cross cultural pragmatics

26
Pragmatik Lintas Budaya 1. Budaya Antropologi dan Sistem Wacana Penelitian pragmatik lintas budaya terkenal tidak jelas dan banyak klaim yang masih hipotetik dan spekulatif. Akan tetapi banyak kajian-kajian penting yang lebih memberikan pencerahan dalam teori sematik dan pragmatik. Dalam bab ini akan dipaparkan sebagian saja, mulai dari usaha-usaha mendefinisikan hal-hal yang menyangkut budaya dan menggolongkan perbedaan-perbedaan antar-budaya. Pada bab 14 telah dikaji bahwa perbedaan makna dan bentuk tindak tutur/pertuturan dalam budaya-budaya yang berbeda harus diakui dalam berbagai pendekatan yang berhasil terhadap komunikasi. Apa yang dimaksud dengan ilokusi 1 dalam sutu budaya mungkin merupakan perlokusi 2 dalam budaya lain, dan tindak tutur/pertuturan khusus mungkin memerlukan jenis- jenis tindakan yang berbeda sebagai respon budaya yang berbeda. Perbedaan lintas budaya yang nyata dalam komunikasi dapat dikaitkan guna menghadapi hubungan. Masyarakat dengan preferensi solidaritas simetris menggunakan bentuk sapaan yang berbeda, nilai-nilai kekuasaan yang berbeda, Jarak dan tingkat gangguan yang berbeda, bagi formula Brown dan Levinson (1987), daripada masyarakat dengan preferensi untuk perbedaan simetris. Bahasa Inggris Amerika merupakan contoh 1 Ilokusi: tindakan menghimbau, menasehati, dan memrintah si alamat. 2 Perlokusi: tindakan membujuk. 1

Upload: churifiani-eva

Post on 26-May-2015

4.454 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cross cultural pragmatics

Pragmatik Lintas Budaya

1. Budaya Antropologi dan Sistem Wacana

Penelitian pragmatik lintas budaya terkenal tidak jelas dan banyak klaim yang masih

hipotetik dan spekulatif. Akan tetapi banyak kajian-kajian penting yang lebih memberikan

pencerahan dalam teori sematik dan pragmatik. Dalam bab ini akan dipaparkan sebagian

saja, mulai dari usaha-usaha mendefinisikan hal-hal yang menyangkut budaya dan

menggolongkan perbedaan-perbedaan antar-budaya.

Pada bab 14 telah dikaji bahwa perbedaan makna dan bentuk tindak tutur/pertuturan

dalam budaya-budaya yang berbeda harus diakui dalam berbagai pendekatan yang berhasil

terhadap komunikasi. Apa yang dimaksud dengan ilokusi1 dalam sutu budaya mungkin

merupakan perlokusi2 dalam budaya lain, dan tindak tutur/pertuturan khusus mungkin

memerlukan jenis-jenis tindakan yang berbeda sebagai respon budaya yang berbeda.

Perbedaan lintas budaya yang nyata dalam komunikasi dapat dikaitkan guna menghadapi

hubungan. Masyarakat dengan preferensi solidaritas simetris menggunakan bentuk sapaan

yang berbeda, nilai-nilai kekuasaan yang berbeda, Jarak dan tingkat gangguan yang

berbeda, bagi formula Brown dan Levinson (1987), daripada masyarakat dengan

preferensi untuk perbedaan simetris. Bahasa Inggris Amerika merupakan contoh

solidaritas simetrik, seperti yang ditentang orang Cina yang kebih menyukai perbedaan.

Komunikasi lintas budaya, komunikasi antara perwakilan-perwakilan dari sistim wacana

yang berbeda, sering terpecah-pecah karena kurangnya pengenalan terhadap perbedaan

tersebut. Tetapi, meskipun jika kita menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebut, akan

muncul kesulitan lain yang terlahir dalam benak, yaitu:

Sejauh mana individu Cina atau Amerika, Korea atau Inggris, Australia atau Singapura secara pribadi

menunjukkan keyakinan budayanya, dan apakah kepercayaan tersebut menimbulkan perbedaan berarti dalam

kemampuannya berkomunikasi…? Scollen dan Scolon (1995:126)

1 Ilokusi: tindakan menghimbau, menasehati, dan memrintah si alamat. 2 Perlokusi: tindakan membujuk.

1

Page 2: Cross cultural pragmatics

Dengan kata lain, dalam melakukan studi pragmatik lintas budaya, penting untuk

menghindari stereotip yang tidak beralasan. Masalah ini akan dibahas lebih detail pada

pembahasan bagian 5 dan pandangan Sperber terhadap keyakinan budaya.

Dalam kata sifat ‘lintas-budaya’, pengacuan dibuat bukan untuk budaya sebagai

prestasi intelektual dan artistik tetapi lebih kepada organisasi sosial dan kebiasaan

sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, ‘budaya’ mengacu kepada budaya

anthropologi. Ada beberapa aspek budaya antropologi yang menggunakan pengaruh

tertentu pada wacana yang berperan dalam system wacana. Menurut Scollon dan Scollon

(1995: 127-128), pengaruh tersebut mencakup idiologi, sistim martabat, bentuk wacana

dan sosialisasi, dan disusun sebagai berikut;

1. Idiologi, yang terdiri dari sejarah dan pandangan dunia, mencakup keyakinan, nilai-nilai

dan religi. Jarak dan sikap terhadap tradisi budaya penting disini, seperti susila dan sistim

beragama.

2. Sistim martabat, seperti:

2.1 Kekeluargaan (yang dikatakan lebih penting bagi orang Asia Timur dari pada bagi

orang Amerika Utara atau Eropa Barat.

2.2 Konsep Diri yang dipertimbangkan dalam hal perbedaan biner dalam individualisme

yang bertentangan dengan kolektivisme, memandang diri sendiri sebagai bagian

sebuah grup, biasanya keluarga terdekat. Sebagai hasil variabel budaya ini,

‘martabat’ berarti baik martabat individu atau martabat kelompok.

2.3 Hubungan kelompok dalam-kelompok luar yang bagi beberapa budaya sudah pasti

dan dinegosiasikan dalam percakapan untuk orang lain. Hal tersebut dicontohkan

dengan baik dalam register dan dalam bentuk sapaan.

2.4 Gemeinschaft (komunitas, solidaritas sosial; sistim wacana satu adalah ‘terlahir

dalam’) dan Gesellschaft (masyarakat perusahaan, hubungan kontrak yang

melindungi minat semua orang; sistim wacana yang dipelajari di tempat kerja).

3. Bentuk-bentuk wacana termasuk:

3.1 Fungsi-fungsi bahasa, seperti informasi dan hubungan (menugaskan kepentingan

relatif yang berbeda dalam budaya yang berbeda); negosiasi hubungan dan ratifikasi

2

Page 3: Cross cultural pragmatics

atau afirmasi hubungan yang dibentuk dalam masyarakat; keselarasan kelompok dan

kesejahteraan individu (yang memiliki nilai relative berbeda yang melekat pada

mereka).

3.2 Komunikasi non-verbal, mencakup kinesika (gerakan bahasa tubuh, termasuk bahasa

isyarat. Sebagai contoh, senyuman mungkin memiliki makna wacana yang berbeda

dalam sistim yang berbeda. Dalam budaya kolektifisme, sebuah senyum dapat berarti,

perbaikan gangguan atau ketidakselarasan, sementara yang individualis cenderung

berarti kepuasan pribadi seseorang, perasaan suka atau sukses (cf. Scollon dan

Scollon 1995: 143); prosemika/proxemics (pemakaian tempat, seperti menjaga jarak

secara fisik antara interlokutor yang merupakan budaya-tertentu); dan konsep waktu

(merasakan urgensi waktu yang berlawanan menjadi lebih lambat dan menghargai

apa yang telah lampau dalam budaya dengan sejarah yang panjang dan gemilang.

Kedua konsep waktu, menunjukkan maju dan mundur, bisa menimbulkan sebuah

konflik dalam wacana antar-budaya.

4. Sosialisasi, proses pembelajaran budaya meliputi;

4.1 Pendidikan (pengajaran dan pembelajaran formal); enculturation (pengajaran dan

pembelajaran tidak formal pada masa kanak-kanak seseorang); dan acculturation

(pembelajaran sebuah budaya asing dan mengabaikan miliknya sendiri).

4.2 Sosialisasi utama dan tambahan (awal, pembelajaran informal dan pembelajaran

tidak formal selama formal, pendidikan sekolah secara berturut-turut).

4.3 Teori tentang orang dan pembelajaran- ini merupakan variable budaya yang

bertanggung jawab bagi fakta bahwa anggapan-anggapan budaya berbeda apakah

manusia sangat baik atau jahat, apakah kelompok atau individu merupakan unit

dasar, seperti dalam tingkatan kehidupan yang dibagi dan apa kepentingan yang

diberikan pada tingkat tersebut.

Perbedaan lintas-budaya tidak harus dipelajari terpisah dari perbedaan intra-budaya yang

diakibatkan oleh variable-variabel sosial budaya yang beragam, seperti umur dan jenis

kelamin. Sebagai contoh, selama ketidaklangsungan dikaitkan, pria Yunani dikatakan

seperti wanita Amerika (Tannen 1994). Perbedaan gender penting, jika tidak kita dalam

3

Page 4: Cross cultural pragmatics

bahaya stereotip budaya. Lebih lanjut lagi, pebicara biasanya milik lebih dari satu sistim

wacana, kepemilikan kelompok yang berbeda, jaringan hubungan. Semua dalam semua,

budaya mungkin bukanlah satu-satunya hal yang sangat berguna bagi pragmatik lintas-

budaya, meskipun mendefinisikan budaya adalah penting:

Sebagai contoh, jika dua peserta dalam sebuah wacana yang masing-masing saling berbeda

dalam pilihannya strategi deduktif atau induktif mereka untuk pendahuluan topik wacana,

apakah mereka dari budaya yang berbeda atau tidak, mereka akan mengalami kebingungan

bagaimana menginterpretasikan apa yang sedang dikatakan oleh orang lain. Apa yang

penting bukanlah perbedaan budaya; tetapi perbedaan dalam strategi budaya retoris khusus.

Scollon and Scollon (1995: 162)

Kita dapat menyimpulkan bahwa kita memerlukan sebuah unit perbandingan yang lebih

lembut dari pada budaya. Sistim wacana dan ciri-ciri sistim wacana adalah relevan untuk

pragmatik antar-budaya daripada budaya secara keseluruhan.

2. Metabahasa Universil

Metalangauge adalah semacam bahasa untuk mendeskripsikan bahasa lain3

Masalah lain dengan studi lintas-budaya adalah bahasa yang kita gambarkan dalam

perbedaan budaya. Bahasa yang kita gambarkan tidak diperboleh dari bahasa yang

menjadi obyek diskripsi. Kita memerlukan sasaran (sejauh mungkin) dan alat yang

universal untuk berbicara mengenai arti dalam berbagai bahasa. Dengan kata lain, kita

memerlukan sebuah metabahasa yang universil. Jika kita katakan bahwa orang Jepang

tidak langsung dan orang Amerika langsung, istilah ‘kelangsungan’ tidak berarti sama

ketika diterapkan dalam kedua budaya tersebut; tidak ada yang mengatakan bahwa pria

Yunani tidak langsung dan wanita yunani langsung; tidak juga bahwa wanita Amerika

kurang langsung daripada pria Amerika. ‘Kelangsungan’ harus didefinisikan berbeda

untuk masing-masing diskripsi harus direlatifkan untuk budaya, tergantung dari fungsi

yang dijalankan. Masalah metodologi telah dihadirkan dalam karya Anna Wierzbicka

(1991,1992,1996,1997) dalam prakmatik lintas-budaya. Bagi Wierzbicka, prakmatik,

3 http://en.wikipedia.org/wiki/Meta.

4

Page 5: Cross cultural pragmatics

studi tentang interaksi linguistik, hanya dapat dilakukan dengan pendekatan latihan

dalam semantik. Dengan kata lain, untuk membandingkan makna, seseorang harus dapat

mendefinisikannya lebih dulu:

Untuk menyatakan makna sebuah kata, sebuah ekspresi atau konstruksi, seseorang

memerlukan metabahasa semantik… berdasarkan sebuah sistim hipotetik tentang Primitif

semantik4 semesta… Wierzbicka (1991: 6-7)

Metabahasa ini diekspresikan seperti dikurangi, bahasa Inggris dasar, yang disusun dari

konsepsi dasar dan universal semantik. Hal tersebut merupakan kata-kata yang memiliki

kesepadanannya dalam semua bahasa dan yang tidak dapat pecah-pecah lebih lanjut

menjadi komponen-komponen. Seperti Universil Atomik disebut dengan primitif semantik

/ semantic primitives atau semantik utama/semantic primes. Pencarian untuk prime/ yang

utama adalah empirik. Telah dianggap bahwa primitif konsepsi/ conceptual primitives

dapat ditemukan melalui analisa berbagai bahasa dan bahwa serangkaian primitif

ditegaskan untuk bahasa secara khusus akan menjadi realisasi seseorang, serangkaian

konsep-konsep manusia dasar (lihat Wierzbicka 1996: 13). Dengan kata lain, sistim

semantic bahasa dikatakan ditemukan seperti pada serangkaian primitif konsep-konsep

yang tidak dapat diuraikan. Sebagai contoh, kita mempertimbangkan konsep seperti ‘want’

atau ‘something’ yang tidak dapat diuraikan dalam bahasa Inggris, dan ingin tahu apakah

mereka universil dan, lebih lanjut lagi, apakah mereka atomik (primitif). Selanjutnya, kita

cek jika bahasa lain memiliki kata atau morfem terikat untuk konsep tersebut dan jika

mereka tidak dapat diuraikan. Serangkaian hipotetik primitif secara ekstensif diuji untuk

banyak bahasa yang berasal dari kelurga bahasa yang berbeda dan hipotesisnya didukung

dengan kuat. Pembagian serangkaian primitif memberikan penjelasan kemungkinan

tentang fakta bahwa komunikasi antar-budaya adalah mungkin.

Pandangan bahwa adanya semacam serangkaian komponen semantik semesta, yang

dileksikalkan dalam semua bahasa, yang disebut universalisme Semantik/ Semantic

Universalism. Meskipun sistim semantik adalah budaya-spesifik, mereka semua dibangun

dari serangkaian blok bangunan yang sama. Ini berarti, dalam pengertian, mengadopsi baik

universalisme/ universalism dan relatifisme/ relativism.

4 Semantik semesta: unsure dan system makna yang tidak terikat pada satu bahasa apapun; mis.komponen makna.

5

Page 6: Cross cultural pragmatics

Untuk menjumlahkan, ide tentang semantik metabahasa yang alami (henceforth:

NSM) didasarkan pada serangkaian asumsi mengenai konsep dan realisasi linguistic yang

terbaik dipaparkan pada serangkaian kutipan berikut:

Jika bahasa merupakan alat mengekspresikan makna, kemudian makna, setidaknya secara

luas, harus kebebasan dari bahasa dan dapat ditransfer dari satu bahasa ke bahasa yang lain.

Wierzbicka (1992: 3)

Makna yang komplek disusun dalam kata-kata yang terpisah mungkin berbeda bahasa ke

bahasa karena setiap bahasa mungkin memilih kata yang terpisah untuk kombinasi yang

berbeda-beda dari ide-ide sederhana. Tetapi ‘ide sederhana’, ujaran manusia dan pikiran

manusia didasarkan, diduga sama untuk semua orang di bumi. (ibid.:9)

Pencarian untuk ‘abjad pikiran manusia’ seharusnya dihubungkan … dengan pencarian

universil leksikal, yaitu, untuk konsep-konsep yang telah dileksikalkan (sebagai kata terpisah

atau morfem) dalam semua bahasa dunia. (ibid.:10)

Pola budaya dapat dipelajari dalam cara yang dapat dibuktikan dan tidak spekulatif

berdasarkan semantik linguistik, berakar dalam linguistik yang ditetapkan dan universil

konsepsi. secara empirik. Wierzbicka (1997:30)

Dan mungkin yang paling kontroversial dari semuanya adalah:

Konsep manusia fundamental merupakan sifat bawaan. Wierzbicka (1996:14)

Cara terbaik untuk menemukan ‘alfabet’ tersebut adalah dengan menemukan versi hipotetis

dari ‘alfabet’ itu dan mengujinya pada sampel besar dari bahasa yang berbeda. Daftar primitif

semantik ikut meningkat seturut berkembangnya penelitian, saat ini kira-kira ada enam puluh.

Menurut Wierzbicka(1996:vii-viii), primitif semantik yang diuji dan disetujui sebagai berikut:

I, YOU, SOMEONE, SOMETHING, PEOPLE, THIS, THE SAME, OTHER, ONE, TWO,

MANY(MUCH), ALL, THINK, KNOW, WANT, FEEL, SAY, DO, HAPPEN, GOOD, BAD, BIG,

SMALL, WHEN, BEFORE, AFTER, WHERE, UNDER, ABOVE, PART(OF), KIND(OF), NOT, CAN,

VERY, IF, BECAUSE, LIKE,

6

Page 7: Cross cultural pragmatics

Dan yang baru-baru ini diajukan adalah:

SOME, MORE, SEE, HEAR, MOVE, THERE IS, LIVE, FAR, NEAR, SIDE, INSIDE, HERE, A LONG

TIME, A SHORT TIME, NOW, IF … WOULD, CAN, MAYBE, WORD.

Leksikon tentang pemikiran manusia dalam laporan Wierzbicka dilengkapi dengan gramatika

pemikiran manusia untuk membuat NSM yang penuh. Bahasa ini juga digunakan untuk

menggambarkan konsep yang kompleks, baik konsep universal dan konsep yang berbudaya

spesifik. Sebagai contoh, pernyataan secara tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Yunani

dan Jepang dapat diperbandingkan dan dikontraskan dengan definisi dalam versi NSM:

Pernyataan tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Yunani

I want something.

I don’t have to say this.

I think this person will know what I want.

I think she will do it because of this. Wierzbicka(1991:99)

Pernyataan tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Jepang

I want something.

I don’t have to say this.

I will say something else because of this.

I think this person will know what I want. (ibid:94)

Pentingnya menggambarkan terminologi seperti ketidaklangsungan, pernyataan diri,

solidaritas, ketulusan, keselarasan sosial atau keakraban bagi budaya tertentu jelas-jelas tidak

ada dalam teori tindak tutur dan kesopanan yang telah dibahas pada Bab 14 dan 15. Diduga,

kategori universal seperti pertuturan tak langsung, ilokusi atau kekuatan dan jarak pada model

kesopanan Brown dan Levinson membutuhkan modifikasi budaya spesifik.

Seperti yang dilihat dalam pembahasan ini, Wierzbicka mendukung pandangan berdasar

pada semantik yang memasukkan pragmatik, yang disebut semantikisme. Semantikisme

bukanlah hal baru dalam linguistik. Bentuk dari semantikisme juga didukung oleh ahli

semantik generatif, yang menurut pendapat mereka kekuatan performatif5 dan ilokusi suatu

tuturan merupakan bagian dari struktur dalam. Pandangan ini disebut hipotesis performatif dan

5 Performatif: Ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan saat itu juga.

7

Page 8: Cross cultural pragmatics

terkenal pada tahun 1970an. Hipotesis ini tidak dapat dipertahankan dan gugur tapi tidak

berarti semantikisme juga gugur. Wierzbicka menghidupkan kembali semantikisme versi baru

dengan membuat postulat seperangkat komponen semantik yang tetap dan pasti. Bentuk

semantikisme juga dihidupkan kembali dalam Teori Representasi Wacana yang telah dibahas

pada Bab 13, dimana interpretasi standar yang diduga seperti implikatur percakapan6 yang

digeneralisasi ditempatkan pada semantik bukan pragmatik.

Secara keseluruhan, meski masih sangat hipotetis pendekatan Wierzbicka memiliki

kelebihan. Kelebihan utamanya adalah pengenalan akan kebutuhan metabahasa universal untuk

membicarakan perbedaan lintas budaya dalam komunikasi. Pada kajian kontrastif teoritis, kita

memilih sebuah unit perbandingan independen, sebuah kategori universal yang independen,

dan memeriksanya bagaimana keduanya terjadi pada dua sistem dalam kedua bahasa. Kategori

unit perbandingan ini disebut tertium comparationis dan berbeda dengan level analisis

linguistik. Sebagai contoh, fonologi kontrastif akan mempunyai unit perbandingan yang

berbeda dengan semantik kontrastif. Seperangkat prime semantik tersebut adalah tertium

comparationis. Kelemahan utama pendapat ini adalah jatuh pada jebakan etnosentrisme,

meskipun menghindarinya secara pragmatik. Sebagai contoh, Wierzbicka menekankan

keutamaan mengenai kehangatan, kasih sayang, keramahan dalam budaya Mediterania dan

Slavia terekspresikan, misalnya dalam penggunaan diminutif yang luas, dan peranan

kesopanan dan keberanian dalam budaya Polandia. Bias perilaku ini merupakan bukti seperti

dalam kutipan berikut:

Menurut pendapatku, suatu budaya dimana terdapat terminologi dasar panggilan(address) ‘you’

digunakan dengan tidak membeda-bedakan setiap orang, tidak dapat dianggap sebagai sesuatu

yang mementingkan nilai keakraban. Wierzbicka(1991:106)

Kebiasaan sehari-hari interaksi manusia tercermin dalam bahasa Inggris mendorong perkataan

bahwa seseorang merasa senang saat dia sebenarnya tidak senang. Hal ini ditunjukkan dengan

cara yang spektakuler, tidak hanya berupa kebiasaan ‘How are you?’ tapi juga dalam konvensi

penulisan surat…(ibid:117-118)

Bagian pertama membuktikan suatu asumsi, satu konsep unik tentang keakraban secara salah.

Kutipan yang lain tampaknya berisi suatu kontradiksi: jika perilaku yang digambarkan adalah

6 Implikatur percakapan: Makna yg dipahami tapi tidak atau kurang terungkap dalam apa yg diucapkan.

8

Page 9: Cross cultural pragmatics

konvensional maka merupakan langkah yang agak tidak berdasar untuk menarik implikatur

tentang ketidaktulusan. Sayangnya, klaim spekulatif dan etnosentris tersebut banyak terdapat

dalam pragmatik lintas budaya.

Untuk menyimpulkan, sistem budaya tersusun secara berbeda dan dapat menggunakan

strategi percakapan berbeda untuk mencapai akhir yang sama. Budaya yang berbeda memiliki

hirarki nilai yang berbeda yang tercermin pada bahasa. Tapi nilai-nilai budaya hanya dapat

menjelaskan mengapa ketidaklangsungan lebih disukai atau tidak disukai, bukan mengapa

bentuk tidak langsung tertentu lebih disukai daripada yang lain. Oleh karena itu, dalam

pendekatan yang lebih baik, kita mungkin terpaksa harus menghubungkan strategi dengan

konvensi dengan cara yang diajukan oleh Searle. Terlebih lagi, menyusun hirarki nilai

bukanlah hal yang mudah: suatu permintaan yang samar-samar akan keramahan, kesopanan,

otonomi, antidogmatisme suatu budaya tidak akan mencukupi. Prime semantik mungkin juga

tertia comparationis dan metabahasa dimana hal-hal tersebut mengalami kenaikan merupakan

langkah-langkah yang tepat menuju persyaratan deskripsi impartial yang independen pada

sistem wacana. Meskipun NSM Wierzbicka cukup kontroversial dalam detail konstruksinya,

hal itu merupakan suatu usaha menciptakan alat universal untuk membahas bahasa. Scollon

dan daftar Scollon mengenai aspek-aspek budaya antropologis juga memberikan cara

sistematis untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam wacana, walaupun dari

perspektif sosiopragmatik bukan semantik.

3. Pragmatik Bahasa antara(Interlanguage Pragmatics)

Ada pula kajian-kajian tentang strategi-strategi pembelajaran pada bahasa kedua yang disebut

pragmatik bahasa antara. Pragmatik bahasa antara membandingkan realisasi tindak tutur

secara lintas budaya. Sebagai contoh, keluhan ditunjukkan dengan prinsip-prinsip yang sama

dalam bahasa Inggris, Inggris Amerika dan Ibrani. Beberapa strategi linguistik, seperti isyarat,

ditemukan secara universal yang berbeda hanya pada situasi isyarat tersebut dilakukan.

Pragmatik bahasa antara mengungkap tingkat-tingkat dan proses-proses pemerolehan strategi

percakapan oleh pembelajar asing. Jelas pragmatik bahasa antara dapat diterapkan secara

praktis pada pengajaran bahasa.

9

Page 10: Cross cultural pragmatics

4. Truisme

Lapisan budaya spesifik dari interpretasi ujaran dicontohkan dengan baik dalam tautologi.

Tautologi7, yaitu kalimat yang harus benar, seperti ‘War is war’, ‘He will come or he won’t

come’, ‘Boys are boys’, haruslah tidak informatif, sebagai bukti dari bentuk logisnya:

p = p, p ν ¬p.

Tautologi menyampaikan makna lewat implikatur percakapan dimana mereka mengalami

kenaikan. Banyak tautologi terkonvensional dalam bahasa tertentu. Dalam bahasa Inggris,

seseorang mengatakan (1) bukan (2).

1) War is war.

2) Life is life.

Dalam bahasa Rusia keduanya dimungkinkan. Alih-alih kalimat (2), bahasa Inggris

menggunakan yang konvensional (3).

3) That’s life.

Dengan cara yang sama, bahasa Perancis menggunakan pola (3) (C’est la vie’) tapi juga (4)

(‘C’est la guerre’) bukan (1) (‘La guerre est la guerre’).

4) That’s war.

Dengan tautologi tersebut, pembicara dapat mengacu baik pada keunikan suatu fenomena atau

pada keunggulan, seperti contoh (5) dalam bahasa Polandia, mengikuti pola ‘What is X is X’.

5) Co Paryż to Paryż.

What (is) Paris this (is) Paris.

Dalam bahasa Korea, konstruksi ‘X’ adalah ‘X’ dapat digunakan untuk mengungkapkan

kekaguman atau ketidaksetujuan. Seperti Wierzbicka(1991:396) laporkan, dalam bahasa

Jepang, ‘Saat konstruksi A φs, A φs’ dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang

dianggap tidak mungkin terjadi. Jadi ada pola-pola budaya khusus regular terhadap interpretasi

tautologi dan banyak tautologi dapat digolongkan dalam skema bahasa khusus yang

konvensional. Tampaknya sangat mungkin pendengar tidak memperhitungkan makna tautologi

7 Tautologi: penggunaan kelimpahan bahasa. Mis: terlalu amat sangat

10

Page 11: Cross cultural pragmatics

dengan menggunakan peribahasa tapi menyimpannya dalam ingatan, serupa dengan

menyimpan makna idiom dan pepatah.

Harus diperhatikan bahwa truisme yang bukan tautologi seperti (6), mengalami

konvensionalisasi yang serupa, untuk membandingkan (6) dengan tautologi pada (7).

6) Boys will be boys.

7) Boys are boys.

Ketergantungan serupa terhadap makna dalam bentuk truisme dapat diamati pada bahasa-

bahasa lain. Untuk meringkasnya:

Tautologi…seperti bejana yang cocok untuk semua tujuan, ke dalamnya dapat dituangkan ‘kebenaran

dasar’ tapi ‘kebenaran dasar’ berbeda pada budaya yang berbeda. Wierzbicka(1991:446)

Pola-polanya produktif. Contohnya, dalam bahasa Inggris, ‘Ni be Ni ’ adalah produktif. Pada

(8) bahkan (9) bukanlah idiom melainkan hasil dari pola produktif.

8) Business is business.

9) Enough is enough.

Wierzbicka membedakan properti semantik dari sub-pola seperti berikut:

10a) Nabstr is Nabstr e.g. War is war.

10b) a N is a N e.g. A party is a party.

10c) Npl will be Npl e.g. Boys will be boys.

10d) Nhum.pl are Nhum.pl e.g. Kids are kids.

10e) The N is the N e.g. The Law is the law.

Sebagai contoh, pola (10d) mengungkapkan perilaku toleran dan realistis terhadap karakter

manusia. Secara umum, bentuk jamak mengungkapkan toleransi dari suatu stereotipe,

sedangkan bentuk tunggal mengungkapkan kebutuhan penerimaan suatu aturan meskipun

tampilannya kontras. ‘A promise is a promise’ menunjukkan suatu kewajiban, sedangkan

‘Promises are promises’ mengungkapkan toleransi terhadap fakta bahwa janji-janji tidaklah

selalu ditepati. Terlebih, ‘War is war’ mengungkapkan kebutuhan penerimaan suatu stereotipe

11

Page 12: Cross cultural pragmatics

sedangkan ‘A war is a war’ mengungkapkan keharusan untuk bertindak dengan perilaku

tertentu.

Kesimpulan utama yang dapat kita tarik dari kajian ini adalah adanya fitur-fitur wacana

yang berada pada level tengah antara semantik dan pragmatik dan yang membutuhkan

perlakuan terpisah. Hal ini mengingatkan kita pada gagasan Levinson(1995) tentang tiga level

makna yang telah dibahas pada bab 11, bagian 1.4, level tengah yang menjadi interpretasi

gagal, memasukkan juga implikatur yang digeneralisasi dan pra-anggapan yang tidak dapat

direduksi baik menjadi semantik atau pragmatik linguistik. Interpretasi yang gagal ini dapat

berupa budaya khusus. Pada sisi lain, fitur budaya khusus pada wacana dapat dipelajari sebagai

cara budaya khusus untuk meletakkan konsep dasar bersama untuk membentuk ungkapan-

ungkapan, termasuk bentuk panggilan(address), truisme, istilah-istilah untuk emosi. Cara-cara

budaya khusus dengan menggunakan ketidaklangsungan(indirectness) dapat dijelaskan begitu

kita memiliki metabahasa yang memadai. Dalam hal ini, cara-cara tersebut disemantikkan.

5. Epidemiologi Representasi

Penulis akan menyimpulkan penjelasan dari pemahaman kajian lintas budaya dari

pandangan Dan Sperber terhadap kebudayaan antropologi. Umumnya, berikut ini adalah

bagaimana Sperber menjelaskan kebudayaan:

Gagasan dapat ditransfer, yang ditransfer dari satu orang ke orang lain, mereka bahkan

menyebarluaskan. Beberapa gagasan – kepercayaan agama, resep masakan atau hipotesa ilmiah,

contohnya menyebarluaskan dengan efektif sehingga dalam versi yang berbeda mereka akhirnya

menyerang seluruh populasi dalam waktu yang lama. Kebudayaan terbentuk, pertama dan terpenting

dari gagasan yang menular. Untuk menjelaskan kebudayaan, kemudian untuk menjelaskan kenapa dan

bagaimana beberapa gagasan itu begitu menular. Hal ini membutuhkan perkembangan representasi

epidemiologi yang benar. Spreber (1996:1)

Dengan kata lain, untuk menjelaskan bagaimana budaya itu terbentuk kita harus mempelajari

penyebaran kepercayaan dan gagasan-gagasan yang populer. Memori dan komunikasi yang

berlangsung mempengaruhi informasi asli dan merubahnya. Sehingga budaya yang dijelaskan

meringkaskan penjelasan distribusi gagasan dalam populasi, menjelaskan bagaimana individu

memproses pengambilan gagasan hingga penyebaran terakhir. Ini adalah gagasan yang paling

terkenal dalam antropologi dan sosiopragmatik. Hal ini intinya adalah pendekatan Darwinian

12

Page 13: Cross cultural pragmatics

dihubungkan dengan pendekatan Cavalli-Sforza dan Dawkins, saat gagasan Darwin mengenai

seleksi diterapkan di kebudayaan. Sperber menyebutnya pendekatan naturalistik, karena

masalah-masalah sosial didekati melalui kajian kognisi, kerja pikiran, melalui proses psikologi

individu yang bergabung membentuk masyarakat. Karena memori dan komunikasi

menyalurkan gagasan asli, gagasan disimpan sebgai representasi dan dalam membahas budaya

kita membicarakan psikologi kognitif. Inilah bagaimana masalah-masalah sosial di

naturalisasikan. Dengan kata lain:

Fenomena sosial-budaya, dalam pendekatan ini, adalah pola-pola ekologi dari fenomena psikologi.

Fakta-fakta sosiologi, didefinisikan dalam istilah fakta psikologi, tetapi tidak menguranginya. Sperber

(1996:31)

Orang memiliki representasi situasi. Representasi yang sering diulang, dikomunikasikan

menjadi representasi budaya dari kelompok masyarakat. Representasi merupakan kepercayaan,

norma, mitos, teknik, klasifikasi bersama dan sebagainya. Representasi disampaikan dengan

memproduksi representasi lainnya yang berupa deskripsi atau interpretasi dari representasi

yang asli (lihat diagram Sperber dan Wilson 1986:232). Interpretasi muncul saat, contohnya

kita perlu memperluas isi dari beberapa kepercayaan suku sehingga dapat dipahami. Kita

sering melakukan interpretasi yang spekulatif dan tidak lengkap untuk memahami representasi

lainnya, khususnya ketika mereka adalah representasi budaya yang berbeda.

Sperber juga menjelaskan bentuk dari konsep dengan bantuan epidemiologi. Ia

menyarankan adanya konsep dasar yang berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip yang

bawaan:

Saya mengasumsikan bahwa kita memiliki disposisi bawaan(innate disposition) untuk mengembangkan

konsep berdasar skema tertentu. Kami memiliki skema yang berbeda untuk medan makna(domain)

yang berbeda: jenis konsep hidup kami cenderung menjadi taksonomis; konsep artefak kami cenderung

menjadi ciri dalam istilah fungsi; konsep warna kami cenderung menjadi pusat dalam focal hues; dll.

Konsep yang memenuhi skema ini dengan mudah diinternalisasi dan diingat. Kita sebut dengan konsep

dasar. Bagian besar dari konsep dasar ditemukan di setiap bahasa. Tentunya konsep dasar itu berbeda

dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi tidak terlalu berbeda. Konsep dasar bahasa lainnya cenderung

mudah untuk dipahami, dipelajari dan diterjemahkan secara komparatif. Sperber (1996:69).

13

Page 14: Cross cultural pragmatics

Pandangan Sperber berbeda dengan konsep Wierzbicka, menurut Sperber prime

semantiknya universal dan bawaan. Sperber menghilangkan dekomposisi leksikal(lihat bab I)

sebagai metode mencari prime semantik dengan menunjukkan bahwa seperangkat konsep

bawaan akan menjadi sangat besar dan terlebih lagi tidaklah beralasan untuk mengharapkan

anak kecil menciptakan konsep. Sebagai contoh kata MOTHER(ibu), ada diluar dari konsep

PARENT(orangtua) dan FEMALE(perempuan). Lebih mungkin bahwa PARENT(orangtua)

merupakan konsep yang lebih rumit, hasil dari kombinasi dari konsep MOTHER(Ibu) dan

FATHER(Ayah) (lihat Sperber 1996:68). Terlebih lagi, beberapa konsep rumit, sebagai contoh

konsep agama dan ilmiah, memerlukan representasi yang rumit di dunia.

Mengulang penjelasan diatas, sebagai tambahan terhadap memiliki representasi langsung

dari kenyataan, manusia juga dapat menggambarkan representasi orang lain, representasi

mereka sendiri dan keadaan mental. Inilah yang disebut dengan metarepresenting dan sebagai

contoh sikap ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap representasi. Metarepresenting

juga membolehkan kita untuk menyimpan representasi yang tidak sepenuhnya dipahami.

Beberapa gagasan yang setengah dipahami selangkah menuju ke pemahaman penuh, lainnya

menciptakan misteri yang menyebar di masyarakat. Representasi yang sesuai dengan

representasi budaya lainnya dan yang tidak sepenuhnya diinterpretasikan adalah yang paling

berhasil dan mengarahkan apa yang kita lihat sebagai kepercayaan budaya irasional. Tetapi,

ketika kita melihatnya sebagai gagasan yang setengah dimengerti, hal itu tampaknya tidak

rasional (cf. Sperber 1996:73). Sperber (1985:35) memberikan beberapa contoh. Anggota suku

di Ethiopia Selatan mendatangi dan memintanya untuk membunuh naga yang hatinya terbuat

dari emas, yang memiliki tanduk di lehernya dan tinggal di suatu tempat di dekat sini. Sperber

percaya bahwa anggota suku itu orang yang rasional, terhormat, tapi bagaimana bisa orang

yang rasional percaya bahwa seekor naga hidup di dekatnya? Hal ini adalah contoh dari adanya

kepercayaan irasional. Banyak antropolog mengatakan bahwa orang yang berbudaya berbeda

hidup di dunia yang berbeda, kepercayaan terhadap naga dapat menjadi rasional di beberapa

kebudayaan. Antropolog lainnya mengacu pada simbolisme. Malahan Sperber mengusulkan

rasionalisme. Ia mengatakan bahwa orang dapat memiliki berbagai jenis dan tingkat komitmen

terhadap kepercayaan. Tidak semua kepercayaan diselenggarakan dengan cara yang sama,

sehingga kriteria rasionalnya dapat berbeda. (Seolah-olah mengkonfirmasikan klaim, Sperber

segera bereaksi terhadap permintaan anggota suku bahwa ia tidak memiliki senjata!)

14

Page 15: Cross cultural pragmatics

Kepercayaan biasanya telah dianggap, paling tidak sejak Russel, sebagai jenis yang sikap

propositional, sebuah sikap untuk sebuah entitas yang bisa benar atau salah. Sperber mengikis

tradisi ini:

Objek dari ’sikap proposisional’, gagasan yang kita pegang atau perhitungkan, tidak selalu

proposisional dalam karakter. Akan keliru untuk mendefinisikan ’berbicara’ sebagai ’kalimat ujaran’,

itu sebuah kekeliruan, saya sarankan, untuk menentukan berpikir dalam istilah dari sikap ke proposisi:

banyak ujaran kita yang tidak sama dengan kalimat tetapi untaian semi-grammatikal; serupa dengan itu,

banyak pemikiran kita yang disebut dengan semi-proposisional, mereka memperkirakan tetapi tidak

dapat mencapai proposisionalitas...Jika benar bahwa objek kepercayaan itu proposisi, maka kita hanya

dapat percaya gagasan yang kita pahami seluruhnya. Saya berpendapat kita juga dapat berpegang pada

kepercayaan sebagai gagasan yang tidak sepenuhnya dipahami. Sperber (1985:51).

Kepercayaan orang suku terhadap naga emas tersebut disebut kepercayaan yang setengah

dipahami. Jadi ada representasi proposisional yang sesuai dengan gagasan yang sepenuhnya

dipahami dan representasi semi-proposisional yang sesuai dengan gagasan yang tidak

sepenuhnya dipahami. Ada representasi konseptual yang tidak mengenal proposisi unik,

beberapa konsep menghilang. Representasi tersebut bukanlah kepercayaan faktual tapi

kepercayaan representasional. Oleh karenanya, ada empat kelas kepercayaan potensial: (i)

kepercayaan faktual dengan isi proporsisional yang rasional dan berdasarkan pengamatan; (ii)

kepercayaan faktual dengan isi semi-proporsisional(yang biasanya tidak terjadi); (iii)

kepercayaan representasional dengan isi proposisional, seperti asumsi ilmiah yang tidak

sepenuhnya dipercaya; (iv) kepercayaan representasional dengan isi semi-proposisional, seperti

kepercayaan beragama dan misteri(Sperber 1985:58). Kepercayaan kultural merupakan

kepercayaan representasional. Kepercayaan faktual disebut juga intuitif, sedangkan

kepercayaan representasional disebut reflektif. Kepercayaan intuitif berdasar pada mekanisme

bawaan dan universal dan yang berdasar pada persepsi dan inferens dan oleh karenanya serupa

di berbagai budaya. Kepercayaan reflektif tidaklah faktual dan bukan dasar tapi dipercaya

karena tertempel pada kepercayaan intuitif. Kepercayaan itu mungkin hanya setengahnya

dipahami dan mengarahkan ke pengetahuan ilmiah atau misteri bahkan religius. Kepercayaan

misterius merupakan kepercayaan yang berbeda lintas budaya dan dapat muncul irasional dari

sudut pandang budaya lain(Sperber 2996:91-92,1997). Dengan kata lain:

15

Page 16: Cross cultural pragmatics

Menjelaskan kepercayaan kultural, baik intuitif atau reflektif, dan jika reflektif, baik setengah dipahami

atau dipahami seluruhnya, melibatkan dua hal: bagaimana kepercayaan diketahui oleh individu-individu

dan bagaimana kepercayaan dikomunikasikan di dalam suatu kelompok; atau mengatakannya dalam

sloga: Budaya merupakan kognisi dan komunikasi yang lebih cepat di dalam suatu populasi manusia.

Sperber(1996:97)

Penelitian pragmatik tidak terlepas dari keterlibatan masalah perbedaan kepercayaan dan

komunikasi lintas budaya.

6. Kesimpulan

Perspektif yang ada dalam bab ini jelas menunjukkan perlunya untuk mengamati perilaku

manusia, termasuk perilaku verbal, dalam konteks budaya antropologis. Baik Wierzbicka dan

Sperber menekankan bahwa ada beberapa jenis kepercayaan yang ketika diungkapkan tidak

mudah diinterpretasi oleh anggota masyarakat yang lain, baik karena konsep budaya khusus

atau karena metapresentasi. Meski tampaknya tidak benar bahwa orang yang berbeda budaya

hidup di dunia yang berbeda, kita harus tahu sesuatu tentang budaya yang dapat

menggolongkan dan menggambarkan kepercayaan. Usulan baik tentang primitif semantik dan

epidemiologi representasi menegaskan hal itu.

Akhirnya, dibahas pula mengenai apa peranan pragmatik dalam kajian pragmatik lintas

budaya. Apakah teori pragmatik, teori inferens seperti teori implikatur Gricean, atau

pendekatan tidak teoritis terhadap penggunaan bahasa? Tampaknya saat ini tetaplah peranan

yang terakhir, tapi begitu perbedaan lintas budaya dikenali dan ditempatkan pada level tengah

dari makna jenis ujaran yang konvensional, kita mungkin dapat memiliki pragmatik yang

memadai dalam makna yang lebih sempit dan teoritis.

16