lesson from animal: comparative studies on human …

9

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …
Page 2: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

1

LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN-ANIMAL INTERACTION IN FOLKTALES OF BALI AGA AND AINU JAPAN

Ida Ayu Laksmita Sari

Universitas Udayana, e-mail: [email protected] I Nyoman Darma Putra

Universitas Udayana, e-mail: [email protected] I Nyoman Weda Kusuma

Universitas Udayana, e-mail: [email protected] I Wayan Suardiana

Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Abstrak

Banyak cerita rakyat yang menampilkan interaksi antara tokoh manusia dan tokoh binatang yang mengandung nilai hiburan, pesan moral dan pengetahuan kehidupan. Makalah ini menganalisis secara komparatif interaksi antara tokoh manusia dan tokoh binatang dalam cerita-cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang. Perbandingan cerita rakyat kedua etnik ini dilakukan karena khasanah cerita rakyat mereka menampilkan banyak kisah hubungan manusia dengan binatang dan kedua etnik memiliki latar belakang sosial yang mirip, yakni sama-sama merupakan etnik penduduk asli yang minoritas di daerah masing-masing yang kaya akan warisan budaya berupa cerita rakyat. Analisis difokuskan pada nilai moral dan pesan-pesan kemanusiaan yang muncul dalam interaksi antara manusia dan binatang. Data analisis diambil secara selektif dari cerita rakyat kedua etnik, yakni cerita rakyat Bali Aga diambil dari antologi Ceritera Rakyat Bali: Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (1978) dan Ainu Jepang dari antologi Ainu no Mukashi Banashi: Hitotsubu no Sacchiporo (1993). Cerita dikaji dengan antropologi sastra dan sastra bandingan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tokoh binatang dalam kedua cerita bisa sama-sama dapat dikategorikan menjadi dua yaitu binatang yang memiliki kekuatan gaib dan yang merupakan jelmaan dewa. Dalam interaksinya dengan manusia, karakter kedua jenis tokoh binatang itu bisa menjadi penolong dan atau pencelaka bagi manusia. Dengan kata lain, tokoh binatang dalam cerita rakyat BA dan AJ memberikan pelajaran hidup tentang kebajikan, moralitas, balas budi dan manusia bisa mengambil pelajaran dari sana jika mereka ingin hidup lebih bahagia, sejahtera, dan harmonis. Kata Kunci: cerita rakyat, interaksi manusia-binatang, Bali Aga, Ainu Jepang, moral cerita

Abstract

Many folktales depict interactions between human and animal characters from which entertainment and moral values can be obtained. This paper analyses comparatively the interactions between human and animal characters in the folktales of the people of Balinese Bali Aga of North Bali and Ainu of Japan. The comparison of these two ethnics folktales is done because their folktales repertoire features many stories of human relationships with animals and both ethnics have similar social backgrounds, which are both ethnic are indigenous minorities in their respective regions that rich in cultural heritage folklores. The analysis focuses on moral values and humanity that arise in the interaction between human and animal characters. Data for the study were taken selectively from folktales of both ethnics. The Balinese Bali Aga folktales derived from the anthology of the Ceritera Rakyat Bali: Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (Balinese Folktales: Tenganan Village, Pedawa, Tigawasa, 1978) and folktales of Ainu Japan taken from the book Ainu no Mukashi Banashi: Hitotsubu no Sacchiporo (1993). Stories are studied by theories of literary anthropology and comparative literature. The result of the analysis shows that the animal characters in both stories can be equally able to categorise into two including the animals that have supernatural powers and

Page 3: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

2

which is a divine incarnation. In their interaction with humans, the characters of both types of animal figures can be a helper and / or a destructor for human beings. The paper argues that the animal characters in the Balinese Bali Aga and Ainu Japan folktales give life lessons on virtue and morality that human being can learn from there if they want to live happily, prosperous, and socially harmonious. Keywords: folktales, human-animal interaction, Bali Aga, Ainu Japan, moral story

A. PENDAHULUAN

Cerita rakyat banyak menampilkan interaksi

antara manusia dengan binatang. Hal itu juga

tampak banyak pada cerita rakyat Bali Aga di Bali

Utara dan Ainu di Hokkaido, Jepang Utara, yang

menjadi objek kajian ini (Dinas Kebudayaan Bali

1987; Shigeru, 1993). Hanya saja, penampilan tokoh

binatang dalam cerita rakyat sering dianggap

sebagai hiburan belaka. Binatang biasanya dilihat

sebagai figur jenaka atau cerdas yang berkata dan

berperilaku sebagai manusia. Kenyataannya, di balik

interaksi antara manusia dan binatang dalam cerita-

cerita rakyat, terdapat banyak pelajaran dan

pengetahuan hidup yang bisa dipetik untuk

memahami fenomena sosial dengan lebih

komprehensif dan lebih bermakna (Danandjaja,

1995; Kobayashi, 2010).

Makalah ini menganalisis secara komparatif

pelajaran hidup yang tersirat dalam cerita rakyat

Bali Aga dan Ainu Jepang yang menampilkan cerita

interaksi antara manusia dengan binatang. Objek

penelitian ini diambil dari antologi cerita rakyat

masing-masing daerah, yaitu Cerita Rakyat Bali:

Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (1987), dan Ainu

Mukashi Banashi: Hitotsubu no Sacchiporo (1993).

Alasan pemilihan cerita rakyat Bali Aga Bali Utara

dan Ainu Jepang sebagai kajian komparatif

setidaknya ada tiga. Pertama, kajian komparatif

antara keduanya belum pernah dilakukan. Salah

satu studi penting studi komparatif folklor Indonesia

dan Jepang pernah dilakukan Djames Dananjaja

(1995). Kajian Danandjaja memberikan inspirasi

untuk makalah ini.

Kedua, Bali Aga dan Ainu memiliki persamaan

dalam latar belakang demografi, yakni sama-sama

merupakan indegenous people (penduduk pribumi)

di negeri masing-masing. Kedua penduduk pribumi

ini memiliki khasanah cerita rakyat yang kaya, yang

menarik dibandingkan untuk melihat persamaan

dan perbedaannya dan alasan-alasan di balik

keduanya.

Ketiga, kahasanah cerita rakyat kedua etnik atau

subetnik memiliki banyak kisah yang menampilkan

tokoh-tokoh binatang yang berinteraksi dengan

manusia. Kiranya menarik untuk membandingkan

makna apa yang tersirat dari cerita dengan tokoh

binatang, atau pengetahuan apa yang bisa dipetik

dari tokoh-tokoh binatang dalam interaksinya

dengan manusia.

B. METODE DAN TEORI

Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif

dengan mengambil dan menganalisis data berupa

teks. Teks data yang berupa cerita diambil dari

antologi cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang

yang sudah dibukukan. Cerita rakyat Bali Aga

diambil dari kumpulan cerita Ceritera Rakyat Bali:

Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (1978). Ketiga

nama desa yang disebut dalam judul ini adalah

tergolong desa Bali Aga. Buku ini berisi 59 buah

cerita dari ketiga desa tersebut. Dalam analisis,

cerita dipilih secara selektif, yaitu cerita yang

memiliki binatang sebagai tokoh cerita, baik tokoh

utama maupun komplementer.

Data cerita Ainu Jepang diambil dari buku

dan Ainu no Mukashi Banashi: Hitotsubu no

Sacchiporo (1993). Buku ini berisi 20 judul cerita,

semuanya dikenal sebagai cerita rakyat Ainu. Cerita

dipilih secara selektif yang memiliki tokoh binatang.

Tiga teori secara eklitik digunakan dalam

menganalisis cerita rakyat ini yaitu teori sastra

bandingan, teori naratif, dan sosiologi sastra.

Page 4: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

3

Ketiganya saling mendukung untuk menemukan

jawaban kedudukan tokoh binatang dalam cerita

dan menggunakannya untuk menentukan fungsi

cerita rakyat dalam kehidupan sosio-budaya

masyarakat Bali Aga dan Ainu Jepang.

