terjemahan alquran departemen agama...

119
TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA Oleh : Alhafiz Kurniawan NIM: 104024000828 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M

Upload: phungtuong

Post on 24-May-2018

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA

EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT

EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM :

ANALISIS WACANA

Oleh :

Alhafiz Kurniawan

NIM: 104024000828

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M

Page 2: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Juni 2009

Alhafiz Kurniawan

Page 3: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI

REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN

INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra

Oleh

Alhafiz Kurniawan

NIM. 104024000828

Di bawah bimbingan,

DR. Sukron Kamil MA

NIP. 1502828400

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M

Page 4: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA

EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN

INKLUSIVITAS ISLAM: ANALISIS WACANA telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada

22 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana Sastra (S.s) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 22 Juni 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap anggota, Sekretaris Merangkap

Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, M.A. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag.

NIP: 150 262 446 NIP: 150 303 001

Anggota,

Ahmad Syaekhuddin, M.Ag

NIP: 150 303 001

Page 5: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI

REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN

INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra

Oleh

Alhafiz Kurniawan

NIM. 104024000828

Di bawah bimbingan,

DR. Sukron Kamil MA

NIP. 1502828400

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M

Page 6: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

ABSTRAK Eksklusifitas Islam merupakan fenomena pemahaman keagamaan yang

mengajarkan bahwa hanya Islam (sekte dari Islam versi resmi) saja yang diridhai Allah. Hal ini dengan sendirinya mengeksklusi agama, aliran kepercayaan lain,

atau sekte lain dalam agamanya. Keberadaan mereka ditandai oleh perasaan adanya privilese (superioritas) di ranah publik sementara Inklusifitas Islam

menawarkan satu keyakinan bahwa agama, aliran kepercayaan, atau sekte lain dalam agamanya menjadi bagian dari dirinya. Pada ranah publik, mereka tidak

memandang Yang Lain sebagai pihak subordinat atau inferior. Kedua pandangan dunia ini ternyata menginfiltrasi ke dalam aspek

kehidupan, bahasa tak terkecuali. Hal ini bisa dilihat dari organ terkecil bahasa,

seperti pemilihan diksi, hingga menjadi satuan makna utuh dalam kalimat

tersebut. Kecuali interaksi sosial, bahasa merupakan fenomena yang tak bisa

diabaikan begitu saja dalam manifestasi suatu ideologi tertentu. Sekalipun subtil sifatnya, bahasa merupakan ruang / medium yang tidak netral sekaligus menjadi

sasaran suatu ideologi. Tidak sampai di situ, bahasa juga menjadi ‘aparat

ideologis’ dalam melanggengkan otoritas atau sebagai pasukan ideologis yang

membendung satu ideologi yang dianggap sebagai lawan. Sampai di sini,

terjadilah apa yang disebut antagonisme sosial dimana satu wacana saling

bertabrakan, melakukan perjumpaan, bersinggungan, bertumbukkan satu sama

lain.

Untuk itulah analisis wacana menelusuri atau melacak ideologi sebelum

terwacanakan dan juga melacak efek dari wacana. Manifestasi ideologi dalam suatu wacana menghasilkan panopticon. Panopticon merupakan sebuah

mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan kesadaran dikontrol secara terus menerus untuk

memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas. Penelusuran (genealogi) ideologi yang terwacanakan ini menjadi penting

yaitu dengan mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam kondisi-kondisi historis yang

spesifik dan tak tereduksi. Artinya ada rintisan-rintisan sejarah yang panjang dan

terus menerus terbangun (dikonstruksi dan terus direkonstruksi dan direproduksi)

dalam sebuah ideologi. Menimba inspirasi dari Foucault di mana pengetahuan

sangat erat kaitannya dengan kekuasaan (otoritas keagamaan). Baginya,

pengetahuan menjadi intrumen sebuah otoritas (keagamaan dalam konteks ini)

atau dalam kosakata Louis Althusser disebut sebagai aparat ideologis).

Sebaliknya, sebuah kekuasaan cenderung memproduksi pengetahuan.

Pengetahuan versi resmi inilah yang terus dimapankan. Sehingga kebenaran

dengan sendirinya ter(di)bentuk dan direproduksi secara kontinu. Kebenaran versi

resmi inilah yang disebut kebenaran superior yang dengan sendirinya

mengeksklusi kemungkinan-kemungkinan kebenaran di luar versi lain melalui

mekanisme kategorisasi dan upaya normalisasi secara otomatis dalam alam bawah

sadar / benak masyarakat. Oleh karenanya, analisis wacana merupakan sebuah kritik bahasa

sekaligus penelanjangan kepentingan sepihak yang mengintervensi dalam bahasa. Selain itu analisis wacana membekali kita untuk meng-counter pengaruh interest atau sistem nalar suatu kebudayaan yang terwujud dalam bahasa (terjemahan). Apalagi bahasa Arab yang kita tahu adalah hanya bahasa sekunder dari kalam

Page 7: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Ilahi sehingga sistem nalar yang terbawa dalam bahasa sekunder menjadi sesuatu

yang terelakkan.

Page 8: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan

Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis

selesaikan.

Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapatkan

syafa‘atnya di Hari Akhir. Amin!

Dalam kata pengantar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada

Dr. H. Abd. Chair, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan

Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah dan Ahmad Saehuddin, M.Ag., Sekretaris

Jurusan Tarjamah.

Terima kasih banyak juga Penulis ucapkan kepada pembimbing Dr.

Sukron Kamil MA., yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya serta

kesabarannya dalam bimbingan; terima kasih kedua kalinya juga kepada beliau

selaku pembimbing akademik yang telah mengarahkan, mengajarkan, dan

mendidik Penulis selama menjadi santri di Fakultas Adab dan Humaniora.

Ucapan terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah yang telah

mendidik dan mengajarkan Penulis berbagai ilmu pengetahuan bahasa, budaya,

dan terjemahan yang telah mengajarkan seluk beluk dunia terjemah. Tak juga

Penulis lewatkan terima kasih kepada Zubair M.Ag., Moch Syarif Hidayatullah

M.Hum, Irfan Abu Bakar MA, Karlina Helmanita MA, Prof. DR. Ahmad Satori,

Prof. DR. Thojib IM, Prof. DR. Rofi‘i, Drs. H.D Sirojuddin AR, M.Ag.

Page 9: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Mahyuddin Syah M.Ag. DR. Ismakun Ilyas MA., Darsita M.Hum, Ahmad Syatibi

M.Ag, Dra. Faozah sebagai dosen Penulis. Semoga amal mereka diterima Allah

Swt. Amin!

Ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua,

Djamalluddin dan Triyani yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan

moral dan finansial Penulis, sehingga penyusunan skripsi ini terasa lebih ringan.

Bapak juga yang pertama kali menanamkan sebuah minat baca, bukan sekedar

membaca tetapi juga membaca kehidupan manusia secara filosofis. Begitu juga,

kepada kakek dan nenek Penulis, KH. Hasbullah yang telah memperkenalkan

Penulis dengan khazanah Arab klasik dan khazanah Arab-Melayu kuno, dan Hj.

Munaroh. Kepada Mbah Sukarto juga penulis mengucapkan terima kasih. Kedua

kakek penulis inilah yang mengajarkan penulis bagaimana budaya lokal

meresistensi dari intervensi budaya luar, tidak terkecuali Arab. Kepada paman-

paman khususnya bpk. Mufreni yang berapi-api menganjurkan Penulis untuk

masuk ke jenjang perguruan tinggi, adik-adik, Alfaiz Irsyad dan Zainal Irfan,

sepupu-sepupu juga yang telah menghibur Penulis di kala kejenuhan menyergap.

Penulis juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Umi Ruchaniyah

beserta keluarga yang menjadi oase ketika mesin di kepala Penulis kepanasan

melakukan mekanismenya.

Kepada teman-teman Jurusan Tarjamah Semester VIII, Abdur Rahman,

Amir, Anis, Anna, Erwan, Fina, Luki, Muna, Munay, Nurikhwan, Nunung, Silvi,

dan Puput juga teman-teman terjemah yang lain, Penulis berterima kasih atas

segala dukungan dan bantuan mereka. Heri juga teman dialog hermeneutika yang

baik. Tatam juga teman diskusi linguistik yang cukup mumpuni. Zaki sebagai

Page 10: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

mitra Penulis membincangkan seni dan budaya. Penulis juga berterima kasih

kepada teman-teman di Jurusan Tafsir Hadis, Iskandar dan juga Syafa‘at yang

telah meminjamkan bahan skripsi kepada Penulis, khususnya kepada Mahsun

sebagai teman diskusi yang cukup bersemangat.

Kepada keluarga besar forum kajian sosial dan keagamaan Piramida Circle

Jakarta, Noorrahman (Maman), Abdullah Alawi (Abah), Almawardi (Saprol),

Ujang Makmun, Rauf, Mukhlisin (Lisin), Ulum, Nafi, Faiq (ICAS), Ali (Romo),

dan Dedik, Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka semua

sebagai mitra diskusi yang cukup dinamis. Pada forum inilah Penulis bersentuhan

dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies, NU

Studies, sosial dan kebudayaan (cultural studies) terutama yang tidak kami

dapatkan di bangku kuliah. Di sinilah penulis membentuk diri sekaligus dibentuk

dalam atmosfer yang menjadi ciri khasnya tersendiri.

Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang kenal Penulis

dalam perjumpaan di dunia ini, termasuk teman-teman KKN dari Fakultas

Ekonomi, namun tidak disebutkan satu persatu karena memang Penulis menyadari

bahwa setiap representasi pasti ada misrepresentasi. Semoga skripsi yang

sederhana ini bermanfaat bagi peminat penerjemahan khususnya penerjemahan

Alquran. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi

skripsi ini. Amin!

Jakarta, 19 Juni 2009

Page 11: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ........................................................................................ i

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi DAFTAR ISI ................................................................................................ ix

DAFTAR ISTILAH...................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................... 11

D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 12

E. Metodologi Penelitian ................................................................... 13

F. Sistematika Penulisan ................................................................... 13

BAB II PIJAKAN TEORI .......................................................................... 16

A. Kritik Definisi Penerjemahan........................................................ 16

B. Metode-Metode Penerjemahan...................................................... 26 C. Sekilas Wacana dan Ideologi ........................................................ 29

BAB III EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM.................... 38

A.Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas ......... 38 B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder ........................... 44

BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS

DAN INKLUSIVITAS ISLAM.................................................... 54 A. Tektualisasi (Terjemahan) Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas

Islam ........................................................................................... 54

B. Kontestasi Pemahaman ’Wahyu Progresif’ dan ’Wahyu Regresif’ 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 83

A. Kesimpulan .................................................................................. 83

B. Saran ............................................................................................ 86

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 89

Page 12: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

DAFTAR ISTILAH

Anakronik : Ketidakcocokan dengan zaman tertentu.

Absolutisme : Sesuatu yang mutlak, tak terbatas, dan tidak dapat

diragukan lagi.

Agama paripurna : Agama yang menyajikan segala macam kebutuhan

manusia, mulai dari aspek akidah, syari‘at, etika, politik,

ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain.

Ahistoris : Berlawanan dengan sejarah.

Aku : Manusia sebagai individu dibentuk yang dibentuk secara

sosial lewat bahasa, pengetahuan, dan ideologi yang telah

ada.

Alienasi : Terasing dan terisoalasi.

Ambigu : Bermakna lebih dari satu sehingga kadang-kadang

menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan.

Ambivalensi : Bercabang dua yang masing-masing bergerak menuju ke

arah yang berlawanan di waktu yang bersamaan.

Anomali : Ketidaknormalan, penyimpangan dari normal dan

kelainan.

Anomi : Gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat

melahirkan perilaku menyimpang dalam berbagai

manifestasi.

Antagonisme sosial : Pertentangan antara dua atau lebih paham masyarakat

yang berlawanan.

Antroposentris : Berpusat kepada manusia.

Page 13: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Aposisi : Ungkapan yang berfungsi menambah atau menjelaskan

ungkapan sebelumnya dalam kalimat yang bersangkutan.

Apriori : berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat,

menyelidiki dsb.) keadaan yang sebenarnya.

Artikulasi : kesatuan sementara beberapa elemen diskursif yang tidak

harus selalu terikat bersama. Sebuah artikulasi adalah

bentuk koneksi yang bisa menyatukan dua elemen yang

berbeda dalam kondisi tertentu. Artikulasi mengandung arti

ekspresi/representasi dan penyatuan. Misalnya persoalan

gender bisa terkait dengan persoalan ras secara konteks

spesifik dan kontingen.

Ber-Tuhan Menurut Standar Resmi : Memegang teguh keyakinan yang

distandarkan oleh mainstream (termasuk negara).

Biner : Terjadi dari atau ditandai oleh dua benda atau dua bagian;

serba dua.

Budaya Populer : Teks-teks publik yang umum dan tersebar luas. Makna

dan praktik-praktik yang dihasilkan oleh khalayak populer.

Sebagai kategori sebuah kategori politik, budaya populer

adalah situs kekuasaan dan perebutan makna. Budaya

populer melintasi batas-batas kekuasaan kultural dan

menelanjangi karakter arbitrer klasifikasi kultural dengan

cara menantang konsep tinggi / rendah.

Page 14: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Cultural Studies : Bidang penyelidikan interdisipliner atau pascadisipliner

yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta

makna.

Deifikasi : Pendewaan.

Dekonstruksi : Membongkar dengan tujuan mencari dan mengungkap

asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika, dan titik-titik buta

teks. Peluruhan hierarki oposisi biner seperti realitas /

penampakan, alam / budaya, akal / kegilaan, untuk

menunjukan: (a) bahwa salah satu bagian dari sebuah biner

dinilai rendah sebagai inferior; (b) bahwa biner-iner

tersebut berfungsi untuk menjamin kebenaran; (c) bahwa

masing-masing bagian dari sebuah biner saling terimplikasi

dalam yang satunya.

Determinasi : Hal yang bersifat menentukan.

Diakronis : Suatu pendekatan berkaitan dengan perubahan historis di

sepanjang waktu.

Disfemisme : Pengasaran bahasa.

Disruptif : Pencabutan hingga ke akar-akarnya.

Distorsi : Perubahan bentuk yang menjadi bias.

Dominasi : Penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak

yang lebih lemah dalam segala macam aspeknya.

Ego : Mekanisme psikis yang berfungsi mengatur pembentukan

realitas

Page 15: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Eklektis : Sebuah kecenderungan dalam sastra, seni, desain, dan

arsitektur, berupa penggabungan sebuah gaya atau kode

dengan gaya atau kode-kode lain yang berlainan sama

sekali karakternya.

Eksklusi : Mengeluarkan pihak lain.

Elaborasi : Penggarapan secara tekun dan cermat.

Eliminasi : Penyingkiran, pengasingan, dan pengeluaran.

Eufemisme : Penghalusan bahasa.

Fast Food : Sesuatu yang mengacu pada segala bentuknya yang siap

saji (siap pakai).

Feminisme : Gerakan wanita yang menuntut persamaan hak

sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.

Feodalisme Teks : Sistem pembacaan yang memberikan kekuasaan yang

besar pada teks.

Fundamentalisme : Penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan

reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran asli

seperti tersurat dalam kitab suci.

Genealogi : Berkaitan keturunan dan garis asal usul. Penggunaan

Foucauldian konsep ini dalam kajian budaya berarti

mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan

historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam

kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tak tereduksi.

Gerakan Tarbiyah : Gerakan keagamaan yang menimba spirit dari gerakan

Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Page 16: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Globalisasi : Meningkatnya hubungan-hubungan global multiarah di

bidang ekonomi, sosial, kultural, dan politik di seluruh

dunia serta kesadaran kita tentang hal ini. Produksi global

hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal global. Terkait dengan

institusi-institusi modernitas dan pemampatan ruang-waktu

(time-space compression) atau dunia yang menciut.

Glokalisasi : Sebuah istilah yang digunakan untuk mengekspresikan

produksi global dari hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal

global. Tentang bagaimana yang global sudah ada dalam

yang lokal. Produksi hal-hal lokal, yaitu apa yang bisa

dianggap sebagai lokal dalam wacana global.

Hedonisme : Aliran filsafat yang beranggapan bahwa yang baik dalam

hidup adalah kesenangan dan kenikmatan material.

Hegemoni : Suatu penetapan makna yang bersifat sementara yang

menyokong kelompok penguasa. Proses penciptaan,

pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur

dalam suatu kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti

suatu situasi dimana sebuah “blok histories” faksi-faksi

kelas penguasa menggunakan otoritas sosial dan

kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui

kombinasi paksaan dan, ini yang lebih penting, persetujuan

sadar (konsens).

Heretic : Bidah yang menentang ajaran resmi gereja (termasuk

agama lainnya).

Page 17: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Identifikasi Kultural : Potret makna-makna yang mengungkapkan sesuatu,

terkait dengan nominasi diri atau dengan penilaian /

persepsi orang lain. Identitas kultural terkait dengan titik-

titik simpul makna kultural, terutama kelas, gender, ras,

etnisitas, bangsa, dan usia.

Identitas : Stabilisasi makna yang temporer, lebih merupakan suatu

proses menjadi ketimbang entitas yang tetap. Terajutnya

menjadi satu “sisi luar” diskursif dengan proses-proses

“internal” subjektifitas. Titik-titik kelekatan temporer pada

posisi subjek yang dikonstruksi bagi kita oleh praktik-

praktik diskursif.

Ideologi : Upaya untuk menetapkan makna dan pandangan dunia

yang mendukung penguasa. Peta-peta makna yang, mesti

tampak seperti kebenaran universal, sebenarnya merupakan

pemahaman-pemahaman yang secara historis bersifat

spesifik, yang menyelubungi dan melanggengkan

kekuasaan kelompok-kelompok sosial (dalam hal kelas,

gender, ras, dan lain-lain).

Immanent : Sesuatu yang menjiwai alam dan gerak sejarah.

Inferior : Bermutu rendah.

Inherent : Berkaitan erat dan tak dapat diceraiberaikan.

Inivisible : Tak terlihat.

Inklusifitas Agama : Ajaran yang memasukkan kelompok lain sebagai bagian

dari kelompoknya.

Page 18: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Interpelasi : Suatu pemanggilan oleh satu pihak kepada pihak lain.

Intertekstual : Akumulasi dan penciptaan makna lintas teks, dimana

semua makna saling tergantung pada makna yang lain.

Pengutipan sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi

dari kesadaran diri kultural yang makin besar.

Islamic Studies : Ilmu yang mempelajari kajian-kajian keislaman.

Islamisasi : Pengislaman ke segala aspek kehidupan, seperti politik,

sosial, ekonomi, kebudayaan, dan seterusnya.

Kajian Tematik : Suatu pendekatan yang mengkaji satu tema utama yang

dikelilingi tema-tema yang terkait dengan tema utama.

Kategorisasi : Penggolongan berdasarkan kategori tertentu.

Kebenaran-kebenaran : Narasi-narasi kecil yang menyusun makna-makna

tersendiri di luar kebenaran universal dan absolut (grand

narrative).

Kebenaran Tunggal / absolut : Secara awam, dan menurut epistemologi realis,

kebenaran adalah apa yang berkorespondensi atau dapat

menangkap gambaran realitas secara objektif.

Konstruksionisme, yang salah satu manifestasinya adalah

kajian budaya, melihat kebenaran sebagai ciptaan sosial.

Kajian budaya bicara tentang “rezim-rezim kebenaran”,

suatu istilah Foucauldian yang berarti bahwa sesuatu

dianggap sebagai kebenaran lewat bekerjanya kekuasaan.

Menurut pragmatisme Rortian, kebenaran adalah suatu

Page 19: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

kesepakatan sosial, kesepakatan yang tidak bisa lepas dari

nilai.

Kelas : Klaisifikasi orang menjadi kelompok-kelompok

berdasarkan kondisi-kondisi sosial ekonomi yang sama.

Kelas adalah sekumpulan ketimpangan-ketimpangan

relasional dalam dimensi ekonomi, sosial, potilik, dan

ideologi. Marxisme mendefinisikan kelas sebagai hubungan

sarana-sarana produksi. Para pemikir Pasca Marxis melihat

kelas sebagai posisi subjek kolektif yang terbentuk secara

diskursif.

Kodifikasi / Tadwîn : Istilah yang bagi al-Jabiri, mengacu pada masa

pembukuan besar-besaran tradisi Arab secara masif yang

terhitung puncaknya di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Komunalisme : Ajaran yang mementingkan kelompok atau kebersamaan

di dalam kelompok.

Konservatif : Kolot; bersikap mempertahankan keadan, kebiasaan, dan

tradisi yang berlaku.

Konsumerisme : Manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai

aspek komunikasi pemasaran.

Kontestasi Pemahaman : Persaingan pemahaman dalam merekrut makna

dan legitimasi.

Kuasa Bahasa : Jaringan-jaringan kuasa yang terjalin rumit yang

termanifestasi dalam bahasa, dalam rangka memproduksi

atau mereproduksi suatu kekuasaan.

Page 20: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Labeling : Proses penandaan dan pemaknaan pada benda-benda

material.

Legal Formalistik : Pemberlakuan syari‘at ke dalam undang-undang positif.

Linguistics Oriented : Bahasa itu sendiri yang menjadi tujuan berbahasa.

Mainstream : Arus utama pandangan dunia.

Marxisme : Suatu pemikiran yang berasal dari karya-karya Karl Marx

yang menekankan pada peran determinative kondisi-

kondisi eksistensi material dan kekhususan sejarah

manusia. Marxisme, yang terfokus pada perkembangan dan

dinamika kapitalisme, mengaku sebagai sebuah filsafat

kesetaraan yang emansipatoris.

Mazhab Frankfurt : Institusi social yang berdiri 1923 berhaluan Neo-

Marxisme. Lembaga ini independen dari kepentingan

partai-partai komunis internasional. Lembaga inilah yang

menelurkan Teori Kritis dalam rangka menelanjangi

kebobrokan kapitalisme dan konsumerisme.

Menulis Keimanan : Membakukan sebuah akidah guna menetapkan identitas.

Misrepresentasi : Sesuatu yang tak terwakilkan.

Mitis : Suatu yang mengandung daya tarik tersendiri karena

dianggap suci.

Mitos : Kisah atau fabel yang berperan sebagai panduan atau peta

makna simbolis. Setalah terbitnya karya-karya Barthes,

mitos berarti pengalamiahan level konotatif makna.

Page 21: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Modernisme : (a) pengalaman cultural modernitas yang dicirikan oleh

adanya perubahan, ambiguitas, keraguan, risiko,

ketidakpastian, dan keterpecahan; (b) gaya artistik yang

ditandai oleh suatu kesadaran diri estetis, montase, dan

penolakan atas realisme; (c) posisi filosofis yang berusaha

mengejar beberapa bentuk pengetahuan yang juga direvisi

secara kronis dan terus-menerus.

Muhâsabah al-Nafs : Upaya kaum sufi dalam rangka mendisiplinkan diri dari

konsumsi, tingkah laku, hasrat, dan pikiran yang dapat

menurunkan maqâmat-nya.

Nalar : Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis;

jangkauan pikir; kekuatan pikir.

Narsisisme : Keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan.

Normalisasi : Proses pengaktifan kuasa bahasa dalam rangka

menormalkan nilai-nilai yang dimaui pemegang otoritas.

NU Studies : Kajian yang mempelajari organisasi Nahdatul Ulama baik

dari segi pendidikan, peran politik, sosial dan

kebudayaannya.

Occidentalisme : Ilmu yang menjadikan Barat sebagai objeknya.

Official Closed Corpus : Korpus resmi tertutup versi penguasa (Khalifah

Usman).

Orientalisme : Ilmu yang menjadikan Timur sebagai objeknya.

Ortodoksi : Ketaatan kepada peraturan dan ajaran resmi.

Page 22: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Otentisitas : Suatu kategori merupakan kategori yang asli, natural,

benar, dan murni. Misalnya, bahwa budaya suatu tempat

otentik karena tidak terkontaminasi oleh turisme atau

bahwa budaya orang muda adalah murni dan tidak

terkorupsi oleh kapitalisme.

Other : Identifikasi material yang ada di luar Aku; (objek).

Pakem : Regulasi resmi yang kuat serta menggurita.

Pandangan Hitam-putih : Proses pembacaan secara biner.

Panopticon : Sebuah mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang

yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan

kesadaran dikontrol secara terus menerus untuk

memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas.

Paranoid : Penyakit jiwa yang membuat penderita berfantasi yang

aneh-aneh, seperti merasa diri besar atau terkenal dan

sebagainya.

Pembacaan Tunggal : Proses pemahaman bahwa teks memiliki satu makna.

Pemikiran Keagamaan : Produk kreatifitas dari pembacaan atas teks-teks

keagamaan

Pendisiplinan : Proses taktis dalam menundukkan Yang Lain lewat

normalisasi sehingga Yang Lain menunduk secara sadar.

Pengadministrasian (pendidikan) Agama : Pelembagaan agama ke dalam

institus pemerintah sehingga perkembangan agama berada

dalam kontrol negara.

Page 23: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Pengetahuan Absolut : Mengacu pada Hegel, pengetahuan yang telah melewati

proses dialektika sejarah yang panjang sehingga

pengetahuan mencapai pada titik kesempurnaannya yang

tidak terbantahkan lagi.

Pengetahuan Mapan : Pengetahuan yang ‘benar’ versi pemegang otoritas.

Peradaban Teks : Bagi Abu Zaid, masyarakat Arab selalu mencari dasar

epistemologisnya dari dan untuk teks.

Posisionalitas : Menunjuk pada pengertian bahwa pengetahuan dan

“suara” selalu mengambil tempat dalam ruang, waktu, dan

kekuasaan sosial. Posisionalitas adalah tentang di mana,

kapan, mengapa, dan siapa yang berbicara, melakukan

penilaian, dan pemahaman.

Positivisme : Suatu filsafat pengetahuan yang menganggap bahwa satu-

satunya bentuk pengetahuan positif adalah deskripsi

fenomena yang berhubungan dengan panca indera (sensori)

Post Colonial Studies : Disiplin yang menjadikan tanah bekas koloni berikut

jalinan rumit dan kepanjangan kuasa dan resistensi anak

jajahan sebagai objek kajian.

Posmodernisme : Gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh

penentangan terhadap totalitarianisme dan universalisme,

serta kecenderungannya ke arah keanekaragaman, kea rah

melimpah ruah dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan

gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, dan

pendangkalan makna kebudayaan.

Page 24: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Posstrukturalisme : Gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap

strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi

pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal,

sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta

ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.

Postradisonalisme : Ideologi yang menawarkan alternatif atas kebuntuan-

kebuntuan tradisionalisme tanpa adanya keterputusan

epistemologis dengan tradisionalisme.

Pribumisasi : Upaya melokalisir yang global.

Produksi Pengetahuan : Upaya pemaknaan benda-benda material dan praktik

sosial.

Protagonis : Tokoh utama dalam cerita rekaan; penganjur suatu paham.

Psikoanalisis : Pemikiran dan praktik pentyembuhan yang dikembangkan

dari karya-karya Freud yang menyatakan subjek manusia

terbagi menjadi, Ego, Super Ego, dan ketidaksadaran.

Psikoanalisis dalam kajian budaya digunakan untuk

mengeksplorasi konstruksi dan pembentukan subjektifitas

yang terkelaminkan (sexed subjectivity).

Puritan : Kelompok yang menuntut pemurnian agama dan

mengidealisasikan sejarah masa lalu.

Reduksionis-Kanonis : Penyederhanaan hingga titik terkecil.

Reifikasi : Hubungan manusia seperti hubungan antar benda-benda.

Representasi : Praktik-praktik pemaknaan tampaknya bisa mewakili atau

menggambarkan suatu objek atau praktik lain di dunia

Page 25: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

“nyata”. Hal ini lebih baik diistilahkan sebagai “efek

representasional”, karena tanda tidaklah mewakili atau

merefleksikan objek secara langsung seperti kaca.

Representasi membentuk kebudayaan, makna, dan

pengetahuan.

Revivalis : Kelompok yang menginginkan masa kini kembali ke masa

kejayaan di masa lalu.

Ruang Publik : Sebuah ruang perdebatan dan adu argumen demokratis

yang memediasi masyarakat sipil dan Negara. Ruang

dimana publik mengorganisasi diri dan ruang dimana

“opini publik” terbentuk.

Sensasional : Bersifat keinderaan; menarik dan seksi.

Sinkroni : Pendekatan dalam mengkaji satu fenomena pada suatu

penggalan waktu yang ditentukan, ketimbang

perkembangan historisnya.

Skripturalis : Berdasarkan pada teks.

Stereotipe : Representasi gamblang namun sederhana yang mereduksi

orang menjadi seperangkat ciri sifat yang dilebih-lebihkan

dan biasanya negatif. Sebentuk representasi yang

mengesensikan orang lain lewat operasi kekuasaan.

Strukturalisme : Gerakan intelektual yang berkaitan dengan penyingkapan

struktur berbagai pemikiran dan tingkah laku manusia, yang

prinsipnya adalah satu totalitas yang kompleks hanya dapat

Page 26: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dipahami sebagai satu perangkat unsure-unsur yang

berkaitan.

Subaltern : Kelompok subordinat yang tidak terkooptasi oleh budaya

populer.

Subjektifitas : Kondisi dan proses menjadi seseorang atau diri. Bagi

kajian budaya, subjektifitas sering dipahami, mengikuti

Foucault, sebagai “efek” dari wacana karena subjektifitas

tersusun oleh posisi-posisi subjek yang ditawarkan pada

kita oleh wacana. Karakteristik agensi dan identitas yang

dimungkinkan bagi seorang subjek pembicara (the speaking

subject) oleh posisi-posisi subjek diskursif.

Subordinat : Kelompok inferior.

Subtil : Halus.

Subversif : Perlawanan.

Superior : Kelompok yang berada di atas angin.

Teks Sekunder : Wahyu atau kalam Ilahi yang tertekstualisasi.

Teks-teks Keagamaan : Alquran dan Hadits.

Tekstualisasi : Proses penuangan makna dalam wadah teks.

Teori Kritis : Teori kritik masyarakat modern yang dikembangkan oleh

Mazhab Frankfurt.

Teosentris : Tuhan sebagai pusat kehidupan.

Turbulensi : Gerakan yang menyebabkan keresahan dan gangguan

yang ditandai dengan keributan dan huru-hara.

Page 27: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Wacana : Bahasa dan praktik, cara-cara berbicara yang teregulasi,

yang mendefinisikan, mengonstruksi, dan menghasilkan

objek-objek pengetahuan.

Yang Lain : Objek yang merupakan hasil dari pemberian makna

sebagai langkah taktis dari Aku.

Page 28: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

BAB l

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sederhana saja sebenarnya. Penulis dalam hal ini masih melanjutkan perdebatan

klasik antara teori dan praksis, yaitu antara Plato dan Aristoteles. Perdebatan itu

berisi apakah teori untuk teori atau teori berkaitan dengan kepentingan manusia

dan bersifat emansipatoris. Perdebatan seru ini berlanjut di era modern hingga

Teori Kritis, Mazhab Frankfurt dan Neo-Positivisme di tahun 60-an dan hingga

saat ini.1 Sehubungan dengan itu penulis mencermati derasnya arus gelombang

‘skripsi teori murni’ (entitasnya sebagai kewajiban akhir akademik semata) yang

marak belakangan ini, khususnya terkait dengan Jurusan Tarjamah. Hal ini bisa

kita temukan pada skripsi-skripsi di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora

tentunya. Skripsi yang mengaitkan bahasa dengan praksis, kehidupan nyata

memang agak sedikit sekali. Pada umumnya skripsi yang telah ada hanya

membahas atau menganalisis karya terjemahan dengan menitikberatkan pada

struktur gramatikal (linguistics oriented) belaka, berbeda dengan Syahrur

misalnya, yang menggunakan studi linguistik dalam membangun argumennya

melalui pendekatan ilmiah-historis. Hal ini seolah mengatakan bahwa bahasa –

termasuk terjemahan– ada di luar jangkauan kehidupan manusia sehari-hari.

Penulis dalam skripsi ini mencoba menginternalisir dan mengilhami teman-teman

lain (wa bi al-khusus yang belum menulis skripsi) bahwa bahasa (terjemahan) itu

sedemikian dekatnya dengan kehidupan manusia bahkan bersifat immanent dan

inherent. Bahkan, bukan hanya dekat, tetapi produksi pemaknaan oleh bahasa juga

1 Untuk lebih jelas dan uraian yang lebih komprehensif bisa lihat buku F. Budi Hardiman,

Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan dan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, 1990; reprint: Buku Baik, 2003)

Page 29: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

mempengaruhi (sekaligus mengintervensi) pola pikir dan praktik-praktik sosial

masyarakat sebagai konsumennya. Apa yang Penulis lakukan sebenarnya tidak

terlalu jauh (apalagi keluar dari pakem akademik), tetapi Penulis hanya ingin

merangkul (membangkitkan) aspek-aspek nalar humaniora yang selama ini

mengendap dan diendapkan dalam benak mahasiswa (juga pihak terkait, dosen

misalnya) di tengah kegalauan dan kegamangan menjadi ‘sarjana fast food’ (-

meminjam istilah disiplin Budaya Populer) guna merespon laju cepat globalisasi

(meskipun juga mengalami krisis).

Penulis meyakini bahwa skripsi yang terlalu menitikberatkan pada susunan

gramatikal cenderung menegasikan, mengeringkan, dan memarjinalkan aspek-

aspek makna yang terkandung dalam teks. Mengapa demikian? Jawabnya bahwa

bahasa bukan sebuah medium netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan

tentang suatu dunia objektif independen di luar bahasa. Dalam istilah Michel

Foucault, “Kritik mempertanyakan bahasa seolah-olah bahasa adalah sebuah

fungsi yang murni, totalitas mekanisme, dan permainan tanda-tanda yang luar

biasa otonom.”2 Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan

pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan

praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa

kita pahami lewat istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa.3

2 Michel Foucault. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Penerjemah B.

Priambodo dan Pradana Boy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 91 3 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik. Penerjemah Tim KUNCI Cultural

Studies Center (Yogyakarta: Bentang, 2005) h. 10. Buku tersebut hampir memasukkan seluruh

tema-tema yang majemuk, berisi berbagai perspektif yang saling bersaing –melalui produksi teori– yang berusaha mengintervensi politik kebudayaan. Kajian budaya dan bahasa sengaja mempelajari

kebudayaan sebagai praktik-praktik pemakanaan dalam konteks kekuasaan sosial. Kajian tersebut

banyak mengambil dari banyak teori, termasuk marxisme, strukturalisme, post strukturalisme, dan

feminisme. Dengan metode yang eklektis, kajian budaya dan bahasa menegaskan posisionalitas

semua bentuk pengetahuan, termasuk dirinya sendiri, yang berputar di sekitar ide-ide kunci seperti

budaya, praktik pemaknaan, representasi, wacana, kekuasaan, artikulasi, teks, pembaca, dan

Page 30: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Selain itu, skripsi-skripsi tersebut –disadari atau tidak– mengadiluhungkan

dan menunjukkan kemegahan pengetahuan linguistik ilmiah ala modernisme,

yakni dengan bermain (menghakimi) di seputar ‘bahasa formal (ilmiah) dan non-

formal’. Padahal pengetahuan ilmiah –menurut Lyotard (orang yang

memproklamirkan Posmodernisme sebagai ‘takbir’ atas matinya arogansi

Modernisme)– selalu melegitimasi dirinya sendiri dan dengan cara semacam itu,

ia menjadi sarana utama untuk melegitimasi ‘Occident’(tidak modern) dan ‘hak-

haknya untuk memutuskan apa yang benar’.4 Pengetahuan ilmiah inilah yang

mengategorikan ‘khâriq al-‘âdah (linguistics)’ sebagai mentalitas yang berbeda,

mentalitas ‘liar, primitif, anomali, non-ilmiah, dan seterusnya’. Mekanisme

pengetahuan ilmiah –kekerasan epistemologis dalam istilah Richard Rorty–

semacam itu yang disebut sebagai ‘Othering’ yakni ‘Lain yang memiliki

ke’Lain’an’.

Dengan tesis tersebut, Penulis mencoba menelusuri serta melacak

bagaimana arogansi otoritas teks-teks keagaamaan –dalam bahasa Abu Zaid yang

mengacu pada Alquran dan hadits– yang maknanya sudah direduksi dan

dikeringkan oleh sejumlah pihak dan metodologi yang mengklaim telah

menemukan makna tersebut. Mereka mengedit teks-teks keagamaan ini dalam

rangka mencari pembenaran (legitimasi) bagi proyek-proyek mereka.

Terkait konteks keindonesiaan, kita akan melihat banyak kasus bagaimana

othering yang diakibatkan oleh salah satunya ulah arogansi pemikiran keagamaan

konsumsi. Kajian budaya dan bahasa adalah bidang penyelidikan interdisipliner yang mempelajari

produksi dan penanaman peta-peta makna. Ringkasnya kajian budaya dan bahasa menjadi

mikroskop yang membantu kita melihat derasnya arus lalu lintas pemaknaan bersilang-siur yang

hampir tak terlihat. 4 Bill Ashcroft, dkk., Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktek Sastra Poskolonial.

Penerjemah Fati Soewandi dan Agus Mokamat (Yogyakarta: Qalam, 2003) h. 255

Page 31: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

yang cenderung reduksionis-kanonis atas teks-teks keagamaan. Sangat ironis

memang, pada saat jumlah mereka (aktivis pengusung eksklusivisme) minoritas di

satu ruang publik terkecil hingga yang terbesar (negara misalnya), mereka

melakukan perlawanan mulai dari perlawanan pasif hingga ekspansif militeristik

seperti gerilya, pembajakan, pengeboman, penyanderaan dan seterusnya (terutama

pihak-pihak yang dianggap sebagai inferior dan others atau lokasi-lokasi yang

men(di)jadi(kan) kantong strategis untuk ditundukkan. Namun, mereka –di saat

menjadi mayoritas– merasa superior sehingga membentuk pola interaksi publik

secara legal formalistik dengan menghegemoni segala macam kebijakan-

kebijakan yang bersifat publik seperti hukum, poltik, sosial, budaya, bahkan yang

bersifat privat sekalipun. Hal ini sekarang dapat kita lihat seperti berlakunya

Perda-Perda syariah yang jelas-jelas diskriminatif, marjinalitatif, juga

penyempitan ruang privat yang sangat meresahkan. Mengapa demikian, karena

hal ini jelas berbenturan dengan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi nafas

kebangsaan dan sangat mengganggu laju rekonsiliasi antaragama, keyakinan,

kelas, ras, adat, dan suku di Indonesia.

Hal ini –dalam konteks keindonesiaan– semakin jelas terhitung mulai

tahun 1980-an (sebenarnya terbilang sejak 100 tahun pra kemerdekaan), Orde

Baru hingga saat ini, Pasca Orde Baru (Reformasi) perkembangan Islam di

Indonesia ditandai dengan ke(di)hadir(k)an munculnya fenomena menguatnya

religiusitas umat Islam. Upaya melakukan Islamisasi ke seluruh aspek denyut

kehidupan sosial digalakkan seperti menjamurnya majelis-majelis taklim dan

majelis-majelis zikir. Di sisi lain Islamisasi memasuki dunia ‘kampus’ dengan

ramainya penelitian dan kajian-kajian ala akademisi terhadap Islam dengan

Page 32: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

menguniversalisasikannya. Bisa kita perhatikan misalnya Islamisasi memasuki

ruang ekonomi yang dimanifestasikan dengan adanya lembaga perekonomian

Islam (bank Syariah), dalam bidang hukum seperti formalisasi Syariat Islam

dalam UU seperti PERDA Syariah yang sudah berjalan di beberapa wilayah di

Indonesia, dalam pendidikan misalnya diharuskan mengenakan pakaian muslim

pada hari Jum’at, dalam bidang seni musik dimanifestasikan dengan maraknya

produk-produk album religi, dalam hal politik misalnya ditandai dengan

bermunculannya partai-partai yang mengenakan platform Islam. Selain itu semua,

muncul ormas-ormas yang berbasis Islam, seperti gerakan Tarbiyah (yang

kemudian membidani lahirnya, sekaligus mesin rekruitmen massa Partai Keadilan

Sejahtera), Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela

Islam, Laskar Jihad, dan seterusnya, yang merepresentasikan Islam dengan wajah

lama di era baru. Mengapa saya katakan wajah lama karena mereka mengklaim

bahwa hanya mereka inilah yang orisinil merepresentasikan Islam masa

Rasulullah Saw. dan para sahabat (era salaf). Gerakan mereka berada di luar

kerangka mainstream pandangan politik maupun wacana keagamaan gerakan

Islam dominan seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dan seterusnya (Pernyataan

tersebut bukan berarti mengatakan bahwa NU, Muhamadiyah, Persis dan

seterusnya tidak berhaluan eksklusif).

Gerakan ormas-ormas baru ini mempunyai basis ideologi, pemikiran dan

strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya.

Mereka diindikasikan berhaluan puritan, militan, radikal, skripturalis (literal),

konservatif, dan eksklusif. Di sinilah letak permasalahannya, Penulis mengambil

karakteristik khas mereka yaitu sikap eksklusif sebagai objek analisis (dan juga

Page 33: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

inklusivisme yang menjadi wacana tandingan eksklusivitas yang selanjutnya akan

diterangkan di bawah) dengan kajian wacana sebagai pisau analisis. Mengapa

tema ini yang diangkat? Tentunya, respon terhadap fenomena sosial di dunia

(Indonesia khususnya) menuntut (memaksa) Penulis untuk melacak salah satu

akar jalinan rumit yang berangkat dari pemahaman teks-teks keagamaan

(penerjemahan salah satunya).

Coba kita perhatikan misalnya, konflik sosial yang berisu keyakinan

agama kerap kali terjadi. Belakangan ini, terlebih lagi pasca Orde Baru, kekerasan

bernuansa agama dan suku semakin meningkat, terutama angka kekerasan atas

nama agama. Kekerasan bernuansa suku dan agama ter(di)jadi(kan) di berbagai

wilayah di Tanah Air seperti kerusuhan Ambon, Poso, Sampit, Aceh, Irian Jaya,

peledakan bom di Bali, pengejaran serta perusakan rumah ibadah Jamaat

Ahmadiyah di Parung, Indramayu, Bogor dan lain-lain. Kekerasan semacam ini

tidak hanya menumpahkan darah di daerah yang tersebar di Indonesia tetapi juga

di Ibu Kota Jakarta seperti perusakan kantor sebuah majalah yang dianggap

mengumbar syahwat, peledakan bom di Kuningan, penyerangan AKKBB (Aliansi

Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) di Monas dan tragedi

berdarah lainnya. Peristiwa-peristiwa kekerasan dan teror semacam ditengarai

oleh ormas-ormas yang berhaluan puritan militan, radikal, skripturalis (literal),

konservatif, dan eksklusif. Penulis tidak melakukan tuduhan-tuduhan tanpa bukti

karena beberapa aktor-aktor kekerasan ini sudah ditangkap dan masuk

persidangan, bahkan ada yang sudah divonis mati oleh hakim (kasus Amrozi

misalnya).

Page 34: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Kedua term inilah (eksklusif dan inklusif) yang mempengaruhi sikap dan

pola pikir terhadap ruang-ruang praktis kehidupan. Orang eksklusif (the ego) –

seperti pernyataan Ali Harb– memandang orang lainnya (the other) melalui

identitas keagamaannya, melalui bahasa nasionalnya, melalui peradaban

kulturalnya, atau melalui yang lainnya. Dia (the ego) menghakiminya (the other)

atas dasar ini. Sekiranya orang itu cocok dengan keyakinan, mazhab, ras, kultur,

atau pola peradabannya maka ia (the other) akan diterima dan diidentikkan

dengan dirinya (the ego), namun jika tidak maka ia (the other) akan dicampakkan

sembari dipersamakan antara bid’ah dan pemikiran, karya dan pengkhianatan,

keterlambatan dan keterbelakangan, keasingan dan keprimitifan, atau nama lain

apa pun yang menunjukkan perbedaan penuh atau perbedaan primitif. Oleh karena

itu, orang yang eksklusif terhadap diri dan keyakinannya akan menafikan orang

lain (the other) dan tidak mengakui haknya untuk berbeda dengannya.

Menurutnya, perbedaan bertentangan dengan identitas dan sekaligus menjadi

lawan yang mengancamnya, sehingga harus ditundukkan atau disingkirkan,

dibungkam dan kalau perlu ‘dikempiskan’.

Dengan demikian, “yang lain” (the other) tidak lagi memiliki hak sebagai

manusia, karena ia dipandang dan dilihat melalui kategori-kategori sempit,

penanaman-penanaman instan dan keyakinan-keyakinan absolut. Pemilik nalar

eksklusif menyembunyikan semua perbedaan atau kelainan di dalam identitas

puritannya, padahal perbedaan eksternal merupakan sisi lain dari identitas puritan

yang buta, bahkan merupakan penjustifikasi wujudnya dan alasan

keterlekatannya.5

5 Ali Harb, Benar Kritik Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS,

2004) h.113-114. Buku tersebut mencoba memaparkan atau singkatnya menelanjangi ideologi-

Page 35: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Bukan hanya sikap dan pola pikir, dalam penggunaan bahasa pun orang

yang eksklusif cenderung terpengaruh oleh kerangka pikiran yang eksklusif.

Aposisi-aposisi berikut keabsenannya pun menjadi indikasi yang semestinya tidak

boleh diluputkan dari perhatian. Hal ini dapat termanifestasikan dalam empat

poin: Pertama, penghalusan makna (eufemisme). Penghalusan makna (eufemisme)

wajar-wajar saja bila digunakan untuk merepresentasikan sebuah hal yang masih

dianggap tabu di sebuah komunitas. Yang menjadi masalah adalah ketika

penghalusan makna (eufemisme) ini digunakan untuk menandai dan menamai

sebuah realitas. Masalah terjadi ketika realitas itu adalah realitas yang buruk, yang

memalukan, seperti kemiskinan, pembunuhan, korupsi, dan kelaparan

(penyerangan, perusakan, pengejaran, teror, dan seterusnya [dari Penulis]).

Dengan pemakaian kata-kata itu, realitas yang secara kasar buruk tadi bisa

berubah menjadi halus, dan akibatnya khalayak melihat kenyataan yang

sebenarnya. Eufemisme banyak dipakai untuk menyebut kelompok dominan

(superior, mayoritas, kelompok yang ‘benderanya sedang tertiup angin’) kepada

masyarakat bawah (subordinat, subaltern, minoritas, marjinal), sehingga dalam

banyak hal bisa menipu, terutama rakyat bawah. Kedua, pemakaian bahasa

pengasaran (disfemisme). Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi

halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar (buruk).

Kalau eufemisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan

ideologi yang selama ini dianggap “benar”. Ali Harb ingin mengatakan bahwa kebenaran itu tidak

tunggal dan absolute. Selubung dan permainan-permainan kebenaran yang dipraktikkan oleh

wacana kebenaran dalam teks coba diungkap. Bagi Ali Harb, teks tidak pernah merepresentasikan makna yang dikehendakinya secara utuh, teks hanya bagian dari praktik mekanisme-mekanisme

yang berbeda dalam menutupi, menipu, mengubah, menyembunyikan, menyingkirkan,

memarjinalkan, dan seterusnya. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada sebuah kebenaran yang

bersifat tunggal dan melampaui yang lainnya. Kebenaran tetap merupakan sebuah realitas yang

plural, terbatas, dan dapat saling bertukar. Singkatnya, tidak ada kebenaran tetapi yang ada itu

adalah kebenaran-kebenaran.

Page 36: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

kelompok dominan (mayoritas, superior), disfemisme umumnya banyak dipakai

untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh masyarakat bawah (minoritas,

subordinat, inferior, subaltern) seperti, (pemberontakan, perlawanan,

penyimpangan, pengkhianatan, bid‘ah, heretic, murtad, kafir, subversif,

perusakan, melawan pakem-pakem). Ketiga, labelisasi. Labeling merupakan

perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk

menundukkan lawan-lawan. Pemakaian labeling ini bukan hanya membuat posisi

kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga mempunyai kesempatan

(melegitimasi) bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan

tertentu. Seperti, (karena ‘mereka’ itu “aliran sesat” maka wajar dan seharusnya

jika ‘mereka’ dimusuhi). Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan

sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya

negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah

praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka,

konotasi negatif dan bersifat subjektif. Banyak sekali praktik stereotipe ini.

(‘mereka’ yang khâriq al-ijmâ’ [di luar konsensus ulama] misalnya

distereotipekan sebagai orang atau kelompok yang sesat, ingkar sunah, murtad,

bahkan kafir).6

Adapun orang yang inklusif memandang identitas-identitas lainnya (the

other) secara lain. Ia menerima dan memandangnya sebagai pelengkap dan

teladan, terkadang ia mengidentikkan diri dengannya atau bahkan bersatu

dengannya. Hal itu dilakukan tanpa memandang perbedaan-perbedaan bahasa, ras,

agama, budaya, atau afiliasi-afiliasi apa pun. Menurut pandangan inklusif ini,

6 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, Cet. V

2006) h.125-127.

Page 37: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

“yang lain” (the other) tidaklah terhalangi oleh identitas tertentu, eksistensinya

tidak terhabiskan oleh sifat tertentu, dan hakikatnya tidak menggunakan satu nama

atau satu simbol. Dia memiliki identitas yang luas dan tersusun, dengan sisi-sisi

yang berbeda-beda dan dimensi-dimensi yang plural. Ia adalah esensi wujud

tunggal, namun memiliki relativitas-relativitas dan atribut-atribut yang tak

terhitung.7 Hal ini tentunya tidak lepas dari penerjemahan Alquran Depag di

bawah ini yang memiliki semangat eksklusivisme,

��� ���� ��� دم�� ا�� ��� �� �و� �� ����� ال$� �ة�" ا! ��ه و

Artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali

tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk

orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran,[3]; 85).

9�� أوت�ا ال6�ب إ4& �� ب2( �� �1ء ه/ إن& ال(+�� *�( ا) ا���م و�� ا �' ال&

� ب A�/ و�� 6�@� ب?��ت ا) �=ن& ا) ���> ال;:�بBال2�/ ب

Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada

berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang

pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.

Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah

sangat cepat hisabnya. (Q.S. Ali Imran,[3]; 19).

Lalu timbul pertanyaan yang cukup menyesakkan hati, manakah yang

benar antara eksklusivisme atau inklusivisme? Penulis tidak ingin memilih salah

satunya. Karena dengan memilih salah satunya kita akan terjebak dalam jerat

7 Harb, Benar Kritik Kebenaran, h. 114.

Page 38: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

eksklusivisme. Kedua-duanya benar. Eksklusivisme akan menjaga keutuhan dan

keberlangsungan identitas, tapi menjadi sebuah kekeliruan apabila identitas itu

dipahami secara dangkal sehingga dengan arogan mencoba menegasikan entitas-

entitas identitas “yang lain” (the other). Selain itu, eksklusivisme akan

mengancam integritas sebuah bangsa. Inklusivisme diperlukan guna menjaga

keharmonisan dan kerukunan entitas-entitas yang plural, namun kalau terlalu

mendeifikasi pluralitas cenderung akan memecahkan dan meleburkan bukan saja

identitasnya, bahkan juga identitas-identitas yang lain (the other).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulis membatasi pembahasan masalah ini hanya kepada masalah penerjemahan

wacana serta aspek-aspek dan pengaruhnya. Penulis merumuskan masalah ini

dengan bentuk pertanyaan. Bentuk pertanyaannya sebagai berikut :

1. Apakah ayat-ayat yang cenderung eksklusif dalam Terjemahan Alquran

Depag Edisi Revisi 1989 diterjemahkan dalam kerangka eksklusif atau

tidak?

2. Wacana apa yang terwujud dalam terjemahan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Mengetahui cara pembentukan sebuah gagasan pada ayat-ayat eksklusif

dan inklusif dengan memperhatikan unsur-unsur wacana

2. Mengetahui wacana yang terwujud lewat penerjemahan ayat-ayat eksklusif

dan inklusif serta implikasinya

Page 39: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: Pertama, penelitian ini

tentunya dapat dijadikan sebagai rujukan; kedua, penelitian dapat menjadi standar

dalam analisis wacana yang direpresentasikan lewat penerjemahan Arab-

Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Setiap penulisan apapun semestinya tidak lepas dari tinjauan pustaka guna tidak

terjadinya repetisi pengetahuan dan sebagai penanda bahwa tulisan baru itu bukan

merupakan hasil plagiasi dari tulisan-tulisan lama. Sebelum memulai penulisan

skripsi ini, Penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Untuk sementara ini,

Penulis merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait dengan penerjemahan dan

bahasa. Penulis membatasi diri pada skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan

Fakultas tempat Penulis menimba ilmu. Selama ini Penulis hanya mendapati satu

skripsi menggunakan metodologi yang hampir sama dengan metode Penulis, yaitu

skripsi yang ditulis oleh Makyun Subuki. Skripsinya berbicara tentang korelasi

penerjemahan Al-Quran Depag dengan penerapan Perda Syariah yang marak

belakangan pasca Orde Baru. Penuntutan Perda Syariah bahkan transformasi

Pancasila sistem negara yang katanya sekuler menjadi khilafah oleh sejumlah

ormas Islam urban seperti Hizbut Tahrir, dan Islam garis keras yang lain.

Skripsi yang ditulis oleh Makyun Subuki menganalisa ayat-ayat

terjemahan dengan menggunakan pendekatan semantik, sementara Penulis

mengangkat analisis wacana sebagai pendekatan dalam pengamatannya. Di sinilah

letak perbedaannya, Penulis berkesimpulan bahwa pendekatan skripsi ini sama

sekali belum pernah ada yang melakukannya apalagi menyamainya. Jadi apa yang

Page 40: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dieksplor oleh Penulis sama sekali baru, sehingga ada dinamisasi pengetahuan,

dan tentunya bisa dilanjutkan oleh mereka yang datang selanjutnya.

E. Metodologi Penelitian

Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data

yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, penulis

mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam kerangka teori

wacana sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori wacana

yang membingkai penelitian penulis ini didasarkan pada literatur-literatur yang

terpercaya.

Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian terhadap

literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian seperti terjemahan Al-

Quran Departemen Agama.

Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and

Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian dapat terarah dan sistematis, langkah yang Penulis lakukan

sebagai berikut :

Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, dan metode yang digunakan, serta sistematika penulisan. Penulis dalam

Page 41: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah yaitu pengalaman-

pengalaman mengerikan yang dilalui bangsa Indonesia dengan segala macam

pluralitasnya mulai dari yang ekstrim kanan hingga ekstrim kirinya. Penulis

sengaja menempatkan uraian ini pada Bab I dengan alasan bahwa uraian ini

dijadikan sebagai introduction bagi pembaca. Latar belakang masalah ini tentunya

dibahas secara singkat dan kemudian akan diuraikan lebih luas lagi pada bab III

dan IV.

Bab II merupakan pembahasan sekitar teori wacana dan ragam model

penerjemahan. Penulis pada bab ini mencoba menguraikan teori dan ragam model

penerjemahan yang telah dipelajari di dalam kelas. Penulis juga menggambarkan

teori wacana melalui pendekatan budaya dan filsafat bahasa yang telah dipelajari

di kelas maupun diskusi-diskusi lepas di luar kampus. Selain memaparkan teori

terjemahan dan teori wacana, Penulis juga melacak akar kata terjemah itu sendiri

yang dipahami pengguna bahasa dalam hal ini adalah bahasa Arab. penelusuran

kata terjemah melalui proses yang cukup panjang, melelahkan, sekaligus

memuaskan dan menghasilkan temuan-temuan yang menurut Penulis anggap

merupakan suatu kebaruan.

Bab III merupakan pembahasan mengenai wacana aktual di Indonesia

terkait dengan eksklusivisme dan inklusivisme Islam. Tidak lupa pula, Penulis

mengutip pandangan beberapa tokoh terkait dengan wacana tersebut terutama

tokoh-tokoh Timur Tengah. Pada bab III ini, Penulis sedikit reduksionis

mengatakan bahwa ketegangan kedua wacana tersebut didasarkan pada perebutan

makna teks-teks keagamaan dengan ego masing-masing. Satu pihak mendapatkan

Page 42: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

makna teks pada teks itu sendiri sementara pihak lain menemukan makna teks

berada di balik teks.

Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan wacana ke dalam

bahasa Indonesia. Dalam hal ini, Penulis mengambil Terjemahan Al-Quran

Departemen Agama sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis

terjemahan tersebut dengan teori wacana sebagai pisau analisisnya dibantu dengan

disiplin hermeneutik sebagai pendamping pemahaman sebuah teks. Kerja

memamahi ternyata tidak sesederhana yang dikira. Pembacaan sekilas tanpa

memahami konteks (apalagi tidak mendiplomasikan konteks sejarah dengan

konteks masa kini sekaligus tidak membuat ancang-ancang bagi pemahaman masa

depan) berujung pada distorsi, melunturkan makna, keterjajahan (pada saat yang

bersamaan) dan penyembahan terhadap teks. Hal ini bisa juga dibilang bahwa

suatu pembacaan sekilas sama saja dengan hegemoni teks atas makna, sejarah,

realitas, dan subjek itu sendiri. Penerjemahan teks keagamaan ini (karena

memiliki nilai mitis) ternyata mempunyai implikasi sosiologis yang signifikan.

Karenanya, penerjemahan harus bersifat konstruktif bagi perkembangan

masyarakat.

Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan

saran ini merupakan ruang dialog terbuka Penulis dengan pembaca. Dengan ruang

tersebut, kita harapkan karya tulis ini menjadi dinamis dengan segala pernak-

pernik kelebihan dan kekurangannya.

Page 43: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

BAB II

PIJAKAN TEORI

A. Kritik Definisi Penerjemahan

Sudah menjadi kelaziman sebuah penulisan (apalagi penulisan akademis yang

sarat dengan belenggu dan pelbagai macam “pedoman”) Penulis terlebih dahulu

mengemukakan definisi dari sebuah term yang akan diulas lebih jauh dalam

penulisan tersebut. Definisi seperti yang sama-sama kita ketahui adalah

mendeskripsikan sebuah realitas tetapi lagi-lagi yang namanya definisi tetaplah

“definisi”. Hal ini disinyalir oleh Imam Ghazali dengan mengatakan,

*� آ� و4 �6�ن ال;( 1�اب� . أن ال;( إن�D �9آ� 1�اب� *� �Fال �" الD;�ورات

�, �FالK2ب �* � 8.ب

Artinya, ‘Sebuah definisi hanya mampu menjawab satu pertanyaan dalam dialog.

Sebuah definisi tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan, bahkan beberapa

pertanyaan.’ Definisi bisa dikatakan mereduksi (juga mendeterminasi) sebuah

realitas yang dideskripsikannya. Fatalnya sebuah definisi mendistorsi realitas

dengan mengambil karakteristik secara parsial (karena produksi definisi tentu saja

melibatkan subejktifitas subjek).

Inisiatif ini –menjelaskan term yang akan dibahas sebelum melakukan

diskusi lebih lanjut– sejalan dengan yang dilakukan oleh Al-Asymâwi,

“Sesungguhnya, sebuah ‘kata’ –kata apa pun– tidak selamanya mudah dimaknai,

dipahami, dijalankan, dan atau mudah dijangkau oleh akal. Sebuah ‘kata’

bukanlah dunia yang dapat berbicara dengan sendirinya, yang menunjukkan

8 Imâm Ghazâli, al-Mustasfâ Min ‘Ilm al-Usûl Vol 1 (Beirut: al-Muassasah al-Risâlah,

1997) h 48.

Page 44: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

makna dan maksudnya. Ia adalah susunan objek yang maknanya diambil dari

definisi sosial.”9 Sementara sosial dalam mendefinisikan sesuatu tentu saja

berketergantungan dengan sebuah paradigma dan capaian-capaian peradaban yang

dimilikinya.

Selanjutnya Al-Asymawi menegaskan, “Definisi suatu istilah (kata) dan

penentuan maknanya merupakan perkara yang harus dilakukan terlebih dahulu

sebelum kita melakukan suatu pembahasan, karena makna terkadang menjadi

tidak jelas, rancu dengan yang lain dan atau tidak jelas dalam pemahaman orang

lain. Atau bisa juga ia jelas dan tidak rancu tetapi berubah menjadi makna lain.

Kadang suatu kata itu dikira telah jelas, tidak rancu, dan ambigu, tetapi suatu kata

itu selalu –sebagaimana yang tampak dalam kajian-kajian bahasa– tetap

membutuhkan pada batasan yang disepakati sebelum dikaji dan didiskusikan

secara produktif. Jika tidak, maka konsep-konsep akan tenggelam dalam

kerancuan, dan kehilangan arti jatuh ke dalam kekacauan.”10

Pada kesempatan ini, Penulis akan memaparkan sebuah terobosan baru

sebagai sebuah pembacaan kritis yang berakar dalam khazanah klasik dengan

sentuhan-sentuhan metode pembacaan kontemporer (al-qirâ’ah al-mu’âshirah)

terhadap penerjemahan. Pemaparan-pemaparan dalam skripsi ini –khususnya bab

ini– dilakukan sebagai animo Penulis untuk mengupayakan saluran alternatif atas

sumbatan-sumbatan, kemacetan, atau kebuntuan-kebuntuan yang selama ini

“baik-baik saja” didefinisikan baik oleh kamus, buku-buku, maupun skripsi-

skripsi yang berbicara tentang penerjemahan. Coba kita simak penerjemahan yang

dikatakan oleh A.Widyamartaya dalam Seni Menerjemahkan 1989

9 Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah. Penerjemah Luthfi Thomafi

(Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 3 10 Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 4-5.

Page 45: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

“Menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari

bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama

mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya”.11

Juga kita perhatikan misalnya apa yang dipaparkan J.C.Catford dalam A

Linguistic Theory of Translation, “Translation is an operation performed on

languages: a process of substituting a text in one language for a text in

another.”12 Lebih jauh Salihen Moentaha, MA, Ph.D mengatakan, “Terjemahan

adalah proses penggantian teks dalam BP (bahasa pemberi) dengan teks dalam BS

(bahasa sasaran) tanpa mengubah tingkat isi teks BP (bahasa pemberi).”13

Rochayah Machali dalam bukunya yang populer mengatakan, “Melalui kegiatan

penerjemahan, seorang penerjemah menyampaikan kembali isi sebuah teks dalam

bahasa lain. Penyampaian ini bukan sekedar kegiatan penggantian, karena

penerjemah dalam hal ini melakukan kegiatan komunikasi baru melalui hasil

kegiatan komunikasi yang sudah ada (yakni dalam bentuk teks), tetapi dengan

memperhatikan aspek-aspek sosial ketika teks baru itu akan dibaca atau

dikomunikasikan. Dalam kegiatan komunikasi baru tersebut, penerjemah

melakukan upaya membangun ‘jembatan makna’ antara produsen teks sumber

(TSu) dan pembaca teks sasaran (TSa).”14

Dapat pula kita saksikan sebuah definisi penerjemahan yang menurut

hemat Penulis sangat reduksionis seperti yang dipaparkan oleh Drs. Fahrurrozi,

“Translation atau penerjemahan, pada hakikatnya, adalah mengalihbahasakan

11

A.Widyamartaya Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989) h. 11. 12

J.C.Catford A Linguistic Theory of Translation (London: Oxford Of University Press,

1974) h.1. 13

Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006) h. 11.

Catatan: keterangan dalam kurung pada kutipan merupakan tambahan dari Penulis. 14 Rochayah Machali. Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000) h.5-6.

Page 46: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

makna atau pesan dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target

language).15

Ibnu Burdah mengemukakan, “Banyak sekali definisi tentang terjemah

yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam pandangan saya, apapun definisi yang

digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsip akomodatif-operasional.

Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan definisi-definisi tentang terjemah

yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai

sikap apresiatif (ta’zîm, menghargai) terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh

pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud,

bahwa definisi yang digunakan –sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil

sebelumnya– harus tetap berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut

dapat dioperasionalkan pada tahapan yang lebih praktis atau tidak. Berlandaskan

pada dua prinsip tersebut, dalam tulisan ini Penulis mengambil definisi tentang

terjemah sebagai, ‘Usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks

sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).’”16 Tapi

yang pasti adalah “suatu terjemahan tidak dapat mengganti teks asli.”17

Sejalan dengan definisi-definisi tersebut, Muhammad ibn Yakub al-

Fairuzabadi dalam karya yang cukup populer di kalangan peminat sastra klasik,

Al-Qâmûs Al-Muhît memaparkan,

و , الD@:� ل�:�ن: آ�2@�ان وز*@�ان ور���Aن , ال��D1ن ] ت ر ج م [

�D1ت� )Q , و ~� .وال@2� �(ل *�" أ�TلS ال�ء, *�

15

Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah (Yogyakarta: Teknomedia, 2003) h. 1. 16

Ibnu Burdah. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004) h. 9-10.

17 Kees Bertens. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002)

Cet. Keempat h. 161

Page 47: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Ta ra jim mim, turjumân seperti lafal ‘unfuwân, za’farân, dan raihuqân.

Turjumân bermakna menjelaskan dengan bahasa lain, contoh kalimat wa qad

tarjamahu atau tarjama ‘anhu yang bermakna seseorang itu menjelaskan dengan

bahasa lain. Verba tarjama menunjukkan verba dasar (tidak berderivasi dari ra ja

ma).18

Louis Ma’louf – termasuk dalam barisan pertama – dengan karya yang

juga populis di kalangan santri modern maupun mahasiswa, yaitu kamus Al-

Munjid fi al-lughah wa Al-A’lâm, menyatakan,

�:�V ب�:�ن A� � U� ت��D1ن و ت��D1ن ج ت�اSD1 و : ت�1/ ال�6م

� ب�ل�آ S"و���ل . ت�ا1/D1آ"" ت��ال" ال�:�ن ال �� ~ و.اي ن���* : Yأوض

Vج ت�ا1/. ا�� SD1�ال :� ال@:

‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan

dengan bahasa lain.’ Dia menjadi juru bicara. Bentuk plural tarjumân dan

turjumân ialah tarâjimah dan tarâjimu. ‘Dia menerjemah ke bahasa Turki,’ berarti

‘Dia mengganti bahasanya menjadi bahasa Turki.’ ‘Tarjama ‘anhu’ bermakna

‘dia menjelaskan hal itu.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah yang

bermakna menjelaskan.

ال�]: ت�1/ ال�6م

‘Dia menerjemah ucapannya,’ bermakna ‘Dia mencampuradukkan

(mengaburkan/menidakjelaskan) ucapannya.’

18

Muhammad Ibn Ya‘qûb al-Fairuzâbâdi, al-Qâmûs al-Muhît (Libanon: Dâr al-Fikr,

1426 H/2005) h. 976.

Page 48: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

�^$[ ذآ� � �ة : ال�SD1 ج ت�ا1/ . ذآ� � �ت�: ت�1/ ال�1

�� ون:�Q� ب . وأ�ال6 SD1ت� :� .��ت;

‘Dia menerjemahkan orang lain,’ bermakna ‘Dia mengartikulasikan

biografi orang lain.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah. ‘Dia

mengartikulasikan biografi, etika, dan asal-usul genetika orang lain.’ Tarjamah

Al-kitâb bermakna pendahuluan sebuah buku.19

DR.Ibrahim Anis Dkk. pun melakukan hal yang sama,

� ووض;�: ال�6م ) ت�1/(� ن��� �� لSB إل" : و*�� , آ�م � �V~ و. ب

�: ل@�ن ~ و. ا �يD1ذآ� ت�.

‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dan

menerangkannya.’ ‘Dia menerjemahkan ucapan orang lain,’ bermakna ‘Dia

menjelaskan dengan bahasa lain.’

.الD�1/ ج ت�ا1/ وت�اSD1) : ال��D1ن(

Turjumân juga bermakna penerjemah. Tarâjimu dan tarâjimah merupakan

bentuk plural turjumân.

)SD1�ن ) : ال�� SD1ج ت�ا1/: ت� � �ت� وح �ت� .

(Tarjamah) ‘Tarjamah Fulân’ bermakna perjalanan hidup dan biografi

seseorang. Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah.20

Senada dengan komentar-komentar di atas, Hans Wehr mengemukakan

uraian yang sama,

19

Louis Ma’louf, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lâm (Beirut : Dar Al-Masyriq, 1986)

h.60. 20 Ibrahim Anis dkk. al-Mu’jam Al-Wasît (Kairo: 1972) h. 83

Page 49: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

to another) ; to interpret; to إل" to translate �* from one language ت�1/

treat /1ت� by way explanation, expound; to write a biography.

SD1ت� Pl. /1ت�ا Translation; interpretation; biography (also ة� ت�SD1 ال;

) introduction, preface foreword (of a book) S .autobiography ت�SD1 ذات

.Translator, interpreter ت�ا1 / , ت�اPl. SD1 ت��D1ن

/1�� Translator, interpreter, biographer.

/1�� Translated.21

Dari sekian definisi yang telah dikemukakan di atas, Penulis mencoba

mengomparasikannya dengan menelusuri ke akar kata penerjemahan berikut

derivasinya pada kamus-kamus yang lain. Kemungkinan besar apa yang akan

Penulis paparkan selanjutnya ini akan sangat kontras (bahkan akan mewujudkan

biner-biner yang selama ini invisible atau sengaja ‘tak mau dilihat’) dengan

definisi-definisi yang telah ada. Untuk memulainya, mari kita perhatikan apa yang

ditulis Muhammad ibn Abu Bakar ibn Abdulkadir Ar-Razi dalam Mukhtâr Al-

sîhâh,

� ر1/ ال�

Rajmun bermakna membunuh

� ال��" ب�ل;�bرة�Tأ

Asal makna rajam ialah melempari sesuatu dengan batu

�cب�ل � ل�B ب�Q1D�ل أ) ت�2ل" ر, ال�1/ ان ��6/ ال�1d.

21

Hans Wehr. A Dictionary Of Modern Written Arabic (Arabic-English) (Weisbaden,

Otto Harrascowit) h. 112

Page 50: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Rajam bermakna seseorang yang berbicara dengan menduga-duga,

perkiraan, dan keraguan. Allah Swt. berfirman, “Sebagai terkaan terhadap yang

ghaib,” (al-Kahfi ayat 22).

� U ب�:�ن V�:� اذا � ت�1/ آ��

Bila menjelaskan dengan bahasa lain, seseorang dapat dikatakan telah

menerjemahkan ucapannya.22

Tidak pula kami tinggalkan Lisân al-‘Arâb kamus klasik yang sering

dijadikan referensi dalam penulisan-penulisan baik ilmiah maupun non-ilmiah,

� ال��2 ال�gد ال:d الf/ ال�c ال�bAان ال;(س ال�1/ ال�

Rajam bermakna membunuh (bukan hanya secara fisik tetapi juga

membunuh karakter dan identitas–dari Penulis), melaknat, mengusir

(mengucilkan–dari Penulis), menghina, mencaci-maki, terkaan, perpindahan,

intuisi (dugaan– dari Penulis).

�� ت/ لh�ل�Qل ت�2ل" i1ر لD&�jأي ل i�&�&�j

Allah Swt. menceritakan ayah Nabi Ibrahim AS. dalam surah Maryam

ayat 46, ayahnya mengancam, “Jika kamu tidak berhenti (berdakwah mengajak

aku), aku akan merajam kamu”, maksudnya rajam adalah mencaci maki dan

mengucilkan.

ال�1/ ال��ل ب�ل�c وال;(س

Rajam juga bermakna ucapan yang diartikulasikan dengan menduga-duga

dan berdasarkan intuisi.

Abu Bakar Ra. berwasiat kepada anak-anaknya,

22 Al-Râzi. Mukhtâr al-Sihâh (Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994) cet. 1 h.14-15.

Page 51: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

�h 4ت�D1�ا ��Qي �V��2 4ت��ح�ا *�( ��Qي أي 4ت��ل�ا *�(V آ��� �

“Janganlah kalian merajam di kuburku”, artinya “Janganlah kalian meratap

di kuburku”, Maksudnya adalah “Janganlah kalian melontarkan ucapan-ucapan

buruk di kuburku.”

�: آ�م ��1/ �� � � �*

Ucapan yang diterjemahkan adalah ungkapan yang diartikulasikan tidak

berdasarkan keyakinan.

� ز*@�ان و ز*���k� /1ت�ا �2D1 SD1ت�

Tarâjimu merupakan bentuk plural dari tarjamah, hal ini serupa dengan

za’farân dengan za’âfiru.23

Dari beberapa uraian di atas, Penulis menemukan sederetan kata dan

variasi makna yang berasal dari kata rajama dan tarjamah dimana penemuan

makna-makna tersebut tidak ‘sebaik’ apa yang pernah ditekstualisasikan oleh

sejumlah penulis. Sisi gelap (dark side) yang bisa Penulis katakan bahwa

penerjemahan merupakan suatu bentuk artikulasi konsep yang dapat membunuh

atau mematikan karakter domain lokal (other) sehingga identitas dari kearifan

lokal (local wisdom) ditelan oleh konsep yang digulirkan penerjemahan. Dari sini

terjadi komunikasi yang tidak sehat dan seimbang antara ide yang diterjemahkan

dan ide lokal. Selain itu dalam kata ‘penerjemahan’ sendiri bermasalah (terjadi

konflik dalam dirinya). Jadi memang secara substansial penerjemahan itu

membawa awan-awan gelap yang selama ini ‘tak (mau) dilihat’. Berbeda sekali

misalnya dengan pengantar buku A.Widyamartaya yang mengatakan bahwa

23

Jamâluddin Muhammad Ibn Mahrâm Ibn Manzûr, Lisân al-Arab (Beirut: Dâr al-Fikr)

Vol. 12, h. 229.

Page 52: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

penerjemahan akan membantu mencerdaskan bangsa. Pembacaan tunggal

terhadap penerjemahan semacam ini, membutakan mata akan bayang-bayang

hitam penerjemahan seperti yang sudah disinggung Penulis. Apalagi definisi yang

disebutkan Ibnu Burdah dan paparannya –yang agak sedikit apolgetik– setelah

itu, definisi tersebut menurut Penulis secara jelas sangat menutup rapat celah yang

dapat dimasuki untuk melakukan kritik penerjemahan. Selain itu, uraian Ibnu

Burdah yang diiringi dengan catatan hariannya dalam Menjadi Penerjemah pada

hal. 23-24 tentang kekeliruan penerjemahan secara linguistik dan semantik,

seakan melegitimasi kekeliruan-kekeliruan penerjemahan.

Dari uraian di atas, secara sederhana penerjemahan merupakan sebuah

mekanisme dan praktik yang beroperasi secara ambivalen. Penerjemahan harus

digarisbawahi dan dicoret pada saat yang bersamaan (dalam kosakata Derrida,

‘penerjemahan merupakan sebuah kata yang diawetkan dan dihapus sekaligus).

Mengapa Penulis katakan ambivalen? Di satu sisi, penerjemahan memperkenalkan

sebuah konsep atau gagasan dari luar tetapi di sisi lain wacana-wacana yang

dibawanya mencoba menggeser atau bahkan mengeksklusi serta mengeliminasi

wacana-wacana lokal.24

24

Belum lagi misalnya sikap kritis seorang penerjemah amat dibutuhkan dalam rangka

mewaspadai dan mencurigai ideologi atau kultur dalam teks yang sedang dihadapinya. Dalam hal

ini, bahasa Arab tentunya yang sarat dengan diskriminatif terhadap perempuan, misalnya.

Mengapa demikian? Seperti sudah pernah disinggung bahwa bahasa merupakan refleksi dari

struktur berpikir masyarakat tersebut. Hal ini bisa diambil contoh pada Syarh al-Kafrâwi – buku

nahwu yang pernah menjadi materi pelajaran bahasa oleh Muhammad Abduh dan hingga saat ini

masih dipelajari – h. 64-65, “Mereka (ahli Nahwu) memberi dammah untuk mutakallim lض�ب .

Dammah lebih kuat daripada yang sesudahnya (fathah dan kasrah). Dammah diperuntukkan

mutakallim (subjek) guna penyesuaian (karena posisi mutakallim sebagai superrior yang sesuai dengan dammah yang dianggap kuat). Mereka memberi fathah untuk mukhâtab mudzakkar

(audiens maskulin). Fathah lebih lemah daripada dammah. Karenanya, fathah diberikan kepada

mukhâtab mudzakkar (audiens maskulin) yang posisinya jelas lebih lemah daripada mutakallim.

Mereka memberikan kasrah untuk mukhâtab mu’annats (audiens feminin) dengan ter(di)paksa

karena (di)hilang(kan)nya kekuatan perempuan. Kecurigaan yang disertai dengan kawaspadaan

penerjemah adalah upaya meminimalisir sekecil-kecilnya agar produk terjemahan tidak bercampur

Page 53: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

B. Metode-metode Penerjemahan.

Pada sub bab kedua ini Penulis akan memaparkan metode-metode yang kita kenal

dan pratikkan selama ini. Memang banyak sekali metode-metode penerjemahan

yang ada namun Penulis di sini akan sepenuhnya mengutip pembagian metode

penerjemahan oleh Newmark yang dilansir Rochayah Machali dalam bukunya,

Pedoman Bagi Penerjemah. Newmark membagi metode penerjemahan menjadi

dua.

Untuk lebih jelasnya Penulis mengutip apa yang dituliskan Rochayah

Machali sebagai berikut, “Nerwmark (1988) mengajukan dua kelompok metode

penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa

sumber (Bsu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran.

Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali

dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun dijumpai hambatan

sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan dalam bentuk dan makna).

Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif

sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi Bsu.25

Berikut ini merupakan metode penerjemahan yang berorientasi sekaligus

menekankan bahasa sumber, namun Penulis sengaja tidak mencantumkan contoh-

contohnya. Untuk mengetahui lebih lanjut, Penulis merujuk langsung pada buku

Rochayah Machali,

1. Penerjemahan kata-demi-kata

Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata Tsa langsung

diletakkan di bawah versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar

dengan paradigma berpikir teks sumber. Sementara teks sumber sendiri (Al-Quran dalam hal ini)

juga teks sekunder dari kalâm Ilahi. 25 Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h.49

Page 54: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural (misalnya kata ‘tempe’) dipindahkan

apa adanya.

2. Penerjemahan harfiah

Konstruksi gramatikal BSu dicarikan padanannya yang terdekat dalam

Tsa, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan terpisah dari

konteks. Penerjemahan yang lepas konteks semacam ini selain menghasilkan versi

Tsa yang tak bermakna, juga menghasilkan versi Tsa yang tidak lazim.

3. Penerjemahan setia

Penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual Tsu dengan

masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Di sini kata-kata yang bermuatan

budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan

kata masih tetap dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan

tujuan Tsu, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang terasa kaku dan seringkali

asing.

4. Penerjemahan semantis

Apabila dibandingkan dengan metode penerjemahan setia, penerjemahan

semantis lebih luwes, sedangkan penerjemahan setia lebih kaku dan tidak

berkompromi dengan kaidah Tsa. Berbeda dengan penerjemahan setia,

penerjemahan semantis harus pula mempertimbangkan unsur estetika teks BSu

dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain

itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata

yang netral atau istilah yang fungsional. Bila dibandingkan dengan penerjemahan

Page 55: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

setia, penerjemahan semantis lebih fleksibel, sedangkan penerjemahan setia lebih

terikat oleh BSu.26

Sedangkan berikut ini adalah metode penerjemahan yang lebih

menitikberatkan pada bahasa sasaran. Dalam metode penerjemahan ini,

penerjemah tidak hanya dituntut mengalihbahasakan sebuah teks semata, tetapi

juga dituntut untuk melihat konteks kewacanaan,

1. Adaptasi (termasuk saduran)

Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling

dekat dengan BSa. Istilah ‘saduran’ dapat dimasukkan di sini asalkan

penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema,

karakter, atau alur. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau

puisi, yaitu yang mempertahankan tema, karakter, dan alur. Tetapi dalam

penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa, dan teks asli ditulis

kembali serta diadaptasikan ke dalam TSa.

2. Penerjemhan bebas

Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan

mengorbankan bentuk teks BSu. Biasanya, meode ini berbentuk sebuah parafrase

yang dapat lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya. Metode ini lebih sering

dipakai di kalangan media massa (namun tidak menutup kemungkinan digunakan

oleh yang lain).

3. Penerjemahan idiomatik

26 Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h. 50-52.

Page 56: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering

dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak

didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi makna.

4. Penerjemahan komunikatif

Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian

rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat

dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi TSa-nya pun langsung berterima.

Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi,

yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah

versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan prinsip-

prinsip di atas.27

Meskipun semuanya bermanfaat, namun dari delapan metode di atas –

menurut Rochayah Machali– hanya metode semantis dan komunikatif yang

memenuhi harapan-harapan utama penerjemahan, yaitu demi ketepatan dan

efisiensi sebuah teks.

C. Sekilas Wacana dan Ideologi

Kita sudah sering mendengar kata wacana dan pelbagai macam penggunaannya di

segala bidang. Namun, banyak di antara kita mengabaikan apa itu wacana dan

bagaimana ‘makhluk’ ini beroperasi dalam kaitannya sebagai unsur bahasa serta

implikasinya dalam kesadaran dan sikap kita sehari-hari. Seperti biasanya, Penulis

terlebih dahulu akan menerangkan asal kata wacana dan hal-hal yang terkait

dengannya.

27 Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h. 53-55.

Page 57: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Istilah ‘wacana’ berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, artinya

‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac

dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III

parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata

tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang

muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna membendakan

(nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau

‘tuturan’.28

Merujuk ke akar kata wacana, secara perlahan kita telah menemukan titik

terang apa arti wacana. Menelusuri akar katanya, wacana sudah dikenal oleh

nenek moyang kita. Namun, analisis wacana baru mulai mendapat perhatian dan

elaborasi lebih lanjut sekitar pada tahun 1970-an. Sebagai sebuah pengantar

mengenai asal-usul kata ‘wacana’, keterangan di atas sudah cukup memadai guna

melangkah ke anak tangga berikutnya. Meskipun belum sejelas dan bukan

sepenuhnya apa yang ingin dimaksud dalam penulisan ini, setidaknya uraian

tersebut sebagai pengantar ke pembahasan lebih lanjut.

Wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu

bangun bahasa. Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa

yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di

samping itu, wacana juga terikat pada konteks.29

Definisi pada uraian di atas

merupakan perspektif para linguis.

28

Mulyana. Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005) h. 3.

29 Kushartanti dkk. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. (Jakarta:

Gramedia 2005) h. 92.

Page 58: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Berbeda lagi misalnya wacana dalam perspektif kebudayaan.30

Wacana di

sini tidaklah lagi difahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks,

tetapi mengikuti Michel Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain

(sebuah gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara

sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu

konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.31

Wacana menurut Foucault adalah sebuah artikulasi dalam menciptakan

‘kebenaran’ yang mempunyai otoritas untuk melanggengkan kekuasaan. Foucault

melihat bahwa ada benang merah antara kekuasaan dan pengetahuan.32

Kekuasaan

tidak lagi dimaknai sebagai sebuah paksaan yang bersifat represif tetapi

kekuasaan beroperasi dengan cara memproduksi kebenaran-kebenaran yang

disosialisasikan lewat sekolah, rumah sakit, rumah ibadah, penjara, dan institusi-

institusi lain.33 Jadi kekuasaan itu adalah sebuah proses pendisiplinan,

menundukkan, atau mengendalikan the others (yang lain) dengan jalan ideologi

(kebenaran-kebenaran) sebagai kontrol mental yang (di)masuk(kan) ke dalam

kesadaran konsumen teks.

30

Kebudayaan yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu keunikan ‘yang berada di luar

sana’ serta menunggu digambarkan oleh para ahli yang selalu gagal. Kebudayaan di sini adalah praktik pengalaman kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk lebih jelasnya lihat Cultural Studies

h. 48. 31

Eriyanto. Analisis Wacana h. 65. 32

Artikulasi dalam istilah Lacau dan Mouffe sebagai praktik apapun yang berusaha

menetapkan hubungan antara unsure-unsur sedemikian rupa sehingga unsung-unsur tersebut

dimodifikasi. Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 53.

33 Ideologi di sini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai alat dominasi, tapi harus

dipahami sebagai wacana-wacana dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap relasi-relasi

otoritas di setiap level hubungan sosial, juga termasuk praktik legitimasi dan penguatan kelompok

dominan. Lebih jauh Franz Magnis Suseno dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis h. 230, menguraikan salah satu makna ideologi. Ideologi menurut salah satu maknanya adalah sebuah

kesadaran palsu. Ideologi memiliki konotasi negatif, sebagai claim yang tidak wajar, atau sebagai

teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang

mempropagandakannya. Ideologi minimal dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terkena

distorsi, entah dengan disadari, entah tidak.

Page 59: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa,

melainkan jiwa, pikiran kesadaran, dan kehendak individu yang mampu

menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat.34

Michel Foucault menggambarkan disiplin ini sebagai perpanjangan dari

disiplin militer dan dari disiplin kalangan agamawan dalam monastri (ingat

disiplin atau muhâsabah an-nafs-nya kaum sufi). Pada disiplin militer, yang

ditekankan adalah ketundukan fisik, sementara pada disiplin agamawan adalah

pengekangan fisik untuk membebaskan kemurnian jiwa dari penjara kotoran

tubuh. Maka pada disiplin sebagai mekanisme power yang diperhitungkan adalah

relasi ketundukan dan kebermanfaatan (relation of docility-utility) relasi seperti ini

amatlah menentukan dalam soal bagaimana seseorang bisa menguasai tubuh orang

lain bukan hanya untuk menuruti apa yang diinginkannya, melainkan juga supaya

mereka berperilaku sebagaimana yang dikehendaki sesuai dengan teknik-teknik,

ukuran-ukuran kecepatan dan efisiensi yang sudah ditentukan sebelumnya. Yang

muncul kemudian adalah tubuh-tubuh yang –di satu sisi– kekuatannya

ditingkatkan, dalam arti dimanfaatkan dan didayagunakan secara ekonomis,

namun juga –pada sisi yang lain– dikurangi atau diperlemah, dalam arti

ditundukkan secara politis. 35

Singkatnya, seperti halnya dalam disiplin militer, disiplin dalam

lingkungan civil society melahirkan manusia-manusia mirip robot yang

berperilaku dan bertindak secara mekanis sesuai dengan pakem yang sudah

ditentukan. Dan pakem ini mencakup bukan hanya mekanisme-mekanisme

berperilaku dan kontrol diri tapi juga metode-metode dan strategi-strategi (the

34

Eriyanto, Analisis Wacana h.69. 35

Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 103-104.

Page 60: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

blueprint of general method) yang merasuk ke dalam dunia pikiran, yang

berproses mulai dari sekolah, rumah sakit, hingga ke penjara.36

Tapi lantas mengapa wacana mampu mendisiplinkan komunikan? “Louis

Althusser, seorang marxis strukturalis, secara erat mengaitkan subjek

(komunikan) dengan ideologi: individu menjadi subjek ideologis melalui proses

interpelasi. Ideologi menurutnya sebagai sistem representasi yang menyamarkan

hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya satu sama lain dalam masyarakat

dengan cara mengonstruk hubungan-hubungan imajiner antara orang-orang dan

antara mereka sendiri dan formasi sosial.”37

Tapi ada juga baiknya kalau langsung

merujuk pengertian ideologi dari Althusser, “ideologi adalah sistem gagasan dan

pelbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial.”38

Adapun Interpelasi menggambarkan proses bahasa yang dialami dalam

mengonstruk suatu posisi sosial individu atau seseorang dan dengan demikian

membuatnya menjadi subjek ideologis:

(I)deologi ‘bertindak’ atau ‘berfungsi’ sedemikian rupa sehingga dia

‘merekrut’ subjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua)

atau ‘mentransformasikan’ individu-individu itu ke dalam subjek-subjek

(mentranformasikan mereka semua) menggunakan operasi yang sangat tepat, yang

saya sebut dengan interpelasi atau pemanggilan (hailing) dan yang bisa

dibayangkan berada di sepanjang garis pemanggilan polisi (atau lainnya) sehari-

hari yang lazim dilakukan, ‘Hai, kau yang di sana!’ Dengan mengasumsikan

bahwa kancah teoritis yang telah saya bayangkan itu terjadi di jalan raya, individu

36

Baso, NU Studies. H. 104. 37

Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan Metode.

Penerjemah Imam Suyitno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 28. 38

Louis Althusser, Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) h. 35

Page 61: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

yang dipanggil akan berbalik – (...) dia menjadi subjek.” (Althusser 1971: 175).39

Tegasnya, yang kita sebut ideologi sebenarnya adalah pengaburan antara realitas

linguistik dengan realitas natural, antara referensi dengan fenomenalisme.40

Bagi Althusser, kekuatan ideologi lahir dari kesanggupannya untuk

melibatkan kelas subordinat dalam praktik, hingga dapat menuntun mereka pada

identitas konstruk sosial, ataupun subjektivitas tertentu yang melibatkan diri

mereka pada ideologi tersebut, yang jelas-jelas berlawanan dengan kepentingan

sosial politis mereka sendiri.41

Dengan kata lain, artikulasi yang bersifat ideologis

dihadapkan pada sebuah ‘PR’ fundamental guna merekrut simpati konsumen teks

yang mereka tawarkan. ‘PR’ ini tentunya harus diselesaikan dengan ber’darah-

darah’ (berjuang keras).42

Artikulasi dapat pula berisi kategorisasi. Kategorisasi merupakan

pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula

yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kategori merupakan

alat bagaimana realitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak. Kategorisasi

itu merupakan kekuatan yang besar dalam mempengaruhi pikiran dan kesadaran

publik. Dalam mempengaruhi kesadaran publik, kategorisasi lebih halus

dibandingkan dengan propaganda. Meskipun terlihat halus dan tidak langsung,

pemakaian kategori tertentu atas suatu peristiwa bisa jadi mempunyai imbas yang

lebih tinggi dibandingkan dengan propaganda. Karena, kategorisasi lebih

menyentuh, lebih subtil, dan lebih mengena alam bawah sadar. Khalayak tidak

39

Jorgensen Analisis Wacana h. 29. 40

Stephen Morton, Gayatri Spivak, Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran Poskolonial. Penerjemah Wiwin Indiarti (Yogyakarta: Pararaton, 2008) h. 114

41 Althusser. Tentang Ideologi h. xi

42 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta:

LKiS, 2005) h.119

Page 62: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

sadar bahwa alam pikirannya dan kesadarannya telah didikte dalam sudut pandang

atau perspektif tertentu, pola pikir tertentu sehingga tidak berpikir pada dimensi

lain.43

John Fiske pun menguraikan mekanisme ideologisasi sejak dari penandaan

hingga sampai praktik sosial, “Pengguna tanda menjaga tanda agar tetap bernilai

dengan menggunakannya, dan menjaga mitos dan nilai-nilai konotasi budaya

hanya dengan memberi respons terhadap penggunaan tanda-tanda itu dalam

komunikasi. Relasi antara tanda dan mitos serta konotasinya, pada satu sisi, dan

penggunanya, pada sisi yang lain, bersifat ideologis. Tanda-tanda memberi mitos

dan nilai bentuk yang kongkret dan dengan cara demikian keduanya

mengabsahkan tanda dan membuat tanda menjadi bersifat publik. Tatkala tanda

membuat mitos dan nilai menjadi publik, maka tanda memungkinkan mitos dan

nilai menjalankan fungsi identifikasi kulturalnya: yakni, memungkinkan para

anggota dari suatu kebudayaan untuk mengidentifikasi keanggotaannya atas

kebudayaan tersebut melalui penerimaan mereka pada mitos dan nilai-nilai

bersama.”44

Dari penjelasan Fiske di atas, Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa

sebuah wacana mengandung sisi-sisi mitos dan nilai. Roland Barthes

mendefinisikan, “Mitos sebagai sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Mitos

adalah cara pemaknaan.”45

Barthes membuat suatu perumpamaan, “Pohon adalah

pohon. Ya, tentu saja. Namun pohon yang diungkapkan oleh Minou Drouet bukan

lagi pohon sungguhan, pohon tersebut adalah pohon yang dihias, yang disesuaikan

43

Eriyanto, Analisis Framing h.156-157 44

John Fiske, Cultural and Communication Studies. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi

Subandy Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) h. 236 45

Roland Barthes, Mitologi. Penerjemah Nurhadi dan A. Sihabul Millah (Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2004) h. 151-152

Page 63: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

pada tipe konsumsi tertentu, yang penuh dengan pesta pora sastra, pemberontakan,

imajinasi, pendek kata, penuh dengan tipe pemakaian sosial yang ditambahkan

kepada aslinya.”46

Sebagai penutup bab ini, Penulis ingin mengatakan dengan kutipan yang

cukup panjang, “Wacana ‘menyatukan’ bahasa dengan praktik. Istilah wacana

mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberi makna pada

benda-benda material dan praktik sosial. Meski berada di luar bahasa, dunia

material dan praktik-praktik sosial diberi makna atau ‘ditampakkan pada kita’

oleh bahasa. Dengan begitu, dunia benda material dan praktik-praktik sosial itu

dibentuk secara diskursif. Wacana mengonstruksi, mendefinisikan, dan

memproduksi objek-objek pengetahuan dengan cara yang dapat diterima nalar

sekaligus menyingkirkan bentuk-bentuk bernalar yang lain.47 Lebih gamblang

lagi, Foucault menambahkan bahwa wacana meregulasi, pada suatu kondisi sosial

dan kultural determinatif tertentu, bukan hanya apa yang bisa diucapkan, tapi juga

siapa yang boleh mengucapkan, kapan dan di mana. Konsekuensinya jelas

menimbulkan normalisasi. Istilah ‘normalisasi’ berarti suatu sistem kategori dan

interval yang terukur dan bertingkat di mana subjek-subjek individual bisa

ditempatkan pada sebuah distribusi norma.”48

Namun masalahnya apakah dalam sebuah realitas hanya ada satu wacana?

Tentu jawabannya banyaknya wacana yang selalu bersaing dan berkontestasi

dalam satu ring sosial. Titik awal teori wacana adalah bahwa tidak ada wacana

yang sepenuhnya mapan, wacana selalu bertentangan dengan wacana-wacana lain

yang mendefinisikan realitas secara berbeda dan menetapkan pedoman-pedoman

46

Barthes, Mitologi h. 152 47

Barker, Cultural Studies h. 105-106 48 Barker, Cultural Studies h. 107

Page 64: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

lain bagi tindakan sosial. Pada momen-momen kesejarahan tertentu, wacana-

wacana tertentu tampak alami dan relatif tak tertandingi. Fenomena inilah yang

diacu oleh konsep objektifitas. Namun wacana-wacana yang telah

dinaturalisasikan itu tidak pernah mapan dan momen-momennya sekali lagi bisa

menjadi unsur-unsur dan juga objek-objek bagi artikulasi-artikulasi baru.49

Persaingan wacana inilah yang disebut antagonisme sosial. Antagonisme

sosial terjadi bila identitas-identitas yang berbeda saling meniadakan satu sama

lain. Meski suatu subjek mempunyai identitas-identitas yang berbeda, identitas-

identitas tersebut tidak harus berhubungan secara antagonistik satu sama lain.

Sehingga antagonisme dapat ditemukan di tempat bertumbukannya wacana-

wacana.50

49

Jorgensen Analisis Wacana h. 90 50 Jorgensen Analisis Wacana h. 90-91.

Page 65: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

BAB III

EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM

A. Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas Islam

Kedua kata ini (eksklusivitas dan inklusivitas) semakin sering terdengar terutama

seketika Islamic Studies ‘laku di pasar’. Eksklusivitas Islam merupakan sebuah

pemahaman keagamaan yang memandang Islam sebagai agama paripurna, kâffah,

finis, penunggalan makna, dan seterusnya. Mereka yang berpandangan seperti ini

diidentikkan dengan otentisitas (al-asâlah), tekstualis, ideologis, revivalis (dalam

arti cenderung mengidealisasi sejarah), syari’ah (dengan ‘s’ kecil, guna merujuk

pada ajaran yang diklaim telah murni dan Benar), diskriminatif, fundamentalis,

dan seterusnya. Mereka memiliki struktur nalar serta tindakan yang berorientasi

pengisian masa kini (al-wâqi’) dengan Islam periode Madinah yang sarat dengan

ketatnya pengamalan Islam dan cendrung bersifat parsial. Dalam bayangan

kelompok ini, Islam pada periode Madinah (maksudnya pemerintahan yang

berpusat Madinah) –meminjam istilah Mahmud Muhammad Thaha atau Khalil

Abdul Karim– merupakan representasi dari cara dan pola hidup beragama yang

sangat-sangat ideal dan sempurna tanpa ‘aib’ sedikitpun. Singkatnya, (kejayaan)

Islam periode Madinah merupakan alternatif satu-satunya dari keterpurukan dan

kebuntuan yang saat ini dihadapi umat Islam (katanya).

Abû al-Fadl menggambarkan beberapa kriteria umum kelompok Islam

eksklusif, “Mereka yang saya sebut puritan sudah dideskripsikan oleh beragam

penulis dengan istilah fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, jahidis,

dan bahkan cukup dengan istilah Islamis. Saya lebih suka menggunakan istilah

puritan karena ciri menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya menganut

Page 66: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal, orientasi

kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap

berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis

sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.”51

Fenomena yang (di)tampak(kan) ini tentu mengundang pertanyaan, apakah

akar dari semua ini? Mun’im A. Sirry mencoba menjawab pertanyaan ini dengan

memberikan judul pada bab 1 bukunya, Fundamentalisme Sebagai Produk

Modernitas. Dia –dengan mengutip komentar beberapa pakar dalam disiplinnya

masing-masing– memaparkan, “Gellner melihat kebangkitan agama di negara-

negara berkembang sebagai proses modernisasi yang sedang berlangsung (on

going process). Sementara Talcott Parsons mengatakan, bahwa masyarakat

modern tidak otomatis menjadi sekular, tetapi malah semakin menyerap nilai-nilai

agama. Kendati bentuk-bentuk keagamaannya mungkin tidak tampak, tapi

moralitas keagamaan secara mendasar membentuk masyarakat. Samuel

Huntington telah meradikalkan pendekatan ini, dengan teorinya mengenai

‘benturan peradaban’ (The Clash of Civilizations and The Remaking of World

Order, 1996). Bagi Huntington, tatanan dunia mendatang akan muncul

berdasarkan peradaban yang lahir dari ekspresi-ekspresi nilai-nilai tertinggi tradisi

agama. Retorika fundamentalisme, bagi Huntington, merupakan letupan tak

terhindarkan dari peradaban berbasis agama.”52

“Namun demikian, berbagai respon terhadap fenomena kebangkitan global

fundamentalisme agama, tampak tidak menjawab pertanyaan mengapa gerakan-

51

Khalîd Abû al-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2005) h.

29 52

Mun‘im A. Sirry, Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003) h. 2-3

Page 67: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

gerakan itu muncul saat ini (dan bukan dahulu), dan apa signifikansinya.

Barangkali benar kesimpulan Oliver Roy, bahwa fundamentalisme agama bukan

sekedar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisme (The

Failure of Political Islam, 1996).53

(Ke)cenderung(an) (kaum eksklusivisme) tidak mau berkompromi

terhadap persoalan-persoalan minoritas nonmuslim. Maududi, misalnya, secara

terang-terangan menetang prinsip ‘kesetaraan di depan hukum’, yang dianggapnya

sebagai suatu kepura-puraan dan mempertahankan ketentuan pemberian status

dzimmi buat mereka.54

Kecendrungan umum kelompok-kelompok fundamental ini yang

mengarah ke ortodoksi, dogmatisme, pandangan yang serba hitam-putih, sikap

yang eksklusif, merasa paling benar, kiranya akan berlawanan secara diametral

dengan sifat-sifat dan kultur umat Islam pada periode kebangkitan yang

sebenarnya atau periode keemasannya yang bersifat budaya metropolis, Islam

yang pluralitas, inovatif, penuh toleransi, terbuka terhadap sumber-sumber

pengetahuan asing: termasuk pemikiran ‘non-Islam’, baik yang berasal dari

Yunani dan Romawi maupun yang lainnya, dan menghargai sikap yang rasional.55

Gejala semacam dislokasi kejiwaan, porak-porandanya nilai-nilai lama

yang mengakibatkan orang kehilangan pegangan atau sandaran, anomi, dan

perasaan teralienasi dari berbagai bidang kehidupan yang mulai berubah, yang

merupakan efek negatif modernitas, tak pelak lagi telah turut serta mendorong

khalayak untuk melakukan pelarian (escapisme) kepada alternatif yang dapat

53

Sirry, Membendung Militansi Agama h. 3 54

M. Zaki Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008) h. 18

55 Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 21

Page 68: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dianggap dapat melindungi dari perasaaan kehampaan, kebingungan, dan serba

ketidakpastian. Ketika perasaan penuh ketertekanan dan ketidakpastian, maka

eskapisme ini umumnya menemukan muaranya dalam bentuk sebuah doktrin yang

menawarkan totalitas kebenaran dan kepastian. Dalam kungkungan doktrin yang

menawarkan kebenaran mutlak tanpa cacat, para pengikut bersedia melakukan

pengorbanan diri dan melakukan tindakan apa pun atas nama keabadian dan

kebenaran.56

Dengan memeluk sesuatu yang (di)benar(kan) ini, otoritas kebenaran

ini kemudian melahirkan anak haram, ‘syariah’ sebagai harga mati dan satu-

satunya oase di tengah kehausan kekecewaan umat Islam, ditambah dengan

dehumanisasi, dan demoralisasi zaman saat ini. Mereka yang tinggal di negara

mayoritas Islam, mengajukan tuntutan penerapan ‘syari’ah’ dalam hukum positif

(kegagapan dan kegugupannya dalam menghadapi realitas akan diuraikan di

bawah ini). Sedangkan mereka yang tinggal di negara sekuler, senantiasa

melakukan perlawanan mulai pada titik terendah (pasif) hingga secara frontal

(aktif, ekspansif, dan produktif) sekalipun.

Terkait dengan penerapan syari’ah, Pusat Kajian Keagamaan dan

Kebudayaan UIN Jakarta, angkat bicara bahwa ‘pintu masuk formalisasi

(penerapan) syariah ini pada umumnya bermula dari pandangan bahwa Islam

adalah agama yang sempurna (kâffah) dan mencakup segala hidup yang total.

Pandangan yang khas kaum Islamis ini diajukan untuk menjadikan Islam sebagai

solusi (Islam is the solution). Visi Islam sebagai solusi mengandaikan Islam

56 Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 27-28

Page 69: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

sebagai totalitas yang mengatur tidak hanya persoalan ibadah tetapi juga sistem

ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan.’57

Faktor lain yang banyak mendorong gagasan penerapan syariah Islam

adalah adanya perlawanan masyarakat terhadap dampak negatif dari arus

globalisasi dan modernisasi. Di satu sisi, globalisasi dan modernisasi membawa

dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin memudahkan

akses informasi, komunikasi, dan pengetahuan. Namun, di sisi lain, terjadi

perubahan sosial yang lebih mengagungkan gaya hidup konsumerisme,

hedonisme, dan permisifisme terhadap beragam budaya dan pola hidup yang tidak

asli Islam. Di samping itu, persaingan yang semakin ketat dalam pasar lapangan

kerja semakin memarjinalkan mereka yang tidak memiliki kapasitas dan akses

ekonomi dan politik. Faktor ini diperburuk oleh gagalnya negara dalam

melindungi rakyatnya dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terus-

menerus menghantui masyarakat.58

Tekanan berbagai faktor dan kondisi ketidakberdayaan masyarakat ini

kemudian menjelma menjadi ketidakpuasan dan frustasi yang diartikulasikan

dalam keinginan menonjolkan kembali identitas keislaman mereka melalui upaya

penegakan syariah Islam.59

Kenapa harus penegakan syari’ah? Inilah yang

menjadi pertanyaan besar. Mereka melihat bagaimana kemunculan syari’ah pasca

masa jahiliyah. Syari’ah datang sebagai hero dengan wajah protagonis yang

melawan era jahiliyah sebagai era antagonis. Hal ini pun juga membuat gerah

pakar sejarah, Khalil Abdul Karim misalnya.

57

Syukron Kamil dkk. Syariah dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebabasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007) h. xxiii

58 Kamil dkk. Syariah dan HAM h. xxiv

59 Kamil dkk. Syariah dan HAM h xxiv

Page 70: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Dia mengatakan, “Kami menyebut model kajian pertama (mereka yang

mengidealisasi sejarah) sebagai kajian yang kurang ajar karena ia secara lancang

menyemati fase sebelum Islam sebagai fase Jahiliah, bahkan berusaha

menjustifikasi hal tersebut dengan hanya memfokuskan kajian mereka pada tema-

tema minor yang sensasional, seperti blow up besar-besaran atas tradisi nikah

maqt (seorang anak menikahi janda mendiang ayahnya), penguburan anak

perempuan hidup-hidup, fenomena perempuan-perempuan pengibar bendera di

Mekkah (pelacur-pelacur), thawaf keliling Ka’bah sambil telanjang (tanpa busana

sehelai pun), meminum arak, transaksi riba di kalangan konglomerat Quraisy

(sebagai perbuatan keji yang dipraktikkan oleh kaum elit dalam segala dimensi

waktu dan tempat), nikah istibdâ‘ (menikahi budak), tradisi menggantungkan

posisi istri (meninggalkan istri tanpa proses cerai), dan tradisi-tradisi minor

lainnya.”60

“Model kajian seperti ini sesungguhnya kering dari metodologi ilmiah,

sehingga sulit dikatakan sebagai sebuah kajian. Akan tetapi, ia malah lebih dekat

dengan orasi naratif yang dituangkan di atas kertas dengan maksud mengaduk-

aduk emosi dan perasaan pembaca dengan propaganda bahwa Islam muncul di

tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan kekelaman, kebodohan, dan

kesesatan, tanpa dijumpai setitik penerang pun. Pembentukan propaganda ini jelas

mengacu pada sebuah pepatah yang mengatakan: ‘Dengan tampil sebaliknya,

sesuatu menjadi istimewa.’”61

Dalam beberapa karyanya, Khalîl ingin

meyakinkan pada kita bahwa mereka yang ngotot dan memaksakan tegaknya

syariah selalu menampilkan sisi kelam dan kebiadaban era jahiliyah, padahal itu

60

Khalîl Abdul Karîm, Syari’ah, Sejarah Perkelahan Pemaknaan. Penerjemah Kamran

As‘ad (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 148 61 Karîm, Syari’ah h. 149

Page 71: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

hanya bagian kecil dari belantara khazanah era jahiliyah. Menurut Khalil, mereka

tidak pernah menampilkan luasnya padang khazanah positif era jahiliyah yang

lain, ketinggian sastra mereka, misalnya. Khalîl mengindikasikan bahwa adanya

ketidakadilan dan ketidakseimbangan pada presentasi mereka tentang era jahiliyah

antara sisi hitam dan putihnya. Padahal menurut Khalîl banyak sekali pranata

yang diwarisi dan diadopsi oleh Islam, seperti aspek sosial, ekonomi,

kemasyarakatan, hukum (perundang-undangan), politik, dan bahasa. Semuanya

merupakan indikasi ketinggian peradaban masyarakat Arab pra-Islam. Bahkan,

Islam juga ternyata juga mengadopsi sebagian dan memodifikasi masalah religi

atau ritual peribadatan dari masyarakat Arab Jahiliah.

B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder

Memang dalam mencari suatu jalan lengang sebagai respon atas perbedaan baik

secara ekonomi, politik, budaya, maupun nilai-nilai lainnya, umat Islam dan

negara-negara bekas jajahan mengambil dua pendekatan yang berbeda, Pertama,

penegakan syari’ah seperti disinggung di atas dan kedua, pendekatan HAM.

Kedua pendekatan ini bukan hanya berbeda tetapi dua kutub biner yang saling

bertolak belakang sekaligus berhadapan dan kemudian berbenturan juga

bertabrakan.

Dewasa ini pendekatan HAM dibangun atas pondasi nilai-nilai universal

yang memungkinkan kerja sama antara berbagai komunitas dunia yang plural.

Sementara ciri dominan agama (syariah) adalah eksklusif, di mana para

penganutnya cenderung menegasikan tradisi agama (syariah) lain, dengan

menganggap tradisi agamanya lebih superior. Pengalaman sejarah menunjukkan

Page 72: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

bahwa eksklusivitas iman cenderung melemahkan kemungkinan kerja sama damai

antara berbagai komunitas iman.62

Problem eksklusivisme ini harus diatasi, meskipun bisa saja tidak seliberal

yang dianut oleh kaum pluralis Barat. Di antaranya dengan mengembangkan

prinsip timbal balik (reciprocity). Caranya, menurut Abdullâh Ahmad al-Na‘îm,

dengan memperlakukan non-muslim berdasarkan ideal-ideal civil right yang

sama. Atau dalam bahasa M. Dawam Rahardjo, agama seharusnya dilihat sebagai

kebenaran yang tidak terbantahkan, tetapi hal itu bagi mereka yang meyakininya

saja.63

Belum lagi kontekstualisasi pemahaman keagamaan yang rancu. Hal ini

bisa kita temukan misalnya, term-term semacam riddah, dzimmi, kufur, dan lain-

lain. Riddah (atau sering kita istilahkan dengan murtad– penerj.), bukanlah keluar

dari agama atau pindah dari satu kepercayaan ke kepercayaan lain –sebagaimana

sering dipahami– tetapi lebih merupakan sebuah pemberontakan atau aksi

seperatisme, baik atas negara Islam maupun negara non-Islam. Jadi, riddah

merupakan wacana politik daripada sebuah persoalan agama, yang harus ditumpas

dengan segala cara dan sarana.64

Sementara, Islam adalah agama yang memayungi beraneka ragam aliran

dan kecenderungan, selama aliran-aliran tersebut ber-platform komunalisme

(jamâ’iyyah), yaitu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi

dan kelompok kelas (oleh karenanya, segala tindakan ‘riddah’, pemberontakan

yang mengganggu stabilitas umum demi memaksakan kehendak golongan harus

62

Kamil dkk. Syariah dan HAM h. 30-31 63

Kamil dkk. Syariah dan HAM h. 149 64

Muhammad Salmân Ghânim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme. Penerjemah Kamran As‘ad Irsyadi (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. xvii

Page 73: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

ditumpas–Penulis). Islam bukanlah agama Muhammad saja, tetapi ia meliputi

seluruh risalah nabi, dari Nabi Adam, Nuh hingga Muhammad. Allah berfirman,

(Ikutilah) agama orang tuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu

sekalian orang-orang muslim dari dahulu(QS. Al-Hajj [22]: 78). Dan

sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang

Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-

benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka

menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka

dan tidak pula mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah [2]: 62). Jadi, Islam

menurut konsep Al-Quran tidak hanya meliputi risalah-risalah langit saja, tetapi

juga memayungi ajaran (kredo) orang-orang saleh dan ahli hikmah, seperti Budha,

Zarathustra, Konfusious, dan lain-lain (kepercayaan-kepercayaan adat–Penulis).65

Ada sementara kelompok-kelompok Islam Ortodoks yang melemparkan

konsep kufur dan Islam sebagai alat dikotomi sosial dalam masyarakat. Bagi

penulis (Salmân Ghânim) kata kufr tidak berarti najis, kotor, zindik, atau ibâhy

serta cap-cap etics-minded lainnya yang banyak digunakan kaum agamawan.

Orang kafir adalah manusia biasa dan statusnya sama dengan kita, hanya saja ia

berbeda dalam masalah hubungan dengan Tuhan. Ini adalah urusan orang tersebut

dengan Tuhan di akhirat. Kita tidak mempunyai hak untuk mengadilinya selama

ia tetap menjadi warga yang baik dalam komunitas sosialnya. Allah berfirman,

Barang siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung (akibat)

kekafirannya; dan barang siapa yang beramal saleh, maka untuk dirinya

sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan) (QS. ar-Rum [30]:

65 Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xviii

Page 74: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

44) Dan barang siapa ynag bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia

bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka

sesungguhnya Allah Mahakaya Lagi Maha Terpuji (QS. Lukman [31]: 12).

Pengadilan atas orang kafir ditangguhkan hingga hari kiamat, di hadapan

Tuhannya langsung dan bukan di dunia di depan pengadilan manusia. Kita bisa

melihat kasus Ibrahim ketika ia berdoa kepada Allah untuk memberi nafkah

kesejahteraan bagi orang-orang mukmin saja, tetapi Allah menjawab bahwa Dia

akan memberi rezeki kepada orang-orang kafir juga. Tidak ada perbedaan kuota

rezeki antara kafir dan mukmin. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: Ya

Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman dan sentosa, dan berikanlah

rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka

kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir

pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa

neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali (QS. Al-Baqaraah [2]: 126).

Di samping itu, orang-orang mukmin juga tidak terlepas begitu saja dari

kekufuran dan syirik. Allah berfirman, Dan sebagian dari mereka tidak beriman

kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan

sesembahan-sesembahan lain) (QS, Yusuf [12]: 106).66

Kufur adalah menutup-nutupi kebenaran dan mengingkari anugerah Allah

atas manusia, yaitu anugerah sosial (jama’ah). Atau dengan bahasa lain kufur

millah, yaitu mengingkari nikmat dan anugerah yang diberikan kepadanya dalam

kehidupan sosial. Maka kufur dengan Allah sebanding dengan kufur dan

mengingkari jama’ah, dengan tidak menjaga kepentingan sosial dalam kerja,

66 Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xviii-xix

Page 75: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

produksi, dan upah (donasi). Dan inilah yang menjadi standar akhlak terpuji.

Keimanan kepada Allah pun selalu paralel dengan keimanan dan dedikasi

personal pada komunitas sosial di mana ia tinggal. Bekerja untuk kepentingan

umum dan menjaga (mendahulukan) kepentingan umum adalah standar iman.

Adapun jika ia kafir atau musyrik, maka itu adalah urusan Tuhannya.67

Adapun uraian berikut ini merupakan kritik al-Na‘im terhadap syariah

terkait dengan hak-hak sipil (dalam qabûl al-âkhar –meminjam istilah Dr.Millad

Hanna, intelektual Kristen Koptik dan pejuang toleransi dan HAM di Mesir,

sebagai judul bukunya yang dalam versi Indonesia berjudul ‘menyongsong yang

lain, membela pluralisme’ diterbitkan Jaringan Islam Liberal–, “Tentang status

nonmuslim, kaum absolutis berpendapat bahwa dalam negara syari’ah, muslim

adalah warga inti, sedangkan nonmuslim tidak memiliki hak politik.68 (Selain itu)

syari’ah tidak memberi tempat tinggal yang tetap bagi nonmuslim di dalam negara

Islam, kecuali jika ada izin tinggal sementara (aman) yang terbatas masa dan

syarat kehadiran mereka; atau jika mereka dijamin dalam status dzimmah. Orang-

orang nonmuslim tak memliki hak sipil dan politik apa pun, meskipun mereka

lahir dan dibesarkan di wilayah negara Islam. Akibatnya warga nonmuslim,

meskipun dijaga keamanan jiwa dan harta bendanya dengan aman, namun tak

berhak berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara luas. Mereka tidak

memiliki otonomi komunal dalam urusan pribadi mereka kecuali jika mereka

berstatus dzimmah.)69

67

Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xix 68

Abdullâhi Ahmed al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah. Penerjemah Ahmad Suaedy dan

Amirudin al-Rany (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 83 69 Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 148

Page 76: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Pada mulanya, status dzimmah ditawarkan untuk warga negara (Islam)

yang diidentifikasi sebagai orang yang beriman dan taat pada salah satu kitab

wahyu (ahli kitâb). Karena kritereia identifikasi ahli kitâb secara gradual

diperlunak oleh para ahli hukum Islam, maka status dzimmah diterapkan kepada

orang non-Islam yang diizinkan tinggal di dalam wilayah negara Islam selama

setahun atau lebih. Siapa saja yang diberi status dzimmah oleh syari’ah berhak

memperoleh perlindungan jiwa dan harta bendanya, serta melaksanakan

agamanya secara pribadi, dengan kompensasi membayar pajak (jizyah).70

Suatu

masyarakat dzimmi yang menikmati kebersamaan dzimmah dengan umat Islam,

diberi hak oleh syari’ah untuk mengatur dirinya dalam masalah pribadi, namun

tetap harus tunduk pada perundang-undangan negara Islam dalam uruasan-urusan

publik. Syari’ah menentukan bahwa yurisdiksi semua urusan publik harus tetap

menjadi wilayah eksklusif umat Islam. Karena itu, kaum dzimmi memiliki

kebebasan berpendapat atau berkepercayaan, berekspresi, dan berserikat di dalam

komunitas mereka sendiri. Artinya, ‘kebebasan’ itu hanya berkaitan dengan

praktik keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan pribadi mereka di dalam

kerangka komunitas eksklusif kelompok dzimmi.71 Hal ini tentunya sangat

bertolak belakang dan melanggar hak-hak sipil setiap individu yang menjadi

maqâsid syarîa‘h itu sendiri. Untuk lebih jelasnya bisa lihat al-Syatibi, Al-

Muwâfaqat fî Al-Usûl Al-Syarîa‘h pembahasan mengenai tujuan syariah, pada

bab, kitâb al-maqâsid.

(Berbeda dengan yang diuraikan sebelumnya), toleransi dan berpegang

pada yang terbaik dan termudah serta menghindari sikap ekstrim, berlebihan dan

70

Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 149 71 Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 150

Page 77: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

fanatik, semua ini memberikan kandungan yang positif dan konstruktif bagi hak

untuk berbeda sehingga ia dapat memelihara masyarakat dari fitnah dan

pertempuran serta menumbuhkan keragaman yang damai sebagai sumber bagi

produktifitas dan kreasi.72

(Terkait hal ini), Al-Quran (sendiri) mengakui kebebasan beragama dan

menganggapnya sebagai hak asasi manusia. Hal ini karena Allah menciptakan

manusia dan membekalinya dengan akal dan kemampuan membedakan, serta

membentangkan kepadanya berbagai jalan untuk kemudian membiarkannya

memilih salah satu jalan itu dengan bebas.73

Alquran menetapkan perbedan sebagai hakikat eksistensi, dan sebagai

salah satu unsur tabiat manusia. Perbedaan warna kulit, bahasa, seks, dan

kecenderungan hingga perbedaan suku dan bangsa, semua itu merupakan sesuatu

yang dikehendaki Allah, persis seperti Dia menghendaki akan adanya perbedaan

di antara unsur-unsur alam semesta untuk dijadikan sebagai tanda-tanda bagi

eksistensi-Nya.74

(Oleh karenanya) dalam pembahasan ini, perbedaan antara agama dan

pemikiran agama menjadi (penting) jelas (serta harus dibedakan dan diseleksi

benar agar tidak terjebak pada sakralisasi pemikiran keagamaan yang bermuara

pada distorsi dan mengatasi kesakralan agama itu sendiri). Asal makna ‘agama’

(ad-dîn) adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw., baik berupa

Alquran, ucapan, atau tindakan yang berhubungan dengan agama atau

penerapannya. Bahwa Alquran dan hadist merupakan teks (nass) keagamaan.

72

Muhammad Ầbid Al-Jâbiri, Syûrâ, Tradisi Partikularitas Universalitas. Penerjemah

Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 157 73

Al-Jâbiri, Syûrâ h. 157 74 Al-Jâbiri, Syûrâ h. 160

Page 78: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Teks –yang memuat selain kehidupan Nabi Muhammad Saw.– tidak dapat

berbicara sendiri, tidak bisa menjelaskan maknanya dan tidak dapat menetapkan

apa-apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Alquran telah ditafsirkan dengan

hadits, dan keduanya ditafsirkan dari segenap sisi yang perlu dan siap ditafsirkan.

Dari beberapa hadits –yang sebagian diutamakan– dan interpretasi para ahli tafsir,

termasuk di dalamnya perbedaan mazhab, pendapat dan budaya serta perbedaan

pandangan ahli fiqh dalam masalah-masalah yang dipikirkan; dari semua itu

lahirlah pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan ini bukan merupakan

agama. Pemikiran ini –secara jelas– tidak mungkin melulu agama (agama an sich)

selama dasar yang melingkupinya adalah perbedaan lingkungan, pertikaian

mazhab, ijtihad-ijtihad tafsir, kepercayaan-kepercayaan umum, dan dongeng-

dongeng rakyat. Dari sisi lain, adalah mustahil pemikiran ini menjadi benar dan

suci selamanya. Ia mungkin membawa kebenaran dan kesalahan sebagaimana ia

tercampuri oleh tujuan-tujuan, sebagaimana pendapat seorang manusia.75

Dalam suatu ungkapan, mungkin bisa dibedakan antara agama (ad-dîn)

dan pemikiran keagamaan (al-fikr ad-dînî), bahwa agama adalah kumpulan dasar-

dasar yang dibawa oleh nabi atau rasul, sedangkan pemikiran keagamaan adalah

metode-metode historis untuk memahami dasar-dasar ini dan penerapannya.

Setiap pemahaman atas teks-teks keagamaan dan setiap interpretasi atasnya –

setelah Nabi wafat– merupakan pemikiran keagamaan. Oleh karena itu,

pemahaman atau interpretasi ini terkadang cocok dengan inti keagamaan dan

terkadang tidak.76

75

Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 43 76 Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 43-44.

Page 79: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Batasan perbedaan antara agama dan pemikiran keagamaan ini tidaklah

jelas bagi publik, oleh karena itu antara keduanya telah dan senantiasa terjadi

campur aduk. Termasuk dalam bentuk campur aduk ini adalah bahwa seruan

penerapan syari’at tidak dimaksudkan dengan makna syari’at dalam Alquran,

tetapi dikembalikan pada makna kata dalam ranah pemikiran-pemikiran

keagamaaan, dengan empat unsurnya: Alquran, hadîts, ijmâ’, dan qiyâs, dan

mungkin juga makna kesejarahan. Bahkan pengertian meluas hingga yang

dimaksudkan dengan ‘syari’at’ adalah hukum-hukum syari’at (al-ahkâm asy-

syar’iyyah), yakni pernyataan Allah SWT. yang berhubungan dengan perbuatan-

perbuatan manusia yang mukallaf, baik itu bersifat pilihan maupun wajib. Apa

(iya) yang disebut dengan hukum Allah SWT. adalah empat unsur tadi: Al-Quran,

hadits, ijma’, dan qiyas(?).77 Singkatnya, “Pertentangan dalam wacana agama

yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pertentangan di seputar teks-teks

agama atau pun interpretasi terhadapnya, melainkan pertentangan menyeluruh

yang meliputi semua aspek kesejarahan; sosial, politik, ekonomi; pertentangan

yang melibatkan kekuatan-kekuatan takhayul dan mitos atas nama agama dan juga

pemahaman secara letterlijk terhadap teks-teks agama,” kutipan berasal dari

sinopsis Kritik Wacana Agama-nya Abu Zaid.

Sebagai akhir bab ini, saya ingin mengutip makalah M. Jadul Maula yang

pernah dimuat dalam Majalah Desantara, “Jadi, apa yang kemudian dirumuskan

sebagai syariat Islam dan persaingan-persaingan di dalam perumusannya penting

dipahami sebagai persaingan kompleks untuk perebutan legitimasi sebagai

‘pimpinan’ masyarakat melalui konstruksi simbolik (ideologi keimanan) tertentu.

77 Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 44

Page 80: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Oleh karena itu, kita mesti mulai membuka kemungkinan mengkaji kembali

pengertian-pengertian bid‘ah, zindîq, ilhâd, kâfir, dan musyrik, tidak dalam

kerangka teologi ‘yang mematikan’ melainkan dalam kerangka kultural sebagai

upaya-upaya individu atau kelompok untuk mempertahankan dan kehidupannya

sendiri secara wajar dan bermartabat. Sehingga kita bisa merasakan kembali ‘dosa

kemanusiaan’ di dalam sejarah kita sendiri, di abad XX, ketika ribuan orang

(kebanyakan kaum miskin dan marjinal) harus mati ‘hanya’ karena sebutan ‘tidak

bertuhan’ menurut standar resmi, tanpa proses pengadilan.”78

Mengutip sinopsis

buku Nalar Kritis Syarî‘ah-nya al-Asymâwi, dikatakan bahwa syariat bukanlah

kaidah-kaidah, aturan-aturan dan hukuman-hukuman, melainkan spirit yang

menembus inti segala sesuatu. Sebuah spirit yang berkelanjutan dalam

menciptakan aturan-aturan baru, melakukan pembaruan-pembaruan dan

interpretasi-interpretasi modern. Ia adalah sebuah gerak langkah dinamis yang

selalu membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi

yang mulia supaya mereka tidak terjebak ke dalam teks, terkoyak dalam lafal, dan

tenggelam dalam ungkapan.

78

M. Jadul Maula, “Syariat (Kebudayaan) Islam: Lokalitas dan Universalitas” dalam

Majalah Kebudayaan Desantara, Dialog Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2002) Edisi 03/Tahun II/2002. h. 47. Penulis, alumni IAIN Yogyakarta, ketua Yayasan LKiS, Yogyakarta.

Makalah ini ditulis ulang dengan beberapa revisi dan penyempurnaan untuk keperluan Seminar

Nasional bertema “Syariat Islam, Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia”, Desantara, Jakarta, 24

Oktober 2001, dari makalah yang pernah dipresentasikan dalam diskusi buku “Wacana Islam

Liberal”-nya Charles Kurzman, 2001, Jakarta: Paramadina, yang diselenggarakan oleh Teater Utan

Kayu Jakarta tanggal 27 September 2001.

Page 81: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

BAB IV

ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN

INKLUSIVITAS ISLAM

A. Tekstualisasi (Terjemahan) Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas

Islam

Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, penulis telah menyinggung di awal-

awal skripsi bahwa pembahasan pada bab IV akan menguraikan terjemahan ayat-

ayat yang terkait dengan isu-isu eksklusif dan inklusif Islam dengan kerangka

teori wacana sebagai teropong analisis. Tidakkah kita tercengang misalnya

menyaksikan dua wajah –eklsklusif dan inklusif Islam– saling menatap tajam

yang penuh dengan kecurigaan satu sama lain? Pada saat itu, kita seakan berada di

tepi muara melihat arus besar dua sungai yang deras saling menghantam pada satu

titik guna menuju laut lepas sebagai tempat perhentian terakhir. Kalau dilacak

secara genealogis dalam arti konvensional, mereka berasal dari satu sumber mata

air yang sama. Keduanya sama-sama beranjak dari teks. Apakah yang

menyebabkan fenomena ini terjadi? Bagaimana proses produksi kedua wacana

tersebut bisa terbentuk? Di sini –melalui wacana– penulis akan melacak

penyebab-penyebab serta implikasinya.

Untuk itu, kita lihat terlebih dahulu ayat di bawah ini yang diterjemahkan

Departemen Agama RI edisi revisi 1989 sekaligus menjadi sumber konflik,

إن& ال(+�� *�( ا) ا���م و�� ا �' ال&9�� أوت�ا ال6�ب إ4& �� ب2( �� �1ء ه/

� ب A�/ و�� 6�@� ب?��ت ا)Bن& ا) ���> ال;:�بال2�/ ب=�

Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada

berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang

Page 82: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.

Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah

sangat cepat hisabnya. (Q.S. Ali Imran,[3]; 19).

Dalam terjemahan di atas kita telah menemukan tema utama bahwa agama

‘diridai’ di sisi Allah hanyalah Islam. Persoalannya kemudian apakah kita telah

‘mengetahui secara absolut’ (dalam kosakata Hegel) makna ayat tersebut –yang

sudah tak perlu lagi dipertanyakan– melalui kalimat terjemahan di atas. Kalimat

terjemahan itu sama sekali tidak memberikan keterangan apa pun sehingga

kalimat tersebut seakan sudah jelas atau bahkan masih menyisakan banyak

pertanyaan (jika melihat realitas bahwa Islam saat ini ditengarai menjadi biang

kerok di tengah pergaulan global). Di sinilah pangkal persoalannya? Pertanyaan

demi pertanyaan datang menghujani kepala ini yaitu apa yang dimaksud dengan

‘Islam’. Kalimat terjemahan di atas seakan ingin mengatakan bahwa Islam jangan

lagi dipersoalkan karena maksudnya sudah jelas. Ke(tidak)jelasan inilah yang

membentuk para pembacanya menjadi eksklusif. Kata Islâm dalam ayat ini

kemudian lebih sering dipahami oleh kebanyakan orang sebagai segala teori dan

praktik yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya kala itu.

Pemahaman ini jelas menjadi ahistoris dan anakronik ketika proses pemahaman

ini lepas dari konteks. Untuk menghindari ahistoris, Depag semestinya

menambahkan imbuhan-imbuhan singkat yang dapat memberi keterangan secara

jelas demi tuntutan-tuntutan keadaan yang berasas kemaslahatan umum

sebagaimana yang dilakukannya pada terjemahan ayat yang lain.

Penerjemahan itu sepintas kita lihat memang netral. Namun jika dilihat

lebih jauh kenetralan itu menjadi hilang karena makna sebuah teks tidak berdiri

Page 83: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

secara otonom tetapi ada elemen lain pembentuk makna, salah satunya ialah

konsumen teks itu sendiri. Dengan memperhatikan konsumen teks terjemahan

tersebut yang tidak lain ialah orang Indonesia yang memiliki pengalaman historis

dan aspek psikologis tersendiri. Selain itu dengan latar belakang mazhab yang

dianut sang konsumen, Depag seakan ingin mengatakan bahwa yang ‘benar’

hanya ajaran Nabi Muhammad Saw. dan dari aliran ideologi yang ada hanya Islam

mayoritas dan versi resmi saja yang ‘benar’. Karena selain apa yang terungkap

dalam teks (said), ada yang tidak terkatakan (not-said) dan apa saja yang

dikatakan namun tidak pernah terungkap (never said)–meminjam istilah

Mohammed Arkoun. Depag terlihat setengah hati menerjemahkan

(mempribumisasikan) teks keagamaan ini. ‘��+)ال’diterjemahkan menjadi agama.

dibiarkan (diadopsi) begitu saja tanpa mencarikan padanan yang tepat ’ا���م‘

dalam bahasa sasaran, konsumen teks yang tidak lain adalah masyarakat

Indonesia. Orientasi penerjemahan ini kontan menuntun konsumen teks merujuk

pada kognitifnya yang dihegemoni aliran ultra-teosentris. Depag belum ‘ada’

kesungguhan untuk mempribumisasikan teks sumber.

Dalam kasus ini jelas sekali terlihat hegemoni kelompok eksklusif dalam

tubuh Depag dimana kelompok mayoritas memproduksi pengetahuan guna

melanggengkan kekuasaannya seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya.

Yakni, pelembagaan agama oleh Negara merupakan alat kontrol Negara terhadap

keyakinan masyarakat yang dikuatirkan pada akhirnya disinyalir potensial

mendelegitimasi otoritas Negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1888 di mana

pemberontakan kelompok tarekat terhadap pemerintah kolonial. Oleh karenanya,

pemerintah kolonial membentuk semacam divisi yang khusus menangani agama

Page 84: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dan kepercayaan untuk mengadministrasikan ajaran yang dapat mengancam

keberadaan kolonial. Adapun lembaga-lembaga keagamaan yang sekarang ini,

seperti Depag dan MUI, merupakan kepanjangan tangan atau sebuah pelestarian

control Negara atas masyarakat. Terang saja pengetahuan yang diproduksi terlibat

secara aktif dalam membangun sekaligus melanggengkan otoritas. Karena dengan

mengusik pengetahuan yang (di)mapan(kan), proyek tersebut akan mengancam

bahkan mendeligitimasi yang kemudian meruntuhkan kekuasaan yang selama ini

berhasil merebut makna. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis ketika negara

mengadakan satu departemen yang konsentrasi dalam keagamaan (juga

diharapkan netral dan mengakomodir segala macam bentuk keyakinan,

kepercayaan, dan seterusnya) justru sangat terlihat jelas keberpihakannya

(engagement) terhadap mayoritas. Mayoritas yang dimaksud dalam terjemahan ini

adalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,. Dalam hal ini kembali

lagi bahwa dengan tidak memberikan imbuhan pada ayat ini sementara pada ayat

yang lain diberikan imbuhan, Depag jelas sudah mem(di)bentuk makna ayat di

atas (cara berpikir [juga bersikap] masyarakat). Dalam arti Depag telah menyapa

konsumen terjemahan dengan pertanyaan yang jawabannya sudah ditentukan

sebelumnya. Pada saat yang bersamaan makna tersebut telah membentuk Depag

dengan pengaruh epistem dan mindset abad pertengahan yang sangat kental

dengan teosentris (cenderung ahistoris dan literalis). Hal ini tentu saja bermuara

pada apa yang diistilahkan dengan ‘feodalisme teks’.

Dalam kalimat tersebut pun terlihat jelas arogansi ego (ke’aku’an)

mayoritas terhadap minoritas sehingga timbul pembacaan Jaquest Lacan,

psikoanalisis Perancis bahwa fenomena ini merupakan tindakan paranoid sang ego

Page 85: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

saat bercermin melihat kebesaran dirinya. Narsisime semacam ini disebabkan

“karena adanya jarak antara diri sang ego dengan dirinya ‘yang lain’ dalam

cermin itu. Sang ego membayangkan dirinya utuh, solid, merangkum dan

menyatu. Padahal justru sebaliknya pantulan dalam kaca, dalam tataran imajiner,

penuh citra, dan permainan imajinasi, serta penuh tipuan dan godaan.”79

Untuk dapat menerjemahkan seperti ini, Depag tidak lepas dari sistem

nalar berbahasa yang sangat eksklusif.80

Dalam bahasa Arab, إن ال(�� *�( ا)

merupakan pola jumlah ismiyyah. Jumlah ismiyyah merupakan polaا���م

kalimat yang sama sekali tak terikat oleh waktu. Dengan asumsi tidak terikat

waktu, Depag mengonstruk ‘kebenaran’ merujuk Islâm kepada teori dan praktik

yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. saat itu dan tidak akan berubah sampai

kapan pun, ‘periode madinah menjadi standar model ideal yang wajib diteladani

dan sudah final’. Namun, apa daya Depag terkubur dalam liang yang digalinya

sendiri, karena dengan tidak terikat oleh waktu, justru ‘Islam menjadi fleksibel di

segala masa’. Di sinilah saya pikir perlunya melacak sekaligus mengritik sejarah

‘kebenaran’, “kapankah sebuah kebenaran menjadi ‘kebenaran’, bukan

79

Baso, NU Studies, h. 51 80 Bahasa Arab sangat eksklusif, Al-Jabiri menelusuri gejala ini dengan melihat bahwa

“sebuah sistem bahasa (bukan hanya kosa kata, tapi juga sistem gramatika dan semantiknya)

punya pengaruh yang cukup signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk

cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode

berpikir mereka.” Pembakuan sistem bahasa ini terjadi pada masa tadwîn dengan upaya kodifikasi

setelah menyebarnya beberapa penyimpangan dialek yang kemudian dikuatirkan mengancam

entitas bahasa Arab itu sendiri sebagai upaya konservasi dalam rangka membendung pengaruh dari

luar. Penyebaran semacam ini menuntut upaya khusus pemerintah untuk mencari ‘bahasa Arab

yang murni’ dari orang Arab yang semakin menipis jumlahnya di kota-kota besar wilayah Islam

yang metropolis, “maka wajar bila kemudian berkembang fenomena penggalian bahasa ‘asli dan

murni’ di lingkungan perkampungan Arab Badui, yang terpencil. Dari sinilah kita mencermati karakter unik bahasa Arab yang bersifat a-historis dan inderawi (sensual), karena ‘dunia’ tempat

dia tumbuh dan berkembang adalah dunia inderawi yang tak punya sejarah, dunia nomaden kaum

Badui. Kehidupan yang menghayati waktu membentang bagaikan gurun pasir. Sebuah waktu yang

bersifat siklis dan tertutup.” lihat artikel Karakteristik Hubungan Bahasa dan Pemikiran dalam Tradisi Islam dalam Muhammad Ầbid al-Jâbiri , Post Tradisionalisme Islam. Penerjemah Ahmad

Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000) h.61-62

Page 86: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

kebohongan, mitos, ilusi, atau kegilaan, yang kemudian memperoleh nilai seperti

yang kita kenal saat ini, yang lalu menjerat kita ke tali genggamannya, seakan-

akan kita tak bisa hidup, tak bisa berpikir, dan tak bisa bertindak, tanpa kebenaran.

Dari sini sejumlah pertanyaan bersusulan. Umpamanya, sejak kapan ‘kegilaan’

menjadi bukan hanya keblingeran, kekeliruan, anomali, tetapi juga kejahiliyahan

dan bahkan kejahatan yang perlu dinetralisir dan malah kalau perlu dibungkam

dan diberangus? Sejak kapan kebenaran memperoleh status nilainya seperti

sekarang ini yang dengan mudahnya bisa membungkam hal-hal yang berada di

luar dari kerangkeng otoritasnya alias ‘tidak benar’?”81

Bandingkan dengan sajian berikut ini. Ayat di atas memiliki suara yang

berbeda seketika sampai di tangan Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang disapa akrab

dengan sebutan ‘Cak Nur’. Cak Nur mengartikannya, “Sesungguhnya ikatan (al-

din) di sisi Allah adalah sikap pasrah (al-islam),” demikian firman Tuhan.82

Dalam melakukan pembacaan terhadap ayat di atas, Cak Nur yang seringkali

dalam tulisannya mencantumkan Ibnu Taymiyah sebagai tokoh yang dikaguminya

bahwa konsep esensial dalam agama ialah al-islâm yaitu sebentuk kepasrahan

sebulat hati kepada Tuhan Yang Maha Esa, meskipun setiap agama menempuh

syari’at yang beragam. Kepasrahan inilah yang kemudian membuahkan

“Kesadaran Ketuhanan”, God Consciousness –meminjam istilah Muhammad

Asad. Kesadaran Ketuhanan ini tidak lain adalah kesadaran bahwa Tuhan Maha

Hadir (omnipresent) dalam setiap detik putaran waktu. Bentuk kesadaran ini juga

yang pada akhirnya melahirkan ketakwaan sepenuhnya kepada Yang Esa, yaitu

sikap pasrah kehadirat Tuhan. Hal ini didasarkan pada kata al-islâm yang

81

Baso, NU Studies, h. 105-106 82 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001) h. 17

Page 87: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

bermakna al-dîn (tunduk-patuh). Oleh karenanya, bukan hanya muslim pengikut

Agama Muhammad saja yang pasrah kehadirat-Nya, tetapi juga universal yang

mencakup kesatuan agama samawi, yang mewarisi Abrahamistic Religion, yakni

Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Sebagai perluasan, kita dapat mencermati terjemahan surat Ali Imran ayat

85 di bawah ini,

��� ���� ��� دم�� ا�� ��� �� �و� �� ����� ال$� �ة�" ا! ��ه وDepag menerjemahkannya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,

maka sekali-sekali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di

akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Sementara Prof. DR. Quraish Shihab

mengartikannya, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali

tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang

rugi.”83 Lain lagi Cak Nur yang mengartikannya dengan, “Barang siapa menuntut

agama selain al-islam (sikap pasrah), maka darinya tidak akan diterima, dan di

akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.”84 Kita akan cermati perbedaan

pada kedua terjemahan ini.

Mencermati terjemahan Depag terhadap ayat tersebut, kita dapat

merasakan jelas sekali eksklusivitas yang dibangun dalam terjemahannya. Depag

mengatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-

sekali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya.” Letak eksklusivitasnya

pada, “selain agama Islam.” Dengan memanifestasikan ayat tersebut dalam

bentuk penerjemahan seperti ini, Depag menutup celah bagi wacana lain untuk

masuk ke dalam kata “al-islâm” karena Depag telah membakukannya menjadi

83

Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Tangerang:

Lentera Hati, 2006) Cet. 5 Vol. 2 h. 142 84 Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur h. 17-18

Page 88: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

“agama Islâm”. Hal ini tentunya tidak lepas daripada posisi Depag sebagai corong

pemerintah. Karenanya “agama Islâm” yang dimaksud tidak lain adalah agama

islam yang diakui pemerintah. Agama Islam yang diakui pemerintah pun

mengerucut dan tereduksi pada Mazhab Sunni. Ini pun bukan sekedar a-priori

penulis, tapi bisa dilihat bagaimana agama Islam ini mengukuhkan dirinya pada

sebuah lembaga pemerintah yang lain, MUI (Majelis Ulama Indonesia). Terhitung

dari sejak berdirinya lembaga ini hingga sekarang, kita melihat sendiri MUI

sebagai lembaga pemerintah yang dalam kebijakan-kebijakannya cenderung

eksklusif dan diskrimintif. Kita bisa perhatikan misalnya, “Sikap ormas-ormas

islâm yang tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagaimana

difatwakan dalam fatwa Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Larangan

Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Fatwa ini antara lain

menyatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang tidak kompatibel dengan

ajaran Islam.”85

“Yang dimaksud pluralisme adalah paham yang memandang

kemajemukan sebagai suatu kenyataan, bernilai positif dan sebagai keharusan

bagi keselamatan umat manusia yang diakui QS. al-Baqarah: 251. Paham

pluralisme ini bukan saja bersifat ke dalam tetapi juga ke luar, dengan pandangan

yang lebih positif pada agama lain sebagai agama yang juga mengandung

keselamatan dan juga diakui QS. Ali ‘Imran : 113. Bagian terakhir inilah yang

ditolak oleh para ulama yang tergabung dalam MUI dan masyarakat di daerah

perda Syariah. Bagi mereka, meskipun Islam mengajarkan penghormatan terhadap

pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan agamanya, QS.Ali ‘Imran: 19

85 Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 147-148

Page 89: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dan 85, mengajarkan bahwa keselamatan hanya pada Islam. Di Indonesia

termasuk di daerah-daerah yang menerapkan syariah Islam—hubungan dan

interaksi antar umat beragama secara umum cukup baik. Namun sejauh

menyangkut urusan akidah, masih terdapat klaim kebenaran secara eksklusif dari

sementara kalangan umat beragama. Ini dapat menyebabkan kebebasan beragama

yang sesungguhya sulit terwujud, karena pembenaran terhadap prilaku yang

bertentangan dengan hak-hak sipil mudah terjadi.”86

“Sebagaimana larangan terhadap pemikiran pluralis di atas, larangan

mengajarkan paham keagamaan yang dianggap menyeleweng seperti Ahmadiyah,

tampaknya juga tidak saja terjadi di daerah perda syariah Islam tetapi juga di

daerah non perda Islam. Meskipun catatannya adalah bahwa di daerah non syariah

masih berbentuk hukum sosial saja. Alasannya, karena larangan sosial yang

dipantik oleh perda syariah itu hanyalah kepanjangan dari fatwa MUI Nomor:

11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat

dan menyesatkan, berada di luar Islam, dan penganutnya adalah murtad.”87

Dalam konteks ini kita merasakan sekali dimana “komunikator (dalam hal

ini Depag dan MUI) justru sangat sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-

hubungan sosialnya. Dalam hal ini, komunikator memiliki kemampuan

melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana,

termasuk maksud yang tidak transparan dan memerlukan interpretasi. Bahasa dan

wacana diatur dan dihidupkan oleh pengucapan-pengucapan yang bertujuan,

setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna.”88

86

Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148 87

Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148 88

Kasiyanto, Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, dalam Burhan Bungin (Ed.),

Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005) h. 176

Page 90: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Sementara Prof. DR. Quraish Shihab mengartikan ayat di atas, “Barang

siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima

darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Pada terjemahan

ini kita bisa menyimpulkan sementara bahwa Prof. DR. Quraish Shihab telah

membuka ruang interpretasi bagi pembacanya karena dia membiarkan “al-Islâm”

tanpa dibuhuhi aposisi-aposisi –dalam bahasa Mohammed Arkoun. Hal ini

tentunya memungkinkan adanya sebentuk suara lain dalam pemahaman bagi

pembaca. Tetapi jika merujuk kepada tafsirnya, Prof. DR. Quraish Shihab tidak

seinklusif kita harapkan. Dia mengatakan, “Ketaatan kepada Allah mencakup

ketaatan kepada syariat yang ditetapkan-Nya yang intinya adalah keimanan akan

keesaan-Nya, mempercayai para rasul, mengikuti dan mendukung mereka.”89

Melihat penafsirannya, kita dapat mengatakan bahwa ayat tersebut bagi Prof. DR.

Quraish Shihab menjadi eksklusif. Hal ini diisyaratkannya pada uraian berikutnya

mengenai kedudukan orang yang murtad, “Seorang yang murtad kemudian mati

dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus, sedang mereka yang

murtad kemudian menginsyafi kesalahannya dan kembali memeluk Islam, maka

amalnya yang lalu tidak terhapus.”90

Berbeda halnya dengan Cak Nur yang menerjemahkan dengan, “Barang

siapa menuntut agama selain al-islam (sikap pasrah), maka darinya tidak akan

diterima, dan di akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.” Pada

terjemahan ini, Cak Nur telah menambahkan aposisi-aposisi (al-islâm [sikap

pasrah]) yang secara otomatis telah meruntuhkan bangunan eksklusivitas

terjemahan Depag. Cak Nur membuat sebuah lompatan guna melakukan

89

Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 142 90 Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 143

Page 91: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

pembebasan dari pemahaman primordial keagamaan. Artinya Cak Nur memahami

ayat-ayat secara rasional dan sangat antroposentris di mana kemaslahatan manusia

didahulukan daripada pemahaman taken for granted terhadap ayat-ayat meskipun

muhkamât. Hal ini sejalan dengan “Najmuddin al-Tufi (657-716 H) dan Ibnu

Rusyd (1127-1198 [fuqaha yang juga filosof]) yang berpendapat bahwa ayat-ayat

yang sulit dipahami secara rasional atau ayat-ayat yang bertentangan dengan

kemaslahatan, meskipun muhkamat, maka ayat-ayat itu harus di-ta’wil dengan

mendahulukan kemaslahatan manusia atau temuan akal. Yang dimaksud

kemaslahatan, sebagaimana pendapat Tyan yang dikutip Muhamad Khalid

Mas’ud, adalah kepentingan umum atau kemanfaatan manusia secara umum

(sosial). Demikian juga yang dimaksud dengan temuan akal, bukan temuan akal

yang relative, tetapi temuan akal yang perennial seperti keadilan dan lain-lain.”91

Cak Nur juga tidak mempermasalahkan perbedaan nama Tuhan. Baginya

substansi Tuhan itulah yang lebih mendasar. Artinya, “Hal ini menunjukan

persoalan nama Tuhan bukan hal yang prinsip atau asasi, namun yang lebih asasi

adalah makna esensi dari nama tersebut. Titik persamaan tersebut diperintahkan

Allah kepada Nabi saw, agar menyeru untuk menyampaikan tentang titik

persamaan pada Tuhan yang maha Esa. (Terjemahan) Firman Allah demikian,

Q�� بكf� ن4 و ا)4 إ(2� ن4 أ/6� ب� و�� باء� DS��" آلا إ��ل2 ت�ب ال6�ه?أ �

h�4� و2 ب9$K��2 بKتن= � ا)نو د�� ��ببر� أ �ل��ا ��ل � نiا بو(A�ا ا

�:�D�ن

91

Sukron Kamil. Teori Kritik Sastra Arab, Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali Pers,

2009) h. 237

Page 92: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Artinya, ‘Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat

(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita

sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan

tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain

Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah,

bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ (QS, Ali

Imran/3:64).”92

“Demikianlah seperti penjelasan awal titik persamaan dari jalan kebenaran

adalah ‘Ketauhidan’ yaitu kepasrahan kepada Yang Maha Segala-galanya. Firman

Allah:

� أن� 4 إل� إ4 أن� ��*�(ون و�� أر����ك �� j��Q �� ر��ل إ4 ن�ح" إل

‘Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kamu

wahyukan kepadanya, ‘Bahwanya tidak ada Tuhan yang Haq melainkan aku,

maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.’’ (QS, Al Anbiya:25) Ayat ini

tentunya menitikberatkan pada ‘Ketauhidan’ atau sikap pasrah pada Tuhan YME.

Islam adalah agama kepasrahan, ini artinya apapun agama Formalnya, jika

mengajarkan Ketauhidan atau kepasrahan pada Tuhan YME maka Ia adalah

Islam. Karena agama-agama dibawa oleh Rasul, sedangkan Rasul utusan Allah

SWT yang mengajarkan kepasrahan. Dengan demikian konsep kesatuan ajaran

membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan. Kemudian dalam

urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.”93

Hal ini berbeda dengan proses terbentuknya eksklusivitas merupakan

proses yang bergerak simultan antara produsen teks (makna) dengan

92

Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000) h. 18 93 Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban h. 18

Page 93: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

konsumennya. Sang produsen membangun jalan legitimasi seperti sakralisasi teks

duplikat (terjemahan),94 peraturan pemerintah menuntut kepatuhan masyarakat

yang bersifat mengikat; sementara konsumen pun mencari sandaran tempat teduh

dari tekanan-tekanan hidup yang menghimpit. Jadi terjemahan Alquran yang

transendental menjadi eskapisme dari realita yang dihadapi. Pengonsumsian

masyarakat tanpa mendialogkan ulang terhadap produk terjemahan Alquran versi

Depag ditangkap dengan bebebrapa alasan pendukung; pertama, terjemahan

Alquran Depag merupakan versi resmi yang (katanya) ‘bisa

dipertanggungjawabkan’. Kedua, ‘peraturan’ negara menuntut kepatuhan, dan

kontrol terhadap apa yang ada di luar yang ‘resmi’. Ketiga, produk terjemahan

ikut menjadi sakral karena teks yang diterjemahkannya merupakan sebuah

‘kebenaran mutlak’. Inilah yang kemudian mengakibatkan terjemahan Alquran

menjadi bernilai mitis dan sakral. “Gagasan mitis mengenai eksistensi azali dan

qadîm dari teks Alquran berbahasa Arab di lauh mahfûz, senantiasa hidup dalam

budaya kita. Hal itu karena wacana keagamaan mereproduksi terus-menerus

melalui media informasi, baik di masjid atau koran-koran keagamaan, siaran radio

dan televisi, simposium-simposium dan seminar-seminar, program-program dan

paket-paket pendidikan di sekolah-sekolah, di samping institusi keagamaan dan

universitas–(Al-Azhar). Di samping pula melimpahnya buku-buku dan karya-

94

Oleh karenanya, ada semacam ungkapan yang cukup provokatif ditulis Saifuddin Zuhri

Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, penerjemah Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara-

nya M. Syahrur, ‘Jika ada seorang melukis wajah melalui cermin – dengan demikian ia

menggambar secara terbalik– lalu menyuguhkan hasil lukisan tersebut kepada orang lain, maka tak

ada yang menduga bahwa lukisan itu terbalik.’

Page 94: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

karya terbitan dan peran propaganda umum dan khusus, dalam setiap momen-

momen keagamaan ataupun lainnya.”95

“Gagasan mitis yang pada esensinya mengabaikan dialektika ketuhanan

dan kemanusiaan, sakral dan profan di dalam struktur teks, ini membuka lebar

kemungkinan penyelewengan penakwilan teks dengan melompati sebagian

konteks atau keseluruhannya. Dengan begitu teks semata-mata menjadi suaka

(payung pelindung) untuk memproduksi ideologi apa pun namanya. Karena dalam

setiap situasi, teks keagamaan menjadi ‘objek’ (maf‘ûl bih) dan ideologi menjadi

‘subjek’ (fâ‘il). Artinya, pembentukan ideologi terjadi melalui bahasa teks

sehingga menyandang watak agama. Semua itu berarti bahwa metode penakwilan

ini tidak saja mengabaikan watak teks dan melalaikan berbagai konteksnya, tetapi

juga cenderung memoles wajah ideologis-politisnya dengan kedok agama itu

sendiri.”96

“Lebih dari itu wacana agama juga menyamakan secara mekanik antara

teks-teks (agama) tersebut dengan pembacaan dan pemahamannya terhadap teks.

Dengan penyamaan ini wacana agama tidak saja mengabaikan jarak epistemologis

antara ‘subjek’ dan ‘objek’, lebih dari secara implisit mengklaim mampu

melampaui segala kondisi dan hambatan eksistensial dan epistemologis serta

mampu mencapai intensi Ilahiah yang terkandung di dalam tek-teks tersebut. Di

dalam klaim yang membahayakan ini wacana agama kontemporer tidak

menyadari bahwa ia sedang memasuki kawasan berduri, yaitu kawasan ‘berbicara

atas nama Allah’. Anehnya, wacana kontemporer mencela sikap ini dan menjelek-

95

Nasr Hamid Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema

(Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 139 96 Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran h. 139-140

Page 95: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

jelekkannya ketika membicarakan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan dan

para ilmuwan pada abad pertengahan.”97

“‘Mekanisme mengabaikan dimensi sejarah’, merupakan bagian dari

struktur mekanisme ‘menyatukan pemikiran dengan agama’. Hal itu lantaran

menyatukan ‘pemahaman’ dengan ‘teks’, teks dipahami pada waktu kini,

sementara teks terkait dengan masa lalu (paling tidak dalam bahasanya), pasti

didasarkan pada dimensi sejarah. Wacana agama kontemporer di dalam semua ini

tampak seolah-olah muncul dari premis-premis yang tidak dapat didiskusikan atau

diperdebatkan. Semuanya berbicara tentang ‘Islam’ (dengan huruf besar) tanpa

sedikit pun merasa ragu dan tanpa menyadari bahwa sebenarnya ia melontarkan

pemahaman dirinya terhadap Islam dan teks-teksnya.”98

Hal ini kemudian melahirkan asumsi kebenaran tunggal dan mutlak pada

pemikiran keagamaan. “Pembicaraan tentang satu Islam dengan makna tunggal,

yang hanya dapat digapai oleh ulama, merupakan bagian dari struktur mekanisme

yang lebih luas dalam wacana agama. Mekanisme ini tidak sesederhana seperti

yang tampak pada emosi dan perasaan keagamaan yang alami. Dalam wacana

agama, mekanisme ini memiliki dimensi-dimensi berbahaya yang dapat

mengancam masyarakat, dan nyaris dapat melumpuhkan efektivitas ‘akal’ dalam

urusan kehidupan nyata. Dalam memfungsikan mekanisme ini, wacana

keagamaan mengandalkan emosi keagamaan awam. Wacana keagamaan ini

memfungsikan mekanisme ini atas dasar bahwa mekanisme ini merupakan salah

satu prinsip akidah yang tidak dapat didiskusikan. Sebenarnya, penafsiran seperti

itu berarti menempatkan ‘Allah’ dalam realitas konkret secara langsung dan

97

Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama. Penerjemah Khoiron Nahdiyyin

(Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 25-26 98 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 26

Page 96: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

mengembalikan segala sesuatu yang terjadi dalam realitas kepada-Nya. Tindakan

menempatkan tersebut, secara otomatis menafikan manusia, di samping itu juga

menggugurkan ‘hukum-hukum’ alam dan sosial, serta merampas pengetahuan apa

pun yang tidak didasarkan pada wacana agama atau pada otoritas ulama (resmi).99

“Dalam wacana ini, akibat dari mekanisme ini, bagian-bagian dunia

tampak berserakan, dan alam tampak cerai-berai, semua bagian dunia atau alam

hanya terkait dengan sang pencipta dan pencipta pertama. Konsep semacam ini

tidak akan mungkin memproduksi pengetahuan apa pun yang ‘ilmiah’ mengenai

dunia atau alam, apalagi dunia sosial atau manusia.”100

B. Kontestasi Pemahaman ‘Wahyu Progresif’ dan ‘Wahyu Regresif’

Lalu bagaimana dengan teori penerjemahan yang telah dijajakan selama ini mulai

dari model penerjemahan harfiah hingga yang bebas sekalipun? Selama ini

banyak sekali ditemukan model-model penerjemahan dipantau dari berbagai

macam segi. Namun begitu, ternyata terjemahan Alquran Depag tetap mengalami

krisis hingga mempengaruhi cara berpikir dan bersikap konsumen yang kemudian

menjadi eklsklusif, diskriminatif bahkan ekstrimnya intimidatif dan ekspansif.

Model-model penerjemahan mulai dari huruf ke huruf hingga penerjemahan

semantik pun (menurut teori di atas) mengalami kebuntuan. Akar masalahnya

ialah sebebas apapun model penerjemahan yang ditawarkan para teoritisi, produk

terjemahan tetap tidak beranjak dari teks. Teks menjadi otoritas tunggal tanpa

perlu ada keterangan kontekstual. Penekanan pada teks kemudian mengabaikan

dimensi-dimensi historis yang tidak hanya sekedar asbâb al-nuzûl. Di sini lah

99

Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 29 100 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 29-30

Page 97: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

letak watak eksklusifnya. Untuk lebih jelasnya lihat “Analisa Nasr Hamid Abû

Zaid yang menyebut teori al-Syafi’i (penulis yang mewakili cara berpikir abad

pertengahan) ini (tentang qiyâs yang tak beranjak dari teks, karena meskipun

qiyâs menggunakan pikiran tetapi tetap saja ada rukun-rukun qiyâs yang harus

dipatuhi) sebagai dukungan terhadap kaum ‘literalis’ (ahl al-hadîts) untuk

mempersempit ruang gerak kaum ‘rasionalis’ (ahl al-ra’y), yang kemudian dari

sana memperpanjang gurita sakralisasi agama terhadap urusan-urusan

duniawi.”101

Pada akhirnya kita menghambakan (sekaligus memberhalakan) diri

pada teks. Teks memiliki daya supremasi yang sangat tinggi. Teks menjadi

Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup ‘Finis’). Pada titik ini, teks yang

diharapkan sebagai ‘wahyu progresif’ beralih menjadi ‘wahyu regresif’, sebuah

konsep yang berasumsi bahwa wahyu telah berakhir dengan turunnya Alquran.

Sementara, “dalam pemahaman ‘wahyu progresif’, maka konsep tentang wahyu

tidak pernah berakhir pada periode sejarah tertentu. Tuhan terus berkarya dalam

setiap ruang dan waktu.”102

Di sinilah perlunya mengilmiahkan teks keagamaan yang bersifat

ideologis dan propagandis. Coba bandingkan misalnya, “di dalam teks-teks ilmiah

murni sistem bahasa dikorbankan sama sekali dengan cara menggantikannya

dengan sistem simbol yang lain. sementara teks-teks propaganda (keagamaan)

mengandalkan bagaimana eksploitasi semua atau sebagian besar aspek

pengetahuan positif dari sistem bahasa. Sebabnya adalah, dalam (teks) ilmu

penekanannya pada kejernihan pesan dan kejernihan makna, sementara penekanan

101

Baso, NU Studies, h. 140-141 102

Sumanto Al-Qurtuby, “Anak Muda NU dan Tradisi Pemikiran Ultra-Liberal” dalam

Zuhairi Misrawi, ed. Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas,

2003) h. 259

Page 98: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

pada teks-teks propagandis adalah membungkam pihak penerima dari segala

bentuk kritisisme. Dan, di antara kedua tipe teks yang berlawanan ini terdapat

teks-teks kebahasaan dan komunikatif yang sebenarnya, di mana sistem

kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi yang mencerminkan aspek

epistemologi, sementara aspek ideologinya muncul melalui sistem teks.”103

“Perbedaan antara ‘sistem bahasa’ dengan ‘sistem teks’ inilah yang

menentukan pesan. Perbedaan ini pada dasarnya muncul dari ideologi pengirim.

Dari pihak penerima sistem bahasa ini mencerminkan apa yang dapat disebut

sebagai kerangka penafsiran dari pesan, sementara sistem teks –maksudnya

makna dari sistem ini– mencerminkan apa yang disebut ‘fokus penilaian’ karena

di sini ideologi penerima turut terlibat untuk menilai dan memutuskan.”104

Sebuah

pesan teks merupakan perpaduan dan hasil negosiasi kedua pihak, pengirim dan

penerima. Sementara hasil pesannya ditentukan oleh kualitas hubungan

komunikasi keduanya, yakni tergantung apakah komunikasi berlangsung dengan

sehat atau tidak, dialog yang seimbang atau tidak.

“Pertanyaannya sekarang: mungkinkah memahami teks agama, dan

Alquran pada khususnya, di luar kerangka konteks budaya dan pengetahuan dari

kesadaran bangsa Arab pada abad VII M. Bahasa yang merupakan medium pesan

dalam teks keagamaan adalah jawaban dari pertanyaan. Ini, asalkan disadari

bahwa ia wadah kosong semata-mata alat komunikasi yang netral. Akan tetapi,

setiap teks memiliki bahasanya sendiri, atau medium sekundernya, di dalam

sistem bahasa yang umum. Melalui bahasa sekunder inilah teks-teks agama

melontarkan akidah (ideologi) baru, akidah yang dipakai teks agama untuk

103

Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121 104 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121

Page 99: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

merekonstruksi kesadaran pembacanya. Namun, meskipun akidah tersebut baru,

namun tidak baru sama sekali, sebab bagaimanapun juga teks pada akhirnya

cenderung pada ideologi yang memiliki akarnya atau cenderung memberikan

harapan-harapan awalnya bagi perkembangan kebudayaan.”105

“Singkatnya, konstruksi tentang teks, adalah konstruksi tentang hibriditas,

sesuatu yang ambivalen, tidak pernah jadi koheren dan esensial. Di satu sisi, ia

menegaskan orisinalitas, otoritas, dan kejelasan kepengarangan. Tapi ia juga

proses dislokasi, repetisi, distorsi, displacement (permainan tempat dan posisi),

dan missreading. Teks selalu merupakan keterpecahan antara keberadaannya

sebagai sesuatu yang menunjukkan dirinya orisinil dan otoritatif, dan artikulasinya

yang memungkinkan lahirnya pengulangan-pengulangan, repetisi, dan pembeda-

pembeda. Ia merupakan arena permainan pembeda atau difference yang

menghasilkan bentuk-bentuk otoritas yang antagonistik. Maka, resistensi terhadap

tafsir dan teks resmi bukanlah upaya sadar yang bertindak oposisional; ia adalah

efek ambivalensi yang dihasilkan dalam aturan-aturan formal dan lembaga resmi

yang mengukuhkan keberbedaan dan keistimewaan para penafsir melalui hierarki,

normalisasi, marjinalisasi, dan sebagainya.”106

Lalu bagaimanakah nasib teks terjemahan sebagai duplikasi dari teks

sumber. “Pada esensinya, terjemahan merupakan suatu pembacaan dan

penakwilan teks yang tidak bebas, ghair al-barî’ah (dari pengaruh berbagai

faktor). Karena itu kita tidak perlu berlebihan dengan menganggap bahwa

penerjemahan merupakan pengkhianatan besar terhadap teks. Dalam wilayah teks-

teks keagamaan khususnya, level-level pembacaan yang beragam dan kompleks

105

Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121-122 106

Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam, (Depok: Desantara, 2002)

h. 92-93

Page 100: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

ini menjadi wilayah subur dan mendorong untuk mengkaji sejumlah ilmu yang

melahirkan prosedur-prosedur pembacaannya.”107

Karenanya penting sekali untuk melihat teks secara kritis dan

komprehensif mulai dari asal-usul, definisi, proses jalinan rumit pembentuk teks,

cara pembacaan, menyikapinya, dan seterusnya. Inilah yang kemudian

memunculkan pandangan bahwa, “sesungguhnya teks (apapun bentuknya) adalah

cermin manakala pengalaman manusia dan pengetahuannya bertambah,

wawasannya luas dan tajam pengamatannya, maka dia menemukan makna-makna

baru dalam teks dan memberinya pemahaman baru. Karena itulah suatu

pembacaan teks tidak sepadan dengan lainnya, bahkan oleh seorang pembaca

sekalipun, karena setiap pembacaan membawa pengaruh subjektif, dan yang benar

adalah subjek. Sesungguhnya yang dimaksud dengan penakwil sejati harus

memahami jarak teks yang merupakan objek perenungan atau penakwilan yang

memungkinkan menelitinya dan berdialog dengannya.108

Dalam konteks pembacaan Alquran, “Nalar Arab menggunakan metode

takwil (hermeneutika) pada tataran utama, dan ketika takwil sebagai

pengangkatan dan pengeluaran makna dan sebagai penggalian serta penyelaman

aspek batin, maka sejajar dengan potensi nalar yang tidak pernah habis. Metode-

metode takwil dan tafsir merupakan capaian-capaian pemikiran yang luar biasa.

Jika tidak bagaimana kita bisa menafsirkan petualangan nalar yang besar yang

dihimpun oleh perdaban Arab dan ilmu pengetahuan yang dialami oleh bahasa

Arab? Teks, karya, dan berita tidak lain adalah langkah-langkah awal bagi nalar

dan inspirasi-inspirasi bagi pemikiran dan amat penting bagi pemahaman.

107

Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 137 108

Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta:

LKiS, 2003) h. 8

Page 101: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Seandainya tidak ada inspirasi tersebut, niscaya sebagian ilmu tidak dapat lahir

dan sebagian lainnya saja yang berkembang.”109

Jika nalar Arab terbelenggu dengan teks, maka nalar kembali pada teks,

menelitinya, merenungkan ucapan-ucapannya, mengangan-angan maknanya, dan

membolak-balik signifikansinya, kemudian berijtihad sesuai dengan

kemampuannya dan menakwilkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan ijtihad

dan perbedaan penakwilan merupakan bukti keragaman signifikansi dan kekayaan

makna, tanda dinamika kultur dan perkembangannya. Takwil mengharuskan

pluralitas makna dan munucul dari pertentangan serta perbedaan.110

Perintah ilahi, meski mengungguli nalar, terjelma dalam bentuk kalâm dan

teks. Meskipun tetap, teks menghimpun sejumlah turunan-turunan (dalîl). Tidak

mungkin dalîl-dalîl agama dikutip tanpa pemikiran atau penakwilan, karena tidak

ada ‘naql murni’. Setiap pengutipan dan penyimakan mengandung suatu bentuk

penggambaran dan pemahaman. Menerima manqûl tidak cukup mengambil sisi

manqûl-nya saja. Karena itu, seseorang tidak dapat menghindari untuk memahami

teks sekecil apa pun. Orang yang bernalar tidak dapat berlindung pada penakwilan

agama sebagai suatu takwil.111

Jika ditlik lebih jauh, kita akan melihat bagaimana konstruk berpikir Arab

tidak berangkat dari nalar murni, tetapi berangkat dari nalar ideologis. “Tidak

diragukan lagi bahwa ‘nalar ideologis’ sebagai metode dan sistem, sebagai

kecenderungan untuk menjustifikasi dan mempertahankan, dan sebagai

kecenderungan membatasi makna dan menyatukan signifikansi, merupakan sarana

untuk mengumpulkan kalimat, menyatukan kelompok, menetapkan identitas

109

Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 10 110

Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 11 111 Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 141

Page 102: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

sebagaimana pula sebagai wahana bagi kesatuan otoritas dan berdirinya negara

(dan segala macam bentuk otoritas institusi).”112

Lalu bagaimana mengatasi kecenderungan nalar ideolgis Arab sebagai

langkah kreatif menanggulangi kelesuan dalam pembacaan yang sama sekali

sudah terdistorsi dalam jerat sturktur-struktur yang rumit dan tersistematisasi yang

kelihatannya saja rasional. Hal ini persis dengan apa yang diyakini oleh Foucault

dan Gadamer bahwa “asumsi-asumsi kita yang terdasar (misalnya tentang hakikat

pengetahuan, hubungan antara bahasa dan dunia, tentang akal sehat dan kegilaan)

selalu merupakan lapisan yang secara struktural tak terlihat dan pada masa itu

sendiri tak bisa dieksplisitkan. Gadamer menyebutnya ‘praduga’, Foucault

menyebutnya episteme, atau struktur kognitif fundamental.”113

Di sinilah pentingnya kita menyadari bahwa “Suatu penafsiran tidak

bersifat reproduktif belaka (menghadirkan nalar Arab wa bil khusûs abad VII M.),

melainkan juga produktif. Maksudnya, makna teks bukanlah makna bagi

pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini, maka

menafsirkan adalah proses kreatif.”114

“Pemahaman yang kita capai di masa kini,

di masa depan pada gilirannya akan menjadi pra-paham baru pada tahap yang

lebih tinggi karena ada proses pengayaan kognitif dalam spiral pemahaman itu.

spiral pemahaman itu tampak jelas dalam proses tanya jawab.”115

“Karena

pengetahuan kita terjadi melalui oposisi subjek-objek, pemahaman kita tidak bisa

tidak diperantarai. Pengantara pemahaman kita adalah lingkungan sosio-kultural

112

Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 173 113

I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 1996) h. 92 114

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 44

115 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 47

Page 103: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dan sejarah. Oleh karena itu, tidak ada pemahaman yang netral dan ahistoris.

Pemahaman senantiasa diperantarai oleh konteks sejarah dan sosial tertentu

sebagai cakrawalanya.”116

Ia (Gadamer) melihat (bahwa) menafsirkan teks sebagai tugas produktif

atau tugas kreatif; kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara

cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita

diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga (unthinkable dalam kosakata

Arkoun). Dengan kata lain, perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala

pengarang bila kita hadapi secara produktif, kreatif dan terbuka, justru akan

memberi kita pengetahuan yang mengejutkan. Dengan demikian, jarak waktu

tidak menghambat atau mempermiskin pemahaman kita, justru memperkaya

pengetahuan kita, asalkan tugas menafsirkan teks bukan dihadapi sebagai tugas

reproduktif, melainkan tugas produktif. Suatu teks perlu dipahami dalam

cakrawala masa lampau, dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.117

Singkatnya, cara yang tepat adalah menafsirkan teks atau objek sosio-kultural itu

dalam keterbukaannya terhadap masa kini dan masa depan, maka tugas penafsiran

tak kunjung selesai dan bersifat kreatif.118

Untuk dapat memahami teks, kita harus membuang jauh-jauh segala

bentuk prakonsepsi dengan maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa

yang dikatakan oleh sebuah teks. Sebaliknya, kita mengantisipasi dan

menginterpretasi menurut apa yang kita miliki (vorhabe), apa yang kita lihat

(vorsicht), serta apa yang akan kita peroleh kemudian (vorgriff). Jadi, bukan

dengan pertimbangan yang sudah kita miliki sebelumnya, yang oleh Gadamer

116

Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 48 117

Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 48-49 118 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 64

Page 104: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dinilai negatif atau rendah. Ia sendiri mengakui bahwa pertimbangn semacam itu

tidak salah, sebab ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yaitu yang

menentukan realitas historis keberadaan seseorang.119

Adanya antisipasi terhadap makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan

sebelumnya atas keseluruhan pemahaman melalui bagian-bagiannya, memang

diharapkan. Gadamer menyebut hal itu sebagai makna atau arti yang akan datang

(fore-meaning) dan pemahaman yang akan datang (fore-understanding), yang

juga merupakan persyaratan hermeneutik sehingga membuat pemahaman itu

menjadi suatu ‘hubungan yang historis dan efektif’. Pemahaman hanya akan

terjadi dalam konteks atau cakrawala sejarah yang terus-menerus berubah. Inilah

yang menjadi salah satu sebab mengapa interpretasi tidak pernah bersifat

monolitik atau mempunyai aspek tunggal, kaku, dan statis. Jika cakrawala sejarah

terus-menerus berubah, pemahaman akan mengikuti konturnya (garis bentuk) dan

juga bentuknya. Akhirnya, pemahaman itu sendiri adalah fusi dari berbagai

macam cakrawala, hubungan timbal balik antara beberapa konteks sejarah.

Gadamer menegaskan bahwa sebuah teks, baik itu peraturan perundang-undangan

atau Injil (begitu pula Alquran dan segala macam bentuk teks lainnya), harus

dipahami setia saat, dalam setiap situasi khusus, dalam cara yang baru dan

berbeda dengan yang lama, jika kedua hal tersebut ingin kita pahami sebagaimana

mestinya.120

Untuk melengkapi sebuah pembacaan terhadap teks tertentu ada baiknya

juga kita simak pandangan-pandangan (kritik) masyarakat teks itu sendiri dimana

“Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Secara

119

E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) h.

83 120 Sumaryono, Hermeneutik h. 83

Page 105: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

ringkas dikatakan bahwa supremasi teks atau lafaz adalah kaidah dasar dalam

ajaran Islam. Kenapa teks menempati supremasi yang begitu tinggi dalam agama

kita? Jelas ini berkaitan dengan suatu wawasan teologis yang tidak remeh dan

untuk membongkarnya diperlukan keberanian yang besar; suatu wawasan teologis

yang menganggap bahwa Tuhan berbicara langsung kepada manusia via Nabi;

bahwa sabda Tuhan adalah superior terhadap sabda manusia; bahwa Sabda Tuhan,

sejauh tidak ada alasan-alasan yang kuat dan kokoh, harus dimengerti dalam

pengertiannya yang harfiah. Wawasan teologis yang melandasi skripturalisme ini

juga tegak atas suatu asumsi yang agak lucu: semakin harfiah kita memahami

Sabda Tuhan, semakin dekat kita dengan kehendak-Nya; semakin kita asyik dan

sembrono dalam takwil atau penafsiran non-literal, maka semakin jauh kita dari

kehendak-Nya yang benar. Teks adalah semacam aksis atau ‘poros’ tempat

seluruh tindakan orang beriman berkisar. Semakin dekat kepada titik pusat poros

itu, maka makin besar kemungkinannya kita untuk mendekati esensi agama;

makin jauh kita dari poros itu, makin jauhlah kita dari esensi agama. Kedekatan

dan kejauhan, dalam hal ini, semata-mata diukur melalui ‘lafaz’ atau teks.

Wawasan teologis yang bersifat ‘ultra-teosentris’ semacam inilah yang

menerangkan kenapa teks begitu ditempatkan dalam kedudukan yang sentral,

sementara pengalaman manusia yang riil dan kontekstual diletakkan dalam

kedudukan yang inferior, rendah, sekunder, atau bahkan tidak berarti sama

sekali.”121

Dari uraian tersebut, kita akan lebih lihat upaya konkret apa yang

dilakukan secara produktif dan kreatif terhadap penerjemahan ayat di atas yang

121

Ulil Abshar-Abdalla, “Menghindari ‘Bibliolatri’ Tentang Pentingnya Menyegarkan

Kembali Pemahaman Islam” dalam Zuhairi Misrawi, ed. Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas, 2003) h. 65-66

Page 106: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

diikuti dengan kebutuhan masa kini sekaligus tidak tercerabut dari kondisi-kondisi

masa lalu. Hal ini jelas terlihat misalnya dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali,

��م و�� ا �' ال&9�� أوت�ا ال6�ب إ4& �� ب2( �� �1ء ه/ إن& ال(+�� *�( ا) ا�

� ب A�/ و�� 6�@� ب?��ت ا) �=ن& ا) ���> ال;:�بBال2�/ ب

Artinya, The Religion before God is Islam (submission to His Will): nor did the

People of the Book dissent therefrom except through envy of each other, after

knowledge had come to them. But if any deny the Signs God, God is swift in

calling to account.122

Dalam terjemahan di atas, Abdullah Yusuf Ali memberikan keterangan

tentang Islam. Abdullah mengatakan bahwa Islam adalah Submission to His Will,

kepasrahan terhadap kehendak-Nya. Di sini Abdullah mencoba untuk

meng’historis’kan apa yang diistilahkan, ‘Islam’. Dengan keterangan demikian,

makna Islam menjadi inklusif dan membuka segala macam penafsiran bahkan

cenderung mendekonstruksi makna ‘Islam’ eksklusif yang tidak ditambahkan

keterangan apa pun seperti terjemahan Depag. Submission to His Will yang

menjadi makna ‘Islam’ merupakan praktek penafsiran yang mempertimbangkan

kebutuhan masa kini. Submission to His Will, kepasrahan terhadap kehendak-Nya

bisa dikatakan merujuk kepada wacana-wacana humanisme sebagai alternatif

krisis-krisis sosial, seperti pertikaian agama, pertentangan kelas, diskriminasi ras,

bias gender, kekuasaan tirani dan seterusnya. Setidaknya kehenda-Nya

menginginkan kemaslahatan bagi umat-Nya. Kehendak-Nya merupakan

122

Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Original Arabic Text with English Translation and Selection Commentaries, (Kuala Lumpur: Saba Islamic Media, 2004) h.75

Page 107: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

representasi dari kebutuhan masa kini yang berorientasi pada kemaslahatan masa

depan.

Oleh karena itu, historisasi teks menjadi kerja yang rumit dan penting.

“Karena sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks

sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah

peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini

mesti mendapat tabir (seperti sudah disinggung di atas). Yang menghubungkan

sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Sejarah,

tulis Gadamer, memiliki makna hanya ketika dipertemukan dengan keprihatinan

masa kini untuk membangun harapan di masa depan.”123

Hal inilah yang menurut

penulis telah dilakukan oleh Abdullah Yusuf Ali dalam konteks Inna Ad-dîna

‘inda Allah Al-Islâm.

Pada ayat ini Abdullah telah melakukan kegiatan interpretasi. “Kegiatan

interpretasi adalah proses ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang saling

berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang

diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan

interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus

meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘Aku’

penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat kita pahami bahwa mengerti

sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan

yang benar (correct). Sesuatu tidak akan kita kenal jika tidak kita rekonstruksi.”124

“Pengakuan Alquran atas pluralisme agama tampak jelas tidak hanya dari

sisi penerimaan kaum lain sebagai komunitas sosio-religius yang sah, tetapi juga

123

Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik,

(Jakarta: Paramadina, 1996) h. 155 124 Sumaryono, Hermeneutik h. 31

Page 108: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

dari penerimaan dari kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan melalui

jalan yang berbeda itu. Pemeliharaan kesucian tempat-tempat ibadah, karena itu

tidak semata-mata dimaksudkan demi menjaga integritas masyarakat multi agama,

sebagaimana halnya negara-negara kontemporer barangkali ingin melindungi

tempat-tempat ibadah disebabkan oleh peran yang dimainkannya dalam

kebudayaan sekelompok masyarakat. Alih-alih karena Tuhan –yang merupakan

Zat Yang Tertinggi bagi agama-agama ini, dan dipandang berada di atas

perbedaan ungkapan lahiriahnya– disembah di dalam tempat-tempat tersebut.

Adanya orang-orang dalam keyakinan yang lain dengan tulus mengakui dan

melayani Allah, ditampilkan secara lebih eksplisit dalam QS Ali ‘Imran (3):113-

114 :

� وه/ �:b(ونل :�ا ��اء �� أه � ال6�ب أ�Q S�ئSD ���ن U��ت ا) ءان�ء ال .

�Dن *� ال�A��2�وف وD��ون ب�لi�و � sم ا� ن�*�ر:� وF�6����ن ب�) و ال

;�ل الhj� �tولأ وات� $ ال"��

Artinya,‘Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab ada golongan yang berlaku

lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah ada beberapa waktu di malam hari,

sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari

penghabisan; mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang

munkar, dan bersegera (mengerjakan) pelbagai; mereka itu termasuk orang-

orang yang saleh.’ Jika Alquran adalah kata-kata dari Tuhan yang adil,

sebagaimana yang diyakini kaum muslimin dengan tulus, maka tidak ada

alternatif terhadap pengakuan akan ketulusan dan amal kebajikan kaum lain, dan

balasan bagi mereka pada hari pembalasan. Selanjutnya, Alquran mengatakan,

Page 109: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

ل إلuن? أ� و/6 ل إلuن? أ� و�) بD�� F�� ل�ب6 ال�ه أ� �نإوA/ �2 �� ل�4

�f�ث ا)�ت?� بنو D�Q �� �ب:; ال>�� � ا)ن إ/Aب ر(� */ه1� أ/A لhjول أ�

Artinya,‘Dan sesungguhnya di antara ahli kitâb ada orang-orang beriman

kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan

kepada mereka, mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak

menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh

balasan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungannya,’

(QS Ali Imran [3]: 198).”125

Untuk melengkapi tema di atas, perlu kiranya kita memperhatikan surah

al-Baqarah ayat 62 di bawah ini,

� �� U�� ب�) وال �م اs � ي�رtال�ا وو�د ه9��الا و�U�� 9�� النإhب�tوال

� �Tل;� A��/ أ1�ه/ *�( ربA/ و4 �ف *� A/ و4ه/ �;uن�نD*و

Artinya, ‘Sungguh, orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani,

dan Sabiin- siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan beramal

saleh maka akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka, tiada takut bagi

mereka, dan mereka tidak bersedih hati.’

125

Farid Essack. Membebaskan Yang Tertindas, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme.

Penerjemah Watung A. Budiman(Bandung: Mizan, 2000) h.207

Page 110: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

BAB V

A. Kesimpulan

Menurut perspektif para linguis, wacana adalah kesatuan makna antarbagian di

dalam suatu bangun bahasa. Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai

bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan

secara padu. Di samping itu, wacana juga terkait pada konteks.

Sementara dalam kacamata politik kebudayaan, wacana bukan lagi sebagai

rangkaian kalimat yang koheren, tetapi wacana adalah sesuatu yang memproduksi

yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena

secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam

konteks tertentu sehingga mempengaruhi dan bertindak tertentu.

Oleh karena itu, kritik atas suatu wacana menjadi penting. Penelitian atas

wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks

hanya hasil dari suatu proses produksi yang harus juga diamati. Di sini juga harus

dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu

pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Kritik atas wacana tidak bisa

mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah

bagian kecil dari struktur besar masyarakat.126

Dalam menganalisis masyarakat (societal analysis), wacana adalah bagian

dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti teks

perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang

suatu hal diproduksi dan dikonstruksi. Titik penting dari analisis ini adalah untuk

menunjukan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekuasaan sosial

126 Eriyanto, Analisis Wacana. h. 222

Page 111: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Dalam hal ini ada dua poin

penting yang menjadi pilar tegaknya sebuah wacana, kekuasaan (power) dan akses

(acces).

Kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu

kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau

kelompok) dari anggota kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada

kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai, seperti uang, status, dan

pengetahuan. Analisis semacam ini pun memberikan peluang besar pada apa yang

disebut sebagai dominasi. Dominasi direproduksi oleh pemberian akses yang

khusus pada satu kelompok dibandingkan kelompok lain (diskriminasi). Analisis

ini pun membantu kita untuk mencermati bagaimana proses produksi lewat

legitimasi melalui bentuk kontrol pikiran. Sederhananya, analisis (kritis) wacana

ini mempersenjatai kita guna melihat proses produksi itu secara umum dipakai

untuk membentuk kesadaran dan konsensus.

Terkait dengan akses, kelompok elit yang berkuasa memiliki akses yang

lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak berkuasa. Mereka yang lebih

berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk memiliki akses pada media

dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Kecuali

memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, akses

yang lebih besar ini juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat

disebarkan dan didiskusikan kepada khalayak.

Sehubungan dengan ini, ada berbagai upaya positif dalam penyuguhan

terjemahan Alquran agar dipahami secara komprehensif;

1. Pengklasifikasian ayat-ayat berdasarkan satuan tema tertentu (kajian tematik).

Page 112: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

2. Pemberian keterangan tambahan bagi ayat-ayat yang pemahamannya

membutuhkan konteks tertentu, seperti penambahan footnote, aposisi-aposisi atau

dalam kurung.

3. Terkait dengan keterangan surah, penjelasan bisa penyajian-penyajian arti

surah, nama lain surah berikut keterkaitan dengan surah sebelum dan sesudahnya.

Inilah yang disebut munâsabah al-âyât. Safwah al-Tafâsir-nya M. Ali al-Sabuni

juga memberikan contoh yang cukup baik dalam hal ini.

4. Penyajian terjemahan yang akomodatif. Artinya, terjemahan semestinya

mengandaikan bahwa konsumen teksnya bukan hanya yang mengerti bahasa Arab

tetapi juga ada yang tidak mengerti bahasa Arab.

Secara umum, kekurangan yang ada pada terjemahan Alquran Depag edisi

revisi 1989 ialah;

1. Kelemahan yang bersumber dari kelalaian berbahasa mengakibatkan

kejanggalan-kejanggalan atau percernaan makna terjemahan yang membutuhkan

waktu. Singkatnya, terjemahan Alquran Depag belum lepas dari struktur bahasa

Arab.

2. Kemiskinan metode penerjemahan yang dimiliki sehingga mempengaruhi

makna yang dipresentasikan dalam terjemahan. Pemilihan diksi pun terkesan

eksklusif sehingga mengarahkan pembaca pada penyempitan makna.

3. Penerjemahan Alquran secara berurutan menurut urutan mushaf. Hal ini

tentunya tidak sederhana akibatnya, yaitu pemahaman yang terpisah-pisah karena

urutan ayat tidak melulu adanya kesatuan tema. Artinya, pemahaman konsumen

terjemahan berdasarkan urutan surah menjadi belum sempurna.

Page 113: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Terkait dengan inklusivisme dan eksklusivisme Islam yakni surah Ali

Imran ayat 19 dan 85, kita mempunyai beberapa catatan untuk penerjemahan

Alquran Depag RI edisi 1989;

1. Secara tekstual penerjemahan tersebut menampilkan penunggalan makna

sehingga membungkam kemungkinan pembacaan lain.

2. Dari segi kontekstual, penerjemahan pada kedua ayat ini potensial

mempersenjatai terhadap suatu sekte Islam yang berkuasa untuk

mendiskriminasikan agama dan aliran kepercayaan atau ajaran sempalan Islam itu

sendiri.

3. Terjemahan Alquran Depag cenderung eklsklusif. Hal ini seperti terlihat dalam

analisis pada Bab IV. Wacana yang timbul adalah juga wacana eksklusivitas.

B. Saran

Mencermati kekurangan-kekurangan tersebut, penulis ingin memberikan beberapa

catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada cita-cita diterbitkannya

Alquran dan terjemahannya;

1. Menerjemahkan ulang Alquran dengan metode yang lebih mengedepankan

aspek makna, dengan metode semantik misalnya. Metode penerjemahan setia

(literal) lebih mempertahankan struktur-struktur bahasa sumber sehingga aspek

makna menjadi terabaikan.

2. Merevisi penggunaan bahasa Indonesia yang berlaku baik dari segi struktur

maupun pilihan diksi. Kecuali struktur penerjemahan yang benar, diksi harus

diperhatikan karena diksi merupakan bagian terkecil semantis yang menentukan

makna keseluruhan.

Page 114: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

3. Menerjemahkan dengan model kajian tematis juga perlu dilakukan Depag demi

tercapainya target pemahaman yang utuh terhadap kandungan Alquran bagi

masyarakat. Delang alasan bahwa kajian tematis mengumpulkan semua ayat yang

berkaitan dengan tema tertentu, termasuk ayat-ayat yang saling mendukung

maupun saling kontradiktif.

4. Perlu diadakannya penjelasan-penjelasan atau catatan-catatan yang dapat

memastikan keterangan agar tidak terjadi kerancuan-kerancuan, misalnya kata-

kata yang dimaksud dalam Alquran dengan kata-kata yang memang sudah

dipahami secara berbeda oleh konsumen teks.

5. Penerjemah tidak cukup sekedar mengerti bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Penerjemah harus memainkan peran sebagai subjek sosiologis, antropologis, etis,

yuridis, politis (politic of culture) dan seterusnya. Artinya penerjemah harus kritis,

‘melek budaya’, ‘melek hukum’, ‘melek lingkungan’ dan seterusnya. Singkatnya

penerjemah harus menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

6. Islam sejauh bisa dipahami dari pengalaman Nabi, adalah sebuah gerakan yang

membuka dan memberi harapan (antropologi wahyu) kepada semua kelompok

sosial baik agama, kelas, etnik, dan gender, yang hidup di dalam wilayah sosio-

kultural tertentu, untuk meneguhkan identifikasi diri mereka kepada lokalitasnya

secara kritis, mengelola perbedaan-perbedaan yang muncul sebagai

konsekuensinya (the politics of recognition), dan mengarahkan berbagai

kelompok yang berbeda tersebut untuk selalu melihat cita-cita yang lebih jauh

untuk pemenuhan ketinggian harkat kemanusiaan mereka sendiri. Terkait dengan

penerjemahan, saran penulis adalah bagaimana penerjemahan Alquran

berkontribusi dalam membekali masyarakat untuk mewujudkan keluhuran

Page 115: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

insaniyah yang plural, di Indonesia terutama yang penuh dengan keragaman etnis,

kepercayaan, dan agama.

Akhir kata, penulis membuka ruang dialog dan mohon maaf atas kesalahan

agar diperbaiki di masa-masa mendatang.

Page 116: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karîm, Khalîl Syari‘ah, Sejarah Perkelahan Pemaknaan (Yogyakarta:

LKiS, 2003)

Abû al-Fadl, Khâlid Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi,

2005)

Abû Zaid, Nashr Hâmid, Teks, Otoritas, Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Abû Zaid, Nashr Hâmid, Kritik Wacana Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Ahmed An-Na‘îm, Abdullahi, Dekonstruksi Syariah (Yogyakarta: LKiS, 2004)

Anîs, Ibrahîm dkk. Al-Mu’jam al-Wasît (Kairo : 1972)

Ashcroft, Bill, dkk. Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktek Sastra

Poskolonial (Yogyakarta: Qalam, 2003)

A. Sirry, Mun‘im Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam

Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003)

al-Asymawi, Muhammad Said, Nalar Kritis Syari’ah (Yogyakarta : LKiS, 2004)

Barker, Chris, Cultural Studies Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Bentang, 2005)

Barthes, Roland, Mitologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)

Baso, Ahmad, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam

dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006)

Baso, Ahmad Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam, (Depok: Desantara,

2002)

Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia,

2002)

Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks

Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004)

Page 117: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Catford, J.C. A Linguistic Theory of Translation (London: Oxford Of University

Press, 1974)

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta:

LKiS, 2005)

Eriyanto, Analisis Wacana pengantar analisis teks media, (Yogyakarta : LKiS,

Cet. V 2006)

Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah (Yogyakarta: Teknomedia, 2003)

al-Fairûzâbâdi, Muhammad ibn Ya‘qûb, al-Qâmûs al-Muhît (Libanon: Dâr al-

Fikr, 1426 H/2005)

Fiske, John, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2004)

Foucault, Michel. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

al-Ghazali, Imam, Al-Mustasfâ Min Ilm al-Usûl (Beirut : Muassasah Al-Risâlah,

1997) Vol 1

Harb, Ali, Benar Kritik Kebenaran, (Yogyakarta : LKiS, 2004)

Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis

tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius,

2003)

Hidayat, Komarudin, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik,

(Jakarta: Paramadina, 1996)

al-Jâbirî, Muhammad Abid, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS,

2000)

Page 118: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

al-Jâbirî, Muhammad Abid, Syûrâ, Tradisi Partikularitas Universalitas

(Yogyakarta: LKiS, 2003)

Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan

Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

Kamil, Syukron Dkk. Syariah dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap

Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC,

2007)

Kushartanti dkk. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. (Jakarta:

Gramedia 2005)

Louis, Althusser, Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,

Cultural Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2008)

Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000)

Majalah Kebudayaan Desantara, Dialog Agama dan Kebudayaan, (Depok:

Desantara, 2002) Edisi 03/Tahun II/2002.

Ma’loûf, Louis, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A‘lâm (Beirut : Dâr al-Masyriq,

1986)

Misrawi, Zuhairi dkk. Ed., Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda

NU (Jakarta: Kompas, 2003)

Moentaha, Salihen, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006)

Morton, Stephen, Gayatri Spivak, Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran

Poskolonial (Yogyakarta: Pararaton, 2008)

Mubarak, M. Zaki. Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran,

dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008)

Page 119: TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8248/1/ALHAFIZ...dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies,

Muhammad Ibn Mahram Ibn Manzhur, Jamaluddin, Lisân al-Arab (Beirut: Dâr

al-Fikr)

Mulyana. Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis

Wacana. (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005)

al-Râzi. Mukhtâr al-Sihâh (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994)

Salman Ghanim, Muhammad, Kritik Ortodoksi, Tafsîr Âyât Ibadah, Politik, dan

Feminisme (Yogyakarta: LKiS, 2004)

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran

(Tangerang: Lentera Hati, 2006)

Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 1996)

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001)

Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,

1999)

Syahrûr, M., Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara, (Yogyakarta:

LKiS, 2003)

Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic (Arabic-English)

(Wiesbaden, Otto Harrascowit)

Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989)

Yusuf Ali, Abdullah The Holy Quran, Original Arabic Text with English

Translation and Selection Commentaries, (Kuala Lumpur: Saba Islamic

Media, 2004)