per banding an uu narkotika yg baru dan yang lama

Upload: luthfi-armanza

Post on 20-Jul-2015

326 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN A. Latar BelakangMunculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industry), merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lainnya, yaitu, smuggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations and terrorism, trafficking in body parts, theft and smuggling of vehicles, money laundering.[1] Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya. [2]

Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, [3] white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk daricyber crime.Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan ketahanan nasional. Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-UndangNo. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Apabila dikaikan dengan beberapa ahli hukum tentang politik hukum khususnya bahwa hukum itu diberlakukan dalam bentuk Undang-Undangyang kemudian hari dalam penerapanya banyak terdapat kendala-

kendala, yang juga bersumber dari Undang-Undangtadi dan politik hukum pemberlakuan UndangUndangtersebut. Beberapa ahli tersebut berpendapat bahwa polik hukum itu sendiri adalah berbeda dengan pendapat penerapan hukum oleh ahli hukum lainnya, hampir sama dengan pendapat ahli hukum tentang apa itu hukum, patilah menemukan jawaban yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut : Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah, itulah penddapat sutjipto raharjo tentang politik dan hukum, bahwa menurut sutjipto raharjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan dengan politik, sehingga politik akan selalu menang bila dihdapkan dengan hukum. Konsekwensi hal yang tadi apa? Yaitu bahwa apabila hukum itu adalah undang-undang, maka Undang-Undangyang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma politiknya, dibandingkan dengan manfaat Undang-Undangtersebut bagi tercapainya keadilan dan kemakmur rakyat. Penulis seperti Rouscoe Pound telah lama berbicara tentang Hukum as a too of social engineering sebagai keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjlanan masyarakat karena dengan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakat akan menjadi relevan, pendapat rouscoe pound malah berpendapat sebaliknya dari penapat sutjipto raharjo, bahwa hukumlah yang lebih berperan dalam gerak langkah masyarkat kedepan. Apa bila dikaikan dengan Undang-Undangmaka Undang-Undangyang di buat di dewan perwakilan rakyat haruslah benar-benar selayaknya dapat memobilisasi msyarakat kearah yang lebih baik. Apabila dihubungkan lagi dengan pendapat Van Savigny mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat, ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi dependent variable atas keadaan politiknya[4] savaiqni ini berpendapat bahwa hukum dan bukan tidak bisa di satukan satu dengan yang lainnya, namun keduanya adalah saling menyembangi satu dengan yang lainnya. Setelah kita melihat pendapat bebeapa ahli ini maka kita hubungkan dengan UndangUndangno 35 tahun 2009 undang-undang narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-UndangNo. 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Pemerintah menilai Undang-UndangNo. 22 tahun 1997 ini tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, UndangUndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undangterdahulu. Kalau kita lihat sejarah lahirnya Undang-Undangno 35 tahun 2009 ini ada tersirat bahwa kenapa Undang-Undangini dirobah, berarti ada sebuah kekurang, kalu tidak bisa dikatakan kekurangna agap saja Undang-Undangtersebut perlu dirobah karena bermacam hal. maka perlu pengkajian tentang hal ini, bahwa dengan lahirnya UndangUndangini apa dampaknya bagi masyarakat indonesia, karena hukum atau undangumdang sebagai mobilitas masyarakat, pastilah snagangat berdampak terhadap kehidupan baik itu berdampak positif mupun berdampak negatif, pastilah ada pro dan kontra dari lahirnya Undang-Undangyang baru ini sebgai perobahan dari UndangUndangyang lama tentang nrkotika yang juga sarat kegagalan dalam penerapannya sebgaimana yang dikatakan oleh Rouscoe Pound Law as a too of social engineering.

Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika. Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir (or ganizeci crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime). B. Rumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah Bagaimanakah Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika bila dikaji dari politik hukum penerapanya?

BAB II PEMBAHASAN Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.[5] Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun

kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Bahwa dalam sejarah Undang-Undang yang memgatur tentang narkotika ini, sudah banyak mengalami perubahan, hal ini terjaminya keadilan bagi setiap masyarakat dan kesejahteraan. Perubahan yang telah terjadi beberapa kali ini ialah dalam rangka mengikuti perkembangan zaman, seperti yang di jelaskan dalam pemaparan di latar belakang sebelumnya mengenai pendapat Van Savigny yang mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat. Undang-Undang narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UndangUndangNo. 22 tahun 1997 tentang narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 tahun1997 tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-UndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar. Diantara perubahan Undang-Undang narkotika No.35 tahun 2009 sebagai perubahan dari Undang-UndangNo. 22 tahun 1997 yang siknifikan adalah sebagai berikut : I. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narktotika secara ilegal. II. Pengobatan dan Rehabiltasi Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah . Melalui Undang-Undang No. 35/2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu. undang-undang No. 35/2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri . Pertanyaannya,

apakah lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu dapat dikategorikan sebagai tempat pihak yang melakukan rehabiltasi medis dan sosial? III. Kewenangan BNN dan Penyelidikan undang-undang No. 35/2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 324 jam ditambah penyadapan. Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, kemudian kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN? Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.

IV. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika Walaupun prinsip dalam undang-undang No. 35/2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam undang-undang ini masih menggunakan kata dapat untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan:[6] - Apakah penggunaan kata dapat menjadi suatu acuan mutlak agar hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu narkotika menjalani proses rehabilitasi? - Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan? V. Peran Serta Masyarakat

Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-Undang No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam undang-undang ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika. Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang. VI. Ketentuan Pidana undang-undang No. 35/2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang No. 35/2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika. Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-Undang No. 35/2009 sebagai berikut: a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika Penggunaan kata Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum dalam beberapa pasal Undang-Undang No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan. b. Penggunaan sistem pidana minimal Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-Undang No. 35/2009 memperkuat asumsi bahwa Undang-Undang tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung. c. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat

Undang-Undang No. 35/2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur kesengajaan tidak melapor tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika. Undang-Undang No. 35/2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil. d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai Undang-Undang No. 35/2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah, itulah penddapat sutjipto raharjo tentang politik dan hukum, bahwa menurut sutjipto raharjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan dengan politik, sehingga politik akan selalu menang bila dihdapkan dengan hukum. Konsekwensi hal yang tadi apa? Yaitu bahwa apabila hukum itu adalah undang-undang, maka Undang-Undangyang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma politiknya, dibandingkan dengan

manfaat Undang-Undangtersebut bagi tercapainya keadilan dan kemakmur rakyat. Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional.

B. Saran-saran Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional.