peran inovasi, cultural capital dan values sebagai …

36
WP/12/2019 WORKING PAPER Solikin M. Juhro, Budi Trisnanto Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia. 2019 PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

WP/12/2019

WORKING PAPER

Solikin M. Juhro, Budi Trisnanto

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

2019

PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES

SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU

Page 2: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

2

PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES

SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU

Solikin M. Juhro and Budi Trisnanto1

ABSTRAK

Indonesia memiliki modalitas yang sangat “berlimpah” dalam bentuk cultural capital

dan values. Modalitas tersebut berpotensi menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi

Indonesia ke depan. Kekayaan budaya dan nilai-nilai budaya termasuk tingkat religiousitas

masyarakat merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas human capital. Penelitian

ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan

ekonomi Indonesia dapat dijelaskan secara lebih baik dengan menggunakan model endogenous

growth model. Selain itu, inovasi dan pembiayaan syariah merupakan faktor yang memengaruhi

dinamika pertumbuhan ekonomi meski dengan derajat yang masih kecil. Berkaitan dengan hal

tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran cultural capital dan values terhadap

pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas (inovasi). Dengan menggunakan data

panel seluruh provinsi di Indonesia, diperoleh hasil bahwa cultural capital yang didekati dengan

variabel intangible cultural capital (traditional craftsmanship) dan values yang didekati dengan

variabel jumlah pelajar sekolah islam secara statistik memberikan dampak yang signifikan

terhadap produktivitas. Sebagai catatan, caveat dari penelitian ini adalah tidak tersedianya data

survei dan indikator proxy religiousitas seperti jumlah infaq dan shodaqoh.

Key words: Pertumbuhan ekonomi, Endogenous growth, cultural capital.

JEL Classification: O3, O4, O30

1 Bank Indonesia Institute. Views expressed in this paper are of the authors and do not reflect the views of Bank

Indonesia or its Board of Governors. The authors wish to thank Ridwan Umar Hanafi for his excellent and valuable

research assistance. All errors belong to the authors.

Page 3: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

3

I. PENDAHULUAN

Tiga dekade terakhir ini merupakan periode yang sangat dinamis dan diwarnai oleh banyak

tantangan dan momen penting bagi pencapaian kinerja perekonomian Indonesia. Dalam periode

tersebut perekonomian Indonesia mengarungi dua kejadian krisis yang tergolong besar, yaitu

krisis keuangan Asia (Asian Financial Crisis/AFC) 1997/98 dan krisis keuangan global 2008/09

(Global Financial Crisis/GFC). Perekonomian Indonesia menunjukkan tingkat ketahanan

terhadap krisis yang cukup baik. Pasca krisis keuangan Asia, perekonomian Indonesia tumbuh

masih cukup kuat, bahkan di atas pertumbuhan ekonomi negara lain di kawasan. Namun,

perbaikan ekonomi Indonesia berjalan lambat sejalan dengan belum pulihnya permintaan global,

yang diperparah dengan terjadinya krisis keuangan global di 2008/09.

Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada konsumsi domestik

dengan pangsa yang semakin meningkat paska krisis keuangan global. Kegiatan konsumsi dan

investasi menjadi sumber pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Peran konsumsi domestik

terhadap PDB berkisar antara 60-70% pada periode sebelum krisis keuangan Asia. Kontribusi

konsumsi domestik kemudian meningkat menjadi paling tidak sebesar 70% pada periode setelah

krisis keuangan Asia. Perkembangan tersebut terus berlanjut pada periode setelah krisis

keuangan global 2008/09, dimana pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat ditopang oleh tingginya

konsumsi di tengah kegiatan investasi yang masih kuat. Kuatnya permintaan domestik tersebut

(demand driven) tidak terlepas dari peningkatan daya beli, cukup kondusifnya iklim investasi,

dan tetap terjaganya keyakinan konsumen terhadap prospek perekonomian ke depan. Tingginya

peran sektor domestik dan meningkatnya kontribusi investasi menggeser peran sektor eksternal

yang didorong oleh ekspor (export-led growth). Kinerja ekspor sebagai penopang perekonomian

sangat dipengaruhi oleh perkembangan pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas

internasional. Indonesia yang sangat kaya dengan minyak dan sumber daya alam (SDA) sangat

diuntungkan dengan tingginya harga komoditas internasional. Namun, sejalan dengan

perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh krisis keuangan dan juga penurunan harga

komoditas membuat peran ekspor semakin menurun sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi

Indonesia.

Dari sisi sektoral (Lapangan Usaha), selama 1993-2018, struktur perekonomian Indonesia

masih didominasi oleh Industri Pengolahan/Manufaktur dan Perdagangan. Namun, dalam

beberapa waktu terakhir laju pertumbuhan yang cukup tinggi terlihat pada sektor-sektor tersier,

seperti Transportasi dan Komunikasi, Jasa-Jasa, dan Konstruksi. Pergeseran sumber

pertumbuhan ekonomi dari sisi sektoral tersebut memiliki konsekuensi pada perkembangan

sektor eksternal yang terlihat belum begitu menggembirakan. Defisit Transaksi Berjalan (CAD)

masih cukup lebar dalam 5 tahun terakhir (di kisaran 2,3% dari PDB). Secara sekilas, kondisi

tersebut memang tidak lepas dari daya saing industri domestik yang rendah, disamping struktur

industri yang masih sangat tergantung pada impor bahan baku dan barang modal.

Ketergantungan terhadap impor yang masih tinggi menyebabkan permasalahan defisit transaksi

berjalan (TB) tidak kunjung reda. Dengan adanya “balance of payments-constrained growth”

Page 4: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

4

tersebut, apabila tidak ada langkah kebijakan yang bersifat struktural yang kuat dan konsisten,

defisit TB akan terus melebar sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan memiliki

risiko untuk tidak berkelanjutan, 2015).

Dengan kondisi makroekonomi yang masih cukup terjaga, indeks daya saing Indonesia

sayangnya mengalami penurunan ranking/posisi dalam Global Competitiveness Index.

Berdasarkan Global Competitive Report 2019, dari total 141 negara responden, posisi daya saing

Indonesia berada di urutan ke-50 atau turun lima peringkat dibandingkan posisi tahun

sebelumnya (2017). Pilar innovation capability --yang mengukur kuantitas dan kualitas kegiatan

research and development (R&D) serta lingkungan yang mendukung kolaborasi, konektivitas,

kreativitas, serta kapasitas untuk mewujudkan ide-- juga masih bernilai rendah, yakni dengan

skor 37,7 dan berada pada posisi 74. Sementara itu, pilar yang mengukur kualitas human capital,

khususnya dari aspek skill2 juga masih rendah (skor 64; posisi 65). Keterbatasan kemampuan

inovasi tersebut terutama dipengaruhi oleh masih rendahnya kegiatan research and development

(R&D). Berdasarkan UNESCO (2019), pengeluaran biaya R&D untuk Indonesia hanya sebesar

0,24% terhadap PDB pada tahun 2017. Nilai ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan

negara-negara frontier.

Dengan kondisi tersebut, strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia

perlu diarahkan pada peningkatan produktivitas disamping mencari sumber baru pertumbuhan

ekonomi. Indonesia memiliki berbagai endowments yang mendukung seperti bonus penduduk

usia muda, masyarakat kelas menengah yang meningkat, sumber daya alam yang berlimpah yang

juga disertai dengan kekayaan budaya yang beragam dan nilai-nilai keagamaan yang kuat.

Faktor-faktor tersebut dapat menjadi modal yang sangat potensial untuk menciptakan sumber-

sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia, sehingga dapat melesat menjadi negara

berpendapatan tinggi. Bila dilihat dari tren pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel terkait

sebagaimana diuraikan sebelumnya, menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor eksogen dan

endogen yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pertumbuhan pesat dekade-dekade sebelumnya, misalnya, disertai dengan peningkatan signifikan

dalam pengembangan modal manusia dan diversifikasi ekonomi dari sektor pertanian ke

manufaktur (Hofman et al., 2004).

Kualitas SDM dapat pula ditingkatkan melalui penguatan karakter atau nilai-nilai luhur

budaya dan agama. Khan et al (2010) membuktikan bahwa nilai-nilai budaya (cultural traits),

yaitu trust, respect, dan self-determination memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan

ekonomi. Nilai-nilai budaya membentuk karakter individu sehingga dapat menurunkan biaya

transaksi (trust), acceptance attitude yang mendorong perdagangan (respect), dan perilaku

inovatif (self-determination). Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan nilai-nilai budaya

luhur bangsa (nilai-nilai kebangsaan) serta bangsa yang religius memiliki modalitas

pembangunan ekonomi yang sangat potensial. Modalitas tersebut memperkuat peningkatan

kualitas SDM yang dilakukan melalui jalur pendidikan. Investasi pada penguatan nilai-nilai

budaya memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat

2 The general level of skills of the workforce and the quantity and quality of education.

Page 5: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

5

pendapatan khususnya lingkungan ekonomi yang memiliki nilai-nilai budaya yang cukup kental

(culture-intensive) (Bucci et al, 2014). Selain itu, dampaknya lebih besar (magnified) terhadap

produktivitas (total factor productivity – TFP) yang sensitif terhadap nilai-nilai budaya (stok

cultural capital). Dengan kata lain, di lingkungan kerja yang sarat akan nilai-nilai budaya maka

produktivitas dapat ditingkatkan dengan mempertebal atau memperkuat nilai-nilai tersebut.

Grafik 1 menunjukkan bahwa pada tingkat provinsi, perbedaan indeks pembangunan

manusia di Indonesia pada tahun 2018 tidak terlalu tinggi. Dari 34 provinsi, terdapat 9 provinsi

yang memiliki IPM di atas nilai IPM nasional. Dari 9 provinsi tersebut, terdapat Provinsi Riau

dan Kalimantan Timur yang merupakan wilayah kaya sumber daya alam. UNDP (2017)

berpendapat bahwa banyak negara terlalu berfokus pada rata-rata nasional dan tidak pada variasi

yang sangat besar antar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa studi mengenai wilayah/daerah yang

masih tertinggal dan faktor penyebabnya menjadi hal yang krusial untuk dilakukan.

Sumber: Badan Pusat Statistik

3

Grafik 1. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi Tahun 2018

Affandi dan Anugrah (2017) dengan menggunakan growth diagnostic model,

mengungkapkan bahwa permasalahan rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia

merupakan hambatan paling utama (the most binding constraint) pertumbuhan ekonomi.

Permasalahan ini umumnya juga diikuti dengan rendahnya produktivitas pada hampir di seluruh

provinsi Indonesia. Permasalahan human capital merupakan permasalahan klasik bagi negara

middle income seperti Indonesia. Besarnya jumlah penduduk yang tidak didukung keahlian atau

pendidikan yang tinggi dapat membuat Indonesia sulit keluar dari middle income trap. Tenaga

kerja dengan pendidikan yang tinggi diperlukan untuk menggeser industri mayoritas di sebuah

negara yang menggunakan teknologi rendah menuju ke industri yang menggunakan teknologi

menengah atau tinggi. Pergeseran jenis industri ini merupakan salah satu cara menghindari

3 https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/06/16/1211/indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi-2010-

2018-metode-baru-.html [Diakses pada 29 November 2019 pukul 10.43]

6064 64 65 67 67 68 68 69 69 69 69 70 70 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71 72 72 72 72 75 75 76

80 80

-

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Skor IPM

Page 6: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

6

middle income trap (Eichengreen, Park dan Shin, 2013). Pada tahun 2045, Indonesia

diproyeksikan akan mengalami kondisi bonus demografi dengan komposisi penduduk produktif

yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk lepas dari potensi berada di middle income trap

economy.

Dari sudut pandang teoritis, dinamika pertumbuhan ekonomi suatu negara dan wilayah

dalam jangka panjang akan selalu menuju ke kondisi balance growth path atau keseimbangan

jangka panjang. Pada titik tersebut tingkat pertumbuhan ekonomi akan menjadi stagnan.

Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi modern, yang dapat mengakselerasi pertumbuhan

ekonomi di sebuah perekonomian adalah Total Factor Productivity (TFP) yang dipengaruhi oleh

kualitas modal manusia, peran kelembagaan, demokrasi, kemajuan dan kemampuan

mengaplikasikan teknologi. Berdasarkan latar belakang empiris untuk kondisi Indonesia dan

penjelasan teoritis di atas, maka peranan human capital sebagai akselerator pertumbuhan dalam

perekonomian Indonesia menjadi penting. Demikian pula, walau tersirat bahwa transformasi

struktural Indonesia menuju ekonomi yang berorientasi sektor jasa, isu-isu yang berkaitan

dengan produktivitas sektor jasa pada khususnya dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi

Indonesia kurang dipahami dan merupakan topik yang menjadi perhatian kebijakan. Selain dari

isu-isu ini, literatur menyimpulkan beberapa hambatan pertumbuhan ekonomi seperti masalah

yang terkait dengan kualitas infrastruktur, sumber daya manusia, dan pendidikan yang mencegah

ekonomi bergerak ke lintasan pertumbuhan yang lebih tinggi (Juhro, 2016).

Dalam perekonomian Indonesia, terdapat regional imbalances atau ketidakseimbangan

regional, dimana terdapat konsentrasi pembangunan pada wilayah-wilayah tertentu saja.

Berdasarkan data BPS, 60 persen PDB Nasional disumbang oleh wilayah Jawa dan 21 persen

berasal dari wilayah Sumatera4. Dengan demikian, PDB yang merupakan cerminan dari aktifitas

perekonomian di Indonesia, paling tidak 80 persennya bersumber dari wilayah Jawa dan

Sumatera. Peranan wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Kawasan Timur Indonesia--yang

merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam dan sebagian besar dari luas wilayah

Indonesia--hanya mencapai 20 persen dalam total aktifitas perekonomian di Indonesia. Fakta

empiris ini menunjukan bahwa ketidakseimbangan perekonomian di Indonesia relatif sangat

tinggi dengan terkonsentrasi di dua wilayah utama yaitu Jawa dan Sumatera.

Dengan latar belakang di atas, studi ini mengeksplore endogenous growth model dengan

tujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan yaitu: (i) Seberapa besar kontribusi modal manusia

(human capital) menjelaskan pertumbuhan ekonomi di tingkat regional, dan (ii) Bagaimana

peran faktor-faktor endogen lain (endowment factors, i.e. inovasi, cultural capital, dan values)

sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di tingkat regional. Kontribusi penelitian ini sangat

signifkan. Pertama, masih terbatasnya literatur mengenai endogenous growth model untuk

konteks ekonomi Indonesia, sebagaimana salah satunya adalah Juhro dan Trisnanto (2018).

Kedua, sangat terbatasnya studi mengenai peran faktor budaya dan nilai-nilai luhur yang ada

ditengah masyarakat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terlebih untuk konteks keunikan

4https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/06/08/1202/pdrb-triwulanan-atas-dasar-harga-konstan-menurut-

pengeluaran-2010-100-2014-2018.html [Diakses pada 29 November 2019 pukul 10.40]

Page 7: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

7

Indonesia yang memiliki ribuan pulau, beragam suku dan budaya, serta endowment yang berbeda

di tingkat provinsi.

Dengan berbagai perspektif tersebut, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

perspektif kebijakan yang berbeda dalam memahami pertumbuhan ekonomi regional Indonesia.

Paparan working paper penelitian ini terdiri dari 5 bagian. Menyambung bagian pendahuluan ini

disampaikan tinjauan literature mengenai teori dan hasil studi empiris mengenai pertumbuhan

ekonomi endogen, dengan penekanan peran inovasi, cultural capital dan values. Bagian ketiga

memaparkan metodologi permodelan dan data yang digunakan. Bagian keempat adalah hasil

estimasi dan analisis. Bagian terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dan implikasi

kebijakan,

II TINJAUAN LITERATUR

2.1 Inovasi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi

Pendekatan lanjutan dalam teori pertumbuhan endogen, yang utamanya digunakan pada

saat ini, adalah model yang menggunakan inovasi teknologi (secara eksplisit) dan investasi

dalam bidang R&D (Voosholz, 2014). Kedua hal tersebut (inovasi teknologi dan investasi dalam

bidang R&D) memengaruhi produksi dengan dua cara, yaitu dengan meningkatkan variasi (jenis)

produk dan dengan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Karakteristik utama model

pertumbuhan ini adalah perusahaan hanya akan berinvestasi dalam bidang R&D jika inovasi

dapat digunakan secara ekslusif (tidak dapat digunakan oleh pihak lain) dan setidaknya

perusahaan berada dalam kondisi monopoli (sementara). Inovasi juga akan meningkatkan daya

saing perusahaan (Gerguri dan Ramadani, 2010). Dalam ekonomi modern, inovasi sangat

penting untuk penciptaan nilai (value creation), pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan

pekerjaan.

Inovasi merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan kinerja perekonomian dalam

ekonomi global. Pentingnya inovasi semakin diperkuat oleh adanya globalisasi dan kemajuan

pesat teknologi (information and technology communication/ICT), di mana keduanya

menciptakan bentuk kompetisi baru dan membuka pasar baru untuk penciptaan serta pengiriman

produk-produk inovatif (OECD, 2007). Inovasi membawa teknologi dan produk baru yang

membantu mengatasi tantangan global, menciptakan cara baru dalam proses produksi yang

mampu meningkatkan produktivitas, penciptaan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat (Gerguri dan Ramadani, 2010). Penciptaan inovasi sendiri bergantung

kepada basic knowledge yang diperoleh melalui pendidikan dan sains (OECD, 2007). Oleh

karena itu, untuk memfasilitasi proses difusi inovasi diperlukan sistem pendidikan yang baik

serta mampu diakses secara luas.

Salah satu teori terbaik yang menjelaskan peran inovasi sebagai motor penggerak

pertumbuhan ekonomi diintroduksi oleh Paul M. Romer (salah seorang pelopor teori

pertumbuhan endogen). Berdasarkan teori variasi produk Dixit dan Stiglitz (1977), Romer

Page 8: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

8

(1990) membangun model di mana inovasi mengarahkan kepada penciptaan produk baru dan

peningkatan variasi produk (inovasi horizontal). Model Romer terdiri dari 3 tahapan, yaitu (i)

produksi/penciptaan inovasi; (ii) produksi intermediates; dan (iii) produksi produk akhir. Pada

model ini, human capital dan teknologi memikili peran yang signifikan. Penciptaan ide-ide baru

dan prototipe produk baru merupakan fungsi dari share of human capital (HA) dan current stock

of knowledge di dalam sektor riset. Di sektor riset, sebagian besar tenaga kerja atau share of

human capital digunakan sebagai input langsung, dikombinasikan dengan total stock of the

technical knowledge of the society yang akan memengaruhi produktivitas tenaga kerja yang

digunakan. Output dari sektor riset adalah pengetahuan teknis baru yang kemudian akan

ditambahkan ke dalam current stock of knowledge.

Model pertumbuhan Romer juga merupakan model pertumbuhan berbasis technological

change (perubahan teknologi). Menurut Romer (1990), perubahan teknologi ini muncul dari

investasi melalui pengembangan R&D. Model pertumbuhan Romer dibangun berdasarkan

beberapa argumen, yang pertama adalah perubahan teknologi--peningkatan infrastruktur--

merupakan motor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Model yang dikembangkan Romer

menyerupai model Solow (1956) yang disertai dengan perubahan teknologi. Perubahan teknologi

menyediakan insentif yang kontinu (berkelanjutan) terhadap akumulasi modal. Secara

bersamaan, keduanya (perubahan teknologi dan akumulasi modal) akan meningkatkan

produktifitas tenaga kerja. Asumsi yang kedua adalah perubahan teknologi sebagian besar

muncul karena tindakan yang disengaja oleh orang-orang merespon insentif pasar. Insentif pasar

sendiri memainkan peran penting dalam proses perubahan teknologi. Asumsi yang ketiga, dan

yang terpenting, perubahan teknologi akan menurunkan biaya produksi. Perubahan teknologi

akan mengarahkan kepada pembentukan instruksi baru yang dapat digunakan terus menerus

tanpa menyebabkan timbulnya additional cost. Berikut model fungsi produksi yang

dikembangkan oleh Romer (1990):

Y = Kα (ALγ)1-α

��= sK Y – dK merupakan akumulasi kapital dan pertumbuhan populasi 𝐿

𝐿 = n. Jumlah ide

(ideas) atau stock of knowledge accumulated dilambangkan dengan A.

��= LA

Jumlah new ideas (��) sama dengan jumlah orang yang mencurahkan waktunya untuk

menemukan ide-ide baru (LA), dikalikan dengan tingkat dihasilkannya/ditemukannya ide baru.

Tenaga kerja digunakan baik untuk memproduksi barang-barang (LY) ataupun memproduksi ide-

ide baru (LA).

L = LY + LA

Tingkat dihasilkannya ide-ide baru dapat bernilai konstan (constant return) atau

meningkatkan (increasing return) fungsi A.

= A

Page 9: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

9

Dampak dari LA tidaklah proporsional. Jadi, diasumsikan bahwa 𝐿𝐴 , yang mengarahkan

kepada inklusi ide-ide baru pada fungsi produksi, memiliki nilai 0 < < 1. Fungsi produksi baru

dengan ide-ide baru akan menjadi,

�� = 𝐿𝐴 A

Diasumsikan bahwa 0 < < 1. Kemudian bagi persamaan di atas dengan A sehingga,

��

𝐴 =

𝐿𝐴

𝐴1−

Dengan ��

𝐴 = gA = konstan,

��𝐴

𝐿𝐴 – (1 - )

��

𝐴 = 0

Sehingga, adanya penambahan ide-ide baru ke dalam ekonomi akan menyebabkan

peningkatan pertumbuhan ekonomi.

2.2. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru & Peran Cultural Capital

Modal Budaya (Cultural Capital)

Pengaruh budaya terhadap kinerja perekonomian masih menjadi hal yang tidak mudah

dipahami dalam ilmu ekonomi, khususnya di dalam teori neoklasik. Para ekonom tersebut

enggan mengandalkan budaya sebagai salah satu determinan yang mungkin memengaruhi

kinerja perekonomian. Keengganan ini utamanya disebabkan oleh sulitnya mengkuantifikasi

variabel budaya variabel budaya yang melekat di mana-mana (memiliki cakupan yang luas)

seperti di dalam kebiasaan maupun perilaku sehari-hari, dan memasuki ruang lingkup ekonomi

secara samar-samar sehingga sulit untuk merancang uji hipotesisnya. Konsekuensi dari

pandangan tersebut menyebabkan peran budaya dalam perekonomian menjadi dikecilkan. Tanpa

adanya hipotesis yang dapat diuji, tidak ada peran budaya dalam ekonomi kecuali mungkin

sebagai mekanisme seleksi di antara banyak ekuilibria (Greif, 1994, 2005).

Pembahasan mengenai modal budaya (cultural capital) pertama kali dilakukan oleh

Bourdieu dan Passeron (1977). Konsep ini diulas kembali secara lebih komprehensif oleh

Bourdieu (1984; 1986). Bourdieu (1986) dalam “The Forms of Capital”, mengelompokkan

modal budaya ke dalam tiga jenis, yaitu modal budaya terkandung (embodied state), modal

budaya terobjektifikasi (objectified state) dan modal budaya terlembagakan (institutionalized

state). Modal budaya merupakan pendidikan seseorang (pengetahuan dan keterampilan) yang

memberikan keuntungan dalam mencapai status sosial yang lebih tinggi di dalam masyarakat.

Bourdieu (1986), dalam esai sosiologinya, mengidentifikasi modal ke dalam tiga

kategori, yaitu modal ekonomi (economic capital), modal sosial (social capital) dan modal

budaya (cultural capital). Pengelompokkan ini didasarkan kepada biaya yang harus dikeluarkan

dalam mentransformasi modal dan field (bidang/area) tempat berfungsinya modal tersebut.

Bentuk pertama adalah modal ekonomi, yaitu modal yang dapat segera dan langsung dikonversi

menjadi uang serta dapat dilembagakan ke dalam bentuk property rights. Bentuk kedua adalah

modal budaya, yaitu modal yang dapat diubah menjadi modal ekonomi (dalam kondisi tertentu)

dan dapat dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Bentuk yang terakhir adalah

Page 10: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

10

modal sosial, terdiri dari kewajiban sosial (koneksi) yang dapat diubah menjadi modal ekonomi

(dalam kondisi tertentu) dan dapat dilembagakan dalam bentuk gelar kebangsawanan. Diskursus

mengenai modal budaya dan modal sosial telah menjadi pembahasan yang cukup intens dalam

beberapa waktu terakhir.

Sedangkan menurut Harper-Scott dan Samson (2009) modal budaya merujuk kepada aset

sosial non-finansial (pendidikan, keterampilan, gaya berbicara, dll) yang mendorong mobilitas

sosial dalam stratifikasi masyarakat. Throsby (2001) mendefinisikan modal budaya sebagai

persediaan (stock) dari ekspresi budaya berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible).

Berbagai literatur yang ada juga telah mencoba mendefinisikan ‘budaya’ secara lebih

sempit untuk memudahkan pencarian hubungan kausal antara budaya terhadap perekonomian.

Granato et al (1996) menjelaskan budaya sebagai sistem nilai-nilai dasar umum yang membantu

membentuk perilaku kelompok masyarakat tertentu. Di sebagian besar kelompok masyarakat

pra-industri, nilai-nilai ini berupa agama yang berubah dengan lambat; kemudian adanya

industrialisasi dan proses modernisasi membuat nilai-nilai ini menjadi lebih rasional dan terbuka

terhadap perubahan. Peran budaya menjadi lebih penting dalam memahami post-industrial

development dan tampaknya akan menjadi semakin penting di masa mendatang (Bucci et al,

2014). Porter (2000) mendefinisikan budaya sebagai nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi dan

asumsi-asumsi mendasar lain yang umumnya diterima di suatu kelompok masyarakat. Guiso et

al (2006) mendefinisikan budaya sebagai keyakinan dan nilai-nilai adat yang dianut oleh

kelompok etnis, agama, dan sosial yang tidak berubah dari generasi ke generasi.

UNESCO (2009), dalam Framework for Cultural Statistics, mendefinisikan

domain/wilayah budaya sebagai serangkaian kegiatan ekonomi (seperti produksi barang dan

jasa) dan sosial (seperti partisipasi dalam kegiatan budaya) yang secara tradisional dianggap

sebagai “budaya”. Selain itu, related domain terdiri dari kegiatan ekonomi dan sosial lainnya

yang dapat dikategorikan sebagai “partially cultural” atau yang lebih sering dianggap sebagai

“rekreasional” daripada “purely cultural”. Definisi domain budaya bertujuan untuk mengukur

kegiatan budaya, barang, dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan industri maupun non-industri.

Produk (barang atau jasa) budaya mencakup nilai-nilai artistik, estetika, simbolik dan spiritual.

Produk budaya memiliki karakteristik yang berbeda dari produk lainnya karena sistem

valorisasinya (penetapan kembali nilai harga sutu produk), yang meliputi beberapa karakteristik

seperti irreproducible (tidak dapat diproduksi kembali) (Throsby, 2001). Pengembangan budaya

(infrastruktur) juga merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi emerging countries,

karena sektor ini diprediksi akan mampu menyerap lebih dari separuh turis internasional pada

2030 (Ernst dan Young, 2015) yang merupakan sumber devisa potensial.

Sementara itu, Intangible Cultural Heritage (ICH)5 dapat dianggap sepenuhnya bersifat

budaya, sedangkan tiga domain transversal (education and training; archiving and preserving

dan equipment and supporting materials) dianggap “partially cultural” karena domain-domain

5 “Practices, representations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and

cultural spaces associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of

their cultural heritage” (UNESCO, 2003).

Page 11: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

11

tersebut mengandung elemen/ativitas yang bersifat budaya. ICH ditransmisikan/diwariskan dari

generasi ke generasi dan membentuk identitas bagi masyarakat di suatu wilayah (UNESCO,

2009). ICH sangatlah unik karena hanya dapat didefinisikan sebagai ICH jika

komunitas/masyarakat di suatu wilayah menerima/mengakuinya sebagai heritage. Identifikasi

sebagai ICH sangat bergantung kepada masyarakat/komunitas dalam menjaga, memelihara, dan

mewariskan objek tersebut. Dengan kata lain, tidak ada pihak luar (pemerintah, peneliti dll) yang

dapat mendefinisikan suatu objek sebagai ICH selain masyarakat di wilayah tersebut. Sebagai

tambahan, tiga domain transversal dimasukkan karena peran kunci mereka dalam siklus budaya

untuk produksi, transmisi budaya. Domain-domain tersebut disebut transversal juga karena dapat

diaplikasikan/diterapkan ke semua domain budaya dan related domains.

Akan tetapi, literatur dan gagasan mengenai pengaruh budaya terhadap kinerja

perekonomian telah semakin berkembang saat ini. Perkembangan teknik/metodologi dan data

yang dapat dikumpulkan memungkinkan identifikasi secara lebih sistematis terhadap people’s

preferences dan belief untuk kemudian dikaitkan dengan berbagai ukuran cultural legacy (Guiso

et al, 2006). Beberapa literatur seperti dalam Barro dan McCleary (2003); Guiso et al (2006);

dan Bucci et al (2014) membuat para ekonom mulai mengakui bahwa budaya memang

berpengaruh terhadap perekonomian. Para peneliti yang bergerak di bidang ekonomi budaya

sedikitnya telah mampu menunjukkan bagaimana budaya memberikan kontribusi penting

terhadap perekonomian. Meski begitu, tetap terdapat bagian dari budaya yang tidak dapat

dijelaskan atau sebaiknya tidak dijelaskan oleh ilmu ekonomi (Casson, 1993).

Guiso et al (2006), menjelaskan bahwa pengaruh budaya terhadap perekonomian

ditransmisikan melalui dua hal, yaitu kepercayaan terdahulu (prior beliefs) dan

preferences/values. Transmisi pertama adalah melalui prior beliefs. Budaya--diproksi

menggunakan religion dan ethnic background--memiliki pengaruh yang signifikan terhadap trust

(prior beliefs). Trust mampu memengaruhi keputusan ekonomi dalam beberapa cara, misalnya

saat melakukan transaksi perdagangan internasional dan transaksi yang dilakukan saat kondisi

legal tidak sempurna diperlukan trust agar proses berjalan dengan lancar. Hasil studinya

menunjukkan bahwa trust memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kemungkinan

untuk menjadi entrepreneur. Hasil ini juga mendukung hipotesis bahwa budaya memiliki peran

penting dalam keputusan ekonomi (menjadi entrepreneur). Mekanisme transmisi yang kedua

adalah melalui preferences/values. Budaya--masih diproksi menggunakan religion dan ethnic

background--dapat memengaruhi economic outcomes melalui dua jalur preferences/values, yakni

economic preferences (thriftiness) dan political preferences (preferences for redistribution6).

Jalur pertama adalah budaya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap thriftiness.

Thriftiness, melalui uji OLS dan IV, secara positif dan signifikan memengaruhi economic

outcomes yang diproksi menggunakan jumlah tabungan nasional. Hal ini juga menjadi temuan

penting karena sangat membantu dalam memahami perbedaan tingkat tabungan nasional di

berbagai negara. Jalur kedua adalah melalui preferences for redistribution. Hasil regresi

6 Preferensi politik individu tentang apa yang seharusnya dilakukan (kebijakan) pemerintah terhadap redistribusi

pendapatan, diperoleh dari General Social Survey.

Page 12: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

12

menunjukkan bahwa variabel preferences for redistribution memiliki pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap tingkat redistribusi pendapatan7 (proksi dari economic outcomes).

Ang (2018) mencoba melihat hubungan antara budaya dengan pengembangan ekonomi

yang berfokus pada hubungan antara individualisme dengan teknologi inovasi. Masyarakat yang

individualis cenderung tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisional, namun mereka lebih kreatif

dan memiliki pemikiran yang bebas. Masyarakat semacam ini menyediakan lingkungan yang

kondusif bagi kemajuan dan inovasi ilmiah. Data individualisme dan teknologi inovasi yang

digunakan dalam studi ini bersumber dari WVS wave 6 (2010-2014). Data-data yang diperoleh

diolah menggunakan metode OLS untuk menemukan hubungan antar keduanya. Individualisme

dikonstruksi kedalam tiga bentuk, yaitu non-tradition, divorce justification, dan family

unimportance; sementara teknologi inovasi dibedakan kedalam tiga bagian yaitu credibility of

science, values of ideas, dan creative tasks. Hasil regresi seluruh sampel menunjukkan bahwa

secara umum individualisme berkorelasi positif dengan output inovasi, begitu pula hasil regresi

saat dilakukan pengujian di tingkat negara (Amerika Serikat). Temuan ini menunjukkan bahwa

individualisme berperan penting dalam inovasi dan kreatifitas, bahkan untuk negara yang level

technological sophistication-nya sudah tinggi.

Azis (2019) berpendapat bahwa dalam hubungan antara budaya dan ekonomi, terdapat

komponen yang memainkan peran sebagai variabel penghubung. Variabel penghubung yang

memiliki peran penting dalam menghubungkan (kausalitas) ekonomi dan budaya adalah

institusi/lembaga, baik formal maupun informal. Lembaga informal berasal dari “socially

transmitted information” dan merupakan bagian dari warisan/budaya, sementara lembaga formal

umumnya berkaitan dengan sistem politik yang berlaku. Keduanya memengaruhi kinerja

perekonomian dengan cara yang berbeda, meskipun hasil akhir yang tercipta dari keduanya sama

yaitu efisiensi kinerja perekenomian. Lembaga/institusi yang dipengaruhi budaya dapat

memengaruhi transaction cost (seperti biaya negosiasi dan informasi asimetris) yang pada

gilirannya akan memengaruhi perekonomian. Dalam lingkungan yang dinamis, melalui

keputusan organisasi tentang teknologi dan inovasi, serangkaian persyaratan yang mencerminkan

kualitas lembaga dan social capital memiliki peran penting dalam memengaruhi pertumbuhan

produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Budaya dan lembaga berinteraksi dan berkembang

secara saling melengkapi (komplementer), bukan hubungan kausalitas satu arah. Tipe suatu

lembaga akan membuat budaya berkembang ke arah yang berbeda, sementara budaya yang

berbeda juga akan membuat lembaga berfungsi secara berbeda.

Modal Sosial (Social Capital), Values dan Indiviual Beliefs

Gagasan tentang modal sosial sebagai bagian dari ilmu ekonomi mulai didorong oleh tulisan

Bordieu (1984, 1986), Coleman (1988, 1990) dan Putnam et al (1993). Tidak ada definisi yang

baku mengenai modal sosial, namun terdapat cukup banyak literatur yang menjelaskan tentang

definisi modal sosial dan bagaimana modal sosial berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi

7 Dihitung dari Rasio dari pajak penghasilan+pajak penjualan+pajak tidak langsung lainnya terhadap total

pendapatan negara bagian, diperoleh dari US Census Bureau.

Page 13: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

13

antara lain Coleman (1988); Putnam et al (1993); Narayan dan Pritchett (1997); dan Uphoff

(2000). Bordieu (1986)8 merupakan yang pertama kali mendefinisikan modal sosial secara

sistematis. Modal sosial menurut Putnam (Putnam 1993; Putnam et al 1993) merupakan

seperangkat “horizontal associations” yang terdiri dari jaringan sosial (“networks of civil

engagement”) dan norma-norma terkait yang memengaruhi produktivitas masyarakat. Uphoff

(2000) mendefinisikan modal sosial sebagai akumulasi berbagai aset sosial, psikologi, budaya,

kognitif, institusional dan aset-aset terkait yang meningkatkan jumlah (atau kemungkinan)

perilaku kooperatif yang saling menguntungkan. Modal sosial di dalam masyarakat meliputi

lembaga/institusi, hubungan, sikap dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antara orang-orang

dan berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi dan sosial (Grootaert dan van Bastelaer,

2001). Literatur mengenai peran modal sosial kemudian semakin berkembang seperti pada Portes

(1998), Woolcock (1998), Uphoff (2000), Woolcock dan Narayan (2000), Grootaert dan van

Bastelaer (2001) dan Akçomak (2008).

Menurut Akçomak (2008), terdapat 3 poin utama yang berkaitan dengan modal sosial.

Pertama, modal sosial yang tinggi akan menginduksi terjadinya inovasi melalui pengurangan

biaya transaksi (transactional cost), penciptaan bentuk-bentuk pertukaran informasi yang baru

dan perubahan norma yang akan memengaruhi perilaku. Adanya modal sosial akan menciptakan

innovate-prone environment yang akan mendorong terciptanya lebih banyak inovasi.

Berdasarkan hasil empiris, inovasi berfungsi sebagai mekanisme transmisi modal sosial yang

memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, modal sosial merupakan konsep stok dan

memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat terbentuk. Kedua, modal sosial mengurangi

tindak kriminalitas melalui eksternalitas jaringan dan terjadinya peningkatan opportunity cost of

crime. Ketiga, institusi/lembaga memiliki peran penting dalam membentuk modal sosial. Sejarah

dan institusi (lembaga formal) akan memengaruhi modal sosial dalam jangka panjang.

Variabel budaya umumnya juga dibedakan menjadi beberapa nilai budaya (cultural

traits) yang berbeda agar mudah untuk dikuantifikasi. Tabellini (2008) serta Williamson dan

Karekes (2008) membangun variabel budaya yang terdiri dari trust, respect, control dan

obedience. Sedangkan Williamson (2009) dan Khan et al (2010) mengembangkan nilai-nilai

budaya yang terdiri dari trust, respect, individual self-determination dan obedience. Nilai-nilai

budaya tersebut berkaitan dengan interaksi sosial-ekonomi dan memengaruhi pertumbuhan

ekonomi. Boettke (2009) berasumsi bahwa trust memengaruhi kinerja perekonomian melalui

dampaknya terhadap transactional cost. Williamson dan Kerekes (2008) juga menyatakan bahwa

individu yang lebih terpercaya (trusted) akan mampu mengurangi transactional cost dan

monitoring cost.

Granato et al (1996) menganalisis peran nilai-nilai budaya (cultural values) terhadap

pertumbuhan ekonomi di 25 negara (Asia Timur, beberapa negara Uni Eropa, Nigeria, Afrika

Selatan, India, Turki dan Meksiko). Variabel budaya dibagi menjadi dua jenis variabel

8 Definisi modal sosial menurut Bourdieu (1986) : “the aggregate of the actual or potential resources which are

linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance and

recognition.”

Page 14: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

14

(achievement motivation dan postmaterialism) yang ditimbang berdasarkan beberapa indikator,

yaitu thrift, determination, obedience dan religious faith. Data-data variabel budaya diperoleh

dari World Value Survey, sedangkan beberapa data lainnya diperoleh dari Levine dan Renelt

(1992). Hasil estimasi model OLS menunjukkan bahwa salah satu variabel budaya, achievement

motivation, memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Achievement

motivation memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena memiliki

kecenderungan untuk meningkatkan investasi. Sementara itu, beberapa variabel lain (GDP,

pendidikan dan investasi) juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa masing-masing faktor budaya dan faktor ekonomi memiliki peran penting

terhadap pertumbuhan ekonomi yang tidak dapat saling menggantikan antara yang satu dengan

lainnya.

Tabellini (2008) mencoba memahami pengaruh budaya terhadap pembangunan ekonomi,

baik secara langsung ataupun melalui peran institusi/lembaga di 8 negara Eropa (yang dipecah

menjadi 69 regional). Budaya (cultural traits) yang digunakan dalam penelitian diproksi

menggunakan 4 indikator, yaitu trust, control dan respect (yang diduga mampu mendorong

pertumbuhan ekonomi) dan obedience (yang diduga menghambat pertumbuhan ekonomi). Data-

data budaya ini bersumber dari World Value Surveys (1990-91 dan 1995-97) dan Inglehart et al

(2000). Pertumbuhan ekonomi diproksi dengan nilai tambah kotor per kapita (per capita gross

value added) yang diperoleh dari Cambridge Econometrics. Metode yang digunakan dalam

mencari kausalitas antara budaya dengan pertumbuhan ekonomi adalah OLS dan IV. Hasil

estimasi model menunjukkan bahwa komponen-komponen budaya merupakan faktor penting

dalam kinerja ekonomi regional. Cultural traits ini mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi,

baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui lembaga/institusi). Meski begitu,

interpretasi yang tepat dari peran budaya ini sulit dijelaskan dan perlu studi yang lebih lanjut

untuk mengetahui cara budaya memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Khan et al (2010) melakukan estimasi dampak nilai-nilai budaya (culture values) tertentu

terhadap pertumbuhan ekonomi di 11 negara Asia. Metode yang digunakan untuk mengetahui

dampak budaya dan faktor ekonomi terhadap growth adalah OLS. Data culture yang digunakan

dibedakan menjadi 4 komponen, yaitu trust, self-determination, respect dan obedience. Data-data

culture ini diperoleh dari World Value Survey untuk rentang tahun 1995-2007 terhadap 11 negara

Asia, yaitu China, India, Pakistan, Jepang, Korea Selatan, Turki, Malaysia, Thailand, Taiwan,

Bangladesh dan Indonesia. Variabel dependen yang digunakan untuk proksi pertumbuhan

ekonomi adalah pendapatan per kapita. Berdasarkan estimasi model OLS, diperoleh bahwa trust,

respect dan self determination memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat

pendapatan per kapita. Hasil estimasi model OLS ini juga didukung oleh uji korelasi. Hasil uji

korelasi menunjukkan bahwa tiga aspek budaya (trust, respect dan self determination) memiliki

korelasi positif dengan economic growth. Aspek budaya terakhir, obedience, memiliki pengaruh

negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Selain nilai-nilai budaya, banyak literatur yang juga mencoba melihat peran kepercayaan

individu (individual beliefs) dalam mendorong kegiatan ekonomi, meskipun pada umumnya

Page 15: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

15

belum terdapat bukti tegas yang menunjukkan peran nilai-nilai agama terhadap kegiatan

ekonomi. Barro dan McCleary (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merespon

secara positif tingkat kepercayaan terhadap agama (religious belief), terutama kepercayaan

terhadap adanya surga dan neraka, tetapi berpengaruh negatif terhadap kehadiran di gereja. Hal

ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bergantung kepada sejauh mana keyakinan penganutnya

(believing) relatif terhadap kepemilikan (belonging). Sementara itu, Eum (2011) mengemukakan

bahwa hasil yang diperoleh Barro dan McCleary (2003) mungkin tidak konstan untuk periode

waktu yang berbeda. Eum menyatakan bahwa variabel agama tidak memiliki pengaruh yang

signifikan dan konstan terhadap pertumbuhan ekonomi. Guiso et al (2003) hanya menyatakan

bahwa secara umum, agama baik untuk perkembangan sikap (attitudes) yang kondusif untuk

pertumbuhan ekonomi. Sementara itu hasil dari penelitian De Jong (2008) menunjukkan hasil

yang ambigu, yang mungkin disebabkan oleh kurangnya kerangka teoritis, di mana tidak ada

agama yang tampak secara khusus mendorong atau menghambat pertumbuhan.

Mangeloja (2004) mencoba menguji klaim Barro dan McCleary (2002; 2003) yang

berpendapat bahwa terdapat peran aktivitas keagamaan dalam pertumbuhan ekonomi. Studi

Mangeloja menggunakan model time series, metode panel data hingga estimasi di tingkat level

individu setiap negara (8 negara OECD) agar diperoleh hasil yang lebih meyakinkan. Indikator

agama bersumber dari World Values Survey (WVS) yang dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu

keyakinan agama (religious belief), aktivitas keagamaan (religious activities) dan efisiensi

keagamaan (religious efficiency). Keyakinan agama diproksi menggunakan data kepercayaan

terhadap adanya neraka setelah kematian, aktivitas agama diproksi dengan tingkat kehadiran di

gereja, sedangkan efisiensi keagamaan dibentuk dari gabungan dua hal sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi digambarkan dengan data GNP rill dari OECD annual statistics. Hasil

empiris menunjukkan bahwa hanya religious belief yang memiliki pengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pada pengujian di tingkat individu 8 negara, religious

efficiency hanya berpengaruh signifikan di satu negara (Finlandia). Hasil estimasi juga tidak

menunjukkan bukti yang jelas mengenai hubungan yang terjadi antara ekonomi dengan agama

(searah ataupun dua arah).

III. METODOLOGI

3.1 Estimasi Nilai Pertumbuhan TFP (Growth TFP)

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari tingkat kemakmuran suatu negara.

Setiap negara akan melakukan berbagai upaya dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan

ekonominya. Produktivitas merupakan kekuatan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi

yang juga mencerminkan kondisi perekonomian di setiap negara. Emerging countries umumnya

memiliki tingkat produktivitas rendah yang menghambat mereka dalam mencapai kondisi growth

yang diharapkan. Indonesia, sebagai salah satu emerging countries, juga mengalami kendala

yang serupa. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya tingkat produktivitas Indonesia yang berada di

Page 16: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

16

peringkat ke-45 dari 50 negara (KKDSI UGM, 2014). Salah satu penyebab dari rendahnya

produktivitas di Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah.

Berdasarkan data BPS (2017), pendidikan formal yang ditamatkan oleh sebagian besar angkatan

kerja yang bekerja di Indonesia berkisar antara SD/SLTP/SMA/SMK/SMU dengan rata-rata

persentase mencapai 69,77% untuk tahun 1990-2017.

Teknologi adalah salah satu komponen penting dalam menggerakkan perekonomian.

Solow (1975) menjelaskan bahwa peran teknologi sebagai variabel eksogen direpresentasikan

sebagai Total Factor Productivity (TFP). Solow, dalam teori pertumbuhannya, juga

mengasumsikan bahwa output ditentukan oleh input kapital dan tenaga kerja, dimana kedua

input tersebut saling berinteraksi pada tingkat teknologi tertentu. Ganev (2005) menunjukkan

bahwa TFP merupakan penentu utama dalam pertumbuhan ekonomi di Bulgaria yang dibuktikan

dengan peningkatan efisiensi ekonomi sebesar 4-5 % per tahunnya (dampak dari peran

teknologi). Sigit (2004) juga menjelaskan bahwa TFP memiliki peran dalam pertumbuhan

ekonomi Indonesia, di mana TFP growth sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pekerja dan

besarnya kontribusi kapital.

Kemajuan teknologi (technological progress) ini diukur dengan menggunakan

pendekatan Total Factor Productivity (TFP). TFP menurut Comin (2006) adalah merupakan

bagian dari output yang tidak dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan dalam produksi.

Perhitungan TFP penelitian ini menggunakan pendekatan growth accounting model (GAM).

Metode ini dipilih karena relatif lebih mudah dan banyak digunakan di berbagai negara dalam

menghitung pertumbuhan TFP. Asumsi model pertumbuhan Solow yang digunakan penelitian

ini, pada dasarnya mengikuti fungsi produksi Cobb Douglas. Adapun penurunan dari

pertumbuhan TFP (TFPG) adalah sebagai berikut:

Y(t) = A(t) . f (K(t)L (t)) (1)

Selanjutnya, persamaan (1) didiferensialkan terhadap (t) : 𝑑𝑌

𝑑𝑡 =

𝑑𝑌

𝑑𝑡 f + A(t)

𝑑𝑓

𝑑𝐾 𝑑𝐾

𝑑𝑡 + A(t)

𝑑𝑓

𝑑𝐿 𝑑𝐿

𝑑𝑡 atau (2)

�� = ��f + A (t) 𝑑𝑓

𝑑𝐾. �� + A (t)

𝑑𝑓

𝑑𝐿. �� (3)

Tanda cap (^) mengindikasikan adanya “time derivatives”. Selanjunya membagi kedua sisi

dengan Y sehingga diperoleh : ��

𝑌 = ��

𝑓 (𝐾,𝐿)

𝑌 f + A(t)

𝑑𝑓

𝑑𝐾 .

��

𝑌 + A(t)

𝑑𝑓

𝑑𝐿 .

��

𝑌 (4)

Persamaan (4) dapat ditransformasikan sebagai berikut :

Ŷ

𝑌 =

Â

𝐴 + A(t)

𝑑𝑓

𝑑𝐾 .

��

𝑌 .

𝐾

𝐾 + A(t)

𝑑𝑓

𝑑𝐿 .

��

𝑌 .

𝐿

𝐿 (5)

Ŷ

𝑌 =

Â

𝐴 + 𝛼

��

𝐾 + 𝛽

��

𝐿 (6)

Secara ringkas, persamaan tersebut dapat ditulis :

�� = �� + 𝛼�� + 𝛽�� (7)

Sehingga, nilai pertumbuhan TFP diperoleh :

�� = ��- 𝛼��- 𝛽�� (8)

Page 17: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

17

Tanda dot (.) ini mengindikasikan pertumbuhan dari masing-masing komponen. Notasi

dari �� adalah pertumbuhan dari output (growth of output); �� adalah pertumbuhan dari kapital

(growth of capital); �� adalah pertumbuhan dari tenaga kerja (growth of labor); �� adalah

pertumbuhan dari kemajuan teknologi (growth of technical progress); 𝛼 adalah elastisitas kapital

terhadap output, dan 𝛽 adalah elastisitas tenaga kerja terhadap output.

Data yang digunakan dalam penghitungan TFP adalah gabungan data deret waktu tahun

2011 sampai 2017 (time series) dan data 33 provinsi di Indonesia (cross section). Data yang

dibutuhkan terdiri dari: (i) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan

(ii) stok kapital masing-masing provinsi/regional (miliar rupiah), (iii) jumlah tenaga kerja di

tingkat regional (orang), dan (iv) upah/gaji tenaga kerja di tingkat regional (rupiah). Khusus

untuk penghitungan stok kapital, data yang digunakan data investasi (PMTB) sejak tahun 1993

untuk memberikan hasil estimasi yang lebih reliable. Data penelitian diperoleh dari beberapa

sumber, seperti Badan Pusat Statistik (BPS) untuk data PDRB dan tenaga kerja; dan CEIC untuk

PMTB dan upah di tingkat provinsi.

Tabel 1 Variabel Dekomposisi TFPG

Variabel Definisi variabel Sumber

PDRB Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) di tingkat provinsi

CEIC

PMTB Pembentukan Modal Tetap Bruto

(PMTB) di tingkat provinsi

CEIC

ActiveWorkforce Jumlah Angkatan Kerja yang Aktif

Bekerja di tingkat provinsi

Badan Pusat Statistik (BPS)

MinimumWages Upah Minimum per Bulan di tingkat

provinsi

CEIC

Langkah-langkah dekomposisi pertumbuhan TFP dengan pendekatan Growth Accounting Model

(GAM) adalah sebagai berikut:

1. Menghitung tingkat pertumbuhan PDRB, tenaga kerja dan stok kapital neto pada masing-

masing provinsi. Stok kapital neto diperoleh dari selisih antara PMTB dengan nilai

depresiasinya. Nilai depresiasi yang digunakan sebesar 3%, mengikuti Sigit (2004).

2. Menghitung labor income share (LIS) dan capital income share (CIS) pada masing-masing

provinsi

3. Menghitung pertumbuhan tertimbang dari tenaga kerja dan kapital pada masing masing sektor

lapangan usaha. Nilai pertumbuhan tertimbang masing-masing faktor produksi ini merupakan

hasil perkalian antara labor income share dan capital income share terhadap tingkat

pertumbuhan baik tenaga kerja maupun kapital.

