cultural studies next.docx

24
CULTURAL STUDIES Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi Oleh : BANNY ADAM WIBOWO 105120201111019 M. IQBAL OKTAQVIAN 105120205111008 ANDREW SWANDY 105120205111004 ADI BAKHTIAR 105120207111012 GANDHI HIDAYATULLAH 105120207111016 E. IK. 3 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Upload: banny-adam

Post on 28-Nov-2015

100 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cultural Studies next.docx

CULTURAL STUDIES

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi

Oleh :

BANNY ADAM WIBOWO 105120201111019

M. IQBAL OKTAQVIAN 105120205111008

ANDREW SWANDY 105120205111004

ADI BAKHTIAR 105120207111012

GANDHI HIDAYATULLAH 105120207111016

E. IK. 3

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

Page 2: Cultural Studies next.docx

Cultural Studies

Cultural studies, yang merupakan paradigma baru dalam kajian ilmu sosial,

memperkenalkan budaya dalam dimensi yang baru. Bukan hanya sebagai kreasi manusia dan

hasil perilaku, melainkan menelaah pemahaman mendalam antara budaya dan kekuasaan yang

mendasarinya. Tujuan dari kajian budaya adalah untuk meneliti kekuasaan dan ideologi yang

membentuk kehidupan sehari-hari manusia. Segala yang tampak normal dan apa adanya dalam

kehidupan sehari-hari, seperti iklan bahkan perilaku nongkrong adalah produk bentukan dari

sebuah ideology. Metodologi krusial dalam membedah peran ideologi salah satunya melalui

analisis metodologi dengan semiotika Roland Barthes. Dalam kajian media, mitologi dengan

tajam menelaah bagaimana ideology yang dominant menghegemoni praktik kehidupan

masyarakat sehari-hari.

Pendahuluan

1. Makna Budaya

Kajian ilmu komunikasi yang cenderung linier dan transmisional serasa mendapatkan

angin segar dengan kehadiran kajian budaya, atau yang disebut cultural studies. Kajian ini relatif

baru, dalam artian lahir disekitar tahun 60-an. Hingga kini, kajian ini masih hangat dikalangan

pemerhati dan akademisi yang progresif. Tak hanya dibidang ilmu komunikasi saja, cultural

studies juga merambah bidang keilmuwan yang lain seperti psikologi, antropologi, linguistik

ilmu politik hingga sains. Mengapa bisa begitu ? karena memang yang menjadi objek

perhatiannnya adalah budaya, tentu saja dalam arti luas.

Apa sebenarnya pengertian dari budaya dalam konteks cultural studies ? Kebudayaan

merupakan sebuah kata yang relatif sulit didefinisikan karena memang ruang lingkupnya yang

terlalu luas, dalam buku Seri mengenal dan Memahami Sosiologi, Richard Osborne dan Borin

Page 3: Cultural Studies next.docx

Van Loon merinci apa-apa saja yang bisa masuk dalam kategori kebudayaan. Hal-hal itu adalah :

(Osborne, Van Loon , 2005 : 139) :

1. Norma-norma , nilai-nilai , ide-ide , dan cara melakukan sesuatu di masyarakat tertentu.

2. Semua sarana komunikasi, seni, benda-benda material, dan objek-objek , yang sama-sama

dimiliki oleh suatu masyarakat. Pengembangan pikiran, peradaban dan cara belajar masyarakat.

3. Cara hidup yang dianut oleh kelompok budaya tertentu.

4. Praktik-praktik yang menghasilkan makna dalam suatu masyarakat (yang menandakan praktik

tersebut).

2. Sejarah Cultural Studies

Adalah BCCC, tempat cultural studies pertamakalinya berkembang. Birmingham Centre

for Contemporary Cultural Studies, biasa disingkat Birmingham Centre, berada di Universitas

Birmingham, salah satu universitas tua di Inggris. Birmingham Centre didirikan pada tahun

1964, sebagai pusat penelitian universitas, dan dipimpin pertama kali oleh Richard Hoggart.

Ketika Hoggart meninggalkan Birmingham pada tahun 1968, ia digantikan oleh Stuart Hall.

