islamic studies dan klasifikasi ilmu

30
TUGAS MANDIRI METODOLOGI STUDI ISLAM Islamic Studies Dan Klasifikasi Ilmu Disusun Oleh : Elisa Prima Yunita PRODI : PBS / C SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) METRO 2012

Upload: erik-pujianto

Post on 21-Jan-2016

147 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

TRANSCRIPT

Page 1: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

TUGAS MANDIRI

METODOLOGI STUDI ISLAM

Islamic Studies Dan Klasifikasi Ilmu

Disusun Oleh : Elisa Prima Yunita

PRODI : PBS / C

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) METRO

2012

Page 2: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah swt yag telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya pada

kita semua sehingga kita tetap diberikan untuk membaca dan mempelajari makalah ini.

Solawat serta salam senantiasa kita limpahkan kepada nabi besar Muhammad saw, yang telah

mengeluarkan kita dari zaman kebodohan.

Makalah disusun guna menunjang pembelajaran dikelas, yang disusun berdasarkan

referensi-refernsi terpercaya dengan penambahan dari pengetahuan penyusun. Dalam

makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami sebagai penyusun mohon maaf dan

mengharapkan masukan demi memnempurankan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya dan bermanfaat bagi kita

semua.

Metro,2 November 2012

Penyusun

Page 3: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

1. Studi Islam ............................................................................... 7

2. Pendekatan dalam kajian islam:normatif atau historis

(membangun kerangka dasar filsafat ilmu-ilmu keislaman) ... 9

A. Observasi Kritis Terhadap Ilmu-ilmu Keislaman ..............

B. Pengumpulan teori-teori dalam wacana keilmuan:

sepintas menengok problem/ masalah pertumbuhan ilmu . 11

C. Reserch program dalam terminologi lakatos: mempertegas

Wilayah historitas ilmu-ilmu keislaman ............................

D. Keterkaitan normativitas dan historitas dalam studi keislaman:

Lingkaran hermenetik antara bahasa, pemikiran, dan kesejarahan

Dalam ilmu-ilmu keislaman ............................................... 17

3. Filsafat ilmu-ilmu keislaman :

A. Tiga lapis peringkat ilmu-ilmu keislaman ......................... 22

B. Membangun kontruksi dasar filsafat ilmu-ilmu keislaman 24

C. Budaya berfikir baru yang ingin di kembangkan ............... 25

D. Catatan kritis ...................................................................... 29

BAB III PENUTUP

Kesimpulan .................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketegangan atau tension masih tampak begitu jelas antara sisi normativitas dan

historisitas keberagamaan di berbagai perguruan tinggi agama islam di tanah air.Untuk

mengurangi ketegangan yang seringkali tidak produktif, penulis menawarkan paradigma

keilmuan interkoneksitas dalam studi keislaman kontemporer di Peguruan Tinggi. Berbeda

sedikit dari paradigma integrasi keilmuan yang seolah-olah berharap tidak akan ada lagi

ketegangan yang di maksud, yakni dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke

dalam lainnya, baik dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam lainnya,

baik dengan cara melebur dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan

cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk ke

wilayah historitas-profanitas atau sebaliknya membenamkan dan meniadakan seluruhnya sisi

historisitas keberagamaan islam ke wilayah normativitas sakralitas tanpa reserve, maka

penulis menawarkan paradigma interkoneksitas yang lebih modest (mampu mengukur

kemampuan diri sendiri), humility (rendah hati) dan human (manusiawi).

Paradigma interkoneksitas ini berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas

fenomena kehidupan yang di hadapi dan di jalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun,

baik keilmuan agama (termasuk agama islam dan agama-agama lain, keilmuan

sosial,humaniora, maupun kelaman tidak dapat berdiri sendiri.Begitu ilmu pengetahuan

tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalan secara

sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain maka self/sufficiency

ini cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness untuk tidak menyebutnya

fanatisme partikularitas disiplin keilmuan.Kerja sama saling tegur sapa saling membutuhkan,

saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu

manusia memahami kompleksitas kehidupan yang di jalani dan di pecahkan persoalan yang

di hadapinya.

Secara epistemologi, paradigma interkoneksitas merupakan jawaban atau respon

terhadap kesulitan-kesulitan yang di rasakan selama ini, yang di wariskan dan di teruskan

selama berabad-abad dalam peradaban islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan

Page 5: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tanpa merasa perlu saling bertegur

sapa. Kesulitan epistimologis ini rupanya berdampak secara struktural politis dengan

berdirinya Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama di awal kemerdekaan

Republik Ini. Terpisahnya dua Depantemen ini, khususnya dalam hal pendidikan menambah

sempurnanya dikotomi di maksud. Dari waktu ke waktu, upaya untuk mendekatkan kembali

jurang pemisah atau gap antara keduanya, khususnya dalam wilayah pendidikan semakin

tampak nyata.

Paradigma interkoneksitas, secara aksiologis, hendak menawarkan pandangan dunia

(world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka

dialig dan kerjasama, transparan, dapat di pertanggung jawabkan secara publik dan

berpandangan ke depan.Secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi

semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya

pendukung keilmuan agama bersumber pada teks-teks ( hadlarah al-nash) dan budaya

pendukung keilmuan faktual historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman (

hadlarah al illm) serta budaya pendukung keilmuan etisfilosofis (hadlarah al-falsafah) masih

tetap saja ada. Hanya saja, cara berfikir dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni

ilmu-ilmu ini yang perlu berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya di dalam

birokrasi pendidikan, baik pada level prodi, jurusan maupun fakultas, dan lebih-lebih lagi

dalam diri ilmuan, dosen, akademisi atau researchers, yang termanifestasikan dan

teraktualisasikan dalam keanekaragaman perspektif yang digunakan untuk mengkaji dan

menganalisis persoalan, program penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan

kurikulum, silabi maupun proses dan prosedur perkuliahan serta evaluasi pembelajarannya

menjadi shibghah dan core values yang harus di pegang teguh dan di kembangkan terus

menerus oleh para pelaku transformasi.

Pada tataran normativitas, studi studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh

misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan

analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks keagamaan

produk sejarah terdahulu kurang begitu di tonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti

tertentu yang masih sangat terbatas.

Dengan demikian, secara sederhana dapat di pahami bahwa dari sudut normatif islam

adalah wahyu Allah yang bersifat mutlak (absolut), sehingga kepadanya tidak dapat di

berlakukan paradigma ilmu pengetahuan yang nota bene bersifat relatif (nisbi). Jadi sebagai

agama, islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis dan subyektif.Namun, jika di lihat

dari sudut historis yaitu islam dalam arti yang di praktekkan oleh manusia serta tumbuh dan

Page 6: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat di katakan sebagai sebuah

disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi islam.

Islam sebagai agama sesungguhnya memiliki banyak dimensi, seperti yang di ungkapkan

oleh Harun Nasution.yakni tidak hanya dimensi ritual (ibadah khas) yang terkandung dalam

islam, tetapi juga terkandung dimensi ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial atau

kemanusiaan (kemasyarakatan). Justru dimensi yang terakhir ini memiliki porsi yang lebih

besar di dalam al-quran sebagai referensi utama umat islam. Hasil interpretasi umat islam

terhadap wahyu allah yang ada di dalam al-quran memunculkan islam dalam frame yang

baru, yaitu islam historis. Maksudnya adalah islam yang di praktekkan dalam kehidupan umat

manusia.

Wajar islam (islam historis) yang seperti ini tentu tidak sama dengan islam normativ

(wahyu Allah). Jika islam normatif bersifat mutlak (absolut) dan pasti benar, maka islam

historis masih perlu di pertanyakan kebenarannya.sebab, sebagai hasil interpretasi umat

manusia terhadap islam normatif, islam historis tentu tidak sepi dari kesalahan dan

manipulasi tangan manusia yang memiliki hawa nafsu serta tendesi-tendesi tertentu.Oleh

sebab itu, mempelajari studi islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap

ajaran islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap ajaran islam menjadi

parsial, tetapi komprehensif.Pemahaman yang seperti ini sangat di perlakukan bagi

munculnya pengamalan ajaran islam yang komprehensif pula. Sehubungan dengan ini,

Nurcholis Madjid pun mengatakan bahwa yang amat di perlukan oleh umat islam melalui

para sarjananya adalah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran islam yang

merupakan hasil interaksi sosial umat islam dalam sejarah(islam historis).

Selain itu, ada pula istilah sains islam yang menurut Husesen Nasr adalah sains yang

dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang merupakan prestasi besar

dalam peradapan islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua sebelum

masehi, peradaban islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif di bandingkan

peradaban mana pun di wilayah sains dan sains islam berada pada garda depan dan berbagai

kegiatan, mulai dari bidang kedokteran sampai astronomi.

Dengan demikian, sains islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti

kedokteran, astronomi, matematika, fisika,dan berbagai yang di bangun berdasarkan nilai-

nilai islami.Sementara studi islam adalah pengetahuan yang di rumuskan dari ajaran islam

yang di praktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama

adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan rasulnya secara

Page 7: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-quran

dan akhlak.

Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang di kenal dengan

madrasah diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan

agama, Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan institut agama islam yang di dalamnya

di ajarkan studi islam yang meliputi tafsir, hadist, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, hukum islam,

sejarah dan kebudayaan islam, dan pendidikan islam. Kemudian muncul pula universitas

islam yang ada di dalamnya di ajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa

islam yang selanjutnya di sebut sains islam.

Untuk itulah penulis akan sedikit menjelaskan tentang studi islam dan Pendekatan dalam

kajian islam:normatif atau historis (membangun kerangka dasar filsafat ilmu-ilmu

keislaman) dan filsafat ilmu-ilmu keislaman

A. Observasi Kritis Terhadap Ilmu-ilmu Keislaman

Menurut pengamatan Fazlur Rahman pada bukunya Islam dan Modernity telah mencoba

untuk menggunakan pendekatan yang lebih kritis dalam membahas ilmu-ilmu keislaman.

Telah mengidentifikasi dan memberi karakteristik pada ilmu-ilmu keislaman sebagai disiplin

ilmu yang bersifat sangat repetitif, selalu mengulang-ulang,sarat dengan literatur yang hanya

berupa komentar, penjelasan,terhadap suatu karya dan komentar terhadap komentar tersebut,

serta sangat sedikit membuahkan pikiran-pikiran maupun gagasan baru.Pengumpulan

intelektual islam, menurut pandangannya selama ini tidak di arahkan untuk pencapaian-

pencapaian gagasan yang baru.melainkan hanya di manfaatkan untuk mempertahankan

pengetahuan yang telah ada,metode perdebatan lalu di anggap sebagai jalan yang terbaik

untuk memenangkan suatu pendapat dan hampir menjadi metode pengganti bagi usaha-

uasaha intelektual murni untuk memunculkan dan menangkap isu-isu aktual lainnya.

B. Pengumpulan teori-teori dalam wacana keilmuan: sepintas menengok problem/

masalah pertumbuhan ilmu

Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang sesungguhnya

adalah problem yang akut dalam ilmu-ilmu keislaman yang merupakan tema sentral dalam

pembahasan akademik pada domain filsafat ilmu. Tidak mungkin bagi penulis di sini untuk

menguraikan secara panjang lebar seluruh perdebatan yang berlagsung selama beberapa

dekade terakhir dalam di siplin yang bercorak sangat filosofis. Akan tetapi, penulis akan

memfokuskan diri pada pembahasan mengenai sifat dan watak dasar teori-teori ilmiah beserta

Page 8: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

metodologi-metodologinya dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan

ilmu.disini penulis tidak akan dapat juga menyajikan gambaran situasi perdebatan secara

utuh, oleh karena itu akan di sampaikan saja gambaran selintas mengenai perdebatan yang

telah terjadi.

C. Reserch program dalam terminologi lakatos: mempertegas Wilayah historitas ilmu-

ilmu keislaman

Satu implikasi dan konsekuensi logis dari hasil temuan Rahman dapat di ekspresikaN

lewat sebuah pertanyaan “apakah ilmu-ilmu keislaman membentuk sebuah reserch program

yang melibatkan teori-teori yang satu sama lain saling kompetisi, sebagai mana umumnya

terjadi pada cabang-cabang ilmu yang lain? Rahman sendiri tidak memberikan jawaban untuk

pertanyaan di atas.Namun demikian, nampak jelas rahman memberikan sinyal ke arah mana

hendaknya research program ilmu-ilmu keislaman di bawa, di bangun kembali dan di

formulasikan ulang.

D. Keterkaitan normativitas dan historitas dalam studi keislaman: Lingkaran hermenetik

antara bahasa, pemikiran, dan kesejarahan Dalam ilmu-ilmu keislaman

Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam,humaniora, sosial agama

atau ilmu-ilmu keislaman, harus diformulasikan dan di bangun di atas teori-teori yang

berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas.Dalam pengertian ini, teori-teori sebagai

wujud ekspresi intelektual yang seharusnya tidak boleh di sakralkan dan dokmatif.dengan

demikian kita hanya akan berhubungan dengan teori-teori, ide-ide, kerangka kerja, formula-

formula, prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan atau asumsi-asumsi, dasar, paradigma dan

apapun namanya, yang dapat di uji, di evaluasi, di kritisi dan didiskusikan secara

akademik.Berdasarkan teori-teori yang telah ada lebih dahulu, riset keilmuan dapat tumbuh

mencapai perkembangan dan kemajuan.

Page 9: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

BAB II

PEMBAHASAN

1. Studi Islam

Para ahli masih berbeda pendapat tentang apakah studi islam (agama) dapat di masukkan

ke dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu

pendidikan dan agama berbeda. Menurut Amin Abdullah pangkal tolak kesulitan

pengembangan wilayah kajian studi islam ( Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah) berakar

pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan

historitas. Pada tataran normativitas kelihatan islam kurang pas untuk di katakan sebagai

disiplin ilmu, sedangkan untuk tataran historistis tampaknya tidaklah salah.1

Pada tataran normativitas, studi studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi

keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis,

kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks keagamaan produk

sejarah terdahulu kurang begitu di tonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu

yang masih sangat terbatas.

Dengan demikian, secara sederhana dapat di pahami bahwa dari sudut normatif islam

adalah wahyu Allah yang bersifat mutlak (absolut), sehingga kepadanya tidak dapat di

berlakukan paradigma ilmu pengetahuan yang nota bene bersifat relatif (nisbi). Jadi sebagai

agama, islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis dan subyektif.Namun, jika di lihat

dari sudut historis yaitu islam dalam arti yang di praktekkan oleh manusia serta tumbuh dan

berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat di katakan sebagai sebuah

disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi islam.

Islam sebagai agama sesungguhnya memiliki banyak dimensi, seperti yang di ungkapkan

oleh Harun Nasution.yakni tidak hanya dimensi ritual (ibadah khas) yang terkandung dalam

islam, tetapi juga terkandung dimensi ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial atau

kemanusiaan (kemasyarakatan). Justru dimensi yang terakhir ini memiliki porsi yang lebih

besar di dalam al-quran sebagai referensi utama umat islam. Hasil interpretasi umat islam

terhadap wahyu allah yang ada di dalam al-quran memunculkan islam dalam frame yang

1 Fitri Oviyanti, 2007, Metodologi Studi Islam, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press),h.12

Page 10: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

baru, yaitu islam historis. Maksudnya adalah islam yang di praktekkan dalam kehidupan umat

manusia.2

Wajar islam (islam historis) yang seperti ini tentu tidak sama dengan islam normativ

(wahyu Allah). Jika islam normatif bersifat mutlak (absolut) dan pasti benar, maka islam

historis masih perlu di pertanyakan kebenarannya.sebab, sebagai hasil interpretasi umat

manusia terhadap islam normatif, islam historis tentu tidak sepi dari kesalahan dan

manipulasi tangan manusia yang memiliki hawa nafsu serta tendesi-tendesi tertentu.Oleh

sebab itu, mempelajari studi islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap

ajaran islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap ajaran islam menjadi

parsial, tetapi komprehensif.Pemahaman yang seperti ini sangat di perlakukan bagi

munculnya pengamalan ajaran islam yang komprehensif pula. Sehubungan dengan ini,

Nurcholis Madjid pun mengatakan bahwa yang amat di perlukan oleh umat islam melalui

para sarjananya adalah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran islam yang

merupakan hasil interaksi sosial umat islam dalam sejarah(islam historis). 3

Selain itu, ada pula istilah sains islam yang menurut Husesen Nasr adalah sains yang

dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang merupakan prestasi besar

dalam peradapan islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua sebelum

masehi, peradaban islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif di bandingkan

peradaban mana pun di wilayah sains dan sains islam berada pada garda depan dan berbagai

kegiatan, mulai dari bidang kedokteran sampai astronomi.4

Dengan demikian, sains islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti

kedokteran, astronomi, matematika, fisika,dan berbagai yang di bangun berdasarkan nilai-

nilai islami.Sementara studi islam adalah pengetahuan yang di rumuskan dari ajaran islam

yang di praktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama

adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan rasulnya secara

murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-quran

dan akhlak.

Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang di kenal dengan

madrasah diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan

agama, Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan institut agama islam yang di dalamnya

di ajarkan studi islam yang meliputi tafsir, hadist, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, hukum islam,

2 Ibid.

3 Ibid.h.14

4 Abudin Nata, 2004, Metodologi Studi Islam. (jakarta:Raja Grafindo Persada).

Page 11: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

sejarah dan kebudayaan islam, dan pendidikan islam. Kemudian muncul pula universitas

islam yang ada di dalamnya di ajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa

islam yang selanjutnya di sebut sains islam.

2. Pendekatan dalam kajian islam: Normatif atau Historis

(membangun kerangka dasar filsafat ilmu-ilmu keislaman)

A. Observasi Kritis Terhadap Ilmu-ilmu Keislaman

Menurut pengamatan Fazlur Rahman pada bukunya Islam dan Modernity telah mencoba

untuk menggunakan pendekatan yang lebih kritis dalam membahas ilmu-ilmu

keislaman.5Telah mengidentifikasi dan memberi karakteristik pada ilmu-ilmu keislaman

sebagai disiplin ilmu yang bersifat sangat repetitif, selalu mengulang-ulang,sarat dengan

literatur yang hanya berupa komentar, penjelasan,terhadap suatu karya dan komentar

terhadap komentar tersebut, serta sangat sedikit membuahkan pikiran-pikiran maupun

gagasan baru.Pengumpulan intelektual islam, menurut pandangannya selama ini tidak di

arahkan untuk pencapaian-pencapaian gagasan yang baru.melainkan hanya di manfaatkan

untuk mempertahankan pengetahuan yang telah ada,metode perdebatan lalu di anggap

sebagai jalan yang terbaik untuk memenangkan suatu pendapat dan hampir menjadi metode

pengganti bagi usaha-uasaha intelektual murni untuk memunculkan dan menangkap isu-isu

aktual lainnya.

Piranti analitik dan akademik yang kerap ia gunakan untuk menvalidasi kritik-kritiknya

adalah dengan memaparkan perbedaan antara islam yang normatif dan historis. Dengan

memilah dua aspek dari agam islam ini, Rahman hendak mempertahankan dengan sekuat

tenaganya aspek-aspek normatif agama islam sementara tetap dapat bersikap lebih kritis

terhadap hal-hal tertentu yang berkaitan dengan perkembangan kesejahteraanya. Dengan

demikian, seluruh kontruksi dan formulasi yang ada ilmu-ilmu keislaman, seperti ilmu kalam,

fiqih, falsafah, dan tasawuf selama ini, tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan

manifestasi produk pemikiran orang-orang muslim dalam evolusi kesejahteraannya yang

panjang. Berdasarkan pada kenyataan ini, sarjana, sarjana muslim di manapun dan pada abad

kapan pun seharusnya menghindari diri dari menjadi tawanan dari prinsip-prinsip yang di

5 Amin Abdullah, 2006. Islamic Studies. ( Pustaka Pelajar),h.27

Page 12: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

buatnya sendiri.6 Seluruh bangunan pengetahuan, prinsip-prinsip dan formula-formula yang

telah ada tersebut sesungguhnya sangat di batasi oleh waktu dan ruang di mana dan kapan ia

di rumuskan.

Observasi kritis terhadap ilmu-ilmu keislaman tersebut diatas dapat di ungkapkan kembali

dengan menggunakan bahasa filsafat ilmu kontemporer, seperti yang di tujukan dalam

tulisan-tulisan Kart R.Popper, Thomas S.Khun dan imre Lakatos. Dilihat dari sudut pandang

filsafat ilmu tradisional, adalah menjadi bahan perdebatan dan barang kali di anggap

kontroversional, apakah penggunaan istilah science ini tepat untuk merujuk pada ilmu-ilmu

sosial,humaniora dan khusus ilmu keislaman.Rahman tidak memberikan klasifikasi lebih

lanjut mengapa ia memilih istilah science untuk memaparkan studi-studi islam dalam

bukunya.Dengan mengesampingkan seluruh kontroversi yang ada mengenai hal ini dan

menerima dengan tanggung jawab bahwa studi islam dapat dinamakan sengan istilah science,

Rahman harus menghadapi kenyataan yang tidak gampang dalam usahanya untuk

menerapkan metode-metode ilmiah pada ilmu-ilmu keislaman. Mula pertama adalah tuntunan

untuk melakukan pengujian ulang secara kritis mengenai sikap pandang umat muslim

terhadap islam di masa lalu yang selama ini ada.Hal ini di nilai sangat mendesak karena

adanya gangguan psikologis yang amat komplek berdasarkan kenyataan bahwa mereka harus

berhadapan dengan barat, umat muslim di tuntut untuk dapat mempertahankan diri sehingga

seolah masa lampau itu adalh tuhan kita. Untuk itulah dia menyatakan pentingnya di lakukan

rekontruksi yang lebih sistematik pada bidang-bidang ilmu keislaman, seperti pada teologi

(kalam), hukum dan etika (fiqh), filsafat dan ilmu sosial lainnya.

Problem rasionalitas dan historitas dalam pemikiran islam dan ilmu-ilmu keislaman saat

ini sedang mendapat tantangan dan kritik tajam, khususnya dari sarjana-sarjana muslim masa

kini. Beberapa diantara para pemikiran itu dapat di sebutkan antara lain Muhamad Abib al

jabiri,Nasr Hamid Abu Zayd, Muhamad Shahrur dan Abdullah Ahmad Naim.Meskipun

demikian, menurut pengamatan penulis yang masih harus di uji lebih lanjut, belum ada satu

pun dari generasi pemikiran-pemikiran islam saat ini yang mencoba menjelaskan relevansi

penerapan teori-teori dan metodologi ilmiah,yang merupakan intisarinya filsafat ilmu, pada

wacana ilmu-ilmu keislaman dalam rangka mengkritisi seluruh kontruksi ilmu-ilmu

keislaman dan pemikiran islam yang begitu luas.Selagi ilmu-ilmu keislaman dan studi

keislaman dapat di sebut sebagai science.7

6 Ibid.

7 Ibid.h.36-37

Page 13: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

B. Pengumpulan Teori-teori Dalam Wacana Keilmuan:

Sepintas Menengok Problem/Masalah Pertumbuhan Ilmu

Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang sesungguhnya

adalah problem yang akut dalam ilmu-ilmu keislaman yang merupakan tema sentral dalam

pembahasan akademik pada domain filsafat ilmu. Tidak mungkin bagi penulis di sini untuk

menguraikan secara panjang lebar seluruh perdebatan yang berlagsung selama beberapa

dekade terakhir dalam di siplin yang bercorak sangat filosofis. Akan tetapi, penulis akan

memfokuskan diri pada pembahasan mengenai sifat dan watak dasar teori-teori ilmiah beserta

metodologi-metodologinya dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan

ilmu.disini penulis tidak akan dapat juga menyajikan gambaran situasi perdebatan secara

utuh, oleh karena itu akan di sampaikan saja gambaran selintas mengenai perdebatan yang

telah terjadi.

Sebelum mendiskusikan subyek yang sangat vital ini, mula pertama penulis akan

menyampaikan beberap istilah maupun terminologi analitik yang sering kali di gunakan

untuk menjelaskan dua aliran/tradisi besar dalam filsafat ilmu.Yang pertama adalah tradisi

yang bersifat naturalistik, sedangkan yang lainnya adalah humanistik. Beberapa konsep kunci

yang sering kali mengemukakan dalam tradisi naturalistik adalah mengenai coribility (dapat

di koreksi) dan incorrigibility(tidak dapat dikoreksinya)pengetahuan,sistem explanation

(penjelasan) dan falsification(penemuan kesalahan), sistem, modal, dan teori, kerangka kerja,

pola dan paradigma,theory-laden (padat teori),tradisi investigasi yang berkesinambungan,

normal science, (ilmu-ilmu normal) dan revolusionary sciense(ilmu yang bersifat

revolusioner).anomali, teori commensurability,puzzlevsolving within normal science (upaya

pemecahan persoalan yang pelik dalam wilayah normal science), kontek justifikasi dan

konteks penemuan, hard core and protective belt (inti ilmu yang solid dan ilmu-ilmu yang

melingkari sebagai sabuk pengaman),the heuristic principle (prinsip memberikan dorongan

untuk melakukan penelitian terus menerus untuk menemukan pemikiran baru) dan lain

sebagainya. Sementara itu aliran humanistik sangat menaruh perhatian pada konsep-konsep

kunci seperti meaning,ilmu sosial yang interpretatif dan eksplanatif,hermeneutics, insider and

outsider understanding,pendekatan-pendekatan yang bersifat idealis dan reduksionis,vertehen

vs. Erklaren;obyektifitas dan subyektivitas,obyektivitas dan keterlibatan diri, nilai dan fakta,

teks dan konteks, makna dan ekspresi, sosiologi ilmu pengetahuan, pengetahuan sebagai

sebuah organisme, masyarakat sebagai sebuah sistem fungsional struktural, agama sebagai

sebuah proyeksi sosial dan psikologis dan lain sebagainya.

Page 14: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

Berikutnya penulis akan membatasi diri untuk menyeleksi dan menguraikan ide-ide

Thomas S. Khun,Karl R,popper dan Imre Lakatos, khususnya yang berkaitan dengan gagasan

yang mereka yang mengemukakan dalam diskusi tentang percaturan teori-teori ilmu,

tumbuhnya teori baru yang menantang teori-teori yang terdahulu dalam wacana ilmu

pengetahuan.Hanya sebagian dari konsep-konsep kunci yang telah di sebutkan di atas.

Mempertahankan, menjaga, mengkritisi, menguji ulang, mencermati, memperbaiki dan

mengolah kembali teori-teori ilmiah adalah tugas utama seorang yang bergerak di bidang

riset dan pengembangan di lapangan ilmu pengetahuan apapun. Ini berarti aktivitas keilmuan

seharusnya dapat menghasilkan, menerapkan,sekaligus mengkritisi teori-teori terdahulu, tidak

hanya sekedar mengulang kembali teori tersebut.Ketika di tanyakan apakah yang mereka

maksudkan dengan teori, beberapa ilmuan mengatakan bahwa sebuah teori dari sebuah

hipotesa yang sudah mapan, atau aturan umum tentang alam, atau juga dapat berupa

sekumpulan ide-ide, hukum yang di susun secara sistematis.Ilmuan yang lain mugkin lebih

senang menyatakan bahwa teori adalah sebuah sistem pengungkapan dimana hubungan-

hubungan internal telah di buat menjadi eksplisit secara nyata.Kedua macam terminologi

tersebut mengakui adanya kemungkinan bahwa sistematisasi sebuah teori dapat di

kembangkan dalam berbagai cabang ilmu dan melalui berbagai macam cara, baik itu dalam

ilmu alam,humaniora, ilmu sosial atau ilmu apa saja.

C. Reserch program dalam terminologi lakatos: mempertegas Wilayah historitas ilmu-

ilmu keislaman

Satu implikasi dan konsekuensi logis dari hasil temuan Rahman dapat di ekspresikaN

lewat sebuah pertanyaan “apakah ilmu-ilmu keislaman membentuk sebuah reserch program

yang melibatkan teori-teori yang satu sama lain saling kompetisi, sebagai mana umumnya

terjadi pada cabang-cabang ilmu yang lain? Rahman sendiri tidak memberikan jawaban untuk

pertanyaan di atas.Namun demikian, nampak jelas rahman memberikan sinyal ke arah mana

hendaknya research program ilmu-ilmu keislaman di bawa, di bangun kembali dan di

formulasikan ulang.

Menurut hemat penulis, dengan menggunakan bahasa Lakatos, apa yang di sebut

Rahman sebagai islam normatif adalah sama atau paralel dengan yang di namakan hard core

dari sebuah cabang ilmu, sementara yang islam historis merupakan domain utama dari apa

yang di sebut dengan protective belt, yakni domain utama dari apa yang di sebut sebuah ilmu,

Page 15: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

sistem pengetahuan yang secara langsung dapat dinilai, di uji ulang, di teliti, di pertanyakan,

di formulasi ulang dan di bangun kembali.8

Kawasan yang memungkinkan untuk di lakukan rekontruksi adalah pada domain ‘islam

historis’, bukan pada islam normatif.Seluruh komponen ilmu-ilmu keislaman, khususnya

kalam, tafsir, hadith, fikih, filsafat, tasawuf dan akhlak adalah masuk dalam kawasan islam

historis.Bangunan pengetahuan tersebut semula di rintis dan di formulasikan oleh manusia-

manusia yang hidup pada masa tertentu dan di pengaruhi oleh masalah-masalah dan

tantangan yang sangat riel dan valid bagi konteks waktunya saat ini.Berdasarkan kenyataan

bahwa problem dan tantangan itu berada dari masa ke masa, satu abad dengan abad yang lain,

maka secara natural konstruksi pengetahuan menjadi selalu terbuka untuk di uji ulang di

teliti, di reformulasi dan direkonstruksi oleh para ilmuan dan peneliti pada setiap kurun

waktu.

Dengan merangkum pernyataan rahman, Arkoun dan Richard C.Martin dan dalam

beberapa hal juga Charles J Adam, nampak di sana ada sebuah kerinduan yang mendalam

dan kebutuhan yang sangat mendesak bagi para sarjana muslimmasa kini untuk

merekontruksi ilmu-ilmu keislaman dengan cara mencangkok (menstransplantasi) dan

menggunakan teori serta metodologi yang berasal dari bidang ilmu di luar kalangannya

sendiri.Pada saat menyampaikan masalah yang sangat krusial ini Arkountermasuk salah satu

yang paling vokal,kalau tidak radikal di banding koleganya yang lain.Dia dengan sungguh-

sungguh menyerukan di gunakannya metodologi dan teori yang di bangun dalam tradisi ilmu-

ilmu sosial sebagai alat analisis ataupun model untuk program riset pada studi islam yang

baru.Arkoun tidak segan-segan menerapkan metodologi baru ini ke dalam ilmu-ilmu

keislaman, karena ia berkeyakinan bahwa pendekatan-pendekatan baru dalam studi ilmu-ilmu

sosial ini hanyalah sebuah kelanjutan, pengembangan, dan perbaikan dan metodologi dan

teori yang sebelumnya telah di rintis dan di formulasikan oleh para ilmuan abad pertengahan.

Kemungkinan melakukan perluasan dan pemekaran wilayah research program dalam

rangka untuk mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman paling tidak pada

kawasan islam historis sangat terbuka. Islam historis yang berada dalam domain protective

belt menurut istilah lakatos, merupakan fokus yang nyata dan wilayah konkret untuk program

rekrontruksi dan reformulasi ilmu-ilmu keislaman pada era modern ini.Dan hal itu akan

berhasil bila dilakukan transplantasi metodologi,teori dan tradisi riset yang telah dengan

8 Ibid.h.51-52

Page 16: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

sangat teliti di bangun oleh para lmuan yang bergerak di bidang humaniora,sosial dan studi

agama.

Untuk lebih jelasnya, sebagai contoh pembanding penulis akan mengangkat contoh

diskusi mutakhir di kalangan teolog kristiani tentang bagaimana mereka memanfaatkan

diskusi-diskusi yang sangat kaya dalam bidang epistimologi dan filsafat ilmu yang telah di

kembangkan dalam tahun-tahun belakangan ini.Perkembangan pengetahuan yang sangat

signifikan pada saat ini adalah perubahan dari foundationalism ke holism.Dalam filsafat ilmu

pernyataan yang bersifat foundamentional semula berasal dari deskripsi data-data yang

bersifat empiris.

Beberapa teolog kristiani memberikan sebuah analisis yang menarik mengenai

bagaimana 5foundamentalionalism telah menimbulkan dampak pada wacana teologi

medern,secara khusus melihat bagaimana kitab suci telah di paksa untuk berperan

memberikan fondasi,sebuah fungsi yang memungkinkan saja tidak tepat.Sebagai dampak dari

foundationalism, tiba-tiba sejarah teologi modern mengubah fokusnya denan melihat

jawaban-jawaban terhadap tiga macam pertanyaan.Pertama,proposal yang telah di buat

mengenai fondasi ilmu/ pengetahuan agama? Ketiga dalam situasi kegagalan untuk

menemukan fondasi yang memadai, siasat tau gerakan-gerakan apa saja yang telah di lakukan

untuk menyingkirkan seluruh persoalan yang terkait?

Mencermati sejarah teologi dalam pengertian yang sedemikian, Nancey Murphy

menemukan bahwa para teolog kristiani modern secara umum dapat di kelompokkan menjadi

tiga kubu: mereka yang fondasinya biblikal, mereka yang fondasinya eksperimental dan

mereka yang mengklaim bahwa teologi sama sekali bukan ilmu pengetahuan.Bagi pendukung

kubu biblikal, pertanyaan yang selalu di ajukan adalah bagaimana anada tahu bahwa yang

menurut anda itu wahyu adalah memang benar-benar wahyu? Para apologis sejak dari locke

sampai dengan kaum fundamentalis amerika telah mengembalikan jawaban untuk pertanyaan

tersebut keepada mukjizat dan ramalan-ramalan yang menjadi nayata (fulfilled

propheciec).Karl barth dengan sederhana mengatakan: jangan bertanya hal itu.

Tetapi di sini bukan tempatnya untuk mendiskusikan isu tersebut secara panjang

lebar.Yang ingin di tekankan adalah kebutuhan dan perlunya segera ada interaksi dan

interkomunikasi dengan teori-teori dan metodologi yang telah di gunakan pada disiplin ilmu

yang lain yang berada di luar lingkaran btasnya sendiri. Dengan mencangkokkan teori-

tersebut, memungkinkan terjadinya perluasan horison dan wawasan keilmuan seseorang

.Ketika interaksi dan interkomunikasi antar berbagai di siplin ilmu ini berlangsung, akan ada

perubahan besar pada cara kita mempertanyakan problem-problem akademik. Sudah sangat

Page 17: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

jelas bahwa situasi yang baru memerlukan sebuah filsafat yang baru pula, dan lebih dari pada

itu, sebuah terminologi dan bahasa yang baru.Penulis berpendapat, hal ini yang ingin di

tekankan oleh rahman pada saat ia membandingkan ilmu-ilmu keislaman dengan kerangka

kerja ilmiah dan filosofis yang komprehensif yang di bangun oleh Aristotle ataupun ilmuan

besar abad modern ini.

Sekarang gambaran atau image yang seperti apakah yang di proyeksikan oleh ilmu-

ilmu keislaman yang tidak lagi bersifat dogmatik,repetitif dan skolastik? Bagian terakhir dari

tulisan ini akan mendiskusikan apa yang mungkin dapat menggambarkan image tersebut.

D. Keterkaitan Normativitas dan Historisitas dalam Studi Keislaman: Lingkaran

Hermenetik antara Bahasa,Pemikiran dan Kesejarahan dalam ilmu-ilmu keislaman

Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam,humaniora, sosial agama

atau ilmu-ilmu keislaman, harus diformulasikan dan di bangun di atas teori-teori yang

berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas.Dalam pengertian ini, teori-teori sebagai

wujud ekspresi intelektual yang seharusnya tidak boleh di sakralkan dan dokmatif.dengan

demikian kita hanya akan berhubungan dengan teori-teori, ide-ide, kerangka kerja, formula-

formula, prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan atau asumsi-asumsi, dasar, paradigma dan

apapun namanya, yang dapat di uji, di evaluasi, di kritisi dan didiskusikan secara

akademik.Berdasarkan teori-teori yang telah ada lebih dahulu, riset keilmuan dapat tumbuh

mencapai perkembangan dan kemajuan.

Lebih jauh lagi teori-teori yang sudah ada terlebih dahulu tidak dapat di jadikan garansi

kebenaran.Anomali-anomali dan pemikiran-pemikiran yang tidak tepat mungkin akan selalu

dapat di temukan melekat dalam teori-teori dan ide tersebut.Disamping kenyataan bahwa

ilmu pengetahuan tidak tumbuh dalam kevakuman.Dia akan selalu di pengaruhi dan tidak

dapat lepas sama sekali dari pengaruh cita rasa sejarah, sosial dan politik.Pemikiran seperti

ini muncul dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu pengetahuan hanyalah merupakan

produk, hasil karya manusia, oleh karena itu terbatas dan terkondisikan oleh peristiwa

kesejarahan yang melingkupinya.Teori-teori, paradigma, ekspresi intelektual dan refleksi

filosofis pada umumnya, tanpa pengecualian berada dalam batas-batas kesejarahan

tersebut.Secara konsisten semua itu berkaitan dengan kepentingan, asumsi dan konteks.

Dalam pengertian yang demikian, penerapan filsafat ilmu pada diskusi akademik ilmu-

ilmu keislaman saat ini harus dilakukan, khususnya karena pertimbangan bahwa filsafat ilmu

saling berkaitan dengan sosiologi ilmu pengetahuan ini jarang didiskusikan dan tidak pernah

Page 18: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

di masukkan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman yang telah ada. Padahal keduanya merupakan

prasyarat dan wacana awal yang harus di mengerti bagi para ilmuan muslim yang ingin

menghindarkan diri dari uduhan pembela tipe studi islam yang hanya bersifat pengulang-

ulangan, statis, disakralkan dan dogmatik.

Dalam kehidupan akademik kontemporer, di siplin-disiplin ilmu di luar ilmu-ilmu

sosial, mulai dari studi literatur dan biologi, sampai dengan pada studi fisika, agama dan

etika, semuanya dapat menerima premis-premis yang telah di perjuangkan oleh Karl

Mannheim dan Max Scheler.Seluruh aspek dari keberadaan/ being dan pengetahuan/ seluruh

aspek dari keberadaan/ being dan pengetahuan/ knowning seseorang adalah di tentukan oleh

situasinya (situated), pemikiran dan aksi membentuk satu kesatuan dan perkembangan

intelektual suatu masyarakat tidak dapat di pisahkan oleh konteks sosial dan historis yang

konkret.9

Dengan mempertimbangkan formula tersebut di atas, seseorang harus menyadari bahwa

seluruh teori, formula, prinsip, hukum, kerangka kerja dalam ilmu-ilmu keislaman adalah

sebenarnya merupakan produk determinasi kemanusiaan, kemasyarakatan dan kultur. Ketika

mengatakan hal ini, penulis tidak berfikir bahwa penulis telah jatuh pada perangkap

relativitesme.yang ingin penulis tekankan pada konteks ini adalah bahwa ilmu apapun,

termasuk ilmu-ilmu keislaman adalah bersifat dapat dikoreksi (corrigible) dan dapat salah

(falsifiable).Hanya dengan menyadari faktor-faktor penting itulah, maka kemungkinan

melakukan pengujian, mempertanyakan, adu argumentasi, mendebat konsep-konsep yang

telah lebih dahulu ada dan teori-teori yang di bangun oleh para intelektual muslim masa lalu

dalam semua cabang ilmu, secara akademik dapat di benarkan.

Ketika pada akhirnya kita menghadapi masalah-masalah historisitas pengetahuan, patut

di sayangkan bila sarjana-sarjana muslim dan non-muslim yang hendak mengembangkan

wacana mereka dalam ilmu-ilmu keislaman secara psikologis merasa terhalang, bahkan

terintimidasi dengan problem reduksionisme, sebuah persoalan yang sesungguhnya berasal

dari wacana studi agama. Dalam hal-hal tertentu, ada beban psikologis dan institusional yang

terlibat dalam memperbesar dan memperluas domain, scope dan metodologi ilmu-ilmu

keislaman karena persoaln itu.Sarjana-sarjana Muslim yang tergabung dalam kubu aktivis

khususnya dan para ahli keislaman dengan paradigma yang lama akan merasa gelisah, apakah

mereka itu benar-benar sedang melakukan studi islam ataukah yang lain.Berdasarkan pada

argumen tersebut, para ahli keislaman klasik akan lebih senang memilih untuk

9 Ibid. h. 60

Page 19: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

mempergunakan pendekatan filologi yang wataknya lebih berorientasi tekstual dari pada

konstektual.

Dari sudut pandang penulis, disini bukan tempat yang tepat untuk mengajukan isu

reduksionalisme dan non-reduksionisme, karena sejak awal mula Fazlur Rahman sendiri telah

menempatkan islam normatif dalam kerangka kerjanya atau sebagai hard core dalam

kerangka kerja lakatos, yang harus di lindungi dengan sifet-sifatnya yang mendorong pada

penemuan-penemuan dan penyelidikan baru (positive heuristic). Hard core atau islam

normatif ini sama dengan apa yang telah di tetapkan sebagai objek studi agama yang tepat

dengan menggunakan pendekatan fenomenologis.

Bangunan ilmu-ilmu keislaman, setelah di perkenalkan dan di hubungkan dengan

wacana filsafat ilmu dan sosologi ilmu pengetahuan, lebih lanjut harus mempertimbangkan

penggunaan sebuah pendekatan dengan tiga di mensi untuk melihat fenomena agama islam,

yakni pendekatan yang berunsur linguistik-antropologis pada saat yang sama.Tentang apa

dan bagaimana pendekatan tersebut sudah banyak di tulis oleh para ahlinya.Menjelaskan

kembali disini hanyalah merupakan pengulangan saja. Yang ingin penulis diskusikan di sini

adalah masalah sifat dan bentuk hubungannya atau saling keterhubungan, antara ilmu-ilmu

keislaman yang berdasarkan teks dengan menggunakan pendekatan linguistik dan filologis

dan studi keislaman yang berasal dari hasil pemikiran, ide- ide, norma-norma, konsep-konsep

dan doktrin-doktrin dengan menggunakan pendekatan teologis dan filosofis serta studi

keislaman yang menekankan pada masalh yang berkaitan dengan interaksi sosial dalam

konteks budaya dan kesejarahan dengan menggunakan sebuah pendekatan sosiologis,

antropologis dan psikologis.

Apakah kerangka hubungan antara ketiga macam pendekatan akademik tersebut harus

linier, paralel atau kah sirkuler? Berdasarkan pengamatan penulis dalam uraian terdahulu,

penulis berkeyakinan bahwa menentukan bentuk hubungan antara ketiga tradisi keilmuan

tersebut adalah jauh lebih penting dari pada hanya membiarkan diri kita menerima begitu saja

kebenaran dari setiap tradisi akademik dalam domainnya masing-masing secara sendiri-

sendiri.

Para pendukung model linear akan lebih senang menyatakan keunggulan, kalau tidak

eksklusivitas, tradisi keilmuannya sendiri.Apabila ia berasal dari tradisi sosial antropologis,

adalah lebih baik dan lebih dan lebih penting di banding dengan tradisi pendekatan keilmuan

keilmuan lainnya demikian juga masing-masing sarjana yang menggunakan pendekatan

filosofis, historis, dan teologis akan mengatakan hal yang sama.Dia menjadi kurang peka dan

Page 20: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

kurang memperhatikan hasil karya maupun riset yang telah di hasilkan dengan menggunakan

perspektif yang berbeda dengan tradisi sendiri.

