membela kebebasan beragama percakapan...

Download Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengannurcholishmadjid.org/wp-content/uploads/2017/06/Percakapan-dengan... · merupakan bagian hak asasi manusia yang tidak bisa dimungkiri,

If you can't read please download the document

Upload: vanminh

Post on 05-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • a 20 b1570

    Membela Kebebasan Beragama

    Taufik Adnan AmalTaufik Adnan AmalTaufik Adnan AmalTaufik Adnan AmalTaufik Adnan Amal, dosen di Fakultas Syariah UIN Alauddin Makassar. Ia lulusan programmagister di Johannes Guetenberg University, Mainz, setelah ia menamatkan S1 di Sastra Arab

    UGM Yogyakarta dan Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

    Percakapan dengan

    Taufik Adnan Amal

  • a b1571

    Taufik Adnan Amal

    Perbedaan gagasan keagamaan patut disyukuri dan dirayakan.Biarkan masyarakat menentukan mekanismenya untuk menyaringsendiri pelbagai ragam tafsir. Alih-alih menetapkan otoritaskeagamaan resmi, seperti MUI, praktik ijtihad yang mengandalkanreasoning dari setiap orang harus terus dirangsang, sehingga ketikamasyarakat diajak terlibat dalam pengambilan suatu putusan,partisipasi publik yang lebih luas dapat terwadahi melaluikonsensus (ijma). Sebaliknya jika negara memaksa satu keyakinantertentu sebagai paham resmi, berbagai tafsir dan pandanganteologi yang berbeda bakal tersingkir. Bahkan fatwa MUI telahmenjadi justifikasi bagi sejumlah tindak kekerasan atas namaagama. Ini melanggar HAM. Sebab hak berkeyakinan merupakanprinsip HAM yang tidak bisa dimungkiri, sekalipun oleh negara.

  • a b1572

    Membela Kebebasan Beragama

    Sekularisme adalah istilah yang selalu mengundang perdebatan. Ada yangmemahami bahwa dengan penerapan sekularisme agama akan merosot peran-nya. Ada juga yang beranggapan bahwa sekularisme justru membuat agamaterselamatkan dari aksi-aksi yang memanfaatkannya. Tanggapan Anda?

    Bila kita melihat sejarah masa lalu, paling tidak, sejak berkuasanyaDinasti Umayyah praktik sekularisme sudah ada. Yakni praktik sekularismedalam arti separasi domain politik dengan agama. Pada masa Nabi, memangtidak ada pemisahan antara domain politik dan agama. Waktu itu selaindikenal sebagai pemimpin agama, Nabi juga merupakan pemimpin politikyang aktif dari suatu federasi kesukuan yang berpusat di Madinah.

    Pada masa al-Khulaf al-Rsyidn hingga Umayyah, pemisahan antarakekuasaan politik dan agama, yang saat ini dikenal dengan istilah seku-larisme, mulai ada. Para al-Khulaf al-Rsyidn hanya merupakan peneruskekuasaan politik Nabi. Pada masa Daulah Umayyah, sentral politik yangsebelumnya di Madinah dipindahkan ke Baghdad. Para pemimpin religiustetap di Madinah, dan para pemimpin politik pindah ke Baghdad. Inimerupakan indikasi yang jelas mengenai separasi antara kekuasaan politikdan agama.

    Sekalipun ada simbol-simbol yang dikaitkan dengan agama, sepertisimbol bahwa penguasa adalah bayangan Tuhan di muka bumi, padatataran praktis sebetulnya tidak pernah ada. Hukum-hukum Islam, misal-nya, tidak pernah dijalankan sepenuhnya oleh para pemimpin politik sejakmasa bani Umayyah. Sebaliknya para penguasa politik ini malah meng-adopsi hukum-hukum dan institusi dari luar, seperti hukum pajak dariRomawi atau institusi hisbah yang diadopsi bani Umayyah pada abad ke-7 dari konsep inspektur pasar Bizantium.

    Jadi, bila sekularisme dipahami dalam pengertian seperti itu, dalamsejarah Islam sebetulnya sekularisasi telah terjadi. Mungkin saja, diIndonesia, gagasan sekularisme mendapat tantangan, hingga kemudianmengkristal kepada sikap tidak suka satu (sekularisme) atas yang lainnya.

    Sekularisme tidak bisa dilepaskan dari makna privatisasi. Artinya, agamahanya boleh berperan di ruang privat dan tidak bisa masuk dalam domainpolitik. Hal inilah yang mungkin membuat kaum agamawan tidak suka.Menurut Anda apakah gagasan privatisasi itu sesuatu yang niscaya?

  • a b1573

    Taufik Adnan Amal

    Ya, niscaya. Kalau agama masuk ke domain politik sangat berbahaya.Sebetulnya, kita punya sejarah yang buruk ketika para penguasa politikmencampuri urusan agama. Dalam sejarah Islam pernah terjadi peristiwaMihnah (inkuisisi), yakni ketika banyak orang yang tidak setuju denganpendapat yang didukung penguasa politik bahwa al-Quran adalahmakhluk, lantas dihukum, termasuk imam Ahmad ibn Hanbal.

    Jadi, ketika agama masuk ke domain politik dan dijadikan aturanpublik, maka akan muncul persoalan. Karena bagaimanapun agama tidaklebih dari sebuah penafsiran. Ia berkembang sesuai dengan waktu. Ketikaagama dipegang oleh negara dandijadikan sebagai satu perpektifresmi dari negara, pertanyaannya:bagaimana perspektif model pe-nafsiran (agama) lain, yang ber-beda dari perspektif agama resmiyang diusung negara? Seharus-nya negara bertugas melindungipenganut berbagai keyakinankeagamaan. Hak berkeyakinanmerupakan bagian hak asasi manusia yang tidak bisa dimungkiri,sekalipun oleh negara. Apabila negara memaksakan suatu keyakinanresmi kepada sebagian warganya, maka itu sudah termasuk pelanggaranHAM.

    Pemerintah sepertinya hanya mengakomodasi kelompok mainstream, sehing-ga produk hukum dan aturan yang lahir cenderung restriktif dan diskrimi-natif terhadap minoritas. Bagaimana pandangan Anda?

    Fenomena yang sering terjadi di Indonesia saat ini, jelas bertentangandengan UUD 45. Setiap aturan yang bertentangan dengan aturan atauhukum di atasnya maka aturan tersebut harus batal. Sekarang fenomenaaturan yang bertentangan itu terjadi, seperti kasus-kasus perda syariahdi berbagai daerah di Indonesia. Tidak tahu mengapa, apakah karenabesarnya desakan mainstream terhadap pemerintah, ataukah karenakebutuhan para politisi untuk menjadikan isu-isu tersebut sebagai kudatunggang politik.

    Ketika agama masuk ke dalam negara,

    ketika ada pandangan resmi dari

    negara tentang keyakinan tertentu,

    masalah pasti akan muncul bagi

    mereka yang berpandangan atau

    berkeyakinan berbeda.

  • a b1574

    Membela Kebebasan Beragama

    Kasus penghancuran masjid Ahmadiyah oleh kelompok lain secaraekstrem memperlihatkan negara berpihak kepada mainstream. Akibatnya,mereka yang minoritas tidak terlindungi. Negara lalai dengan perannyasebagai pihak yang berkewajiban melindungi dan mengayomi warga.Memang sulit mendefinisikannya. Tapi ketika agama masuk ke dalam negara,ketika ada pandangan resmi dari negara tentang keyakinan tertentu, masalahakan muncul bagi mereka yang berpandangan atau berkeyakinan berbeda.

    Bagaimana pendapat Anda soal pandangan bahwa Indonesia bukan negaraagama tapi juga bukan negara sekular?

    Indonesia memang bukan negara agama, juga bukan negara sekularkarena negara membentuk Departemen Agama yang mengurusi soal-soalagama, seperti Haji. Dalam sejarahnya, departemen ini merupakan konsesiyang diberikan kepada umat Islam dengan dihilangkannya tujuh kata(dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) dalamsila pertama Piagam Jakarta.

    Bagaimana Anda menjelaskan berbagai implikasi dari penerapan syariatIslam dalam konteks keindonesiaan?

    Jelas, bahwa setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan per-aturan yang lebih tinggi. Seharusnya perda-perda itu tidak ada. Lagipulaketerlibatan publik kurang dalam perumusan perda-perda tersebut.Seharusnya publik dilibatkan dalam perumusannya.

    Kasus Bulukumba, misalnya, bagi saya, perda syariah di daerah inihanya keinginan sebagian kecil elite politik. Bulukumba pada 2000 sampai2003, memiliki sejumlah perda syariah. Akan tetapi setelah berganti bupati,sudah tidak ada lagi perda seperti itu diundangkan.

    Dengan penjelasan tersebut, apakah Anda ingin menyebut bahwa itu meru-pakan politisasi syariah atau agama?

    Betul. Ini merupakan praktik politisasi syariah. Jadi, sebetulnya hanyakemauan segelintir elite politik yang melihat syariah atau agama cukupefektif untuk dijadikan kuda tunggang politik.

  • a b1575

    Taufik Adnan Amal

    Dalam Undang-Undang Otonomi Daerah diatur bahwa urusan agamaadalah urusan pemerintah pusat. Dengan demikian, seharusnya tidak bolehada perda syariah?

    Memang, bila merujuk undang-undang tersebut, perda-perda syariahseharusnya tidak ada. Lagipula, perda-perda syariah bertentangan denganundang-undang yang lebih tinggi, bahkan dengan konstitusi, sehinggaharus dibatalkan. Bila kita melihat kasus qanun-qanun Aceh, misalnya,seharusnya kita melakukan revisi terhadap perundang-undangan kita. Dankarena bertabrakan dengan konstitusi, sehingga demi hukum qanun-qanunAceh harus batal. Kasus krisis kons-titusional yang seperti ini juga ter-jadi di Malaysia, di mana antaranegara bagian dengan nagara fe-deral terjadi konflik karena pene-rapan perda syariah di Kelantandan Trengganu, misalnya. Dan itukasusnya sama dengan perda-perda syariah di Indonesia, yangbertabrakan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkandengan konstitusi.

    Sampai sekarang belum adaupaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah krisis konstitusional ini.Seharusnya pemerintah tegas, agar peraturan perundang-undangan yanglebih tinggi itu tidak dilanggar lagi. Jadi, lagi-lagi, yang terjadi sekarangadalah peraturan perundang-undangan di daerah bertentangan denganperaturan yang lebih tinggi atau dengan konstitusi itu sendiri.

    Bukankah sejak dari perumusan Pancasila dan konstitusi Indonesia sendirisudah ada tarik-menarik antara kepentingan negara agama dan negarasekular? Misalnya, ada tarik-ulur soal sila ketuhanan dalam Pancasila. Belumlagi kontradiksi yang ada dalam konstitusi kita.

    Dari situlah sering terjadi perdebatan antara Muslim satu denganlainnya, saling mengklaim satu kebenaran atas yang lain. Disadari bahwa

    Praktik ijtihad mengandalkan reasoning.

    Dan sudah dari awal perkembangan

    Islam proses seperti itu ada. Hanya saja,

    pada masa belakangan, konsep ijtihad

    diberi persyaratan-persyaratan yang

    berat. Padahal, karena manusia

    mempunyai pikiran, ketika terus diasah

    maka pikiran pasti akan berjalan dan

    berkembang.

  • a b1576

    Membela Kebebasan Beragama

    ketika penguasa menggunakan dalil-dalil agama atau memasukkan nilai-nilai agama ke dalam kebijakan negara, maka akan terjadi peminggiranatas minoritas. Dari kebijakan semacam ini, pasti akan ada sudut pandangagama tertentu yang dijadikan sebagai pandangan resmi. Seperti MUIdengan fatwanya yang sering menganggap yang lainnya salah, sesat. PadahalIslam tidak terbatas seperti itu.

    Bagaimana membumikan nilai-nilai agama, dalam konteks public religion,di mana agama mempunyai semangat moral untuk masuk ke dalam ranahpublik?

    Dari konsep partisipasi publik, tentu saja di dalamnya terdapat nilai-nilai agama. Ketika masyarakat diajak untuk terlibat dalam pengambilankeputusan, sebetulnya tidak ada masalah, dalam hal ini, untuk men-dasarkan pada nilai-nilai dari agama. Sebab, aturan yang dibuat denganmelibatkan partisipasi publik akan menjadi semacam konsensus, yangdalam istilah Islam dikenal sebagai ijm. Dengan demikian, ijm semacamini merupakan hasil dari partisipasi luas masyarakat.

    Apakah Anda yakin dengan partisipasi seperti itu mengandaikan nilai-nilaiagama akan tumbuh di masyarakat dalam bentuknya sebagai publicreligion yang ramah?

    Ya, karena melaluinya (partisipasi) dicapai konsensus. Sudut pandangyang mengkristal sebagai konsensus tentunya akan ditaati secara bersamaoleh masyarakat yang membuatnya.

    Persoalannya tingkat partisipasi masyarakat cenderung rendah, sehingga yangmuncul hanyalah kepentingan-kepentingan kelompok yang aktif. Dan sering-kali mereka membawa kepentingan kelompok mereka sendiri. Bagaimanapandangan Anda?

    Sebenarnya itu adalah bagian dari proses. Proses ke arah yang lebihbaik. Diyakini bahwa proses itu akan menuju ke arah yang lebih baik.Itulah nilai demokrasi. Meski demikian, proses itu bagus, karena masya-rakat dapat belajar darinya.

  • a b1577

    Taufik Adnan Amal

    Beberapa waktu yang lalu, negara, dengan merujuk kepada fatwa MUI dankajian dari Bakorpakem ihwal kesesatan Al-Qiyadah al-Islamiyah, membu-barkan aliran tersebut. Persekusi yang sama juga menimpa Usman Roy danKomunitas Eden. Bagaimana Anda memandang praktik mihnah diIndonesia?

    Kewajiban negara sebetulnya adalah melindungi warga tanpa diskri-minasi. Apa yang terjadi saat ini adalah bentuk kegagalan negara menja-lankan kewajibannya untuk melindungi dan mengayomi warganya.

    Parahnya negara ternyata tidak hanya mengamini ketentuan fatwa MUI,tapi juga aktif melakukan penahanan terhadap mereka yang dianggap sesat.

    Negara memang melakukaneksekusi terhadap aliran-aliranitu. Seharusnya negara hanyabertindak sebagai watchdog.Sebaliknya mereka yang mela-kukan kekerasan, yakni yangmenimbulkan ketidaktenangandi ruang publik, yang harusditindak. Bila kita melihat kasuspenyerangan terhadap Lia Eden,sebetulnya yang melakukan aksiitu bukan orang asli situ, sedang-kan para tetangga sebetulnya tidak merasa terganggu. Jadi sebetulnya siapayang terganggu?

    Senasib dengan sekularisme, liberalisme juga diharamkan oleh MUI karena,lagi-lagi, kesalahpahaman. Bagaimana Anda memandang konsep ini?

    Bagi saya sah-sah saja berpendapat atau menilai gagasan liberalismesebagai bahaya, asalkan tidak mendesakkan atau memaksakan pan-dangannya kepada yang lain. Jadi, kebebasan berpikir adalah hak asasi,dan tidak bermasalah. Yang menjadi masalah adalah mereka yang merasaterganggu dengan klaim itu karena hak-haknya terampas.

    Menurut hemat saya, keragaman tafsir

    dalam Islam patut disyukuri, bahkan

    dirayakan. Sebab, ketika mendapati

    beragamnya tafsir yang dihasilkan

    kaum Muslimin, bagaimana kita bisa

    melihat dan menilai bahwa tafsir

    tertentu sebagai paling benar

    sedangkan tafsir lainnya sebagai sesat

    dan menyesatkan?

  • a b1578

    Membela Kebebasan Beragama

    Ada otoritas ulama yang mengganggap bahwa agama harus dijaga dariberbagai anasir liberalisasi, akibatnya agama justru jumud. Misalnya, soalmenafsirkan al-Quran dianggap tidak bisa dilakukan secara bebas. Tang-gapan Anda?

    Menurut saya mereka telah mengingkari sejarah yang dihiasi denganpenuh perbedaan-perbedaan dalam penafsiran. Padahal masyarakat dengansendirinya akan menyaring berbagai kemungkinan perbedaan itu. Berbagaiijtihad atau penafsiran yang berbeda-beda pada gilirannya akan mengkristalmengikuti saringan masyarakat. Jadi, sebetulnya tidak ada masalah. Tidakada yang perlu dikhawatirkan dengan liberalisme. Secara alamiah, paham,aliran atau penafsiran agama tertentu yang tidak mendapat tanggapan darimasyarakat, dengan sendirinya akan tersingkir dari tengah-tengah kehi-dupan bersama, ketika mereka menciptakan konsensus-konsensus terha-dapnya. Mekanisme ini, menurut saya, terjadi dalam berbagai kesempatan.Jadi, hal seperti itu terjadi dalam sejarah Islam.

    Anda sangat percaya pada public reason. Ada pertanyaan yang sering diaju-kan: siapa yang mengontrol public reason?

    Yang mengontrol adalah masyarakat. Itu ada mekanismenya. KetikaAnda mengeluarkan atau menyatakan suatu pendapat, masyarakat dengansendirinya akan menyaring. Dalam tradisi Islam proses penyaringan gagasanatau kristalisasinya dikenal dengan ijm. Memang istilah ini secaratradisional lebih dikenal sebagai ijm atau konsensus para ulama. Padahalijmak (konsensus) dalam kenyataannya terjadi di lapisan masyarakat mana-pun. Pada satu saat, misalnya, masyarakat ijmak atas sesuatu, tapi padasaat yang lain tidak. Misalnya, dalam soal penerjemahan al-Quran. Dulutidak sedikit yang berpersepsi bahwa penerjemahan al-Quran tidak bolehdilakukan. Sampai ke masa Syaikh Wali Allah al-Dihlawi hal ini masihtabu. Al-Dihlawi menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Parsi, tetapiulama-ulama di anak benua Indo-Pakistan menentangnya. Padahalterjemahan jelas manfaatnya dan dapat dirasakan hingga sekarang. Ketikaorang non-Arab ingin belajar al-Quran, mereka cukup terbantu denganterjemahan. Beberapa waktu kemudian, setelah kontroversi sekularisasi

  • a b1579

    Taufik Adnan Amal

    Turki, terjemahan al-Quran menjadi hal yang lumrah. Sekarang hinggadalam jangka waktu yang lama, kita masyarakat Muslim sudah sepakattentang pentingnya terjemahan.

    Jadi sudut pandang yang awalnya tidak setuju bisa saja pada akhirnyamenerima, asalkan itu melalui konsensus masyarakat. Konsensus itu terjadidalam tataran lokal, nasional, regional, maupun internasional.

    Dalam konteks Islam, bagaimana Anda memaknai dan melihat konsepliberalisme. Apakah liberalisme dasarnya sudah ada dalam Islam?

    Mereka yang belajar fikihtentu saja tahu bahwa di dalam-nya diajarkan tentang konsepijtihad. Praktik ijtihad mengan-dalkan reasoning. Dan sudah dariawal perkembangan Islam prosesseperti itu ada. Hanya saja, padamasa belakangan, konsep ijtihaddiberi persyaratan-persyaratanyang berat. Padahal, karenamanusia mempunyai pikiran,ketika terus diasah maka pikiranpasti akan berjalan dan ber-kembang.

    Dalam sejarah Islam, ijtihad pernah dilakukan dengan bebas, namunkemudian dibatasi. Bagaimana Anda melihat dinamika ijtihad dalamsejarah Islam?

    Sekalipun ijtihad dibatasi, tetap saja akan terus ada. Dalam duniaSunni, pada abad ke-10, ijtihad memang diakui tertutup dan dipagaridengan syarat-syarat yang mustahil dipenuhi. Sementara, dalam Syiahtidak. Syiah tidak mengenal doktrin tertutupnya pintu ijtihad. Tutup-menutup sebetulnya tidak ada dalam ijtihad. Manusia sebagai makhlukberpikir tidak mungkin menutup pintu untuk berijtihad. Ijtihad akantetap ada meskipun hanya dilakukan oleh minoritas, atau untuk masalah-

    Ketika masyarakat diajak untuk terlibat

    dalam pengambilan keputusan,

    sebetulnya tidak ada masalah, dalam

    hal ini, untuk mendasarkan pada nilai-

    nilai dari agama. Sebab, aturan yang

    dibuat dengan melibatkan partisipasi

    publik akan menjadi semacam

    konsensus, yang dalam istilah Islam

    dikenal sebagai ijm. Dengan demikian,

    ijm semacam ini merupakan hasil dari

    partisipasi luas masyarakat.

  • a 0 b1580

    Membela Kebebasan Beragama

    masalah tertentu. Dengan munculnya modernisme Islam, doktrintertutupnya pintu ijtihad digugat dan diruntuhkan.

    Bila di luar Islam kajian atas kitab suci begitu semarak, itu tidak terjadidalam Islam. Tampaknya ada upaya pembatasan dalam merekonstruksisejarah al-Quran. Ini kemudian dimanfaatkan oleh penguasa untukmelakukan penyeragaman. Menurut Anda, mungkinkah pada saatnya kelakdalam Islam studi atas kitab suci menjadi semarak?

    Belakangan ini sebetulnya sudah mulai marak. Menurut saya,kesadaran sejarah kita kurang. Dalam sejarah Islam, ketika sebuah sistemkekuasaan muncul, yang sering terjadi adalah penyeragaman, standardisasi,dan lain sebagainya. Jadi, politik yang sering membuat hal seperti ituterjadi.

    Inisiatif untuk melakukan penunggalan al-Quran, seperti diketahuidalam literatur sejarah Islam, dimulai pada masa Utsman. Dan, ini patutmenjadi perhatian, oleh karena inisiatif tersebut lahir dari dunia politik.Sebab, sebetulnya, tanpa campur tangan politik, kemungkinan sepertiitu tidak akan muncul. Mungkin saja keanekaragaman yang ada dalammendudukan al-Quran, pada saat itu, membuat sistem politik yang sedangberkuasa tidak nyaman. Padahal keragaman adalah sunatullah.

    Bagaimana menjelaskan bahwa liberalisme itu dibenarkan oleh Islam, baiksecara teologis maupun historis?

    Banyak sekali bukti bahwa Islam menerima liberalisme. Orang zamansekarang sering meniru kebijakan Umar ibn Khattab, padahal dia bisamenyimpang dari aturan atau ketentuan yang sudah ditetapkan. Dalamsejarah Islam pun pernah marak kelompok yang menganut rasionalisme,seperti Mutazilah. Dalam al-Quran sendiri banyak seruan yang tegas agarkita berpikir.

    Bagaimana Anda melihat dinamika liberalisme dalam konteks Indonesia?

    Saya kira masyarakat kita belum siap menerima perbedaan. Karenaitu kalau ada yang berbeda dengan yang mainstream lantas dipinggirkan.

  • a b1581

    Taufik Adnan Amal

    Peminggiran ini dilakukan oleh institusi seperti MUI, misalnya. Namunkita menyaksikan beberapa kenyataan yang cukup menarik bahwa ketikaMUI mengeluarkan fatwa misalnya, pengharaman natal bersama atauucapan selamat natal dari umat Islam masyarakat tidak mengikutinya.

    Dalam konteks negara demokrasi, bukankah seharusnya tidak ada sebuahinstitusi yang dapat dijadikan sebagai sumber rujukan tunggal dari satupandangan agama atau keyakinan tertentu?

    Bagaimanapun saya tidak setuju kalau negara turut campur dalamurusan keagamaan. Apalagi pemahaman keagamaan selalu merupakan hasilpenafsiran. Bila Anda ingat jar-gonnya posmodernisme, theauthor is dead, ini berarti bahwaotoritas pemaknaan sebuah teks(kitab suci seperti al-Quran,begitupun hadits dan ijtihad paraulama) berakhir dengan selesai-nya teks itu dibuat. Setelah itu,pemaknaannya akan kembali ke-pada orang yang membaca teksitu sendiri.

    Karena itu dalam fenomenaal-Quran, setelah ia selesai ditu-runkan dan dengan meninggal-nya Nabi, orang bebas memba-canya dengan berbagai perspektifyang berbeda, seperti dari segimetode tafsirnya ada yang menggunakan hermeneutika, semiotika, danlain sebagainya. Hasil dari beragam pembacaan ini adalah keragaman tafsiral-Quran yang sangat kaya di dalam Islam. Karena itu, menurut hematsaya, keragaman tafsir dalam Islam patut disyukuri, bahkan dirayakan.Sebab, ketika mendapati beragamnya tafsir yang dihasilkan kaumMuslimin, bagaimana kita bisa melihat dan menilai bahwa tafsir tertentusebagai paling benar sedangkan tafsir lainnya sebagai sesat dan menyesatkan?

    Ada pandangan sejumlah ulama klasik

    yang menyatakan bahwa orang tidak

    akan bisa memahami al-Quran tanpa

    memahami asbb al-nuzl. Jadi

    sejatinya kajian historis terhadap al-

    Quran itu absah dalam tradisi tafsir.

    Boleh jadi, orang menjadi alergi

    dengan pendekatan historis atas al-

    Quran karena kajian belakangan ini

    banyak menggunakan term-term

    Barat. Padahal itu bagian dari tradisi

    atau khazanah kita sendiri.

  • a b1582

    Membela Kebebasan Beragama

    Muncul gugatan dari kalangan konservatif terhadap kelompok yang meng-anggap bahwa al-Quran sebagai teks yang bisa diperlakukan seperti tekspada umumnya (karya sastra), dengan alasan al-Quran akan kehilangankesuciannya. Bagaimana menjelaskan kepada mereka yang berusaha meng-gugat, bahwa memang seharusnya al-Quran diperlakukan seperti itu?

    Dalam ulm al-Qurn ada asbb al-nuzl, munsabah, Makkyah-Madanyah dan lain sebagainya. Itu semuanya adalah kajian teks. Asbanunnuzul untuk konteks historisnya, munasabah untuk konteks sastranya,dan Makkyah-Madanyah untuk konteks kronologinya. Tradisi kajiansemacam itu sudah lama ada dalam Islam. Anda bisa lihat dalam tulisanal-Zamakhsyari banyak ditemukan kajian sastra dalam al-Quran. Itubukanlah masalah asing di dalam sejarah Islam. Boleh jadi penolakanmereka disebabkan karena yang digunakan adalah istilah asing, sepertihermeneutika, apalagi istilah tersebut datang dari Barat. Padahal sebenarnyasedari awal hal itu sudah ada dalam Islam.

    Ada pandangan sejumlah ulama klasik yang menyatakan bahwa orangtidak akan bisa memahami al-Quran tanpa memahami asbb al-nuzl.Jadi sejatinya kajian historis terhadap al-Quran itu absah dalam tradisitafsir. Boleh jadi, orang menjadi alergi dengan pendekatan historis atas al-Quran karena kajian belakangan ini banyak menggunakan term-term Barat.Padahal itu bagian dari tradisi atau khazanah kita sendiri.

    Menurut Anda banyaknya sarjana Muslim yang berani, terutama abad-abad belakangan ini, dalam menyingkap keyakinan atau tafsir yang berbedasebagai bentuk dari kesadaran baru dari kesarjanaan Islam atau hanyagejala sesaat saja?

    Bagi saya ini gejala yang sudah sangat lama, mulai dari masa klasikhingga masa modernismenya Ahmad Khan, yang kemudian juga terjadidi Mesir. Tafsir-tafsir yang berbeda dari mainstream, karena berpijak padakonteks zamannya masing-masing, dalam sejarah Islam terus berjalan,tidak pernah vakum. Bahkan kecenderungan belakangan ini justru semakinkuat dan mengarah kepada bentuk-bentuk penafsiran yang tematis.Quraish Shihab mengatakan bahwa tafsir mawdl atau tematis itu palingbagus dibanding yang lain.

  • a b1583

    Taufik Adnan Amal

    Jadi, fenomena tafsir seperti ini bukan gejala sesaat. Dan ini bagusuntuk perkembangan pemahaman Islam. Bagaimanapun masyarakatdengan sendirinya akan menyaring berbagai perkembangan pemahamankeagamaan yang beragam. Biarlah masyarakat yang menyikapi. Merekamemiliki mekanisme sendiri un-tuk menyaring berbagai gagasankeagamaan. Ketika muncul fatwalarangan natal bersama dari MUI,misalnya, masyarakat tidak me-respon, mereka diam. Mereka ada-lah silent majority yang memangmemiliki mekanisme sendiri da-lam menyaring berbagai gagasankeagamaan. Artinya, kita haruspercaya bahwa di masyarakat ter-dapat mekanisme yang akan mem-bentuk konsensus yang diyakinioleh mereka.

    Sedari awal kita tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluraldan kaya akan perbedaan. Mulai beda suku, bahasa, budaya hingga agamadan kepercayaan. Karena itulah, kita menganggap relevan membicarakanpluralisme. Namun, lagi-lagi, karena kesalahpahaman dan ketidaktahuan,paham ini dilarang. Mereka yang menolak, seperti MUI, menerima pluralitastapi tidak pluralisme. Bagaimana pemahaman Anda terhadap pluralisme?

    Menurut saya, pluralisme adalah keniscayaan, kodrati. Al-Quransendiri menjelaskan tentang keragaman ciptaan, bukan hanya manusiatapi juga alam semesta: ada siang dan malam, ada langit dan bumi,semuanya beragam. Bagaimana kita akan menolak pluralisme yangmerupakan sunatullah. Tanpa keragaman, kelangsungan manusia tidakakan berjalan. Contoh yang paling sederhana, laki-laki dan perempuan,tidak mungkin ada kehidupan kalau hanya ada laki-laki atau kalau hanyaada perempuan. Di dalam al-Quran pun banyak sekali dikatakan bahwadunia ini memang diciptakan dengan keanekaragaman yang luar biasa.

    Seharusnya negara bertugas

    melindungi penganut berbagai

    keyakinan keagamaan. Hak

    berkeyakinan merupakan bagian hak

    asasi manusia yang tidak bisa

    dimungkiri, sekalipun oleh negara.

    Apabila negara memaksakan suatu

    keyakinan resmi kepada sebagian

    warganya, maka itu sudah termasuk

    pelanggaran HAM.

  • a b1584

    Membela Kebebasan Beragama

    Penolakan terhadap paham itu dikarenakan adanya ketakutan bahwapluralisme akan melahirkan sinkretisme dan relativisme. Bagaimanamenurut Anda?

    Menurut saya, itu adalah akibat yang wajar dan biasa saja. Tidak adamasalah sejauh hal itu tidak menimbulkan gangguan di dalam ruangpublik. Artinya, jikapun sinkretisme dan relativisme menjadi bagian dariimplikasi paham pluralisme, bukanlah problem yang berarti, selama hanyadi ruang privat.

    Ketakutan yang lahir bukan tanpa alasan. Lembaga-lembaga seperti MUIberusaha membentengi keimanan umat dengan adanya paham pluralismeyang berlaku di ruang publik. Karena ada anggapan bahwa menerapkanpluralisme berarti melakukan penodaan terhadap agama. Tanggapan Anda?

    Iman itu bagaikan tonggak. Bila kita goyang-goyang terus kitapancangkan iman itu kembali, kemudian digoyang lagi lalu dipancangkan,maka akan semakin kuat tonggak iman itu. Kalau tidak demikian, kitatidak pernah tahu apakah iman masyarakat itu kuat apa tidak. Lagi pula,bila kita sepakat bahwa itu adalah bagian dari wilayah kehidupan yangprivat, mengapa harus dibentengi?

    Tuduhan terhadap praktik keyakinan seperti Usman Roy dan LiaAminuddin adalah jelas: mereka telah melakukan penodaan terhadapagama. Sehingga, mereka harus ditindak. Apakah alasan penodaan agamaini bisa diterima?

    Hal-hal seperti itu sebetulnya dibiarkan saja. Lagi-lagi, masyarakatpunya mekanisme sendiri untuk menyaring setiap aliran yang bermunculan.Dalam sejarah Islam banyak sekali aliran keagamaan yang bermunculantapi kemudian hanya beberapa waktu yang bertahan. Itu bukti bahwa adamekanisme yang secara alami menyaring aliran-aliran yang tumbuh dalamIslam.

    Alasan lainnya, boleh jadi bahwa agama yang diyakini dinilai sudahtidak lagi mampu menjawab persoalan. Karenanya, orang mencari keya-

  • a b1585

    Taufik Adnan Amal

    kinan atau agama yang lain. Kalau mau, MUI mestinya membuat tafsiranagama yang mampu menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakatsekarang yang demikian kompleks, jangan kemudian begitu gemarmengharam-haramkan dan menyesatkan yang berbeda.

    Dalam konsep demokrasi dikenal juga dengan demokrasi pluralis yang didalamnya terjadi pertemuan dari pelbagai perbedaan, dengan melibatkanpartisipasi publik secara luas di masyarakat. Bukankah di Indonesia praktikseperti ini belum berjalan optimal?

    Seharusnya memang sepertiitu. Tapi kenapa yang terjadijustru sebaliknya, saya tidak tahu.Mungkin kita belum terlalu lamaberdemokrasi.

    Bagaimana membumikan pemi-kiran-pemikiran progresif dan kon-tekstual seperti di atas di tengahmasyarakat Indonesia yang tingkatreligiusitasnya cukup tinggi?

    Bubarkan MUI, seperti yangbelakangan ini mulai disuarakan. Dalam berbagai kesempatan! Kitamelihat bagaimana fatwa MUI telah menjadi justifikasi bagi sejumlahtindak kekerasan atas nama agama di ruang publik. Jangan ada otoritaskeagamaan resmi. Biarkan agama di wilayah privat. Jangan ada pandanganyang kuat dengan dukungan kekuatan negara yang memungkinkankelompok lain terpinggirkan atau terlanggar haknya.

    Lantas, bagaimana caranya bangsa ini menuju ke arah kesadaran dankedewasaan?

    Menurut saya, kita perlu membangun dari bawah. Bagaimanamenyemaikan pemikiran ke dalam masyarakat, dan di dalamnya nantiada proses pembelajaran yang bersifat alami.

    Pada tahap-tahap tertentu, bukan

    pada tahap awal, bisa saja agama

    menjadi pemicu dan alat untuk

    menjustifikasi serta memperluas

    konflik. Tetapi, sebetulnya ada

    kepentingan-kepentingan politik,

    ekonomi, dan sebagainya yang

    merupakan akar dari konflik yang

    kemudian, pada tahap selanjutnya,

    diberi justifikasi keagamaan.

  • a b1586

    Membela Kebebasan Beragama

    Biarkan saja semua terjadi. Setiap aliran atau agama baru yang munculakan mendapat ujian masing-masing. Mereka bisa bertahan atau tidaksangat tergantung pada kemampuan mereka menjawab tantangan zaman.Mereka punya hak untuk hidup di negeri ini dan negara punya kewajibanmelindunginya dari ancaman apapun dan dari manapun datangnya. Kitaharus melihat perbedaan dan kemunculan keyakinan yang baru secara wajarkarena akan ada proses alami yang terus menyaringnya.

    Politik penyeragaman adalah warisan Orde Baru yang dikampanyekandengan istilah Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Dengan itusebetulnya masyarakat disegregasi pada masing-masing kelompoknya, sehinggatidak ada komunikasi dan pertukaran informasi yang positif, yang justrukemudian gampang sekali menimbulkan pertentangan satu dengan lainnyasetelah lengsernya Orde Baru (Orba). Apakah konflik antarkelompok yangterjadi seperti saat ini merupakan bagian atau kelanjutan dari Orba atausebuah penggalan sejarah yang terpisah dari sebelumnya?

    Bisa saja ini terjadi karena kebijakan politik kerukunan Orba yangkeliru. Kebanyakan orang menilai bahwa konflik yang terjadi belakanganadalah konflik agama. Saya tidak setuju dengan pandangan itu. Pada tahap-tahap tertentu, bukan pada tahap awal, bisa saja agama menjadi pemicudan alat untuk menjustifikasi serta memperluas konflik. Tetapi, sebetulnyaada kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya yangmerupakan akar dari konflik yang kemudian, pada tahap selanjutnya,diberi justifikasi keagamaan. Dulu, pada masa Orba, konflik itu jarangmenggunakan justifikasi agama, karena merupakan SARA. Sekarangbanyak menggunakan justifikasi agama, karena agama memang yangpaling mudah dipakai dan ampuh untuk memobilisasi massa.

    Dengan melihat situasi sekarang ini, kira-kira apakah bangsa ini perlu rumusanpemikiran yang lebih segar untuk bisa hidup damai kembali?

    Indonesia sudah memiliki rumusan tersebut, yaitu Bhinneka TunggalIka. Dan itu dipakai untuk melihat dan menyikapi keragaman. Itulahyang sejak mula telah disadari oleh founding fathers bangsa ini. Tapipersoalannya adalah bagaimana memanfaatkan keragaman itu.

  • a b1587

    Taufik Adnan Amal

    Kalau keragaman harus bertumbuhan, lantas bagaimana kitamenjaganya? Bhinneka tunggal ika adalah jawabannya. Yang perlu kitalakukan sekarang adalah terus memperbaharui pemahaman dan penafsiranatasnya. Jadi, dari awal sebenarnya kita telah memiliki konsensus. Namunseringkali ketika konflik dan perbedaan terjadi, hal itu menjadi ancamanterhadap keragaman.

    Wawancara dilakukan pada 22 Maret 2008