4. Menghitung pertumbuhan Total Factor Productivity (TFPG) yang diperoleh dari selisih

antara pertumbuhan PDB dengan pertumbuhan tertimbang baik tenaga kerja maupun kapital.

Page 18: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

18

3.2 Estimasi Model Pertumbuhan Regional

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penghitungan model pertumbuhan berasal dari berbagai sumber,

yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), CEIC,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).

Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersumber dari BPS. Data jumlah penyaluran kredit

(umum dan syariah) bersumber dari Bank Indonesia dan OJK. Data growth industri pengolahan

(manufaktur); dan total perdagangan di tingkat provinsi bersumber dari CEIC. Growth dari

industri manufaktur merupakan proksi inovasi yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Indikator budaya yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam jenis intangible

cultural heritage (warisan budaya tak benda) yang bersumber dari Kemdikbud. Berdasarkan

Kemdikbud (2019c) terdapat lima jenis penggolongan warisan budaya tak benda. Pada

penelitian ini hanya digunakan satu jenis warisan budaya tak benda, yaitu Keterampilan dan

Kemahiran Kerajinan Tradisional (Traditional Craftmanship). Data terkait values (nilai-nilai

agama) bersumber dari Kemenag, dengan indikator yang digunakan adalah jumlah rumah ibadah

dan jumlah pelajar di institusi pendidikan Islam formal di tiap provinsi.

Tabel 2 Definisi Variabel Model Pertumbuhan TFP

Variabel Definisi variabel Sumber

TFPG Total Factor Productivity Growth (TFPG),

dihitung menggunakan pendekatan Growth

Accounting Model (GAM)

Hasil kalkulasi penulis

HDI Human Development Index (HDI) – Indeks

Pembangunan Manusia (IPM)

Badan Pusat Statistik (BPS)

ManuGrowth Pertumbuhan sektor industri pengolahan

(manufaktur)

CEIC

TradeGrowth Kinerja perdagangan (ekspor + impor) CEIC

CreditGrowth Pertumbuhan penyaluran kredit oleh bank

umum

Bank Indonesia dan OJK

SocecPreferences Social Economy Preferences – proksi dari

cultural capital (Keterampilan dan

Kemahiran Kerajinan Tradisional)

Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (Kemdikbud)

SyariaFunding Jumlah pembiayaan (funding) yang

diberikan oleh Bank Umum Syariah (BUS)

dan Unit Usaha Syariah (UUS)

OJK

WorshipHouse Jumlah rumah ibadah (terdiri dari jumlah

masjid, gereja kristen & katolik), pura,

vihara dan kelenteng)

Kementerian Agama

(Kemenag)

IslamicStudent Jumlah pelajar di institusi pendidikan

formal Islam

Kementerian Agama

(Kemenag)

Page 19: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

19

Model Estimasi Data Panel

Penelitian ini menggunakan analisis data panel, dimana data panel merupakan kumpulan amatan

terhadap suatu objek dalam suatu periode waktu (Gujarati, 2004), atau gabungan antara data

cross section dan time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dari waktu

terhadap banyak individu, sedangkan time series data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu

terhadap suatu individu. Model persamaan data panel yang merupakan gabungan dari data cross

section dan data time series adalah sebagai berikut:

Yit = 𝛼 + β1X1it + β2X2it + … + βNXNit + eit

dimana:

Yit = variabel terikat (dependent)

Xit = variabel bebas (independent)

i = entitas ke-i

t = periode ke-t

Regresi data panel memiliki tujuan yang sama dengan regresi linier berganda, yaitu

memprediksi nilai intersep (𝛼) dan slope/koefisien regresi (𝛽). Penggunaan data panel dalam

regresi akan menghasilkan intersep dan slope yang berbeda pada setiap entitas/individu dan

setiap periode waktu. Model regresi data panel yang akan diestimasi membutuhkan asumsi

terhadap intersep, slope dan variabel gangguannya. Penggunaan model data panel memberikan

dua keuntungan dibandingkan data time series atau cross section saja (Verbeek, 2004). Pertama,

dengan mengombinasikan data time series dan cross section dalam data panel akan membuat

jumlah observasi menjadi lebih besar. Selain itu, marginal effect dari variabel independen dapat

dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga meningkatkan akurasi estimasi jika

dibandingkan dengan model lain. Menurut Hsiao (2004), data panel dapat memberikan data yang

informatif, mengurangi kolinearitas antarpeubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang

akhirnya efisiensi. Kedua, data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang

secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau time series saja. Metode

ini mampu secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu pada langkah estimasinya.

Data panel juga lebih baik untuk studi yang berkaitan dengan perubahan dinamis (dynamics of

adjustments).

Menurut Gujarati (2004), terdapat tiga pendekatan yang umum diaplikasikan dalam data

panel, yaitu Pooled Least Square (PLS)/Common Effect Model, Fixed Effects Model (FEM) dan

Random Effects Model (REM). Model Common Effect adalah model yang paling sederhana,

karena metode yang digunakan dalam metode Common Effect hanya dengan mengkombinasikan

data time series dan cross section. Dengan hanya menggabungkan kedua jenis data tersebut,

maka dapat digunakan metode Ordinal Least Square (OLS) atau teknik kuadrat terkecil untuk

mengestimasi model data panel (Juanda dan Junaidi, 2012). Dalam pendekatan ini tidak dapat

membedakan dimensi individu maupun waktu, dan mengasumsikan bahwa perilaku data antar

individu sama dalam rentang waktu pengamatan. Berikut model matematis PLS (Firdaus, 2011) :

Page 20: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

20

yit = 𝛼i + Xit 𝛽 + uit

di mana 𝛼i bersifat konstan untuk semua observasi, atau 𝛼i = 𝛼. Asumsi ini jelas sangat jauh dari

realita sebenarnya, karena karakteristik antar individu baik dari segi kewilayahan jelas sangat

berbeda. Asumsi ini pada akhirnya juga dapat menyebabkan pendugaan parameter 𝛽 menjadi

bias. Berdasarkan hal tersebut, model PLS tidak akan dijadikan acuan model penelitian dan

penelitian ini akan mengedepankan pendekatan FEM dan REM. Model FEM dan REM

dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan

peubah bebas (regressor). Misalkan:

y(it) = 𝛼i + Xit 𝛽 + εit

Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:

εit = i + uit

Sedangkan pada two way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam

bentuk:

εit = i + t + uit

Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek

dari individu (i). Pada two way, dimasukkan efek dari waktu (t) ke dalam komponen error. Jadi

pembeda antara FEM dengan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara i dan t

dengan Xit.

(1) Model Efek Tetap (Fixed Effect Model/FEM)

Model ini digunakan untuk mengatasi kelemahan dari analisis data panel yang menggunakan

metode common effect, penggunaan data panel common effect tidak realistis karena akan

menghasilkan intercept ataupun slope pada data panel yang tidak berubah baik antar individu

(cross section) maupun antar waktu (time series).

Model ini juga untuk mengestimasi data panel dengan menambahkan variabel dummy.

Model ini mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda antar individu. Perbedaan ini dapat

diakomodasi melalui perbedaan diintersepnya. Oleh karena itu dalam model fixed effect, setiap

individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi dengan menggunakan

teknik variabel dummy. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalnya persamaan awal seperti

pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable dgit = 1 (g=i), sebagaimana Firdaus (2011).

yit = 𝛼i + X’it 𝛽 + uit

dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g=i), persamaan awal menjadi:

yit = 𝛼1d1it + 𝛼2d2it + …+ 𝛼NdNit +X’it 𝛽 + uit

persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter 𝛽LSDV.

Teknik ini dinamakan Least Square Dummy Variabel (LSDV) (Baltagi, 2005). Selain diterapkan

untuk efek tiap individu, LSDV ini juga dapat mengkombinasikan efek waktu yang bersifat

sismatik sehingga menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien. Meski begitu,

pendekatan ini memiliki kelemahan jika jumlah unit observasinya besar maka akan terlihat

cumbersome (rumit).

Page 21: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

21

(2) Model Efek Acak (Random Effect Model/REM)

Pendekatan ini muncul ketika efek individu dan regressor tidak menunjukkan adanya korelasi.

Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error.

Untuk one way error component, dibentuk dalam:

y(it) = 𝛼i + Xit 𝛽 + uit + i

Sedangkan untuk two way error component, komponen error dispesifikasikan ke dalam:

y(it) = 𝛼i + Xit 𝛽 + uit + i + t

Menurut Firdaus (2011), terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan untuk

menghitung estimator REM, yaitu between estimator dan Generalized Least Square (GLS).

Pertama, pendekatan between estimator berkaitan dengan dimensi antardata (differences between

individual) yang ditentukan sebagaimana pendekatan OLS pada sebuah regresi dari rata-rata

individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak hingga,

dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi atau E(xit, εi) = 0 dan

begitu juga dengan nilai rata-rata error-nya. Kedua, pendekatan GLS yang mengombinasikan

informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat

dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah

regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random

effects estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

βRE = βBetween + (Ik - ) βWithin

Uji Kesesuian Model

Uji kesesuaian model ditujukan untuk menentukan teknik mana yang sebaiknya dipilih untuk

regresi data panel. Terdapat beberapa uji kesesuaian model data panel untuk menentukan model

mana yang paling tepat dalam mengestimasi parameter data panel. Pertama, uji statistik F (uji

Chow) yang digunakan untuk memilih antara metode Commom Effect atau metode Fixed Effect

Model. Kedua, uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara metode Fixed Effect Model

atau metode Random Effect Model. Ketiga, uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk

memilih antara metode Commom Effect atau metode Random Effect Model.

(i) Uji Statistik F (Uji Chow)

Untuk mengetahui model mana yang lebih baik dalam pengujian data panel, dapat dilakukan

dengan penambahan variabel dummy sehingga dapat diketahui bahwa intersepnya berbeda dapat

diuji dengan uji Statistik F. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel

dengan metode Fixed Effect lebih baik dari regresi model data panel tanpa variabel dummy atau

metode Common Effect.

Hipotesis nul pada uji ini adalah bahwa intersep bernilai sama yang menunjukkan bahwa

model yang tepat untuk regresi data panel adalah Common Effect, sedangkan hipotesis

alternatifnya adalah intersep tidak bernilai sama atau model yang tepat untuk regresi data panel

adalah Fixed Effect. Nilai Statistik F hitung mengikuti distribusi statistik F. Apabila nilai F

hitung lebih besar dari F kritis maka hipotesis nul ditolak yang artinya model yang tepat untuk

Page 22: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

22

regresi data panel adalah model Fixed Effect. Sebaliknya apabila nilai F hitung lebih kecil dari F

kritis maka model yang tepat untuk regresi data panel adalah model Common Effect.

(ii) Uji Hausman

Uji Hausman ini didasarkan pada ide bahwa Least Squares Dummy Variables (LSDV) dalam

metode metode Fixed Effect dan Generalized Least Squares (GLS) dalam metode Random

Effect adalah efisien sedangkan Ordinary Least Squares (OLS) dalam metode Common

Effect tidak efisien. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Squares dengan

derajat kebebasan (df) sebesar jumlah variabel bebas.

Hipotesis nulnya adalah bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah

model Random Effect dan hipotesis alternatifnya adalah model yang tepat untuk regresi data

panel adalah model Fixed Effect. Apabila nilai statistik Hausman lebih besar dari nilai kritis Chi-

Squares maka hipotesis nul ditolak yang artinya model yang tepat untuk regresi data panel

adalah model Fixed Effect. Dan sebaliknya, apabila nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai

kritis Chi-Squares maka hipotesis nul diterima yang artinya model yang tepat untuk regresi data

panel adalah model Random Effect.

(iii) Uji Lagrange Multiplier (LM)

Uji LM ini didasarkan pada distribusi Chi-Squares dengan derajat kebebasan (df) sebesar jumlah

variabel independen. Hipotesis nulnya adalah bahwa model yang tepat untuk regresi data panel

adalah Common Effect, dan hipotesis alternatifnya adalah model yang tepat untuk regresi data

panel adalah Random Effect. Apabila nilai LM hitung lebih besar dari nilai kritis Chi-

Squares maka hipotesis nul ditolak yang artinya model yang tepat untuk regresi data panel

adalah model Random Effect. Dan sebaliknya, apabila nilai LM hitung lebih kecil dari nilai

kritis Chi-Squares maka hipotesis nul diterima yang artinya model yang tepat untuk regresi data

panel adalah model Common Effect.

