peran politik aik iii s5

21
Memahami Peran Politik Muhammadiyah dalam Kancah Perpolitikan Indonesia AIK-III ( Kemuhammadiyahan ) Profesor Dr. Ishomuddin, M.Si

Upload: rusmin-pati

Post on 27-Oct-2015

99 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Peran Politik Aik III S5

TRANSCRIPT

Memahami Peran Politik Muhammadiyah dalam

Kancah Perpolitikan Indonesia

AIK-III( Kemuhammadiyahan )

Profesor Dr. Ishomuddin, M.Si

Tidak seperti halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang tidak pernah terlibat langsung dengan politik praktis. Kalau NU pernah menjadi partai politik yakni Partai NU (1955), maka Muhammadiyah tidak pernah mengalaminya, kecuali empat model "pernikahan" dengan parpol.

Persyarikatan yang didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriah itu pernah melakukan "pernikahan resmi" dengan parpol ketika menjadi anggota istimewa dari Masyumi.

Namun, gerakan Islam modernis yang didirikan KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis itu juga pernah melakukan "pernikahan siri" dengan parpol ketika pendirian Parmusi (Tanwir Ponorogo).

Selain itu, Muhammadiyah pernah melakukan "nikah mut`ah (kontrak)" ketika sebagian pengurusnya terlibat dalam pendirian PAN, tapi akhirnya ditinggalkan parpol bentukan Amien Rais itu.

Model paling akhir justru bukan "pernikahan", melainkan "perceraian" organisasi pemurnian dan pembaruan Islam itu dengan parpol sebagaimana dirumuskan dalam Tanwir Denpasar (2001).

Relasi Muhammadiyah dengan parpol itu sebenarnya sudah cukup jelas, karena Muhammadiyah secara historis tidak boleh berpolitik praktis. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah itu mencakup seluruh bidang kehidupan, termasuk politik.

Politik dan partai politik itu berbeda. Sejak sidang tanwir di Denpasar pada tahun 2001, Muhammadiyah bertekad mengintensifkan politik kebangsaan, sehingga Muhammadiyah tetap terlibat dalam politik.

Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur".Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.

Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.

Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.

Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara. Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar.

4. Tahun 1942-1945, Muhammadiyah bersama dengan oraganisasi-organisai Islam mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia Indonesia (MIAI) dan Muhammadiyah sebagai organisasi tetap tidak merupakan bagian dari majelis ini.

5. Tahun 1945-1960, Pada tahun 1945 MIAI akhirnya berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Muhammadiyah sebagai anggota istimewa dan dinyatakan sebagi bagian structural dari partai itu. Pada tahun 1950, Muhammadiyah tidak algi menjadi anggota istimewa Masyumi.

6. Tahun 1960-1965, Muhammadiyah dalam posisi yang sulit sebab situasi politik kenegaraan yang semakin panas, dan dominasi kekuatan komunis sangat menetukan.

7. Tahun 1965-1971, Muhammadiyah dinyatakan oleh pemerintah sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) yang berfungsi politik riel. Artinya Muhammadiyah berhak mempunyai wakil-wakil dalam legislatife. Pada periode ini ada usaha dari orang Islam yang aspirasi politiknya belum tertampung dalam partai politik yang ada, akhirnya menetapkan membentuk Partai Muslimin Indonesia meskipun Muhammadiyah masih tetap memliki independensinya.

8. Tahun 1971- Sekarang, Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittah (garis) perjuangannya dengan Da’wah Amar Ma’rif Nahi Munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan baik secara teritis konseptual, secara operasional, secara riel bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesiayang berpancasila dan UUD 1945, menjadi masyarakat yang adil makmur serta sejahtera.

Dua Khitah Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar sama-sama menegaskan netralitas Muhammadiyah terhadap kekuatan politik mana pun. Hanya yang membedakan, sebagai ”khitah transisi”, Khitah Ujung Pandang masih belum bisa membebaskan diri dari kungkungan Khitah Ponorogo 1969 yang nuansa politiknya begitu kuat,sehingga masih menyebut kata Parmusi:”Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam setelah Pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan amar makruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Parmusi seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya” (poin 3). Bila dikaji dalam konteks zamannya, keluarnya rumusan khitah tersebut menarik untuk dikritik. Khitah Ujung Pandang misalnya, dikeluarkan selepas munculnya ”kebijakan politik” berupa Khitah Ponorogo yang begitu partisan.

Setelah menyadari bahwa selain Khitah Ponorogo tidak membawa maslahahdan bertentangan dengan jati diri Muhammadiyah, juga realitas politik saat itu yang mulai tidak kondusif lantaran negara (militer) mulai tampil serbadominan melalui Golkar dan juga pelaksanaan Pemilu 1971 yang sarat dengan kecurangan, keluarlah Khitah Ujung Pandang yang menegaskan netralitas politik Muhammadiyah. Begitu juga Khitah Denpasar diputuskan selepas Muhammadiyah melalui Tanwir Semarang 1998, memberikan rekomendasi dukungan atas berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Ketika PAN dinilai juga tidak membawa maslahah––bahkan cenderung membebani, karena Muhammadiyah selalu saja diidentikkan dan dikaitkan dengan PAN––Muhammadiyah pun mengeluarkan rumusan Khitah Denpasar.

