islamic studies dan klasifikasi ilmu
DESCRIPTION
ISLAMIC STUDIES DAN KLASIFIKASI ILMUTRANSCRIPT
TUGAS MANDIRI
METODOLOGI STUDI ISLAM
Islamic Studies Dan Klasifikasi Ilmu
Disusun Oleh : Elisa Prima Yunita
PRODI : PBS / C
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) METRO
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat allah swt yag telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya pada
kita semua sehingga kita tetap diberikan untuk membaca dan mempelajari makalah ini.
Solawat serta salam senantiasa kita limpahkan kepada nabi besar Muhammad saw, yang telah
mengeluarkan kita dari zaman kebodohan.
Makalah disusun guna menunjang pembelajaran dikelas, yang disusun berdasarkan
referensi-refernsi terpercaya dengan penambahan dari pengetahuan penyusun. Dalam
makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami sebagai penyusun mohon maaf dan
mengharapkan masukan demi memnempurankan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya dan bermanfaat bagi kita
semua.
Metro,2 November 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Studi Islam ............................................................................... 7
2. Pendekatan dalam kajian islam:normatif atau historis
(membangun kerangka dasar filsafat ilmu-ilmu keislaman) ... 9
A. Observasi Kritis Terhadap Ilmu-ilmu Keislaman ..............
B. Pengumpulan teori-teori dalam wacana keilmuan:
sepintas menengok problem/ masalah pertumbuhan ilmu . 11
C. Reserch program dalam terminologi lakatos: mempertegas
Wilayah historitas ilmu-ilmu keislaman ............................
D. Keterkaitan normativitas dan historitas dalam studi keislaman:
Lingkaran hermenetik antara bahasa, pemikiran, dan kesejarahan
Dalam ilmu-ilmu keislaman ............................................... 17
3. Filsafat ilmu-ilmu keislaman :
A. Tiga lapis peringkat ilmu-ilmu keislaman ......................... 22
B. Membangun kontruksi dasar filsafat ilmu-ilmu keislaman 24
C. Budaya berfikir baru yang ingin di kembangkan ............... 25
D. Catatan kritis ...................................................................... 29
BAB III PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketegangan atau tension masih tampak begitu jelas antara sisi normativitas dan
historisitas keberagamaan di berbagai perguruan tinggi agama islam di tanah air.Untuk
mengurangi ketegangan yang seringkali tidak produktif, penulis menawarkan paradigma
keilmuan interkoneksitas dalam studi keislaman kontemporer di Peguruan Tinggi. Berbeda
sedikit dari paradigma integrasi keilmuan yang seolah-olah berharap tidak akan ada lagi
ketegangan yang di maksud, yakni dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke
dalam lainnya, baik dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam lainnya,
baik dengan cara melebur dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan
cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk ke
wilayah historitas-profanitas atau sebaliknya membenamkan dan meniadakan seluruhnya sisi
historisitas keberagamaan islam ke wilayah normativitas sakralitas tanpa reserve, maka
penulis menawarkan paradigma interkoneksitas yang lebih modest (mampu mengukur
kemampuan diri sendiri), humility (rendah hati) dan human (manusiawi).
Paradigma interkoneksitas ini berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas
fenomena kehidupan yang di hadapi dan di jalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun,
baik keilmuan agama (termasuk agama islam dan agama-agama lain, keilmuan
sosial,humaniora, maupun kelaman tidak dapat berdiri sendiri.Begitu ilmu pengetahuan
tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalan secara
sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain maka self/sufficiency
ini cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness untuk tidak menyebutnya
fanatisme partikularitas disiplin keilmuan.Kerja sama saling tegur sapa saling membutuhkan,
saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu
manusia memahami kompleksitas kehidupan yang di jalani dan di pecahkan persoalan yang
di hadapinya.
Secara epistemologi, paradigma interkoneksitas merupakan jawaban atau respon
terhadap kesulitan-kesulitan yang di rasakan selama ini, yang di wariskan dan di teruskan
selama berabad-abad dalam peradaban islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan
pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tanpa merasa perlu saling bertegur
sapa. Kesulitan epistimologis ini rupanya berdampak secara struktural politis dengan
berdirinya Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama di awal kemerdekaan
Republik Ini. Terpisahnya dua Depantemen ini, khususnya dalam hal pendidikan menambah
sempurnanya dikotomi di maksud. Dari waktu ke waktu, upaya untuk mendekatkan kembali
jurang pemisah atau gap antara keduanya, khususnya dalam wilayah pendidikan semakin
tampak nyata.
Paradigma interkoneksitas, secara aksiologis, hendak menawarkan pandangan dunia
(world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka
dialig dan kerjasama, transparan, dapat di pertanggung jawabkan secara publik dan
berpandangan ke depan.Secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi
semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya
pendukung keilmuan agama bersumber pada teks-teks ( hadlarah al-nash) dan budaya
pendukung keilmuan faktual historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman (
hadlarah al illm) serta budaya pendukung keilmuan etisfilosofis (hadlarah al-falsafah) masih
tetap saja ada. Hanya saja, cara berfikir dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni
ilmu-ilmu ini yang perlu berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya di dalam
birokrasi pendidikan, baik pada level prodi, jurusan maupun fakultas, dan lebih-lebih lagi
dalam diri ilmuan, dosen, akademisi atau researchers, yang termanifestasikan dan
teraktualisasikan dalam keanekaragaman perspektif yang digunakan untuk mengkaji dan
menganalisis persoalan, program penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan
kurikulum, silabi maupun proses dan prosedur perkuliahan serta evaluasi pembelajarannya
menjadi shibghah dan core values yang harus di pegang teguh dan di kembangkan terus
menerus oleh para pelaku transformasi.
Pada tataran normativitas, studi studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh
misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan
analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks keagamaan
produk sejarah terdahulu kurang begitu di tonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti
tertentu yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian, secara sederhana dapat di pahami bahwa dari sudut normatif islam
adalah wahyu Allah yang bersifat mutlak (absolut), sehingga kepadanya tidak dapat di
berlakukan paradigma ilmu pengetahuan yang nota bene bersifat relatif (nisbi). Jadi sebagai
agama, islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis dan subyektif.Namun, jika di lihat
dari sudut historis yaitu islam dalam arti yang di praktekkan oleh manusia serta tumbuh dan
berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat di katakan sebagai sebuah
disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi islam.
Islam sebagai agama sesungguhnya memiliki banyak dimensi, seperti yang di ungkapkan
oleh Harun Nasution.yakni tidak hanya dimensi ritual (ibadah khas) yang terkandung dalam
islam, tetapi juga terkandung dimensi ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial atau
kemanusiaan (kemasyarakatan). Justru dimensi yang terakhir ini memiliki porsi yang lebih
besar di dalam al-quran sebagai referensi utama umat islam. Hasil interpretasi umat islam
terhadap wahyu allah yang ada di dalam al-quran memunculkan islam dalam frame yang
baru, yaitu islam historis. Maksudnya adalah islam yang di praktekkan dalam kehidupan umat
manusia.
Wajar islam (islam historis) yang seperti ini tentu tidak sama dengan islam normativ
(wahyu Allah). Jika islam normatif bersifat mutlak (absolut) dan pasti benar, maka islam
historis masih perlu di pertanyakan kebenarannya.sebab, sebagai hasil interpretasi umat
manusia terhadap islam normatif, islam historis tentu tidak sepi dari kesalahan dan
manipulasi tangan manusia yang memiliki hawa nafsu serta tendesi-tendesi tertentu.Oleh
sebab itu, mempelajari studi islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap
ajaran islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap ajaran islam menjadi
parsial, tetapi komprehensif.Pemahaman yang seperti ini sangat di perlakukan bagi
munculnya pengamalan ajaran islam yang komprehensif pula. Sehubungan dengan ini,
Nurcholis Madjid pun mengatakan bahwa yang amat di perlukan oleh umat islam melalui
para sarjananya adalah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran islam yang
merupakan hasil interaksi sosial umat islam dalam sejarah(islam historis).
Selain itu, ada pula istilah sains islam yang menurut Husesen Nasr adalah sains yang
dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang merupakan prestasi besar
dalam peradapan islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua sebelum
masehi, peradaban islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif di bandingkan
peradaban mana pun di wilayah sains dan sains islam berada pada garda depan dan berbagai
kegiatan, mulai dari bidang kedokteran sampai astronomi.
Dengan demikian, sains islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti
kedokteran, astronomi, matematika, fisika,dan berbagai yang di bangun berdasarkan nilai-
nilai islami.Sementara studi islam adalah pengetahuan yang di rumuskan dari ajaran islam
yang di praktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama
adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan rasulnya secara
murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-quran
dan akhlak.
Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang di kenal dengan
madrasah diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan
agama, Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan institut agama islam yang di dalamnya
di ajarkan studi islam yang meliputi tafsir, hadist, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, hukum islam,
sejarah dan kebudayaan islam, dan pendidikan islam. Kemudian muncul pula universitas
islam yang ada di dalamnya di ajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa
islam yang selanjutnya di sebut sains islam.
Untuk itulah penulis akan sedikit menjelaskan tentang studi islam dan Pendekatan dalam
kajian islam:normatif atau historis (membangun kerangka dasar filsafat ilmu-ilmu
keislaman) dan filsafat ilmu-ilmu keislaman
A. Observasi Kritis Terhadap Ilmu-ilmu Keislaman
Menurut pengamatan Fazlur Rahman pada bukunya Islam dan Modernity telah mencoba
untuk menggunakan pendekatan yang lebih kritis dalam membahas ilmu-ilmu keislaman.
Telah mengidentifikasi dan memberi karakteristik pada ilmu-ilmu keislaman sebagai disiplin
ilmu yang bersifat sangat repetitif, selalu mengulang-ulang,sarat dengan literatur yang hanya
berupa komentar, penjelasan,terhadap suatu karya dan komentar terhadap komentar tersebut,
serta sangat sedikit membuahkan pikiran-pikiran maupun gagasan baru.Pengumpulan
intelektual islam, menurut pandangannya selama ini tidak di arahkan untuk pencapaian-
pencapaian gagasan yang baru.melainkan hanya di manfaatkan untuk mempertahankan
pengetahuan yang telah ada,metode perdebatan lalu di anggap sebagai jalan yang terbaik
untuk memenangkan suatu pendapat dan hampir menjadi metode pengganti bagi usaha-
uasaha intelektual murni untuk memunculkan dan menangkap isu-isu aktual lainnya.
B. Pengumpulan teori-teori dalam wacana keilmuan: sepintas menengok problem/
masalah pertumbuhan ilmu
Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang sesungguhnya
adalah problem yang akut dalam ilmu-ilmu keislaman yang merupakan tema sentral dalam
pembahasan akademik pada domain filsafat ilmu. Tidak mungkin bagi penulis di sini untuk
menguraikan secara panjang lebar seluruh perdebatan yang berlagsung selama beberapa
dekade terakhir dalam di siplin yang bercorak sangat filosofis. Akan tetapi, penulis akan
memfokuskan diri pada pembahasan mengenai sifat dan watak dasar teori-teori ilmiah beserta
metodologi-metodologinya dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan
ilmu.disini penulis tidak akan dapat juga menyajikan gambaran situasi perdebatan secara
utuh, oleh karena itu akan di sampaikan saja gambaran selintas mengenai perdebatan yang
telah terjadi.
C. Reserch program dalam terminologi lakatos: mempertegas Wilayah historitas ilmu-
ilmu keislaman
Satu implikasi dan konsekuensi logis dari hasil temuan Rahman dapat di ekspresikaN
lewat sebuah pertanyaan “apakah ilmu-ilmu keislaman membentuk sebuah reserch program
yang melibatkan teori-teori yang satu sama lain saling kompetisi, sebagai mana umumnya
terjadi pada cabang-cabang ilmu yang lain? Rahman sendiri tidak memberikan jawaban untuk
pertanyaan di atas.Namun demikian, nampak jelas rahman memberikan sinyal ke arah mana
hendaknya research program ilmu-ilmu keislaman di bawa, di bangun kembali dan di
formulasikan ulang.
D. Keterkaitan normativitas dan historitas dalam studi keislaman: Lingkaran hermenetik
antara bahasa, pemikiran, dan kesejarahan Dalam ilmu-ilmu keislaman
Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam,humaniora, sosial agama
atau ilmu-ilmu keislaman, harus diformulasikan dan di bangun di atas teori-teori yang
berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas.Dalam pengertian ini, teori-teori sebagai
wujud ekspresi intelektual yang seharusnya tidak boleh di sakralkan dan dokmatif.dengan
demikian kita hanya akan berhubungan dengan teori-teori, ide-ide, kerangka kerja, formula-
formula, prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan atau asumsi-asumsi, dasar, paradigma dan
apapun namanya, yang dapat di uji, di evaluasi, di kritisi dan didiskusikan secara
akademik.Berdasarkan teori-teori yang telah ada lebih dahulu, riset keilmuan dapat tumbuh
mencapai perkembangan dan kemajuan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Studi Islam
Para ahli masih berbeda pendapat tentang apakah studi islam (agama) dapat di masukkan
ke dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu
pendidikan dan agama berbeda. Menurut Amin Abdullah pangkal tolak kesulitan
pengembangan wilayah kajian studi islam ( Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah) berakar
pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan
historitas. Pada tataran normativitas kelihatan islam kurang pas untuk di katakan sebagai
disiplin ilmu, sedangkan untuk tataran historistis tampaknya tidaklah salah.1
Pada tataran normativitas, studi studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi
keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis,
kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks keagamaan produk
sejarah terdahulu kurang begitu di tonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu
yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian, secara sederhana dapat di pahami bahwa dari sudut normatif islam
adalah wahyu Allah yang bersifat mutlak (absolut), sehingga kepadanya tidak dapat di
berlakukan paradigma ilmu pengetahuan yang nota bene bersifat relatif (nisbi). Jadi sebagai
agama, islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis dan subyektif.Namun, jika di lihat
dari sudut historis yaitu islam dalam arti yang di praktekkan oleh manusia serta tumbuh dan
berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat di katakan sebagai sebuah
disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi islam.
Islam sebagai agama sesungguhnya memiliki banyak dimensi, seperti yang di ungkapkan
oleh Harun Nasution.yakni tidak hanya dimensi ritual (ibadah khas) yang terkandung dalam
islam, tetapi juga terkandung dimensi ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial atau
kemanusiaan (kemasyarakatan). Justru dimensi yang terakhir ini memiliki porsi yang lebih
besar di dalam al-quran sebagai referensi utama umat islam. Hasil interpretasi umat islam
terhadap wahyu allah yang ada di dalam al-quran memunculkan islam dalam frame yang
1 Fitri Oviyanti, 2007, Metodologi Studi Islam, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press),h.12
baru, yaitu islam historis. Maksudnya adalah islam yang di praktekkan dalam kehidupan umat
manusia.2
Wajar islam (islam historis) yang seperti ini tentu tidak sama dengan islam normativ
(wahyu Allah). Jika islam normatif bersifat mutlak (absolut) dan pasti benar, maka islam
historis masih perlu di pertanyakan kebenarannya.sebab, sebagai hasil interpretasi umat
manusia terhadap islam normatif, islam historis tentu tidak sepi dari kesalahan dan
manipulasi tangan manusia yang memiliki hawa nafsu serta tendesi-tendesi tertentu.Oleh
sebab itu, mempelajari studi islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap
ajaran islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap ajaran islam menjadi
parsial, tetapi komprehensif.Pemahaman yang seperti ini sangat di perlakukan bagi
munculnya pengamalan ajaran islam yang komprehensif pula. Sehubungan dengan ini,
Nurcholis Madjid pun mengatakan bahwa yang amat di perlukan oleh umat islam melalui
para sarjananya adalah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran islam yang
merupakan hasil interaksi sosial umat islam dalam sejarah(islam historis). 3
Selain itu, ada pula istilah sains islam yang menurut Husesen Nasr adalah sains yang
dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang merupakan prestasi besar
dalam peradapan islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua sebelum
masehi, peradaban islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif di bandingkan
peradaban mana pun di wilayah sains dan sains islam berada pada garda depan dan berbagai
kegiatan, mulai dari bidang kedokteran sampai astronomi.4
Dengan demikian, sains islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti
kedokteran, astronomi, matematika, fisika,dan berbagai yang di bangun berdasarkan nilai-
nilai islami.Sementara studi islam adalah pengetahuan yang di rumuskan dari ajaran islam
yang di praktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama
adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan rasulnya secara
murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-quran
dan akhlak.
Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang di kenal dengan
madrasah diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan
agama, Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan institut agama islam yang di dalamnya
di ajarkan studi islam yang meliputi tafsir, hadist, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, hukum islam,
2 Ibid.
3 Ibid.h.14
4 Abudin Nata, 2004, Metodologi Studi Islam. (jakarta:Raja Grafindo Persada).
sejarah dan kebudayaan islam, dan pendidikan islam. Kemudian muncul pula universitas
islam yang ada di dalamnya di ajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa
islam yang selanjutnya di sebut sains islam.
2. Pendekatan dalam kajian islam: Normatif atau Historis
(membangun kerangka dasar filsafat ilmu-ilmu keislaman)
A. Observasi Kritis Terhadap Ilmu-ilmu Keislaman
Menurut pengamatan Fazlur Rahman pada bukunya Islam dan Modernity telah mencoba
untuk menggunakan pendekatan yang lebih kritis dalam membahas ilmu-ilmu
keislaman.5Telah mengidentifikasi dan memberi karakteristik pada ilmu-ilmu keislaman
sebagai disiplin ilmu yang bersifat sangat repetitif, selalu mengulang-ulang,sarat dengan
literatur yang hanya berupa komentar, penjelasan,terhadap suatu karya dan komentar
terhadap komentar tersebut, serta sangat sedikit membuahkan pikiran-pikiran maupun
gagasan baru.Pengumpulan intelektual islam, menurut pandangannya selama ini tidak di
arahkan untuk pencapaian-pencapaian gagasan yang baru.melainkan hanya di manfaatkan
untuk mempertahankan pengetahuan yang telah ada,metode perdebatan lalu di anggap
sebagai jalan yang terbaik untuk memenangkan suatu pendapat dan hampir menjadi metode
pengganti bagi usaha-uasaha intelektual murni untuk memunculkan dan menangkap isu-isu
aktual lainnya.
Piranti analitik dan akademik yang kerap ia gunakan untuk menvalidasi kritik-kritiknya
adalah dengan memaparkan perbedaan antara islam yang normatif dan historis. Dengan
memilah dua aspek dari agam islam ini, Rahman hendak mempertahankan dengan sekuat
tenaganya aspek-aspek normatif agama islam sementara tetap dapat bersikap lebih kritis
terhadap hal-hal tertentu yang berkaitan dengan perkembangan kesejahteraanya. Dengan
demikian, seluruh kontruksi dan formulasi yang ada ilmu-ilmu keislaman, seperti ilmu kalam,
fiqih, falsafah, dan tasawuf selama ini, tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan
manifestasi produk pemikiran orang-orang muslim dalam evolusi kesejahteraannya yang
panjang. Berdasarkan pada kenyataan ini, sarjana, sarjana muslim di manapun dan pada abad
kapan pun seharusnya menghindari diri dari menjadi tawanan dari prinsip-prinsip yang di
5 Amin Abdullah, 2006. Islamic Studies. ( Pustaka Pelajar),h.27
buatnya sendiri.6 Seluruh bangunan pengetahuan, prinsip-prinsip dan formula-formula yang
telah ada tersebut sesungguhnya sangat di batasi oleh waktu dan ruang di mana dan kapan ia
di rumuskan.
Observasi kritis terhadap ilmu-ilmu keislaman tersebut diatas dapat di ungkapkan kembali
dengan menggunakan bahasa filsafat ilmu kontemporer, seperti yang di tujukan dalam
tulisan-tulisan Kart R.Popper, Thomas S.Khun dan imre Lakatos. Dilihat dari sudut pandang
filsafat ilmu tradisional, adalah menjadi bahan perdebatan dan barang kali di anggap
kontroversional, apakah penggunaan istilah science ini tepat untuk merujuk pada ilmu-ilmu
sosial,humaniora dan khusus ilmu keislaman.Rahman tidak memberikan klasifikasi lebih
lanjut mengapa ia memilih istilah science untuk memaparkan studi-studi islam dalam
bukunya.Dengan mengesampingkan seluruh kontroversi yang ada mengenai hal ini dan
menerima dengan tanggung jawab bahwa studi islam dapat dinamakan sengan istilah science,
Rahman harus menghadapi kenyataan yang tidak gampang dalam usahanya untuk
menerapkan metode-metode ilmiah pada ilmu-ilmu keislaman. Mula pertama adalah tuntunan
untuk melakukan pengujian ulang secara kritis mengenai sikap pandang umat muslim
terhadap islam di masa lalu yang selama ini ada.Hal ini di nilai sangat mendesak karena
adanya gangguan psikologis yang amat komplek berdasarkan kenyataan bahwa mereka harus
berhadapan dengan barat, umat muslim di tuntut untuk dapat mempertahankan diri sehingga
seolah masa lampau itu adalh tuhan kita. Untuk itulah dia menyatakan pentingnya di lakukan
rekontruksi yang lebih sistematik pada bidang-bidang ilmu keislaman, seperti pada teologi
(kalam), hukum dan etika (fiqh), filsafat dan ilmu sosial lainnya.
Problem rasionalitas dan historitas dalam pemikiran islam dan ilmu-ilmu keislaman saat
ini sedang mendapat tantangan dan kritik tajam, khususnya dari sarjana-sarjana muslim masa
kini. Beberapa diantara para pemikiran itu dapat di sebutkan antara lain Muhamad Abib al
jabiri,Nasr Hamid Abu Zayd, Muhamad Shahrur dan Abdullah Ahmad Naim.Meskipun
demikian, menurut pengamatan penulis yang masih harus di uji lebih lanjut, belum ada satu
pun dari generasi pemikiran-pemikiran islam saat ini yang mencoba menjelaskan relevansi
penerapan teori-teori dan metodologi ilmiah,yang merupakan intisarinya filsafat ilmu, pada
wacana ilmu-ilmu keislaman dalam rangka mengkritisi seluruh kontruksi ilmu-ilmu
keislaman dan pemikiran islam yang begitu luas.Selagi ilmu-ilmu keislaman dan studi
keislaman dapat di sebut sebagai science.7
6 Ibid.
7 Ibid.h.36-37
B. Pengumpulan Teori-teori Dalam Wacana Keilmuan:
Sepintas Menengok Problem/Masalah Pertumbuhan Ilmu
Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang sesungguhnya
adalah problem yang akut dalam ilmu-ilmu keislaman yang merupakan tema sentral dalam
pembahasan akademik pada domain filsafat ilmu. Tidak mungkin bagi penulis di sini untuk
menguraikan secara panjang lebar seluruh perdebatan yang berlagsung selama beberapa
dekade terakhir dalam di siplin yang bercorak sangat filosofis. Akan tetapi, penulis akan
memfokuskan diri pada pembahasan mengenai sifat dan watak dasar teori-teori ilmiah beserta
metodologi-metodologinya dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan
ilmu.disini penulis tidak akan dapat juga menyajikan gambaran situasi perdebatan secara
utuh, oleh karena itu akan di sampaikan saja gambaran selintas mengenai perdebatan yang
telah terjadi.
Sebelum mendiskusikan subyek yang sangat vital ini, mula pertama penulis akan
menyampaikan beberap istilah maupun terminologi analitik yang sering kali di gunakan
untuk menjelaskan dua aliran/tradisi besar dalam filsafat ilmu.Yang pertama adalah tradisi
yang bersifat naturalistik, sedangkan yang lainnya adalah humanistik. Beberapa konsep kunci
yang sering kali mengemukakan dalam tradisi naturalistik adalah mengenai coribility (dapat
di koreksi) dan incorrigibility(tidak dapat dikoreksinya)pengetahuan,sistem explanation
(penjelasan) dan falsification(penemuan kesalahan), sistem, modal, dan teori, kerangka kerja,
pola dan paradigma,theory-laden (padat teori),tradisi investigasi yang berkesinambungan,
normal science, (ilmu-ilmu normal) dan revolusionary sciense(ilmu yang bersifat
revolusioner).anomali, teori commensurability,puzzlevsolving within normal science (upaya
pemecahan persoalan yang pelik dalam wilayah normal science), kontek justifikasi dan
konteks penemuan, hard core and protective belt (inti ilmu yang solid dan ilmu-ilmu yang
melingkari sebagai sabuk pengaman),the heuristic principle (prinsip memberikan dorongan
untuk melakukan penelitian terus menerus untuk menemukan pemikiran baru) dan lain
sebagainya. Sementara itu aliran humanistik sangat menaruh perhatian pada konsep-konsep
kunci seperti meaning,ilmu sosial yang interpretatif dan eksplanatif,hermeneutics, insider and
outsider understanding,pendekatan-pendekatan yang bersifat idealis dan reduksionis,vertehen
vs. Erklaren;obyektifitas dan subyektivitas,obyektivitas dan keterlibatan diri, nilai dan fakta,
teks dan konteks, makna dan ekspresi, sosiologi ilmu pengetahuan, pengetahuan sebagai
sebuah organisme, masyarakat sebagai sebuah sistem fungsional struktural, agama sebagai
sebuah proyeksi sosial dan psikologis dan lain sebagainya.
Berikutnya penulis akan membatasi diri untuk menyeleksi dan menguraikan ide-ide
Thomas S. Khun,Karl R,popper dan Imre Lakatos, khususnya yang berkaitan dengan gagasan
yang mereka yang mengemukakan dalam diskusi tentang percaturan teori-teori ilmu,
tumbuhnya teori baru yang menantang teori-teori yang terdahulu dalam wacana ilmu
pengetahuan.Hanya sebagian dari konsep-konsep kunci yang telah di sebutkan di atas.
Mempertahankan, menjaga, mengkritisi, menguji ulang, mencermati, memperbaiki dan
mengolah kembali teori-teori ilmiah adalah tugas utama seorang yang bergerak di bidang
riset dan pengembangan di lapangan ilmu pengetahuan apapun. Ini berarti aktivitas keilmuan
seharusnya dapat menghasilkan, menerapkan,sekaligus mengkritisi teori-teori terdahulu, tidak
hanya sekedar mengulang kembali teori tersebut.Ketika di tanyakan apakah yang mereka
maksudkan dengan teori, beberapa ilmuan mengatakan bahwa sebuah teori dari sebuah
hipotesa yang sudah mapan, atau aturan umum tentang alam, atau juga dapat berupa
sekumpulan ide-ide, hukum yang di susun secara sistematis.Ilmuan yang lain mugkin lebih
senang menyatakan bahwa teori adalah sebuah sistem pengungkapan dimana hubungan-
hubungan internal telah di buat menjadi eksplisit secara nyata.Kedua macam terminologi
tersebut mengakui adanya kemungkinan bahwa sistematisasi sebuah teori dapat di
kembangkan dalam berbagai cabang ilmu dan melalui berbagai macam cara, baik itu dalam
ilmu alam,humaniora, ilmu sosial atau ilmu apa saja.
C. Reserch program dalam terminologi lakatos: mempertegas Wilayah historitas ilmu-
ilmu keislaman
Satu implikasi dan konsekuensi logis dari hasil temuan Rahman dapat di ekspresikaN
lewat sebuah pertanyaan “apakah ilmu-ilmu keislaman membentuk sebuah reserch program
yang melibatkan teori-teori yang satu sama lain saling kompetisi, sebagai mana umumnya
terjadi pada cabang-cabang ilmu yang lain? Rahman sendiri tidak memberikan jawaban untuk
pertanyaan di atas.Namun demikian, nampak jelas rahman memberikan sinyal ke arah mana
hendaknya research program ilmu-ilmu keislaman di bawa, di bangun kembali dan di
formulasikan ulang.
Menurut hemat penulis, dengan menggunakan bahasa Lakatos, apa yang di sebut
Rahman sebagai islam normatif adalah sama atau paralel dengan yang di namakan hard core
dari sebuah cabang ilmu, sementara yang islam historis merupakan domain utama dari apa
yang di sebut dengan protective belt, yakni domain utama dari apa yang di sebut sebuah ilmu,
sistem pengetahuan yang secara langsung dapat dinilai, di uji ulang, di teliti, di pertanyakan,
di formulasi ulang dan di bangun kembali.8
Kawasan yang memungkinkan untuk di lakukan rekontruksi adalah pada domain ‘islam
historis’, bukan pada islam normatif.Seluruh komponen ilmu-ilmu keislaman, khususnya
kalam, tafsir, hadith, fikih, filsafat, tasawuf dan akhlak adalah masuk dalam kawasan islam
historis.Bangunan pengetahuan tersebut semula di rintis dan di formulasikan oleh manusia-
manusia yang hidup pada masa tertentu dan di pengaruhi oleh masalah-masalah dan
tantangan yang sangat riel dan valid bagi konteks waktunya saat ini.Berdasarkan kenyataan
bahwa problem dan tantangan itu berada dari masa ke masa, satu abad dengan abad yang lain,
maka secara natural konstruksi pengetahuan menjadi selalu terbuka untuk di uji ulang di
teliti, di reformulasi dan direkonstruksi oleh para ilmuan dan peneliti pada setiap kurun
waktu.
Dengan merangkum pernyataan rahman, Arkoun dan Richard C.Martin dan dalam
beberapa hal juga Charles J Adam, nampak di sana ada sebuah kerinduan yang mendalam
dan kebutuhan yang sangat mendesak bagi para sarjana muslimmasa kini untuk
merekontruksi ilmu-ilmu keislaman dengan cara mencangkok (menstransplantasi) dan
menggunakan teori serta metodologi yang berasal dari bidang ilmu di luar kalangannya
sendiri.Pada saat menyampaikan masalah yang sangat krusial ini Arkountermasuk salah satu
yang paling vokal,kalau tidak radikal di banding koleganya yang lain.Dia dengan sungguh-
sungguh menyerukan di gunakannya metodologi dan teori yang di bangun dalam tradisi ilmu-
ilmu sosial sebagai alat analisis ataupun model untuk program riset pada studi islam yang
baru.Arkoun tidak segan-segan menerapkan metodologi baru ini ke dalam ilmu-ilmu
keislaman, karena ia berkeyakinan bahwa pendekatan-pendekatan baru dalam studi ilmu-ilmu
sosial ini hanyalah sebuah kelanjutan, pengembangan, dan perbaikan dan metodologi dan
teori yang sebelumnya telah di rintis dan di formulasikan oleh para ilmuan abad pertengahan.
Kemungkinan melakukan perluasan dan pemekaran wilayah research program dalam
rangka untuk mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman paling tidak pada
kawasan islam historis sangat terbuka. Islam historis yang berada dalam domain protective
belt menurut istilah lakatos, merupakan fokus yang nyata dan wilayah konkret untuk program
rekrontruksi dan reformulasi ilmu-ilmu keislaman pada era modern ini.Dan hal itu akan
berhasil bila dilakukan transplantasi metodologi,teori dan tradisi riset yang telah dengan
8 Ibid.h.51-52
sangat teliti di bangun oleh para lmuan yang bergerak di bidang humaniora,sosial dan studi
agama.
Untuk lebih jelasnya, sebagai contoh pembanding penulis akan mengangkat contoh
diskusi mutakhir di kalangan teolog kristiani tentang bagaimana mereka memanfaatkan
diskusi-diskusi yang sangat kaya dalam bidang epistimologi dan filsafat ilmu yang telah di
kembangkan dalam tahun-tahun belakangan ini.Perkembangan pengetahuan yang sangat
signifikan pada saat ini adalah perubahan dari foundationalism ke holism.Dalam filsafat ilmu
pernyataan yang bersifat foundamentional semula berasal dari deskripsi data-data yang
bersifat empiris.
Beberapa teolog kristiani memberikan sebuah analisis yang menarik mengenai
bagaimana 5foundamentalionalism telah menimbulkan dampak pada wacana teologi
medern,secara khusus melihat bagaimana kitab suci telah di paksa untuk berperan
memberikan fondasi,sebuah fungsi yang memungkinkan saja tidak tepat.Sebagai dampak dari
foundationalism, tiba-tiba sejarah teologi modern mengubah fokusnya denan melihat
jawaban-jawaban terhadap tiga macam pertanyaan.Pertama,proposal yang telah di buat
mengenai fondasi ilmu/ pengetahuan agama? Ketiga dalam situasi kegagalan untuk
menemukan fondasi yang memadai, siasat tau gerakan-gerakan apa saja yang telah di lakukan
untuk menyingkirkan seluruh persoalan yang terkait?
Mencermati sejarah teologi dalam pengertian yang sedemikian, Nancey Murphy
menemukan bahwa para teolog kristiani modern secara umum dapat di kelompokkan menjadi
tiga kubu: mereka yang fondasinya biblikal, mereka yang fondasinya eksperimental dan
mereka yang mengklaim bahwa teologi sama sekali bukan ilmu pengetahuan.Bagi pendukung
kubu biblikal, pertanyaan yang selalu di ajukan adalah bagaimana anada tahu bahwa yang
menurut anda itu wahyu adalah memang benar-benar wahyu? Para apologis sejak dari locke
sampai dengan kaum fundamentalis amerika telah mengembalikan jawaban untuk pertanyaan
tersebut keepada mukjizat dan ramalan-ramalan yang menjadi nayata (fulfilled
propheciec).Karl barth dengan sederhana mengatakan: jangan bertanya hal itu.
Tetapi di sini bukan tempatnya untuk mendiskusikan isu tersebut secara panjang
lebar.Yang ingin di tekankan adalah kebutuhan dan perlunya segera ada interaksi dan
interkomunikasi dengan teori-teori dan metodologi yang telah di gunakan pada disiplin ilmu
yang lain yang berada di luar lingkaran btasnya sendiri. Dengan mencangkokkan teori-
tersebut, memungkinkan terjadinya perluasan horison dan wawasan keilmuan seseorang
.Ketika interaksi dan interkomunikasi antar berbagai di siplin ilmu ini berlangsung, akan ada
perubahan besar pada cara kita mempertanyakan problem-problem akademik. Sudah sangat
jelas bahwa situasi yang baru memerlukan sebuah filsafat yang baru pula, dan lebih dari pada
itu, sebuah terminologi dan bahasa yang baru.Penulis berpendapat, hal ini yang ingin di
tekankan oleh rahman pada saat ia membandingkan ilmu-ilmu keislaman dengan kerangka
kerja ilmiah dan filosofis yang komprehensif yang di bangun oleh Aristotle ataupun ilmuan
besar abad modern ini.
Sekarang gambaran atau image yang seperti apakah yang di proyeksikan oleh ilmu-
ilmu keislaman yang tidak lagi bersifat dogmatik,repetitif dan skolastik? Bagian terakhir dari
tulisan ini akan mendiskusikan apa yang mungkin dapat menggambarkan image tersebut.
D. Keterkaitan Normativitas dan Historisitas dalam Studi Keislaman: Lingkaran
Hermenetik antara Bahasa,Pemikiran dan Kesejarahan dalam ilmu-ilmu keislaman
Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam,humaniora, sosial agama
atau ilmu-ilmu keislaman, harus diformulasikan dan di bangun di atas teori-teori yang
berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas.Dalam pengertian ini, teori-teori sebagai
wujud ekspresi intelektual yang seharusnya tidak boleh di sakralkan dan dokmatif.dengan
demikian kita hanya akan berhubungan dengan teori-teori, ide-ide, kerangka kerja, formula-
formula, prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan atau asumsi-asumsi, dasar, paradigma dan
apapun namanya, yang dapat di uji, di evaluasi, di kritisi dan didiskusikan secara
akademik.Berdasarkan teori-teori yang telah ada lebih dahulu, riset keilmuan dapat tumbuh
mencapai perkembangan dan kemajuan.
Lebih jauh lagi teori-teori yang sudah ada terlebih dahulu tidak dapat di jadikan garansi
kebenaran.Anomali-anomali dan pemikiran-pemikiran yang tidak tepat mungkin akan selalu
dapat di temukan melekat dalam teori-teori dan ide tersebut.Disamping kenyataan bahwa
ilmu pengetahuan tidak tumbuh dalam kevakuman.Dia akan selalu di pengaruhi dan tidak
dapat lepas sama sekali dari pengaruh cita rasa sejarah, sosial dan politik.Pemikiran seperti
ini muncul dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu pengetahuan hanyalah merupakan
produk, hasil karya manusia, oleh karena itu terbatas dan terkondisikan oleh peristiwa
kesejarahan yang melingkupinya.Teori-teori, paradigma, ekspresi intelektual dan refleksi
filosofis pada umumnya, tanpa pengecualian berada dalam batas-batas kesejarahan
tersebut.Secara konsisten semua itu berkaitan dengan kepentingan, asumsi dan konteks.
Dalam pengertian yang demikian, penerapan filsafat ilmu pada diskusi akademik ilmu-
ilmu keislaman saat ini harus dilakukan, khususnya karena pertimbangan bahwa filsafat ilmu
saling berkaitan dengan sosiologi ilmu pengetahuan ini jarang didiskusikan dan tidak pernah
di masukkan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman yang telah ada. Padahal keduanya merupakan
prasyarat dan wacana awal yang harus di mengerti bagi para ilmuan muslim yang ingin
menghindarkan diri dari uduhan pembela tipe studi islam yang hanya bersifat pengulang-
ulangan, statis, disakralkan dan dogmatik.
Dalam kehidupan akademik kontemporer, di siplin-disiplin ilmu di luar ilmu-ilmu
sosial, mulai dari studi literatur dan biologi, sampai dengan pada studi fisika, agama dan
etika, semuanya dapat menerima premis-premis yang telah di perjuangkan oleh Karl
Mannheim dan Max Scheler.Seluruh aspek dari keberadaan/ being dan pengetahuan/ seluruh
aspek dari keberadaan/ being dan pengetahuan/ knowning seseorang adalah di tentukan oleh
situasinya (situated), pemikiran dan aksi membentuk satu kesatuan dan perkembangan
intelektual suatu masyarakat tidak dapat di pisahkan oleh konteks sosial dan historis yang
konkret.9
Dengan mempertimbangkan formula tersebut di atas, seseorang harus menyadari bahwa
seluruh teori, formula, prinsip, hukum, kerangka kerja dalam ilmu-ilmu keislaman adalah
sebenarnya merupakan produk determinasi kemanusiaan, kemasyarakatan dan kultur. Ketika
mengatakan hal ini, penulis tidak berfikir bahwa penulis telah jatuh pada perangkap
relativitesme.yang ingin penulis tekankan pada konteks ini adalah bahwa ilmu apapun,
termasuk ilmu-ilmu keislaman adalah bersifat dapat dikoreksi (corrigible) dan dapat salah
(falsifiable).Hanya dengan menyadari faktor-faktor penting itulah, maka kemungkinan
melakukan pengujian, mempertanyakan, adu argumentasi, mendebat konsep-konsep yang
telah lebih dahulu ada dan teori-teori yang di bangun oleh para intelektual muslim masa lalu
dalam semua cabang ilmu, secara akademik dapat di benarkan.
Ketika pada akhirnya kita menghadapi masalah-masalah historisitas pengetahuan, patut
di sayangkan bila sarjana-sarjana muslim dan non-muslim yang hendak mengembangkan
wacana mereka dalam ilmu-ilmu keislaman secara psikologis merasa terhalang, bahkan
terintimidasi dengan problem reduksionisme, sebuah persoalan yang sesungguhnya berasal
dari wacana studi agama. Dalam hal-hal tertentu, ada beban psikologis dan institusional yang
terlibat dalam memperbesar dan memperluas domain, scope dan metodologi ilmu-ilmu
keislaman karena persoaln itu.Sarjana-sarjana Muslim yang tergabung dalam kubu aktivis
khususnya dan para ahli keislaman dengan paradigma yang lama akan merasa gelisah, apakah
mereka itu benar-benar sedang melakukan studi islam ataukah yang lain.Berdasarkan pada
argumen tersebut, para ahli keislaman klasik akan lebih senang memilih untuk
9 Ibid. h. 60
mempergunakan pendekatan filologi yang wataknya lebih berorientasi tekstual dari pada
konstektual.
Dari sudut pandang penulis, disini bukan tempat yang tepat untuk mengajukan isu
reduksionalisme dan non-reduksionisme, karena sejak awal mula Fazlur Rahman sendiri telah
menempatkan islam normatif dalam kerangka kerjanya atau sebagai hard core dalam
kerangka kerja lakatos, yang harus di lindungi dengan sifet-sifatnya yang mendorong pada
penemuan-penemuan dan penyelidikan baru (positive heuristic). Hard core atau islam
normatif ini sama dengan apa yang telah di tetapkan sebagai objek studi agama yang tepat
dengan menggunakan pendekatan fenomenologis.
Bangunan ilmu-ilmu keislaman, setelah di perkenalkan dan di hubungkan dengan
wacana filsafat ilmu dan sosologi ilmu pengetahuan, lebih lanjut harus mempertimbangkan
penggunaan sebuah pendekatan dengan tiga di mensi untuk melihat fenomena agama islam,
yakni pendekatan yang berunsur linguistik-antropologis pada saat yang sama.Tentang apa
dan bagaimana pendekatan tersebut sudah banyak di tulis oleh para ahlinya.Menjelaskan
kembali disini hanyalah merupakan pengulangan saja. Yang ingin penulis diskusikan di sini
adalah masalah sifat dan bentuk hubungannya atau saling keterhubungan, antara ilmu-ilmu
keislaman yang berdasarkan teks dengan menggunakan pendekatan linguistik dan filologis
dan studi keislaman yang berasal dari hasil pemikiran, ide- ide, norma-norma, konsep-konsep
dan doktrin-doktrin dengan menggunakan pendekatan teologis dan filosofis serta studi
keislaman yang menekankan pada masalh yang berkaitan dengan interaksi sosial dalam
konteks budaya dan kesejarahan dengan menggunakan sebuah pendekatan sosiologis,
antropologis dan psikologis.
Apakah kerangka hubungan antara ketiga macam pendekatan akademik tersebut harus
linier, paralel atau kah sirkuler? Berdasarkan pengamatan penulis dalam uraian terdahulu,
penulis berkeyakinan bahwa menentukan bentuk hubungan antara ketiga tradisi keilmuan
tersebut adalah jauh lebih penting dari pada hanya membiarkan diri kita menerima begitu saja
kebenaran dari setiap tradisi akademik dalam domainnya masing-masing secara sendiri-
sendiri.
Para pendukung model linear akan lebih senang menyatakan keunggulan, kalau tidak
eksklusivitas, tradisi keilmuannya sendiri.Apabila ia berasal dari tradisi sosial antropologis,
adalah lebih baik dan lebih dan lebih penting di banding dengan tradisi pendekatan keilmuan
keilmuan lainnya demikian juga masing-masing sarjana yang menggunakan pendekatan
filosofis, historis, dan teologis akan mengatakan hal yang sama.Dia menjadi kurang peka dan
kurang memperhatikan hasil karya maupun riset yang telah di hasilkan dengan menggunakan
perspektif yang berbeda dengan tradisi sendiri.
Ilmuan yang mengadopsi model hubungan yang paralel di wakili oleh sarjana-sarjana
muslim yang mendapatkan latihan akademik dalam tradisi filsafat filologi dan sosial
antropologi. Namun dia tidak memiliki pandangan akademik yang memadai untuk
menggabungkan masing-masing wacana keilmuan tersebut ke dalam sebuah analisis yang
terpadu.Perbedaan antara pendukung yang linier dengan paralel adalah yang pertama hanya
menguasai satu tradisi pembelajaran akademik, sedangkan yang kedua menguasai tradisi,
tetapi tidak mampu untuk meramu berbagai tradisi itu menjadi satu unit analisis terpadu.
Dengan mengambil model hubungan yang sirkuler di sisi lain,sarjana muslim yang
mengikuti model ini akan menyadari sepenuhnya, dan akan mempertimbangkan keseluruhan
dari ketiga pendekatan multi dimensi dalam mempelajari ilmu-imu keislaman sebagai satu
entitas yang utuh, sekaligus dengan implikasi dan konsekuensi-konsekuensinya. Memadukan
ketiga pendekatan ini ke dalam satu pandangan akademik yang terintegrasi dan jitu, akan
membuat seseorang menjadi lebih tanggap terhadap dimensi sosial-antropologis dalam
keagamaan islam. Sementara dalam waktu yang sama ia akan tetap mempertahankan aspek-
aspek filosofis dan fenomenologinya. Terakhir, dia akan mempertimbangkan juga problem-
problem linguistik dan filosofis dalam tradisi islam.
Dengan demikian, ilmu-ilmu keislaman yang kritis sebagaimana pernyataan Fazlur dan
Mohammed Arkoun beserta kolega-kolega mereka yang memiliki keprihatinan yang sama,
hanya akan dapat di bangun secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga
pendekatan secara sirkuler, dimana masing-masing dimensi dapat berinteraksi,
berinterkomunikasi satu dengan lainnya.Masing-masing pendekatan berinteraksi dan di
hubungkan dengan yang lainnya.Tidak ada satu pendekatan maupun disiplin yang dapat
berdiri sendiri.Gerakan dinamis ini pada esensinya adalah hermeneutik.
Hanya dengan kerangka kerja yang demikianlah, makna corrigibility (dapat di koreksi)
dan falsibility (dapat salah) dari ilmu-ilmu keislaman dapat di pahami dengan baik, sehingga
adanya paradigma dan teori-teori yang kompetetif menjadi dimungkinkan.Lebih jauh lagi,
konteks penemuan-penemuan baru (context of discovery) dalam ilmu-ilmu keislaman dan
riset dapat berkembang dan mendapat prioritas, sementara konteks justifikasi (context of
justification) dapat di tekan menjadi sekecil mungkin. Dalam jaringan kerja akademik
semacam ini ilmu-ilmu keislaman dalam tradisi umat muslim tidak hanya akan memproduksi
paradigma-paradigma yang lama yang secara umum telah di terima, akan tetapi juga
mengkritisinya dan bahkan mungkin menggantinya dengan yang baru. Reformasi dan
rekontruksi yang sedemikian memang seringkali kurang berfungsi dalam rentang waktu
jangka pendek, sering menimbulkan revolusi dan keresahan sosial, namun dalam jangka
panjang akan berfungsi dengan baik.Aomali-anomali dan inkonsistensi-inkonsistensi yang
terkandung dalam setiap teori dan metodologi dalam ilmu-ilmu keislaman dengan begitu
akan mudah dapat di dteksi, sehingga tradisi investigasi yang terus menerus dan tradisi riset
yang berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan interdisiliner dapat terpelihara dengan
baik.
3. Filsafat Ilmu-ilmu Keislamam:
A. Tiga Lapis Peringkat Ilmu-ilmu Keislaman
Sumber kelemahan pengembangan islamic studies terletak pada aspek filsafat
keilmuannya. Selama ini praktek pendidikan dan pengajaran agama islam terlalu menekankan
pada sumber dan kebenaran tekstual. Para pendukung ilmu ini melupakan kenyataan bahwa
ketika gagasan pemikiran, ide yang menjelma menjadi keyakinan dan keimanan yang
berlandaskan teks itu di praktekkan dan dioperasionalisasikan di lapangan, maka secara
otomatis muncul berbagai pemahaman dan interpretasi. Ibn Rusyd pernah
mendokumentasikan berbagai model pemahaman dan interpretasi yang terkait dengan
persoalan ibadah pemikiran keislaman dalam bukunya Bidayah al Mjtahid.10
Ketika
pemahaman keagamaan yang semula bersifat individual itu mengelompok, terorganisir dalam
sebuah perkumpulan (organisasi), maka secara sosiologis terjadilah proses sosialisasi, saling
pengaruh mempengaruhi, upaya memperbanyak anggota tanggapan, respon, penilaian dan
kelompok lain dan begitu seterusnya. Tidak tertutup kemungkinan terjadi pertentangan,
ketegangan dan konflik jika ide-ide yang di sebarluaskan itu menyentuh kepentingan sosial,
ekonomi, budaya dan agama.Pada giliannya muncullah kelompok yang di sebut maistream
yang dominan dan kelompok pinggiran yang marginal.
Pertemuan, pertentangan, kritik, perpaduan, penyempurnaan konsep, kompromi dan
dialog antar berbagai kelompok pemahaman dan interpretasi keagamaan islam itulah yang
sebenarnya merupakan lahan subur bagi penyusunan sistematika keilmuan yang dimiliki oleh
berbagai kelompok penafsiran dan pemahaman tersebut.Menyatunya berbagai komponen
keilmuan, seperti objek kajian, metodologi yang di gunakan, pendekatan yang di pilih, serta
sistematika yang di susun, pada gilirannya, akan terabstraksikan dalam teori yang mendasari
model berfikir keagaan islam.
10
Ibid.h.71
Debat dan pergumulan filosofis akademik antar berbagai teori yang di kedepankan oleh
para pencetus dan penentangnya, menurut hemat penulis, bukan lagi agama sebagai agama itu
sendiri. Campur tangan logika atau akal pikiran yang di sumbangkan oleh para ilmuan, ulama
dan cerdik cendekiawan tidak lain dan tidak bukan adalah hasil konstruksi manusia biasa.
Belum lagi pengembangan teori tersebut melalui pencangkokan dan pengayaanya dengan
berbagai disiplin ilmu-ilmu yang muncul se-zaman atau muncul belakangan (linguistik,
semiotik, hermeneutik, cultural studies dan lain-lain. Pertemuan berbagai teori ini membuka
peluang bagi jatuh bangunya sebuah teori keilmuan serta di mungkinkannya
pengembangannya lebih lanjut.Analisis yang endalam tentang jatuh bangunya sebuah teori
keberagamaan islam dalam berbagai tinjauanya, kekuatan dan kelemahan yang melekat pada
teori-teori tertentu, implikasi dan konsekuensi penggunaan teori tersebut dan sebagainya
adalah wilayah filsafat ilmu-ilmu keislaman.
Dari uraian singkat tersebut sesungguhnya terdapat tiga wilayah keilmuan agama islam.
Pertama, wilayah praktek keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah
diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat dan para ahli
pada bidangnya dan oleh anggota masyarakat pada umumnya. Wilayah praktik ini umumnya
tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan. Yang terpenting di sini adalah
pengamalan. Pada level ini perbedaan antar agama dan tradisi, agama dan budaya, antara
belief dan habits of mind sulit di pisahkan.
Kedua, wilayah teori-teori keilmuan yang di rancang dan disusun sistematika dan
metodologinya oleh para keilmuan, para ahli dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-
masing. Apa yang di sebut-sebut ulum al-tafsir, ulum al-hadis, islamic thought (kalam,
falsafah, dan tasawuf), hukum dan pranata sosial (fikih), sejarah dan peradaban islam,
pemikiran islam dan dakwah islam ada pada wilayah ini. Apa yang ada pada wilayah
sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah teori-teori keilmuan agama islam yang di
abstrakkan baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks wahyu maupun secara induktif
dari praktik-praktik keagamaan yang hidup dalam masyarakat muslim era kenabian, sahabat,
tabi’in maupun sepanjang sejarah perkembangan masyarakat muslim dimanapun mereka
berada.
Ketiga, adalah telaah kritis yang lebih populer di sebut meta discourse, terhadap sejarah
perkembangan jatuh bangunnya teori-teori yang di susun oleh kalangan ilmuan dan ulama
pada lapis kedua. Lebih-lebih jika teori pada disiplin tertentu, ulumul quran umpamanya,
didialogkan dengan teori-teori yang biasa berlaku pada wilayah lain, ulumul hadis, sejarah
peradaban islam dan seterusnya. Teori yang berlaku pada wilayah kalam didialogkan dengan
teori yang berlaku pada wilayah tasawuf, dan begitu selanjutnya. Belum lagi jika teori-teori
yang berlaku dalam wilayah islamic studies pada lapis kedua di hadapkan dan didialogkan
dengan teori-teori di luar disiplin keilmuan agama islam seperti disiplin ilmu kealaman, ilmu
budaya, ilmu sosial dan religius studies. Wilayah pada lapis ketiga yang komplek dan
sophisticated inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.
B. Membangun Konstruksi Dasar Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman
Lapis ketiga studi keislaman pada level filsafat keilmuan ini semakin di rasakan perlunya
untuk di kembangkan karena beberapa faktor:
1. Islamic studies bukanlah sebuah disiplin ilmu yang tertutup. Ia merupakan disiplin ilmu
yang terbuka islamic studies atau dirasat islamiyyah adalah bangunan keilmuan biasa
yang harus di uji ulang validitasnya lewat perangkat konsistensi, koherensi dan
korespondensi oleh kelompok keilmuan sejenis.
2. Agama islam bukan satu-satunya agama yang hidup (living religion) pada saat sekarang
ini. Dalam dunia sekarang ini terdapat banyak living religion yang mempunyai sistem
tata pikir dan seperangkat nilai dan keyakinan sama persis seperti yang di praktikkan
oleh umat islam, hanya saja kitab suci, bahasa yang di gunakan, nabi atau rasul yang
di jadikan tokoh charismatic dan panutannya, tata cara ritual peribadatannya serta
letak geografis para pemeluknya berbeda.
3. Semakin dekatnya hubungan dan kontak individu maupun sosial antara berbagai etnik,
ras, suku dan agama sebagai akibat dari teknologi, transportasi, komunikasi, dan
informasi yang canggih sehingga memperpendek jarak dan tapal batas ruang dan
waktu yang biasa di pikirkan dan di imaginasikan oleh umat beragama pada abad-
abad sebelumnya. Setiap saat, lewat media elektronik dan media cetak, apa yang
terjadi pada belahan dunia lain menembus, menerobos, dan mempengaruhi tatacara
berfikir umat beragama dan membangkitkan emosi mereka di manapun mereka
berada.
Dengan demikian kualitas keimanan dan keyakinan yang selama ini di pegang teguh oleh
kelompok lapis pertama dan di topang serta di bekali argumen dan dalilnya oleh seperangkat
teori yang di sajikan oleh lapis kedua perlu di jernihkan kembali dan di klarifikasikan ulang
oleh kelompok lapis ketiga. Apa yang di sebut sebagai ilmu pengetahuan termasuk di
dalamnya ilmu-ilmu keagamaan islam khususnya perlu menyadari adanya tiga peringkat
keilmuan tersebut. Jika tidak, maka akan terjadi ketertumpangtindihan antara yang satu dan
lainnya dan pada gilirannya akan memunculkan anomali-anomali dan bahkan ketimpangan-
ketimpangan dalam kehidupan beragama.
C. Budaya Berfikir Baru Yang Ingin Dikembangkan
Dengan bekal kemampuan membedakan tiga lapis ilmu-ilmu keislaman, ternyata lapis
ketiga yang paling jarang di sentuh oleh metodologi pendidikan agama islam dan dakwah
islam sebagai ujung tombak terdepan dalam berhubungan dengan komunitas intern umat
islam pada umumnya. Mentalitas dan cara berfikir yang jernih, logis, wajar, objektif, apa
adanya, sekaligus kritis biasanya lebih mendahulukan nilai-nilai fundamental (fundamental
value) dalam kehidupan dan bukannya sekedar identitas lahiriyah keberagamaan. Filsafat
ilmu-ilmu keislaman, dapat di jadikan media olah pikir untuk membentuk sikap kritis
terhadap realitas kehidupan beragama yang nyata memang tidak seideal, sebagus, seindah
seperti yang di cantumkan dan di rumuskan dalam formulasi normativitas doktrin dan dogma-
dogma keagamaan. Disamping itu, filsafat ilmu-ilmu eislaman juga dapat membantu menari
fundamental value yang berada di balik formulasi rumusan doktrin yang formal dan kering.
Dalam era pluralitas internal umat islam dan pluralitas eksternal antar umat beragama
filsafat ilmu-ilmu keislaman di perlukan untuk mengantisipasi dan mengurangi fanatisme
kelompok. Pertentangan-pertentangan kepentingan ekonomi, politik, dan sosial semakin hari
semakin tajam tidak terbendung dan mudah memunculkan fanatisme kelompok sempit yang
dengan mudah akan mengarah pada kehancuran total secara bersama-sama.
Ada tiga pola pikir keagamaan islam yang perlu di cermati bersama, didialogkan dan di
kembangkan lebih lanjut di kemudian hari, sebagai akibat langsung di perkenalkannya fisafat
ilmu-ilmu keislaman dalam khasanah intelektual muslim eravmilinium baru:
1. Pola pemikiran keagamaan islam yang bersifat absolutely absolute
Pola pemikiran keislaman model ini selalu memandang bahwa ajaran agama seluruhnya
adalah bersifat taugify. Unsur wahyu lebih di kedepankan dari pada akal. Bahkan hal-hal
yang curigai sebagai produk akal cepat-cepat di sebut sebagai bid’ah. Dan wa kullu bid’ atin
zalalah, wa kullu zalatin fi al-nar ( seluruh barang baru, yang di masukkan dalam agama
adalah bid’ah ( mengada-ada). Dan setiap perbuatan yang bersifat mengada-ada dalam
bergama adalah menyesatkan. Sedang hal-hal yang menyesatkan selalu akan membawa ke
neraka. Dengan demikian unsur ta’abbudy lebih di garisbawahi dari pada unsur
ta’aqquly.begitu juga yang biasa di sebut-sebut sebagai qat’iyyat( certainly;kepastian) lebih
di utamakan dari pada zanniyat.
Pola keimanan dan pola pemikiran keagamaan ingin penulis sebut sebagai bersifat
absolutely absolute. Pola pikir islam model ini sangat rigid, kaku dan tidak mengenal
kompromi. Para pemangku model pemikiran ini selalu mengambil jarak sejauh mungkin dari
campur tangan dan intervensi orag lain apalagi penganut agama lain. Hampir-hampir
semboyan yang di gunakan adalah right or wrong is my country. Mereka melupakan dimensi
kesejarahan, tarikhiyyat atau historitas pemikiran keagamaan. Pendukung pola pemikiran ini
mudah terjebak pada proses tagdis al-afkar al-diniyyah(pensakralan pemikiran keagamaan).
Fanatism selalu muncul dari logika berfikir keagamaan model ini. Al-uqul al mutanafisah
(pola pikir cenderung menyerang pola pikir dan keimanan yang di milki orang lain) sangat
kental dimiliki oleh kelompok ini. Sulit diajak tukar pikiran secara ernih dengan kesediaan
untuk melakukan proses take and give.
Ketika perilaku agamawan tidak boleh dikritik dan diteilti oeh para pengamat sosial
keagamaan dengan menggunakan pendekatan sosial maupun budaya, maka mereka
sesungguhnya lagi menyelamatkan dan memisahkan doktrin agama dari pada pelakunya.
Mereka menolak sama sekali bahwa perilaku agama adalah juga perilaku sosial dan perilaku
budaya biasa, hanya saja perilaku ini di inspirasikan oleh teks-teks kitab suci dan naskah-
naskah keagamaan yang terderivikasi dari nash-nash kitab suci baik langsung maupun tidak.
Para penganut pola pikir keagamaan yang bercorak absolutely absolute ini teguh dalam
bersikap, tidak luwes dalam berkomunikasi dan bergaul dengan sesamanya. Pemahaman teks-
teks wahyu secara harfiyyah menjadi stumbling block untuk melakukan kajian sosial dan
budaya lebih lanjut terhadap perilaku keagamaan. Pola pikir dan perilaku keagamaan model
ini mungkin bagus dan terpuji untuk wilayah keagamaan yang bersifat heterogen . kesulitan
dan benturan-benturan sering dihadapi oleh penggemar pola pikir ini.
2. Pola pemikiran keagamaan yang bersifat absoluetely relative
Para tokoh agama yang mempunyai latar belakang ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu
budaya mempunyai sedikit kecenderungan untuk berpendapat bahwa perilaku agama adalah
identik dengan perilaku sosial dan budaya biasa. Sulit di bedakan antara agama dan tradisi.
Tradisi adalah agama dan agama adalah tradisi. Dengan demikian apa yang disebut dengan
kebenaran dan lebih-lebih kebenaran agama adalah tidak ada. Tidak dikenal dimensi rohaniah
–esoterik dari agama-agama. Yang hanyalah dimensi-dimensi lahiriyah eksoterik dari pada
pemeluk agama-agama.
Pandangan ilmuan sosial era positivistik mewakili cara pandang terhadap realitas
kehidupan beragama. Tidak perlu memeluk agama secara serius, karena agama hanyalah
fenomena sosial biasa, bahkan sebagai sumber dan akar konflik sosial keagamaan dan
kesukuan. Pola pikir ini muncul sebagai antitesis dari corak pemikiran keagamaan dan
pemikiran islam yang pertama. Jika pola pemikiran yang pertama sangat rigid, kaku maka
yang kedua adalah sangat longgar, bahkan cenderung sekuler. Dalam istilah sosiologi agama,
corak pemikiran keagamaan yang kedua ini lebih bersifat reduksionistik, sedang yang
pertama adalah idealistik. Para protagonis pola pemikiran ini tidak dapat menikmati rasa
hangatnya manusia beragama. Masyarakat di barat disinyalir sudah tidak punya rasa agama
seperti yang dipahami oleh pola pemahaman pertama. Namun kesan seperti bisa saja tidak
tepat. Kekeliruan dan ketidaktepatan pemahaman tentang entitas agama seperti yang
digambarkan oleh corak pemikiran keagamaan yang di pelopori oleh para ilmuan sosial era
positivistik ini telah banyak dikritik dan diluruskan oleh para ilmuan studi agama-agama.
Tata nilai (value) dan religiositas di anggap sebagai fenomena sosial biasa, dan bukannya
sebagai hal yang bersifat fundomental dalam kehidupan manusia. Inner life dan spiritualitas
dianggap tidak lagi bermakna, karena pandangan mereka terhadap hakekat manusia hanyalah
sebagai kumpulan daging yang bergerak tak ubahnya seperti hewan. Manusia adalah makhluk
yang bergerak tak ubahnya seperti hewan. Manusia adalah makhluk yang berkelompok, tetapi
kehidupan berkelompok tersebut tidak jauh berbeda dari kelompok hewan. Ketika muncul
kekerasan antar umat beragama, hal demikian dianggap biasa saja karena menurut analisis
ilmu-ilmu sosial hal demikian wajar lantaran pertentangan dan kekerasan tersebut semata-
mata karena perebutan sumber-sumber ekonomi. Hewan pun dapat berkelahi karena
perebutan sumber ekonomi. Dimensi irrasionalitas manusia, yang dalam hal ini dipersamakan
dengan naluri kehewanan, begitu digarisbawahi, tanpa menyebut-nyebut aspek moralitas dan
religiositas yang tidak dimiliki oleh kelompok hewan.
3. Pola pemikiran keagamaan islam yang bercorak relatively absolute
Menarik catatan Dale Eikelman ketika memberi komentar tentang silang pendapat di
lingkungan dalam umat islam yang berujung pada konflik. Sangat bisa jadi bahwa isu adanya
clash of civilization antara barat dan timur ( islam dan konfusionisme) tidak bakal terjadi,
tetapi yang sangat dikhawatirkan dapat terjadi adalah clash of civilization from whitin. Yakni
pertentangan pendapat dan ide-ide yang diwakili oleh para pikir lapis pertama berhadapan
langsung dengan pola pikir keagamaan lapis kedua yang kemudian berubah menjadi benturan
dan bentrokan fisik serta kekerasan sosial yang meluas. Jika ini terjadi, tidak tertutup
kemungkinan untuk menambah dan meluas ke wilayah clash of civilization seperti yang
diungkapkan oleh samuel huntington.
D. Catatan Kritis
Mendalami isu-isu yang terkait dengan filsafat ilmu-ilmu keislaman rupanya tidak hanya
terhenti pada level teoritis dan abstrak semata. Jika kajian itu dikemas dengan bagus secara
metodologis dengan dilengkapi kerangka teori dan berbagai pendekatan yang interdisiplin
dan multi disiplin maka diskursus tersebut akan mempunyai dampak langsung terhadap
praktik sosial keagamaan islam. Ia akan melatih, memupuk dan membentuk nalar kritis
terhadap realitas pola perilaku umat islam dimanapun mereka berada. Nalar komunal yang
beraroma politis memang selalu menghindardari diskusi filsafat ilmu. Hal itu terjadi sejak era
plato aristotle hinggan john rawl dan gadamer, sejak al- farabi, ibn rusdh, mulla sadra, sampai
fazlur rahman, abib al jabiry, hasan hanafi dan seterusnya. Ada baiknya jika agenda
reformulasi dan rekontruksi filsafat ilmu keislaman perlu dikedepankan terlebih dahulu,
sebelum melangkah ke wilayah ilmu-ilmu keislaman terlebih dahulu dan tidak hanya puas
dan berhenti disitu, tetapi dilanjutkan dan diakhiri dengan filsafat imu-ilmu keislaman agar
supaya dapat utuh dan komprehensif dalam melihat persoalan keagamaan dan keislaman
sekaligus.
KESIMPULAN
Pada tataran normativitas, studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi
keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis,
kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks keagamaan produk
sejarah terdahulu kurang begitu di tonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu
yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian, secara sederhana dapat di pahami bahwa dari sudut normatif islam
adalah wahyu Allah yang bersifat mutlak (absolut), sehingga kepadanya tidak dapat di
berlakukan paradigma ilmu pengetahuan yang nota bene bersifat relatif (nisbi). Jadi sebagai
agama, islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis dan subyektif.Namun, jika di lihat
dari sudut historis yaitu islam dalam arti yang di praktekkan oleh manusia serta tumbuh dan
berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat di katakan sebagai sebuah
disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi islam.
Islam sebagai agama sesungguhnya memiliki banyak dimensi, seperti yang di ungkapkan
oleh Harun Nasution.yakni tidak hanya dimensi ritual (ibadah khas) yang terkandung dalam
islam, tetapi juga terkandung dimensi ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial atau
kemanusiaan (kemasyarakatan). Justru dimensi yang terakhir ini memiliki porsi yang lebih
besar di dalam al-quran sebagai referensi utama umat islam. Hasil interpretasi umat islam
terhadap wahyu allah yang ada di dalam al-quran memunculkan islam dalam frame yang
baru, yaitu islam historis. Maksudnya adalah islam yang di praktekkan dalam kehidupan umat
manusia.
Wajar islam (islam historis) yang seperti ini tentu tidak sama dengan islam normativ
(wahyu Allah). Jika islam normatif bersifat mutlak (absolut) dan pasti benar, maka islam
historis masih perlu di pertanyakan kebenarannya.sebab, sebagai hasil interpretasi umat
manusia terhadap islam normatif, islam historis tentu tidak sepi dari kesalahan dan
manipulasi tangan manusia yang memiliki hawa nafsu serta tendesi-tendesi tertentu.Oleh
sebab itu, mempelajari studi islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap
ajaran islam menjadi sangat penting agar pemahaman kita terhadap ajaran islam menjadi
parsial, tetapi komprehensif.Pemahaman yang seperti ini sangat di perlakukan bagi
munculnya pengamalan ajaran islam yang komprehensif pula. Sehubungan dengan ini,
Nurcholis Madjid pun mengatakan bahwa yang amat di perlukan oleh umat islam melalui
para sarjananya adalah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran islam yang
merupakan hasil interaksi sosial umat islam dalam sejarah(islam historis). Selain itu, ada pula
istilah sains islam yang menurut Husesen Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum
muslimin sejak abad islam kedua, yang merupakan prestasi besar dalam peradapan islam.
Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua sebelum masehi, peradaban islam
mungkin merupakan peradaban yang paling produktif di bandingkan peradaban mana pun di
wilayah sains dan sains islam berada pada garda depan dan berbagai kegiatan, mulai dari
bidang kedokteran sampai astronomi.
Dengan demikian, sains islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti
kedokteran, astronomi, matematika, fisika,dan berbagai yang di bangun berdasarkan nilai-
nilai islami.Sementara studi islam adalah pengetahuan yang di rumuskan dari ajaran islam
yang di praktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama
adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan rasulnya secara
murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-quran
dan akhlak.
Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang di kenal dengan
madrasah diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan
agama, Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan institut agama islam yang di dalamnya
di ajarkan studi islam yang meliputi tafsir, hadist, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, hukum islam,
sejarah dan kebudayaan islam, dan pendidikan islam. Kemudian muncul pula universitas
islam yang ada di dalamnya di ajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa
islam yang selanjutnya di sebut sains islam.
DAFTAR PUSTAKA
Fitri Oviyanti. 2007. Metodologi Studi Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Abudin Nata. 2004. Metodologi Studi Islam. jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amin Abdullah. 2006. Islamic Studies. Jakarta: Pustaka Pelajar.