cultural studies dan multikulturalisme

Upload: miftha-jrb

Post on 18-Jul-2015

566 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Cultural Studies dan Multikulturalisme A.Pendahuluan Cultural Studies dan multikulturalisme adalah kajian sosial-budaya yang didasarkan pada epistemologi teori kritis, pos strukturalisme dan posmodernisme. Kajian Cultural Studies dan multikulturalisme berkaitan dengan perkembangan budaya kontemporer seperti yang dikembangkan oleh Robert Nozik, Taylor, Richard Rorty, Michael Sandel, John Rowls. Mereka merumuskan bahwa aliran/gerakan kiri dan kanan: kiri adalah gerakan yang percaya dan mengutamakan persamaan karena mendukung sosialisme, sementara kanan lebih menekankan kebebasan karena itu mendukung kapitalisme dan pasar, perpaduan keduanya menghasilkan gerakan liberal. Dalam perkembangannya pluralitas nilai-nilai di atas menimbulkan masalah dalam bidang sosial politik yang tidak terselesaikan oleh filsafat politik yang monolitik, karena setiap nilai mengangap dirinya lebih tinggi. Namun dalam masyarakat plural dan multikultural kepentingan bersama harus menjadi pertimbangan penting ditengah perbedan dan kemajemukan. Kelompok Birmingham memfokuskan perhatinya pada representasi gender, ideology kelas, ras, etnisitas dan nasionalitas dalam teks kebudayaan pendidikan, termasuk kebudayaan media. Begitu juga dengan Madzab Frankfurt memadukan persilangan budaya dengan ideology, kemudian melihat ideology dan hegemoni sebagai suatu hal yang penting dalam Cultural Studies. Ideologi disini oleh Gramsci dipahami sebagai ide, makna, praktek dan peta makna yang mendukung kelompok tertentu. Di Inggris, cutural studies di samping memperhatikan sub-kultur dengan berbagai identitasnya, juga memperhatikan kultur kelas pekerja dan kultur generasi muda yang dianggap potensial melawan atau beroposisi terhadap bentuk hegemonik dominasi kapitalistis/neokapitalis, serta kajian tentang perilaku kelompok tertentu, seperti rocker, model gaya pakaian, rambut, musik dan ritual pesta mereka yang dianggap sebagai melawan simbolis terhadap kelompok yang dominan. Jadi, fokus Cultural Studies berkembang begitu luas dengan berupaya membongkar politik, ideologi yang ada serta kontruksi sosial ilmu pengetahuan. Ideologi disini oleh Althusser adalah kerangka konseptual yang melaluinya, kita menafsirkan dan memahami kondisi material kehidupan kita. Dengan kata lain, ideologi memproduksi budaya serta kesadaran kita tentang siapa dan apa diri kita. Bagi Cultural Studies, teori kritis dan posmodernisme, pengetahuan bukan fenomena

yang steril terhadap nilai, kepentingan, dan kuasa. Cultural Studies dapat diidentifikasi dengan karakteristik berikut: 1.Cultral studies bertujuan meneliti/mengkaji berbagai kebudayaan dan praktek buadaya serta kaitannya dengan kekuasaan. 2.Cultral studies tidak membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial politik akan tetapi mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik. 3.Cultral studies dikaji baik dari aspek objek maupun lokasi tindakan selalu dalam tradisi kritis. 4.Cultral studies berupaya mendekontruksi aturan-aturan, dan pengkotak-kotakan ilmiah konvensional lalu mendamaikan pengetahuan yang objektif-subjektif, universal-lokal. 5.Cultral studies tidak harus steril dari nilai-nilai akan tetapi melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral masyarakat modern serta tindakan politik dan kontruksi sosial. Perhatian Cultural Studies mengenai budaya popular berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1.Narasi Cultural Studies berupaya untuk mengekplorasi bagaimana dan mengapa bentuk-bentuk budaya tertentu berkembang dan diterima dalam hubungan sosial kontemporer. 2.Narasi Cultural Studies berusaha mengekplorasi bagaimana hegemoni kelompok dominan, posisi dan fungsinya dalam dunia produksi berkembang dan bergerak 3.Asumsi betapa perlunya untuk menyikapi bagaimana hubungan hegemoni yang baru bisa dipraketkan dimasa yang akan datang. 4.Konsekwensi ketiga poin diatas bahawa Cultural Studies memberikan perhatian pada politik praktis yang seringkali mengambil tindakan yang simpati dalam mengidentifikasi resistensi terhadap hubungan dominasi dan kepemimpinan.

B.Cultural Studies, Multikuturalisme dan Posmodernisme Cultural Studies bertolak pada hiterogenitas budaya yang membentuk identitas satu kebudayaan. Sedangkan multikulturalisme adalah gagasan yang berupaya untuk

memahami hakekat kompleksistas kebudayaan serta saling berkaitan satu kultur dengan budaya lain yang menjadi unsur-unsur terwujudnya kebudayaan multicultural. Bertolak pada andaian ini, Cultural Studies dan kajian multikulturalisme berkaitan erat dengan pandangan atau keyakinan yang mengakui adanya banyak kultur yang memungkinkan suara-suara dan tuntutan yang berbeda satu dengan yang lain hidup secara berdampingan, di mana masing-masing kultur saling berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lain secara intens. Begitu juga teori posmodernisme dan feminis mendukung gagasan di atas melalui persepektif polivokal dan mengabaikan perspektif ilmiah yang monovokal, seperti paradigma yang dominan dalam peradaban Barat. Cultural Studies dan Multikulturalisme senantiasa beralas-dasar pada epistemologi postmodern. Bukti keterkaitan itu dapat dilihat pada karakteristik teori multikulturalisme yang dicirikan oleh Mary Rogers dalam paragraf berikut: 1.Penolakan terhadap nilai universalistik yang cenderung mendukung pihak yang kuat, sementara Cultural Studies teori multikulturalisme berupaya memberdayakan pihak yang lemah. 2.Teori multikulturalisme bersifat inklusif. 3.Teori multikulturalisme menerima ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai 4.Teori multikulturalisme berupaya mengubah dunia social akan tetapi juga pencerahan intelektual 5.Tidak membuat garis tegas dan jelas anatar teori dengan tipe narasi lainnya. 6.Bersikap kritis terhadap diri dan teori-teori lainnya. 7.Teoritisasi multikultural mengakui keterbatasan teori dan pandangan yang disebabkan faktor sejarah dan konteks sosial buadaya. C.Metodologi Cultural Studies dan Multikuturalisme Paradigma Cultural Studies dan kajian multikultural yang diangkat dari epistema posmodern tentu harus mempertimbangkan aspek politik, budaya dan kekuasaan. Pendekatan yang mempertimbangkan aspek-aspek tersebut diintrodusir oleh McGuigan yang disebut dengan metode multiperspektif. Pendekatan ini meneliti bagaimana hubungan antara ekonomi politik, representasi, teks dan audien bersama dalam keterlibatannya dengan kebijakan budaya.

Kellner merekomendasikan untuk memasukkan unsur ekonomi politik pada Cultural Studies dengan mengaitkan faktor ekonomi. Dengan demikian, maka kajian Cultural Studies dan kajian multikultural mengandung aspek berikut: 1.Dapat menunjukkan bagaimana produksi budaya berlangsung di dalam relasi historis, politik dan ekonomi yang secara khusus menstrukturkan makna tekstual. 2.Menunjukkan bagaimana masyarakat kapitalis diorganisir menurut cara produksi dominan yang terpusat komoditi dan upaya mengejar keuntungan. 3.Memperhatikan fakta bahwa budaya diproduksi di dalam faktor dominan dan subordinasi. 4.Membukan batas-batas dan cakupan diskursus dan teks ideologis dan politis yang mungkin terjadi pada alur historis tertentu. Selain pendekatan yang ditawarkan McGuigan dan Kellner, pendekatan Konstruktivistis juga bisa menjadi alternatif. Pendekatan ini diintrodusir oleh beberapa golongan posstrukturalis dan posmodernis yang berasumsi bahwa teori bukan represesntasi akurat tentang realitas sosial-budaya. Karena kebenaran, makna, dikonstruksi oleh para aktor yang diakumulasi melalui observasi terlibat (parsipatoris), wawancara, diskusi, studi kasus, analisis tekstual. Sebuah kajian yang memberi tekanan khusus pada makana budaya, pencarahan dan emansipatoris, maka metode-metode kualitatif (etnografi, hermeneutika, semiotika, teori narasi, dekonstruksi, interaksi simbol) lebih tepat untuk kajian ini. [] *) Tulisan ini sebagian besar didasarkan pada buku Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epsitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme dan Cultural Studies, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, Tahun 2006. Diposkan oleh TSANIN A. ZUHAIRY di 4/26/2009 02:10:00 AM

Sejarah Cultural Studies di Indonesia Posted by Teguh Iman Prasetya pada Rabu, November 26, 2008

Kajian Budaya di Indonesia Nuraini Juliastuti dan Antariksa Seperti diingatkan oleh Stuart Hall, kajian budaya selalu berbicara tentang artikulasi antara budaya dan kekuasaan (Morley and Chen, 1996: 395). Apa yang dipertaruhkan dalam kajian budaya adalah hubungan antara politik dan kekuasaan, perlunya perubahan dan representasi dari dan untuk kelompok sosial yang terpinggirkan, dalam kelas, gender, dan ras, juga dalam hal umur, nasionalitas, dsb. Kajian budaya bersifat politis karena ia adalah ranah akademis yang sekaligus merupakan sebuah gerakan politik pemberdayaan kelompok-kelompok sosial marjinal. Dalam hal minat kajiannya, kajian budaya memang bersifat plastis dan sebagai implikasi dari sifat tidak disiplinnya, maka dalam hal teori dan metodenya, kajian budaya memang bersifat eklektis. Beberapa metode yang sering dipakai dalam kajian budaya adalah etnografi, pendekatan tekstual (semiotika, teori naratif, dan dekonstruksionisme), dan berbagai studi resepsi (Barker, 2000: 5-34). 1 Sejak kajian budaya dipopulerkan pada tahun 1960-an di Inggris, ia telah mengalami perkembangan teori yang cepat, dan terus menerus meluaskan ekspansinya ke berbagai tempat di seluruh dunia. Semakin banyak universitas yang membuka program studi kajian budaya secara formal, terdapat peningkatan yang luar biasa pada penerbitan buku-buku dan jurnal-jurnal kajian budaya,2 juga bermunculan situs-situs tentang kajian budaya di internet. Bagi Hall sendiri, fenomena meluasnya kajian budaya ini adalah cerita kesuksesan besar selama 30 tahun (Jordan, 2000). Sekedar sebagai gambaran tentang kepopuleran kajian budaya, sekarang ini terdapat tiga jurnal internasional utama kajian budaya yaitu Cultural Studies (berawal sebagai Australian Journal of Cultural Studies), European Journal of Cultural Studies, dan International Journal of Cultural Studies. Selain ketiga jurnal itu, terdapat lusinan jurnal kajian budaya lain yang telah terbit tersebar di banyak negara, antara lain: Australia: Antithesis, Arena, Continuum, Culture and Policy, Southern Review, dan UTS Review Kanada: Borderlines, Canadian Journal of Social and Political Theory, Cine Action, Parallelogram, Space and Culture, dan Topia: A Canadian Journal of Cultural Studies. Jerman: Journal for the Study of British Culture. Italia: Anglistica: Annali Instituto Orientale Napoli. Swedia: Young. Finlandia: European Journal of Cultural Studies. Afrika Selatan: Critical Arts: A Journal for Cultural and Media Studies dan Pretexts: Studies in Writing and Culture

1. Lihat juga pengantar kajian budaya yang ditulis oleh Melani Budianta (1995); juga dipresentasikan di kuliah umum ini. 2. Dalam wilayah penerbitan ini, Routledge, Sage, dan Blackwell kini juga dikenal sebagai penerbit utama buku-buku dan jurnal-jurnal kajian budaya. Spanyol: Culture and Power. Inggris: Angelaki, Gender, Place and Culture, Media, Culture & Society, New Formations, Parallax, Theory, Culture & Society, Third Text: Third World Perpectives on Contemporary Art & Culture, Social Identities: A Journal of Race, Nation and Culture, dan Soundings Amerika: Boundary2, College Literature, Critical Inquiry, Critical Studies in Mass Communication, Cultural Critique, Discourse, Theoritical Studies in Media and Culture, Journal of American Culture, Journal of Communication Inquiry, Journal of Popular Culture, Journal of Urban and Kajian budaya, Public Culture, Rethinking Marxism, Social Semiotics, Social Text, Transition, Women and Language, dan Travesia (jurnal yang didekasikan untuk kajian budaya Amerika Latin). Untuk kajian budaya di Asia ada jurnal Inter-Asia Cultural Studies yang mempunyai jaringan kerja dengan 26 jurnal di Asia dan Australia. Selain jurnal, juga terdapat beberapa konferensi internasional penting seperti International Crossroads in Cultural Studies Conferences yang diadakan setiap 2 tahun di Eropa. Konferensi yang pertama diadakan di Tampere, Finlandia, pada 1998. Pada 2000, konferensi ini diadakan di Birmingham, dan pada musim panas 2002 ini akan diadakan di Amsterdam. Sebelumnya, di University of Illinois pada 1983 dan 1990, sudah diadakan konferensi kajian budaya internasional yang pertama. Pada dekade 90-an juga pernah berlangsung konferensi Dismantling Fremantle di Australia dan konferensi Trajectories di Hongkong (Jordan, 2000).3 Kajian Budaya: Kasus Indonesia Pada tahun-tahun pertama kemunculannya, jurnal Kalam (pertama terbit 1994) telah membawa atau menunjukkan semangat kebaruan yang menyegarkan bagi penelitian kebudayaan di Indonesia. Kalam menunjukkan bahwa kebudayaan bisa diselidiki dengan cara yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Prismajurnal ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik yang sangat berpengaruh di kalangan intelektual Indonesia pada dekade 70-an dan 80-an (berhenti terbit pada 1999). Ciri utama dari penelitian-penelitian kebudayaan yang muncul di Prisma adalah menonjolnya pendekatan kuantitatif. 4 Di sini kebudayaan dianggap sebagai suatu gejala sosial yang bisa didefinisikan dan diukur dengan tepat. Metode yang paling sering

digunakan adalah survei dan analisis isi. Kalam muncul ketika perdebatan tentang pascamodernisme masih hangat. Berbeda dengan Prisma, penelitian-penelitian kebudayaan yang dimuat di Kalam ditandai dengan kuatnya kesadaran akan pluralisme kebudayaan dan keterkaitan kebudayaan dengan kekuasaan suatu semangat yang dibawa oleh kajian budaya. Beberapa jurnal lain juga penting disebut di sini sebagai perintis penelitian kebudayaan yang berbeda haluan dengan Prisma: Horison (terbit pertama 1966)5, Ulumul Quran (sudah tidak terbit lagi), Basis, Jurnal Seni Pertunjukan, dan Jurnal Perempuan. Ada juga beberapa debat, diskusi, seminar, atau konferensi yang menjadi pendorong tumbuhnya kajian budaya di Indonesia. Misalnya perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan 80-an yang mulai melihat keterkaitan selera sastra dengan kelas (Heryanto: 1985), pidato Nirwan Dewanto pada Kongres Kebudayaan 1991 yang mengemukakan ide 3. Jordan melihat dua konferensi di Australia dan Hongkong ini sebagai reaksi atas hegemoni Anglo-American dalam kajian budaya. 4. misalnya tema Prisma tentang kebudayan pop pada edisi Juni, 1977 dan Mei, 1987. Editor Prisma Aswab Mahasin bahkan menganggap kebudayaan pop tidaklah cukup serius untuk menjadi tema Prisma. Lihat juga kritik Hikmat Budiman atas posisi Prisma ini (Budiman, 2002: 147-152). 5. Lihat uraian David T. Hill tentang Horison sebagai kepanjangan Orde Baru (Hill, 1993). ide tentang pluralisme kebudayaan dan identitas keindonesiaan, juga pidato Melani Budianta pada ulang tahun Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1995 yang memberikan pengantar tentang kajian budaya untuk pembaca Indonesia. Pada Juli, 2000 The British Council juga menyelenggarakan Workshop on Cultural Studies di Surabaya. Sayang sekali, belakangan ini Kalam tampaknya semakin mempersempit isinya hanya ke wilayah kesastraan. Dan cukup aneh, bahwa Ahmad Sahal, salah satu editor Kalam, malah bersikap menolak kajian budaya. Dalam Bentaralembaran kebudayaan Kompas yang terbit sekali sebulan sejak 2000ia mengatakan bahwa agenda politik kajian budaya bisa membawa akibat penyingkiran estetika. Menurutnya sifat politis kajian budaya hanyalah merupakan kelanjutan euforia sosial politik yang sedang melanda ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan seni (Sahal, 2000).6 Sikap ini kemudian

juga diikuti oleh Agus Dermawan T. (2000) dan Jim Supangkat (2000). Jika kecurigaan Sahal dan Agus Dermawan T. pada agenda politik kajian budaya dijadikan pijakan untuk membela estetika idealis (Sahal) atau estetika murni (Dermawan T.), maka Supangkat beranggapan bahwa sifat kajian budaya yang plastis, tidak disiplin, dan eklektis dianggap akan membingungkan dan menyesatkan jika dipakai sebagai metode kritik seni.7 Usaha lain yang cukup serius dalam penelitian kebudayaan juga dilakukan oleh Lembaga Studi Realino sejak awal 90-an di Yogyakarta dengan merintis penerbitan seri monografi Siasat Kebudayaan. Penelitian-penelitian Realino melihat kebudayaan dari perspektif ekonomi-politik dan tampak sekali bahwa semua topik yang dibahas bersambungan kuat dengan masalah-masalah lokal. 8 Pada 1999, di Yogyakarta juga berdiri KUNCI Cultural Studies Center. KUNCI menerbitkan newsletter, kertas kerja, publikasi di internet, dan bergabung dengan jaringan kerja kajian budaya di luar Indonesia (termasuk berafiliasi dengan InterAsia Cultural Studies Center). Mungkin karena peredaran newsletter dan kertas kerjanya masih sangat terbatas, wacana kajian budaya yang secara eksplisit dikedepankan KUNCI baru lamat-lamat saja terdengar, dan sedikit sekali akademisi Indonesia yang memberikan respon. Pada 2001 di Jakarta juga berdiri Desantara, Institute for Cultural Studies.9 Kajian media (media studies), bisa dikatakan sebagai kajian yang masuk dalam aliran utama penelitian kebudayaan di Indonesia, mengingat begitu banyak penelitian yang telah dibuat dalam bidang ini. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), Institut Studi Arus Informasi (ISAI) di Jakarta, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) di Jakarta adalah contoh lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri untuk melakukan kajian media. Meskipun tentu saja masih bisa diperdebatkan apakah kajian-kajian media yang telah mereka lakukan bisa dimasukkan dalam kajian budaya atau tidak. Dan yang secara tradisional banyak melakukan kajian media juga adalah para mahasiswa Ilmu Komunikasi (S1 maupun S2) di universitas-universitas di Indonesia. 6 Pendapat Sahal juga didukung oleh Moh. Faiz Ahsoul yang menganggap kajian budaya hanya sekedar

meramaikan mimbar akademik di Indonesia (2001). 7 Kami telah membuat bantahan atas tiga tulisan itu (Antariksa, 2000; Juliastuti, 2000). Lihat juga bantahan Enin Supriyanto (2000). Belakangan Budi Darma juga berposisi menolak kajian budaya dalam tulisannya Ironi Si Kembar Siam: tentang Posmo dan Kajian Budayayang juga dimuat di jurnal Kalam. Menurutnya kajian budaya pada hakekatnya telah gagal mengemban misi keilmuan, yaitu kemaslahatan umat manusia (Darma, 2001). 8 Beberapa yang bisa disebut antara lain: Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa) (1992), Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan (1994), Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis (1998), Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial, Siasat Politik (Kethoprak) Massa Rakyat (2000), dan Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global (2001). 9 Kajian budaya juga muncul dalam bentuk populer dalam beberapa media massa seperti Kompas dan Latitudes (terbit pertama tahun 2001). Sedikit banyak mereka ini turut memberikan sumbangan kajian budaya di Indonesia. Kajian media memang potensial untuk menjadi pintu masuk ke kajian budaya, tetapi hal ini tidak selalu berarti setiap bentuk kajian media bisa dimasukkan dalam kajian budaya.10 Paradigma utama kajian media yang banyak dilakukan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Indonesia sampai sekitar 5 tahun lalu misalnya, adalah analisis isi media yang bersifat kuantitatif dan selalu penuh dengan grafik dan data statistik. Banyak juga usaha untuk melakukan pengukuran dampak media pada pembaca atau pemirsa. Kajian semacam ini tentu tidak bisa dimasukkan dalam kajian budaya. Baru pada akhir 90-an mulai muncul pendekatan ekonomi-politik dalam mengkaji media mulai dipakai, jenis-jenis analisis baru juga mewarnai kajian media, seperti

semiotika, analisis wacana, atau audience research seperti yang dalam kajian budaya, misalnya, dilakukan oleh Ien Ang (1985). Babak paling baru dari perkembangan kajian budaya di Indonesia saat ini adalah institusionalisasi kajian budaya pada lembaga pendidikan formal. Di Universitas Indonesia, sejak tahun 1998 mulai ada kelas Kajian Budaya Inggris, yang merupakan bagian integral dari mata kuliah pengkhususan yang harus diambil peserta S2 bidang Ilmu Susastra dengan pengutamaan Sastra Inggris. Pada tahun yang sama, di Universitas Indonesia (UI) juga terdapat kelas Pengantar Kajian Budaya yang harus diambil oleh mahasiswa S1 Sastra Inggris tahun terakhir.11 Di Universitas Petra, Surabaya, Jurusan Sastra Inggrisnya juga berencana menawarkan beberapa mata kuliah bebas di bidang kajian budaya ini. Mereka berencana menjadikan kajian budaya sebagai pengutamaan (major), bersama-sama dengan pengutamaan yang telah ada, yakni kesusastraan dan linguistik. Tampaknya apa yang terjadi di UI dan Universitas Petra, menunjukkan kesamaan dengan perkembangan kajian budaya di Inggris. Di Inggris kelahiran kajian budaya mempunyai pertalian erat dengan Sastra Inggris (Harris, 1992; Inglis, 1993).12 Tahun 2000 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta membuka Program Pascasarjana Religi dan Budaya, yang mandiri terpisah dari program studi lain. Pada tahun yang sama Universitas Udayana Bali juga membuka Program Pascasarjana Kajian Budaya. Kajian budaya yang dikembangkan di Universitas Udayana lebih dekat dengan antropologi dan kajian turisme (tourism studies).13 Penutup Sifat kajian budaya selalu berkutat dengan masalah-masalah kekuasaan, kebutuhan akan perubahan dan representasi bagi kelompok-kelompok sosial marjinal. Dengan begitu kajian budaya merupakan sebentuk teori yang diproduksi oleh para pemikir yang menyadari bahwa pengetahuan teoritis adalah sebuah praktik politik. Dalam kajian budaya, produksi pengetahuan teoritis dipahami sebagai sebuah praktik politik, dengan dasar pemikiran bahwa pengetahuan tidak pernah objektif dan netral tetapi selalu terkait dengan masalah posisionalitastempat seseorang berbicara, kepada siapa, dan dengan tujuan apa. Karena itu kajian budaya bersifat lokal, bukan universal. Agenda-agenda politik kajian budaya sangat beragam, sesuai dengan permasalahan di masing-masing negara (Barker,

10 Memang ada kekhawatiran di kalangan akademisi bahwa membanjirnya jumlah penelitian media dan kebudayaan pop akan membuat kajian budaya menjadi dangkal (Morris, 1996). 11 Manneke Budiman, Melani Budianta, dan Junaidi adalah pengajar-pengajar di kelaskelas tersebut. Pada 1995, Melani Budianta dan Ariel Heryanto juga pernah menjadi dosen tamu untuk Kajian Budaya di UI (komunikasi pribadi dengan Manneke Budiman dan Melani Budianta). 12 Meskipun ada juga yang pesimis dengan fenomena ini seperti Harold Bloom yang mengatakan, I do not believe that literary studies as such have a future. What are now called Departments of English will be renamed departments of Cultural Studies where Batman comics, Mormon theme parks, television, movies and rock will replace Chaucer, Shakespeare, Milton, Wordsworth, and Wallace Stevens (Bloom 1994: 519). 13 Pada 2001, Fakultas Sastra UGM berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Tetapi tentu saja kita masih harus menunggu apakah pergantian nama tersebut juga akan membawa perubahan berarti dalam kurikulum dan penelitian kebudayaan yang dilakukan atau ini hanya sekedar ganti nama saja. 2000). Kajian budaya di Perancis misalnya, peduli dengan persoalan-persoalan percampuran etnis Perancis; kajian budaya Australia peduli pada karakter nasional Australia yang direpresentasikan dalam media massa;14 kajian budaya India sangat tertarik pada penemuan kembali budaya dari mereka yang terpinggirkan secara politik oleh negara dan oleh ideologi hegemonik; misi jaringan kerja Inter-Asia Cultural Studies adalah menginterpretasikan kembali budaya Asia dan identitas keasiaan di tengah arus globalisasi. Ketika KUNCI Cultural Studies Center didirikan pada 1999, misinya adalah untuk mempopulerkan dan menawarkan pendekatan kajian budaya sebagai bidang interdisipliner dalam studi sosial dan kebudayaan di Indonesia. Minat kajiannya adalah bidang-bidang yang selama ini terpinggirkan dalam penelitian kebudayaan di Indonesia, misalnya: budaya remaja, budaya pop, dan homoseksualitas. Bidangbidang ini bukan hanya didekati lewat penelitian-penilitian, melainkan KUNCI juga

