cr alveoloplasty

21
REFLEKSI KASUS PERAWATAN PREPROSTHETIC SURGICAL ALVEOLECTOMY Disusun oleh : Yunita Styaningrum 11.208.0049 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2014

Upload: ajeng-saranghage-momy

Post on 19-Nov-2015

102 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

alveoplasty

TRANSCRIPT

REFLEKSI KASUSPERAWATAN PREPROSTHETIC SURGICAL ALVEOLECTOMY

Disusun oleh :Yunita Styaningrum11.208.0049

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGIUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG2014

I.DESKRIPSI KASUSa. Identitas Pasien Nama: Siti MardiahJ.K: PerempuanUmur: 47 thAlamat: Jl. sekayu baru VII/ 20 semarangb. Pemeriksaan SubyektifKeluhan Utama : Pasien mengeluh terdapat tonjolan pada rahang bawah depanAnamnesa : Pasien mengeluh terdapat tonjolan pasca extraksi gigi anterior sejak 11 hari yang lalu, tonjolan tersebut membuat pasien kurang nyaman saat makan tetapi tidak menimbulkan rasa sakit.Riwayat Sistemik : d.t.a.kRiwayat Sistemik keluarga : d.t.a.kRiwayat Penyakit gigi dan gusi sebelumnya: pasien sudah pernah ke dokter gigi untuk melakukan pencabutan gigi.c. Pemeriksaan ObyektifStatus generalisPemeriksaan fisikKeadaan umum pasien : baikTekanan darah : 100/ 70 mmHgBerat badan: 60 kgNadi: 80x/ menitRR: 24 x/ menitTinggi badan: 153 cmEkstra Oral Inspeksi : d.t.a.kPalpasi : d.t.a.kIntra Oral Intra oral: terdapat tonjolan pada rahangbawah anteriorPalpasi: (-)Telah dilakukan pencabutan gigi 42,44, dan 45 pada tanggal 1 November 201313 pada tanggal 12 November 201331 pada tanggal 19 November 201332 dan 33 pada tanggal 26 November 2013

d. Gambaran Klinis

e. Gambar rontgen

f. Diagnosis Dx: eksostosis pada regio 31, 32, dan 33g. Penatalaksanaan1. Kunjungan I (2Januari 2014)Subjektif : melanjutkan perawatan gigi.Objektif : terdapat tulang yang menonjol pada regio 31,32 dan 33Vital sign:TD : 120/70 mmHgNadi: 80 x/ menitRR: 20 x/ menitTindakan: Alveolektomi

Pemberian resep R/ coamoxyclav 500mg No. XVS 3 dd tab IR/ dexametason 0,5 mg No. VIS 3 dd tab IR/ asam mefenamat tabs 500mg No IXS 3 dd tab I

2. Kunjungan II (3 Januari 2014)Subjektif : pasien datang untuk kontrol pasca dilakukan tindakan alveolektomi, pasca tindakan tersebut pasien merasa sakit, namun setelah minum obat rasa sakit tersebut mereda, pasien rutin minum obat.Objektif : Pemeriksaan ekstraoral: tidak ada kelainanPemeriksaan intraoral:inspeksi Tidak terdapat perdarahan pada area luka pasca tindakan alveolektomi Terdapat jahitan pasca tindakan alveolektomi Terdapat 6 jahitan masih utuh. Terdapat warna kemerahan disekitar area bekas operasi Palpasi Nyeri pada saat disentuhTindakan: Evaluasi, kontrol H+13. Kunjungan III (7 Januari 2014)Subjektif : pasien mengeluh jahitan lepas, tidak ada rasa sakit dan pasien rutin meminum obatObjektif : Pemeriksaan ekstraoral: tidak ada kelainanPemeriksaan intraoral:inspeksi Tidak terdapat perdarahan pada area luka pasca tindakan alveolektomi Terdapat jahitan pasca tindakan alveolektomi Terdapat 4 jahitan masih utuh. Warna area luka sama dengan jaringan normal disekitarnya Tanda inflamasi Sedikit nyeri pada saat disentuhTindakan: Evaluasi, kontrol H+4 irigasi salin

4. Kunjungan IV (10 Januari 2014)Subjektif : pasien datang untuk kontrol pasca dilakukan tindakan alveolektomi, tidak ada keluhan rasa sakit ,pasien masih mengonsumsi obat yang tersisa.Objektif : Pemeriksaan ekstraoral: tidak ada kelainanPemeriksaan intraoral:inspeksi Tidak terdapat perdarahan pada area luka pasca tindakan alveolektomi Terdapat jahitan pasca tindakan alveolektomi Terdapat 4 jahitan masih utuh. Warna area luka sama dengan jaringan normal disekitarnya Tanda inflamasi Nyeri -Tindakan: Evaluasi, kontrol H+ 8, pelepasan jahitan

II.PERTANYAAN KRITIS1. Alveolektomi?2. Indikasi dan kontraindikasi alveolektomi?3. Klasifikasi flap?4. Tehnik alveolektomi?III.LANDASAN TEORI 1. Alveolektomi?Alveolektomi adalah suatu tindakan bedah untuk membuang prosesus alveolaris, baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun pembuangan seluruh prosesus alveolaris yang lebih dikenal sebagai alveolektomi diindikasikan pada rahang yang diradiasi sehubungan dengan perawatan neoplasma yang ganas. Karena itu penggunaan istilah alveolektomi yang biasa digunakan tidak benar, tetapi karena sering digunakan maka istilah ini dapat diterima. Alveolektomi sebagian bertujuan untuk mempersiapkan alveolar ridge sehingga dapat menerima gigi tiruan. Tindakan ini meliputi pembuangan undercut atau cortical plate yang tajam; mengurangi ketidakteraturan puncak ridge atau elongasi; dan menghilangkan eksostosis.

2. Indikasi dan kontraindikasi alveolektomi? INDIKASI 1. pada rahang di mana dijumpai neoplasma yang ganas, dan untuk penanggulangannya akan dilakukan terapi radiasi 2. pada prosesus alveolaris yang dijumpai adanya undercut; cortical plate yang tajam; puncak Ridge yang tidak teratur; tuberositas tulang; dan elongasi, sehingga mengganggu dalam proses pembuatan dan adaptasi gigi tiruan 3. jika terdapat gigi yang impaksi, atau sisa akar yang terbenam dalam tulang; maka alveoloplasti dapat mempermudah pengeluarannya 4. Pada prosesus alveolaris yang dijumpai adanya kista atau tumor5. Jika terdapat ridge prosesus alveolaris yang tajam atau menonjol sehingga dapat menyebabkan facial neuralgia maupun rasa sakit setempat 6. pada tulang interseptal yang terinfeksi; di mana tulang ini dapat dibuang pada waktu dilakukan gingivektomi pada kasus prognatisme maksila, dapat juga dilakukan alveoloplasti yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan antero-posterior antara maksila dan mandibula 7. setelah tindakan pencabutan satu atau beberapa gigi, sehingga dapat segera dilakukan pencetakan yang baik untuk pembuatan gigi tiruan 8. adanya torus palatinus (palatal osteoma) maupun torus mandibularis yang besar KONTRAINDIKASI 1. Pada pasien dengan penyakit sistemik 2. Pada pasien yang masih muda, karena sifat tulangnya masih sangat elastis maka proses resorbsi tulang lebih cepat dibandingkan dengan pasien tua. Hal ini harus diingat karena jangka waktu pemakaian gigi tiruan pada pasien muda lebih lama dibandingkan pasien tua. 3. Pada pasien wanita atau pria yang jarang melepaskan gigi tiruannya karena rasa malu, sehingga jaringan pendukung gigi tiruan menjadi kurang sehat, karena selalu dalam keadaan tertekan dan jarang dibersihkan. Hal ini mengakibatkan proses resorbsi tulang dan proliferasi jaringan terhambat. 4. Jika bentuk prosesus alveolaris tidak rata tetapi tidak mengganggu adaptasi gigi tiruan baik dalam hal pemasangan, retensi maupun stabilitas.

3. Klasifikasi flap?a. Berdasarkan Ketebalan1. Full thickness (mukoperiosteal) Merupakan flap yang sering dilakukan pada alveoplasti yang luas, dimana flap mengikutsertakan mukosa dan periosteum.2. Partial thickness (hanya mukosa) Flap hanya mengikutsertakan mukosanya saja, sedangkan periosteum tetap pada tempatnyab. Berdasarkan Outline1. EnvelopeDalam kebanyakan kasus, desain ini sudah cukup. Pada teknik ini biasanya dilakukan insisi horizontal pada tepi gingival, kemudian dimodifikasi seperlunya, beberapa modifikasi tersebut,seperti : Dengan satu insisi tambahan serong di anterior (mesial) Rektangular, dengan dua insisi tambahan (mesial dan distal) Contiguous (dua flap yang disingkirkan dari satu insisi misal utk Alveoplasti) Apabila diperlukan jalan masuk apikal yang besar, maka ditambahkan insisi serong disebelahposterior.2. Semilunar Biasanya ditempatkan pada permukaan bukal prosessus alveolaris disebelah apikal dari pertemuan antara mukosa bergerak dan cekat. Keuntungan desain ini adalah perlekatan gingival dan sebagian besar mukosa cekat tetap terpelihara dengan baik, walaupun tetap diperoleh jalanmasuk ke region apikal dan sekitarnya. Flap semilunar digunakan untuk menghindari tepimahkota protesa, untuk pembedahan periradikular dan untuk mendapat jalan masuk ke sinusmaxillaries dan region yang jauh lainnya.3. PedikelFlap pedikel dibuat baik di bukal, lingual atau palatal. Biasanya digunakan untuk migrasi atautransportasi untuk memperbaiki suatu cacat, misalnya fistula oroantral atau nasoalveolar.4. Tehnik alveolektomi?Starshak (1971) mengemukakan 5 macam teknik alveolektomi, yaitu :a. Teknik Alveolar KompresiMerupakan teknik alveoloplasti atau alveolektomi yang paling mudah dan paling cepat. Pada teknik ini dilakukan penekanan cortical plate bagian luar dan dalam di antara jari-jari. Teknik ini paling efektif diterapkan pada pasien muda, dan harus dilakukan setelah semua tindakan ekstraksi, terutama pada gigi yang bukoversi. Tujuan dilakukannya tindakan ini adalah untuk mengurangi lebar soket dan menghilangkan tulang-tulang yang dapat menjadi undercut.b. Teknik Simpel AlveolectomyTeknik ini dapat digunakan jika dibutuhkan pengurangan cortical margin labial atau bukal, dan kadang-kadang juga alveolar margin lingual atau palatal. Biasanya digunakan flep tipe envelope, tetapi kadangkala digunakan juga flep trapesoid dengan satu atau beberapa insisi. Pada teknik ini pembukaan flep hanya sebatas proyeksi tulang, karena pembukaan yang berlebihan pada bagian apikal dapat menyebabkan komplikasi-komplikasi yang tidak diinginkan.c. Teknik Kortiko-Labial AlveolectomyTeknik ini merupakan teknik alveoloplasti yang paling tua dan paling populer, di mana dilakukan pengurangan cortical plate bagian labial. Teknik ini telah dipraktekkan secara radikal selama bertahun-tahun, dengan hanya meninggalkan sedikit alveolar ridge yang sempit. Dalam tindakan bedah preprostodontik teknik inilah yang paling sering digunakan, karena pada teknik ini pembuangan tulang yang dilakukan hanya sedikit, serta prosedur bedahnya yang sangat sederhana.d. Teknik Dean AlveolectomyO.T. Dean menyumbangkan suatu teknik alveoloplasti yang sangat baik dalam mempersiapkan alveolar ridge sehingga dapat mengadaptasi gigi tiruan dengan baik. Thoma menggambarkan pembuangan tulang interrradicular (di antara akar) tidak dengan istilah intraseptal (di dalam septum), tetapi dengan istilah intercortical (di antara cortical plate). Sedangkan ahli-ahli lain menggunakan istilah teknik crush.Teknik Dean ini didasari oleh prinsip-prinsip biologis sebagai berikut :a) Mengurangi alveolar margin labial dan bukal yang prominen,b) Tidak mengganggu perlekatan otot,c) Tidak merusak periosteumd) Melindungi cortical plate sehingga dapat digunakan sebagai onlay bone graft yang hidup dengan suplai darah yang baik,e) Mempertahankan tulang kortikal sehingga dapat memperkecil resorbsi tulang setelah operasi. McKay memodifikasi teknik Dean ini dengan memecahkan cortical plate ke arah labial sebelum menekannya kembali ke palatal. Modifikasi ini menjamin onlay tulang dapat bergerak bebas dan terlepas dari tekanan.e. Teknik Obwegeser Alveoloplasti Pada kasus protrusi premaksilaris yang ekstrim, teknik Dean tidak akan menghasilkan ridge anterior berbentuk U seperti yang diinginkan, tetapi menghasilkan ridge berbentuk V. Untuk menghindari bentuk ridge seperti ini, Obwegeser membuat fraktur pada cortical plate labial dan palatal. Keuntungan teknik ini adalah dapat membentuk kedua permukaan palatal dan labial prosesus alveolaris anterior, dan sangat tepat untuk kasus protrusi premaksilaris yang ekstrim. Operasi dengan teknik ini harus didahului dengan proses pembuatan model gips, kemudian splint atau gigi tiruan disusun pada model kerja gips tersebut. Dengan dilakukannya proses ini, maka prosedur operasi yang dilakukan di kamar praktek dokter gigi atau di ruang operasi dapat dilakukan dengan lebihakurat.KOMPLIKASI TINDAKAN ALVEOLECTOMYDalam melakukan suatu tindakan bedah tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya komplikasi, demikan pula halnya dengan alveolectomy. Dimana komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi antara lain: rasa sakit, hematoma, pembengkakan yang berlebihan, timbulnya rasa tidak enak pasca operasi (ketidaknyamanan), proses penyembuhan yang lambat, resorbsi tulang berlebihan, serta osteomyelitis. Tetapi semua hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan prosedur operasi serta tindakan-tindakan pra dan pasca operasi yang baik.