Dibawah Hall, pada tahun 1970-an dan 1980-an, Birmingham Centre menjadi pusat pemikiran

intelektual yang paling penting di dataran Eropa dan Amerika. Birmingham Centre mengajarkan

cultural studies baik di tingkat sarjana maupun pasca sarjana dan aktif mempromosikan

penelitian di bidang ini. Hall menerbitkan jurnal khusus yaitu Working Papers in Cultural

Studies yang dipublikasikan bekerjasama dengan Hutchinson. Selain itu, sejak tahun 1991,

Birmingham Centre mempublikasikan jurnal Cultural Studies from Birmingham, dan yang

paling baru adalah The European Journal of Cultural Studies yang diterbitkan Sage.

Sumbangan penting Birmingham Centre dalam cultural studies adalah kepeloporannya

dalam studi subkultur, suara-suara yang marjinal dari budaya dominan. Sangat berbeda dengan

yang dilakukan oleh Matthew Arnold (pelopor english studies) yang terfokus pada konstruksi

Page 4: Cultural Studies next.docx

penyatuan kebudayaan nasional yang ideologinya sangat borjuis dan eksklusif, serta bertujuan

utama untuk mengkonstruksikan kebudayaan nasional Inggris yang sesuai dengan kebijakan

pemerintah Inggris. Birmingham Centre tidak seperti itu. Studi yang terkenal dari Birmingham

Centre adalah tentang ras, kelas dan gender. Kobena Mercer mendeskripsikan studi yang

dilakukan Birmingham Centre ini dengan "the all too familiar `race, class, gender' mantra".

Tema-tema yang selalu jadi perhatian utama Hall, termasuk juga yang mewarnai kajian-kajian

Birmingham Centre adalah yang selalu berkaitan dengan kebudayaan, ideologi dan identitas.

Kontribusi pentingnya adalah ia berhasil membuat studi untuk mencari makna ideologis dari

bentuk-bentuk kebudayaan yang ada. Birmingham Centre juga adalah kelompok yang

memelopori pemakaian semiotika dalam cultural studies.

Kajian-kajian Birmingham Centre tentang subkultur dan kebudayaan marjinal

(marginalized studies) sudah dimulai sejak akhir `60-an. Sebagai contoh, Stuart Hall sudah

menulis laporan penelitian "The Hippies: An Amarican Moment" pada tahun 1968. Peneliti

Birmingham lainnya, Dick Hebdige, menulis penelitian "Reggae, Rastas and Ruddies: Style and

the Subversion of Form" pada tahun 1974, dan John Clarke pada tahun yang sama sudah

membuat penelitian "The Skinheads and the Study of Youth Culture" (tahun 1973 ia meneliti

"Football Holliganism and the Skinheads"). Tema-tema penelitian Birmingham Centre yang lain

misalnya: youth culture, fashion, musik, budaya olah raga, atau karya-karya fiksi. Dengan tema-

tema seperti itu wajar saja kalau Birmingham Centre lantas menjadi sumber inspirasi dalam

cultural studies di seluruh dunia. Di tahun `90-an saja tema-tema penelitian Birmingham Centre

masih aktual dibicarakan.

3. Definisi Cultural Studies

Dari definisi diatas, budaya terasa hampir meliputi segala sesuatu, dan cultural studies

berarti mempelajari hampir segala sesuatu. Tidak mengherankan jika cultural studies tak

Page 5: Cultural Studies next.docx

memiliki batasan wilayah subjek yang didefinisikan secara jelas. Titik pijaknya adalah sebuah

ide mengenai budaya yang sangat luas dan mencakup semua hal yang digunakan untuk

menggambarkan dan mempelajari bermacam-macam kebiasaan. Inilah yang membuat cultural

studies berbeda dari disiplin ilmu yang lain. Cultural studies juga merupakan disiplin ilmu yang

menggabungkan dan meminjam secara bebas dari disiplin ilmu sosial, ilmu humaniora dan seni.

Ia mengambil teori-teori dan metodologi dari ilmu apapun yang diperlukannya sehingga

menciptakan sebuah bifurkasi. ‘Budaya’ dalam cultural studies tak didefinisikan sebagai ‘budaya

tinggi’, sebuah budaya adiluhung estetis, namun lebih kepada teks dan praktik kehidupan sehari-

hari . Budaya dalam cultural studies bersifat politis , yaitu sebagai ranah konflik dan pergumulan

kekuasaan. Kiranya, budaya dan pergumulan kekuasaan yang melingkupinya inilah yang

menjadi inti dari cultural studies.

