penyusunan program tbc di kabupaten jember ck
DESCRIPTION
program tbcTRANSCRIPT
BAB 1. LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit pernafasan menular yang banyak
terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap
tahunnya setiap 100.000 penduduk terdapat 115 penderita baru TB paru dengan
BTA positif. Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia produktif. Di
provinsi Jawa Timur sendiri penyebaran penyakit TBC sangat memprihatinkan.
Data yang didapat di Departemen Kesehatan, penderita penyakit TBC di Jawa
Timur menempati urutan ke-3 setelah Jakarta. Didapatkan untuk jumlah penderita
TBC baru di Jatim tahun 2010 kemarin mencapai 23.146 penderita. Sedangkan
Case Detection Rate (CDR) pada tahun 2011 adalah 65%, dengan jumlah kasus
TB BTA positif sebanyak 21.477 penderita. Sementara daerah yang terbanyak
menderita penyakit TBC di daerah Jawa Timur adalah Madura dan Jember. Di
Kabupaten Jember, terdapat 2.591 orang yang diperiksa untuk mengetahui status
TB parunya. Dari jumlah itu terdapat 1.815 orang yang positif TB paru.
Sedangkan yang sembuh mencapai 1.627 orang. Pada tahun 2010, ada
peningkatan jumlah orang yang diduga menderita TB paru yaitu sebanyak 2.662
orang. Dari hasil pemeriksaan diketahui jumlah orang yang positif menderita TB
paru sebanyak 1.943 orang. Untuk tahun 2011 hingga bulan April, sudah ada 736
orang yang diduga menderita TB paru. Dengan hasil positif pada 543 orang.
Angka DO di Jember mencapai 2 sampai 2,5 persen dari total penderita TB paru.
Angka DO yang terbilang cukup tinggi (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember,
2010).
Dengan semakin meningkatnya angka kejadian TBC di Indonesia, maka
untuk menekan angka kejadian TBC di Indonesia dibuatlah Strategi Nasional
Program Penanggulangan TBC tahun 2010-2014 yang terdiri dari 7 strategi, 4
1
strategi umum yang didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh strategi ini
merupakan upaya yang berkesinambungan dari strategi nasional sebelumnya,
dengan rumusan strategi yang mempertajam respons terhadap tantangan pada saat
ini. Strategi umum yang dikembangkan adalah :
1. memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu;
2. menghadapi tantangan TB/HIV (human immunodeficiency virus), multi
drugs resistence (MDR)-TB, TB Anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya;
3. melibatkan seluruh penyedia layanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta, melalui pendekatan Public–Private Mix (PPM)
dan menjamin kepatuhan terhadap International Standard for TB Care;
4. memberdayakan masyarakat dan pasien TB;
Pencapaian keempat strategi umum di atas harus didukung oleh strategii
fungsional untuk memperkuat fungsi-fungsi managerial dalam program
penanggulangan TB. Strategi fungsional tersebut adalah:
5. memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB;
6. mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB;
7. mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis
(www.perdhaki.org, 2012).
Dari tujuh strategi yang telah disusun oleh Kemenkes, penulis ingin
mengimplementasikan strategi nomor empat yaitu memberdayakan masyarakat
dan pasien TB. Strategi tersebut akan dilaksanakan dengan memanfaatkan peran
kearifan lokal melalui kelompok Mepet di Jember.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Membangun kemitraan dengan masyarakat Kelurahan X dengan
mengoptimalkan kearifan lokal.
b. Tujuan Khusus
1. Melakukan pelatihan Toga dan Toma sebagai sumber kearifan lokal
2
2. Membentuk jejaring TB on call
3. Membentuk kelompok pasien TB
1.3 Manfaat
a. Untuk Mahasiswa
Untuk mengaplikasikan kompetensi keilmuan analisis manajemen layanan
kesehatan
b. Untuk masyarakat
1. Menciptakan derajat kesehatan komunitas yang setinggi-tingginya
2. Membantu masyarakat untuk memanfaatkan kearifan lokal wilayah
setempat dalam program manajemen pelayanan kesehatan
c. Untuk pemerintah
1. Membantu pemerintah melakukan strategi pemberdayaan masyarakat
dan pasien TB
2. Membantu pemerintah untuk melakukan deteksi, pencatatan, dan
pelaporan kasus TB.