Ilmuan yang mengadopsi model hubungan yang paralel di wakili oleh sarjana-sarjana

muslim yang mendapatkan latihan akademik dalam tradisi filsafat filologi dan sosial

antropologi. Namun dia tidak memiliki pandangan akademik yang memadai untuk

menggabungkan masing-masing wacana keilmuan tersebut ke dalam sebuah analisis yang

terpadu.Perbedaan antara pendukung yang linier dengan paralel adalah yang pertama hanya

menguasai satu tradisi pembelajaran akademik, sedangkan yang kedua menguasai tradisi,

tetapi tidak mampu untuk meramu berbagai tradisi itu menjadi satu unit analisis terpadu.

Dengan mengambil model hubungan yang sirkuler di sisi lain,sarjana muslim yang

mengikuti model ini akan menyadari sepenuhnya, dan akan mempertimbangkan keseluruhan

dari ketiga pendekatan multi dimensi dalam mempelajari ilmu-imu keislaman sebagai satu

entitas yang utuh, sekaligus dengan implikasi dan konsekuensi-konsekuensinya. Memadukan

ketiga pendekatan ini ke dalam satu pandangan akademik yang terintegrasi dan jitu, akan

membuat seseorang menjadi lebih tanggap terhadap dimensi sosial-antropologis dalam

keagamaan islam. Sementara dalam waktu yang sama ia akan tetap mempertahankan aspek-

aspek filosofis dan fenomenologinya. Terakhir, dia akan mempertimbangkan juga problem-

problem linguistik dan filosofis dalam tradisi islam.

Dengan demikian, ilmu-ilmu keislaman yang kritis sebagaimana pernyataan Fazlur dan

Mohammed Arkoun beserta kolega-kolega mereka yang memiliki keprihatinan yang sama,

hanya akan dapat di bangun secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga

pendekatan secara sirkuler, dimana masing-masing dimensi dapat berinteraksi,

berinterkomunikasi satu dengan lainnya.Masing-masing pendekatan berinteraksi dan di

hubungkan dengan yang lainnya.Tidak ada satu pendekatan maupun disiplin yang dapat

berdiri sendiri.Gerakan dinamis ini pada esensinya adalah hermeneutik.

Hanya dengan kerangka kerja yang demikianlah, makna corrigibility (dapat di koreksi)

dan falsibility (dapat salah) dari ilmu-ilmu keislaman dapat di pahami dengan baik, sehingga

adanya paradigma dan teori-teori yang kompetetif menjadi dimungkinkan.Lebih jauh lagi,

konteks penemuan-penemuan baru (context of discovery) dalam ilmu-ilmu keislaman dan

riset dapat berkembang dan mendapat prioritas, sementara konteks justifikasi (context of

justification) dapat di tekan menjadi sekecil mungkin. Dalam jaringan kerja akademik

semacam ini ilmu-ilmu keislaman dalam tradisi umat muslim tidak hanya akan memproduksi

paradigma-paradigma yang lama yang secara umum telah di terima, akan tetapi juga

mengkritisinya dan bahkan mungkin menggantinya dengan yang baru. Reformasi dan

Page 21: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

rekontruksi yang sedemikian memang seringkali kurang berfungsi dalam rentang waktu

jangka pendek, sering menimbulkan revolusi dan keresahan sosial, namun dalam jangka

panjang akan berfungsi dengan baik.Aomali-anomali dan inkonsistensi-inkonsistensi yang

terkandung dalam setiap teori dan metodologi dalam ilmu-ilmu keislaman dengan begitu

akan mudah dapat di dteksi, sehingga tradisi investigasi yang terus menerus dan tradisi riset

yang berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan interdisiliner dapat terpelihara dengan

baik.

3. Filsafat Ilmu-ilmu Keislamam:

A. Tiga Lapis Peringkat Ilmu-ilmu Keislaman

Sumber kelemahan pengembangan islamic studies terletak pada aspek filsafat

keilmuannya. Selama ini praktek pendidikan dan pengajaran agama islam terlalu menekankan

pada sumber dan kebenaran tekstual. Para pendukung ilmu ini melupakan kenyataan bahwa

ketika gagasan pemikiran, ide yang menjelma menjadi keyakinan dan keimanan yang

berlandaskan teks itu di praktekkan dan dioperasionalisasikan di lapangan, maka secara

otomatis muncul berbagai pemahaman dan interpretasi. Ibn Rusyd pernah

mendokumentasikan berbagai model pemahaman dan interpretasi yang terkait dengan

persoalan ibadah pemikiran keislaman dalam bukunya Bidayah al Mjtahid.10

Ketika

pemahaman keagamaan yang semula bersifat individual itu mengelompok, terorganisir dalam

sebuah perkumpulan (organisasi), maka secara sosiologis terjadilah proses sosialisasi, saling

pengaruh mempengaruhi, upaya memperbanyak anggota tanggapan, respon, penilaian dan

kelompok lain dan begitu seterusnya. Tidak tertutup kemungkinan terjadi pertentangan,

ketegangan dan konflik jika ide-ide yang di sebarluaskan itu menyentuh kepentingan sosial,

ekonomi, budaya dan agama.Pada giliannya muncullah kelompok yang di sebut maistream

yang dominan dan kelompok pinggiran yang marginal.

Pertemuan, pertentangan, kritik, perpaduan, penyempurnaan konsep, kompromi dan

dialog antar berbagai kelompok pemahaman dan interpretasi keagamaan islam itulah yang

sebenarnya merupakan lahan subur bagi penyusunan sistematika keilmuan yang dimiliki oleh

berbagai kelompok penafsiran dan pemahaman tersebut.Menyatunya berbagai komponen

keilmuan, seperti objek kajian, metodologi yang di gunakan, pendekatan yang di pilih, serta

sistematika yang di susun, pada gilirannya, akan terabstraksikan dalam teori yang mendasari

model berfikir keagaan islam.

10

Ibid.h.71

Page 22: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

Debat dan pergumulan filosofis akademik antar berbagai teori yang di kedepankan oleh

para pencetus dan penentangnya, menurut hemat penulis, bukan lagi agama sebagai agama itu

sendiri. Campur tangan logika atau akal pikiran yang di sumbangkan oleh para ilmuan, ulama

dan cerdik cendekiawan tidak lain dan tidak bukan adalah hasil konstruksi manusia biasa.

Belum lagi pengembangan teori tersebut melalui pencangkokan dan pengayaanya dengan

berbagai disiplin ilmu-ilmu yang muncul se-zaman atau muncul belakangan (linguistik,

semiotik, hermeneutik, cultural studies dan lain-lain. Pertemuan berbagai teori ini membuka

peluang bagi jatuh bangunya sebuah teori keilmuan serta di mungkinkannya

pengembangannya lebih lanjut.Analisis yang endalam tentang jatuh bangunya sebuah teori

keberagamaan islam dalam berbagai tinjauanya, kekuatan dan kelemahan yang melekat pada

teori-teori tertentu, implikasi dan konsekuensi penggunaan teori tersebut dan sebagainya

adalah wilayah filsafat ilmu-ilmu keislaman.

Dari uraian singkat tersebut sesungguhnya terdapat tiga wilayah keilmuan agama islam.

Pertama, wilayah praktek keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah

diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat dan para ahli

pada bidangnya dan oleh anggota masyarakat pada umumnya. Wilayah praktik ini umumnya

tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan. Yang terpenting di sini adalah

pengamalan. Pada level ini perbedaan antar agama dan tradisi, agama dan budaya, antara

belief dan habits of mind sulit di pisahkan.

Kedua, wilayah teori-teori keilmuan yang di rancang dan disusun sistematika dan

metodologinya oleh para keilmuan, para ahli dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-

masing. Apa yang di sebut-sebut ulum al-tafsir, ulum al-hadis, islamic thought (kalam,

falsafah, dan tasawuf), hukum dan pranata sosial (fikih), sejarah dan peradaban islam,

pemikiran islam dan dakwah islam ada pada wilayah ini. Apa yang ada pada wilayah

sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah teori-teori keilmuan agama islam yang di

abstrakkan baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks wahyu maupun secara induktif

dari praktik-praktik keagamaan yang hidup dalam masyarakat muslim era kenabian, sahabat,

tabi’in maupun sepanjang sejarah perkembangan masyarakat muslim dimanapun mereka

berada.

Ketiga, adalah telaah kritis yang lebih populer di sebut meta discourse, terhadap sejarah

perkembangan jatuh bangunnya teori-teori yang di susun oleh kalangan ilmuan dan ulama

pada lapis kedua. Lebih-lebih jika teori pada disiplin tertentu, ulumul quran umpamanya,

didialogkan dengan teori-teori yang biasa berlaku pada wilayah lain, ulumul hadis, sejarah

peradaban islam dan seterusnya. Teori yang berlaku pada wilayah kalam didialogkan dengan

Page 23: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

teori yang berlaku pada wilayah tasawuf, dan begitu selanjutnya. Belum lagi jika teori-teori

yang berlaku dalam wilayah islamic studies pada lapis kedua di hadapkan dan didialogkan

dengan teori-teori di luar disiplin keilmuan agama islam seperti disiplin ilmu kealaman, ilmu

budaya, ilmu sosial dan religius studies. Wilayah pada lapis ketiga yang komplek dan

sophisticated inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.

B. Membangun Konstruksi Dasar Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman

Lapis ketiga studi keislaman pada level filsafat keilmuan ini semakin di rasakan perlunya

untuk di kembangkan karena beberapa faktor:

1. Islamic studies bukanlah sebuah disiplin ilmu yang tertutup. Ia merupakan disiplin ilmu

yang terbuka islamic studies atau dirasat islamiyyah adalah bangunan keilmuan biasa

yang harus di uji ulang validitasnya lewat perangkat konsistensi, koherensi dan

korespondensi oleh kelompok keilmuan sejenis.

2. Agama islam bukan satu-satunya agama yang hidup (living religion) pada saat sekarang

ini. Dalam dunia sekarang ini terdapat banyak living religion yang mempunyai sistem

tata pikir dan seperangkat nilai dan keyakinan sama persis seperti yang di praktikkan

oleh umat islam, hanya saja kitab suci, bahasa yang di gunakan, nabi atau rasul yang

di jadikan tokoh charismatic dan panutannya, tata cara ritual peribadatannya serta

letak geografis para pemeluknya berbeda.

3. Semakin dekatnya hubungan dan kontak individu maupun sosial antara berbagai etnik,

ras, suku dan agama sebagai akibat dari teknologi, transportasi, komunikasi, dan

informasi yang canggih sehingga memperpendek jarak dan tapal batas ruang dan

waktu yang biasa di pikirkan dan di imaginasikan oleh umat beragama pada abad-

abad sebelumnya. Setiap saat, lewat media elektronik dan media cetak, apa yang

terjadi pada belahan dunia lain menembus, menerobos, dan mempengaruhi tatacara

berfikir umat beragama dan membangkitkan emosi mereka di manapun mereka

berada.

Dengan demikian kualitas keimanan dan keyakinan yang selama ini di pegang teguh oleh

kelompok lapis pertama dan di topang serta di bekali argumen dan dalilnya oleh seperangkat

teori yang di sajikan oleh lapis kedua perlu di jernihkan kembali dan di klarifikasikan ulang

oleh kelompok lapis ketiga. Apa yang di sebut sebagai ilmu pengetahuan termasuk di

dalamnya ilmu-ilmu keagamaan islam khususnya perlu menyadari adanya tiga peringkat

keilmuan tersebut. Jika tidak, maka akan terjadi ketertumpangtindihan antara yang satu dan

Page 24: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

lainnya dan pada gilirannya akan memunculkan anomali-anomali dan bahkan ketimpangan-

ketimpangan dalam kehidupan beragama.

C. Budaya Berfikir Baru Yang Ingin Dikembangkan

Dengan bekal kemampuan membedakan tiga lapis ilmu-ilmu keislaman, ternyata lapis

ketiga yang paling jarang di sentuh oleh metodologi pendidikan agama islam dan dakwah

islam sebagai ujung tombak terdepan dalam berhubungan dengan komunitas intern umat

islam pada umumnya. Mentalitas dan cara berfikir yang jernih, logis, wajar, objektif, apa

adanya, sekaligus kritis biasanya lebih mendahulukan nilai-nilai fundamental (fundamental

value) dalam kehidupan dan bukannya sekedar identitas lahiriyah keberagamaan. Filsafat

ilmu-ilmu keislaman, dapat di jadikan media olah pikir untuk membentuk sikap kritis

terhadap realitas kehidupan beragama yang nyata memang tidak seideal, sebagus, seindah

seperti yang di cantumkan dan di rumuskan dalam formulasi normativitas doktrin dan dogma-

dogma keagamaan. Disamping itu, filsafat ilmu-ilmu eislaman juga dapat membantu menari

fundamental value yang berada di balik formulasi rumusan doktrin yang formal dan kering.

Dalam era pluralitas internal umat islam dan pluralitas eksternal antar umat beragama

filsafat ilmu-ilmu keislaman di perlukan untuk mengantisipasi dan mengurangi fanatisme

kelompok. Pertentangan-pertentangan kepentingan ekonomi, politik, dan sosial semakin hari

semakin tajam tidak terbendung dan mudah memunculkan fanatisme kelompok sempit yang

dengan mudah akan mengarah pada kehancuran total secara bersama-sama.

Ada tiga pola pikir keagamaan islam yang perlu di cermati bersama, didialogkan dan di

kembangkan lebih lanjut di kemudian hari, sebagai akibat langsung di perkenalkannya fisafat

ilmu-ilmu keislaman dalam khasanah intelektual muslim eravmilinium baru:

1. Pola pemikiran keagamaan islam yang bersifat absolutely absolute

Pola pemikiran keislaman model ini selalu memandang bahwa ajaran agama seluruhnya

adalah bersifat taugify. Unsur wahyu lebih di kedepankan dari pada akal. Bahkan hal-hal

yang curigai sebagai produk akal cepat-cepat di sebut sebagai bid’ah. Dan wa kullu bid’ atin

zalalah, wa kullu zalatin fi al-nar ( seluruh barang baru, yang di masukkan dalam agama

adalah bid’ah ( mengada-ada). Dan setiap perbuatan yang bersifat mengada-ada dalam

bergama adalah menyesatkan. Sedang hal-hal yang menyesatkan selalu akan membawa ke

neraka. Dengan demikian unsur ta’abbudy lebih di garisbawahi dari pada unsur

ta’aqquly.begitu juga yang biasa di sebut-sebut sebagai qat’iyyat( certainly;kepastian) lebih

di utamakan dari pada zanniyat.

Page 25: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

Pola keimanan dan pola pemikiran keagamaan ingin penulis sebut sebagai bersifat

absolutely absolute. Pola pikir islam model ini sangat rigid, kaku dan tidak mengenal

kompromi. Para pemangku model pemikiran ini selalu mengambil jarak sejauh mungkin dari

campur tangan dan intervensi orag lain apalagi penganut agama lain. Hampir-hampir

semboyan yang di gunakan adalah right or wrong is my country. Mereka melupakan dimensi

kesejarahan, tarikhiyyat atau historitas pemikiran keagamaan. Pendukung pola pemikiran ini

mudah terjebak pada proses tagdis al-afkar al-diniyyah(pensakralan pemikiran keagamaan).

Fanatism selalu muncul dari logika berfikir keagamaan model ini. Al-uqul al mutanafisah

(pola pikir cenderung menyerang pola pikir dan keimanan yang di milki orang lain) sangat

kental dimiliki oleh kelompok ini. Sulit diajak tukar pikiran secara ernih dengan kesediaan

untuk melakukan proses take and give.

Ketika perilaku agamawan tidak boleh dikritik dan diteilti oeh para pengamat sosial

keagamaan dengan menggunakan pendekatan sosial maupun budaya, maka mereka

sesungguhnya lagi menyelamatkan dan memisahkan doktrin agama dari pada pelakunya.

Mereka menolak sama sekali bahwa perilaku agama adalah juga perilaku sosial dan perilaku

budaya biasa, hanya saja perilaku ini di inspirasikan oleh teks-teks kitab suci dan naskah-

naskah keagamaan yang terderivikasi dari nash-nash kitab suci baik langsung maupun tidak.

Para penganut pola pikir keagamaan yang bercorak absolutely absolute ini teguh dalam

bersikap, tidak luwes dalam berkomunikasi dan bergaul dengan sesamanya. Pemahaman teks-

teks wahyu secara harfiyyah menjadi stumbling block untuk melakukan kajian sosial dan

budaya lebih lanjut terhadap perilaku keagamaan. Pola pikir dan perilaku keagamaan model

ini mungkin bagus dan terpuji untuk wilayah keagamaan yang bersifat heterogen . kesulitan

dan benturan-benturan sering dihadapi oleh penggemar pola pikir ini.

2. Pola pemikiran keagamaan yang bersifat absoluetely relative

Para tokoh agama yang mempunyai latar belakang ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu

budaya mempunyai sedikit kecenderungan untuk berpendapat bahwa perilaku agama adalah

identik dengan perilaku sosial dan budaya biasa. Sulit di bedakan antara agama dan tradisi.

Tradisi adalah agama dan agama adalah tradisi. Dengan demikian apa yang disebut dengan

kebenaran dan lebih-lebih kebenaran agama adalah tidak ada. Tidak dikenal dimensi rohaniah

–esoterik dari agama-agama. Yang hanyalah dimensi-dimensi lahiriyah eksoterik dari pada

pemeluk agama-agama.

Pandangan ilmuan sosial era positivistik mewakili cara pandang terhadap realitas

kehidupan beragama. Tidak perlu memeluk agama secara serius, karena agama hanyalah

Page 26: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

fenomena sosial biasa, bahkan sebagai sumber dan akar konflik sosial keagamaan dan

kesukuan. Pola pikir ini muncul sebagai antitesis dari corak pemikiran keagamaan dan

pemikiran islam yang pertama. Jika pola pemikiran yang pertama sangat rigid, kaku maka

yang kedua adalah sangat longgar, bahkan cenderung sekuler. Dalam istilah sosiologi agama,

corak pemikiran keagamaan yang kedua ini lebih bersifat reduksionistik, sedang yang

pertama adalah idealistik. Para protagonis pola pemikiran ini tidak dapat menikmati rasa

hangatnya manusia beragama. Masyarakat di barat disinyalir sudah tidak punya rasa agama

seperti yang dipahami oleh pola pemahaman pertama. Namun kesan seperti bisa saja tidak

tepat. Kekeliruan dan ketidaktepatan pemahaman tentang entitas agama seperti yang

digambarkan oleh corak pemikiran keagamaan yang di pelopori oleh para ilmuan sosial era

positivistik ini telah banyak dikritik dan diluruskan oleh para ilmuan studi agama-agama.

Tata nilai (value) dan religiositas di anggap sebagai fenomena sosial biasa, dan bukannya

sebagai hal yang bersifat fundomental dalam kehidupan manusia. Inner life dan spiritualitas

dianggap tidak lagi bermakna, karena pandangan mereka terhadap hakekat manusia hanyalah

sebagai kumpulan daging yang bergerak tak ubahnya seperti hewan. Manusia adalah makhluk

yang bergerak tak ubahnya seperti hewan. Manusia adalah makhluk yang berkelompok, tetapi

kehidupan berkelompok tersebut tidak jauh berbeda dari kelompok hewan. Ketika muncul

kekerasan antar umat beragama, hal demikian dianggap biasa saja karena menurut analisis

ilmu-ilmu sosial hal demikian wajar lantaran pertentangan dan kekerasan tersebut semata-

mata karena perebutan sumber-sumber ekonomi. Hewan pun dapat berkelahi karena

perebutan sumber ekonomi. Dimensi irrasionalitas manusia, yang dalam hal ini dipersamakan

dengan naluri kehewanan, begitu digarisbawahi, tanpa menyebut-nyebut aspek moralitas dan

religiositas yang tidak dimiliki oleh kelompok hewan.

3. Pola pemikiran keagamaan islam yang bercorak relatively absolute

Menarik catatan Dale Eikelman ketika memberi komentar tentang silang pendapat di

lingkungan dalam umat islam yang berujung pada konflik. Sangat bisa jadi bahwa isu adanya

clash of civilization antara barat dan timur ( islam dan konfusionisme) tidak bakal terjadi,

tetapi yang sangat dikhawatirkan dapat terjadi adalah clash of civilization from whitin. Yakni

pertentangan pendapat dan ide-ide yang diwakili oleh para pikir lapis pertama berhadapan

langsung dengan pola pikir keagamaan lapis kedua yang kemudian berubah menjadi benturan

dan bentrokan fisik serta kekerasan sosial yang meluas. Jika ini terjadi, tidak tertutup

kemungkinan untuk menambah dan meluas ke wilayah clash of civilization seperti yang

diungkapkan oleh samuel huntington.

Page 27: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

D. Catatan Kritis

Mendalami isu-isu yang terkait dengan filsafat ilmu-ilmu keislaman rupanya tidak hanya

terhenti pada level teoritis dan abstrak semata. Jika kajian itu dikemas dengan bagus secara

metodologis dengan dilengkapi kerangka teori dan berbagai pendekatan yang interdisiplin

dan multi disiplin maka diskursus tersebut akan mempunyai dampak langsung terhadap

praktik sosial keagamaan islam. Ia akan melatih, memupuk dan membentuk nalar kritis

terhadap realitas pola perilaku umat islam dimanapun mereka berada. Nalar komunal yang

beraroma politis memang selalu menghindardari diskusi filsafat ilmu. Hal itu terjadi sejak era

plato aristotle hinggan john rawl dan gadamer, sejak al- farabi, ibn rusdh, mulla sadra, sampai

fazlur rahman, abib al jabiry, hasan hanafi dan seterusnya. Ada baiknya jika agenda

reformulasi dan rekontruksi filsafat ilmu keislaman perlu dikedepankan terlebih dahulu,

sebelum melangkah ke wilayah ilmu-ilmu keislaman terlebih dahulu dan tidak hanya puas

dan berhenti disitu, tetapi dilanjutkan dan diakhiri dengan filsafat imu-ilmu keislaman agar

supaya dapat utuh dan komprehensif dalam melihat persoalan keagamaan dan keislaman

sekaligus.

Page 28: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

KESIMPULAN

Pada tataran normativitas, studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi

keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis,

kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks keagamaan produk

sejarah terdahulu kurang begitu di tonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu

yang masih sangat terbatas.

Dengan demikian, secara sederhana dapat di pahami bahwa dari sudut normatif islam

adalah wahyu Allah yang bersifat mutlak (absolut), sehingga kepadanya tidak dapat di

berlakukan paradigma ilmu pengetahuan yang nota bene bersifat relatif (nisbi). Jadi sebagai

agama, islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis dan subyektif.Namun, jika di lihat

dari sudut historis yaitu islam dalam arti yang di praktekkan oleh manusia serta tumbuh dan

berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat di katakan sebagai sebuah

disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi islam.

Islam sebagai agama sesungguhnya memiliki banyak dimensi, seperti yang di ungkapkan

oleh Harun Nasution.yakni tidak hanya dimensi ritual (ibadah khas) yang terkandung dalam

islam, tetapi juga terkandung dimensi ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial atau

kemanusiaan (kemasyarakatan). Justru dimensi yang terakhir ini memiliki porsi yang lebih

besar di dalam al-quran sebagai referensi utama umat islam. Hasil interpretasi umat islam

terhadap wahyu allah yang ada di dalam al-quran memunculkan islam dalam frame yang

baru, yaitu islam historis. Maksudnya adalah islam yang di praktekkan dalam kehidupan umat

manusia.

Wajar islam (islam historis) yang seperti ini tentu tidak sama dengan islam normativ

(wahyu Allah). Jika islam normatif bersifat mutlak (absolut) dan pasti benar, maka islam

historis masih perlu di pertanyakan kebenarannya.sebab, sebagai hasil interpretasi umat

manusia terhadap islam normatif, islam historis tentu tidak sepi dari kesalahan dan

manipulasi tangan manusia yang memiliki hawa nafsu serta tendesi-tendesi tertentu.Oleh

sebab itu, mempelajari studi islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap

ajaran islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap ajaran islam menjadi

parsial, tetapi komprehensif.Pemahaman yang seperti ini sangat di perlakukan bagi

munculnya pengamalan ajaran islam yang komprehensif pula. Sehubungan dengan ini,

Nurcholis Madjid pun mengatakan bahwa yang amat di perlukan oleh umat islam melalui

para sarjananya adalah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran islam yang

Page 29: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

merupakan hasil interaksi sosial umat islam dalam sejarah(islam historis). Selain itu, ada pula

istilah sains islam yang menurut Husesen Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum

muslimin sejak abad islam kedua, yang merupakan prestasi besar dalam peradapan islam.

Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua sebelum masehi, peradaban islam

mungkin merupakan peradaban yang paling produktif di bandingkan peradaban mana pun di

wilayah sains dan sains islam berada pada garda depan dan berbagai kegiatan, mulai dari

bidang kedokteran sampai astronomi.

Dengan demikian, sains islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti

kedokteran, astronomi, matematika, fisika,dan berbagai yang di bangun berdasarkan nilai-

nilai islami.Sementara studi islam adalah pengetahuan yang di rumuskan dari ajaran islam

yang di praktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama

adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan rasulnya secara

murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-quran

dan akhlak.

Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang di kenal dengan

madrasah diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan

agama, Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan institut agama islam yang di dalamnya

di ajarkan studi islam yang meliputi tafsir, hadist, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, hukum islam,

sejarah dan kebudayaan islam, dan pendidikan islam. Kemudian muncul pula universitas

islam yang ada di dalamnya di ajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa

islam yang selanjutnya di sebut sains islam.

Page 30: ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMU

DAFTAR PUSTAKA

Fitri Oviyanti. 2007. Metodologi Studi Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.

Abudin Nata. 2004. Metodologi Studi Islam. jakarta: Raja Grafindo Persada.

Amin Abdullah. 2006. Islamic Studies. Jakarta: Pustaka Pelajar.