Sastra bandingan merupakan teori yang

sudah lama berkembang, paling tidak sejak awal

abad ke-19, mula-mula di Eropa seperti Perancis,

Inggris, dan Jerman. Perkembangan ke belahan

dunia lainnya adalah Amerika dan Afrika (Bassnett,

1993:6—12), kemudian juga ke Asia seperti

Indonesia dan Brunei Darrusalam (Sutarto,

2012:637—77; Damono, 2015:43—53). Batasan

sastra bandingan pernah diberikan Bassnett

(1993:1) seperti berikut:

Comparative literature involves the study of texts across culture, that it is interdiciplinary and that it is concerned with patterns of connection in literature across both time and space.

Maksudnya adalah bahwa sastra bandingan

melibatkan kajian teks sastra lintas budaya, yang

dilaksanakan secara interdisipliner yang

memperhatikan pola-pola hubungan dalam sastra

lintas waktu dan ruang. Batasan ini relevan dengan

analisis komparatif cerita rakyat lintas budaya yang

dilakukan makalah ini. Dalam analisis, pendapat

Damono (2015) dijadikan patokan dengan

memulainya dengan analisis intrinsik dan aspek

lain, namun di sini hanya difokuskan pada aspek

narasi, dengan menggunakan teori naratif.

Teori naratif menyiapkan analisis untuk

mendalami bagaimana cerita dituturkan (Genette,

1983; Phelan dan Rabinowitz, 2005; Fludernik,

2009). Fokusnya adalah pada sudut pandang dan

latar cerita, yang oleh Stanzel (dalam Fludernik,

2009:88) disebutkan sebagai narrative situation.

Situasi naratif ini dapat dibentuk dari tiga cara

penceritaan yaitu first person narrative (tuturan

orang pertama), auhtorial narrative (tuturan

pencerita), dan figural narrative (tuturan reflektif

dari satu atau lebih tokoh cerita). Fludernik

(2009:88) menegaskan bahwa situasi naratif yang

dibedakan menjadi tiga itu sering tampil secara

kombinatif, artinya tidak selamanya sebuah cerita

menyajikan narasinya dari tuturan dari kata ganti

orang pertama saja, atau narator saja, atau dari

beberapa tokoh cerita.

Teori sosiologi sastra memiliki beberapa

prinisp seperti disampaikan para ahli. Wellek dan

Warren (1993) dan Damono (2015) menganggap

sastra sebagai cermin masyarakat; sedangkan

Goldmann (1975) melihat sastra sebagai refleksi

padangan dunia pengarang atau masyarakat.

Artinya bahwa kebiasaan hidup, sistem

kepercayaan, pandangan dunia masyarakat

tercermin dalam karya sastra.

Sosiologi Sastra menolak pandangan sastra

sebagai karya fiktif yang muncul dari kekosongan

sosial, sebaliknya dipengaruhi oleh situasi sosial

tempat sastra itu diciptakan dan dilestarikan

(Teeuw, 1984; Kleden, 2004). Cerita rakyat pun, jika

dilihat dari sosiologi sastra, akan memungkinkan

untuk menganggap cerita yang tampak sebagai

fiktif sebetulnya merefleksikan pandangan dunia

masyarakat tentang berbagai hal seperti

ketuhanan, alam dan lingkungan, serta hubungan

sosial sesuai dengan moral dan etika sosial.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ini dibahas secara komparatif makna

interaksi tokoh-tokoh binatang dengan manusia

dalam cerita Bali Aga dan Ainu Jepang. Kajian

pemaknaan ini dilakukan dengan menggunakan

kajian naratologi yang menyoroti teknik

penceritaan. Analisis difokuskan pada kehadiran,

kedudukan, dan fungsi tokoh-tokoh binatang dalam

cerita. Kedudukan tokoh binatang dibedakan

menjadi dua, yaitu (1) sebagai tokoh sakral,

termasuk di dalamnya tokoh siluman dewa atau

binatang yang memiliki kekuatan gaib; (2) sebagai

binatang profan, yang tampil sama dengan

binatang-binatang sesungguhnya. Untuk kategori

kedua ini, cerita yang seluruh tokoh-tokohnya

binatang disebut dengan fabel.

Tabel 1. Cerita Rakyat Bali Aga

No. Judul Pelajaran

1. Mén

Lenggeroh

Kaul harus ditepati;

kerelaan untuk dibunuh

Page 5: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

4

(Ibu

Lenggeroh)

jika kehadirannya tidak

diharapkan lagi; mengenal

mitos ujung daun sirih

dipotong sebelum sirih

boleh dikonsumsi.

2.

Pan Poléng

(Pak Poleng)

Binatang yang tahu

membalas budi baik

majikannya; dekonstruksi

atas permusuhan antara

tikus-kucing-anjing;

manusia yang curang akan

dikalahkan bahkan oleh

binatang.

3.

Pan Sentul

Ring I Macan

(Pak Sentul

dan Harimau)

Sikap ksatria, mengakui

kekuatan orang lain dan

tetap bersahabat walau

kalah; sahabat identik

dengan sumber rezeki

Pelajaran dari Binatang dalam Cerita Rakyat Bali

Aga

Nasihat akan pentingnya kesetiaan memenuhi kaul,

sikap ksatria, balas budi, kawan sebagai sumber

rezeki, serta berbagai mitos tentang kehidupan

mewarnai pelajaran moral dalam cerita rakyat Bali

Aga.

Cerita Mén Lenggeroh menggambarkan sikap

manusia yang memenuhi kaul yang diucapkan,

kemudian melakukan manuver untuk membunuh

penerima kaul. Dengan menggunakan sudut

pandang orang ketiga, cerita dimulai dari seorang

ibu yang bernama Mén Lenggeroh yang berkaul

akan menyerahkan anaknya kepada orang yang

dapat membantunya memotong ranting pohon

beringin, karena si ibu lelah menyapu guguran daun

beringin setiap hari. Demikian kaulnya:

“Nah, nyén ja nyak notorin bingin kuné né, aku upahinya I Lenggeroh” (Mén Lenggeroh, 1987:58). Terjemahan: “Siapa yang dapat membantu memotong ranting-ranting pohon beringin, maka akan aku berikan upah, I Lenggeroh”

Janji dari Mén Lenggeroh didengar oleh seekor

ulat. Dilihat dari sosok, perilaku, dan kekuatannya,

ulat dalam cerita ini tergolong binatang gaib. Ulat ini

mampu memakan semua daun beringin hingga

bersih. Tidak ada daun yang gugur lagi. Men

Lenggeroh yang telah berkaul pun rela

menyerahkan anaknya sebagai istri kepada Sang

Ulat. Dia setia pada kaulnya, tetapi kemudian

menyesal, setelah mengetahui bahwa anaknya

dimakan oleh Sang Ulat.

Mén Lenggeroh pun kemudian membunuh Sang

Ulat, tetapi tentu saja gagal karena kegaibannya.

Namun, mengetahui akan dirinya tidak disukai, Sang

Ulat rela memberitahu cara membunuh dirinya

yaitu dengan “gaénang aku gantal sulasih telung

besik, ancukin jelitkuné pang telu!” [‘buatkan aku

sedah dari daun sirih, tusuk pantatku tiga kali!”].

Ulat itu pun berakhir dibunuh dengan menusuk

pantatnya tiga kali dengan ujung daun sirih. Cerita

ditutup dengan sebuah mitos tentang sirih: “krana

kahang kajani orahana ngamah basé, gedihenga

puncuk baséné” terkandung kearifan lokal yang

menjelaskan mengapa orang-orang kalau makan

sirih, maka ujung daun sirih itu dibuang terlebih

dahulu karena berbahaya. Mitos ini tidak saja

berlaku di Bali Aga, tetapi juga di seluruh Bali. Hanya

saja sekarang ini sudah tidak banyak lagi penduduk

mengkonsumsi sirih.

Cerita lainnya berjudul Pan Poléng yang

mengisahkan empat tokoh binatang menunjukkan

kerja sama mereka untuk berbalas budi dengan

majikannya yang menelamatkan dan

menghidupinya. Keempat tokoh bintang itu adalah

anjing, kucing, tikus, dan ular. Dari keempat

binatang itu, satu binatang diketahui adalah

binatang gaib, yaitu ular. Setelah beberapa saat

dipelihara oleh Pan Poleng, ular itu meminta agar

Pan Poléng mengantarnya pulang.

“Pan Poléng, jani atehin kaki mulih, umah kakiné ditu di bongkol gunungé”(Pan Poléng, 1987:149) Terjemahan: “Pak Poleng, sekarang antarkan Kakek Pulang, Rumah Kakek di kaki gunung itu”.

Page 6: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

5

Tokoh Ular memanggil dirinya dengan sebutan

Kaki, ‘Kakek’, setelah Pan Poléng mengantar ular

sakti tersebut, ia pun diberikan hadiah cincin

bertuah yang jika cincin tersebut menyentuh suatu

benda, maka benda tersebut akan berubah menjadi

emas. Pan Poléng pun kaya tidak kekurangan apa

pun. Ada Si Pandai Besi menukarkan cincin itu

sehingga tuahnya hilang. Pan Poléng dan istrinya

sedih, tidak bisa lagi memberikan makanan kepada

tikus, kucing, anjing, sampai ketiganya kurus.

Ketiga binatang itu akhirnya bekerja sama

untuk mendapatkan kembali cincin bertuah yang

telah dikuasai oleh Si Pandai Besi dengan tipu-

muslihat. Dalam kenyataan, anjing, kucing, dan tikus

bermusuhan. Si Pandai Besi berfikir tidak mungkin

tikus mencuri cincin karena di sana ada kucing.

Namun, itulah yang terjadi, ketiga binatang yang

bermusuhan itu berhasil mendapatkan cincin

bertuah itu dan mengembalikan kepada Pan Poléng.

Pan Poléng dan istrinya pun kembali menjadi kaya.

Cerita ini tidak saja menunjukkan karma baik

Pan Poléng karena merawat dan memelihara

binatang, sebaliknya menunjukkan karma buruk Si

pandai Besi yang menipu. Selain itu, cerita juga

melakukan dekonstruksi fakta tentang permusuhan

antara tikus, kucing, dan anjing.

Cerita lainnya yaitu Pan Sentul Ring I Macan

dimana ada seekor harimau yang ingin menguji

kesaktian Pan Sentul. Harimau tersebut menyamar

menjadi manusia dan mengajak Pan Sentul

berkelahi. Si Harimau itu pun mengakui

kekalahannya dan membawakan Pan Sentul hadiah

sebagai tanda persahabatan.

“…né tiang maang Bapa Sentul ngiding céléng aukud, kapinang padi adepuk, apang ada cirin tiang makakasihan ajak Bapa Sentul” (Pan Sentul Ring I Macan, 1987:103).

Terjemahan: “…ini saya berikan Bapak Sentul seekor babi dan padi sebagai tanda persahabatan dengan Pak Sentul.”

Cerita ini memberikan pelajaran bagi

pembaca bahwa hidup selalu penuh cobaan dan

tugas manusia untuk selalu tabah menghadapinya.

Ketabahan akan memberikan kemenangan. Selain

itu, juga terdapat pelajaran mengenai sikap ksatria

dalam mengakui kekalahan, seorang seteru juga

tunduk menjadi sahabat. Bagi mereka yang teguh

dan tabah, sahabat adalah sumber manfaat.

Pelajaran dari Binatang dalam Cerita Rakyat Ainu

Jepang

Tokoh-tokoh binatang pada cerita rakyat Ainu

Jepang pada umumnya adalah binatang yang sakral

karena masyarakat Ainu percaya bahwa binatang

adalah dewa. Lewat interaksinya binatang sakral itu,

pelajaran tentang hidup disajikan oleh cerita,

seperti mengenai hukum karma, pentingnya

manusia mempercayai kehadiran dewa, selalu

berbuat baik jika ingin mendapat pertolongan dari

kekuatan dewa, kesetiaan dan balas budi tidak

mengenal batas waktu. Dalam cerita-cerita

binatang, juga ada kisah mengenai pelaksanaan

ritual atau cara memasak ikan salmon, salah satu

makanan utama etnik Ainu yang lezat.

Tabel 2. Cerita Rakyat Ainu Jepang

No Judul Pelajaran

1. Iedeshita Inu

(Anjing yang

keluar dari

rumah)

Tidak semua kebaikan

dapat terlihat, kejahatan

bisa saja ditutupi tanpa

manusia

mengetahuinya;

kesetiaan dan balas budi

tidak memiliki batas

2. Hima na Konabe

(Panci Kecil yang

Memiliki Waktu

Luang)

Beruang (Dewa) sengaja

menampakkan diri agar

mudah diburu manusia;

tata cara pelaksanaan

ritual iomante,

pengembalian roh

beruang ke alam dewa.

3. Yotaka ni sareta

Kyoudai (Kakak

beradik yang

berubah menjadi

burung Elang

Hukum karma,

terkutuklah mereka yang

tidak hormat pada orang

tua; asal usul Elang

Malam yang hanya

Page 7: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

6

Malam) dapat memakan

serangga; cara memasak

ikan salmon.

Pada cerita Iedeshita Inu terdapat satu tokoh

manusia dan empat tokoh anjing, semuanya tidak

memiliki nama. Dari keempat anjing itu, ada satu

ekor anjing bertubuh kecil dan tiga ekor anjing

bertubuh besar. Sebelumnya Anjing Kecil ini sangat

disayang majikannya sampai suatu ketika datanglah

tiga Anjing Besar yang kemudian juga dipelihara

majikannya. Anjing-anjing bertubuh besar ini selalu

mencari cara agar disayang majikannya dan juga

agar Anjing Kecil itu tidak diperhatikan lagi.

そんなことを知らない父は、わたしをに

らむばかりでなく、棒を持って、「この

からっぽやみ(骨惜しみ)」と言いなが

ら、わたしをめっためったになぐるよう

になりました (Iedeshita Inu, 1993:181).

Terjemahan: Ayah yang tidak mengetahui hal itu, tidak hanya menatap saya dengan amarah selalu, tetapi ia juga membawa tongkat, sambil berkata [anak malas] dan terus memukuli saya.

Tokoh tiga ekor anjing berbadan besar pada

kisah Iedeshita Inu sebenarnya tidak pandai berburu,

mereka selalu mengakui hasil kerja keras Anjing

Kecil dalam berburu rusa. Pemiliknya yang tidak

mengetahui hal itu berbalik marah kepada Anjing

Kecil dan terus memukulnya. Anjing Kecil itu juga

mendapat kekerasan dari tiga Anjing Besar. Karena

Anjing Kecil sudah tidak tahan lagi, ia pun ke luar

dari rumah tersebut. Di perjalanan ia bertemu dua

perempuan yang mengatakan bahwa sebenarnya

Anjing Kecil itu adalah anak dewa beruang. Ketika ia

telah menikah ia pun kembali ke rumah

majikannnya terdahulu dan tetap membantu

merawat mereka yang telah menua. Walau pernah

disakiti tetapi Anjing Kecil tidak dendam malah

tetap berterima kasih kepada majikannya karena

pernah menjaganya. Anjing Kecil adalah lambang

kuatnya kesetiaan dan balas budi tidak mengenal

batas waktu.

Pada cerita rakyat Hima na Konabe terdapat tokoh beruang sebagai sudut pandang orang pertama yang menceritakan bahwa ia adalah dewa beruang, penjaga gunung tertinggi di Sungai Yubekkawa. Cerita ini memiliki beberapa dimensi dari mana pengetahuan mengenai sistem kepercayaan masyarakat Ainu bisa disimak, misalnya mengenai ritual iomante, pengembalian roh berung dari dunia ini ke alam dewa di sana, melalui proses turunnya arwah itu ke alam manusia, seperti dapat disimak dalam kutipan berikut.

アイヌのところといっても、だれのとこ

ろでもいいというのではありません。イ

ナウを作るのが上手で、精神の最もいい

人のところへ行くものです (Hima na

Konabe, 1993:29) Terjemahan: Ketika aku pergi ke dunia manusia, bukan berarti aku boleh datang ke tempat siapa pun. Aku hanya datang ke tempat manusia yang pandai membuat inau dan yang berhati baik.

Kisah ini secara cukup jelas menggambarkan

proses upacara iomante, yaitu upacara pengembalian roh dewa beruang ke negeri Dewa. Dewa beruang berkata bahwa sebagai dewa tertinggi dia tidak sembarangan menampakkan diri kepada manusia hanya manusia yang memiliki akhlak baiklah yang dapat memburunya dan menangkapnya untuk kemudian diupacarai bersama masyarakat secara kolektif. Dalam pengembangan pariwisata Ainu dengan label ethnic tourism, aneka kekayaan seni budaya Ainu disajikan dalam festival-festival termasuk fragmen pelaksanaan iomante (Hiwasaki, 2000:407). Ritual iomante yang sesungguhnya tidak lagi dilaksanakan masyarakat Ainu, yang terakhir sekitar tahun 1960-an, namun pengetahuan tentang cara pelaksanaannya tercatat dalam banyak cerita rakyat Ainu.

Cerita Yotaka ni sareta Kyoudai (Kakak Beradik

yang Berubah Menjadi Burung Elang Malam) tak

hanya mengisahkan bagaimana manusia dikutuk

dewa menjadi burung karena durhaka pada orang

tuanya tetapi juga mengandung pengetahuan

mengenai proses pembuatan chitatap, makanan

lezat berbahan ikan salmon. Cerita menuturkan

Page 8: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

7

bahwa cara memasak chitatap sudah dimulai dari

cara memilih bahan dari bagian salmon dan cara

memotongnya, serta bumbu lain yang diperlukan.

Kutipan berikut yang dituturkan narator cerita

menjelaskan proses dan cara serta makna chitatap.

むすこたちは、川にたくさんいる鮭をとっ

てきては、氷頭のところ(頭の軟骨)で、チタ

タプというぬたをつくります。イタタニという

肉切り台の上で、鮭の氷頭を切りきざむと、ロ

ロロッロロロッという音がして… (Yotaka ni

sareta Kyoudai, 1993:39)

Terjemahan:

Anak-anak laki-laki itu mengambil salmon yang

banyak di sungai, dengan mengambil bagian hizu

(tulang rawan kepala), mereka membuat salad

dengan bumbu miso yang disebut citatap. Saat

memotong bagian tulang rawan kepala salmon di

tempat memotong daging yang disebut itatani

maka terdengarlah suara rororot rororot…

Ada empat istilah khusus dalam kutipan di

atas yang berkaitan dengan citatap, yaitu hizu

(tulang rawan bagian kepala salmon), miso (bumbu),

itatani (takalan yang digunakan mencincang daging

salmon), dan onomatope rororot rororot (suara

gergaji memotong tulang rawan kepala salmon).

Secara semiotik, istilah itu merupakan simbol yang

makna denotatifnya berkaitan langsung dengan

aktivitas yang dimaksudkan, namun secara konotatif

dapat ditafsirkan sebagai konsep-konsep yang

menjadi wadah bagi masyarakat Ainu untuk

meneruskan pengetahuan tradisional kepada

generasi penerus lewat warisan budaya cerita

rakyat.

Menariknya pengetahuan cara memasak

salmon ini disampaikan lewat cerita manusia

dikutuk menjadi burung karena mereka (adik kakak)

hanya memasak untuk diri mereka saja, orang

tuanya tidak diberikan chitatap. Dewa pun marah

atas kelakuan mereka sehingga mereka dikutuk

menjadi Burung Elang Malam. Tidak saja sampai di

situ, mereka hanya bisa makan serangga, tidak bisa

makan daging dan ikan salmon.

D. PENUTUP

Simpulan

Secara komparatif bisa dilihat beberapa

persamaan dan perbedaan antara cerita rakyat Bali

Aga dan Ainu Jepang dalam menyampaikan pesan

atau pengetahuan melalui interaksi tokoh-tokoh

manusia dengan binatang. Pertama, cerita rakyat

kedua etnik sama-sama memiliki kekhasan dalam

membungkus pesan, mitos, atau pengetahuan di

balik narasi. Menikmati cerita rakyat Bali Aga, orang

bisa mendapat penjelasan dari mitos memotong

ujung sirih sebelum dimakan, atau menikmati cerita

Ainu bisa mendapatkan tata cara ritual iomante

atau memasak ikan salmon.

Kedua, cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang

memiliki roh yang sama yaitu memperkuat ajaran

mengenai sistem kepercayaan akan keberadaan

dewa-dewa, kekuatan gaib, kutukan, dan hukum

karma. Kehidupan manusia sangat ditentukan oleh

kekuatan dewa atau makhluk gaib lainnya yang

dilukiskan muncul dalam sosok binatang.

Kepercayaan kedua etnik akan dewa dan kekuatan

gaib pada binatang dan tumbuhan ini menegaskan

bahwa sesama etnik di Asia sama-sama memiliki

kepercayaan pada animisme dan dinamisme.

Perbedaan antara keduanya terletak pada,

kalau cerita Bali Aga menampilkan sosok binatang

gaib sebagai sumber jimat yang bisa memberikan

kekayaan, sedangkan cerita Ainu sosok binatang

untuk menjelaskan tata laksana upacara tradisional.

Dari analisis komparatif di atas dapat

disimpulkan bahwa cerita rakyat tidak sekadar

berfungsi sebagai pelipur lara atau dongeng belaka

atau tutur pengantar tidur, tetapi mengandung

berbagai pelajaran penting untuk kehidupan, mulai

dari pengetahuan yang abstrak mengenai sistem

kepercayaan hingga keterampilan praktis seperti

tata cara memasak lauk-pauk. Dalam enam cerita

yang dipilih, pengetahuan itu disampaikan lewat

kisah interaksi manusia dengan binatang yang dapat

ditafsirkan bahwa kehidupan manusia tidak saja

tergantung pada dirinya tetapi juga makhluk lain di

dunia ini.

Page 9: LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN …

8

Saran

Data analisis untuk makalah ini terbatas pada enam

cerita, untuk mendapatkan simpulan yang lebih

kuat dan ilustrasi cerita yang lebih komplit,

disarankan ke depan meneliti lebih banyak cerita.

Atau, melakukan kajian komparatif dengan cerita

rakyat dari etnik lain.

DAFTAR PUSTAKA

Bassnett, Susan. 1993. Comparative Literature: A Critical Introduction. Cambridge: Blacwell Publishers.

Damono, Sapardi Djoko. 2015. Sastra Bandingan.

Jakarta: Editum. Danandjaja, James. 1995. “A Comparative Study of

Japanese and Indonesian Folklores” dalam Southeast Asian Studies Vol.33, No.3, hlm. 484—496.

Fludernik, Monika. 2009. An Introduction to

Narratology. UK: Routledge. Genette, Gerard. 1983. Narrative Discourse: An

Essay in Method. Ithaca: Cornell University Press.

Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of

the Novel (Trans. Alan Sheridan). New York: Tavistock Publications.

Hiwasaki, Lisa. 2000. “Ethnic Tourism in Hokkaido

and the Shaping of Ainu Identity” dalam Pacific AffairsI Vol.73, No.3, hlm. 393—412.

Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam enam

pertanyaan: esai-esai sastra dan budaya. Jakarta: Freedom Institut.

Kobayashi, Fumihiko. 2010. “Is the Animal Woman

a Meek or an Ambitious Figure in Japanese Folktales?” Fabula; 2010; 51, 3/4.

Phelan, James and Peter J. Rabinowitz (eds). 2005.

A companion to narrative theory. USA, UK: Blackwell Publishing Ltd.

Sutarto, Ayu. 2012. Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra. Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember, MASTERA, dan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori

Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra; Sebuah

Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Ucapan Terima Kasih Terimakasih disampaikan kepada Kementerian

Ristek Dikti dan Universitas Udayana atas bantuan

sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.

Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Riset dan

Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal

Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian

Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; dan

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana dengan

dana Penelitian Disertasi Doktor Tahun Anggaran

2018 dengan Nomor: 171.3/UN14.4.A/LT/2018.