Tujuan penjahitan adalah Menutup defek Mendekatkan tepi luka yang mempunyai tegangan Mendekatkan tepi kulit Meminimalkan perdarahan dan infeksiTeknik penjahitan tergantung kepada: Tipe luka Lokasi anatomi luka. Ketebalan kulit Derajat ketegangan Hasil kosmetik yang diharapkanUntuk mengoptimalkan hasil secara fungsi dan kosmetik, perlu diperhatikan: Meminimalkan dead space Mengembalikan kepada kontur anatomis bagian yang dijahit Meminimalkan bekas jahitan dengan cara memilih benang yang tepat dan tension yang minimal.Menurut waktu penjahitannya, jahitan dibagi menjadi: Jahitan PrimerAdalah jahitan yang dilakukan segera setalah luka terbentuk Jahitan SekunderDilakukan setelah jahitan pertama (primer) terlepas atau longgar. Atau dilakukan mengoreksi dead space.Tujuan jahitan sekunder adalah untuk: Memperkuat jahitan primer Menghilangkan dead space Mencegah akumulasi cairan pada luka abdominal selama proses penyembuhan. Untuk penutupan luka sekunder karena kerusakan jahitan pada masa penyembuhan. Prinsip Prinsip Dalam Membuat jahitan Kuat dan tidak mudah lepas, Sederhana Ikatan sekecil mungkin, ujung dipotong secukupnya. Tidak boleh ada gesekan antara untaian benang yang akan melemahkan jahitan Tidak boleh ada kerusakan materi jahitan (tidak boleh menjepit benang dengan instrumen) Tidak boleh terdapat tarikan yang berlebihan Pertahankan tarikan pada satu ujung benang setelah ikatan pertama supaya lilitan tidak longgar pada jahitan kontinu

- Menurut kontinuitasnya, jahitan dibagi menjadi: Interrupted SutureTeknik ini menjahit tepi luka dengan satu jahitan, disimpulkan kemudian dipotong. Teknik ini memerlukan lebih banyak benang karena setiap jahitan harus dibuat simpul dan dipotong. Relatif lebih aman karena bila satu jahitan putus jahitan lainnya tidak terganggu. Baik digunakan untuk luka yang terinfeksi, karena mudah membuka jahitan jika ada satu tempat yang mengalami infeksi sehingga tidak mengganggu jahitan lainnya.Interrupted suture bisa berbentuk jahitan simple, atau subkutikuler, matras vertikal ataupun matras horizontalPenjahitan dianjurkan dimulai di tengah dan dilanjutkan setiap pertengahan dari insisi yang tersisa.Keuntungan: Mudah Kekuatan jahitan besar Kecil kemungkinan menjerat sistem sirkulasi sehingga mengurangi edema Mudah untuk mengatur tepi-tepi lukaKerugian: Lama Bekas jahitan lebih terlihat

Continuous Suture / Running StitchesAdalah suatu serial jahitan yang dibuat dengan menggunakan benang tanpa putus antara jahitan sebelum dan sesudahnya. Untaian benang dapat diikat pada setiap ujung jahitan. Cara ini dapat dilakukan dengan cepat, kekuatan tegangan seluruh jahitan sepanjang luka hamper sama. Tarikan yang terlalu kuat harus dihindari untuk mencegah putusnya jahitan yang akan merusak semua jahitan. Biasanya digunakan diperitoneum atau fascia dinding abdomen. Untuk luka infeksi tidak dianjurkan menggunakan teknik ini. Kerugiannya, jika satu jahitan longgar maka akan berpengaruh terhadap jahitan sebelum atau sesudahnya.Syarat : Harus dengan asisten yang tugasnya hanya melepas & memegang benang, BUKAN mengencangkan jahitan. Selama penjahitan benang tidak boleh kendor. Jarum diambil siap pakai (Midposisi)Keuntungan Cepat Sedikit simpulKerugian Jahitan menjadi mudah longgar jika satu jahitan saja tidak kuat Sulit mengoreksi jika terjadi infeksi Pengangkatan harus sekaligus, tidak bisa per area(misalnya jika di area tertentu ada pus)

IV. REFLEKSI KASUS Pada kontrol hari ke- 4 terdapat 2 jahitan lepas ini disebabkan karena prinsip jahitan tidak terpenuhi seperti: Kuat dan tidak mudah lepas,Ikatan sekecil mungkin, ujung dipotong secukupnya.Tidak boleh ada gesekan antara untaian benang yang akan melemahkan jahitanTidak boleh ada kerusakan materi jahitan (tidak boleh menjepit benang dengan instrumen)Tidak boleh terdapat tarikan yang berlebihanPertahankan tarikan pada satu ujung benang setelah ikatan pertama supaya lilitan tidak longgar pada jahitan kontinu

V.DAFTAR PUSTAKA1. Archer, W. H. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Vol. I. Philadelphia: Saunders, 1975: 135, 179-187.2. Birn, H. and Winther, J. E. Manual of Minor Oral Surgery A Step by Step Atlas. 1st ed. Philadelphia: Saunders, 1975: 109- 115.3. Guernsey, L. H. Preprosthetic Surgery. In: Kruger, G. O., editor. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. St. Louis: Mosby, 1979: 111.4. Indresano, A. T. and Laskin, D. M. Procedures to Improve the Bony Alveolar Ridge. In: Laskin, D. M., editor. Oral and Maxillofacial Surgery. St. Louis: Mosby, 1985: 293-305.