Varian Politik Keluarnya rumusan Khitah Ponorogo, Khitah Ujung Pandang,Khitah Surabaya, Tanwir Semarang, Khitah Denpasar, dan Tanwir Mataram 2004, selain menunjukkan sikap politik Muhammadiyah yang ambigu, juga menegaskan adanya tarik menarik dan terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah. Dan bila berkaca pada doktrin mainstreamdi kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama dan negara (Islam al-dien wa al-dawlah), terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah cukup bisa dipahami.Apalagi, sejarah Muhammadiyah juga menunjukkan dominasi dalam relasinya dengan politik.

Dominasi relasi ini setidaknya tergambar dari kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Budi Utomo dan PSII. Relasi ini boleh dikatakan sebagai titik awal Muhammadiyah bersinggungan dengan politik. Ketika dikomandoi KH Mas Mansyur,wajah politik Muhammadiyah bahkan begitu dominan. KH Mas Mansyur misalnya, menjadi penggagas berdirinya Partai Islam Indonesia (PII), penggagas lahirnya MIAI dan Masyumi. Pasca-Orde Lama, ketika upaya rehabilitasi Masyumi gagal, Muhammadiyah juga menjadi penggagas lahirnya Parmusi. Sewaktu rezim Orde Baru menerapkan kebijakan depolitisasi partai politik, Muhammadiyah yang terepresentasikan lewat Parmusi (MI) memfusi ke dalam PPP.Melalui rekomendasi Tanwir Semarang 1998, Muhammadiyah juga ikut membidani lahirnya PAN. Tahun 2004 melalui Tanwir Mataram, Muhammadiyah mengeluarkan rumusan politik yang cenderung vis a vis Khitah Denpasar yang memberikan ”lampu hijau” kepada AMM untuk mengkaji kemungkinan berdirinya partai baru. Keputusan Tanwir ini kemudian disikapi dan ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB).

Peneguhan Moral Politik. Paparan di atas menggambarkan bahwa kebijakan politik Muhammadiyah tampak sangat dipengaruhi situasi praksis-politik (low politics) yang melingkupinya ketimbang idealitas politik Muhammadiyah (high politics). Dengan begitu, mengesankan tidak konsistennya sikap dan posisi politik Muhammadiyah. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah tidak seharusnya terlibat pada wilayah politik praktis.

Meski begitu, sebagai organisasi dakwah amar makruf nahi munkar, Muhammadiyah juga tidak semestinya emoh pada politik. Hanya, politik yang dimaksud adalah sebagaimana diamanatkan Khitah Denpasar poin 5 yang berwajah high politics. Atau bila berangkat dari keempat varian di atas, semestinya Muhammadiyah memosisikan diri pada varian politis-organisatoris.

Dengan mengambil posisi politisorganisatoris, ke depan sudah semestinya Muhammadiyah tidak lagi membuat putusan sejenis Khitah Ponorogo, Tanwir Semarang, dan Tanwir Makasar 2003 yang begitu partisan, termasuk Sidang Pleno 2004 yang mendukung ”kader terbaik” (Amien Rais) sebagai calon presiden atau juga surat keputusan seperti SK 149 tentang Kebijakan Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang beberapa poinnya cenderung tidak proporsional. 

Dalam SK tersebut misalnya, sampai menyebut nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski penulis cukup bisa memahami konteks keluarnya SK tersebut, penyebutan nama PKS cenderung bertentangan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Dalam SK tersebut juga ditegaskan kembali Keputusan Muktamar Muhammadiyah Malang 2005 yang ”menolak upaya-upaya untuk mendirikan partai yang memakai atau menggunakan nama atau simbolsimbol Persyarikatan Muhammadiyah”, yang juga tidak semestinya dikeluarkan menjadi ketetapan forum seperti Muktamar. Andaikan SK tersebut dibuat sebelum berdirinya PAN pada 1998 atau tidak di saat teman-teman PMB sedang menyosialisasikan partai barunya––dua partai ini sama-sama menggunakan simbol matahari––tentu tidak terlalu menjadi persoalan.Alih-alih mencoba mengambil posisi netral politik, dengan keluarnya SK tersebut, justru menunjukkan sikap keberpihakan Muhammadiyah dan cenderung tidak proporsional. Bila Muhammadiyah secara serius ingin melakukan ”pertaubatan politik” dengan tidak lagi menyeret Muhammadiyah pada wilayah politik praktis, segala sikap dan posisi politik Muhammadiyah harus sejalan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar.