peranan uterotonika untuk mengatasi perdarahan … uterotonika untuk... · fakultas kedokteran ugm...

18
1 Peranan Uterotonika untuk Mengatasi Perdarahan Pascasalin H. Risanto Siswosudarmo Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UGM – RS Dr.Sardjito Yogyakarta Pendahuluan Perdarahan pascasalin adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Secara umum WHO mendefinisikan perdarahan pascasalin sebagai perdarahan yang melebihi 500 ml dalam 24 jam setelah bayi lahir. 1 Perdarahan pascasalin dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama pelepasan plasenta atau setelah plasenta lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum dan selama plasenta lahir lebih dikenal sebagai perdarahan kala III dan perdarahan setelah plasenta lahir sebagai perdarahan kala IV. Perdarahan yang terjadi dalam kala IV sering disebut disebut juga perdarahan pascasalin segera (immediate postpartum bleeding). 2 Berdasarkan waktu kejadiannya perdarahan pascasalin dibagi dua yakni perdarahan pascasalin dini (terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir) dan perdarahan pascasalin lanjut (terjadi setelah 24 jam setelah bayi lahir). 2 WHO memperkirakan sebanyak 150.000 wanita meninggal setiap tahunnya karena perdarahan saat melahirkan dan 150.000 wanita mati setiap harinya karena perdarahan pascasalin. Dari jumlah tersebut 99% terjadi di negara berkembang. Di Inggris hanya 1 dari 100.000 ibu melahirkan terancam mati sedang di negara berkembang lebih daripada 1 per 100.000. 3 Di Indonesia perdarahan pascasalin masih merupakan penyebab utama kematian maternal. Audit kematian ibu di propinsi DIY tahun 2009 menunjukkan bahwa perdarahan pascasalin masih merupakan penyebab utama kematian ibu yakni 32% dari angka kematian maternal sebesar 109/100.000 kelahiran hidup. 4 Penyebab utama perdarahan pascasalin dini adalah atoni uterin, suatu keadaan di mana uterus tidak bisa berkontraksi setelah plasenta lahir. Penelitian di RS Sarjito dan RS Afiliasi menunjukkan bahwa atoni uterin merupakan penyebab utama perdarahan pascasalin. 5

Upload: tranlien

Post on 19-Jul-2018

249 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

1

Peranan Uterotonika untuk Mengatasi Perdarahan Pascasalin

H. Risanto Siswosudarmo Bagian Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran UGM – RS Dr.Sardjito Yogyakarta

Pendahuluan

Perdarahan pascasalin adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang

melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan

mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan

gangguan homeostasis. Secara umum WHO mendefinisikan perdarahan pascasalin

sebagai perdarahan yang melebihi 500 ml dalam 24 jam setelah bayi lahir.1

Perdarahan pascasalin dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama pelepasan

plasenta atau setelah plasenta lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum dan selama

plasenta lahir lebih dikenal sebagai perdarahan kala III dan perdarahan setelah

plasenta lahir sebagai perdarahan kala IV. Perdarahan yang terjadi dalam kala IV

sering disebut disebut juga perdarahan pascasalin segera (immediate postpartum

bleeding).2 Berdasarkan waktu kejadiannya perdarahan pascasalin dibagi dua yakni

perdarahan pascasalin dini (terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir) dan

perdarahan pascasalin lanjut (terjadi setelah 24 jam setelah bayi lahir).2

WHO memperkirakan sebanyak 150.000 wanita meninggal setiap tahunnya

karena perdarahan saat melahirkan dan 150.000 wanita mati setiap harinya karena

perdarahan pascasalin. Dari jumlah tersebut 99% terjadi di negara berkembang. Di

Inggris hanya 1 dari 100.000 ibu melahirkan terancam mati sedang di negara

berkembang lebih daripada 1 per 100.000.3

Di Indonesia perdarahan pascasalin masih merupakan penyebab utama

kematian maternal. Audit kematian ibu di propinsi DIY tahun 2009 menunjukkan

bahwa perdarahan pascasalin masih merupakan penyebab utama kematian ibu

yakni 32% dari angka kematian maternal sebesar 109/100.000 kelahiran hidup.4

Penyebab utama perdarahan pascasalin dini adalah atoni uterin, suatu keadaan di

mana uterus tidak bisa berkontraksi setelah plasenta lahir. Penelitian di RS Sarjito

dan RS Afiliasi menunjukkan bahwa atoni uterin merupakan penyebab utama

perdarahan pascasalin.5

2

Tulisan ini secara khusus bertujuan membahas peranan uterotonika yakni

oksitosin, metil ergonovin dan misoprostol dalam pencegahan dan penanganan

perdarahan pascasalin dini karena atoni uterin.

Insidensi dan faktor risiko Insdidensi perdarahan pascasalin sangat bervariasi. Di RS Sarjito pada pada

tahun 2009 tercatat 18% tetapi bersama dengan seluruh RS Afiliasi menjadi 1,6%5.

Angka ini relatif lebih kecil daripada yang disebutkan dalam kepustakaan yakni

antara 3,9% untuk persalinan vaginal dan 6% sampai 8% untuk persalinan secara

seksio sesarea.2. Bahkan Peneliti lain mendapatkan angka antara 5 sampai 15%.6

Perbedaan ini disebabkan cara pengukuran jumlah darah yang keluar, sehingga

cenderung menjadi underestimate.

Meskipun pendekatan risiko kadang dipertanyakan, tetapi dengan

mengetahui faktor risiko setidak-tidaknya mendorong petugas untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya perdarahan. Tabel berikut menunjukkan beberapa faktor

risiko terjadinya perdarahan pascasalin.6 (Tabel 1)

Tabel 1. Faktor risiko teradinya atoni uterin (Dikutip dari Ramanathan, and

Arulkumaran.6)

Process Etiology Risk factors Tone

1. Uterus over-distension

2. Uterine muscle fatigue

3. Uterine infection or chorioamnionitis

4. Uterine distortion or abnormality

5. Uterine relaxing drugs

a. Multiple pregnancy b. Macrosomia c. Polyhydramnios d. Severe hydrocephalus

a. Prolonged or precipitate labor, especially if

stimulated b. High parity (20-fold increased risk) c. Previous pregnancy with PPH a. Prolonged PROM b. Fever a. Fibroid uterus b. Placenta previa a. Anaesthetic drugs b. Nifedipine c. NSAIDs d. Betamimetics e. MgSO4

3

Dari faktor risiko di atas umur tua dan paritas tinggi (grandemulti gravida)

merupakan faktor risiko utama dengan risiko relatif mencapai 20 kali, meskipun

penelitian lain tidak mendukung. Beberapa faktor risiko lain menunjukkan besarnya

odds ratio kejadian perdarahan pascasalin.7 (Tabel 2)

Tabel 2. Faktor risiko perdarahan pascasalin (Dikutip dari Maughan et al.7)

Tanda dan Gejala Tanda paling utama adalah keluarnya darah yang berlebihan setelah bayi

lahir atau setelah plasenta lahir. Menghitung jumlah darah yang keluar pada saat

persalinan tidak mudah sehingga jumlah darah yang keluar biasanya berdasarkan

perkiraan dengan melihat seberapa basah kain yang dipakai sebagai alas,

bagaimana darah mengalir dan berapa lama darah tetap mengalir. Keterlambatan

dalam menentukan banyaknya darah yang keluar dan penanganannya bisa

menimbulkan masalah yang serius.

4

Atoni uterin harus dicurigai bila teradi perdarahan segera setelah plasenta

lahir dan kontraksi uterus tetap lembek meskipun tindakan seperti masase rahim dan

beberapa obat oksitosika telah diberikan. Shock hemoragik terjadi bila perdarahan

terus berlangsung sampai menggangu perfusi organ vital. Tanda dan gejala shock

hemoragik bervariasi tergantung pada jumlah dan kecepatan darah yang

hilang.8(Tabel 3) Tabel 3. Tanda, gejala dan klasifikasi shock hemoragik (Dikutip dari Schuurmans et

al.8)

Penanganan Tujuan utama penanganan perdarahan pascasalin ada tiga yakni

pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi shock. Pendekatan risiko,

meskipun menimbulkan kontroversi tetap masih mendapatkan tempat untuk

diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan faktor risiko tinggi terjadinya perdarahan

pascasalin sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan yang mempunyai unit

transfusi dan perawatan intensif.

Secara skematik, alur penanganan perdarahan pascasalin dapat

digambarkan dengan skema sebagai berikut:9

5

Gambar 1. Alur penanganan perdarahan pascasalin (Dikutip dari Anderson and Ethes9)

Penanganan kala tiga. Ada dua cara pendekatan penanganan kala tiga,

yakni secara expectant dan aktif. Pada dasarnya penanganan secara expectant

dikerjakan tanpa intervensi apa-apa. Plasenta dibiarkan lepas karena gravitasi dan

dan hejan ibu, tali pusat diklem setelah plasenta lahir dan tidak diberikan oksitosin.10

6

Penangan aktif kala tiga (PAKT) merupakan strategi pencegahan. Setiap

ibu melahirkan harus mendapatkan penanganan aktif kala tiga (active management

of the third stage). PAKT adalah sebuah tindakan (intervensi) yang bertujuan

mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus sehingga

menurunkan kejadian perdarahan pascasalin karena atoni uteri. Tindakan ini

meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian uterotonika, (2) tarikan tali pusat

terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir. Oksitosin 10 unit disuntikan

secara intramuskular segera setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Tarikan

tali pusat secara terkendali (tidak terlalu kuat) dilakukan pada saat uterus

berkontraksi kuat sambil ibu diminta mengejan. Jangan lupa melakukan counter-

pressure terhadap uterus untuk menghidari inversi. Never apply cord traction

(pull) without applying counter traction (push) above the pubic bone on a well-

contracted uterus. Komponen ketiga adalah melakukan masase fundus uteri

segera setelah plasenta lahir sampai uterus berkontraksi kuat. Palpasi uterus

dilakukan setiap 15 menit dan untuk meyakinkan bahwa uterus tidak lembek setelah

masase berhenti.11 Penggantian cairan. Langkah penting yang harus segera diambil adalah

koreksi hipovolemia (resusitasi cairan). Kelambatan atau ketidak sesuaian dalam

memberikan koreksi hipovolemia merupakan awal kegagalan mengatasi kematian

akibat perdarahan pascasalin. Meskipun pada perdarahan kedua komponen darah

yaitu plasma dan sel darah hilang, tetapi penanganan pertama untuk menjaga

homeostasis tubuh dan mempertahankan perfusi jaringan adalah pemberian cairan.6

Begitu perdarahan pascasalin terindikasi, intravenous line harus segera

dipasang dengan venocatheter berdiameter besar, misal no 18 atau 16. Cairan

pertama yang harus diberikan adalah larutan kristaloid. Kristaloid adalah cairan yang

selalu tersedia, murah dan bebas efek samping. Kelemahannya adalah cairan ini

cepat dikeluarkan dari ruang intravaskuar, sehingga harus diberikan dalam jumlah

yang cukup banyak, dengan perbandingan 3:1 atau bahkan lebih terhadap estimasi

darah yang hilang.12 Ringer laktat lebih baik dibanding salin normal karena karena

pemberian larutan salin normal yang berlebihan akan berakibat asidosis

hiperkloremik.12 Dextran tidak boleh diberikan karena mengganggu agregasi platelet,

sementara dosis maksimal untuk larutan koloid adalah 1500 ml per 24 jam.6 Oksigen

harus diberikan dengan kecepatan cukup, 10-15 l/menit, kalau perlu dengan positive

ventilatory pressures bila fungsi paru menurun.12

7

Uterotonika. Selama kala tiga, miometrium berkontraksi menyebabkan

konstriksi pembuluh darah yang berjalan di dalam miometrium juga yang menuju ke

perlekatan plasenta sehingga aliran darah berhenti. Kerja ini juga menyebabkan

plasenta terlepas dari perlekatannya di dinding uterus. Dengan tidak adanya

kontraksi miometrium, yang secara klinis dikenal sebagai atoni uterin, dapat

mengakibatkan perdarahan yang hebat. Uterotonika memacu kontraksi otot uterus

untuk mencegah atoni dan mempercepat lepasnya plasenta. Yang termasuk dalam

uterotonika adalah oksitosin, metilergonovin, misoprostol dan karbetosin, sebuah

agonis oksitosin.13

Oksitosin merupakan oksitosika utama yang dipakai dalam pencegahan dan

penanganan perdarahan pascasalin, diberikan pada saat penanganan aktif kala tiga

sebagai sebuah tindakan preventif.11 Oksitosin mengungguli uterotoika lainnya

karena efeknya yang sangat cepat yakni 2 sampai 3 menit setelah suntikan

intramuskular, hanya mempunyai efek samping minimal dan dapat dipakai oleh

hampir setiap perempuan.11

Jika perdarahan tetap berlangsung dan uterus menjadi atonik, pemberian

cairan cepat harus segera diberikan. Oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan sodium

klorida normal diinfuskan dengan kecepatan 500 ml/10 menit.12 Untuk

mempertahankan kontraksi uterus oksitosin 40 unit dalam 500 ml larutan kristaloid

diberikan dengan kecepatan 125ml/jam.6

Keseimbangan cairan masuk dan keluar harus diperhatikan agar tidak terjadi

overload cairan yang bisa mengakibatkan edema paru dan otak yang bisa

mengakibat kejang dan bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan karena oksitosin

bersifat antidiuretik sehingga menyebabkan retensi cairan dalam tubuh.6 Kateter urin

harus dipasang untuk memonitor fungsi ginjal. Volume urin sebesar 1 ml/kg berat

badan per jam atau sekurang-kurangnya 30 ml/jam bisa dipakai sebagai alat monitor

bahwa resusitasi cairan berhasil.12

Agar resusitasi cairan berjalan aman, pengukuran tekanan vena sentral perlu

dilakukan. Tekanan vena sentral normal adalah 5 mmHg (range 0-8 mmHg).

Tekanan yang meningkat terlihat pada cairan yang berlebihan, gagal ventrikel

kanan,atau emboli paru. Tekanan vena sentral yang rendah menunjukkan shock

hipovolemia yang belum terkoreksi.12

Pada saat yang sama harus dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan

kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya robekan jalan lahir atau retensi sisa

8

plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara mengatasi shock (“ABC’s”) dengan

memberikan oksigen dengan masker dan monitoring tanda vital. Monitoring saturasi

oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan rutin, golongan

darah dan skrining koagulasi. Ada baiknya dokter menahan darah dalam tabung

reaksi untuk observasi berapa lama darah menjendal. Kegagalan menjendal dalam

8-10 menit menunjukkan adanya gangguan pembekuan darah.8 Metilergonovin maleat atau ergometrin adalah alkaloida ergot yang

menghasilkan kontraksi tetanik dalam 5 menit setelah pemberian intramuskular.

Dosisnya adalah 0,25 mg yang dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis maksimal 1,25 mg. Obat ini juga bisa diberikan secara intramiometrial atau intrvena

dengan dosis 0,125 mg. Obat ini menyebabkan vasospasme perifer dan dapat

mengakibatkan kenaikan tekanan darah sehingga metilergonovin tidak boleh

diberikan pada pasien hipertensi. Obat ini juga dapat menyebabkan rasa mual dan

muntah.8

Society of Obstetricians and Gynecologist of Canada (SOGC) Clinical

Practice Guidline merekomendaskan pemakaian oksitosin dan metilergonovin

sebagai berikut.8 (Tabel 5)

Tabel 4. Penggunaan oksitosika (dikutip dari Schuurmans et al.8)

9

Misoprostol. Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang pertama kali

diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat ukus peptikum.

Sekarang misoprostol banyak digunakan dalam praktek obstetrik karena sifatnya

yang bisa memacu kontraksi miometrium yakni sebagai obat induksi persalinan dan

uterotonika penting untuk mengatasi perdarahan pascasalin karena atoni uteri.

Misoprostol lebih unggul dibanding prostaglandin lain seperti PG E2 atau PG F2α

karena sifatnya yang stabil pada temperatur kamar, murah dan mudah

penggunaannya.14 Misoprostol rektal dengan dosis tinggi (1000 µg) terbukti efektif menghentikan

perdarahan pascasalin yang membandel (refractory). Dari 14 pasien perdarahan

pascasalin yang tidak tidak respons terhadap oksitosin dan metilergonovin dan

mendapat 1000 µg misoprostol, pada semuanya perdarahan berhenti dalam 3 menit

dan tidak memerulkan oksitosika tambahan lagi. Dosis yang lebih tinggi, 6500 µg

pernah diberikan kepada 4 pasien yang tidak respons dengan uterotonika standard

dan memperoleh respons yang cepat. Hasil penelitian ini memang dipertanyakan

karena tidak ada kontrolnya.15

Dalam sebuah systematic reviev yang melibatkan 37 penelitian misoprostol

dan 9 prostaglandin suntikan dengan jumlah subyek 42.621 wanita menghasilkan

bukti sebagai berikut: Misoprostol oral dengan dosis 600 µg (7 penelitian, 2849

wanita) dan sublingual (satu penelitian, 661 wanita) memberikan nilai RR dan 95%

confidence interval 0.66 (0.45-0.98) dibanding plasebo dalam menekan kejadian

perdarahan pascasalin hebat (>1000 ml). Lima penelitian misoprostol oral (3519

wanita) menurunkan kebutuhan transfusi darah sebanyak 3 kali ( RR 0.31; 95%CI

0,10-0,94). Meskipun demikian misoprostol memberikan efek samping yang cukup

signifikan berupa menggigil (shivering) dan kenaikan suhu (pyrexia) sampai 38º

Celsius.15 Bila misoprostol dibandingkan dengan oksitosika injeksi terlihat bahwa

oksitosika injeksi lebih baik dalam mencegah kejadian perdarahan pascasalin

banyak (>1000 ml) dengan RR 1.36 (1.17,-1.58). Tidak ada perbedaan antara

pemakaian misoprostol dibanding dengan oksitoska injeksi dalam kejadian kala III

lama (>30 menit), plasenta manual maupun kebutuhan transfusi darah, bahkan

untuk lama kala III, oksitosika injeksi lebih pendek dibanding misoprostol.15 Studi

WHO tahun 2001 juga menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian kematian

10

maternal antara kedua kelompok, yakni 2 dari 9264 pada kelompok misoprostol

dibanding 2 dari 9266 pada kelompok oksitiosika injeksi.16

Sebuah meta-analisis yang membandingkan dosis misoprostol untuk

pencegahan perdarahan kala tiga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang

bermakna antara dosis 600 µg dengn 400 µg. Bila dibandingkan dengan oksitosin,

risiko relatifnya adalah 0,93 (95% CI 0,60-1,45).17 (Gambar 2). Sementara itu

misoprostol 600 µg memberikan efek samping yang lebih besar ketimbang

misoprostol 400 µg terutama dalam timbulnya pireksia (temperatur tubuh > 380C). 17

(Gambar 3).

Gambar 2. Meta-analisis misoprostol 600 µg, 400 µg dibandingkan dengan uterotonika lain dan plasebo (Dikutip dari Hofmeyr et al.17)

Sebuah Cohrane data review menunjukkan bahwa oksitosin 10 unit yang

diberikan baik secara intramuskular maupun intravena tetap lebih superior

dibandingkan dengan misoprostol obat pencegahan perdarahan pascasalin dan

harus menjadi pilihan pertama. Oksitosin yang disimpan di bawah 300C selama satu

tahun masih memiliki lebih dari 85% bahan aktif. Jika oksitosin tidak tersdia,

misoprostol menjadi pilihan kedua dengan dosis 600 µg, diberikan secara oral atau

sublingual.18

11

Gambar 3. Meta-analisis misoprostol 600 µg, 400 µg dibandingkan dengan uterotonika lain dan plasebo (Dikutip dari Hofmeyr et al.17)

Karbetosin. Karbetosin adalah a long-acting synthetic analogue oxytocin

yang mempunyai aktivitas uterotonik 4 kali lebih lama dibanding oksitosin tetapi

kekuatannya hanya sepersepuluhnya. Pada wanita tidak hamil half life nya kurang

lebih 40 menit sementara oksitosin adalah 10 menit.19

Tabel 5. Karakteristik karbetosin dibanding oksitosin (Dikutip dari Dongen at al.19)

Sebuah penelitian yang membandingkan karbetosin dengan kombinasi

oksitosin plus ergometrin menunjukkan hasil yang sangat memuaskan di mana risiko

perdarahan lebih dari 500 ml adalah 0,49 kali dan risiko perdarahan lebih dari 1000

ml adalah 0,12 kali, 20 meskipun penelitian lain tidak mendukung (Tabel 6).

12

Tabel 6. Perdarahan pascasalin pada pemberian karbetosin vs kobminasi oksitosin dan ergomtrin (Dikutip dari Ngan et al.20).

Dalam sebuah review Rath21 menunjukkan bahwa dalam beberapa hal

karbetosin memang lebih superior dibanding oksitosin meskipun perbedaan tersebut

tidak terlalu bermakna (Tabel 7).

Tabel 7. Perbandingan karbetosin vs oksitosin (Dikutip dari Rath21)

Sementara itu pemakaian 100 µg karbetosin pada seksio sesarea dapat

menurunkan pemberian oksitosin tambahan sampai 2 kali lebih kecil dibanding

oksitosin standard yakni dari 10,1% pada pemberian oksitosin standard menjadi

4,7% pada pemberian karbetosin (P <0.05), meskipun tidak terbukti pada persalinan

vaginal.22

13

Data dari Cohrane review23 menunjukkan bahwa karbetosin 100 µg bolus

intravena dibanding oksitosin memberikan hasil sebagai berikut:

1) menurunkan pemberian oksitosin tambahan pada kelompok seksio sesarea (RR

0,44; 95% CI 0,25-0,78), tetapi tidak pada persalinan vaginal (RR 0.93; 95% CI

0.44-1.94),

2) mengakibatkan jumlah darah yang keluar lebih sedikit pada kelompok seksio

sesarea tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (beda mean -

29 ml; 95%CI -83.18-25.18), dan tidak ada perbedaan pada kelompok

persalinan vaginal (beda mean 3.30, 95% CI -57.40-64.00).

3) tidak memberikan perbedaan bermakna dalam kejadian efek samping yang

berupa: sakit kepala, menggigil, nyeri perut, gatal, pusing kepala, tremor, mual,

muntah, rasa panas, berkeringat, sesak nafas baik pada kelompok seksio

sesarea maupun vaginal.

Rekomendasi Berdasarkan bukti yang telah direview, Penulis mengutip sebagian

rekomendasi penanganan perdarahan pascasalin yang dibuat oleh The SOGC

Clinical Practise Guidline Royal12 dan The Royal College of Obstetricians and

Gynecologist24 sebagai berikut:

1. Penanganan aktif kala tiga mengurangi jumlah perdarahan pascasalin dan

menurunkan kejadian perdarahan pascasalin. (I-A)

2. Oksitosika profilaktik sebaiknya diberikan pada semua perempuan sebagai

bagian dari penanganan aktif kala tiga, karena dapar menurunkan kejadian

perdarahan pascasalin sebesar 60%. (I-A)

3. Untuk parturien tanpa faktor risiko perdarahan pascasalin yang melahirkan

secara vaginal, pemberian oksitosin 5 iu atau 10 iu secara intramuskupar

adalah cara pilihan untuk pencegahan perdarahan pascasalin. (I- A)

4. Infus oksitosin (20 atau 40 unit dalam 1000 ml larutan kristaloid, kecepatan

150 ml per jam) dapat dipakai sebagai alternatif PAKT (I-B)

5. Ergonovin, 0,2 mg im dan misoprostol, 600 sampai 800 μg yang diberikan

secara oral, sublingual atau rektal dapat dipakai sebagi alternatif pada

persalinan vaginal bila oksitosi tidak tersedia (II-B)

14

6. Untuk perempuan yang melahirkan secara seksio sesarea, pemberian

oksitosin 5 iu secara intrvena pelan harus dikerjakan untuk menjamin

kontraksi uterus sehingga mengurangi darah yang hilang. (C)

7. Misoprostol tidak seefektif oksitosin dan hanya dipakai bila oksitosin tidak

tersedia, misal pada persalinan yang dikerjakan di rumah. (C)

8. Sekali perdarahan pasca salin teridentifikasi, penanganannya harus

melibatkan empat komponen yang dikerjakan secara simultan: komunikasi,

resusitasi, pengawasan dan investigasi, dan menghentikan perdarahan. (C)

9. Estimasi jumlah darah yang keluar harus lebih didasarkan pada gejala klinis

yang ada dan bukan pada jumlahdarah yang terlihat (III-B)

10. Berdasar kesepakatan, volume total sebanyak 3.5 liter larutan (2 liter larutan

Hartmann’s yang hangat digrojog, diikuti dengan 1.5 liter koloid jika darah

belum tersedia) harus segera diberikan sambil menunggu darah. (C)

11. Jika atoni uterin terbukti sebagai penyebab perdarahan, tindakan berikut ini

harus dikerjakan secara berurutan sampai perdarahan berhenti: (B)

a. Kompresi uterus bimanual (menggosok fundus) untuk memacu

kontraksi.

b. Pasang kateter tinggal untuk memantau keluarnya urin.

c. Oksitosin 5 units secara intravena pelan (dapat diulang).

d. Ergometrine 0.5 mg secara intravena pelan atau intramuskular

e. Okstosin per infus (40 units dalam 500 ml larutan Hartman dengan

kecepatan 125 ml/jam).

f. Misoprostol 1000 µg secara rektal.

12. Jika semua tindakan di atas gagal segera mengambil tindakan pembedahan.

Ringkasan:

1. Perdarahan pascasalin sering bersifat akut, dramatik, underestimated dan

merupakan sebab utama kematian maternal.

2. Penanganan aktif kala III persalinan merupakan tindakan preventif yang harus

diterapkan pada setiap persalinan.

3. Oksitosin (10 unit im) merupakan obat pilihan pertama untuk pencegahan

perdarahan pascasalin, sedang ergometrin dan misoprostol merupakan obat

lini kedua.

15

4. Penanganan perdarahan pascasalin ditujukan pada 3 hal yakni pencegahan,

penghentian perdarahan dan mengatasi shock.

5. Oksitosin dan metilergonovin merupakan obat lini pertama baik dalam upaya

pencegahan maupun pengobatan.

6. Misoprostol dengan dosis 600-1000 µg dapat dipakai bila obat lini pertama

gagal.

7. Restorasi cairan melalui dua jalur infus dengan venokateter ukuran besar (16-

18) adalah tindakan pertama mengatasi shock hemoragik. Larutan kristaloid

sebanyak 3 kali estimasi jumlah darah yang hilang dapat mempertahankan

perfusi jaringan. Oksigen 10-15 ml/menit diberikan dengan kanula nasal.

8. Keluarnya urin 30-60 ml/jam merupakan tanda resusitasi cairan berhasil

9. Jika tindakan medis gagal maka tindaka operatif harus segera dilakukan.

Kepustakaan

1. Royston E, Armstrong S. Preventing maternal deaths. Geneva: World Health Organization, 1989.

2. Cuningham FG, Mc Donald PC, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GDV, Clark SL. William Obstetrics 21st ed. Connecticut: Appleton and Lange. 2001

3. Postpartum hemorrhage: A challenge for safe motherhood. Family Care International, Inc. and Gynuity Health Projects, 2006

4. Siswosudarmo R. Audit kematian maternal provinsi DIY Tahun 2009. Naskah Pertemuan Ilmiah Obstetri Ginekologi Sosial III. Denpasar, Bali. 2010.

5. Siswosudarmo R. Pengaruh keterlambatan terhadap kejadian miss dan near-miss cases. Thesis Obstetri dan Ginekologi Sosial. Bagaian Obstetri dan Gineklogi, Fakultas Kedoteran UGM Yogyakarta, 2009.

6. Ramanathan, G and Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can 2006;28(11):967–973

7. Maughan KL, Heim SW, Galazka SS. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of Labor. Am Fam Physician 2006;73:1025-8.

8. Schuurmans N, MacKinnon C, Lane C, and Etches D. SOGC Clinical Practice Guidline. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(4):271-81

9. Anderson JM and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam Physician 2007;75:875-82

10. Hyre A. Evidence-based Care: Preventing Postpartum Hemorrhage. 7thICM Asia Pacific Regional Conference 26 November 2003.

11. Anonym. Management of the third stage of labor to prevent postpartum hemorrhage. International Joint Policy Statement of the International Confederation of Midwives (ICM) and the International Federation of Gynecology and Obstetrics. J Obstet Gynaecol Can 2003;25(11):952–3.

12. Martel MJ and Saskatoon SK. Hemoragic shock. SOGC Clinical Practice Guidline No. 115, June 2002. J Obstet Gynaecol Can 2002;24(6):504-11.

16

13. Leduc D, Senikas V and Lalonde AB. Active management of the third stage of labour: Prevention and treatment of postpartum hemorrhage. No. 235 October 2009. International Journal of Gynecology and Obstetrics 108 (2010) 258–267

14. Goldberg AB, Greenberg MB, and Darney PD. Misoprostol and Pregnancy. N Engl J Med 2001; 344 (1): 38-45.

15. Selo-Ojeme. Primary postpartum hemorrhage Journal of Obstetrics and Gynaecology 2002; Vol. 22, No. 5, 463–469

16. Gülmezoglu AM, Villar J, Ngoc NTN et.al. WHO Multicentre Randoimzed Trial of Misoprostol in the Management of the Third Stage of Labor. Lancet 2001;358:689-95.

17. Hofmeyr GJ, Gülmezoglu AM, Novikova N, Linder V, Ferreira S, Piaggio G. Misoprostol to prevent and treat postpartum haemorrhage: a systematic review and meta-analysis of maternal deaths and dose-related effects. Bull World Health Organ 2009;87:666–677

18. Gülmezoglu AM, Forna F, Villar J,Hofmeyr GJ. Prostaglandins for preventing postpartum haemorrhage. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007, Issue 3. Art. No.: CD000494. DOI: 10.1002/14651858.CD000494.pub3

19. Dongen PWJ, Verbruggen MM, Groot ANJA, Roosmalen VJ, Sporken JMJ, Schulz MM. Ascending dose tolerance study of intramuscular carbetocin administered after normal vaginal birth. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 77 (1998) 181–187

20. Ngan L, KeongW, Martins R. Carbetocin versus a combination of oxytocin and ergometrine in control of postpartum blood loss. Int J Gynecol Obstet 2007;97:152–3.

21. Rath W. Prevention of postpartum haemorrhage with the oxytocin analogue carbetocin. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 147 (2009) 15–20

22. Dansereau J, Joshi AK, Helewa ME, Doran TA, Lange IR, Luther ER, Farine D. Double-blind comparison of carbetocin versus oxytocin in preventing uterine atony post cesarean section. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 147 (2009) 15–20 P. Griffin,

23. Su LL, Chong YS, Samuel M. Oxytocin agonists for preventing postpartum haemorrhage. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007, Issue 3. Art. No.: CD005457. DOI: 10.1002/14651858.CD005457.pub2

24. Royal College of Obstetricians and Gynecologists. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Green-top Guideline No. 52 May 2009

uterine atony post cesarean W. Wassenaar

17

Lampiran 1.

Klasifikasi evidence level dan derajat rekomendasi menurut SOGC12

18

Lampiran 2.

Klasifikasi evidence level dan derajat rekomendasi menurut RCOG24