Sardar dan Van Loon dalam Memahami Cultural Studies memberikan karakteristik yang

mudah-mudahan bisa memberi batasan kajian ini : (Sardar, Van Loon , 2005 : 9) :

1. Cultural studies bertujuan menelaah persoalan dari sudut praktik kebudayaan dan

hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan hubungan kekuasaan

dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan mambentuk praktik-praktik

kebudayaan.

2. Cultural studies tidak hanya semata-mata studi mengenai budaya, seakan-akan budaya itu

terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala

bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks sosial politik tempat dimana budaya itu

mewujudkan dirinya.

3. Budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi : sekaligus merupakan objek

studi dan lokasi tindakan kritisisme politik. Cultural studies bertujuan menjadi keduanya, baik

usaha pragmatis maupun intelektual.

Page 6: Cultural Studies next.docx

4. Cultural studies berupaya menyingkap dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi

perpecahan antara bentuk (pengetahuan yang tak tampak pengetahuan intuitif berdasarkan

budaya lokal) dan yang objektif (yang dinamakan universal). Bentuk-bentuk pengetahuan

cultural studies mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan antara yang mengetahui

dan yang diketahui, antara pengamat dan yang diamati.

5. Cultural studies terlibat dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal

aksi politik. Tradisi cultural studies bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan

tradisi yang punya komitmen terhadap rekonstruksi sosial dengan terlibat kedalam kritik politik.

Jadi, cultural studies bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi dimanapun, tetapi

secara lebih khusus dalam masyarakat kapitalis industri.

6. Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif dan disiplin yang

berlainan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayan dan kekuasaan.

(Bennet, dalam Chris Barker, 2005:8)

4. Konsep Kunci Cultural Studies

a. Kebudayaan dan Praktik Signifikasi

Cultural Studies tidak akan mampu mempertahankan namanya tanpa focus pada

kebudayaan. Kebudayaan dan praktik pemaknaan “kebudayaan adalah lingkungan aktual untuk

berbagai praktik, representasi, adat masyarakat tertentu” (Hall, 1996c;439). Kebudayaan terkait

dengan pertanyaan tentang makna sosial yang dimiliki bersama, yaitu berbagai cara kita

memahami dunia ini. Tetapi, makna tidak semata-mata mengawang-awang, melainkan mereka

dibangun melalui tanda, khususnya tanda-tanda bahasa.

Cultural Studie menyatakan bahwa bahsa bukanlah media netral bagi pembentukan

makna dan pengetahuan tentan dunia objek independen yang ada du luar bahasa, tapi ia

merupakan bagian utama dari makna dan pengetahuan tersebut. Jadi, ahasa member makna pada

Page 7: Cultural Studies next.docx

objek material dan praktik sosial yang dibeberkan oleh bahasa kepada kita dan membuat kita bisa

memikirkannya dalam konteks yang dibatasi oleh bahasa. Proses-proses produksi makna

merupakan praktik signifikasi/pemaknaan, dan memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi

bagaimana makna dihasilkan secara simbolis dalam bahsa sebagai suatu sistem signifikasi.

b. Representasi

Bagian terbesar cultural studies terpusan pada pertanyaan tentang representasi, yaitu

bagaimana dunia ini dikonstrksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita.

Bahkan unsure utama cultural studies dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai

praktik signifikasi representasi. Ini mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna

tekstual. Ia juga mengehendaki penyelidikan tetang cara dihasilkannya makna pada beragam

konteks. Representasi dan makna cultural memiliki materialtias tertentu, mereka melekat pada

bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah dan progam televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan,

digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.

c. Materialism dan Nonreduksionisme

Cultural Studies sebagian besar, memberi perhatian pada ekonomi modern yang

terindutrialisasi dan budaya media yang terletak di sepanjang gars sistem kapitalis dimana

representasi diproduksi oleh perusahaan yang didorong oleh motif mencari laba. Dalam konteks

ini, cultural studies telah mengembangkan bentuk materialism cultural yang berusaha

mengeksplorasi bagaimana dan mengapa makna dibentuk dan ditentukan pada momen priduksi.

Jadi, selain terpusat pada praktik-pratik signifikasi, cultural studies juga berusaha

menghubungkannya dengan ekonomi politik, suatu disiplin yang membahas kekuasaan dan

distribusi sumber daya ekonomi dan sosial. Konsekuensinya, cultural studies banyak

membicarakan siapa yang memiliki dan mngotrol produksi cultural, distribusi dan

Page 8: Cultural Studies next.docx

mekanismenya, dan akibat-akibat dari pola-pola kepemilikan dan control tersebut bagi kontur

lanskap cultural.

Disamping itu, salah satu prinsip utama cultural studies adalah karakter non-

reduksionisme-nya. Nonreduksionisme cultural studies menegaskan bahwa pertanyaan seputar

kelas, gender, seksualitas, ras, etnisitas, bangsa dan usia memiliki kekhasan masing-masing yang

tidak dapat direduksi menjadi soal ekonomi politik ataupun direduksi satu sama lain. Sebagai

contoh isu ras tidak boleh dijelaskan semata-mata dalam konteks kelas. Pada saat yang sama,

masing-masing berimplikasi memahami bagaimana dia telah digenderkan. Bangsa secara umum

dibicarakan dan dirujuk sebagai perempuan dan istilah ‘ras’ dikatkan dengan ide pelacak silsilah

“laki-laki”.

d. Artikulasi

Dalam rangka menbuat teori tentang hubungan antar berbagai formasi sosial. Dalam

rangka membuat teori tentang hubungan antar berbagai komponen formasi sosial,

cultural studies menggunakan konsep artikulasi. Ide ini mengacu pada pembentukan

kesatuan temporer antar sejumlah elemen yang tidak harus saling beriringan. Jadi,

representasi gender bisa ‘ditempatkan bersama’ dengan repsentasi ras, sebagaimana

yang terjadi pada nasionalitas yang dijelaskan di atas, dengan cara yang khas dan serba

tidak menentu yang tidak dapat diprediksikan sebelum fakta ditemukan.

e. Kekuasaan

Konsep kekuasaan dalam cultural studies, terdapat pada setiap level hubungan sosial.

Kekuasaan bukan hanya sekedar perekat yang menyatukan kehidupan sosial, atau

kekuatan koersif yang menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain,

meskipun dia pada dasarnya memang demikian, karena dia juga merupakan proses

membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan, hubungan atau

Page 9: Cultural Studies next.docx

tatanan sosial. Dalam hal ini, kekuasaan, meskipun benar-benar menghambat juga

melapangkan jalan. Di samping itu, cultural studies menunjukan perhatian khusus

terhadap kelompok-kelompok pinggiran, pertama-tama soal kelas, dan kemudian baru

karena soal ras, gender, kebangsaan, kelompok umur, dan lain.

f. Budaya pop

Budaya pop banyak menyita perhatian cultural studies karena sebagai landasan dimana

persetujuan dapat dimenangkan atau tidak. Budaya pop juga menjadi sebuah cara

untuk menjelaskan hubungan antara kekuasaan dan persetujuan. Terdapat dua konsep

didalam budaya pop yaitu ideologi dan hegomoni.

Ideology berarti makna yang menunjukan kebenaran universal namun kenyataannya

merupakan pemahaman spesifik yang mempunyai latar belakang tersendiri. Sebagai

contoh, representasi gender dalam iklan yang menggambarkan perempuan sebagai

perempuan sexy dan menarik sehingga mereduksi makna yang sebernya. Hegemoni

adalah sebuah situasi dimana satu kelompok berkuasa dalam satu periode tertentu

menerapkan otoritas dan kepemimpinan terhadap kelompol-kelompok subordinat

dengan cara menyetujui persetujuan kelompok–kelompok tersebut.

g. Teks dan pembacanya

Konsep teks bukan hanya mengacu pada kata-kata tertulis melainkan semua praktek

yang mengacu pada makna. Sebagai contoh, citra, bunyi, objekn dan aktivitas karena

semua itu mengacu suatu makna dengan mekanisme yang sama dengan bahasa. Makna

yang diperoleh pembaca satu dengan yang lain tidak akan sama

h. Subjektivitas dan Identitas

Cultural studies mengexplorasi bagaimana kita mendeskripsikan diri kita terhadap

orang lain, bagaimana kita di produksi sebagai subjek dan bagaimana kita

Page 10: Cultural Studies next.docx

mengidentifikasi. Sebuah argument yang dikenal anti esensialisme menyatakan bahwa

identitas itu dibentuk atau diciptakan ketimbang ditemukan oleh representasi terutama

oleh bahasa.

i. Marxisme dan Cultural Studies

Kita hidup di dalam formasi sosial yang ditata di sepanjang system kapitalis dengan

mendalamnya pembagian kelas yang terwujud dalam kerja, upah, perumahan, pendidikan, dan

kesehatan. Marxisme memiliki pandangan tentang keniscayaan tujuan gerak sejarah, antara lain

keruntuhan kapitalisme dan kehadiran masyarakat tanpa kelas. Marxisme yang determenistik

merendahkan martabat manusia hanya sebagai agen. Marxisme dan cultural studies memiliki

komitmen untuk melakukan perubahan lewat perantara manusia yang dicapai melalui kombinasi

teori dan aksi. Cultural studies menolak determinisme ekonomi yang terdapat dalam beberapa

pemikiran marxisme dan menegaskan spesifisitas kebudayaan. Cultural studies juga selalu

memberi perhatian pada keberhasilan nyata pada kapitalisme.

Berbicara mengenai kapitalisme tentu tak terlepas dengan teori Marxisme dan apapun

teori yang belakangan muncul karena terinspirasi ajaran Karl Marx. Begitupun dengan cultural

studies , yang mendasarkan pada marxisme. Marxisme menerangkan cultural studies dalam dua

cara fundamental. Pertama, untuk memahami makna dari teks atau praktik budaya, kita harus

menganalisisnya dalam konteks sosial dan historis produksi dan konsumsinya. Akan tetapi,

walau terbentuk oleh struktur sosial tertentu dengan sejarah tertentu, budaya tidak dikaji sebagai

refleksi dari struktur dan sejarah ini. Sejarah dan budaya bukanlah entitas yang terpisah. Cultural

studies menegaskan bahwa nilai pentingnya budaya berasal dari fakta bahwa budaya membantu

membangun struktur dan membentuk sejarah. Dengan kata lain, teks budaya misalnya, tak

sekedar merefleksikan sejarah. Teks budaya membuat sejarah dan merupakan bagian dari

pelbagai proses dan praktiknya, dan oleh karena itu, seharusnya dikaji karena pekerjaan

Page 11: Cultural Studies next.docx

(ideologis) yang dilakukan, dan bukan karena pekerjaan (ideologis) yang direfleksikan (yang

senantiasa berlangsung di tempat lain ).(Storey, 2007 : 4) Asumsi kedua menurut Storey adalah

pengenalan bahwa masyarakat industri kapitalis adalah masyarakat yang disekat-sekat secara

tidak adil menurut, misalnya garis etnis, gender, keturunan, dan kelas. Cultural studies

berpendapat bahwa budaya merupakan salah satu wilayah prinsipil dimana penyekatan ini

ditegakkan dan dipertandingkan. Budaya adalah suatu ranah tempat berlangsungnya pertarungan

terus menerus atas makna, dimana kelompok-kelompok subordinat mencoba menentang

penimpaan makna yang sarat akan kepentingan kelompok-kelompok dominan. Inilah yang

membuat budaya bersifat ideologis.

Ideologi merupakan sebuah konsep sentral dalam cultural studies. Bagaimana ideologi

dominan bisa diterima perlahan-lahan oleh kelompok subordinat inilah yang disebut dengan

hegemoni. Konsep hegemoni ini diambil dari Antonio Gramsci, seorang neo-marxis asal Italia.

Ia menelurkan konsep hegemoni sebagai sebuah hal yang mengikat masyarakat tanpa paksaan ,

ketika sedang dipenjara oleh kaum Fasis Italia di tahun 1926. Budaya adalah salah satu situs

kunci tempat terjadinya perjuangan bagi hegemoni.

j. Hegemoni Kultural dan Hegemoni Ideologis

Kebudayaan dikonstrusikan dalam beragam aliran makna dan mencakup berbagai macam

ideology dan bentuk kultrual. Namun, demikian dikatakan (Williams dan Hall dalam Chris

Barker 2005 ; 62 ) bahwa terdapat unsur makna yang dipandang sebagai induk dan besifat

dominan. Proses penciptaan peneguhan dan reproduksi makna dan praktik otoratitatif ini, oleh

Gramsci (1968) disebut dengan hegemoni.

Bagi Gramsci, hegemoni berarti situasi dimana suatu ‘blok historis’ kelas berkuasa

menjalankan otoriras sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi

antara kekuatan dengan persetujuan. Dalam analisis Gramscian, ideology dipahami sebagai ide,

Page 12: Cultural Studies next.docx

makna dan praktik yang kendati mengklaim sebagai kebenaran universal, merupaqkan peta

makna yang sebenarnya menopang kekuasaan kelompok sosial tertentu. Di atas itu semua,

ideology tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena

material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideology menyediakan aturan perilaku praktis

dan tutntunan moral yang sepadan dengqan agama yang secara sekuler dipahami sebagai

kesatuan keyakian antara konsepsi dunia dan norma tindakat terkait (Gramsci dalam Chris

Barker 2005 : 63 ).

Suatu blok hegemoni tidak pernah terdiri dari ketegori sosio-ekonomi tunggal, namun

dibentuk melalui serangkaian aliansi di mana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin.

Ideology memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini menanggalkan

kepentingan usaha ekonomi dan mengutamakan kepentingan ‘nasionalis-populer’.

Hegemoni dapat dipahami dalam konteks strategi dimana pandangan dunia dan kekuasan

kelompok sosial terlepas dari apakah mereka berupa kelas, seks, etnik atau nasionalitas.

Hegemoni adalah tempat tinggal sementara dan serangkaian aliansi antar kelompok sosial itu

adalah sesuatu yang diupayakan. Lebih jauh, dia perlu terus-menerus dimenangkan lagi,

dinegosiasikan ulang sehingga kebudayaan menjadi lahan konflik dan perjuangan mencapai

makna. Hegemoni bukan suatu entitas statis melainkan serangkaian diskursus dan praktik yang

terus berubah yang intrinsic menyatu dengan kekuatan sosial. Gramsci mendefinisikan hegemoni

sebagai proses berkelanjutan pembentukan dan penggulingan keseimbangan yang tidak stabil

antara kepentingan kelompok-kelompok fundamental dan kepentingan kelompok subordinat

keseimbangan dimana kepentingan kelompok dominan hadir, namun hanya pada batas-batas

tertentu.

Cultural Studies Gramscian

Page 13: Cultural Studies next.docx

Pengenalan dan penggunaan konsep gramscian dalam cultural studies terbukti memilki

pengaruh jangka panjang. Tidak semata-mata karena arti penting yang diberikan pada

kebudayaan pop sebagai arena perjuangan ideologis. Argument Gramsci bahwa “akan sangat

menarik kalau kita mengkaji secara konkrit berbagai bentuk ideologi sebagai gerakan di dalam

suatu Negara dan akan menarik kalau kita mengkaji bagaimana mereka berfungsi dalam

praktek”. Sebagai contoh, karya awal iklan ditujukan kepada persoalan ideologi dan hegemoni.

Analisis tekstual dan ideologis terhadap iklan menitikberatkan bukan hanya kepada penjualan

komoditas, namun juga cara memandang dunia. Tugas iklan adalah menciptakan “identitas” bagi

suatu produk di tengah-tengah pemborbardiran citra yang saling bersaing dengan

menegosiasikan merek bukan hanya dengan membeli suatu produk, namun juga soal membeli

gaya hidup dan nilai. Sebagaimana dinyatakan winship “seorang perempuan tidak lebih dari

komoditas yang dia kenakan: lipstick, celana panjang, pakaian, dan lain-lain adalah

‘perempuan’” (winship dalam barker 2005 : 67).

