membela kebebasan beragama percakapan...

20
a b Membela Kebebasan Beragama 52 Percakapan dengan Abdul Hadi WM Abdul Hadi WM Abdul Hadi WM Abdul Hadi WM Abdul Hadi WM Abdul Hadi WM, penyair yang menggeluti sufisme dan khazanah intelektual Nusantara. Saat ini ia mengajar di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta.

Upload: buithu

Post on 09-Apr-2018

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

52

Percakapan dengan

Abdul Hadi WM

Abdul Hadi WMAbdul Hadi WMAbdul Hadi WMAbdul Hadi WMAbdul Hadi WM, penyair yang menggeluti sufisme dan khazanah intelektual Nusantara.Saat ini ia mengajar di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina

Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta.

Page 2: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Abdul Hadi WM

53

Untuk mengikat pelbagai kelompok yang berbeda, pembangunannegeri ini harus dikembalikan kepada akar-akar kultural bangsa.Sebab, jika melulu didasarkan pada teologi justru memicu pelbagaipertentangan. Celakanya, pendidikan budaya bangsa ini tengahdimiskinkan. Pun arah pembaharuan agama yang abai sejarah,sehingga kesenian, kebudayaan, politik, dan ekonomi demikanmudah dihancurkan. Alih-alih mendorong agama pada semangatpembebasan dan pembaharuan, pendangkalan terhadap nilai-nilaisosial dari agama kian akut, lantaran kita semata melihat agamadari sisi legal-formalnya. Akibat dari pelbagai keprihatinan tersebutsendi-sendi Bhinneka Tunggal Ika cenderung melemah.

Page 3: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Membela Kebebasan Beragama

54

Pro dan kontra selalu menyertai sekularisme. Bagi yang pro melihat sekula-risme sebagai proyek menyelamatkan agama dari politisasi oleh kelompoktertentu. Sebaliknya, orang yang kontra menganggap sekularisme sebagaipaham yang akan menghancurkan agama. Apa komentaer Anda?

Bila dilihat dari sejarah, sekularisme adalah problem Eropa. Agamadi Eropa, pada mulanya, muncul sebagai lembaga – harus dibedakandengan agama sebagai faith. Agama dalam pengertian sebagai lembagahanya berlaku di dunia Kristen. Oleh karena itu, tidak relevandibincangkan dalam konteks Islam di Indonesia yang tidak punya lembagaseperti gereja. Sebagaimana juga tidak relevan jika kita membincangkannyadi India. Sebab agama-agama di India, terutama Hindu, tidak punyalembaga seperti gereja. Agama mayoritas masyarakat India adalah Hindudan penguasanya juga Hindu. Tetapi mereka bukan kerajaan Hindu.

Istilah sekularisme itu sendiri berasal dari saecullum yang berari “masakini”, “sekarang ini”, “dunia ini”. Kalau di dunia ini, sesuatu berubah. Se-dangkan problem manusia bukan terbatas pada sesuatu yang berubah, tapijuga pada kultur yang ada di dunia ini. Akan tetapi tidak berarti negaraharus Islam atau religius. Kendati demikian, negara punya kewajiban untukmemelihara kebudayaan atau kultur tersebut. Dalam kultur itulah agama-agama hadir. Artinya agama bukan sebagai wahyu. Itu juga yang, saya kira,harus dibicarakan secara tuntas dalam perdebatan mengenai sekularisme.

Bagi saya pribadi, bangsa Indonesia, sudah selesai dengan Pancasila.Napas negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau terjadi penyim-pangan, lihat kembali negara sebagai bentuk kontrak sosial, kembali kepadakonteks Indonesia. Sebab, kalau kita kembali ke konteks Barat, tidakakan ketemu jalan keluarnya. Bagaimanapun problem kita tidak samadengan Eropa dan Amerika.

Di Indonesia, tidak ada sejarahnya agama menjadi penguasa, sementaradi Eropa Katolik memang pernah berkuasa. Di dalam sejarah Islam danHindu tidak pernah ada agama sebagai lembaga yang memegang penuhsebuah negara. Yang berkuasa adalah dinasti-dinasti yang dipimpin olehumat Islam yang sering menaklukkan daerah yang bukan Islam.

Indonesia berdiri bukan atas negara sekular atau agama. Jadi pendiriannegara Indonesia adalah untuk menengahi kedua pandangan itu.Sebetulnya kalau kembali ke Pancasila semuanya akan kembali jernih.

Page 4: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Abdul Hadi WM

55

Banyak kalangan yang menafsirkan Pancasila secara berbeda. Meski dalamsila pertama disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi itu tetap dimaknaisebagai pemisahan agama dari negara. Menurut Anda?

Sila itu hadir karena Indonesia mayoritas Islam. Dulu ketika maumendirikan negara, tidak ada persoalan untuk mendasarkannya pada sistemsekular atau agama. Sebab, agama bukan sebagai lembaga, sehingga itutidak bisa dikaitkan. Mendirikan negara Islam artinya membangun negaraberlandaskan nilai moral Islam; bukan berdasarkan teologi atau ketuhanan,melainkan dalam konteks kebhinekaan. Itu wajar-wajar saja.

Sebetulnya Pancasila harus diletakkan sebagai apa? Pertama, sebagaisumber hukum. Hal tersebut terdapat dalam mukadimah UUD ‘45.Seluruh batang tubuh konstitusiharus mengacu pada Pancasila. Silapertama merujuk pada semuaagama yang sudah ada di Indo-nesia. Sila itu tidak berarti harusditafsirkan secara liberal. Sebab,apabila diartikan secara liberalberarti semua agama boleh. Maka,agama-agama “tuyul” pun boleh!

Dalam hal ini harus dilihat pada konteks sebelumnya. Yaitu pengertianagama yang melahirkan humanisme dan nasionalisme. Itu harus ditafsirkandalam konteks keindonesiaan, dalam semangat kesatuan.

Anda membedakan agama sebagai kultur dan agama sebagai lembaga. DiIndonesia, yang Anda pahami adalah Islam dalam bentuk kultur.Sementara itu, ada kelompok yang meyakini bahwa agama adalah wahyuyang harus diterapkan pada sistem apapun, termasuk negara. TanggapanAnda?

Saya setuju bahwa sistem ajaran bagi kehidupan masyarakat adalahwahyu. Namun ketika agama ditafsirkan menjadi fikih dan syariah, iamenjadi ekspresi yang dilakukan dalam upacara keagamaan. Dan padasaat itulah ia kemudian menjadi kultur. Artinya, dalam kultur tersebutterdapat agama. Maka, memakai baju kurung, misalnya, adalah kultur.

Mendirikan negara Islam artinya

membangun negara berlandaskan nilai

moral Islam; bukan berdasarkan

teologi atau ketuhanan, melainkan

dalam konteks kebhinekaan.

Page 5: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Membela Kebebasan Beragama

56

Dan melakukannya tentu saja berdasarkan perintah agama, yaitu perintahuntuk menutup aurat.

Bagaimana kalau kemudian itu diformalisasi oleh negara, semua orang harusmemakai jilbab, misalnya?

Di situlah letaknya kesepakatan sosial. Dalam konteks Indonesia,menurut saya, jangan bicara dulu tentang persoalan yang remeh-temeh,tapi persoalan pokok dulu yang harus dipecahkan. Sekarang orang Indo-nesia berdebat yang remeh-temeh, hukum cambuk dan kewajiban mema-kai jilbab, misalnya, tapi baik yang pro maupun kontra tidak menjelaskantentang syariat Islam sebenarnya.

Bagi saya syariat Islam sudah diterapkan di Indonesia. Itulah sebabnyakenapa orang Sumenep bisa membuat perahu, oleh karena mereka di-wajibkan oleh penguasa saat itu. Kerajaan Sumenep, menurut sejarahnya,ketika itu mewajibkan semua orang yang berada di dekat pantai untukmembuat perahu. Dari sanalah kemudian ada kesejahteraan.

Wilayah-wilayah inilah yang tidak dilihat oleh orang yang pro-syariah.Demikianpun bagi yang menolak, mereka tidak menjelaskan syariah secarajernih. Di situ kita harus kembalikan kepada pokok soalnya dulu. Kalaukita terus berdebat pada wilayah yang remeh-temeh, kita tidak akan bisajernih melihat persoalan dan akan sulit untuk berdiskusi.

Sekularisme adalah sebuah ideologi. Dan menurut hemat sayasekularisme kurang tepat untuk konteks Indonesia. Kenapa? Karena sistempemerintahan Indonesia bukan model negara agama, kekhalifahan, ataukerajaan. Yang harus ditegaskan di sini: semangat kita adalah nasionalismeIndonesia yang berbeda dengan nasionalisme negara lain, seperti Jepang,Eropa, ataupun Israel. Nasionalisme Indonesia dibentuk karena kitaserumpun. Agama-agama muncul sebagai penghubung interaksi antarasuku-suku di Indonesia.

Jadi, persoalannya bukan pada kewajiban penerapan hukum syariah.Bagi saya itu nomor dua. Bukan soal, bagi saya, apakah orang memakaikerudung atau tidak. Misalnya, kenapa di Minang orang memakai topi itudianggap Islam, sementara di Madura orang yang tidak memakai baju tidakmenjadi masalah ketika berkumpul dengan kiai. Semua itu persoalan kultur.Sehingga, ketika melihat sesuatu, kita harus kembali ke konteksnya.

Page 6: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Abdul Hadi WM

57

Dari penjelasan itu, apakah Anda ingin mengatakan bahwa kultur adalahkunci dalam membangun hubungan agama dengan negara?

Ya, untuk membangun ikatan antarorang dan kelompok yang berbeda,harus dikembalikan ke dalam kultur. Karena kalau kita kembalikan ke teologi,tidak mungkin. Sebab akan terjadi pertentangan. Begitupun jika dikembalikanke politik dan ekonomi. Kalau dikembalikan ke ekonomi akan melahirkankesenjangan sosial. Solusinya adalah kembalikan pada akar kultural.

Bila ada sebagian umat Islam yang meyakini bahwa agama sebagai landasanhidup bernegara dan ingin mewujudkannya dengan menegakkannya sebagaisistem negara, bagaimana pandangan Anda?

Kalau sebagai cita-cita, itu ti-dak masalah. Bagi seorang komu-nis sekalipun tidak apa-apa ketikabercita-cita menjadikan negara inikomunis. Kenapa kita mesti takutbertarung? Yang terpenting adalahbagaimana hidup ini tumbuh de-ngan lembut.

Kita sering tidak bisa mem-bedakan Islam politik dan politik Islam. Islam politik artinya Islam yangdijadikan kendaraan politik. Artinya, ketika sudah berhasil, aspirasi umatIslam pasti ditinggalkan. Kalau politik Islam adalah bagaimana mengemasajaran Islam yang sesuai dengan konsep rahmatan li al-‘âlamîn. Itu yangsebetulnya harus dihidupkan.

Ketika Islam hendak dimasukkan ke dalam politik, harus dimasukkanmelalui filterisasi yang sesuai dengan kultur. Kultur adalah pemberi bentuk.Sementara, agama itu universal. Di Amerika, misalnya, negaranya dibentukdari nilai-nilai Protestan. Sayangnya, di Indonesia, umat non-Muslim ha-nya melihat Islam hanya dari sisi sorban, jilbab, dan sebagainya. Akibat-nya cara pandang mereka menjadi tidak jernih.

Pendidikan dan pengajaran kebudayaan diperlukan di Indonesia.Jangan hanya memaksa orang Islam untuk toleran, sementara orang diluar Islam sendiri tidak toleran dan tidak mau mempelajari Islam. Ini

Untuk membangun ikatan antar-orang

dan kelompok yang berbeda, harus

dikembalikan ke dalam kultur. Karena

kalau kita kembalikan ke teologi, tidak

mungkin. Sebab akan terjadi

pertentangan.

Page 7: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Membela Kebebasan Beragama

58

yang terjadi di Indonesia. Sementara, kalau kita merasa UUD ’45 sudahtidak diperlukan, kita bentuk lagi yang baru, tetapi tentu saja akan adapertarungan.

Namun demikian, kita pun tidak bisa bertindak melebihi Tuhandengan melarang kelompok tertentu untuk mendirikan negara Islam ataunegara komunis. Itu hak mereka. Soal berhasil atau tidak, itu persoalanlain. Namun kalau mereka jahat, kita lawan. Yang terjadi saat ini, belumapa-apa sudah dilawan. Itu yang salah. Semua hal bisa dilakukan di duniaini. Akan tetapi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kita haruskembali ke Pancasila, supaya kita sejuk kembali.

Menurut saya, kalau agama dilihat sebagai wahyu, dia bukan kebu-dayaan. Tetapi, ekspresi yang kita serap dalam ide kenegaraan atau dalametika politik, misalnya, juga bukan cerminan kebudayaan kita. Dalampraktiknya, pendidikan kita hampa pelajaran kebudayaan. Celakanya lagi,kalau Anda baca buku-buku pelajaran Pancasila, semua konteksnya Barat,tidak ada konteks Indonesia. Itu maksud saya.

Peter Berger, Max Weber, dan Auguste Comte pernah mengatakan bahwaagama di tengah modernisasi akan semakin terpinggirkan – kendati Bergerkemudian menarik pendapatnya – dengan munculnya ilmu pengetahuandan teknologi. Namun yang terjadi sekarang justru agama muncul denganmodel-model yang sangat beragam, dari bentuknya yang sangat lembut,seperti komunitas-komunitas zikir seperti Arifin Ilham, sampai yang ekstrem,seperti Abu Bakar Baasyir dan Amrozi. Lantas, menurut Anda, apakahsekularisme memang meminggirkan agama, atau agama itu sendiri yangkehilangan tuahnya?

Tidak begitu yang saya maksud. Pengetahuan itu selalu berkaitandengan kekuasaan. Pada masa Renaissance, pengetahuan digunakan untukkepentingan politik dan nasionalisme. Agama sebagai lembaga, pada saatitu, aturannya tidak dihormati dan diselewengkan. Adanya pengampunandosa melalui gereja, misalnya, seolah-olah ia adalah wakil kerajaan langit.Lalu muncullah Protestantisme di sana.

Sedangkan dalam tradisi kerajaan di Timur, sejarahnya berbeda denganyang terjadi di Barat. Dalam tradisi Budha, meskipun ada kaitan antaranegara dan agama, namun hubungan itu samar-samar. Begitupun juga

Page 8: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Abdul Hadi WM

59

yang terjadi di Jepang, Thailand, atau di negara lain di dunia Timur. Lantasbagaimana kita bisa mengatakan bahwa sekularisme relevan untuk negara-negara seperti itu?

Jadi maksud Anda sekularisme itu hanya relevan dalam konteks Barat?

Yang saya maksud adalah agama sebagai lembaga berbeda denganagama sebagai faith. Agama sebagai faith tidak ditolak, yang ditolak adalahagama sebagai lembaga dan semua derivasinya, karena ia dipakai sebagailegitimasi gereja.

Dalam Islam tidak terjadi se-perti itu. Orang Islam hidup dinegara manapun tidak peduli.Asalkan tidak ditindas. Orang Is-lam menjadi radikal kalau merekaditindas. Mereka melawan bukankarena fanatisme agama, tetapikarena diperlakukan tidak adilsebagai kelompok. Kalau rakyatIndonesia berontak, itu bukanmanifestasi dari agama tetapimanifestasi dari sejarah sosial yangkebetulan ada di dalam masya-rakat beragama. Karena yang dijajah sebagian besar adalah orang-orangIslam, sehingga mereka menjadi radikal. Yang membuat radikal adalahbudaya kolonial yang sampai sekarang masih ada.

Hadirnya kapitalisme, itu yang ingin dilawan. Bukan soal agama.Jangan-jangan Osama Bin Laden adalah rekayasa. Jadi itu juga harus diper-timbangkan. Apakah Anda bisa menjelaskan apa itu Islam radikal? Apakahitu yang membuat Amrozi, Ali Imron, dan kawan-kawan melakukantindak terorisme? Ada buktinya tidak? Kalau memang kita mau bicarasecara rasional. Tapi kalau cuma sangkaan, untuk apa ditanggapi. Lebihbaik saya menulis puisi saja, daripada berdebat soal remeh-temeh sepertiitu. Kita sering menjadi korban pada soal yang remeh-temeh itu.

Jadi sekularisme sebagai ideologi berbeda dengan sekular. Sebab,sekular itulah yang lebih tepat dalam meletakkan posisi negara. Di negara

Kita sering tidak bisa membedakan

Islam politik dan politik Islam. Islam

politik artinya Islam yang dijadikan

kendaraan politik. Artinya, ketika

sudah berhasil, aspirasi umat Islam

pasti ditinggalkan. Kalau politik Islam

adalah bagaimana mengemas ajaran

Islam yang sesuai dengan konsep

rahmatan li al-‘âlamîn. Itu yang

sebetulnya harus dihidupkan.

Page 9: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Membela Kebebasan Beragama

60

apa pun, baik Islam atau tidak, negara tugasnya hanya membangun eko-nomi, politik, memberi jaminan hukum, dan berkembangnya kebuda-yaan. Hanya itu. Itu ideal bagi semua negara. Semua itu merupakan hal-hal sekular. Sedangkan pemerintahan yang islami harus dipimpin olehlegislator dan negarawan yang penegak undang-undang, bukan sebagaipedagang atau sebagai penguasa. Itu yang ideal. Tapi itu sering tidak di-jalankan. Karena itu membaca teks dan konteks seringkali berbeda.

Jadi pokok masalahnya bukan masalah agama, tetapi masalah ke-adilan. Itu adalah realitas yang kita hadapi. Coba Anda perhatikan diIndonesia, siapa yang punya kebebasan pers atau kebebasan berekspresi?Yang punya duit, bukan? Darimana Muhammadiyah dan NU menda-patkan uang? Bagaimana mereka mau bebas berekspresi dan berpendapatjika mereka mendapat uang dari kelompok kepentingan tertentu? Wacanakita telah dikuasai oleh mereka.

Jadi di situlah letak persoalannya. Jangan mengatakan bahwa Muslimadalah mayoritas, sementara hegemoni mereka, kelompok kapitalis yangsedikit jumlahnya, melahirkan ketidakadilan bagi mayoritas. Dalam duniapendidikan kita, berapa% muatan pelajaran yang berisi kultur Islamnya?Padahal kalau kamu pergi ke Jepang, kultur Sinto atau kultur Jepang,Confusionisme, mendapat porsi yang cukup besar di dunia pendidikan.Di Indonesia Muslim adalah mayoritas tapi dalam pendidikan kulturIslamnya tidak pernah diakomodir. Ini yang menyebabkan umat Islamtergiring ke dalam keinginan memformalisasi ajaran Islam. Ketika sebuahteologi tidak mendapat sentuhan kultur, maka yang terjadi adalah apayang kita lihat saat ini.

Namun hal ini juga merupakan imbas dari modernisasi, bukan hanyakesalahan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Karena padamodernisasi tidak ada muatan kultur. Yang terjadi justru modernisasimembunuh kebudayaan. Termasuk budaya lokal yang genuine juga di-bunuh.

Dulu, kalau orang Islam berdebat dilakukan melalui tulisan. Sekaranglebih mengedepankan budaya lisan. Pendidikan mengandalkan budayalisan, lembaga pemerintah juga demikian. Kalau saya berbicara begini,ditanggapi tanpa perenungan. Dulu Ar-Raniri berpolemik dengan pena.Di sana ada perenungan, ada kebenaran yang ingin dicari. Sementarasekarang tidak ada. Saya tidak melihat ada perdebatan dalam buku tentang

Page 10: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a � b

Abdul Hadi WM

61

pro-kontra syariah. Padahal, pertentangan itu sudah lama sekali. Sekarangtidak ada apa-apanya. Apa artinya itu? Hanya omong kosong, baik yangpro maupun yang kontra.

Di Barat banyak muncul kritik bahwa sekularisme yang kemudian melahir-kan modernisasi di segala bidang mengakibatkan hilangnya spiritualitasmasyarakatnya. Pemikir Islam, seperti Sayyed Hossein Nasr mengkritikbahwa telah terjadi peminggiran terhadap spiritualitas masyarakat Eropadengan adanya modernisasi. Pandangan Anda?

Memang seperti itu. Cobakalau kita hidup satu tahun saja diEropa, pasti kita akan merasakan-nya. Sebetulnya kecenderungan-kecenderungan ini didorong olehilmu pengetahuan. Itulah kesalahankita yang banyak mempelajari tra-disi ilmu dari aliran neopositivisme,ilmu yang mengacu kepada per-ubahan-perubahan. Padahal per-ubahan bersifat tidak kekal.

Kita tahu perkembangan ilmu di Eropa masih diimbangi oleh kultur.Dan di dalam kultur itulah spiritualitas tersembunyi, meski besar ataukecil. Agama sebagai lembaga menjadi merosot di Eropa, tapi tidak dengankesenian. Di sana kesenian berkembang dengan baik. Kesenian itulahbentuk lain dari spiritualitas masyarakat Eropa.

Di Indonesia, agama dimiskinkan; keseniaan, budaya, politik, danekonomi dihancurkan. Lagi-lagi, itu yang saya katakan bahwa masalahkita adalah problem kekosongan kultural. Kita miskin secara kultural.Demikian juga imbasnya merembet ke ranah ekonomi dan politik.

Bagaimana jaminan sekularisme? Bagaimana sekularisme menghadapineoliberalisme? Apakah ia bisa menjamin bahwa ekonomi rakyat kitatidak akan hancur oleh kekuasaan para pemodal di pasaran, yang dikuasaioleh para pemilik modal besar yang jumlahnya hanya segelintir orang.Kita tahu, di mana-mana terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang lebar.Karena mereka yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tidak

Di Indonesia, agama dimiskinkan;

keseniaan, budaya, politik, dan

ekonomi dihancurkan. Lagi-lagi, itu

yang saya katakan bahwa masalah kita

adalah problem kekosongan kultural.

Kita miskin secara kultural. Demikian

juga imbasnya merembet ke ranah

ekonomi dan politik.

Page 11: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �0 b

Membela Kebebasan Beragama

62

dapat apa-apa. Dari situ demikian nyata betapa tidak ada jaminan ekonomi.Kenyataan seperti inilah yang sering saya tanyakan kepada kawan-kawan.

Menurut saya, satu-satunya jalan adalah kembali ke Pancasila danUUD ‘45 yang sudah selesai. Kenapa kita bertarung terus untuk hal-halyang tidak ada gunanya. Kita menjadi korban dari hal yang remeh-temeh.Kita sudah memiliki Bhinneka tunggal ika. Kenapa itu tidak dihidupkan?Kenapa kita masih sibuk dengan deklarasi multikulturalisme? Kita sudahpunya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu sudah mengacu kepadaHAM. Kenapa dengan Piagam Jakarta yang ada tujuh kata itu kita menjaditerganggu?

Sekarang kecenderungan seperti itulah yang muncul. Banyak orangIslam yang fobia dan merasa paling benar nasionalismenya. Padahal itusalah. Islam itu memberikan protonasionalisme, yaitu penyatuan seluruhbangsa Indonesia. Karena itu saya tidak mau bicara soal itu dari sisi teologi,karena bukan bidang saya. Saya hanya ingin membicarakan itu dari sisihistoris dan kulturnya.

Kalau kita bandingkan negara-negara sekular dengan yang tidak sekular,kita melihat bahwa di negara-negara Barat yang sekular justru penegakanhukum, apresiasi terhadap intelektualisme, dan kebebasan berpendapatdirayakan. Sementara negara-negara yang tidak sekular banyak melanggarHAM. Tanggapan Anda?

Ya. Anda seharusnya mencermati sejarah. Mereka adalah negara-negarayang sejak dulu merdeka, bahkan pernah menjajah. Sementara kitatermasuk korban negara-negara maju itu. Sehingga yang tertinggal bagikita hanya kemiskinan.

Bagaimana dengan Arab Saudi?

Mereka jelas antikebudayaan. Coba lihat Iran, negara yang tidak pernahdijajah. Meski demikian mereka tetap melawan kapitalisme. Dan ke-budayaan yang mereka serap, yakni budaya Persia, berusaha disaring dandisesuaikan dengan negaranya. Artinya kebudayaannya tidak dibunuh. Lainhalnya dengan Pakistan, di mana kebudayaannya dibunuh. Hal yang samajuga terjadi di Indonesia.

Page 12: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Abdul Hadi WM

63

Coba Anda baca tulisan-tulisan Soekarno dan Hatta, di sana banyakmenyebutkan bahwa, pertama, nasionalisme Indonesia bercirikan menentangkolonialisme. Kedua, dalam bidang ekonomi, nasionalisme menentangeksploitasi asing. Artinya, mereka menentang kapitalisme dan liberalisme.Ketiga, ketika budaya asing masuk ke Indonesia, maka hal tersebut terlebihdahulu disaring dan disesuaikan dengan budaya lokal. Dalam konteks inilahkemudian kedua tokoh bangsa ini menerjemahkannya ke dalam konsepBhinneka tunggal ika.

Bhinneka tunggal ika muncul karena menyadari bahwa kita senasibdan sepenanggungan melawan penjajah. Kebetulan kita satu rumpun, baiketnik, budaya, dan bangsa. Ke-mudian rumpun-rumpun itudiikat oleh agama, diikat olehHindu, Budha, Katolik, Kristen,dan Islam.

Kebhinekaan kita berbedadengan Malaysia, India, Cina,begitu juga Amerika. Merekapunya ras dan etnis yang berbeda.

Kalangan politisi sekarangseringkali tidak memperhatikanfakta-fakta antropologi, sejarah,dan budaya. Karenanya mereka banyak bicara ngawur. Dalam hal ini puntidak cukup hanya mempelajari antropologi, tapi juga mempelajarikesusastraan, seperti di Jepang yang mengajarkan sastra mereka sejak daripendidikan dasar.

Jadi, ada hal-hal yang harus kita perhatikan: pertama, kita punyapengalaman dijajah melalui politik etis Belanda, sementara Jepang tidakpernah dijajah, juga Iran. Kita dijajah oleh Belanda, dan karenanyapendidikan kita diatur. Jadi pertanyaan Anda di atas jangan sepertiitu, melainkan harus dibalik. Pertanyaannya harus didasarkan faktahistoris, tidak bisa dengan cara membanding-bandingkan. Sebab,setiap negara secara historis berbeda. Terbukti Iran mampu membangunnegaranya, karena memang mereka tidak dijajah. Kalau kemunduranArab Saudi lebih karena mereka menganut paham Wahhabi. Merekaantikebudayaan.

Bhinneka Tunggal Ika muncul karena

menyadari bahwa kita senasib dan

sepenanggungan melawan penjajah.

Kebetulan kita satu rumpun, baik etnik,

budaya, dan bangsa. Kemudian

rumpun-rumpun itu diikat oleh agama,

diikat oleh Hindu, Budha, Katolik,

Kristen, dan Islam.

Page 13: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

64

Jadi apakah Anda menganggap Pancasila dan UUD ‘45 sudah final? Danapakah bagi Anda Pancasila dan UUD ‘45 sudah menjamin kebebasan danhak-hak sipil, juga kebebasan beragama bagi setiap warga negara?

Menurut saya ini soal penegakan hukum. Dalam pandangan saya,negara tidak mempunyai jaminan kuat dari landasan hukum yang adasekarang ini. Tetapi, lagi-lagi, persoalan yang terjadi sekarang lebih karenapersoalan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Jadi bukan soal agamaitu sendiri. Bagaimanapun agama tidak mempunyai kaitan denganpersoalan itu.

Coba lihat saja! Yang terjadi sekarang, terutama kekerasan atau keru-suhan, tidak hanya ditimbulkan dan dilakukan oleh kelompok-kelompokagama, tetapi banyak juga karena persoalan lainnya yang terjadi di masyara-kat, seperti pilkada, pertandingan sepak bola, dan sebagainya. Pengeboman,misalnya, tidak hanya dilakukan oleh teroris, tetapi juga dilakukan olehnelayan untuk menangkap ikan, dan lain sebagainya. Jadi jangan men-simplifikasi persoalan. Coba Anda lihat, sekelompok pengikut agamaHindu di Bali dibubarkan oleh sesama pemeluk Hindu, gereja Kristendibakar. Jadi ini merupakan krisis sosial yang berpengaruh terhadappendangkalan agama.

Jadi fenomena kekerasan sebetulnya tidak hanya terjadi di Islam, tetapihampir di semua agama. Pendangkalan terhadap nilai sosial agama jugasering terjadi karena kita melihat agama semata dari sisi legal-formalnya.Kita lupa dengan kandungan terdalam dari agama itu sendiri. Dan ituharus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya menjadi tanggungjawab pemuka agama. Pemerintah juga harus bertanggung jawab.

Yang diajarkan oleh para pemuka agama cuma dari sisi bagaimanasalat, wudu, puasa, dan pergi haji. Mereka kurang mengetahui bagaimanasejarah Islam, bagaimana perjuangan Islam, bagaimana penghargaan Islamterhadap ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Apakah Pancasila dan UUD ’45 telah cukup menjamin kebebasan beragama?

Ya, kalau ia dilaksanakan dengan benar. Jadi negara harus melindungidan mensejahterakan masyarakat atau civil society. Tugas mensejahterkanwarga bukan tugas NU atau Muhammadiyah, melainkan tugas negara.

Page 14: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Abdul Hadi WM

65

Artinya, apakah Anda ingin mengatakan bahwa negara selama ini tidak punyakapasitas untuk melakukan itu?

Bisa jadi seperti itu. Karena, negara kita dikuasai oleh fundamen-talisme pasar. Negara dikuasai oleh asing, sehingga negara kita tidak lebihdari penadah asing. Ketika Indonesia diminta untuk melakukan kebijakanyang menguntungkan asing, mereka menerima begitu saja, meskipun harusmemeras rakyat dengan segala macam kebijakannya, dengan menaikanharga BBM, misalnya.

Bukankah hal yang sama juga ter-jadi di mana negara hanya men-dengar pendapat kelompok mains-tream agama dalam membuatkebijakan yang terkait denganberbagai kelompok minoritas?

Itulah sebabnya, sebagaimanasaya katakan tadi, kita harus kem-bali ke UUD ‘45. Ketika dalamUUD ada yang menyebutkan ke-bebasan beragama, tapi harusdiingat di situ bukan kebebasan seluas-luasnya. Bagi saya, kebebasan agamahanya bisa diterapkan bagi kelompok-kelompok yang memang genuine lahirdari budaya Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah. Sedangkan kelompokseperti Ahmadiyah, menurut saya, tak lain adalah alat kapitalis yang terusirdari negara asalnya. Bukan berarti saya tidak suka terhadap kelompok ini.Bagaimanapun kalau terjadi kekerasan terhadap mereka, negara tetap harusmelakukan tindakan tegas. Bagi saya silakan saja mereka hidup di negeri ini,kalau terjadi sesuatu atas mereka maka itu adalah tanggung jawab pemerintah.

Saya ingat ketika terjadi kerusuhan di Solo antara pendukung SarekatIslam dengan masyarakat Tionghoa, di mana persoalannya bukan karenaagama, tetapi lebih oleh karena motif ekonomi. Kalau sekarang seenaknyakonglomerat membawa uang negara ke luar negeri, bukankah wajar jikawarga marah. Jangan lagi disebut konflik etnis, ras, atau bahkan agama.Konsep SARA harus kita hilangkan. Biarkan orang Kristen mengkritik

Pendangkalan terhadap nilai sosial

agama juga sering terjadi karena kita

melihat agama semata dari sisi legal-

formalnya. Kita lupa dengan

kandungan terdalam dari agama itu

sendiri. Dan itu harus menjadi

tanggung jawab bersama, bukan

hanya menjadi tanggung jawab

pemuka agama. Pemerintah juga harus

bertanggung jawab.

Page 15: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

66

orang Islam, begitupun sebaliknya. Masalahnya selama ini media masatidak mampu menampung, akhirnya yang terjadi adalah munculnya sekat-sekat kelompok agama.

Penyebab itu semua, sebagaimana sebelumnya saya katakan, karenamenggejalanya budaya lisan. Jadi, sebagaimana saya utarakan dari awal,pokok soalnya adalah pendidikan kita yang tidak memiliki muatan kultur.

Namun, bukankah budaya selain untuk menyeragamkan juga punya penga-ruh untuk mendiversifikasi?

Terutama diversifikasi budaya, itu sudah terjadi sejak 1960-an, dandiperbesar pada masa Orde Baru. Ketika kemudian datang globalisasi, disitu terjadi pendangkalan budaya. Artinya, kita menghargai batik, misalnya,bukan karena dia bagus atau karena alasan artistik, tetapi lebih karenasebagai sekadar seragam dengan kebanyakan. Kita kagum dengan Kartinitetapi tidak mengetahui secara mendalam siapa dia. Karena pengetahuankita tentang Kartini kosong belaka, sebab kita tidak membaca siapa ituKartini. Padahal kalau kita membaca Kartini, tidak perlu lagi kita mengutippemikiran Barat untuk membela emansipasi wanita.

Sekarang tentang konsep liberalisme. Bagaimana Anda memahami konsepini? Apakah menurut Anda perlu ada liberalisasi kultur?

Liberalisme saya pahami dalam dua konteks: pertama, liberalisme yanglahir di Barat. Ide ini didasarkan pada pemikir-pemikir liberal, seperti ThomasHobbes dan John Locke. Sedangkan dalam konteks Indonesia, sayamamahami liberalisme sebagai upaya liberasi dari segala bentuk penindasandan penjajahan. Ide ini, dalam konteks agama di Barat, melahirkanProtestantisme yang mencoba membebaskan penafsiran dari genggamankelompok kecil pemuka agama. Dalam konteks Islam mungkin kita bisamelihatnya dalam upaya pembaharuan dalam pemikiran.

Apakah benih-benih ide liberal sudah tersedia dalam Islam?

Menurut saya, ide ini sudah ada dalam Islam. Karena sejak awal Islamtidak mengenal kependetaan dalam beragama.

Page 16: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Abdul Hadi WM

67

Bagaimana dengan adanya segregasi umat dengan munculnya kelompok-kelompok yang saling berlawanan, seperti munculnya kelompok Sunni,Syi’ah, dan lain-lain?

Bila dilihat sebagai organisasi, tentu saja mereka berusaha untukmembela organisasi mereka masing-masing. Sama halnya seperti PartaiGolkar yang tentu saja akan berusaha membela dan menjaga kelompok-nya. Jadi menurut saya, kita tidak perlu membenturkan kelompok-kelompok tersebut. Karena memang tidak bisa seperti itu. Kita bersaingsaja dengan lebih mengekspresikan budaya. Dengan berpolemik saya yakintidak akan terjadi kekerasan. Dengan berpolemik melalui tulisan, menurutsaya, itu jauh lebih genuine.

Problemnya, yang terjadi di Indo-nesia, ketika orang menulis idetertentu dalam soal keagamaanyang cenderung merayakan kebe-basan, orang lain dengan mudahmencapnya sebagai kafir.

Memang itu sering terjadi.Misalnya, saya ada kawan di Ma-dura yang mendirikan lembagapesantren, tetapi karena dia dekatdengan Universitas Paramadina,akhirnya warga curiga. Jadi susahkita bicara Islam bila sudah di-politisasi. Sehingga, orang enggan untuk bicara. Sekarang kita bicarademokrasi saja takut lantaran kondisi yang demikian tidak terjaminnyawarga oleh negara.

Secara spiritual kita kuat, tetapi secara moral bangkrut. Artinya sisispiritual kita kuat, sabar menahan derita, tapi tidak menderita secara“syahwat” atau ekonomi. Ini masalahnya.

Menurut Anda, apakah perlu dibedakan antara sikap liberal dalampemikiran dengan sikap liberal dalam ekonomi?

Liberalisme dalam pengertian

pembaharuan harus ada landasan

metodologi, dasar pengetahuannya.

Jangan ahistoris. Jangan seperti

Wahhabi yang ahistoris; meski

melakukan pembaharuan, tetapi

mereka memotong sejarahnya. Untuk

itu, liberal di sini berarti pembebasan

dan pembaharuan. Dan,

terjemahannya dalam Islam terdapat

model liberal semacam al-Maududi,

Iqbal, ataupun Ali Syariati.

Page 17: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

68

Ya harus dibedakan. Pandangan sosialisme sangat jelas dalam bidangekonomi dan politik. Demikianpun liberalisme dalam pengertianpembaharuan harus ada landasan metodologi, dasar pengetahuannya.Jangan ahistoris. Jangan seperti Wahhabi yang ahistoris; meski melakukanpembaharuan, tetapi mereka memotong sejarahnya. Untuk itu, liberal disini berarti pembebasan dan pembaharuan. Dan, terjemahannya dalamIslam terdapat model liberal semacam al-Maududi, Iqbal, ataupun AliSyariati. Syariati, misalnya, melakukan pembebasan dalam konteksbelenggu ulama-ulama Syi’ah yang ortodoks. Di antaranya, ketika diamenulis tentang haji, di mana dia meletakannya dalam konteks sosialis.

Jadi, menurut saya, kita harus membicarakan liberalisme dalamkonteks yang jelas. Kalau dalam konteks teologi, maka harus tegas prosesliberalisasinya hanya pada ranah teologi. Kalau konteks ekonomi, ya,ekonomi. Jangan dicampur aduk. Dalam konteks tasawuf liberal, wilayahyang dieksplorasi adalah pembebasan dari belenggu selain Tuhan. Jadi,upaya yang dilakukan adalah laku spiritual demi membebaskan diri dariapapun yang selain Tuhan. Namun begitu, untuk melakukannya, pertama-tama, harus percaya kepada Tuhan.

Jadi, menurut saya, karena pendidikan kultur kita lemah, sehinggakita pun tidak tahu budaya-budaya liberal dalam Islam. Dulu muatanpendidikan agama kita juga memasukkan pemikiran Muhammad Abduh,pemikiran Hamka, namun sekarang ada kecenderungan memiskinkankajian-kajian tersebut. Saya tidak tahu, apakah ada motivasi politik disitu.

Apakah penyebab munculnya orientasi pemikiran syariah minded dipicuoleh al-Ghazali yang “mengharam” filsafat?

Tidak juga. Itu salah. Dia sejatinya seorang filosof. Sehingga ketikaberbicara syariat, dia genuine, tidak ada maksud lain. Dia sebetulnya hanyamengkritik kaum filosof yang mengatakan bahwa yang bangkit setelahkematian hanya jiwa. Menurut al-Ghazali itu tidak sesuai dengan al-Quran.Kedua, menurut filosof bahwa Tuhan hanya mengetahui yang umum,dan yang detail tidak tahu, itu juga ditentang oleh al-Ghazali .

Sikap al-Ghazali ketika itu tidak lain mengkritik filsafat yang ber-kembang pada zamannya. Jangan mengatakan bahwa sikap dia terhadap

Page 18: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Abdul Hadi WM

69

filsafat secara umum seperti itu. Sama halnya dengan Karl Marx yangmengatakan bahwa agama itu candu. Agama yang dimaksud adalah agamapada masa itu, bukan dalam pengertian agama itu sendiri, bukan agamasecara keseluruhan. Karena agama Kristen pada masa itu sangatmenggerogoti masyarakatnya. Itu pun tak lain adalah lembaganya, bukanagamanya itu sendiri.

Hal-hal seperti itu sangat pe-ka. Jadi jangan kemudian meng-generalisir seluruh agama. Misal-nya klaim yang terburu-buruihwal Islam, kaum fundamen-talis, kaum teroris, dan upaya-upaya generalisasi lainnya. Tahu-tahu nanti saya jadi ikut-ikutandicap teroris.

Iqbal dan Mulla Sadra menilai ada kebebasan eksistensial dalam setiappemeluk agama. Namun ketika agama dibekukan dan diformalkan dalambentuk mazhab-mazhab, kebebasan beragama secara eksistensial hilang.Implikasinya sekarang dirasakan masyarakat, yakni sering terjadi kekerasanatas nama agama. Pandangan Anda?

Itu tadi yang saya katakan, bahwa kalau kita beragama seharusnyadiimbangi dengan kultur. Persoalannya kultur kita sudah kosong, ekonomikita dijajah, dan politik kita juga sudah kehilangan tuahnya. Karenanyasaya amat menyesalkan.

Kalaupun kemudian ada orang yang menuntut untuk memformalkansyariat Islam, menurut saya, tidak masalah, sejauh tidak mengganggu oranglain. Yang penting kita sendiri berani. Sebagai contoh, dulu tasawuf banyakdikecam dan dilarang, namun buktinya tasawuf sampai sekarang masihhidup. Namun tasawuf yang saya maksud bukan sebagaimana dipraktik-kan oleh Arifin Ilham atau Aa Gym. Karena, bagi saya, yang dilakukanmereka merupakan pendangkalan.

Jadi menurut saya lembaga-lembaga Islam, seperti LSAF, harusmembicarakan kembali hubungan Islam dengan teknologi dan pengeta-huan, hubungan al-Ghazali dengan Phytagoras, dan sebagainya. Hal ini

Dalam pandangan saya, negara tidak

mempunyai jaminan kuat dari

landasan hukum yang ada sekarang

ini. Tetapi, lagi-lagi, persoalan yang

terjadi sekarang lebih karena persoalan

ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Jadi bukan soal agama itu sendiri.

Page 19: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

70

perlu dilakukan agar Islam mengenal tradisi pengetahuan, sehingga padasuatu ketika umat Islam bisa mengapresiasi filsafat, kesenian, dan sastra.Di Barat pendidikan semacam itu sudah diberikan sejak SMA. Sementaradi Indonesia hal itu tidak ada. Dengan Affandi saja umat Islam Indonesiatidak kenal. Yang mereka lihat hanya olimpiade fisika, kimia, dan mate-matika. Atau bahkan mereka hanya mengidolakan Krisdayanti dan Tukul,misalnya. Tidak ada yang ingin menjadi seperti Cak Nur atau AmienRais. Itulah yang terjadi saat ini.

Akan berbeda ceritanya bila Anda berkunjung ke negara-negara sepertiArab Saudi, Iran, dan Libia. Jangan Anda mengira kalau di Libia pendu-duknya bodoh-bodoh. Sebaliknya, mereka pintar-pintar. Mereka mem-praktikkan sosialisme, tetapi ada juga masyarakat Libia yang memprak-tikkan sekularisme seperti Turki. Islam juga besar di sana.

Saya ingin mengatakan bahwa tidak ada jaminan bahwa kalau negarasekular, Islam akan berkembang dengan baik, atau sebaliknya. Karena,pada dasarnya, selama ini yang terjadi adalah rivalitas di antara orang Islamitu sendiri. Di Turki justru kelas-kelas Muslim yang kaya kian meningkat.Karena apa? Pendidikan di Turki tidak seperti di negeri ini yang mengalamiinvolusi. Penerbitan novel di sana dalam satu tahun bisa 10 ribu dan dalamsatu tahun bisa berkali-kali cetak. Artinya dalam satu bulan 10 ribu sudahlaku. Di Indonesia, mencetak karya sastra 2 ribu eksemplar, 10 tahuntidak habis karena tidak laku, akhirnya ada di tukang loak.

Inilah masalahnya. Lantas bagaimana Anda mau berdialog dengankalangan intelektual. Kiai-kiai dan ulama di Indonesia jangan disamakandengan ayatullah di Iran dan ulama di Kuwait, karena beda cara berpikirnya.Itu disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan. Bobot materipendidikan di negara kita bila dibandingkan dengan Pakistan atau Bangladeshmasih kalah, baik dalam kultur maupun dalam hal yang lainnya. Itu bisadilihat dengan munculnya orang seperti Muhammad Yunus di Bangladesh.

Ketika melihat keragaman Indonesia yang sangat kompleks baik dari sisietnis maupun agama, menurut Anda apakah sudah cukup dibingkai olehpluralisme atau perlu konsep lain?

Bukan mencari konsep lain. Konsep sudah ada, yaitu Bhinneka tunggalika. Problemnya, akhir-akhir ini, formasi konsep tersebut sedang kacau,

Page 20: Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan...Jakarta dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. a b

a �� b

Abdul Hadi WM

71

dan untuk kembali saja sangat susah. Ini masalah kompleks. Kecuali denganmunculnya seorang negarawan yang legislator. Artinya perlu ada pemim-pin yang menegakkan UUD, sehingga memberikan jaminan hukum bagiberkembangnya pemikiran yang segar. Kultur bisa berkembang kalaupemerintah mensubsidi pendidikan kita. Kalau diserahkan pada me-kanisme pasar, yang akan terjadi adalah komersialisasi pendidikan, danhal itu justru akan menghancurkan kultur. Bagaimana mungkin kita lebihmengenal barongsai daripada kuda kepang? Itu karena yang bermain adalahmereka yang punya duit.

Jadi, janganlah kita melihatminoritas hanya sebatas jumlah,kalau kemudian mereka yangjumlahnya kecil ini menguasaipasar. Banyak pembela multikul-turalisme yang kemudian menjadimuak setelah melihat apa yangterjadi di lapangan. Jangan kemu-dian kita sok membela minoritasjumlah. Namun demikian, feno-mena ini harus dilawan dengankelembutan. Karena kalau tidakmereka akan menyerang balik.

Persoalan bahwa kemudian muncul kelompok-kelompok sepertiHizbut Tahrir Indonesia (HTI), misalnya, adalah karena mereka kecewadengan NU dan Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah dan NUberjalan dengan baik, saya yakin tidak akan ada HTI atau organisasi lain-lain. Begitupun juga kalau PPP baik, tidak akan ada PKS, dan seterusnya.

Ketika kita dulu berjuang melawan Orde Lama, HMI bergabungdengan PMKRI melawan kelompok mahasiswa yang lain. Jadi posisi itubisa berubah-ubah. Karena itu saya sarankan melihat Islam selain sebagaidîn juga sebagai kultur. Sebagai simbol, jangan sampai ia dimusuhi, karenaia akan lebih galak.

Wawancara dilakukan di Jakarta, 19 Februari 2008

Jadi, menurut saya, karena pendidikan

kultur kita lemah, sehingga kita pun

tidak tahu budaya-budaya liberal

dalam Islam. Dulu muatan pendidikan

agama kita juga memasukkan

pemikiran Muhammad Abduh,

pemikiran Hamka, namun sekarang

ada kecenderungan memiskinkan

kajian-kajian tersebut.