3.2.4 Spesifikasi Model Pertumbuhan TFP Regional

Mengacu kepada Baltagi (2005) dalam pembentukan model data panel, yang juga turut

memasukkan komponen inovasi, cultural capital dan values, maka spesifikasi model

pertumbuhan TFP yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

𝑇𝐹𝑃𝐺𝑡 = 𝛾0 + 𝛾1 𝐻𝐷𝐼𝑡 +𝛾2 𝑀𝑎𝑛𝑢𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ𝑡 + 𝛾3𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ𝑡 + 𝛾4𝐶𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ𝑡

+ 𝛾5𝑆𝑜𝑐𝑒𝑐𝑃𝑟𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑐𝑒𝑠𝑡 + 𝛾6𝑙𝑜𝑔(𝑊𝑜𝑟𝑠ℎ𝑖𝑝𝐻𝑜𝑢𝑠𝑒)𝑡

+ 𝛾7 𝑙𝑜𝑔(𝐼𝑠𝑙𝑎𝑚𝑖𝑐𝑆𝑡𝑢𝑑𝑒𝑛𝑡)𝑡 + 𝛾8 𝑙𝑜𝑔(𝑆𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝐹𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔)𝑡 + 𝑒𝑖𝑡

di mana TFPG merupakan pertumbuhan TFP di tingkat provinsi; HDI merupakan nilai dari

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setiap provinsi; ManuGrowth merupakan pertumbuhan

sektor industri pengolahan (manufaktur) di tingkat provinsi; TradeGrowth merupakan kinerja

perdagangan (ekspor + impor) setiap provinsi; CreditGrowth merupakan pertumbuhan alokasi

Page 23: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

23

kredit perbankan (umum) di tingkat provinsi; SocecPreferences merupakan Social Economic

Preferences -- Traditional Craftmanship (Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradional);

WorshipHouse merupakan jumlah rumah ibadah; IslamicStudent merupakan jumlah pelajar di

institusi pendidikan Islam; dan SyariaFunding merupakan jumlah pembiayaan yang didanai oleh

Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Tanda yang diharapkan/diduga

diperoleh untuk variabel human capital (IPM) dan variabel makroekonomi adalah 𝛾1, 𝛾3 , 𝛾4 > 0.

Variabel inovasi, nilai budaya, dan values juga diharapkan akan meningkatkan produktivitas

(TFPG) sehingga tanda koefisien harapan untuk 𝛾2, 𝛾5, 𝛾6, 𝛾7 , 𝛾8 > 0.

IV HASIl ESTIMASI DAN ANALISIS

4.1. Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Regional

Perkembangan perekonomian regional Indonesia selama 2011-2018 didominasi oleh peranan

input kapital (Tabel 3). Hal ini terlihat jelas dari besarnya rata-rata nilai kontribusi pertumbuhan

tertimbang kapital (SKG) terhadap pertumbuhan ekonomi (EG), yaitu 35,17% (yoy). Sebaliknya,

peran kedua input lainnya dalam menggerakkan perekonomian tercatat masih sangat lemah. Hal

ini dibuktikan dari rendahnya nilai kontribusi kedua input tersebut, yakni input tenaga kerja

(SLG) sebesar 4,90% (yoy) dan input teknologi (TFPG) sebesar 6,86% (yoy). Kondisi

perekonomian Indonesia pasca krisis keuangan global 2008/2009 (GFC) masih sangat tergantung

pada keberadaan input kapital. Pentingnya peran kapital dalam pertumbuhan ekonomi ini

membuat pemerintah lebih berkonsentrasi pada berbagai upaya untuk mendorong perkembangan

input tersebut. Salah satu buktinya adalah tingginya rata-rata laju pertumbuhan tertimbang

kapital dibandingkan input lain yang mencapai 6,05% (yoy). Rata-rata laju pertumbuhan

tertimbang tenaga kerja hanya tumbuh sebesar 0,86% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tenaga

kerja utamanya disebabkan oleh peningkatan populasi yang pada akhirnya meningkatkan jumlah

angkatan kerja (aktif). Umumnya, tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal, di mana

persentasenya mencapai 58,22% pada Februari 2018 (BPS, 2018). Aktifitas ekonomi yang

banyak berada di sektor informal hanya sedikit berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi

(Sigit, 2004).

Tabel 3 Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi (%), 2011-2018

Provinsi Rata-Rata Pertumbuhan Tertimbang (%) Rata-Rata Kontribusi (%)

EG SLG SKG TFPG SLG SKG TFPG

Aceh 2.83 1.10 4.60 -2.87 3.18 12.75 -5.32

Sumatera Utara 5.62 0.57 5.84 -0.79 3.17 33.32 -4.50

Sumatera Barat 5.73 0.87 4.26 0.61 4.88 24.62 3.54

Riau 2.74 0.56 9.27 -7.09 1.58 24.94 -17.01

Jambi 5.88 1.01 5.13 -0.27 5.89 31.24 -0.54

Sumatera Selatan 5.54 0.88 4.53 0.12 5.18 25.42 0.64

Bengkulu 5.70 0.87 4.59 0.24 5.08 26.75 1.21

Page 24: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

24

Lampung 5.57 0.78 4.45 0.33 4.33 25.06 1.94

Kep. Bangka Belitung 4.92 1.29 7.19 -3.56 6.54 37.01 -18.56

Kep. Riau 5.74 0.67 11.56 -6.49 2.70 70.76 -37.47

DKI Jakarta 6.17 0.23 6.02 -0.08 1.43 37.31 -0.55

Jawa Barat 5.77 0.49 4.92 0.36 2.79 28.58 2.21

Jawa Tengah 5.29 0.29 5.18 -0.18 1.55 27.40 -0.96

DI Yogyakarta 5.34 0.30 4.57 0.47 1.58 24.35 2.67

Jawa Timur 5.87 0.09 5.24 0.55 0.46 30.93 3.30

Banten 6.04 1.14 6.92 -2.02 7.30 42.44 -12.84

Bali 6.41 0.99 7.21 -1.78 6.24 46.75 -11.68

Nusa Tenggara Barat 3.50 0.89 4.52 -1.91 5.51 16.27 53.12

Nusa Tenggara Timur 5.23 0.70 2.88 1.66 3.49 15.07 8.88

Kalimantan Barat 5.35 0.61 4.40 0.34 3.25 23.79 1.75

Kalimantan Tengah 6.65 1.05 5.28 0.31 7.09 35.37 2.00

Kalimantan Selatan 5.22 0.90 5.83 -1.51 4.65 31.32 -7.94

Kalimantan Timur 1.41 0.19 6.08 -4.86 1.10 9.77 6.26

Sulawesi Utara 6.29 0.96 5.73 -0.40 6.17 36.21 -2.76

Sulawesi Tengah 9.11 0.77 7.66 0.67 6.51 70.60 14.70

Sulawesi Selatan 7.63 0.81 7.35 -0.52 5.99 56.56 -4.01

Sulawesi Tenggara 7.83 0.90 7.32 -0.39 6.96 58.84 -0.70

Gorontalo 7.07 1.66 6.81 -1.40 11.28 49.33 -10.28

Sulawesi Barat 7.74 1.19 8.86 -2.30 10.20 72.19 -19.98

Maluku 6.04 1.33 0.93 3.79 7.97 5.58 23.32

Maluku Utara 6.64 1.94 8.88 -4.18 13.27 58.53 -27.07

Papua Barat 4.87 0.59 8.93 -4.66 3.10 43.28 -21.11

Papua 4.76 1.80 6.58 -3.62 1.20 28.31 10.56

Mean 5.65 0.86 6.05 -1.26 4.90 35.17 -2.04

Std Deviasi 1.50 0.43 2.06 -0.40 4.88 31.24 -0.55

4.2. Estimasi Model Pertumbuhan TFP Regional

4.2.1 Uji Asumsi Klasik

(i) Uji Stasioneritas

Penggunaan data panel akan meningkatkan nilai goodness of fit karena jumah sampel pada data

panel umumnya cukup besar. Di sisi lan, jumlah sampel yang besar berpotensi membawa risiko

perubahan struktur sehingga meningkatkan peluang terjadinya heterogenitas, utamanya pada

jumlah cross section yang besar. Untuk itu perlu dilakukan uji stasioneritas atau unit root test (uji

akar unit) terhadap model pertumbuhan TFP regional.

Tabel 1 Hasil Uji Stasioneritas Model Pertumbuhan TFP Regional

Page 25: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

25

Levin, Liu and Chu Test*

Variabel Statistic Prob** Cross-section Obs Status

TFPG -13.221 0.000 33 223 I(O)

HDI -13.416 0.000 33 198 I(1)

ManuGrowth -9.842 0.000 33 222 I(O)

TradeGrowth -17.323 0.000 33 216 I(O)

CreditGrowth -15.052 0.000 33 222 I(O)

SocecPreferences -14.412 0.000 24 113 I(O)

Log (WorshipHouse) -24.280 0.000 33 225 I(O)

Log (IslamicStudents) -11.191 0.000 33 198 I(1)

Log (SyariaCredit) -450.34 0.000 33 99 I(1)

ADF & PP (Fisher Chi-Square)***

Variabel Statistic Prob**

Cross-section Obs

Status ADF PP ADF PP ADF PP

TFPG 141.502 200.011 0.000 0.000 33 222 231 I(O)

HDI 136.695 196.051 0.000 0.000 33 222 231 I(1)

ManuGrowth 114.131 138.004 0.000 0.000 33 222 231 I(O)

TradeGrowth 187.868 241.106 0.000 0.000 33 216 231 I(O)

CreditGrowth 151.873 167.523 0.000 0.000 33 222 231 I(O)

SocecPreferences 93.6619 108.577 0.000 0.000 24 113 114 I(O)

Log (WorshipHouse) 245.313 293.687 0.000 0.000 33 225 231 I(O)

Log (IslamicStudents) 247.597 332.757 0.000 0.000 33 198 198 I(1)

Log (SyariaCredit) 114.805 150.923 0.000 0.000 33 99 99 I(1) *Null : Unit root (assumes common unit root process).

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi-square distribution. All other tests assume asymptotic normality. *** Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Hasil uji stasioneritas common root dengan menggunakan uji Levin, Liu dan Chu dan

individual root menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) & Philips-Peron (PP)

menunjukkan hasil estimasi yang serupa. Hasil uji akar unit menunjukkan bahwa sebagian besar

variabel telah lulus uji stasioner di tingkat level (Tabel 10). Beberapa variabel yang belum

stasioner di tingkat level adalah HDI, IslamicStudent dan SyariaFunding. Permasalahan

stasioneritas ketiga variabel tersebut hilang setelah dilakukan first difference (I=1).

(ii) Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang menyusun suatu

model memiliki sebaran data yang terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang memiliki

residu terdistribusi normal akan menghasilkan proses pengambilan kesimpulan yang lebih

meyakinkan, meski tidak semua metode mengharuskan dilakukan uji normalitas. Pada data panel

untuk model common effect dan fixed effect, perlu dilakukan uji asumsi klasik (salah satunya uji

normalitas) karena menggunakan pendekatan Ordinary Least Squares (OLS). Sementara itu

model random effect yang menggunakan pendekatan Generalized Least Squares (GLS) tidak

memerlukan uji asumsi klasik. Pengujian normalitas pada data panel dapat dilakukan melalui

Page 26: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

26

pendekatan Jarque-Bera dengan pengujian nilai statistik Chi-Square (Gujarati, 2004). Jika nilai

prob. Jarque-Bera > taraf signifikansi (0,05), maka terima H0 atau residual mempunyai distribusi

normal. Berdasarkan hasil uji normalitas pada Tabel 11, terlihat bahwa seluruh model fixed effect

yang digunakan dalam penelitian memiliki nilai prob. Jarque-Bera di atas 0,05, artinya terima H0

atau seluruh model fixed effect memiliki residu yang terdistribusi normal.

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Model Pertumbuhan TFP Regional

Model Jarque-Bera Prob.

Model (1) 2.6171 0.2702

Model (2) 5.6268 0.0600

Model (3) 1.8924 0.3882

(iii) Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat residu yang dihasilkan oleh model memiliki

varian yang konstan atau tidak. Heteroskedastisitas biasanya terjadi pada jenis data cross section.

Regresi data panel memiliki karakteristik tersebut sehingga memunculkan peluang timbulnya

masalah heteroskedastisitas. Dari ketiga model regresi data panel hanya model common effect

dan fixed effect saja yang memungkinkan terjadinya heteroskedastisitas. Hal ini dikarenakan

estimasi keduanya masih menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS), sementara

random effect sudah menggunakan Generalize Least Square (GLS) yang merupakan salah satu

teknik penyembuhan regresi.

Tabel 6 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Pertumbuhan TFP Regional

Model Obs*R-squared Prob. Chi-Square

Model (1) 5.2936 0.2785

Model (2) 6.7433 0.2404

Model (3) 7.6163 0.1787

Uji heteroskedastisitas menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey test. Jika diperoleh nilai

prob. Chi Square > taraf signifikansi (0,05), maka terima H0 atau berarti model bersifat

homoskedastisitas (asumsi non-heteroskedastisitas terpenuhi). Hasil Breusch-Pagan-Godfrey test

(Tabel 12) menunjukkan bahwa seluruh model fixed effect memiliki nilai prob. Chi Square di

atas taraf signifikansi (0.05), artinya terima H0 atau seluruh model fixed effect terlepas dari

permasalahan heteroskedastisitas.

(iv) Uji Multikolinearitas

Permasalahan multikolinearitas akan muncul saat model regresi menggunakan lebih dari satu

variabel bebas. Adanya multkolinearitas akan menyebabkan banyak variabel bebas tidak

signifikan yang memengaruhi variabel terikat namun tetap menghasilkan nilai koefisien

determinasi yang tinggi. Untuk data panel, metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya

multikolinearitas adalah melalui korelasi berpasangan. Pengunaan metode korelasi berpasangan

Page 27: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

27

akan membuat peneliti dapat mengetahui secara rinci variabel bebas apa saja yang saling

berkorelasi dan sejauh mana korelasi tersebut terjadi. Pengambilan keputusan metode korelasi

berpasangan dilakukan jika nilai korelasi dari masing-masing variabel bebas > 0,85 maka tolak

H0 atau di dalam model tersebut terdapat masalah multikolinearitas (Widarjono, 2007).

Berdasarkan hasil korelasi berpasangan, tidak terdapat variabel bebas pada setiap model estimasi

yang memiliki nilai korelasi > 0,85, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi masalah

multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada Lampiran 1-8.

4.4.2 Estimasi Model Pertumbuhan TFP Regional

Hasil estimasi model pertumbuhan TFP regional dapat dilihat pada Tabel 13. Model (1) pada

Tabel 13 merupakan model umum dalam memprediksi variabel-variabel yang memengaruhi

pertumbuhan TFP di tingkat regional yang ditambah dengan memasukkan komponen inovasi.

Pada model tersebut, variabel HDI --sebagai proksi dari human capital-- memberikan dampak

yang signifikan dan positif terhadap pertumbuhan produktivitas regional. Hal ini melengkapi

riset OECD (2012) yang menjelaskan bahwa human capital, yang merupakan bagian dari

Knowledge Based Economy (KBE), memberikan pengaruh positif terbesar terhadap produktivitas

(di level makro). Investasi pada human capital akan memberikan keunggulan kompetitif yang

berkelanjutan, berbeda dengan investasi di bidang teknologi yang hanya memberikan

keunggulan kompetitif yang terbatas (Pfeffer, 1994). Inovasi, yang diproksi menggunakan

pertumbuhan sektor manufaktur, memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap

pertumbuhan produktivitas regional. Temuan ini sejalan dengan Gerguri dan Ramadani (2010)

yang menjelaskan bahwa inovasi akan meningkatkan produktivitas melalui cara baru dalam

proses berproduksi. Penciptaan inovasi memiliki kaitan yang erat dengan basic knowledge yang

diperoleh dari pendidikan dan sains (OECD, 2007). Oleh karena itu diperlukan sistem

pendidikan yang baik dan accessible untuk masyarakat luas agar mampu memfasilitasi proses

difusi inovasi.

Model (2) merupakan pengembangan dari model (1) dengan menambahkan komponen

budaya (traditional craftmanship). Pada model ini, variabel HDI dan budaya memberikan

dampak yang positif dan signifikan terhadap model pertumbuhan TFP. Hasil ini sesuai dengan

Bucci et al (2014) yang menjelaskan bahwa cultural capital akan memberikan dampak positif

terhadap agregat TFP, sehingga peningkatan investasi budaya akan menjadi sumber

pertumbuhan yang efektif. Hal ini juga sejalan dengan McCleary (2003) dan Guiso et al (2006)

yang menunjukkan bahwa budaya dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian.

Tabellini (2008) menjelaskan bahwa budaya (cultural traits) merupakan faktor penting dalam

kinerja ekonomi regional. Lebih lanjut, UNESCO (2001) menjabarkan bahwa budaya dapat

menghasilkan pendapatan melalui pariwisata, kerajinan tangan --termasuk di dalamnya

traditional craftsmanship-- maupun artefak dan berkontribusi terhadap sustainable development

di suatu wilayah/negara. Dari sisi ketenagakerjaan, sektor budaya (padat karya) akan mampu

memberikan dampak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Pengembangan budaya

(infrastruktur) juga merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi emerging countries,

Page 28: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

28

karena sektor ini diprediksi akan mampu menyerap lebih dari separuh turis internasional pada

2030 (Ernst dan Young, 2015) yang merupakan sumber devisa potensial.

Tabel 7 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan TFP Regional Independet

Variables Dependent Variable : TFPG

Descriptions (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Human

Capital

HDI 0.343***

(6.921)

0.363***

(5.353)

0.323***

(6.105) -0.027

(-0238) 0.036

(0.340)

Economic

Variables

TradeGrowth 0.000

(0.006)

0.000

(1.286)

0.000

(0.048)

0.000

(0.062)

0.000

(-0.742)

0.001

(1.226)

0.001

(1.252)

0.000

(0.795)

CreditGrowth 0.002

(0.528)

0.004

(0.522)

0.003

(0.650)

-0.002

(-0.281)

-0.006

(-0.431)

-0.005

(-0.339)

Innovation

ManuGrowth 0.061***

(2.881)

-0.033

-0.872)

0.059***

(2.850)

0.076***

(2.673)

0.090***

(3.280)

-0.073

(-1.088)

-0.075

(-1.130)

-0.050

(-0.794)

Social Economic

Preferences

Traditional

Craftmanship 0.012**

(1.636) 0.026**

(1.788)

0.026*

(1.830)

0.027**

(1.968)

Values

(Religiousity)

Log

(WorshipHouse) 0.409

(0.872) 0.441

(1.071)

Log

(IslamicStudent) 0.691**

(2.262) 0.544*

(1.800)

Log

(SyariaFunding) 0.012

(0.038) 0.001

(0.005)

Estimation FE

(weighted)

FE

(weighted)

FE

(weighted) RE RE RE RE RE

Observation 264 195 264 264 165 195 195 165

Adjusted R2 60.15 60.29 59.65 4.75 6.61 7.10 4.32 3.77

Model (3), (4) dan (5) merupakan pengembangan dari model (1) dengan menambahkan

komponen values (religiusitas) ke dalam model. Variabel-variabel yang dicoba sebagai proksi

untuk values antara lain jumlah rumah ibadah (model 3), jumlah pelajar di institusi pendidikan

formal Islam (Model 4) dan jumlah funding yang dilakukan oleh Bank Umum Syariah (BUS)

dan Unit Usaha Syariah (UUS) (Model 5). Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel values

pada Model (3) dan (5) memiliki tanda koefisien sesuai dengan yang diharapkan meski belum

mencapai taraf nyata yang diinginkan. Variabel values memberikan pengaruh yang signifikan

dan positif terhadap variabel dependen di Model (4). IslamicStudent memberikan pengaruh yang

positif dan signifikan diduga karena memiliki perilaku yang mirip dengan HDI, di mana human

capital sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai-nilai

Page 29: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

29

keagamaan yang ditanamkan kepada pelajar sejak usia dini akan memberikan kontribusi positif

terhadap kinerja produktivitas di tingkat regional.

Model (6), (7) dan (8) mencoba mengombinasikan peran culture dan values ke dalam

satu model untuk kemudian dilihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan produktivitas regional.

Hasil estimasi ketiga model tersebut menunjukkan bahwa variabel budaya selalu memiliki

pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel dependen. Hal ini mengisyaratkan

pentingnya peran culture dalam upaya peningkatan pertumbuhan produktivitas. Budaya, dalam

hal ini Intangible Cultural Heritage (ICH), dapat diwariskan atau ditransmisikan dari generasi ke

generasi dan membentuk identitas bagi masyarakat di suatu wilayah (UNESCO, 2009). Cultural

stock yang diwariskan secara turun-temurun ini akan terakumulasi dan membawa dampak positif

bagi pertumbuhan ekonomi dan potensi pendapatan (Bucci et al, 2014). Dari tiga variabel yang

digunakan sebagai proksi untuk values, hanya variabel IslamicStudent yang memberikan

pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas regional. Adanya

kendala terkait ketersediaan data untuk proxy keagamaan diduga menjadi penyebab hanya satu

variabel values yang bernilai signisikan. Meski begitu, hasil ini sejalan dengan hasil yang

diperoleh pada Model (4) di mana variabel IslamicStudent juga memberikan pengaruh yang

positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas regional.

Secara umum, hasil estimasi model menunjukkan output yang sesuai dengan hipotesis.

Model pertumbuhan TFP regional sebagian besar dapat dimodelkan dengan baik menggunakan

model estimasi yang didorong oleh inovasi, culture dan values. Hasil estimasi yang diperoleh

umumnya konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu seperti OECD (2007; 2012) dan

Gerguri dan Ramadani (2010) untuk indikator inovasi; Bucci et al (2014), McCleary (2003),

Guiso et al (2006), dan UNESCO (2001) untuk variabel budaya. Sementara itu, dua dari tiga

indikator values (religiusitas) yang digunakan pada penelitian ini memberikan hasil yang serupa

dengan Eum (2011), De Jong (2008) dan Mangeloja (2004) yakni belum adanya relevansi yang

jelas antara agama dengan kinerja ekonomi.

V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan berbagai uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan berbagai hal berikut.

Pertama, ptensi peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital) sangat besar sejalan

dengan modalitas yang dimiliki Indonesia dalam bentuk cultural capital dan values. Perbaikan

kualitas human capital tersebut sangat diperlukan utuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang

lebih cepat. Produktivitas dan inovasi berkembangnya dengan cepat sejalan dengan

meningkatnya kualitas human capital. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian

sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dijelaskan

dengan lebih baik menggunakan model endogenous growth yang salah satunya bertumpu pada

human capital.

Kedua, cultural capital dalam bentuk kekayaan budayaan (tangible) maupun nilai-nilai

budaya (intangible capital) berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas.

Page 30: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

30

Bangsa Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya seperti gotong royong--yang justru semakin

ditinggalkan--yang dapat memberikan dampak yang positif terhadap social capital seperti

integritas dan kejujuran. Terkait dengan hal ini, nilai-nilai keagamaan (religiousitas) juga

menjadi faktor penting yang secara signifikan memberikan dampak pada pertumbuhan

produktivitas.

Dalam penelitian ini digunakan beberapa indikator sebagai proksi cultural capital dan

values yang tersedia secara baik. Kondisi tersebut menjadi caveat dari penelitian ini sehingga

hasil yang diperoleh tidak sebaik yang diharapkan. Hal ini terkait dengan tidak tersedianya data

yang dianggap lebih relevan untuk menunjukkan tingkat religiousitas seperti data infaq/shodaqoh

atau data pengumpulan zakat dan wakaf atau data survei yang terkait.

Berbagai temuan tersebut memiliki beberapa implikasi diperlukannya upaya untuk

melestarikan dan membudayakan kembali budaya bangsa dan nilai-nilai kebangsaan luhur yang

bernilai positif yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Demikian pula halnya dengan upaya untuk

meningkatkan tingkat religiousitas masyarakat Indonesia ditengah keberagamanan yang ada.

Terakhir perlu disampaikan bahwa penelitian ini masih bersifat awal, dan dengan demikian

temuan yang dihasilkan masih perlu didalami lebih lanjut, Oleh karenanya diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk melihat variasi antar provinsi dengan memperkuat fisibilitas ketersediaan data

yang dibutuhkan.

Page 31: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

31

DAFTAR PUSTAKA

Affandi Y dan Anugrah DF. 2017. Strategi Pertumbuhan Di Indonesia: Pendekatan Growth Diagnostic,

Bank Indonesia, Jakarta

Akçomak İS. 2008. The Impact of Social Capital on Economic and Social Outcomes. Maastricht:

Universitaire Pers Maastricht.

Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester (EN): J Wiley & Sons Ltd.

Barro RJ dan McCleary RM. 2003. Religion and Economic Growth. NBER Working Paper No. 9682.

Boettke, P.J. (2009), Review of Eric L. Jones Cultures Merging: A Historical and Economic Critique of

Culture, Economic Development and Cultural Change, 57(2): 434–437.

Bourdieu P. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard

University Press.

Bourdieu P. 1986. The Forms of Capital. In Handbook of Theory and Research for the Sociology of

Education, edited by J.E. Richardson. New York: Greenwood.

Bourdieu, P. and Passeron, J. C. (1977) Reproduction in Education, Society and Culture. Beverly Hills:

Sage.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2018. Berita Resmi Statistik. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari

2018.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-Hari

Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010.

Bucci A, Sacco PL dan Segre G. 2014. Smart endogenous: cultural capital and the creative use of skills.

International Journal of Manpower. 35 (1/2): 33-55

Casson, Mark. 1993. ‘Enterpreneurship and Business Culture.’ In J. Brown and M.B. Rose, eds.,

Enterpreneurship, Networks and Modern Business, pp. 30-54. Manchester: Manchester University

Press.

CEIC. 2019. Gross Domestic Product : By Industry : Constant Price.Coleman JS. 1988. Social Capital in

the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology. 94: 95-120.

Coleman, JS. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Comin D. 2006. Total Factor Productivity. Part of the The New Palgrave Economics Collection book

series (NPHE). London: Palgrave Macmillan.

Cornell University, INSEAD, dan WIPO. 2019. Global Innovation Index. [Online] Available at:

https://www.globalinnovationindex.org/analysis-indicator [Diakses pada 15 Agustus 2019 pukul

13.13]

Cornell University, INSEAD, dan WIPO. 2019a. The Global Innovation Index 2019: Creating Healthy

Lives—The Future of Medical Innovation. Ithaca. Fontainebleau, dan Geneva.

Cornell University, INSEAD, dan WIPO. 2018. The Global Innovation Index 2018: Energizing the World

with Innovation. Ithaca, Fontainebleau, and Geneva.

De Jong E. 2008. Religious Values and Economic Growth: A Review and Assessment of Recent Studies.

NiCE Working Paper 08-111.

Dixit, A. K. and Stiglitz, J. E. (1977). Monopolistic Competition and Optimum Product Diversity. The

American Economic Review, 67 (3), 297–308.

Eichengreen, B., D. Park, and K. Shin, 2013, “Growth Slowdowns Redux: New Evidence on the Middle-

Income Trap,” NBER Working Paper 18673 (Cambridge, Massachusetts: National Bureau of

Economic Research).

Page 32: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

32

Ernst & Young. 2015. Cultural times: The first global map of cultural and creative industries

Eum W. 2011. Religion and Economic Development – A Study on Religious Variables Influencing GDP

Growth over Countries.

Eurostat dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). 2005. Oslo Manual:

Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data, 3rd edition. Paris: OECD.

Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data panel dan Time Series. Bogor: IPB Press

Ganev K. (2005). Measuring Total Factor Productivity: Growth Accounting for Bulgaria.

http://ssrn.com/abstract=2025902 [diunduh 15 Oktober 2019]

Gerguri S dan Ramadani V. 2010. The Impact of Innovation into the Economic Growth. MPRA Paper

No. 22270

Granato J, Inglehart R dan Leblang D. 1996. The Effect of Cultural Values on Economic Development:

Theory, Hypotheses, and Some Empirical Tests. American Journal of Political Science. 40(3):

607–631.

Greif, Avner, (1994), “Cultural Beliefs and the Organization of Society: A Historical and Theoretical

Reflection on Collectivist and Individualist Societies,” Journal of Political Economy, 102(5): 912-

50.

Greif, Avner (2005), Institutions: Theory and History. Comparative and Historical Institutional Analysis,

Cambridge University Press: Cambridge.

Grootaert C dan van Bastelaer T. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of

Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Social Capital Initiative

Working Paper No. 24.

Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics 4th Edition. New York (US): McGraw-Hill.

Guiso L, Sapienza P dan Zingales L. 2003. People’s Opium: Religion and Economic Attitudes. Journal of

Monetary Economics. 50(2003): 225-282.

Guiso L, Sapienza P dan Zingales L. 2006. Does Culture Affect Economic Outcomes? Journal of

Economic Perspectives. 20 (2): 23-48.

Harper-Scott, J.P.E; Samson, Jim (2009). An Introduction to Music studies. Cambridge: Cambridge

University Press.

Hofman B, Rodrick-Jones E, dan Thee KW. 2004. Indonesia: Rapid Growth, Weak Institutions, Paper

presented at the Scaling Up Poverty Reduction: A Global Learning Process and Conference, 25-27

May, Shanghai.

Juanda B dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bogor (ID): IPB Press.

Juhro SM & Trisnanto, B. 2018. Paradigma dan Model Pertumbuhan Endogen Indonesia. Working Paper

Bank Indonesia. Desember.

Juhro SM. 2016. Sustainable Economic Growth: Challenges dan Policy Strategy, in Growth Diagnostic:

Growth Strategy to Support Structural Reform in Indonesia, Juda Agung Edimon Ginting, Solikin

M. Juhro, and Yoga Affandi (Eds.), BI-ADB, 2016.

Juhro SM. 2015. "Sustainable Economic Growth: Challenges and Policy Strategies," Working

Papers WP/15/2015, Bank Indonesia.

Khan MM, Zhang J, Hashmi MS dan Bashir M. 2010. Cultural Values and Economic Growth in Asia: An

Empirical Analysis. International Journal of Business and Social Science. 1 (2): 15-27.

KKDSI UGM (Kelompok Kerja untuk Daya Saing Indonesia UGM). 2014. Catchup: Seberapa Jauh

Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-Negara Maju. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada

Page 33: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

33

Mangeloja E. 2005. Economic Growth and Religious Production Efficiency. Applied Economics. 37:

2349-2359

Narayan, Deepa, and Lant Pritchett. 1997. "Cents and Sociability: Household Income and Social Capital

in Rural Tanzania." Processed. World Bank, Washington, D.C.

OECD. 2007. Innovation and Growt: Rationale for an Innovation Strategy.

OECD. 2011. Sources of growth. In OECD Science, Technology and Industry Scoreboard 2011. OECD

Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/sti_scoreboard-2011-5-en

OECD. 2012. New Sources of Growth: Knowledge-Based Capital Driving Investment and Productivity in

the 21st Century. Interim Project Findings.

OECD. 2013. Supporting Investment in Knowledge Capital, Growth and Innovation. Introduction and

overview: Supporting investment in knowledge-based capital. OECD Publishing.

http://dx.doi.org/10.1787/9789264193307-en.

Pfeffer J. 1994. Competitive Advantage through People. California Management Review. 36(2) : 9-28.

Porter ME. 2000. Attitudes, Values, and Beliefs, and the Microeconomics of Prosperity, in ed. Lawrence

Harrison and Samuel Huntington Cu lture Matters: How Values Shape Human Progress. New

York: Basic Books, 202–218.

Portes, Alejandro. 1998. “Social Capital: Its Origins and Applications in Contemporary Sociology.”

Annual Review of Sociology 24: 1–24.

PUSKAS BAZNAS (Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional). 2018. Outlook Zakat Indonesia

2019.

PUSKAS BAZNAS (Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional). 2017. Outlook Zakat Indonesia

2018.

Putnam, R., with R. Leonardi, and R. Nanetti. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in

Modern Italy. Princeton: Princeton University Press.

Romer PM. 1990. Endogenous Technological Change. Journal of Political Economy. 98 (5): 71–102.

Sigit H. (2004). Total Factor Productivity Growth. Report of the Asian Productivity Organization (APO)

on Total Factor Productivity 2001/2002, 98-133.

Solow RM. 1956. A contribution to the theory of economic growth. Quarterly Journal of Economics. 70.

65–94.

Tabellini G. 2008. Culture and Institutions: Economic Development in the Regions of Europe. Mimeo

Throsby, D. (2001), Economics and Culture, Cambridge University Press, Cambridge.

UNCTAD. (2004). Creative Industries and Development (document TD(XI)/BP/13).

UNCTAD. (2010). Creative Economy Report 2010

UNESCO. (1986). The UNESCO Framework for Cultural Statistics. Statistical Commission and

Economic Commission for Europe, UNESCO, Conference of European Statisticians. Third Joint

meeting on Cultural Statistics, 17-20 March 1986. CES/AC/44/11. 13 February 1986.

UNESCO. (1995). “Our Creative Diversity”. Report of the World Commission on Culture and

Development. Paris: UNESCO.

UNESCO. (2001). UNESCO Universal Declaration on Cultural Diversity. Paris: UNESCO.

UNESCO. (2003). Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage. Paris: UNESCO.

UNESCO. (2009), Framework for Cultural Statistics, UNESCO, Paris.

UNESCO Institute for Statistics. 2019. UIS Stat. [Online] Available at: http://data.uis.unesco.org/#

[Diakses pada 13 September 2019 pukul 09.36]

Page 34: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

34

Uphoff, Norman. 2000. “Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of

Participation.” In Partha Dasgupta and Ismail Serageldin (eds.), Social Capital: A Multifaceted

Perspective, Washington, D.C.: World Bank.

Williamson CR. 2009. Informal Institutions Rule: Institutional Arrangements and Economic Performance.

Public Choice (2009) 139: 371-387

Williamson CR dan Karekes CB. 2008. Securing Private Property: Formal versus Informal Institutions.

Mimeo.

Woolcock, Michael. 1998. “Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis

and Policy Framework.” Theory and Society 27 (2): 151-208.

Woolcock, Michael, and Deepa Narayan. 2000. “Social Capital: Implications for Development Theory,

Research, and Policy.” World Bank Research Observer 15 (2): 225–249.

Voosholz F. 2014. A Survey on Modelling Growth with Special Interest on Natural Resource Use.

CAWM Discussion Paper No. 69.

Page 35: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

35

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji Multikolinearitas Model (1)

HDI MANUGROWTH TRADEGROWTH CREDITGROWTH

HDI 1.000 -0.092 -0.087 -0.158

MANUGROWTH -0.092 1.000 0.301 0.008

TRADEGROWTH -0.087 0.301 1.000 -0.002

CREDITGROWTH -0.158 0.008 -0.002 1.000

Lampiran 2 Uji Multikolinearitas Model (2)

HDI

MANU

GROWTH

TRADE

GROWTH

CREDIT

GROWTH

SOCEC_

PREFERENCES

HDI 1.000 -0.126 -0.093 -0.226 -0.202

MANUGROWTH -0.126 1.000 0.606 -0.026 -0.033

TRADEGROWTH -0.093 0.606 1.000 -0.013 -0.039

CREDITGROWTH -0.226 -0.026 -0.013 1.000 0.001

SOCEC_PREFERENCES -0.202 -0.033 -0.039 0.001 1.000

Lampiran 3 Uji Multikolinearitas Model (3)

HDI

MANU

GROWTH

TRADE

GROWTH

CREDIT

GROWTH

LOG

(WORSHIPHOUSE)

HDI 1.000 -0.092 -0.087 -0.158 0.198

MANUGROWTH -0.092 1.000 0.301 0.008 -0.079

TRADEGROWTH -0.087 0.301 1.000 -0.002 -0.083

CREDITGROWTH -0.158 0.008 -0.002 1.000 -0.027

LOG(WORSHIPHOUSE) 0.198 -0.079 -0.083 -0.027 1.000

Lampiran 4 Uji Multikolinearitas Model (4)

MANU

GROWTH

TRADE

GROWTH

CREDIT

GROWTH

LOG

(ISLAMICSTUDENT)

MANUGROWTH 1.000 0.301 0.008 -0.040

TRADEGROWTH 0.301 1.000 -0.002 -0.050

CREDITGROWTH 0.008 -0.002 1.000 -0.043

LOG(ISLAMICSTUDENT) -0.040 -0.050 -0.043 1.000

Lampiran 5 Uji Multikolinearitas Model (5)

HDI

MANU

GROWTH

TRADE

GROWTH

LOG

(SYARIAFUNDING)

HDI 1.000 -0.130 -0.134 0.593

MANUGROWTH -0.130 1.000 0.311 -0.144

TRADEGROWTH -0.134 0.311 1.000 -0.116

LOG(SYARIAFUNDING) 0.593 -0.144 -0.116 1.000

Page 36: PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES SEBAGAI …

36

Lampiran 6 Uji Multikolinearitas Model (6)

MANU

GROWTH

TRADE

GROWTH

CREDIT

GROWTH

SOCEC_

PREFERENCES

WORSHIP

HOUSE

MANUGROWTH 1.000 0.606 -0.026 -0.033 -0.011

TRADEGROWTH 0.606 1.000 -0.013 -0.039 -0.051

CREDITGROWTH -0.026 -0.013 1.000 0.001 -0.004

SOCEC_PREFERENCES -0.033 -0.039 0.001 1.000 0.296

WORSHIPHOUSE -0.011 -0.051 -0.004 0.296 1.000

Lampiran 7 Uji Multikolinearitas Model (7)

MANU

GROWTH

TRADE

GROWTH

CREDIT

GROWTH

SOCEC_

PREFERENCES

LOG

(ISLAMIC

STUDENT)

MANUGROWTH 1.000 0.606 -0.026 -0.033 -0.018

TRADEGROWTH 0.606 1.000 -0.013 -0.039 -0.053

CREDITGROWTH -0.026 -0.013 1.000 0.001 -0.012

SEP_002 -0.033 -0.039 0.001 1.000 0.120

LOG

(ISLAMICSTUDENT) -0.018 -0.053 -0.012 0.120 1.000

Lampiran 8 Uji Multikolinearitas Model (8)

HDI

MANU

GROWTH

TRADE

GROWTH

SOCEC_

PREFERENCES

LOG

(SYARIAFUNDING)

HDI 1.000 -0.151 -0.140 -0.280 0.605

MANUGROWTH -0.151 1.000 0.704 -0.072 -0.155

TRADEGROWTH -0.140 0.704 1.000 -0.050 -0.127

SOCEC_

PREFERENCES -0.280 -0.072 -0.050 1.000 -0.016

LOG

(SYARIAFUNDING) 0.605 -0.155 -0.127 -0.016 1.000