Objek dalam iklan adalah penanda makna yang kita decode dalam konteks system

kultural yang telah dikenal dan mengasosiasikan produk dalam iklan tersebut dengan ‘kebaikan-

kebaikan’ kultural lain.

k. Postmodernisme

Perubahan sosial dan perubahan kultural yang berada pada titik paling ujung

masyarakat dan mengarah kepada masa depannya sendiri ini bisa kita sebut

kehidupan di era postmodornisme. Habermas menyatakan bahwa modernitas

belum lagi berlalu, sedangkan giddens berpendapat bahwa kebanyakan eleman

yang dideskripsikan sebagai postmodern telah ada di zaman modern, tapi yang

jelas telah terjadi perubahan kultural secara signifikan dalam kehidupan masa kini

yang digambarkan dengan bahasa postmodern.

Page 14: Cultural Studies next.docx

Postmodern tidak harus berarti pascamodrnitas (sebagai suatu periode historis),

melainkan mengindikasikan suatu ‘struktur’ dan serangkaian praktik kultural.

Lash (1990) menggambarkan peralihan dari diskursif menjadi figural sebagai inti

dari pengaruh pascamodern. Yang dia maksuda adalah bahwa logika signifikasi

modern dan pascamodern bekerja dengan cara yang berbeda. Bagi lash rezim

signifikasi modernis memprioritaskan kata diatas citra, menyebarluaskan

pandangan dunia rasional, mengeksplorasi makna teks kultural dan menjauhkan

penonton dari objek kulturalnya. Sebaliknya, figural pascamodern lebih bersifat

visual, berasal dari kehidupan sehari-hari, mempertemukan pandangan

rasionalitas tentang kebudayaan dan mendekatkan penonton kepada hasrat

terhadap objek kulturalnya.

Jadi kebudayaan postmodern ditandai degan kabur dan runtuhnya sekat-sekat

tradisional antra kebudayaan dan seni, budaya tinggi dan budaya rendah, bisnis

dan seni, kebudayaan dan bisnis. Sebagai contoh, meningkatnya penampilan dan

status budaya pop, yang dipercepat oleh media elektronik, berarti bahwa

perbedaan antara budaya tionggi dan budaya rendah kita tidak lagi relevan.

Budaya tinggi tak lebih dari suatu subkultur, tak lebih dari suatu opini ditengah-

tengah kita. Lebih jauh lagi, goyahnya usaha untuk mempertahankan perbedaan

budaya tinggi/rendah.

l. Antiesensialisme

Esensialisme mengasumsikan bahwa kata-kata memiliki acuan tetap dan kategori

sosial mencerminkan identitas esensail yang melandasinya. Berdasarkan

pemahaman ini akan ditemukan suatu kebenaran tetap dan esensial, misalnya

berupa feminitas atau identitas kulit hitam.

Page 15: Cultural Studies next.docx

Namun, bagi para antiesensialisme tidak mungkin ada kepastian yang tetap dan

tidak mungkin ada kebenaran, poin-poin seperti subjek atau identitas disebut

terdapat di luar bahasa, sebuah bahasa yang tidak memiliki acuan tetap dan

dengan demikian tidak mampu mewakili kebenaran atau identitas yang tetap.

Dalam hal ini, feminitas atau identitas kulit hitam bukan merupakan suatu hal

yang universal dan tetap, melainkan hanyalah deskripsi-deskripsi dalam bahasa

yang melalui konvesi sosial berubah menjadi apa yang dihitung dan dianggap

sebagai kebenaran.

Bagi antiesensialisme seorang individu atau subjek bukanlah entitas universal

yang tetap, namun merupakan efek bahasa yang mengonstruksi ‘Saya’ dalam tata

bahasa. Subjek yang bertutur tergantung pada eksistensi posisi subjek diskursif

yang telah ada sebelumnya.

Antiesensialisme tidak berarti bahwa kita tidak boleh berbicara tentang kebenaran

atau indentitas, tetapi, ia berbicara tentang keduanya sebagai yang tidak bersifat

universal namun sebagai produksi kebudayaan daloam konteks ruang dan waktu

tertentu. Subjek yang berbicara tergantung pada eksistensi posisi yang telah ada

sebelumnya. Kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dibikim, sedangkan

identitas merupakan hasil konstruksi diskursif.

Page 16: Cultural Studies next.docx