

Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of dietary cation-anion difference on intake , milk yield, and blood components of the earlylactation cow. J Dairy Sci. 88: 4384-4392.

Carry EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium (III) in yeast. FoodTechnol Biotechnol 4: 291-297.

Georgievskii VI, Annenkov BN, Samokhin VT. 1982. Mineral Nutrition ofAnimals. Butterworth English.

Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and HumanMetabolism, Fifth edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont USA.Hal.513-516

Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisifisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anionransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35.

32

Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995.Influence of Chromium Tripicolinate on Glucose Metabolism and NutrientPartitioning in Growing Lambs. J Anim Sci 73: 2694-2705.

Kraidees MS et al. 2009. Effect of supplemental chromium levels onperformance, digestibility and carcass characteristic of transport-stressedlambs. Asian-Aus. J Anim Sci 22(8):1124-1132.

Kumar S. 2008. Is environmental exposure associated with reproductive healthimpairments? (Review). J Turkish-German Gynecol Assoc 9(1): 60-69.

Kornegay ET, Wang Z, Wood CM, Lindemann MD. 1997. Supplementalchromium picolinate influences nitrogen balance, dry matter digestibility,and carcass traits in growing-finishing pigs. J Anim Sci 75: 1319-1323.

Krejpcio Z. 2001. Essentiality of Chromium for Human Nutrition and Health.Polish J Environ Studies 10: 399-404.

Lehninger AL, Nelson, David L, Cox MM. 2004. Principles of Biochemistry 4thedition. WH. Freeman, USA.

Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977.

Luseba D. 2005. The effect of selenium and chromium on stress level, growthperformance selected carcass characteristic and mineral status of feedlotcattle [Thesis]. Universitiy of Pretoria Etd.

Mackie RI, McSweeney CS, Klieve AV. 2002. Microbial ecology of the ovinerumen. Dalam: M. Freer dan H. Dove (Ed). Sheep Nutrition. CSIRO PlantIndustry. Canberra Australia. hlm.73-80.

Mathius IW, Yulistiani M, Puastuti, Martawidjaya. 2005. Pemanfaatan mineralkromium dalam ransum untuk induk domba bunting dan laktasi (Utilizationof Organic Chromium in The Diet for Pregnant and Lactating Local Ewes).Seminar Peternakan dan Veteriner. hlm. 422-429.

Mateljan, G. 2010. Chromium. The World’s Healthy Food.http://www.whfood.org. [27 Okt 2010].

Mowat DN. 2008. Supplemental organic chromium for beef and dairy cattle.University of Guelph, Canada. www.ksu.edu.sa/sites/Colleges/FoodsAndAgriculture/AnimalProduction/Documents/alhaidary%20i.pdf. [20Maret 2009]

[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th

Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 1997. The Role of Chromium in AnimalNutrition. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle. 7th

revised edition. Washington DC: National Academic Press.

Pechova A, Pavlata L, 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.

33

Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.

Ramberg CF, Ferguson JD, Galligan DT. 2009. Metabolic Basis of the CationAnion Difference Concept DCAD. Center for Animal Health andProductivity University of Pennsylvania. http://130.91.88.59/pc96/cationanion.html [2 Maret 2009]

Ratchford WA, Milliken, Coffey KP,Kegley EB, Galloway DL. 2001. Apparentmagnesium absorption and retention and serum mineral concentrations inlambs fed different sources of magnesium. The professional Anim Scientist17:267–273.

Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm.453.

Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel,manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma.Urologia 72: 461-464.

Stojkovic J. 2009. The contents of some mineral elements in the blood serum ofsheep in different Physiological cycles and with the Different level ofminerals in a meal. Biotechnol Anim Husbandry 25 (5-6): 979-984.

Tauriainen S. 2001. Dietary cation-anion balance and calcium and magnesiumintake of the dry cow [Dissertation]. Helsinki: University Of Helsinki, Dept.of Animal Science.

Vincent JB. 1999. Mechanisms of Chromium Action : Low-Molecular-WeightChromium-Binding Substance. J Ame College Nutr 18:6 -12.

Watts DL. 1989. The Nutritional Relationships of Chromium. J OrthomolecularMedicine 4(1):17-23.

35

KONDISI FISIOLOGIS DAN KUALITAS SEMEN DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADARKROMIUM, KALSIUM DAN NERACA KATION ANION

BERBEDA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi fisiologis dan kualitas

semen domba Garut yang mendapat ransum dengan kadar Cr, Ca dan neraca

kation anion yang berbeda. Sebanyak 24 ekor domba Garut jantan berumur 1.5-2

tahun ditempatkan ke dalam rancangan acak kelompok. Perlakuan ransum adalah

R0 (ransum basal, NKAR+14); R1 (R0+Cr 3ppm, NKAR+14 ), R2 (R0+ Ca,

NKAR 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, NKAR 0). Metode separasi albumin digunakan

untuk memisahkan fraksi bawah yang banyak mengandung spermatozoa Y dan

fraksi atas yang banyak mengandung spermatozoa X. Hasil penelitian

menunjukkan suplementasi Cr dalam ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak

mempengaruhi suhu rektal dan laju respirasi domba Garut jantan tetapi kenaikan

laju respirasi dipengaruhi oleh suhu panas lingkungan pada siang hari.

Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi profil hematologi darah,

kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun mikroskopis.

Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan pH

semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.

Kata kunci: kondisi fisiologis, semen, kromium, neraca kation anion ransum(NKAR), domba Garut

36

PHYSIOLOGICAL CONDITION AND QUALITY OF SEMENGARUT RAM FED WITH DIFFERENT LEVELS OF

CHROMIUM, CALCIUM AND DIETARY CATION ANIONBALANCE

ABSTRACT

The study was conducted to assess the physiological condition and quality

of semen Garut ram fed with different levels of Chromium (Cr), Calcium (Ca)

and dietary cation anion balance (DCAB). Twenty four of male lambs 1.5-2 year

old male was alloted into a randomized block design. Ration treatment, namely:

R0 (basal ration, DCAB +14); R1 (R0 + Cr 3ppm, DCAB +14), R2 (R0 + Ca,

DCAB 0); R3 (R2 + 3 ppm Cr, DCAB 0). Albumin separation method used to

separate the lower fraction bearing spermatozoa Y and the upper fraction bearing

spermatozoa X. The results showed that Cr supplementation in the ration with

different level of Ca and dietary cation anion balance (DCAB) not affect the

rectal temperature and respiration rate of Garut ram, but the increased rate of

respiration is influenced by environmental temperatures during the day.

Supplementation of Cr in the ration did not affect hematology profile, semen

quality of Garut sheep either macroscopically or microscopically.

Supplementation of Cr in ration containing acid DCAB decreased semen pH and

hypoosmotic swelling test of the lower fraction spermatozoa on day 49.

Key words: physiological condition, semen, Garut ram, chromium, calcium,dietary cation anion balance (DCAB)

37

PENDAHULUAN

Nutrisi mineral telah dipelajari lebih dari 100 tahun oleh peneliti untuk

memperbaiki penampilan ternak, keuntungan dan penerimaan konsumen melalui

rekomendasi nutrisi. Sampai saat ini telah ditetapkan kebutuhan akan semua

makro mineral dan mikro mineral untuk ternak ruminansia (NRC 1996).

Mineral penting lainnya yaitu kromium (Cr) baru ditemukan setelah 50 tahun

kemudian. Manfaat Cr telah diketahui namun sampai saat ini kebutuhannya

belum belum dapat dinyatakan dengan tepat (Suttle 2010).

Mineral Cr dalam bentuk glucose tolerance factor (GTF) dalam aliran darah

diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui

peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam

metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran

tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi dalam menjaga stabilitas struktur

protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan

untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann et al. 2004; Pechova &

Pavlata 2007). Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan

menurunkan jumlah spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson &

Polansky 1981). Sebaliknya kadar Cr yang tinggi merugikan dalam produksi

spermatozoa (Skandhan et al. 2005), mengubah kualitas semen, hormon

reproduksi dan menurunkan jumlah dan morfologi spermatozoa normal (Kumar

2008).

Nutrien penting bagi proses reproduksi ternak, karena berguna untuk

pembentukan sel-sel benih (gamet) memelihara kelenjar assesoris, kelenjar

hormon, sel-sel dan zat-zat yang diperlukan dalam proses spermatogenesis dan

pembentukan plasma semen. Pemberian kalori yang tinggi dalam ransum dengan

nutrisi lengkap mempengaruhi jenis kelamin pada tikus (Rosenfeld et al. 2003).

Spermatozoa banyak mengandung asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA), yang

mudah rusak oleh radikal oksigen bebas. Namun di dalam plasma semen

mengandung antioksidan superoxide dismutase (SOD) yang dapat menangkal

radikal-radikal bebas dan menjaga dari kerusakan oksidatif (Khosrowbeygi &

Zarghami 2007). Enzim SOD berperan dalam motilitas sperma. Aktivitas SOD

pada spermatozoa manusia berkorelasi dengan jumlah spermatozoa motil

38

(Kobayashi et al. 1991). Sedangkan penelitian pada domba Mouflon

menunjukkan bahwa penambahan SOD dalam media biakan meningkatkan daya

hidup dan integritas akrosom spermatozoa (Berlinguer et al. 2003). Enzim SOD

ini dilaporkan mengandung mineral Zn, Cu dan Mn (Murray et al. 2003;

Ozgocmen et al. 2003). Suplementasi mineral Cr memperbaiki fertilitas dan

menurunkan kehilangan berat pada sapi bunting (Stahlhut et al. 2006) dan

mengurangi pengaruh buruk cekaman panas serta meningkatkan kekebalan tubuh

(Al-Muffarej et al. 2008).

Hasil penelitian mengenai Cr masih sangat sedikit demikian juga

rekomendasi kebutuhan mineral maupun ketersediannya dalam pakan masih

terbatas (NRC 1997). Kebutuhan nutrisi untuk Cr tidak didefinisikan, tetapi akan

meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak, tranportasi, dan infeksi ketika

kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 2007) dan pada kondisi cekaman

panas (Alsaiady et al. 2004). Beberapa peneliti memberikan Cr dalam pakan

untuk memenuhi kebutuhan akan Cr. Ketersediaan Cr yang terkandung dalam

ransum komersial untuk ternak ruminansia masih belum banyak diketahui. Usaha

untuk menentukan kebutuhan konsentrasi Cr serta ketersediaannya dalam pakan

dan suplemen untuk diberikan pada ternak ruminan terus dilakukan oleh beberapa

peneliti. Suplemen Cr meliputi CrNic, CrCl3, CrPic, Cr khelat dan jamur

berkromium tinggi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

pengaruh positif tetapi hasilnya tidak konsisten (NRC 1997).

Pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion

ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap

proses metabolisme dalam tubuh. Khususnya, kation natrium dan kalium, dan

anion khlorida dan belerang adalah ion utama mempengaruhi status asam-basa

dalam tubuh (Chan et al. 2005). Keasaman vagina berperan dalam pengaturan

rasio spermatozoa X atau Y sebelum fertilisasi. Spermatozoa Y tidak tahan pada

kondisi asam, kemungkinan spermatozoa X yang akan membuahi gamet X pada

sel telur sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak

betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan

kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk

zigot XY dan menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan

39

karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila

keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hasil penelitian Hidayat

et al. (2009) menunjukkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma

semen domba Garut. Sedangkan pada domba betina nilai NKAR tidak

mempengaruhi pH cairan vagina (Fathul et al. 2008).

Mengingat masih terbatasnya informasi Cr dalam ransum domba Garut,

penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon kondisi fisiologis dan kualitas

semen domba Garut jantan yang mendapat ransum dengan kadar Cr, Ca dan

NKAR yang berbeda.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan

Kerja, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Nutrisi dan Teknologi

Pakan, Fakultas Peternakan dan di Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan

Inseminasi buatan, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi

dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan

penelitian dimulai bulan Juli 2008 sampai dengan Nopember 2008.

Pakan Percobaan

Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak

halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea.

Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4

untuk semua ransum dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R2 dan R3(NKAR 0).

Unsur Cr yang disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media

kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al 2006).

Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985)

(Tabel 1).

Perlakuan dalam percobaan ini adalah suplementasi Cr pada tingkat Ca dan

neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Ransum percobaan adalah sebagai

berikut: R0 (Ransum Ransum basal, NKAR +14); R1 (Ransum basal +Cr,

NKAR+14); R2(Ransum basal+Ca, NKAR 0); R3 (Ransum basal + Ca + Cr,

40

NKAR 0). Ransum perlakuan dialokasikan pada 24 ekor domba Garut jantan

dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok sebagai

ulangan.

Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya

Domba berumur ± 1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg digunakan

pada percobaan ini. Sebelum percobaan terlebih dahulu dilakukan penimbangan

bobot badan dan pengujian awal kualitas semen. Pengelompokan berdasarkan

motilitas spermatozoa awal percobaan dilakukan untuk menganalisis peubah

kualitas semen domba. Pengelompokan berdasarkan motilitas spermatozoa terdiri

atas 2 kelompok yaitu kelompok A dengan motilitas diatas 70% dan kelompok B

dibawah 70%. Setiap satuan ternak kelompok motilitas ini disebar dalam

kelompok bobot badan. Domba dipelihara selama 3 bulan pada kandang individu.

Pada 21 hari pertama, domba diadaptasikan pada kondisi manajemen,

lingkungan perkandangan dan bahan pakan. Selanjutnya pada hari ke 22 hingga

hari ke 96 domba diberi pakan perlakuan sebanyak ±3% dari bobot badan.

Selama percobaan pakan domba diberikan sekitar pukul 7:00 dan 14:00. Air

minum disediakan ad libitum.

Pengambilan Sampel dan Analisis

Pemberian pakan perlakuan diteruskan selama 49 hari (satu periode

spermatogenesis). Konsumsi ransum setiap ekor domba diukur setiap hari dan

domba ditimbang setiap minggu. Analisis kadar bahan kering dan nutrien sampel

pakan menggunakan metode proksimat (AOAC 2005). Analisis mineral (Cr, Mg,

Zn, dan Ca) sampel pakan, feses, darah dan semen domba diawali dengan

pengabuan basah dan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS)

Spectra AA220 series Varian (Carry & Allaway 1971).

Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan setiap hari selama

penelitian yaitu pada pukul 06.30 WIB dan 14.00 WIB dengan menggunakan

termometer dan higrometer digital. Suhu rektal diukur menggunakan termometer

digital Omron Model MC-270. Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap minggu

selama penelitian pada pagi hari jam 06.30 WIB dan siang hari jam 14.30 WIB.

Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukan termometer ke dalam

41

rektum domba, kemudian lakukan pembacaan angka yang terdapat pada

termometer setelah berbunyi.

Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap minggu selama penelitian pada

pagi hari pukul 06.00 WIB dan siang hari pukul 14.00 WIB. Laju respirasi diukur

dengan cara menghitung kembang kempis perut domba selama satu menit, dengan

menggunakan stopwatch dan alat penghitung.

Koleksi semen dilakukan pada hari ke-21 (pengamatan H0), hari ke-42

(pengamatan H21), dan ke-80 (pengamatan H49). Semen domba diuji kualitas dan

kuantitasnya secara makroskopis dan mikroskopis (Arifiantini et al. 2004).

Termasuk pengujian keutuhan membran membran plasma (MPU) menggunakan

prosedur hypoosmotic swelling (HOS) Test (Fukui et al. 2004). Pengujian

Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah hasil separasi proporsi

spermatozoa X dan Y menggunakan metode albumin (Saili 1999).

Pengambilan sampel darah domba dilakukan (pada hari ke-81) dengan

menggunakan venoject berheparin di bagian vena jugularis. Tabung venoject

berisi sampel darah disimpan dalam wadah berisi batu es. Sampel darah tersebut

kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis di Lab Patologi Klinik,

Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH, IPB. Kadar glukosa plasma

darah dihitung dengan metode GOD-PAP dengan menggunakan alat

Spectrofotometer Hitachi U-2001.

Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk

mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk

mengetahui perbedaan antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu dan Kelembaban Kandang

Suhu dan kelembaban lingkungan kandang sangat berpengaruh terhadap

penampilan produksi maupun reproduksi seekor ternak. Ternak yang dipelihara di

lingkungan suhu dan kelembaban yang tepat akan menampilkan produksi secara

maksimal. Yousef (1985) menyatakan bahwa daerah Thermoneutral Zone (TNZ)

untuk domba berkisar antara 22-31 oC. Apabila terjadi peningkatan suhu

42

lingkungan hingga mencapai 35 oC atau lebih akan mengakibatkan

ketidakmampuan dalam mempertahankan keseimbangan panas pada tubuh

sehingga mengganggu pertumbuhan serta kondisi reproduksi terutama proses

spermatogenesis. Cuaca panas akan meningkatkan spermatozoa abnormal pada

ternak domba (Rege et al. 2000).

Suhu lingkungan kandang domba penelitian adalah minimum 24±1 oC dan

maksimum 33±1 oC dan kelembaban pada pagi hari 93±3% dan siang hari

68±9%. Suhu maksimum lingkungan kandang penelitian dua derajat di atas suhu

TNZ. Tingginya suhu lingkungan akan menyebabkan cekaman panas. Namun

respon setiap ternak berbeda terhadap suhu lingkungan tinggi. Faktor yang

mempengaruhi cekaman panas adalah daya adaptasi dan aklimasi individu ternak,

bangsa ternak, umur, dan jenis kelamin (Yousef 1985; Stockman 2006).

Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Garut Jantan

Suhu rektal dan laju respirasi dapat digunakan sebagai indikator kondisi

fisiologis domba terhadap perubahan lingkungan maupun makanan. Jika suhu

lingkungan meningkat akan diikuti peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan serta

laju denyut jantung sebagai respon utama pada ternak, sedangkan respon kedua

ialah proses metabolik, perubahan hormonal dan enzimatik, kemudian terjadi

penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum (Smith &

Mangkoewidjojo 1988; Stockman 2006). Peningkatan suhu lingkungan kandang

dari suhu yang rendah pada pagi hari menjadi suhu panas pada siang hari dapat

menyebabkan cekaman panas. Peningkatan frekuensi respirasi dan suhu tubuh

merupakan respon ternak terhadap cekaman panas. Penyaluran beban panas

terutama melalui pernafasan membutuhkan metabolisme yang cepat berupa

percepatan sirkulasi darah yang akan menghantarkan beban panas tersebut

sehingga meningkatkan daya pompa jantung (Yousef 1985; Robinson 2002).

Pada penelitian ini suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi

suhu rektal domba percobaan. Nilai rataan suhu rektal domba seluruh perlakuan

pada pagi hari berkisar antara 38.74 hingga 38.95 oC dan pada siang hari berkisar

antara 38.09-39.14 oC . Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena suhu

tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar antara 38.2-40 oC

(Smith & Mangkowidjojo 1988; Robinson 2002). Kelembaban siang hari yang

43

cukup rendah selama penelitian berlangsung memungkinkan domba garut tersebut

untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan cara melepaskan panas melalui

evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang biasanya dialami ternak

pada siang hari.

Tabel 7 Suhu rektal dan laju respirasi domba Garut yang ransumnyadisuplementasi Cr dan Ca

Peubah WaktuRansum perlakuan

R0 R1 R2 R3Suhu Rektal

(oC)

Pagi 38.74±0.14 38.70±0.30 38.76±0.27 38.95±0,41

Siang 39.00±0.19 38.88±0.20 38.09±0.28 39.14±0,36

FrekuensiRespirasi(nafas/menit)

Pagi 28.00±4.40 29.00±6.59 37.00±12.28 35.00±12.21

Siang 65.00±7.07 70.00±20.94 76.00±17.68 88.00±16.29

Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)

Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi (P>0.05) laju respirasi

domba garut jantan. Suhu rektal dan laju respirasi domba garut jantan yang

ransumnya disuplementasi dengan Cr dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rataan laju

respirasi domba Garut jantan selama penelitian menunjukkan nilai di atas rata-rata

frekuensi pernafasan ternak domba yang normal yaitu 15 – 25 nafas/menit (Smith

& Mangkowidjojo 1988). Namun sesuai dengan hasil penelitian Hernaman

(2001), bahwa kisaran frekuensi respirasi domba yang disuplementasi Zn pra

cekaman sebesar 40 kali/menit dan pasca cekaman 104 kali/menit. Menurut

Silanokove (2000), frekuensi respirasi dapat dijadikan indikasi cekaman panas,

yaitu adalah 40-60 nafas/menit (cekaman ringan), 60-80 nafas/menit (cekaman

sedang), dan 80-120 nafas/menit (cekaman berat). Pada perlakuan ransum R3,

laju respirasi cenderung tinggi karena suplementasi Cr dan nilai NKAR 0 akan

mempengaruhi keasaman cairan tubuh. Rendahnya pH darah akan menyebabkan

penurunan HCO3-, akibatnya akan meningkatkan laju pernafasan (Robinson

2002).

44

Profil Hematologi Darah Domba Garut Jantan

Kadar hemoglobin plasma darah domba dengan ransum R0 (11.30 g%),

R1(11.50g%) , dan R3 (11.20g%) dalam keadaan normal, kecuali domba yang

mendapat ransum R2 (12.70g%) menunjukkan nilai hemoglobin sedikit di atas

normal (Frandson 1992). Namun menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988) nilai

kadar hemoglobin tersebut masih dalam batas normal yaitu 9 – 15 g%. Nilai

rataan kadar hematokrit dan leukosit berada pada kisaran normal yaitu 11%

menurut Frandson (1992) dan 29 – 35% menurut Smith dan Mangkowidjojo

(1988). Rataan kadar eritrosit sedikit di bawah batas normal yaitu 11 juta/ml

menurut Frandson (1992) tetapi masih dalam batasan normal yaitu 4.0 – 12.0

juta/ml menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988). Suplementasi Cr dalam

ransum (R2 dan R3) cenderung menurunkan kadar eritrosit darah domba.

Kekebalan tubuh ternak selalu melibatkan sel darah putih yang berfungsi

menjaga tubuh dari agen penyakit dan bakteri. Nilai rataan diferensiasi lekosit

darah domba garut perlakuan menunjukkan nilai kadar netrofil yang lebih besar

dibandingkan kisaran normal, sedangkan nilai kadar limfosit darah domba lebih

kecil dari kisaran normal. Peningkatan nilai netrofil mencapai dua kali dari

keadaan normal, hal ini mengindikasikan adanya cekaman panas terhadap ternak

domba garut jantan percobaan. Pengukuran netrofil dan limfosit ini merupakan

indikator cekaman panas yang biasa digunakan pada hewan ternak (Sugito et al.

2007). Nilai kadar netrofil darah domba yang disuplementasi dengan Cr (R1 dan

R3) cenderung menurunkan nilai netrofil dibandingkan dengan kadar netrofil

darah domba kontrol. Akan tetapi penelitian Chang et al. (1996) menunjukkan

bahwa suplementasi Cr tidak mempengaruhi aktivitas fagositosit neutrofil.

Eosinofil merupakan sel pertahanan tubuh yang berguna jika terjadi infeksi

parasit, terutama parasit cacing dan sel ini akan menelan dan menghancurkan

cacing yang masuk ke dalam tubuh hewan melalui proses fagositosis. Nilai rataan

kadar eosinofil yang berada diatas kadar normal menggambarkan terjadinya alergi

pada ternak (Frandson 1992). Kadar eosinofil darah domba yang disuplementasi

Cr (R1 dan R3) cenderung lebih rendah dibandingkan kadar eosinofil darah

domba kontrol.

Pemberian Cr, Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kadar glukosa

45

plasma darah domba. Kisaran nilai rataan kadar glukosa plasma darah domba

Garut jantan adalah 42.76 – 46.73 mg/dl. Hasil ini sama dengan penelitian Sano

et al. (2000) bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba pada suhu TNZ tidak

mempengaruhi kadar glukosa darah, dan kadar glukosanya berkisar 50 – 54 mg/dl.

Nilai rataan kadar glukosa darah domba setelah 1.5 - 3 jam setelah makan adalah

45.25 – 65.63 mg/dl (Poli 1998).

Tabel 8 Profil hematologi darah domba Garut jantan yang ransumnyadisuplementasi dengan Cr dan Ca

PeubahRansum Perlakuan Nilai Normal

R0 R1 R2 R3 Frand* Smith**

Hemoglobin(g%) 11.30±1.03 11.50±0.84 12.70±1.21 11.20±1.72 11 9 – 15Hematokrit(%) 31.83±4.58 33.67±2.88 34.00±2.83 30.00±5.55 32 29 – 45Eritrosit(juta/ml) 9.57±2.12 8.85±2.20 10.61±1.73 8.31±2.11 11

4.0 –12.0

Leukosit(ribu/ml) 7.73±2.25 8.63±2.54 9.26±1.14 9.02±3.09 7 – 10 9.0 -15Glukosa(mg/dl) 45.05±7.42 49.62±7.15 42.76±8.35 46.73±9.80Differensiasi leukosit:

Netrofil (%) 62.00±10.39 51.67±11.50 53.83±16.15 55.17±4.67 25-30 17.5- 50

Limfosit (%) 24.17±6.55 35.83±13.27 32.33±12.08 31.17±6.74 60-65 50 – 75Monosit (%) 4.83±1.33 4.17±1.47 4.67±0.82 5.17±2.23 5 0 – 6Eosinofil (%) 9.00±4.56 7.83±4.02 9.17±3.97 8.50±4.85 2 – 5 0 – 8Basofil (%) 0 0.33±0.52 0 0.08±0.28Netrofil/Lim-fosit 3.12±0.82 2.00±1.11 2.30±1.16 2.09±0.63 25/60*Nilai normal berdasarkan Frandson (1992).**Nilai normal berdasarkan Smith dan Mangkowidjojo (1988)Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)

Meskipun terdapat perbedaan nilai dari profil darah yang diuji tetapi secara

statistik suplementasi Cr, Ca dan NKAR berbeda dalam ransum tidak

mempengaruhi (P>0.05) profil darah domba penelitian (Tabel 8).

Kualitas Semen Domba Garut

Peranan nutrien makro dan mikro sangat penting dalam keberhasilan

46

reproduksi ternak. Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa di

tubuli seminiferi. Terdiri atas spermatositogenesis dan spermiogenesis. Selama

spermiogenesis, potensi motilitas terjadi pada saat spermatozoa melalui

epididymis, sedangkan kapasitas spermatozoa diperoleh di beberapa bagian organ

reproduksi (Cheah & Yang 2011). Ketidakseimbangan mikro mineral dalam

ransum dapat mempengaruhi spermatogenesis pada produksi, maturasi, motilitas

dan kapasitas fertilisasi spermatozoa (Yakuub et al. 2009).

Pengujian kualitas semen dari seekor ternak dapat dilakukan secara

makroskopis (tanpa mikroskop) dan mikroskopis dengan bantuan mikroskop.

Secara makroskopis yang terdiri atas volume, pH, warna, dan konsistensi,

ternyata suplementasi Cr pada Ca dan NKAR berbeda yang diberikan pada

domba garut tidak mempengaruhi nilai peubah kualitas makroskopis semen

domba Garut pada pengujian hari ke-0 (H0). Demikian pula pada pengujian hari

ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada Ca dan NKAR berbeda tidak

mempengaruhi kualitas makroskopis semen domba Garut. Volume rataan semen

pada hari ke-0 pengamatan (H0) berkisar antara 0.56 ml sampai dengan 0.71 ml,

nilai rataan pH semen berkisar antara 6.25 sampai dengan 6.58 sedangkan peubah

kualitas semen lainnya disajikan pada Tabel 9 untuk pengamatan H0, Tabel 10

untuk pengamatan H21 dan Tabel 11 untuk pengamatan H49.

Uji kualitas secara mikroskopis terdiri atas gerakan massa, motilitas

spermatozoa, ratio spermatozoa hidup dan mati, morfologi spermatozoa normal

dan konsentrasi spermatozoa per ml. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan

pada hari ke-0, ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada ransum Ca dan NKAR

berbeda tidak mempengaruhi kualitas mikroskopis semen segar domba Garut. Hal

ini menunjukkan suplementasi Cr dan Ca pada NKAR berbeda tidak

mempengaruhi spermatogenesis pada domba Garut.

Proses fertilisasi melibatkan proses fisiologis dan biokimia kompleks yang

tidak hanya dapat diukur melalui evaluasi semen rutin. Salah satu yang berperan

adalah adanya enzim yang berfungsi untuk fertilisasi yang terdapat dalam

akrosom. Karena akrosom terdapat dalam kepala spermatozoa dan karena

permukaan spermatozoa dikelilingi oleh membran plasma maka keutuhan dari

membran plasma perlu diuji. Salah satu cara pengujian membran plasma adalah

47

menggunakan larutan hipoosmotik yang dikenal dengan hypoosmotic swelling

(HOS) test (Hafez 1993; Nur et al. 2005). Pengujian membran plasma utuh

(MPU) dari spermatozoa dengan menggunakan hypoosmotic swelling test (HOS

Test) telah terbukti baik digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keutuhan

membran spermatozoa berbagai ternak seperti, kuda, sapi, dan kambing (Fonseca

2005).

Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata nilai MPU pada domba garut tidak

dipengaruhi pemberian Cr pada Ca dan NKAR berbeda. Nilai kisaran MPU

spermatozoa domba Garut adalah 62.33 – 70.07%. Nilai MPU ini lebih baik

dibandingkan nilai MPU pada kambing Saanen yaitu 53.7% (Nur et al. 2005) dan

domba merino 47.2% (Fukui et al. 2004). Integritas membran plasma ditentukan

oleh komposisi membran plasma spermatozoa. Membran plasma spermatozoa

mengandung fosfolipid dan plasmalogen yang terdiri atas polyunsaturated fatty

acid (PUFA). Rantai panjang asam lemak dari posfolipid membran plasma berasal

dari metabolisme asam lemak linoleat (C18:2 n-6) dan α-asam lemak linolenat

(C18:3 n-3) (Lenzi et al. 1996). Nilai MPU yang baik ini diduga karena ransum

percobaan mengandung minyak jagung yang kaya PUFA terutama asam lemak

linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada minyak jagung adalah asam linoleat

sebanyak 60.4% (NRC 1985).

Tabel 9 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Crdan Ca pada H0

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3Volume (ml) 0.56 ±0.15 0.60 ±0.26 0.66 ±0.21 0.71 ±0.33pH 6.58 ±0.55 6.40 ±0.33 6.45 ±0.36 6.25 ±0.15Warna 1.33 ±0.52 1.00 ±0 1.50 ±0.55 1.50 ±0.55Konsistensi 1.83 ±0.98 1.83 ±0.41 2.33 ±0.82 2.33 ±0.83Gerakan Massa 2.42 ±1.20 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0Motilitas (%) 71.67 ±5.77 71.67 ±2.58 70.00 ±5 65.00 ±10.80Sperma Hidup %) 80.53 ±11.76 84.95 ±1.88 83.95 ±5.11 77.61 ±3.22Konsentrasi (jutaspz/ml) 2637 ±1476 2741 ±933 2754 ±654 3504 ±312Morfologi SpzNormal (%) 92.10 ±1.27 92.92 ±2.80 93.38 ±2.09 93.37 ±1.85

MPU (%) 70.07 ±13.25 68.70 ±12.05 62.33 ±3.78 66.27 ±9.09Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49

48

Tabel 10 Kualitas semen domba Garut jantan uang ransumnya disupelementasiCr dan Ca pada H21

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3Volume (ml) 0.80 ±0.41 0.78 ±0.25 0.59 ±0.32 0.77 ±0.28pH 6.35 ±0.23 6.33 ±0.35 6.32 ±0.24 6.35 ±0.23Warna 1.33 ±0.52 1.00 ±0 1.17 ±0.41 1.00 ±0Konsistensi 2.33 ±0.52 2.17 ±0.41 2.00 ±0.63 2.00 ±0Gerakan Massa 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0Motilitas (%) 67.50 ±2.89 74.00 ±2.24 71.67 ±5.77 74.00 ±8.22Sperma Hidup (%) 81.08 ±5.64 87.43 ±4.70 85.07 ±5.67 85.62 ±10.71Konsentrasi (jutaspz/ml) 2741 ±721 2712 ±566 2591 ±746 2637 ±550Morfologi Spz

Normal (%) 88.77 ±9.90 93.80 ±1.03 91.61 ±2.38 89.16 ±12.43MPU (%) 55.79 ±8.73 56.61 ±6.30 54.88 ±6.24 52.89 ±13.93Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kentalNilai warna: 1= putih susu, 2= kream

Tabel 11 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca pada H49

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3Volume (ml) 0.57±0.42 0.61±0.20 0.68±0.42 0.76±0.26pH 6.37b±0.34 6.17b±0.08 6.48a±0.42 6.22b±0.04Warna 1.67±0.52 2.00±0 2.00±0 2.00±0Konsistensi 2.17±0.75 2.33±0.52 2.67±0.52 2.50±0.55Gerakan Massa 2.92±0.20 2.67±0.26 3.00±0 2.92±0.20Motilitas (%) 74.00±4.18 73.00±4.47 72.50±6.45 73.75±4.79Sperma Hidup (%) 83.70±6.47 83.77±5.57 83.04±6.22 86.04±3.25Konsentrasi (juta spz/ml) 2850±74 3100±473 3000±851 3258±778Morfologi Spz

Normal (%) 93.04±1.85 94.16±2.94 93.99±1.93 94.00±1.43MPU (%) 64.34±4.97 61.63±8.84 58.20±5.57 57.13±6.24Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kentalNilai warna: 1= putih susu, 2= kream

49

Nilai motilitas spermatozoa pada pengamatan H0, H21 dan H49 cenderung

menunjukkan kenaikkan (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71,67 pada H21;

72.50 – 74.00 pada H49). Terutama nilai motilitas spermatozoa pada perlakuan

R3 terjadi peningkatan cukup tinggi yaitu dari 65.005 sampai 74.00%. Hal

tersebut mengindikasikan adanya pengaruh pemberian pakan pada semua

perlakuan yang telah memenuhi kecukupan nutrisi bagi ternak domba jantan.

Jumlah Ca yang mencukupi pada ransum R3 diduga mempengaruhi peningkatan

motilitas spermatozoa. Hal ini sejalan dengan Kanyinji dan Maeda (2010) dan

Cheah dan Yang (2011) bahwa pemberian Ca dalam ransum dapat meingkatkan

motilitas spermatozoa. Motilitas tertinggi terjadi pada H49 diduga karena lama

proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005;

Bearden & Fuquay 2000). Menurut Robinson et al. (2006) lama

spermatogenesis pada domba adalah 47 hari, oleh karena itu untuk memenuhi

kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan

sebelum dikawinkan. Sehingga semua spermatozoa pada H49 merupakan

spermatozoa yang telah dipengaruhi oleh nutrisi ransum perlakuan.

Motilitas dan MPU Spermatozoa Hasil Separasi

Sebelum dapat mengetahui perbedaan karakteristik spermatozoa X dan Y

domba, spermatozoa dalam semen domba harus dilakukan separasi spermatozoa.

Teknik separasi yang digunakan adalah separasi dengan kolom albumin. Menurut

Saili (1999) teknik ini sederhana dan cukup baik untuk digunakan dan pada ternak

sapi menghasilkan menghasilkan 73.5% spermatozoa Y pada fraksi bawah dan

71% spermatozoa X pada fraksi atas.

Hasil pengujian kualitas spermatozoa fraksi atas dan bawah semen domba

Garut hasil separasi menggunakan metoda albumin disajikan pada Tabel 12.

Motilitas spermatozoa hasil separasi tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr

dalam ransum domba pada koleksi hari ke-0, 21 ataupun ke 49. Nilai rataan

motilitas spermatozoa setelah separasi lebih rendah (5.00 – 23.33% spermatozoa

fraksi atas dan 20.00 – 32.50 spermatozoa fraksi bawah pada H0; 18.33 – 35.83%

spermatozoa fraksi atas dan 22.50 – 48.33% spermatozoa fraksi bawah pada H21;

17.50 – 31.67% spermatozoa fraksi atas dan 23.33 – 30.00% spermatozoa fraksi

bawah pada H49) bila dibandingkan dengan motilitas spermatozoa sebelum

50

dilakukan separasi (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71.67 pada H21; 72.50 –

74.00 pada H49). Hal ini disebabkan oleh perlakuan pada saat separasi yaitu

sentrifugasi dan penggunaan media yang mengandung bahan kimia, yang

akhirnya akan mempengaruhi viabilitas spermatozoa dengan terbukti dengan

menurunnya nilai MPU dan nilai motilitas spermatozoa.

Tabel 12 Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah (%) hasilseparasi albumin semen domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca

PeubahPerlakuan

R0 R1 R2 R3Hari ke-0:Fraksi AtasMotilitas 11.67 ±11.25 15.83 ±17.44 23.33 ±18.89 5.00 ±4.47MPU 45.60 ±5.92 37.83 ±6.37 46.60 ±15.44 34.86 ±12.50

Fraksi BawahMotilitas 23.33 ±27.51 20.00 ±22.80 32.50 ±29.62 27.50 ±31.10MPU 41.11 ±4.47 35.41 ±12.41 45.42 ±6.33 37.61 ±18.35

Hari ke-21Fraksi AtasMotilitas 23.33 ±18.89 35.83 ±23.96 18.33 ±25.43 25.00 ±24.08MPU 49.13 ±14.4 38.98 ±8.67 36.47 ±13.42 42.77 ±8.66

Fraksi BawahMotilitas 44.17 ±15.94 48.33 ±20.66 22.50 ±24.03 46.67 ±16.33MPU 46.48 ±9.81 46.90 ±6.97 47.40 ±12.11 42.91 ±17.58

Hari ke-49Fraksi AtasMotilitas 28.33±14.38 31.67±14.38 17.50±21.15 31.67 ±17.51MPU 39.45±10.70 39.54±9.60 35.38±11.72 31.62 ±6.97

Fraksi BawahMotilitas 30.00±10.49 29.17±15.30 23.33±16.63 28.33 ±9.83MPU 47.46±16.96a 36.61±13.08b 36.84±10.66b 28.36 ±1.36b

Keterangan: Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P <0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)

Motilitas spermatozoa fraksi bawah cenderung lebih tinggi daripada

motilitas spermatozoa fraksi atas, baik itu pada pengamatan H0, H21 dan H49.

Hal ini dapat diduga karena fraksi bawah adalah fraksi yang terdiri atas sebagian

besar spermatozoa Y daripada spermatozoa X. Kandungan DNA spermatozoa Y

lebih rendah 2.78% daripada spermatozoa X; kepala spermatozoa Y lebih kecil

51

dan lebih ringan daripada spermatozoa X; panjang kromosom Y lebih pendek 2.35

kali daripada kromosom X (Shettles 1970). Oleh karena itu, gerakan spermatozoa

Y lebih cepat daripada spermatozoa X (Ericsson & Glass 1982).

Suplementasi Cr dalam ransum domba tidak berpengaruh terhadap nilai

MPU spermatozoa fraksi bawah maupun fraksi atas pada pengujian hari ke-0 dan

21. Nilai MPU pada spermatozoa yang dikoleksi pada hari ke-0 dan ke-21 tidak

dipengaruhi oleh Cr yang diberikan dengan nilai MPU masing-masing 34.86 –

46.60% pada fraksi atas dan 35.41 – 45.42% pada fraksi bawah (H0) dan 36.47 –

49.13% pada fraksi atas dan 42.91 – 47.40 pada fraksi bawah (H21). Pada hari

pengujian hari ke-49, terlihat bahwa suplementasi Cr pada R3 menurunkan nilai

MPU spermatozoa fraksi bawah (28.36%). Spermatozoa pada fraksi bawah

sebagian besar adalah spermatozoa Y yaitu 73.5% (Saili 1999). Penurunan MPU

spermatozoa fraksi bawah diduga karena perlakuan suplementasi Cr dalam

ransum berpengaruh menurunkan kualitas membran spermatozoa fraksi bawah.

Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar Ca dalam plasma semen akibat

suplementasi Cr dalam ransum. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba Garut akan menurunkan kadar Ca

semen (Tabel 3). Fungsi Ca dalam semen adalah meningkatkan motilitas

spermatozoa (Cheah & Yang 2011), sehingga rendahnya kadar Ca dalam semen

akan menurunkan motilitas spermatozoa.

Pada H49 nilai MPU ternyata berbeda antar ransum yang diberikan.

Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Cr yang diberikan sudah mempengaruhi

kualitas semen. Diduga kadar Cr dalam semen berpengaruh buruk terhadap

integritas membran spermatozoa terutama pada spermatozoa fraksi bawah. Seperti

diketahui proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari

(Senger 2005; Bearden & Fuquay 2000) sehingga dapat dipahami jika perbedaan

nilai MPU baru terlihat pada spermatozoa yang prosesnya sudah dipengaruhi oleh

Cr yang diberikan. Hal in sejalan dengan pendapat Robinson et al. (2006) bahwa

untuk memenuhi kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan

dilakukan 2 bulan (satu periode spermatogenesis) sebelum domba dikawinkan.

Sehingga respon reproduksi karena pemberian nutrien akan terlihat. Tidak

berpengaruhnya suplementasi Cr pada H0 atau H21 karena semen yang

52

diejakulasikan adalah hasil spermatogenesis satu bulan sebelumnya.

Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam, sebaliknya sperma X oleh

karena itu pada kondisi asam yang akan membuahi sel telur adalah spermatozoa

X, sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak

betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan

kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk

zigot XY sehingga menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan

karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila

keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hidayat (2009)

melaporkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma semen domba

dan perubahan mulai terjadi pada hari ke-28, dimana pH plasma berkisar antar 5.9

sampai 7.3. Karakteristik spermatozoa seperti itu mungkin terjadi pula pada

spermatozoa domba jantan yang diberi perlakuan R3. Hal itu terjadi karena

ransum R3 mengandung Cr lebih banyak dan memiliki NKAR 0 atau lebih asam

dibandingkan ransum R0, R1 dan R2.

Hasil uji MPU yang rendah pada fraksi bawah semen domba Garut dapat

diartikan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa fraksi bawah yang sebagian

besar adalah spermatozoa Y adalah rendah. Sehingga diduga bila semen domba

Garut hasil separasi pada perlakuan R3 jika diinseminasikan pada domba betina

maka kemampuan spermatozoa Y untuk membuahi sel telur akan rendah

dibandingkan spermatozoa X. Sehingga kemungkinan rasio anak yang lahir lebih

banyak anak betina dibandingkan anak jantan.

SIMPULAN

1. Profil hematologi darah domba tidak dipengaruhi suplementasi Cr pada ransum

dengan Ca dan NKAR berbeda, namun ada kecederungan memperbaiki kadar

netrofil.

2. Suplementasi Cr pada ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak

mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun

mikroskopis.

3. Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan

pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.

53

DAFTAR PUSTAKA

Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation onlactation performance and blood parameters of Holstein cows under heatstress. Anim Feed Sci Technol. 117(3-4): 223-233.

Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect onsperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res 3:1-5

Al-Muffarej SI, Al-haidary IA, Al-Kraidees MS, Hussein M. 2008. Effect ofchromium dietary supplemention on the immune response and some bloodbiochemical parameters of tranport-stressed lambs. Asian-Aus J Anim Sci21(5):671-676.

[AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 2005. Official Methods ofAnalysis of The Association of Analytical Chemist. 18th Ed. Assoc. Off.Anal. Chem., Arlington

Arifiantini RI, Yusuf TL,Toelihere MR. 2004. Proses Produksi Semen BekuKerbau dengan Sistem Minitub. Laboratorium Fisiologi Reproduksi danInseminasi Buatan. Departemen Reproduksi dan Kebidanan, FKH IPB.

Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkorporasi kromiumpada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromiumanorganik. Med Pet 29: 83-88.

Bearden HJ, Fuquay JW. 2000. Applied Animal Reproduction. Missisisipi StateUniversity.

Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawedEuropean mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologousfertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. ReprFertility and Development 15: 19–25

Carry EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium (III) in yeast. FoodTechnol Biotechnol 4: 291-297.

Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation-Anion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of theEarly Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392.

Chang X, Mallard BA, Mowat DN. 1996. Effects of chromium on health status,blood neutrophil phagocytosis and in vitro lymphocyte blastogenesis ofdairy cows. Veterinary Immunology and Immunopathology. 52:37-52

Cheah Y, Yang W. 2011. Functions of essential nutrition for high qualityspermatogenesis. Advance in Biosci Biotechnol 2:182-197.

Ericsson RJ, Glass RH. 1982. Functional Differences Between Sperm Bearing TheX Or Y Chromosome. In Amann RP, Seidel Jr GE , Editor. Prospects forSexing Mammalian Sperm. USA: Colorado Associated University Press.

54

Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A . 2008. Keasaman Cairan Tubuhdan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi Kation-Anion Ransum yang Berbeda. Med Pet 31(2):87-98

Fonseca JF et al. 2005. The hypoosmotic swelling test in fresh goat spermatozoa.Anim Repr Sci 2(2):139-144.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press.Yogyakarta

Fukui Y et al. 2004. Validation of the Sperm Quality Analyzer and the Hypo-osmotic Swelling Test for Frozen-thawed Ram and Minke Whale(Balaenoptera bonarensis ) Spermatozoa. Repr 50(1): 147-154

Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea Febiger,Philadelphia

Hernaman I. 2001. Metabolit dan Respons Antibodi Pasca Cekaman Transportasipada Domba dengan Ransum yang Disuplementasi Seng dan Minyak Ikan[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisifisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anionransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35.

Kanyinji F., Maeda T. 2010. Additional dietary calcium fed to Barred PlymouthRock roosters reduces blood cholesterol, elevates seminal calcium, andenhances sperm motility, thermo-tolerance and cryosurvivability. Anim reprsci 120:158-165.

Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers inseminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMCClinical Pathology 7:6

Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role ofsuperoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutaseactivity and lipid peroxide in human seminal plasma and spermatozoa. HumRepr 6(7):987-991.

Kumar S. 2008. Is Environmental Exposure Associated With ReproductiveHealth Impairments? (Review). J. Turkish-German Gynecol Assoc . 9(1):60-69

Lenzi A, Picardo M, Gandini L, Dondero F. 1996. Lipids of the sperm plasmamembrane : from polyunsaturated fatty acids considered as markers ofsperm function to possible scavenger therapy. Hum Repr Update 2(3):246-256.

Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977.

Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Harper’s IllustratedBiochemistry, 26th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. United States ofAmerica.

55

[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th

Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 1996. Nutrient requirements of beef cattle. 7th

edition. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 1997. Nutrient requirements of SmallRuminant. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle.7th revised edition. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 2007. The Role of Chromium in AnimalNutrition. Washington DC: National Academic Press.

Nur Z, Dogan I, Gunayand U, Soylu K. 2005. Relationships Between SpermMembrane Integrity And Other Semen Quality Characteristics Of TheSemen Of Saanen Goat Bucks. Bull Vet Inst. Pulawy 49: 183-187.

Ozgocmen S, Sogut S, Fadillioglu E, Ardicoglu A, Ardicoglu O. 2003.Antioxidant status and lipid peroxidation in seminal plasma andspermatozoa of patients with ankylosing spondylitis. Rheumatology 42:805-807

Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.

Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.

Poli Z. 1998. Kebutuhan Pakan dan Mrtabolit Darah Domba Laktasi PertamaBerdasarkan Kualitas Pakan dan Jumlah Anak [Tesis]. Bogor: SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pratt NC, Huck UW, Lisk RD. 1987. Offspring sex ratio in hamsters is correlatedwith vaginal pH at certain times of mating. Behav Neural Biol 48:310-316.

Rege J et al. 2000. Reproductive characteristics of Ethiopian highland sheep. II.Genetic parameters of semen characteristics and their relationships withtesticular measurements in ram lambs. J the International Goat Assoc37(3):173-187.

Robinson JJ et al. 2006. Nutrition and fertility in ruminant livestock. Anim FeedSci Technol 126:259-276.

Robinson NE. 2002. Hemostasis. In Textbook of veterinary physiology. Secondedition, ed. J. G. Cunningham. St Louis: W. B. Saunders Company. p516 -544.

Rosenfeld CS et al. 2003. Striking variation in the sex ratio of pups born to miceaccording to whether maternal diet is high in fat or carbohydrate. PNAS. Vol10(8):4628–4632. www.pnas.org_cgi_doi_10.1073_pnas.0330808100 [21Agusts 2009]

Saili T. 1999. Efektivitas Penggunaan Albumen Sebagai Medium Separasi dalamUpaya Mengubah Rasio alamiah Spermatozoa Pembawa Kromosom X danY pada Sapi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

56

Sano H, Konno S, Shiga A. 2000. Chromium supplementation does not influenceglucose metabolism or insulin action in response to cold exposure in maturesheep. J Anim Sci 78:2950–295

Shettles LB. 1970. Use of chromosome in pre-natal sex determinatioan. Nature(230): 52 - 54

Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel,manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma.Urologia 72: 461-4

Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Second Revised Ed.Cadmus Proffesional Communication, USA. Hlm 203.

Silanikove N. 2000. Effects of heat stress on the welfare of extensively manageddomestic ruminants. Livestock Prod Sci 67: 1-18

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan PenggunaanHewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta

Stahlhut HS, Whisnant CS, Spears JW. 2006. Effect of chromiumsupplementation and copper status on performance and reproduction of beefcows. Anim Feed Sci Technol 128: 266-275.

Stockman CA. 2006. The Physiological and Behavioural Responses of SheepExposed to Heat Load within Intensive Sheep Industries [Thesis]. WesternAustralia: Murdoch University.

Sugito, Manalu W, Astuti DA, Handharyani E, Cherul. 2007. Efek CekamanPanas dan Pemberian Ekstrak Heksan Tanaman Jaloh (Salix TetraspermaRoxb) Terhadap Kadar Kortisol, Trioditironin dan Profil Hematologi AyamBroiler. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/jitv/jitv123-2.pdf.[20-03-09]

Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm. 453.

Yaakub, H. et al. 2009. The effects of palm kernel cake based diet onspermatogenesis in Malin x Santa-Ines rams. Anim Repr Sci 115(1-4):182-188

Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Vol. I. CRC Press Inc. BocaRaton. Florida

57

POLA KELAHIRAN ANAK DARI INDUK DOMBA GARUTYANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM

DAN NERACA KATION ANION BERBEDA

ABSTRAK

Mineral kromium dan neraca kation anion ransum mempengaruhi

keseimbangan asam basa dalam cairan tubuh. Perubahan keasaman cairan tubuh

secara tidak langsung mempengaruhi karakteristik reproduksi ternak. Penelitian

ini dilakukan untuk mengetahui pola kelahiran anak dari induk domba garut yang

mendapat ransum dengan kadar kromium, kalsium dan neraca kation anion

berbeda. Perlakuan adalah pola perkawinan domba yang mendapat ransum

perlakuan pra-bunting, yaitu RJA: Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba

betina R0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba

betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba

betina R0 (NKAR +14). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang

sangat erat antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting.

Suplementasi Cr dan NKAR 0 pada ransum domba jantan dan betina sebelum

dikawinkan tidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran

pada anak domba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan

betina yang disuplementasi Cr dan NKAR -10 cenderung meningkat. Rasio jenis

kelamin anak meningkat dari rasio alamiah pada domba betina yang diberi ransum

basa. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba

jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun.

Kata kunci: rasio jenis kelamin, kromium, neraca kation anion ransum, dombaGarut.

58

LAMBING PATTERN OF GARUT SHEEP FED RATIONWITH DIFFERENT LEVELS OF CHROMIUM AND CATION-

ANION BALANCE

ABSTRACT

Chromium mineral and cation-anion balance in ration affects acid-base

balance in body liquid. Changes in the acidity of body liquid indirectly affect the

characteristics of animal reproduction. This study was done to assess lambing

pattern of Garut ewes fed ration with different levels of chromium, calcium, and

cation-anion balances. Treatments consisted of combinations of mating patterns

and pre-gestating rations, namely: Rams R3 (Cr + DCAB 0) x Ewes R0 (DCAB

+14) (RJA); Rams R1 (Cr+ DCAB+14) x Ewes R2 (Cr + DCAB-10) (RBA);

Rams R0 (DCAB +14) x Ewes R0 (DCAB +14) (RJBB). Results showed that

there was a close relationship between gestational age and body weight gain of

gestating ewes. Cr supplementation and DCAB 0 in rams and ewes pre-mating

rations did not affect gestational length. Number of lambs of the same birth from

Cr and DCAB10-supplemented ewes mated with Cr-supplemented rams tended

to increase. Sex ratio of offspring from ewes fed base ration containing high

unsaturated fatty acid was higher than the natural ratio. Sex ratio of offspring

from ewes mated with Cr and DCAB 0-supplemented rams tended to decrease.

Keywords: sex ratio of offspring, chromium, ration anion-cation balance, Garutsheep.

59

PENDAHULUAN

Performa produksi suatu ternak tidak hanya dilihat dari sifat

pertumbuhannya. Reproduksi ternak merupakan bagian yang penting dalam

proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan banyak anak (prolifik) sangat

menguntungkan bagi peternak. Lebih jauh lagi untuk menghasilkan produksi

ternak yang tinggi dibutuhkan induk-induk sebagai penghasil bakalan anak

domba. Oleh karena itu kebutuhan ternak domba betina sangat penting bagi

proses produksi ternak. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah) peningkatan

kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu. Cunningham (1975)

menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan efsiensi produksi susu

sampai 30% jika pada saat inseminasi buatan dapat diseleksi kelahiran anak

betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penentuan jenis kelamin anak

sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) prapenentuan jenis kelamin ternak

yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting untuk memberikan

efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama dengan perubahan

yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi terakhir, aplikasi

praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin diperlukan.

Hewan mamalia mempunyai sepasang kromosom yang menentukan jenis

kelamin dari hewan tersebut. Berdasarkan kromosom kelamin yang

dikandungnya, spermatozoa pada mamalia dapat dibedakan atas spermatozoa

yang mengandung kromosom X (spermatozoa X) dan spermatozoa yang

mengandung kromosom Y (spermatozoa Y). Secara alamiah rasio jenis

spermatozoa X dan Y berkisar 50%:50%, seperti hasil penelitian Garner et al.

(1983) melaporkan bahwa rata-rata kandungan spermatozoa X dan Y dalam

semen sapi adalah 49.5% dan 50.5%.

Usaha menggeser rasio jenis kelamin telah dilakukan baik secara in vitro

maupun in vivo. Sebagian penelitian in vitro yang dilakukan adalah pemisahan

secara langsung spermatozoa X dan Y dengan menggunakan berbagai metode

teknologi reproduksi. Beberapa metode pemisahan spermatozoa dengan teknik

Motilty and electrophoretic separation, Iso electric focusing dan sephadex column

(Hafez, 1987). Penggunaan larutan 6% BSA (Bovine Serum Albumin) telah

60

digunakan Hendri (1992) untuk memisahkan spermatozoa X dan Y menghasilkan

rasio jantan 22.2% dan betina 77.8% pada fraksi semen bagian tengah. Sedangkan

Saili (1999) dengan menggunakan albumin telur sebagai medium separasi

menghasilkan 71.43% spermatozoa betina pada bagian lapisan atas. Selain

daripada itu upaya lain dilakukan untuk tujuan tersebut dengan melakukan

manipulasi nutrisi baik itu nutrien makro maupun nutrien mikro dan mineral.

Nutrien penting bagi proses reproduksi ternak, yang digunakan untuk

pembentukan sel-sel benih (gamet), kelenjar assesoris, kelenjar hormon, dan sel-

sel dan zat-zat yang diperlukan dalam proses spermatogenesis dan pembentukan

plasma semen. Pemberian kalori tinggi dalam ransum secara nutrisi lengkap

mempengaruhi jenis kelamin pada tikus (Rosenfeld et al. 2003). Spermatozoa

banyak mengandung asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA), yang dapat mudah

rusak oleh radikal oksigen bebas. Namun spermatozoa juga mengandung

antioksidan superoxide dismutase (SOD) yang dapat menangkal radikal-radikal

bebas menjaga dari kerusakan oksidatif (Khosrowbeygi & Zarghami 2007).

Enzim SOD berperan dalam motilitas sperma. Aktivitas superoksida dismutase

(SOD) pada spermatozoa manusia berkorelasi dengan jumlah spermatozoa yang

motil (Kobayashi et al. 1991). Sedangkan penelitian pada domba Mouflon

menunjukkan bahwa penambahan SOD dalam media biakan meningkatkan daya

hidup dan integritas akrosom spermatozoa (Berlinguer et al. 2003). Enzim ini

mengandung mineral Zn, Cu dan Mn (Brown 1990; Murray et al. 2003;

Ozgocmen 2003).

Mineral Cr dalam bentuk glucose tolerance factor (GTF) dalam aliran darah

diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui

peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam

metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran

tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi dalam menjaga stabilitas struktur

protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan

untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann 2004; Pechova &

Pavlata 2007).

Ketidakseimbangan Na, K, dan Ca dalam ransum dapat mempengaruhi rasio

jenis kelamin (Stolkowski & Lorrain 1980; Celik et al. 2003). Pengaturan

61

mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion ransum (NKAR).

Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolik

dalam tubuh. Khususnya, kation natrium dan kalium, dan anion khlorida dan

belerang adalah ion utama mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh (Chan et

al. 2005). Keasaman cairan vagina berperan dalam pengaturan rasio spermatozoa

X atau Y sebelum fertilisasi. Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam,

kemungkinan spermatozoa X yang akan membuahi gamet X pada sel telur

sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak betina.

Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan

kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk

zigot XY dan menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan

karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila

keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hasil penelitian Hidayat

et al. (2009) menunjukkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma

semen domba Garut. Sedangkan pada domba betina nilai NKAR tidak

mempengaruhi pH cairan vagina (Fathul et al. 2008).

Penelitian ini mengkaji pengaruh suplementasi Cr pada ransum dengan Ca

dan neraca katian anion ransum (NKAR) berbeda pada pola kelahiran anak

domba Garut.

BAHAN DAN METODE

Bahan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak

Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Nutrisi

dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Desember 2008 sampai dengan Juli 2009.

Penelitian ini akan menggunakan domba betina sebanyak 17 ekor umur ±

20-30 bulan dengan bobot badan awal 30.3±1.98 kg. Setiap ekor betina

dikawinkan dengan salah satu dari 3 pejantan yang telah diberi ransum perlakuan

selama 49 hari. Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning,

dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea.

Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4

62

untuk semua ransum, 9.7 g CaSO4 + 5.5 g CaCl2 untuk ransum R2 (NKAR-10)

dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R3 (NKAR 0). Unsur Cr yang

disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media kacang kedelai

berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al 2006). Ransum disusun

secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985) (Tabel 13).

Selama dalam proses perkawinan, pakan yang digunakan adalah pakan pada

ransum percobaan (Tabel 13). Setelah domba betina bunting, pakan yang

diberikan adalah ransum komersil untuk ternak ruminansia dan rumput lapang

(Brachiaria humidicola) diberikan ad libitum.

Tabel 13 Komposisi dan kandungan nutrien ransum domba Garut jantan danbetina pra-bunting

Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal (R01)Komposisi

PakanKadar(% BK)

Nutrien Kadar

Hijauan jagung 35 Bahan kering (%) 90.31

Dedak halus 21.5 Abu (%) 7.4

Jagung kuning 19.65 Protein kasar (%) 13.5

Bungkil kedelai 13.6 Lemak kasar (%) 7.5

Bungkil kelapa 8 Serat kasar (%) 17.5

Urea 0.25 BETN (%) 44.4Minyak jagung 2 TDN (%) 67.8

Jumlah 100 Energi Bruto(Kkal/kg)

3263

Zn (ppm) 139.12

Mg (%) 1.46

Ransum PerlakuanSuplemen R02 R1 R2 R3

Cr (ppm) 5.59 8.59 5.59 8.59

Ca (%) 0.21 0.21 0.62 0.42

NKAR (meq) 14 (Basa) 14 (Basa) -10 (Asam) 0 (Asam)Keterangan:R0 = Ransum basal (NKAR +14), R1 = R0+Cr (NKAR+14), R2 = R0+Cr+ Ca (NKAR-10), R3 =R0+ Cr+Ca (NKAR0), penambahan mineral pada R1, R2, dan R3 melalui perhitungan.1Hasil analisis proksimat Lab Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, 20092Hasil analisis mineral Lab. Nutrisi Ternak Perah Fapet, IPB dan Laboratorium Pakan Balitnak,2009

63

Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kandang betina

individu, kandang domba pejantan dan pengusik, wadah pakan, wadah minum,

timbangan 100 kg dengan ketelitian 0.5 kg, timbangan 5 kg dengan ketelitian 20

gram, dan timbangan O Haus 500 gram dengan ketelitian 0.1 gram, apron,

Ultrasonography (USG) Aloka SSD 500 Japan.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

dengan ulangan tidak seimbang. Perlakuan adalah pola perkawinan berdasarkan

perbedaan jenis ransum yang diberikan kepada domba jantan dan betina sebelum

dikawinkan. Pola perkawinannya adalah pola perkawinan berdasarkan jenis

ransum perlakuan yang berikan kepada domba jantan dan betina dengan ulangan

masing-masing 8, 5 dan 4 ulangan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

(percobaan kualitas semen pada ternak domba Garut jantan), maka perlakuan pola

perkawinannya adalah sebagai berikut:

RJA : Domba Jantan x Domba betinaR3 (Cr + Asam 0) R0 (Basa)

RBA: Domba Jantan x Domba betinaR1 (Cr+ Basa) R2 (Cr + Asam -10)

RJBB: Domba Jantan x Domba betinaR0 (Basa) R0 (Basa)

Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk

mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk

mengetahui perbedaan antar perlakuan.

Pelaksanaan Penelitian

Domba-domba betina dikandangkan sesuai dengan perlakuan perkawinan

yang akan dilakukan. Setelah diistirahatkan satu hari, mulai esok hari dilakukan

pengamatan tanda-tanda birahi pada setiap domba betina. Pengamatan domba

birahi dilakukan oleh domba jantan pengusik. Pengamatan ini dilakukan setiap

hari pada pagi dan sore hari. Bila ada domba yang birahi, domba betina langsung

64

dikeluarkan dan dimasukan ke kandang pejantan sesuai dengan perlakuan

perkawinan kemudian dikawinkan. Perkawinan dilakukan selama domba betina

masih birahi atau selama 2 hari Hal ini dilakukan sampai semua domba betina

sudah dikawinkan. Kemudian untuk mengetahui keberhasilan perkawinan

(domba bunting), dilakukan pengamatan kebuntingan setelah 3 minggu dengan

menggunakan USG. Bila ada domba betina yang belum bunting, maka akan

dikawinkan kembali pada siklus estrus berikutnya, sehingga semua domba betina

menjadi bunting. Pengamatan konsumsi dilakukan setelah domba betina

dinyatakan bunting (umur 3 minggu kebuntingan) karena setelah domba menjadi

bunting, ransum perlakuan diganti menjadi ransum pemeliharaan sampai domba

beranak.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada pada percobaan ini adalah:

1. Konsumsi ransum harian bahan kering (BK), protein, TDN, lemak kasar,

serat kasar dan BETN (g/hari) domba betina bunting. Jumlah konsumsi

harian (g/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang

diberikan (g) dengan jumlah sisa ransum keesokan harinya (g).

2. Pertambahan bobot badan domba betina bunting (kg/2 minggu).

Pertambahan bobot badan harian dihitung setiap 2 minggu dengan cara

menghitung selisih bobot badan setiap 2 minggu pengamatan.

3. Jumlah anak yang dilahirkan.

4. Rasio jenis kelamin anak, dihitung dengan cara membagi jumlah anak

jantan dengan jumlah total anak sekelahiran pada setiap pola perkawinan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi BK Ransum, Nutrien dan Bobot Badan Domba Betina Bunting

Ternak membutuhkan nutrien ransum untuk memenuhi kebutuhan akan

nutrien bagi hidup pokok, aktivitas dan produksi maupun reproduksi. Pada setiap

fase pertumbuhan, kebutuhan akan nutrien berbeda. Pada ternak betina yang

sedang bunting kebutuhan akan nutrien meningkat karena terjadi pertumbuhan

65

fetus yang juga membutuhkan nutrien terutama protein, TDN, lemak kasar, dan

BETN. Seiring dengan peningkatan umur dan bobot badan kebuntingan maka

konsumsi nutrien ransum domba bunting meningkat (Tabel 14).

Rataan konsumi ransum domba betina bunting antara perlakuan pada setiap

minggu tidak jauh berbeda (Gambar 6). Konsumsi ransum pada domba betina

tidak berbeda karena setelah kebuntingan, domba memperoleh ransum dengan

komposisi dan susunan ransum sama. Di samping itu bobot awal sebelum bunting

diantara domba betina relatif sama. Sejalan dengan peningkatan umur

kebuntingan, konsumsi ransum domba meningkat mulai umur kebuntingan 5

minggu sampai mencapai puncak umur kebuntingan 15 minggu. Hal tersebut

dapat terjadi karena pada umur-umur 6 minggu terjadi peningkatan bobot badan

yang terjadi karena pertumbuhan fetus yang mulai membesar. Setelah itu

konsumsi konstan dan sedikit ada penurunan yang disebabkan oleh desakan perut

domba karena pertumbuhan uterus dan fetus domba yang sudah besar akan

menurunkan konsumsi.

Gambar 6 konsumsi bahan kering ransum domba Garut betina bunting (g BK)

400

500

600

700

800

900

1000

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

RJA

RBA

RJBB

Umur Kebuntingan (minggu)

Kon

sum

si B

ahan

Ker

ing

(g)

66

Tabel 14 Konsumsi nutrien pada domba Garut bunting (g)

Umur Kebuntingan(minggu)

PK TDN SK LK BETN

3 34.3 ±0.5 232.4 ±4.5 104.2 ±2.3 12.7 ±0.2 207.9±4.24 34.6 ±1.2 235.4 ±12.0 105.6 ±6.0 12.9 ±0.6 210.6±11.15 37.0 ±0.3 258.6 ±2.5 117.2 ±1.3 14.1 ±0.1 232.1±2.46 49.3 ±1.6 382.2 ±16.4 178.8 ±8.2 20.5 ±0.9 346.6±15.27 51.3 ±0.2 402.3 ±2.4 188.8 ±1.2 21.6 ±0.1 365.1±2.38 55.6 ±1.0 445.2 ±9.9 210.2 ±4.9 23.8 ±0.5 404.9±9.29 54.6 ±1.2 435.4 ±11.6 205.3 ±5.8 23.3 ±0.6 395.8±10.810 60.0 ±0.9 471.0 ±8.6 221.2 ±4.3 25.3 ±0.5 427.6±8.011 63.0 ±0.9 481.7 ±8.6 224.5 ±4.3 25.9 ±0.5 436.2±8.012 62.1 ±0.3 473.5 ±2.5 220.4 ±1.3 25.5 ±0.1 428.6±2.413 63.0 ±0.9 481.7 ±8.8 224.5 ±4.4 25.9 ±0.5 436.2±8.214 66.1 ±1.6 476.1 ±16.3 217.8 ±8.1 25.8 ±0.9 428.7±15.115 68.6 ±1.2 501.2 ±11.9 230.3 ±5.9 27.1 ±0.6 451.8±11.016 69.3 ±1.6 507.7 ±16.3 233.6 ±8.2 27.5 ±0.9 457.8±15.117 69.9 ±1.7 513.9 ±17.0 236.7 ±8.5 27.8 ±0.9 463.6±15.718 63.7 ±0.8 489.2 ±7.7 228.3 ±3.8 26.3 ±0.4 443.2±7.119 59.2 ±2.0 444.1 ±19.8 205.8 ±9.9 24.0 ±1.0 401.4±18.3

Tabel 15 Rataan bobot badan domba garut Betina selama kebuntingan (kg)

Umur Kebuntingan(minggu)

Perlakuan

RJA RBA RJBB

0 31.2 28.8 30.16 32.6 30.8 33.48 32.8 33.3 33.910 35.6 34.4 33.512 34.9 34.9 34.314 35.0 35.8 34.516 36.1 35.8 36.5

Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betinaR0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Dombabetina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) xDomba betina R0 (NKAR +14)

Pada Tabel 15 disajikan rataan bobot badan domba Garut sejak awal

kebuntingan sampai umur kebuntingan 16 minggu. Pada tabel tersebut tampak

bahwa mulai minggu ke-6 umur kebuntingan, bobot badan domba garut bunting

meningkat pesat. Hal ini sejalan dengan peningkatan konsumsi yang terjadi pada

67

minggu-minggu tersebut. Pertambahan bobot badan ini terjadi sebagian besar

karena pertumbuhan fetus.

Pertambahan bobot badan selama kebuntingan berhubungan sangat erat

dengan umur kebuntingan dengan R sebesar 95.6% (Gambar 7). Persamaan

antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan selama kebuntingan

merupakan persamaan regresi, dengan persamaan Y= 0.704+0.369X (R2=0.91, P

<0.01). Peningkatan umur kebuntingan satu minggu akan meningkatkan bobot

badan betina bunting sebesar 0.369 kg. Pertambahan bobot badan betina bunting

dipengaruhi oleh umur kebuntingan sebesar 91%, sedangkan 9% dipengaruhi oleh

faktor lain.

Gambar 6 Pertambahan bobot badan domba Garut betina bunting (kg)

Jumlah Anak, Rasio Jenis Kelamin, Bobot Lahir Anak dan LamaKebuntingan Domba Garut

Praseleksi jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan

dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplay

pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan

sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

6 8 10 12 14 16

RJA

RBA

RJBB

Umur Kebuntingan (minggu)

Per

tam

han

Bob

ot B

adan

(kg/

ekor

)

68

produksi menjadi semakin diperlukan (Johnson 2000). Aplikasi teknologi

tersebut mengakibatkan bergesernya rasio jenis kelamin ternak yang dilahirkan

sesuai dengan yang diharapkan.

Pengaruh ransum perlakuan terhadap jumlah anak sekelahiran, rasio jenis

kelamin, lama kebuntingan dan bobot lahir anak domba Garut disajikan pada

Tabel 16. Pada perlakuan RBA, jumlah anak sekelahiran lebih banyak

dibandingkan perlakan RJA dan RJBB. Sedangkan lama kebuntingan domba

Garut dengan perlakuan RJA lebih lama 3 hari dibandingan pada domba garut

dengan perlakuan RBA dan RJBB. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan

domba dengan ransum perlakuan dipengaruhi oleh ransum perlakuan (Tabel 16).

Pada perlakuan RJA yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA yaitu

pejantan dengan ransum nilai NKAR 0 lebih rendah dibandingkan dengan

perlakuan RBA dan RJBB. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA

lebih banyak betina dibandingkan dengan anak dari perkawinan RBA dan RJBB.

Pengaruh ransum asam pada domba jantan mempengaruhi proses pembentukan

dan viabilitas spermatozoa dalam saluran reproduksinya, dimana spermatozoa Y

tidak tahan terhadap pengaruh asam dibandingkan spermatozoa X. Sehingga

spermatozoa yang diejakulasikan pada saat kopulasi, spermatozoa X yang

memiliki daya fertilitas dan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan

spermatozoa Y.

Tabel 16 Jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan danbobot lahir anak domba Garut

PeubahPerlakuan

RJA RBA RJBB

Jumlah anak sekelahiran (ekor/induk) 2.00±0.76 3.00±1.41 2.25±0.84Rasio kelamin anak (%) 50.00±43.14 75.00±30.00 77.48±44.72Lama kebuntingan (hari) 150±3.04 147±3.40 147±2.70Bobot Lahir (kg):

Anak Satu 1.92±0.03 - 2.00±0Anak Dua 1.92±0.25 1.58±0.75 1.77±0.59Anak Tiga 1.33±0.39 1.47±0.21 1.08±0.44Anak Empat - - -Anak Lima - 1.22±0.26 -

Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); RBA:Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba JantanR0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14)

69

Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan anak hasil perkawinan RBA dan

RJBB lebih tinggi dibandingkan perkawinan RJA dan lebih tinggi dari rasio

alamiah. Hal ini diduga pengaruh dari ransum basal yang diberikan pada domba

Garut betina. Ransum basa pada ransum perlakuan mengandung minyak jagung,

yang mengandung banyak asam linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada

minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60,4% (NRC, 1994). Hasil

penelitian Rosenfeld dan Robert (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin

dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak )

> karbohidrat maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71%

(pada tikus). Selain itu menurut Green et al (2008) menyatakan bahwa pemberian

ransum dengan asam lemak tidak jenuh terproteksi pada ransum induk domba

betina dapat menggeser rasio jenis kelamin ke arah jantan. Di samping itu ransum

basa yang diberikan pada domba jantan RBA dan RJBB berpengaruh terhadap

viabilitas spermatozoa, dimana spermatozoa Y lebih tahan pada kondisi basa.

Penggunaan ransum basa domba Garut betina yang mengandung minyak jagung

dapat meningkatkan rasio jenis kelamin ke arah jantan, tetapi pada perlakuan RJA

yang ransum domba jantannya mengandung NKAR 0, dapat melawan atau

menekan pengaruh tersebut.

Namun demikian, rasio jenis kelamin pada perlakuan RJA menurun

dibandingkan perlakuan RBA dan RJBB. Hal tersebut menunjukkan adanya

pengaruh perlakuan ransum NKAR 0 pada ransum domba jantan terhadap

penurunan rasio jenis kelamin anak domba yang dilahirkan. Berdasarkan hal

tersebut, pengaruh penurunan NKAR pada ransum domba jantan dapat

menggeser rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan. Diduga bahwa penurunan

NKAR berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa Y selama

transportasi spermatozoa dalam epididymis dan vas deferens menjadi ejakulat.

Selama transportasi spermatozoa, terjadi interaksi antara spermatozoa dan makro

nutrien dan mikronutrien yang dihasilkan oleh kelenjar vesikularis, ampula dan

bulbourethralis yang akan mempengaruhi maturasi dan viabilitas spermatozoa

(Senger 2005; Guyton & Hall 2006; Cheah & Yang 2011).

70

SIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa hubungan yang sangat erat

antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting yang

disuplementasi Cr dan penurunan NKAR. Suplementasi Cr dan penurunan

NKAR pada ransum domba jantan dan betina tidak mempengaruhi lama

kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anak domba hasil perkawinan domba

jantan yang disuplementasi Cr dengan betina yang disuplementasi Cr dan

penurunan NKAR -10 cenderung meningkat.

Rasio jenis kelamin meningkat dari rasio alamiah pada anak hasil

perkawian domba jantan yang diberi ransum basa. Rasio jenis kelamin anak yang

dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR

0 cenderung menurun.

DAFTAR PUSTAKA

Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation onlactation performance and blood parameters of Holstein cows under heatstress. Anim Feed Sci Technol. 117(3-4): 223-233.

Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawedEuropean mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologousfertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. CSIRORepr Fertility Dev 15:19–25

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010. KementerianPertanian Republik Indonesia. ISBN. 979-628-010-8. Jakarta.

Celik K, Serbest S, Vurur S, Pala A, Daglioglu K. 2003. Experiments toInvestigate the Factors That Affect the Rate of Sex Constitution. Pakistan JNutr 2 (4): 238-241

Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation-Anion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of theEarly Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392.

Cunningham EP. 1975. The effect of changing the sex ratio on the efficiency ofcattle breeding operations. Livestock Prod Sci 2:29-38.

Garner DL et al. 1983. Quantification of the X and Y chromosome bearingspermatozoa of domestic animal by flowcytometry. J Biol Repr 28:312-321

Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A. 2008. Keasaman Cairan Tubuhdan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi Kation-Anion Ransum yang Berbeda. Med. Pet. 31(2):87-98

71

Green MP et al. 2008. Nutritional skewing of conceptus sex in sheep: effects ofa maternal diet enriched in rumen-protected polyunsaturated fatty acids(PUFA). Repr Biol Endocr 6:21

Hafez ESE. 1987. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea Febiger,Philadelphia.

Hendri. 1992. Usaha mengubah rasio sperma X dan Y dengan metode kolommenggunakan larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan penilaian angkakebuntingan serta perbandingan jenis kelamin anak pada kambing [Tesis].Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisifisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anionransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35.

Johnson LA. 2000. Sexing mammalian sperm for production of offspring: thestate-of-the-art. Anim Repr Sci 60-61:93-107.

Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers inseminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMCClinical Pathology 7:6

Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role ofsuperoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutaseactivity and lipid peroxide in human seminal plasma and spermatozoa. HumRepr 6(7):987-991. [17 September 2008]

Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977.

Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Harper’s IllustratedBiochemistry, 26th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. United States ofAmerica.

[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th

Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th

Revised Edition. Washington DC: National Academy Press.

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle.7th revised edition. Washington DC: National Academic Press.

Ozgocmen S, Sogut S, Fadillioglu E, Ardicoglu A, Ardicoglu O. 2003.Antioxidant status and lipid peroxidation in seminal plasma andspermatozoa of patients with ankylosing spondylitis. Rheumatology 42:805-807

Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.

Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.

72

Rosenfeld CS, Robert RM. 2004. Maternal diet and other factors affectingoffspring sex ratio : A Review. Biol Reprod 71:1063−1070.

Rosenfeld CS. et al. 2003. Striking variation in the sex ratio of pups born to miceaccording to whether maternal diet is high in fat or carbohydrate. PNAS10(8):4628–4632.

Saili T. 1999. Efektivitas penggunaan albumen sebagai medium separasi dalamupaya mengubah rasio alamiah spermatozoa pembawa kromosom X dan Ypada sapi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm.453.

73

PEMBAHASAN UMUM

Keberhasilan peningkatan produksi ternak respon sinergis dari bibit ternak,

manajemen pemeliharaan dan pakan ternak, dan efisiensi reproduksi ternak yang

baik. Pemberian nutrisi tidak hanya memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan

tetapi juga mendukung efisiensi reproduksi yang baik. Reproduksi ternak adalah

bagian yang penting dalam proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan

banyak anak (prolifik) sangat menguntungkan bagi peternak. Lebih jauh lagi

untuk menghasilkan produksi ternak yang tinggi dibutuhkan induk sebagai

penghasil bakalan anak domba. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah)

peningkatan kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu.

Cunningham (1975) menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan

efsiensi produksi susu sampai 30% jika pada saat inseminasi buatan dapat

diseleksi kelahiran anak betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui seleksi

jenis kelamin anak sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) prapenentuan

jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting

untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama

dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi

terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin

diperlukan.

Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan dan melestarikan domba

Garut dapat dilakukan melalui optimalisasi dan aplikasi teknologi reproduksi

bantuan pada domba Garut (Boediono et al. 2007). Selain itu pelestarian dan

pengembangan domba Garut banyak pula dilakukan melalui perbaikan,

manipulasi nutrisi dan pemberian pakan sehingga akan memperbaiki performa

produksi maupun efisiensi reproduksi domba Garut..

Penelitian ini mengkaji pengaruh suplementasi kromium dalam ransum

yang mengandung kalsium dan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda

pada respon produksi dan reproduksi domba Garut. Suplementasi Cr dalam

ransum ternak dibutuhkan untuk metabolisme karbohidrat, lemak, protein, asam

nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan untuk

pertumbuhan, perkembangan fetus, fertilitas dan produksi spermatozoa (Anderson

& Polansky 1981; NRC 2001; Pollard et al. 2001; Suttle 2010; Lindemann 2004;

74

Pechova & Pavlata 2007). Sedangkan nilai NKAR akan mempengaruhi

keseimbangan asam basa, khususnya pH darah dan semen, dan metabolisme

mineral khususnya kalsium, serta rasio jenis kelamin ternak yang dilahirkan

(Pratt et al. 1987; Stolkowski & Lorrain 1980; Celik et al. 2003; Chan et al.

2005; Hidayat et al. 2009).

Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi

bahan kering (BK) total, konsumsi BK mingguan dan pertambahan bobot badan

harian (PBBH) domba Garut jantan (Tabel 2 dan Gambar 3). Namun cenderung

konsumsi BK domba yang diberi ransum R3 lebih tinggi (Gambar 3). Hasil

tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kraidees et al. (2009) bahwa

suplementasi Cr sebanyak 0.3 ppm meningkatkan konsumsi ransum dan

pertambahan bobot badan pada domba yang mengalami cekaman. Sedangkan

pada penelitian Mathius et al. (2005) suplementasi Cr 4 ppm pada ransum ternak

domba tidak mempengaruhi konsumsi dan pertambahan bobot badan. Kadar Cr

ransum percobaan diduga telah cukup dan masih dalam kisaran aman sehingga

tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan pertumbuhan. Kebutuhan Cr akan

meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak atau stres, transportasi, dan infeksi

ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 1987).

Suplementasi Cr dalam ransum domba nyata menurunkan persen absorpsi

Cr. Suplementasi Cr menurunkan jumlah Cr yang diabsorpsi pada ransum rendah

Ca (R1) namun tidak berpengaruh terhadap ransum cukup Ca (R3) (Tabel 3).

Ransum R1 dan R3 yang disuplementasi Cr 3 ppm persen absorpsinya menjadi

turun yaitu 19.25% dan 30.01% dibandingkan ransum yang tanpa disuplementasi

Cr. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Anderson et al. (2004) bahwa

dengan suplementasi Cr-histidinate memperbaiki absorpsi kromium. Perbedaan

tersebut diduga karena kebutuhan mineral Cr domba Garut telah tercukupi.

Menurut Anderson et al. (2004), respon terhadap suplementasi Cr akan tampak pada

ternak yang mengalami defisiensi atau marginal Cr. Selain itu konsumsi Cr yang

lebih tinggi menyebabkan absorpsi Cr menjadi lebih rendah dibandingkan

konsumsi Cr yang rendah (Anderson & Kozlovsky 1985). Hal tersebut diperkuat

hasil persamaan regresi dan korelasi antara konsumsi Cr dengan penurunan

absorpsi Cr (R=0.58) (Tabel 4).

75

Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut menurunkan absorpsi Ca pada

ransum R1 yang rendah Ca. Hal ini berarti bahwa suplementasi Cr pada ransum

rendah Ca memperburuk absorpsi Ca. Pada ransum R2 dan R3 yang mengandung

cukup Ca, suplementasi Cr tidak mempengaruhi absorpsi Ca. Absorpsi Ca dalam

saluran pencernaan memerlukan Calbindin yaitu suatu Ca-binding protein

(CaBP) untuk masuk ke dalam membran saluran pencernaan. Molekul CaBP

memiliki afinitas yang tinggi terhadap Ca (Georgievskii et a1 1982). Namun

afinitas yang lebih tinggi pada mineral lain mempengaruhi ikatan antara Ca dan

Calbindin dalam usus (Suttle 2010). Berdasarkan perioda pada tabel periodik

unsur, afinitas Cr lebih besar dibandingkan Ca, sehingga Cr lebih mudah

berikatan dengan senyawa protein seperti CaBP. Selain itu terdapat kemiripan

mekanisme kerja dan struktur antara Calbindin dan low molecular-weight

chromium binding substance (LMWCr) (Vincent 1999) akan menyebabkan

kompetisi antara mineral (Lehninger et al. 2004). Oleh karena itu rendahnya

absorpsi Ca pada R1 diduga disebabkan oleh adanya kompetisi diantara kedua

mineral tersebut untuk berikatan dengan CaBP.

Rataan absorpsi Ca ransum R2 dan R3 lebih tinggi daripada ransum R1 dan

R2 juga disebabkan oleh perbedaan NKAR. Rendahnya NKAR pada R2 dan R3

merangsang peningkatan penyerapan Ca dari usus. Menurut Ramberg et al.

(2009), penurunan nilai NKAR meningkatkan produksi 1,25-(OH)2D3 dalam

ginjal, sehingga meningkatkan efisiensi absorpsi Ca dan mobilisasi Ca dari tulang.

Suplementasi Cr dalam ransum dengan kadar Ca dan NKAR berbeda tidak

mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Nilai rataan suhu rektal domba

seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38.74 hingga 38.95 oC dan pada

siang hari berkisar antara 38.09-39.14 oC . Nilai tersebut masih dalam kisaran

normal karena suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar

antara 38.2-40 oC (Smith & Mangkowidjojo 1988; Robinson 2002). Kelembaban

siang hari yang cukup rendah selama penelitian berlangsung memungkinkan

domba Garut tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan cara

melepaskan panas melalui evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang

biasanya dialami ternak pada siang hari.

Meskipun terdapat perbedaan nilai dari profil darah yang diuji tetapi secara

76

statistik suplementasi Cr, Ca dan NKAR berbeda dalam ransum tidak

mempengaruhi (P>0.05) profil darah domba penelitian (Tabel 8). Hal ini

menunjukkan ketatnya homeostasis metabolisme mineral dalam tubuh (Hidayat et

al. 2009).

Uji kualitas secara mikroskopis terdiri atas gerakan massa, motilitas

spermatozoa, ratio spermatozoa hidup dan mati, morfologi spermatozoa normal

dan konsentrasi spermatozoa per ml. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan

pada hari ke-0, ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada ransum Ca dan NKAR

berbeda tidak mempengaruhi kualitas makroskopis dan makroskopis semen

domba Garut (Tabel 9, 10, 11). Hal ini menunjukkan suplementasi Cr dan Ca

pada NKAR berbeda tidak mempengaruhi spermatogenesis pada domba Garut.

Suplementasi Cr dalam ransum domba tidak berpengaruh terhadap nilai

MPU spermatozoa fraksi bawah maupun fraksi atas pada pengujian hari ke-0 dan

21. Nilai MPU pada spermatozoa yang dikoleksi pada hari ke-0 dan ke-21 tidak

dipengaruhi oleh Cr yang diberikan dengan nilai MPU masing-masing 34.86 –

46.60% pada fraksi atas dan 35.41 – 45.42% pada fraksi bawah (H0) dan 36.47 –

49.13% pada fraksi atas dan 42.91 – 47.40 pada fraksi bawah (H21). Pada hari

pengujian hari ke-49, terlihat bahwa suplementasi Cr pada R3 menurunkan nilai

MPU spermatozoa fraksi bawah (28.36%). Spermatozoa pada fraksi bawah

sebagian besar adalah spermatozoa Y yaitu 73.5% (Saili 1999). Penurunan MPU

spermatozoa fraksi bawah diduga karena perlakuan suplementasi Cr dan NKAR0

dalam ransum berpengaruh menurunkan kualitas membran spermatozoa fraksi

bawah. Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar Ca dalam plasma semen

akibat suplementasi Cr dalam ransum. Hasil penelitian sebelumnya mennjukkan

bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba Garut akan menurunkan kadar Ca

semen (Tabel 3). Fungsi Ca dalam semen adalah meningkatkan motilitas

spermatozoa (Cheah & Yang 2011), sehingga rendahnya kadar Ca dalam semen

akan menurunkan motilitas spermatozoa.

Pada H49 nilai MPU ternyata berbeda antar ransum yang diberikan.

Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Cr yang diberikan sudah mempengaruhi

kualitas semen. Seperti diketahui proses spermatogenesis pada domba lama proses

spermatogenesis berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005; Bearden & Fuquay

77

2000) sehingga dapat dipahami jika perbedaan nilai MPU baru terlihat pada

spermatozoa yang prosesnya sudah dipengaruhi oleh Cr yang diberikan. Hal in

sejalan dengan pendapat Robinson et al. (2006) bahwa untuk memenuhi

kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan

(satu periode spermatogenesis) sebelum domba dikawinkan. Sehingga respon

reproduksi karena pemberian nutrien akan terlihat. Tidak berpengaruhnya

suplementasi Cr pada H0 atau H 21 karena semen yang diejakulasikan adalah

hasil spermatogenesis satu bulan sebelumnya.

Hasil uji MPU yang rendah pada fraksi bawah semen domba Garut

mengindikasikan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa fraksi bawah yang

sebagian besar adalah spermatozoa Y adalah rendah. Sehingga diduga bila semen

domba Garut hasil separasi pada perlakuan R3 jika diinseminasikan pada domba

betina maka kemampuan spermatozoa Y untuk membuahi sel telur akan rendah

dibandingkan spermatozoa X. Sehingga kemungkinan rasio anak yang lahir lebih

banyak anak betina dibandingkan anak jantan.

Hasil penelitian perkawinan induk dan pejantan domba Garut yang telah

diberi ransum perlakuan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin anak yang

dilahirkan domba dengan ransum perlakuan dipengaruhi oleh ransum perlakuan

(Tabel 16). Hasil tersebut sejalan dengan pendugaan rasio jenis kelamin anak

berdasarkan nilai MPU spermatozoa hasil separasi kolom albumin (Tabel 12).

Pada perlakuan RJA yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA yaitu

pejantan dengan ransum nilai NKAR 0 lebih rendah dibandingkan dengan

perlakuan RBA dan RJBB. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA

lebih banyak betina dibandingkan dengan anak dari perkawinan RBA dan RJBB.

Pengaruh ransum asam pada domba jantan mempengaruhi proses pembentukan

dan viabilitas spermatozoa dalam saluran reproduksinya, dimana spermatozoa Y

tidak tahan terhadap pengaruh asam dibandingkan spermatozoa X. Sehingga

spermatozoa yang diejakulasikan pada saat kopulasi, spermatozoa X yang

memiliki daya fertilitas dan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan

spermatozoa Y.

Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan anak hasil perkawinan RBA dan

RJBB lebih tinggi dibandingkan perkawinan RJA dan lebih tinggi dari rasio

78

alamiah. Hal ini diduga pengaruh dari ransum basa yang diberikan pada domba

Garut betina. Ransum basa pada ransum perlakuan mengandung minyak jagung,

yang mengandung banyak asam linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada

minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60,4% (NRC, 1994). Hasil

penelitian Rosenfeld dan Robert (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin

dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak )

> karbohidrat maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71%

(pada tikus). Selain itu menurut Green et al (2008) menyatakan bahwa pemberian

ransum dengan asam lemak tidak jenuh terproteksi pada ransum induk domba

betina dapat menggeser rasio jenis kelamin ke arah jantan. Penggunaan ransum

basa domba Garut betina yang mengandung minyak jagung dapat meningkatkan

rasio jenis kelamin ke arah jantan, tetapi pada perlakuan RJA yang ransum domba

jantannya mengandung NKAR 0, dapat melawan atau menekan pengaruh tersebut.

Namun demikian, rasio jenis kelamin pada perlakuan RJA menunjukkan

adanya penurunan dibandingkan pada perlakuan RBA dan RJBB. Hal tersebut

menunjukkan adanya pengaruh perlakuan ransum NKAR 0 pada ransum domba

jantan terhadap penurunan rasio jenis kelamin anak domba yang dilahirkan.

Berdasarkan hal tersebut, pengaruh penurunan NKAR pada ransum domba jantan

dapat menggeser rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan. Diduga bahwa

penurunan NKAR berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa Y

selama transportasi dan maturasi spermatozoa dalam epididymis dan vas deferens

menjadi ejakulat. Selama transportasi spermatozoa, terjadi interaksi antara

spermatozoa dan makro nutrien dan mikronutrien yang dihasilkan oleh kelenjar

vesikularis, ampula dan bulbourethralis yang akan mempengaruhi maturasi dan

viabilitas spermatozoa (Senger 2005; Guyton & Hall 2006; Cheah & Yang 2011).

Implikasi teoritis dan praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

meningkatkan produksi dan efisiensi reproduksi suatu usaha peternakan. Pada

peternakan yang bertujuan untuk menghasilkan ternak pedaging, dibutuhkan

ternak jantan yang diketahui pertumbuhannya lebih baik dari ternak betina. Pada

peternakan ini pemberian pakan pada ternak bibit dengan tujuan untuk

menghasilkan rasio jenis kelamin yang tinggi sehingga akan diperoleh lebih

banyak anak jantan. Di pihak lain, pada peternakan ternak perah yang bertujuan

79

menghasilkan susu atau ternak betina sebagai bibit, maka dibutuhkan lebih banyak

ternak betina. Pada peternakan ini pemberian pakan juga dengan tujuan

menghasilkan rasio jenis kelamin anak yang lebih rendah. Program pelestarian

dan pengembangan ternak domba Garut pada khususnya dan ternak ruminansia

lainnya pada umumnya dapat menggunakan ransum ini. Namun diperlukan

pengujian dalam skala populasi di lapangan yang lebih besar untuk konfirmasi

hasil penelitian ini.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Umum

Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Suplementasi Cr menurunkan absorpsi Cr dan absorpsi Ca pada ransum

rendah Ca. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi status Cr, Ca, Zn, dan Mg

darah dan semen domba Garut.

2. Konsumsi Cr berkorelasi negatif dengan absorpsi Cr dan berkorelasi positif

dengan kadar Cr dalam darah. Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca

dengan absorpsi Ca dan Mg serta kadar Ca dan Zn dalam darah.

3. Profil hematologi darah domba tidak dipengaruhi suplementasi Cr pada kadar

Ca dan NKAR berbeda, namun ada kecederungan memperbaiki kadar netrofil.

4. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara

makroskopis ataupun mikroskopis.

5. Suplementasi Cr yang mengandung NKAR asam menurunkan pH semen dan

nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.

6. Rasio jenis kelamin meningkat dari rasio alamiah pada domba betina yang

diberi ransum basa.

7. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan

yang disuplementasi ransum NKAR asam dan Cr menurun dibandingkan

ransum basa.

80

Saran Umum

Saran yang dapat dikemukakan berdasarkan simpulan penelitian di atas

adalah:

1. Pemeliharaan domba Garut memerlukan suhu lingkungan yang nyaman dan

sirkulasi udara yang baik.

2. Pemberian mineral sebagai suplemen harus memperhatikan sumbangan

mineral tersebut terhadap nilai NKAR.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjut pengaruh Cr dan NKAR pada kualitas

semen dalam epididymis dan rasio jenis kelamin anak dari hasil separasi

spermatozoa.

81

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hassan DA. 2005. Separation Techniques for X And Y ChromosomeBearing Human Spermatozoa [Dissertation]. Department of BiomedicalSciences Faculty of Health Sciences Tshwane University of Technology.

Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect onsperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res 3:1-5

Aruldhas M et al. 2005. Chronic chromium exposure-induced changes intesticular histoarchitecture are associated with oxidative stress: study in anon-human primate (Macaca radiata Geoffroy). Hum Repr 20(10):2801–2813

Bearden HJ, Fuquay JW. 2000. Applied Animal Reproduction. Mississipi StateUniversity.

Boediono A, Setiadi MA, Agungpriyono S. 2007. Pelestarian plasma nutfahdalam pembentukan bank genom melalui optimalisasi sistem reproduksi danaplikasi teknologi reproduksi bantuan pada domba Garut. LaporanPenelitian. Institut Pertanian Bogor.

Borucki-Castro SI, Phillip LE, Girard V, Tremblay A. 2004. Altering dietarycation-anion difference in lactating dairy cows to reduce phosphorusexcretion to the environment. J. Dairy Sci. 87:1751-1757.

Celik K, Serbest S, Vurur S, Pala A, Daglioglu K. 2003. Experiments toInvestigate the Factors That Affect the Rate of Sex Constitution. Pakistan JNutr 2 (4): 238-241

Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation-Anion Difference on Intake , Milk Yield , and Blood Components of theEarly Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan. DepartemenPertanian RI. ISBN. 979-628-010-8. Jakarta.

Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa And Seminal Plasma. In: Hafez ESE,B Hafez. 2000. Reproduction In Farm Animals. Ed ke-7 Baltimore:Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia. p.106-112

Gentry LR et al. 1999. Dietary Protein and Chromium Tripicolinate in SuffolkWether Lambs: Effects on Production Characteristics, Metabolic andHormonal Responses, and Immune Status. J Anim Sci 77:1284–1294

Grant VJ, Chamley LW. 2007. Sex-Sorted Sperm and Fertility: An AlternativeView. Biol Repr 76:184–188.

Gledhill BL. 1988. Selection and separation of X- and Y-chromosome-bearingmammalian sperm. Gamete Res 20:377–395.

Griswold MD. 1995. Interactions between Germ Cells and Sertoli Cells in theTestis. Biol Repr 52: 211-216

82

Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and HumanMetabolism, Fifth edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont USA.Hal. 513-516

Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical physiology. 11th Edition.Saunders Elsevier, Pennsylvania

Harris Jr B, Beede DK. 1993. Dietary Cation-Anion Balancing of Rations in thePrepartum or Late Dry Period. In DS86 seri of the Animal ScienceDepartment Florida Cooperative Extension Service. Institute of Food andAgricultural Sciences. University of Florida. http://www.edis.ifas.ufl.edu[14 Pebruari 2009].

Hendri. 1992. Usaha mengubah rasio sperma X dan Y dengan metode kolommenggunakan larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan penilaian angkakebuntingan serta perbandingan jenis kelamin anak pada kambing [Tesis].Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hu W, Murphy MR. 2004. Dietary cation-anion difference effects on performanceand acid-base status of lactating dairy cows : A meta-analysis. J Dairy Sci87(7):2222-2229.

Hylan DA. 2007. In Utero And in Vitro Sex Ratio Of Bovine Embryos andCalves Originating From The Left And Right Ovaries [Dissertation].Louisiana State University.

Johnson LA. 2000. Sexing mammalian sperm for production of offspring: thestate-of-the-art. Anim Repr Sci 60-61:93-107.

Kegley EB, Spears JW. 1995. Immune Response, Glucose Metabolism, andPerformance of Stressed Feeder Calves Fed Inorganic or OrganicChromium. J Anim Sci 73:2721-2726

Kegley EB, Galloway DL, Fakler TM. 2000. Effect of dietary chromium-L-methionine on glucose metabolism of beef steers. J Anim Sci 78:3177–3183

Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995.Influence of Chromium Tripicolinate on Glucose Metabolism and NutrientPartitioning in Growing Lambs. J Anim Sci 73:2694-2705

Kornegay ET, Wang Z, Wood CM, Lindemann MD. 1997. SupplementalChromium Picolinate Influences Nitrogen Balance, Dry Matter Digestibility,and Carcass Traits in Growing-Finishing Pigs. J Anim Sci 75:1319–1323.

Kumar S. 2008. Is environmental exposure associated with reproductive healthimpairments? (Review). J. Turkish-German Gynecol Assoc.. 9(1): 60-69.

Luseba D. 2005. The effect of selenium and chromium on stress level, growthperformance selected carcass characteristic and mineral status of feedlotcattle [Thesis]. Universitiy of Pretoria Etd.

Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977

83

Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi Jarak Genetik antarDomba Garut Tipe Tangkas dengan Tipe Pedaging. Med Pet 30(2): 129-138

McDowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. AcademicPress, Inc. San Diego California.

Moore SJ et al. 2000. Effects of altering dietary cation-anion difference oncalcium and energy metabolism in peripartum cow. J Dairy Sci 83 : 2095-2104.

Mowat DN. 2008. Supplemental organic chromium for beef and dairy cattle.University of Guelph, Canada. www.ksu.edu.sa/sites/Colleges/FoodsAndAgriculture/AnimalProduction/Documents/alhaidary%20i.pdf. [20Maret 2009]

Mulliadi, D. 1996. Sifat fenotipe domba Priangan di Kabupaten Pandeglang danGarut [Disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Noakes DE, Parkinson TJ and England GCW. 2001. Arthur's VeterinaryReproduction and Obstetrics. Saunders An imprint of Elsevier Limited.

[NRC] National Research Council. 1997. The Role of Chromium in AnimalNutrition. National Academy Press. Washington, D. C.

Ollero O et al. 2000. Separation of Ram Spermatozoa Bearing X and YChromosome by Centrifugal Countercurrent Distribution in an AqueousTwo-phase System. J Andrology, Vol. 21, No. 6

Pechova A, Pavlata L, 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.

Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.

Ramberg CF, Ferguson JD, Galligan DT. 2009. Metabolic Basis of the CationAnion Difference Concept DCAD. Center for Animal Health andProductivity University of Pennsylvania. http://130.91.88.59/pc96/cationanion.html [2 Maret 2009]

Rizal M, Toelihere MR, Yusuy TL, Purwantara B, Situmorang P. 2003.Karakteristik penampilan reproduksi pejantan domba garut. JITV 8(2): 134-140

Riwantoro. 2005. Konservasi plasma nutfah domba Garut dan strategipengembangannya secara berkelanjutan [Disertasi]. Bogor: ProgramPascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Roche JR et al. 2003. Dietary cation-anion difference and the health andproduction of pasture-fed dairy cows. Dairy cows in early lactation. JDairy Sci 86:970-978.

Rosenfeld CS, Robert RM. 2004. Maternal diet and other factors affectingoffspring sex ratio : A Review. Biol Repr 71:1063−1070.

Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Second Revised Ed.Cadmus Proffesional Communication, USA. Hlm 203.

84

Solomon NW. 1988. Physiological Interaction of Mineral. In: Bodwell CE,Erdman JW, editor. Nutrient Interaction. Marcel Dekker, Inc.

Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel,manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma.Urologia 72: 461-464.

Stolkowski J, Lorrain J. 1980. Preconceptional Selection of Fetal Sex. Int. J.Gynaecol. Obstet 18(6): 440-3.

Striffler JS, Law JS, Polansky MM, Bhathena SJ, AndersonRA. 1995. Chromiumimproves insulin response to glucose in rats. Metabolism. 44(10):1314-20.

Sudarmono AS, Sugeng B. 2008. Beternak Domba. Edisi Rev. Cetakan ke-19.Penebar Swadaya, Jakarta.

Stewart PA. 1983. Modern _ansom_ative acid-base chemistry. Can. J. Physiol.Pharmacol. 61:1444-1461

Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm.453.

Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Cetakan ke-2. PenerbitAngkasa Bandung.

Van de Ligt CPA, Lindemann MD, Cromwell GL. 2002. Assessment ofchromium tripicolinate supplementation and dietary protein level on growth,carcass, and blood criteria in growing pigs. J Anim Sci 80:2412–2419

Vincent JB. 2000. Recent Advances in Nutritional Sciences : TheBiochemistry of Chromium. J Nutr 130: 715–718.

85

LAMPIRAN

86

Lampiran 1 Komponen medium Brackett-Oliphant (BO)

Komponen JumlahMedium A (500 ml)

1. NaCl (Merck)2. KCl (Merck)3. CaCl2.2H2O (Merck)4. NaH2PO4. 2H2O (Merck)5. MgCl2.6H2O (Merck)6. Phenol Red 0,5% (Sigma)7. Distilled water

Medium B (200 ml)1. NaHCO3 (Merck)2. Phenol Red 0,5% (Merck)3. Distilled water

Medium BO (100 ml)1. Medium A2. Medium B3. Glukosa4. Sodium pyruvat (Sigma)5. Penisilin (Sigma)6. Streptomisin (Sigma)

4,3092 g0,1974 g0,2171 g0,0840 g0,0697 g0,1 ml500 ml

2,5873 g0,04 ml200 ml

76,0 ml24,0 ml0,15 g0,0137 g100 IU/ml0,005 gr/100 ml

87

Lampiran 2 Alur proses separasi spermatozoa dengan media albumin (Saili,1999)

+

Fraksi Bawah

Semen Domba

Sentrifugasi2500 rpm 10 menit

Endapan Spermatozoa + BO

Konsentrasi Spermatozoa150 Juta/ml

1 ml sampel spermatozoa

Tabung kolom pemisahFraksi Atas 10% (2,5 ml albumin + 22,5 ml BOFraksi Bawah 50%(7,5 ml albumin + 7,5 ml BO

Biarkan mengendap 1 jam suhu 28oC

Fraksi Atas

Sentrifus 2500 rpm 10menit

Sentrifus 2500 rpm 10menit

Sampel Spermatozoa X Sampel Spermatozoa Y

+ BO

88

Lampiran 3 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Cr

Dependent Variable: KONS_Cr

SourceType III Sumof Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 67.900(a) 11 6.173 5.074 .005Intercept 816.667 1 816.667 671.270 .000PERL 57.803 3 19.268 15.837 .000BLOK 7.956 2 3.978 3.270 .074PERL * BLOK 2.141 6 .357 .293 .929Error 14.599 12 1.217Total 899.166 24Corrected Total 82.499 23

a R Squared = .823 (Adjusted R Squared = .661)

Tukey HSD konsumsi Cr

PERL

N Subset

1 2 1R0 6 4.1650R2 6 4.5583R1 6 6.6367R3 6 7.9733Sig. .924 .208

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 1.217.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .05.

Lampiran 4 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Ca

Dependent Variable: KONS_Ca

SourceType III Sumof Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 29.495(a) 11 2.681 11.085 .000Intercept 168.487 1 168.487 696.527 .000PERL 26.912 3 8.971 37.085 .000BLOK 1.900 2 .950 3.927 .049PERL * BLOK .683 6 .114 .470 .818Error 2.903 12 .242Total 200.884 24Corrected Total 32.397 23

a R Squared = .910 (Adjusted R Squared = .828)

89

Tukey HSD konsumsi Ca

PERL

N Subset

1 2 1R0 6 1.5750R1 6 1.6333R2 6 3.4583R3 6 3.9317Sig. .997 .381

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .242.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .05.

Lampiran 5 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Cr

Dependent Variable: ABS_Cr

SourceType III Sumof Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 8698.163(a) 10 869.816 8.840 .002Intercept 36381.991 1 36381.991 369.773 .000PERL 5473.964 3 1824.655 18.545 .000BLOK 60.618 2 30.309 .308 .742PERL * BLOK 1394.116 5 278.823 2.834 .083Error 885.511 9 98.390Total 56345.860 20Corrected Total 9583.674 19

a R Squared = .908 (Adjusted R Squared = .805)

ABS_Cr

Tukey HSD

PERL

N Subset

1 2 1R1 3 19.2533R3 5 30.0080R2 6 58.0267R0 6 68.5200Sig. .402 .421

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 98.390.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.615.b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levelsare not guaranteed.c Alpha = .05.

90

Lampiran 6 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Ca

Dependent Variable: ABS_Ca

SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1488.623(a) 11 135.329 5.133 .004Intercept 149589.723 1 149589.723 5673.938 .000PERL 623.535 3 207.845 7.884 .004BLOK 131.595 2 65.798 2.496 .124PERL * BLOK 733.492 6 122.249 4.637 .012Error 316.372 12 26.364Total 151394.718 24Corrected Total 1804.995 23

a R Squared = .825 (Adjusted R Squared = .664)

ABS_Ca

Tukey HSD

PERL

N Subset

1 2 1R1 6 70.9950R0 6 78.1117 78.1117R2 6 82.5317R3 6 84.1567Sig. .130 .228

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 26.364.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .05.

Lampiran 7 Analisis ragam dan uji Tukey MPU spermatozoa fraksi bawah

Dependent Variable: MPU_B

SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

Model 36655.436(a) 12 3054.620 49.452 .000RANSUM 1103.293 3 367.764 5.954 .010KBB 1129.522 2 564.761 9.143 .004RANSUM * KBB 1001.068 6 166.845 2.701 .067Error 741.234 12 61.769Total 37396.670 24

a R Squared = .980 (Adjusted R Squared = .960)

91

MPU_B

Tukey HSD

RANSUM

N Subset

1 2 1R3 6 28.3617R1 6 36.6050 36.6050R2 6 36.8383 36.8383R0 6 47.4633Sig. .291 .131

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 61.769.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .050.