melibatkan diri dalam berbagai gerakan di tingkat bawah sebagai bentuk sikap kritis terhadap ideologi hegemonik (negara, media massa dsb.) dan keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial yang marjinal.15 Tentu saja masih banyak varian kajian budaya lain yang bisa dikembangkan di Indonesia. Yang juga mendesak untuk dikerjakan adalah membangun jaringan kerjasama di antara berbagai kelompok yang juga menaruh perhatian pada kajian budaya, baik yang bergerak di dalam maupun di luar universitas. Kerjasama seperti yang sudah dilakukan antara UI dan Universitas Petra misalnya, bisa dikembangkan dalam bentuk yang lebih luas dengan kelompok-kelompok lainnya (mengapa tidak ada kerjasama dengan Universitas Sanata Dharma atau Universitas Udayana?). Dengan begitu orientasi kajian budaya yang mendesak dan bisa dikembangkan di Indonesia bisa dikerjakan bersama-sama. Nuraini Juliastuti dan Antariksa, Editor pada KUNCI Cultural Studies Center. 14 Perdebatan tentang kajian budaya di beberapa negara seperti di Inggris atau Amerika misalnya, malah sudah sampai pada persoalan apakah studi tentang kajian budaya masih perlu dilakukan. Menurut Ziauddin Sardar bahwa sebagai sebuah disiplin, kajian budaya tidak punya hak untuk eksis. Ia harus dihilangkan dari silabus-silabus universitas. Sudah ada cukup banyak disiplin yang akan melakukan klaim-klaim kajian budayasosiologi, antropologi, psikologi, dsb. (Sardar, 1997). Atau juga pertanyaan yang dilontarkan oleh Angela McRobbie bahwa booming kajian budaya ini jangan-jangan hanya berperan kongkret menghasilkan lulusan-lulusan yang punya prospek lapangan pekerjaan bagus di media atau perusahaan-perusahaan yang dulu produknya biasa menjadi objek kajian budaya. Ia mengatakan, Of the many sins committed by the disciplines of media studies and cultural studies, one of the most serious, according to their critics, is that they produce unemployable graduates. Yet hardly a week goes past without my receiving a letter that runs something like this: Dear Angela, I thought youd like to know that I am now working on the advice column of Just Seventeen. The final-year research project I did on girls magazines and their readers turned out to be very useful (McRobbie, 1997). 15 Sebagai contoh, Newsletter KUNCI ditujukan untuk orang kebanyakan. Salah satu tujuannya adalah

untuk membuat teori menjadi lebih bisa diakses oleh banyak orang. Setiap tahun KUNCI juga membuat kampanye untuk bersikap kritis terhadap budaya konsumen, Buy Nothing Day dan Turn Off TV Week. Atau, yang sedang dikerjakan, membuat sebuah program radio untuk remaja Cargo Culture yang bertujuan agar mereka bisa bersikap kritis terhadap lingkungannya. Public Lecture and Workshop Asian Studying Asia: Cultural Studies for Asia Context Yogyakarta, May 14-17 2002 2002 KUNCI Cultural Studies Center

Epistemologi Feminis A.Pendahuluan Sejak masa Yunani Kuno dan tradisi Yahudi-Kristen, telah berkembang streotipe bahwa laki-laki lebih aktif ketimbang perempuan, laki-laki lebih rasional dan perempuan emosional. Asumsi tersebut mendorong lahirnya pemikiran beberapa filsuf/ilmuwan yang memojokkan peran kaum perempuan. Salah satu asumsi yang cukup mengejutkan diaungkapkan oleh Bapak Rasionalisme Modern, Rene Descartes yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak rasional serta tidak kapasitas yang mumupuni untuk menggeluti bidang ilmu pengetahuan. Thomas Aquinas dalam Summa Theologia juga menyebutkan bahwa perempuan bukan makhluk yang diciptakan pertamakali dan karenanya tidak sempurna. Ketidaksempurnaan tidak boleh tidak perempuan harus mendekam dalam dunia privat. Lebih pesimistis lagi (untuk tidak mengatakan misoginis) juga diungkapkan Francis Bacon bahwa perempuan memiliki ciri/sifat yang buruk, menghalangi kesuksesan laki-laki serta tidak layak menduduki jabatan publik. Perjalanan sejarah dan kebudayaan yang panjang yang telah menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki, mendorong lahirnya pemberontakan yang menuntut emansipasi dan kesamaan hak dengan laki-laki. Gagasan ini merupakan pernyataan feminis paling awal di Inggris, yang pernah dilontarkan oleh Mary Wollstonecraft dalam bukunya A Vindication of the Rights of Women (1792). Gagasan ini pula menjadi salah satu entry-point yang mendorong lahirnya gerakan dengan ragam pemikiran dan aliran. Menurut Rosemarie Tong, aliran-aliran feminis yang berkembang sejak pasca Renaisans dan Abad Pencerahan adalah: feminis marxis, feminis radikal, feminis psikoanalisis, feminis sosialis, feminis eksistensialis dan feminis pasca modernis.

Sedangakan Sandra Harding mengelompokkan aliran feminis lebih bersifat epistemologis dengan mengunakan adanya tiga aliran yaitu; feminis empiris, feminis standpoint dan feminis posmodernis. Masing-masing aliran ini memberikan tekanan yang berbeda dalam hal subjek yang diperjuangkan. B.Epistemologi Feminis Bertolak dari kebedaan ragam dan aliran gerakan feminis, menunjukkan gerakan feminis sebagian besar dikonstruksi di atas kesadaran ilmiah. Studi-studi wanita yang lahir menggunakan pendekatan ilmiah dengan menempatkan wanita sebagai pusat analisis. Tentu pertama-tama dengan mengkritisi kecenderungan ilmu pengetahuan yang menurut pandangan kaum feminis bersifat endrosentris/ phallosentris. Kritik terhadap ilmu pengetahuan tradisional (positivisme) menjadi dasar untuk mengkontruksi teori-teori feminis berdasarkan pengalaman dan kepentingan kaum perempuan. Upaya untuk mengangkat perspektif wanita dalam bidang ilmiah juga merupakan pengakuan bahwa terdapat hubungan antara kuasa dan pengetahuan yang inheren dalam ilmu pengetahuan. Dengan menyobek selubung ideologi-bias gender dalam pengetahuan modern, epistemologi dan riset feminis tak lain merupakan penyempurnaan dari Teori Kritis madzab Frankfurt dengan memasukkan konsep ilmu dan kepentingan atau ilmu dan ideologi dalam analisisnya mengenai masalah gender. Karena identitas gender tidak ditentukan secara biologis akan tetapi oleh produk dan konstruksi sosial. Hal ini sejalan dengan asumsi Geerit Huizer dan Bruce Mannheim (1979), bahwa pihak peneliti (biasanya laki-laki) selalu berada di atas objek yang diteliti dan ini harus di dekonstruksi dengan menggantikan pendekatan metodologi yang mengutamakan pandangan arus bawah. Dengan demikian, ilmuwan sosial secara sadar telah berpihak pada orang-orang yang bekerjasama dengan mereka dan berusaha melihat kenyataan dari cara pandang orang-orang yang ditelitinya. Dengan mengancang bangunan epsiteme emansipatoris, yang peka terhadap hak-hak perempuan, tidak boleh tidak, yang harus dikuras lebih awal adalah ideologi ilmu pengetahuan modern (positivisme) yang berdimensi laki-laki. Ilmu pengetahuan modern yang secara metaforis dikemukan sebagai knowledge is power menurut Harding, tidak lebih sebagai suatu bentuk pengetahuan laki-laki yang berdimensi penguasaan dan dominasi. Lalu, mungkinkah ilmu pengetahuan barat yang sangat borjuis dan endrosentris dapat digunakan untuk tujuan emansipatoris? Menurutnya,

tentu tidak mungkin, karena itu harus dikonstruksi oleh epistemologi yang berspektif feminis. Dalam mengembangkan teorinya, pendekatan feminis tidak menerima pendekatan positivis atau fungsionalis karena pertimbangan berikut: 1.Pendekatan positivis menekankan penemuan kebenaran universal dengan metode verifikasi. 2.Komitmenya pada objektivitas dan netralitas peneliti 3.Klasifikasinya yang dikotomis serta penekanannya pada prisip kausalitas. 4.Pandangan-pandangannya yang ahistoris. 5.Tidak melihat pemakaian bahasa sebagai media untuk menyampaikan pemikiranpemikiran, konsep-konsep dan teori-teori. Epistemologi feminis justru mempertimbangkan faktor ras, etnis, sosial budaya dan historis dalam mengonstruksi epistemologinya. Janet Chavetz mengemukakan beberapa unsur yang terdapat dalam teori sosiologi feminis: 1.Masalah jenis kelamin sentral dalam semua teori 2.Hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai masalah 3.Hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai alamiah dan kekal 4.Kreteria teori sosiologi feminis dapat digunakan untuk menentang, meniadakan atau mengubah status quo yang merugikan atau merendahkan derajat perempuan. C.Metodologi Feminis Secara substansial, epistemologi feminis memberikan pendasaran pada satu bentuk metodologi yang mampu merekam situasi mental dan kondisi sosial yang disebabkan oleh ketertindasan dan ketidakadilan sistem sosial. Tentu untuk memenuhi maksud ini, Liz Stanley dalam Feminist Praxis, Research, Theory and Epistemology in Feminist Sociology (1992), memberikan tekanan dalam riset mengenai feminisme kepada empat aspek pokok, pertama, perlunya perubahan perspektif dari pria ke sudut pandang perempuan, kedua, dibutuhkan pergeseran dari metode ilmu-ilmu pengetahuan ke alaman (hard science) ke metode ilmu-ilmu pengetahuan sosialbudaya (soft science), ketiga, dialog feminis dan wacana persahabatan, yakni dialog yang bersahabat untuk membangkitkan nilai-nilai dan pengalaman feminis serta penelitian yang bersudut pandang bersahabat, bukan missogini, keempat, epistemologi yang mempertimbangkan aspek lokal, sosial, dan kedudukan perempuan. Dengan memperhatikan beberapa askpek itu, peneliti lebih komunikatif, dan partisipatoris. Konsekuensi metodologi feminis ini mengandaikan, peniliti/partisipan memiliki kebebasan dalam mengarahkan proses collect data sebagai bahan dasar untuk mengancang sebuah perubahan sosial/emansipasi. Dalam hal ini, metodologi

feminis secara umum identik dengan asumsi postmodernis yang mengahargai suatu kelompok yang lain (perbedaan), suara kaum perempuan pinggiran, suara perempuan local, etnis ras yang selama ini diabaikan. [] *)Tulisan ini sebagian besar didasarkan pada buku Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epsitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme dan Cultural Studies, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, Tahun 2006. Diposkan oleh TSANIN A. ZUHAIRY di 4/26/2009 02:03:00 AM Label: Epistemologi, feminisme Teori Poskolonial: Melawan Narsisme dan Kekerasan Epistemologi Modern A.Pendahuluan Teori Poskolonial kini menjadi teori yang seksis, khususnya bagi kajian akademis dunia Timur pada akhir abad ke-20. Teori Poskolonial sering juga disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis, yang senantiasa memposisikan dua entitas secara biner, diametral atau vis a vis. Model berpikir dualis ini, sebenarnya sudah dikenal sejak masa Yunani. Plato memunculkan dualisme antara dunia idea versus dunia fisis/fenomenal, dualisme opini/doxa versus episteme, dualisme rasio versus empiris, dualisme tubuh versus jiwa, tuan versus budak. Pada abad pertengahan, dualisme antara kepercayaan kita versus kepercayaan yang lain, ilmu versus iman, menjadi konsep oposisional yang berkembang. Descartes melanjutkan dualisme rasio (res cogitans) dengan tubuh (res extensa). Model berpikir oposisi biner di Abad Pertengahan, menurut Richard King berkembang lebih lengkap: publik versus privat, masyarakat versus individu, sains versus agama, agama institusional versus agama pribadi, sekular versus suci, rasional versus rasional/non rasional, laki-laki versus perempuan. Sejak Abad Pencerahan tampak representasi kebudayaan Barat sangat dominan dan mengagungkan kebudayaan Apollonian. Dominasi kebudayaan Barat ini terasa semakin dominan dalam teori ilmu sosial-budaya modern. Barat cenderung menahbiskan diri sebagai bangsa lebih rasional, beradab ketimbang Timur. Model berpikir dualis yang mengendap dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur (orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan

Barat, penjajah, self, pengamat, subyek dianggap memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur, yang notabene sebagai terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Dalam pandangan orang Barat modern, identitas mereka berbeda dengan identitas orang Timur, yang cenderung irasional, emosional, kekanak-kanakan, jahat dan berbagai istilah peyoratif yang lain. B.Teori Poskolonial: Barat vs Timur Lepas dari kontroversi pengertian poskolonial (pos = pasca atau kritik), di sini dapat dipahami bahwa Poskolonial merupakan satu ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum orientalis) yang merendahkan Timur (masyarakat jajahannya). Karena, meminjam pendapat Edward Said, pandangan dan teori-teori yang di hasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif, tapi sengaja didesain melalui rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Dengan menggunakan pemikiran Derrida, Foucault, Gramsci dan Teori Kritis, Edward Said membongkar narsisme dan kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis. Menurut Said, kritik terhadap modernisme dan munculnya pemikiran tentang the other (yang lain) di Eropa berasal dari wilayah jajahan (seperti dalam karya Eliot, Conrad, Mann, Proust, Woolf, Lawrence, dan Joyce). Karena itu, konsep Orient (Timur) dan Occident (Barat) merupakan istilah penting dalam teori poskolonial. Wacana Barat-Timur, menurut Hasan Hanafi bukanlah suatu yang baru, karena hubungan Timur dengan Barat sudah terjadi pada masa Islam selama lebih empat belas abad yang lalu. Bahkan bisa ditelusuri lagi sampai masa Yunani dengan dunia Timur, seperti Mesir. Memang, menurut Hassan Hanafi, istilah Timur (orient) dan ketimuran (orientalism) memiliki pengertian yang berbeda. Pertama, istilah orientalisme sebagai studi wilayah, yaitu studi tentang bahasa, sastra, antropologi, dan sosiologi mengenai dunia Timur. Saat kolonialisme tumbuh subur, dunia Timur umumnya berada pada posisi negara yang dijajah, sedangkan negara seperti Inggris, Belanda, Peancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain adalah negara penjajah. Karena itu hampir semua teks-tks sosial-budaya dan agama mengenai dunia Timur yang dihasilkan ilmuwan pada waktu itu disebut kajian ketimuran atau Oriental(is). Kedua, mengacu pada model atau gaya berpikir. Yaitu gaya berpikir orang Barat dengan gaya berpikir dunia Timur yang berbeda secara ontologis dan epistemologis.

Perbedaan cara berpikir antara Timur dan Barat dapat ditemukan bukan saja pada masa kolonialisme, tapi sampai sekarang. Misalnya Tulsi B. Saral mengemukakan beberapa kelemahan komunikasi antar budaya yang bersifat analitik-reduksionis dan kuantitafif antara lain: 1)Budaya Barat terlalu banyak indra visual dan auditif: ada kemungkinan perbedaan dalam mengindra stimulasi yang sama dari bangsa yang berbeda; 2)Fokusnya hampir terbatas pada penelitian yang obyektif-empiris, sehingga menghilangkan cara berpikir mitis. 3)Terlalu bertumpu pada kebenaran obyektif (objective truth), pandangan dunia yang tunggal serta tidak memahami asumsi-asums paradigma yang digunakan. 4)Pandangan dualistik: memilah secara tegas antara tubuh-jiwa, individu-lingkungan, kesadaran individu-kesadaran kosmis. 5)Kebanyakan penelitian (studi) didasarkan pada model linier yang mekanistik. Model ini dianggap tidak tepat untuk menjelaskan dan memahami komunikasi antar budaya yang holistik.

C.Teori Poskolonial Edward Said Istilah orientalisme menurut Edward said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda: 1.Memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang berdasarkan epistemology dan ontology tertentu yang secara tegas membedakan antara timur dengan barat. Timur sebagai diskursus yang dihasilkan oleh bentuk tertentu kekuasaan dan pengetahuan kolonial. 2.Orientalisme dapat pula dipahami sebagai gelar akademis untuk mengambarkan serangkaian lembaga, disiplin dan kegiatan yang umumnya terdapat pada universitas barat yang peduli dengan kajian dan masyarakat kebudayaan timur. 3.Orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada timur. Definisi-definisi di atas dihasilkan dari ketajaman analisis Edward Said dalam menyingkap selubung ideologis orientalisme yang tumpang tindih. Oreintalisme, menurutnya, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut hubungan Eropa dan AsiaAfrika. Orientalisme juga menciptakan streotipe dan ideologi tentang the Orient yang diidentikan dengan the Other, dari the Occident (Self). Dengan demikian, Timur dan Barat merupakan hasil konstruksi (representasi) ide atau gagasan berkaitan dengan realitas sosial budaya. Imaji Barat tentang Timur, kuasa dan pengetahuan saling kait-mengait studi kaum Orientalis.

Narsisme dan Kekerasan Epistemologi Barat Narsisme adalah istilah yang dipinjam dari Sigmund Frued. Namun, Narsisme di sini ditekankan pada epistemologi/pengetahuan Barat yang mengagumi cara berpikirnya sendiri dan mengesampingkan cara berpikir lain (Timur) yang dianggap tidak selaras dan sehaluan. Meminjam istilah Gayatri C. Spivak, epsitemologi Barat memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other). Dapat diduga, buntut dari narsisme ini, menurut Spivak akan berujung pada epistemic violence (kekerasan epistemik) yang akan memposisikan yang lain sebagai subaltern. Hal ini pada dasarnya disebabkan oleh dua hal, pertama, mengakarya asumsi logosentrisme tentang logosentrisme tentang solidaritas kultural diantara masyarakat yang heterogen. Kedua, ketergantungan terhadap intelektual dan cara berfikir barat, sehingga ketika mereka bicar lebih menunjukkan suara/kepentingan barat dari suara kepentingan mereka sendiri. Untuk mengatasinya, menurut Spivak tentu membutuhkan transformasi epistemologis dengan mematahkan imperalisme pemikiran yang akan membentuk pola mentalitas anak didik dengan menolak gagasan hegemonis tersebut.cara penolakannya adalah dengan menunda persetujuan melalui pembacaan kritis dengan intelektualitas dan dengan membenturkan teks yang satu dengan teks yang lain, sehingga pembca terhindar dari retakan-retakan epistemik dan jebakan imperialisme pemikiran. [] Diposkan oleh TSANIN A. ZUHAIRY di 4/26/2009 02:16:00 AM Kepentingan dan Konstruksi Metodologi Sains: Sebuah Tatapan Teori Kritis A.Pendahuluan Teori Kritis merupakan salah satu pemikiran yang sangat berpengaruh di abad ke20, di samping Fenomenologi dan Filsafat Analitis. Aliran pemikiran ini lahir sebagai reaksi atas Positivisme Logis Lingkaran Wina (Wiener Kreis) yang begitu perkasa sampai sekitar tahun 1960-an. Teori Kritis mendapatkan inspirasinya dari kritik ideologi Marx yang dikembangannya saat masih muda. Karena itu, Teori Kritis juga sering disebut sebagai generasi kedua Marxisme Kritis setelah Marxisme Kritis pertama yang dipelopori Georg Lukacs dan Karl Korch lumpuh akibat represi Stalinisasi pasca runtuhnya Tsarisme Russia pada 1917. Tokoh kunci Teori Kritis adalah sekelompok sarjana yang berkerja pada Institut fur Sozialforschung (Lembaga Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main, Sehingga tak

jarang Teori Kritis juga disebut Mazhab Frankfurt. Di antara tokoh institut yang menonjol adalah Frederich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama Institut), Max Horkheimer (Filsuf, Sosiolog, Psikolog dan direktur sejak 1930), Karl Waittfol (sejarawan), Theodor Wiesendrund Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), Leo Lowenthal (Sosiolog), Walter Benyamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (filsuf), Franz Neumann (ahli hukum), Erich Fromm (psikolog sosial), Otto Kircheimer (ahli politik), Henryk Grossman (ahli ekonomi dan politik), Arkadji Gurland (ahli ekonmi dan sosiolog).

B.Latar Historis Pemikiran Mazhab Frankfurt Sebagai generasi kedua Marxisme Kritis, Teori Kritis berupaya menyegarkan kembali pemikiran filosofis Karl Marx yang telah dibekukan dan menjadi alat ideologis Partai Komunis Uni Soviet. Pemikiran-pemikiran kritis Teori Kritis dikembangkan dari gagasan-gagasan Lukacs yang mengaitkan rasionalitas Weber dan konsep fetitisme komoditi Marx. Sebagai hasil dari kedua sistesis itu, Lukacs mengembangkan konsep reifikasi, yaitu pandangannya tentang adanya gejala hubungan antara manusia yang nampak sebagai hubungan antara benda-benda. Konsep reifikasi ini muncul dengan wajah baru dalam pemikiran Teori Krtis mengenai rasio instrumental, kritik atas masyarakat modern dan rasionalitasnya. Sedangkan dari Karl Korsch, Teori Kritis mendapat inspirasi dari tentang teori dengan maksud praktis sebagai kritik atas ilmu-ilmu borjuis. Hal itu akan nampak dalam kritik Horkheimer atas metodologi modern dengan memposisikan Teori Kritis dan Teori Tradisional secara biner. Selain dua tokoh Marxisme Kritis, pemikiran Terori Kritis juga dibentot arus besar pemikiran filsafat Jerman, seperti Kantian dan Hegelian, Marxian dan Fruedian. Di sinilah Teori Kritis juga memperoleh pijakan epistemnya. Dengan epistem itulah, mereka menggugat saintisme dan positivisme sebagai ideologi ilmu pengetahuan modern serta berusaha menunjukkan bagaimana saintisme dan positivisme mengendap dalam ilmu pengetahuan modern dan menghasilkan masyarakat irrasional dan ideologis. C.Pemikiran 1.Kritik Generasi Pertama terhadap Mazhab Frankfurt Positivisme

Untuk memahami Teori Kritis Mazhab Frankfurt, pertama-tama harus bertolak pada manifesto yang ditulis oleh Horkheimer dalam Zeitschrift pada tahun 1957. Dalam manifesto itu, Teori Kritis memperoleh pendasaran teoritisnya untuk menyobek selubung ideologi Teori Tradisional: teori-teori yang disinterested, saintisme atau positivistik. Suksesnya metode empiris-analitis yang dianut ilmu-ilmu alam dalam menjelaskan fakta, merangsang lahirnya cita-cita Teori Tradisional untuk menciptakan suatu sistem ilmiah yang menyeluruh yang meliputi segala bidang keahlian, yang oleh para para pendukung teori ini, seperti para filsuf Lingkungan Wina, disebut dengan istilah unfied sciense (Einheitswissenschaft). Teori Tradisional ini bekerja dengan cara dedukatif dan induktif. Dengan kedua metode itu, Teori Tradisional menjadi apa yang disebut Husserl sistem tertutup dari proposisi-proposisi bagi ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan. Dengan menjadi sistem tertutup ilmu-ilmu alam tidak hanya sukses menjelaskan fakta tetapi juga sukses memanipulasi obyek-obyek melalui teknologi sebagai terapan teori-teori. Sukses teori-teori ilmu-ilmu alam dalam memprediksi, memanipulasi atau mendayagunakan gejala-gejala alamiah mendorong para pemikir tentang gejalagejala sosial kemanusiaan untuk menerapkan metode deduktif-induktif itu pada ilmu-ilmu sosial budaya dan ilmiah yang dilakukan oleh positivisme. Selubung ideologis yang membeku dalam Teori Tradisional, menurut Horkheimer dapat disingkap melalui tiga pengandaian dasar Teori Tradisional. Pertama, Teori Tradisional mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak ahistoris dan karenanya teori-teori yang dihasilkan juga ahistoris dan asosial. Dengan cara ini, Teori Tradisional mengklaim dirinya mandiri terlepas dari konteks kegiatan masyarakat sehari-hari dan bebas dari kepentingan (disintersted). Pengandaian ini menekankan bahwa kegiatan berteori harus dilakukan dengan cara memisahkan atau menyingkirkan unsur-unsur subyektif dari teori-teori. Masyarakat sebagai obyek yang ingin diterangkan dalam teori harus dipandang sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara obyektif. Kedua, fakta atau obyek yang ingin diketahui harus bersifat netral. Pengandaian kedua ini tidak lain merupakan konsekuensi ahistoris sebuah teori atau pengetahuan, seperti disebut pertama. Di sini, pengandaian ketiga mendapat titik tolaknya. Teori Tradisional berasusmi bahwa teori terpisah dari praxis, termasuk tindakan-tindakan etis dan kepentingan. Pengandaian-pengandaian Teori Tradisional tersebut jika diterapkan pada kenyataan

sosial kemasyarakatan, menurut Horkheimer akan menjadi sangat ideologis dan melestarikan status quo dan penindasan dalam masyarakat. Horkheimer, Adorno, dan para pendiri Teori Kritis yang lain, menunjukkan bahwa irrasionalitas dan sifat ideologis kehidupan masyarakat modern berakar pada pemikiran-pemikiran yang dilatarbelakangi penerapan Teori Tradisional pada kehidupan sosial, politis dan budaya. Sifat ideologis itu tampak dalam tiga gejala. Pertama, dengan anggapan bahwa teori itu ahistoris, Teori Tradisional telah mengklaim dirinya universal. Klaim ini merupakan penipuan ideologis karena menutupi kenyataan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya hanyalah memotret salah satu dari sekian proses kehidupan konkreat di dalam masyarakat. Karena itu, teori tak mungkin dapat melampaui ruang dan waktu. Kedua, dengan anggapan bahwa teori itu bersifat netral, Teori Tradisional berdiam diri terhadap masyarakat yang menjadi obyeknya dan membenarkan keadaan tanpa mempertanyakannya. Dengan cara ini Teori Tradisional berlaku sebagai ideologi yang melestarikan kenyataan itu. Ketiga, dengan memisahkan diri dari praxis Teori Tradisional mengejar teori demi teori dan karenanya tidak memikirkan implikasi paraktis dari teori itu. Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat. Menyikapi selubung ideologis yang mengendap dalam Teori Tradisional, Horkheimer mengancang satu bangunan episteme (teori pengetahuan) yang disebut dengan Teori Kritis, yang berdiri secara biner dan diametral dengan Teori Tradisional. Ini bisa dipahami dari empat karakter Teori Kritis. Pertama, Teori Kritis bersifat historis. Artinya, Teori Kritis dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat. Kedua, Teori Kritis tidak netral dan karenanya bersifat ideologis. Jika Teori Tradisional menggantungkan kesahihannya pada verifikasi empiris, Teori Kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi. Ketiga, Teori Kritis bermaksud menelanjangi kedok-kedok ideologis yang dipakai untuk menutup-nutupi manipulasi, ketimpangan dan kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat. Keempat, Teori Kritis tidak memisahkan dirinya dari praksis. Teori Kritis dibangun justru untuk mendorong transformasi masyarakat pada praksis sejarah tertentu. Pada titik ini, Teori Kritis diharapkan menjadi sebuah teori yang emansipatoris. 2.Positivisme Sebagai Titik Tolak Krisis Masyarakat ModernTeori Kritis juga melihat bahwa Teori Tradisional sebagai rancang bangun pengetahuan modern telah menjadi penyebab kebobrokan masyarakat modern. Asumsi ini berangkat dari, pertama, penelusuran Mazhab Kritis terhadap akar-akar munculnya cara berpikir

positivistis masyarakat modern dengan merefleksikan proses rasionalisasi di dalam masyarakat Barat. Kedua, menunjukkan bahwa cara berpikir posivistis yang telah mewujudkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku sebagai ideologi yang diterima secara sukarela oleh masyarakat modern itu sendiri. Cara pertama terdapat di dalam Dialektik der Aufklarung, karya patungan Adorno dan Horkheimer. Cara kedua terdapat dalam buku Marcuse yang termasyhur, One Dimensional Man. Melalui dua cara itu mereka mengkritik bukan hanya masyarakat modern sebagai struktur yang menindas, melainkan cara berpikir posivistis yang menjadi ideologis dan mitos. Adorno dan Horkheimer melihat cara berpikir saintisis yang menguasai masyarakat Barat telah menjebak peradaban Barat dalam proses pembusukan dan keruntuhannya sendiri. Peradaban yang dirintis sejak masa Yunani purba itu kini menghasilkan Perang Dunia II, fasisme, Stalinisme dan cara hidup konsumeristis. Fenomen-fenomen itu, dilatarbelakangi penerapan cara berpikir positivistis melalui teknologi dan ilmu pengetahuan pada masyarakat untuk mengontrolnya seperti alam. Umat manusia, bukannya memasuki kondisi manusiawi yang sejati, tenggelam ke dalam barbarisme baru. Pencerahan budi sebagai cita-cita modernitas, yang sering dikenal sebagai abad Aufklarung, yang meliputi abad ke-18, menurut Adorno dan Horkheimer telah mendangkalkan obsesi manusia yang hanya berorientasi untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Seluruh rencana pencerahan budi yang mewujud dalam proyek demitologisasi dan rasionalisasi itu tak lain meruapakan mitos baru yang lahir dari mitos lama yang telah ditaklukan. Dikatakan demikian, karena rasionalitas hasil pencerahan tersebut tidak berhasil memperoleh kemajuan apa-apa. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjelma dalam industri telah memproduksi barang konsumsi secara berlimpah sehingga idam-idaman manusia untuk menciptakan welfare state telah terwujud, dan dengan jalan itu manusia dapat merealisasikan kebahagiaan dan kebebasannya. Tetapi, menurut Marcuse, kebahagiaan dan kebebasan itu tidak jadi terwujud karena ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi itu bukannya mengabdi pada manusia, melainkan justru manusia yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia yang gandrung dengan ilmu dan teknologi tanpa disadarinya ditelan oleh kekuasaan ilmu dan teknologi sebagai sistem total yang merangkum berbagai bidang kehidupan manusia. Memang, menurut Marcuse, masyarakat dewasa ini tidak lagi ditindas oleh manusia lain seperti yang terjadi di dalam zaman Marx. Tapi di zaman ini manusia ditindas oleh sesuatu yang anonim, yaitu sistem teknologi yang menyeluruh dan

mencengkeram keseluruhan proses alamiah sosial manusia. Segala hal dipandang rasional sejauh dapat diperalat, dimanipulasi, dimanfaatkan atau diperhitungkan secara matematis dan ekonomis. Dengan demikian, Marcuse telah menunjukkan rasio manusia telah menjadi sangat teknologis: ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah merampas kebebasan manusia sampai ke akar-akarnya. D.Habermas: Pemikiran Generasi Kedua Mazhab FrankfurtJurgen Habrmas lahir di Dusseldorf pada tahun 1929 dan dibesarkan di Gummersbach. Ia belajar di Universitas di kota Gottingen dengan mempelajari kesusastraan Jerman, filsafat serta mengikuti kuliah-kuliah psikologi dan ekonomi. Kemudian ia meneruskan belajar filsafat di Universitas Bonn, dimana ia meraih doktor filsafat pada tahun 1954. Pada tahun 1956 ia bergabung dengan mazhab Frankfurt dan menjadi asisten Adorno antara tahun 1956-1959. Pada tahun 1964, ia menjabat sebagai professor filsafat di Universitas J. Von Goethe, Frankfurt. Antara tahun 1971-1981 ia menjabat sebagai direktur Institut Mack Planck. Kemudian menjadi profesor filsafat sampai sekarang di Universitas J. Von Goethe Frankfurt. Tahun 1982 ia kembali ke Frankfurt, dan tahun 1994 ia pensiun dan kemudian tinggal Starnberg. 1.Kepentingan Ilmu Pengetahuan Sebagai tokoh terakhir dan barangkali terbesar dari Mazhab Frankfurt, Habermas mengikuti jejak Marx Horkheimer dan Theodor Adorno juga mengritik pandangan positivistis yang mengandaikan ilmu pengetahuan yang ahistoris, netral, dan bebas dari praksis. Habermas memperlihatkan bahwa manusia tidak memperoleh pengetahuan baru berdasarkan suatu hubungan netral terhadap kenyataan, tetapi bahwa dalam hal ini ia selalu dituntun oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam hal ini, Habermas membedakan tiga macam kepentingan: pertama, kepentingan teknis. Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan kepentingan teknis, seperti ilmu alam dan sosial-teknologis yang hanya dapat dipakai untuk memecahkan masalahmasalah teknis, tapi tidak berguna untuk melestarikan proses-proses komunikatif atau mengurangi ketidaksamaan kuasa. Kedua, kepentingan praktis, seperti pengathuan tentang masa lampau yang dicari dalam ilmu sejarah dan pengertian yang diupayakan dalam ilmu-ilmu hermeneutis. Pengetahuan ini tidak dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah teknis tetapi cocok untuk tujuan komunikatif: guna melestarikan tradisi dan memperdalam pengertian-diri terhadap suatu kebudayaan. Ketiga, kepentingan emansipatoris, seperti pengetahuan psikoanalitis dan teori-

teori kritis tentang masyarakat, yang berorientasi pada emansipasi atau pembebasan dari kekuasaan dan ketergantungan, dan karena itu hanya dapat dijalankan dalam konteks proses-proses yang bertujuan meningkatkan kesadaran emansipatoris. Dengan demikian Habermas ingin menunjukkan bahwa pandangan ilmu pengetahuan positivistis dilatarbelakangi usaha memutlakkan kepentingan pengenalan teknis. Padahal, umat manusia masih mempunyai kepentingan-kepentingan fundamental yang lain daripada memperoleh pengetahuan teknis yang dapat diterapkan dalam prosesproses pekerjaan seperti dalam industri modern.

2.Kritik Terhadap Posmodernisme Mengritik positivisme sebagai tulang punggung modernitas, tidak berarti harus meninggalkan modernitas yang penuh dengan anomali. Justru, anomali-anomali itulah yang harus diperiksa. Konsistensi itulah yang mengharuskan Habermas harus terlibat dalam polemik tentang Posmodernisme. Bagi Habermas, Posmodernisme harus dipahami sebagai kontinuitas dari modernitas yang terdistorsi dan mengalami erosi makna. Ini terjadi karena ada sebuah konsep normatif mengenai modernitas yang disimpangkan oleh-oleh tendensi-tendensi historis tertentu. Untuk reduksi atau distorsi modernitas, Habermas menawarkan rasio-komunikatif sebagai ganti rasionalitas-tujuan yang telah membengkokkan cita-cita modernitas. Dengan rasio komunikatif, modernisasi akan menjamin integrasi kebudayaan, masyarakat dan sosialisasi. [] *) Tulisan ini mengacu pada dua buku utama, yaitu buku F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2003, dan buku Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epsitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme dan Cultural Studies, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006. Diposkan oleh TSANIN A. ZUHAIRY di 4/26/2009 01:08:00 AM Label: Epistemologi, Teori Kritis Ilmu Sosial Berbasis Hermeneutik

Pengantar

Setiap penelitian dan observasi senantiasa bermuara pada sebuah pengetahuan. Dan pengetahuan yang akan dihasilkan juga bergantung pada objek yang akan diteliti. Meminjam distingsi W. Dilthey, jika obyek yang diteliti dan diobservasibertaut dengan berbagai gejala alam, maka masuk ke dalam tipe ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Tapi, jika obyek yang diteliti dan diobservasi terkait dengan gejala kemanusiaan dan kebudayaan, maka masuk ke dalam tipe ilmuilmu roh/budaya (geisteswissenschaften). Persoalannya sekarang, apakah dengan perbedaan obyek itu, juga diperlukan pendekatan yang berbeda? Jawabannya dalam sejarah filsafat pengetahuan sampai saat ini tidak seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak zaman modern ini adalah tak perlu ada perbedaan pendekatan.2 Karena pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi. Diyakini bahawa sukses yang sama juga akan diperoleh jika pendekatan yang sama diterapkan dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan seluruh wilayah kenyataan, termasuk kenyataan sosial. Pandangan ini dipopulerkan Auguste Comte, Ernst March, para filsuf Lingkungan Wina, yang notabene sebagai tokoh dan penganut aliran Positivisme. Pendekatan ilmu-ilmu alam yang meniscayakan adanya distansi penuh, netralitas, bebas kepentingan, universal dan dapat diterapkan secara instrumental diandaikan oleh positivisme dapat diterapkan pada penelitian sosial. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dipahami sebagai potret fakta sosial yang bebas dari kepentingan (free value), tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Siapapun orangnya, asal memenuhi prosedur-prosedur penelitian yang dibuat ilmu alam, tidak akan mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan. Sehingga pengetahuan itu dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, karena sifatnya yang universal dan instrumental.3 Paradigma-paradigma semacam itu, kini turut mempengaruhi perkembangan ilmuilmu di Indonesia. Baik secara canggih atau kasar, pendekatan ilmu alam juga diterapkan dalam penelitian sosial, seolah tanpa persoalan. Padahal, dengan paradigma semacam itu, sebuah penelitian hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang das sein (apa yang ada) bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu, pengetahuan tidak mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. Di sini positivisme mengidap sebuah masalah, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan (episteme), melainkan juga bagi kemanusiaan.4 Memang, dewasa ini positivisme telah mengalami pembaruan dalam beberapa segi, seperti digagas oleh para filsuf Lingkungan Wina (Wiener Kreist) yang dikenal dengan positvisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis,5 namun tetap tidak bisa keluar dari karakter aslinya yang bersifat empiris-obyektif, deduktif-

nomologis, instrumental dan bebas nilai. Dengan standar itu, positivisme tetap tidak akan mampu menangkap-menangkap proses-proses sosial, seperti tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.

Verstehen:

Paradigma Ilmu Sosial Dunia kehidupan sosial sebagai wilayah operasi ilmu-ilmu sosial dapat dikatakan sebagai pengetahuan pra-teoritis. Dikatakan demikian, karena dunia kehidupan sebagai objek ilmu-ilmu sosial belum terstruktur secara simbolis. Para pelaku kehidupan sosial dalam berbicara bukan dengan silogisme dan juga bertindak bukan menurut pola hubungan subjek-objek, seperti disebut Habermas dengan tindakan instrumental. Para pelaku dalam kehidupan sosial hanya mampu berbicara dalam language-games yang melibatkan unsur kognitif, emotif dan volisinal manusia serta bertindak dalam kerangka tindakan komunikatif: suatu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik.6 Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam ilmu sosial bukanlah kausalitas, melainkan makna. Karena itu, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Dalam hal ini, seorang ilmuwan sosial tidak berbeda dengan pelakudalam dunia sosial. Ia harus masuk dan berpartisipasi dalam dunia kehidupan sosial itu. Pada titik ini, tampak jelas perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati objeknya. Menyitir pendapat Dilthey, ilmu-ilmu alam hanya berusaha menjelaskan (eklaren) objeknya menurut penyebabnya (kausalitas). Disini pengalaman dan teori berdiri secara diametral. Antara subjek-objek terdapat sebuah distansi. Sementara ilmu-ilmu sosial bertumpu pada verstehen, yakni paduan pengalaman dan pemahaman teoritis. Karena pengalaman dan struktur simbolis yang dihasilkan di dalam dunia kehidupan sosial tak bisa tampak dari luar seperti data alamiah yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, tetapi harus melibatkan subjek sosial itu sendiri. Makna-makna yang terkandung di dalam tindakan, pranata, produkproduk kultural, kata-kata, jaringan-jaringan kerjasama sosial, dokumen-dokumen, dan seterusnya, hanya dapat diketahui dari dalam.7 Hermeneutik sebagai Alternatif Kini, bagaimana seorang ilmuwan sosial dapat mengetahui objeknya dari dalam? Jurgen Habermas menawarakan Hermeneutik sebagai metode alternatif yang dapat digunakan. Metode ini sudah lama dipakai dalam teologi, filsafat, tafsir teks-klasik, tafsir Kitab Suci, dan seterusnya, dan sekarang ini diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Sejak awal, metode Hermeneutik senantiasa berurusan dengan penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Pengertian teks dapat diperluas dalam penelitian sosial

menjadi objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks itu dihasilkan oleh pengarang yaitu para pelaku sosialanalogi-analogi teks dan dunia sosial perlu diikuti. Sebagai sebuah teks, masyarakat yang hendak ditafsirkan untuk dipahami dan ditangkap maknanya (sinnverstehen), tentu mengharuskan keterlibatan peneliti dari dalam. Keterlibatan itu, menurut Fredrich Schleiermacher menyaratkan adanya empati psikologis. Artinya, peneliti harus mampu masuk kedalam isi tekssosial (yaitu pranata-pranata, tingkah laku, interaksi, dan seterusnya) sampai mengalami kembali pengalaman-pengalaman pengarangnya, yaitu pengalaman para plaku sosial. Bagaimanapun harus disadari, peneliti sesungguhnya adalah reproduksi pengalaman para pelaku sosial.8 Namun, teori empati yang dikampanyekan Schleiermacher dianggap terlalu psikologistis oleh Dilthey. Yang direproduksi, menurut Dilthey, bukanlah pengalaman pengarang atau pelaku sosial, melainkan bagaimana proses teks-sosial itu terbentuk.9 Kalau anda meneliti upacara inisiasi, kepemimpinan desa, karya seni, sistem kepercayaan religius orang Yogya dan seterusnya, anda harus menemukan kaitan-kaitan antara proses-proses mental para pelaku dan bagaimana semua itu dilahirkan dalam bentuk pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan strukturpraksis, melainkan struktur-struktur simbolis.10 Setelah menemukanketerlibatan metodis itu, peneliti perlu menangkap tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks-sosial (pelaku sosial). Pengalaman adalah unsurunsur subjektif yang ada dalam penghayatan internal pelaku-sosial, misalnya hasrat, cita-cita, harapan, pengertian, pandangan, gerak hati, dan seterusnya. Itu semua mendapat bentuk lahiriahnya dalam wujud tingkah laku, gerak-gerik, pranata, karya seni, tulisan, organisasi, dan seterusnya. Pemahaman dari konfrontasi, dialog, dan pencapaian konsensus terjadi. Di sini pula pemahaman dialektis antara pengarang dan peneliti tidak hanya menjadi inti penafsiran hermeneutis, melainkan juga praksis komunikasi.11

1 Tulisan ini secara garis besar disarikan dari buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003. 2Bandingkan dengan tulisan Jujun Suriasumantri Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Cet. Keenambelas, Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2006, hal. 19-20. 3F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis dalam Melampaui Positivisme dan

Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 23 4Masalah terjadi karena peralihan masyarakat dari keaadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Cara berpikir lama (mitis, teologis) ditinggalkan tapi cara berpikir baru (saintis) belum sepenuhnya terintegrasi dalam diri manusia, sehingga hanya menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya welltanschauung. 5Lihat, K. Bertens, Fisafat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, hal 128. 6 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi:Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 122 7 F. Budi Hardiman, Positivisme dan Hermeneutik dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 63 8 F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis, h. 31 9 F. Budi Hardiman, Positivisme dan Hermeneutik, hal. 64 10 F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis, h. 32 11 Praksis disini mengacu pada tingkah laku, tindakan, perbuatan, kegiatan-kegiatan manusia. Dan praksis itu bukan kerja yang mengacu pada hubungan manusia dengan alam, subjek dengan objek belaka untuk mengontrolnya secara teknis, melainkan komunikasi yang mengacu pada hubungan antar manusia, antar subjek sosial untuk mencapai pemahaman timbal balik. Diposkan oleh TSANIN A. ZUHAIRY di 4/02/2009 03:18:00 AM