3
BAB 2. PENGKAJIAN
2.1 Gambaran umum dan perilaku penduduk
1. Keadaan pendudukJember berpenduduk 2.329.929 jiwa (JDA, BPS 2011) dengan kepadatan
rata-rata 707,47 jiwa/km2. Kepadatan penduduk Kabupaten Jember pada tahun
2000 adalah 664 jiwa/km2. Kemudian meningkat menjadi 707 jiwa/km pada
tahun 2010. Kepadatan penduduk Kabupaten Jember melebihi garis normatif,
namun pola distribusinya tidak berubah dari tahun ke tahun. Kecamatan dengan
penduduk terjarang adalah Kecamatan Tempurejo dengan tingkat kepadatan 135
jiwa/km2 dan kecamatan terpadat penduduknya adalah Kecamatan Kaliwates
yaitu mencapai 4480 jiwa/Km2. Range yang sangat jauh ini menunjukkan bahwa
masih ada ketimpangan persebaran penduduk antar kecamatan di Kabupaten
Jember. Kepadatan penduduk berada di 3 kecamatan kota yaitu Kecamatan
kaliwates, Sumbersari dan Kecamatan Patrang, karena di Kecamatan tersebut
banyak pengembangan areal perumahan dan dekat dengan kampus Universitas
Jember (Unej) sehingga banyak penduduk pendatang yang indekost. Adapun
Kecamatan yang masih jarang penduduknya di kecamatan Tempurejo disusul
Kecamatan Silo karena wilayah kecamatan tersebut sebagian besar terdiri dari
Hutan dan areal perkebunan (Badan Pusat Statistik, 2010). Mayoritas penduduk
Kabupaten Jember terdiri atas Suku Jawa dan Suku Madura, dan sebagian besar
beragama Islam. Selain itu terdapat warga Tionghoa dan Suku Osing. Rata rata
penduduk jember adalah masyarakat pendatang, Suku Madura dominan di Jember
bertempat tinggal di daerah utara dan Suku Jawa bertempat tinggal di daerah
selatan dan pesisir pantai.
2. Keadaan ekonomiKegiatan ekonomi ini secara langsung maupun tidak langsung dapat
memperlihatkan cepat dan lambatnya proses perkembangan kota. Selain itu dapat
juga memperlihatkan kecenderungan perkembangan ekonomi kota. Bagi kota-kota
4
kecamatan di Indonesia, kehidupan ekonomi kotanya masih lebih banyak
ditunjang oleh kegiatan pertanian. Kondisi ini juga terjadi pada kota Jember
dimana sektor pertanian baik pertanian tanaman pangan maupun holtikultura
(www.ciptakarya.pu.go.id, tanpa tahun). Dengan sebagian besar penduduk masih
bekerja sebagai petani, perekonomian Jember masih banyak ditunjang dari sektor
pertanian. Di Jember terdapat banyak area perkebunan, sebagian besar
peninggalan Belanda. Perkebunan yang ada dikelola oleh Perusahaan nasional
PTP Nusantara, Tarutama Nusantara (TTN), dan Perusahaan daerah yaitu PDP
(Perusahaan Daerah Perkebunan). Jember terkenal sebagai salah satu daerah
penghasil tembakau utama di Indonesia. Tembakau Jember adalah tembakau yang
digunakan sebagai lapisan luar atau kulit cerutu. Di pasaran dunia tembakau
Jember sangat dikenal di Brehmen, Jerman dan Belanda.
3. Keadaan pendidikanFasilitas pendidikan di Kota Jember meliputi TK, SD, SLTP, SLTA dan
PT/Akademi. Fasilitas-fasilitas pendidikan ini telah tersebar secara merata di
wilayah Kota Jember. Dan jumlah fasilitas ini semakin mengecil sejalan dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan (www.ciptakarya.pu.go.id, tanpa tahun).
Ketersediaan sarana dan prasarana bidang pendidikan tahun 2004 sebagai berikut:
Taman Kanak-kanak 676 buah, SD/sederajat 1.168 buah, SMP/sederajat 143
buah, SMA/sederajat 140 buah dan Perguruan Tinggi 11 buah. Khusus SD Negeri
terjadi penurunan sebagai akibat kebijakan regrouping, dari 1.211 pada tahun
2000 menjadi 1.112 pada tahun 2004, atau turun sebesar 8,18%.
Beberapa perguruan tinggi yang ada di wilayah Jember seperti Universitas
Jember, STAIN Jember, dan Politeknik Negeri Jember. Selain itu terdapat
beberapa perguruan tinggi swasta yaitu, Universitas Muhammadiyah Jember,
Universitas Islam Jember, Universitas Moch. Seroedji, STIE Kosgoro, IKIP PGRI
Jember, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mandala Jember, Sekolah
Tinggi Assuniyah Alfalah (Staifas) Kencong dan masih banyak perguruan tinggi
lainnya. PPKIA (Pusat Pendidikan Komputer Indonesia Amerika) salah satu
lembaga pendidikan luar sekolah, ada juga PIKMI (Pusat Pendidkan Program
Satu Tahun) yang berbasis komputer, (MAGISTRA UTAMA).
5
4. Keadaan kesehatan lingkunganPengelolaan sumber air bersih di Kota Jember dilakukan oleh PDAM
Kabupaten Jember. Sumber yang digunakan adalah sungai, mata air, sumur dalam
dan sumber air permukaan dengan kapasitas 239 lt/dt dengan kondisi baik. Debit
sumber air baku mengalami penurunan karena penebangan pohon-pohon di daerah
resapan air. Pemenuhan kebutuhan air bersih di kota Jember masih sangat kurang
karena air bersih yang tersedia dan air bersih yang dibutuhkan tidak seimbang.
Untuk masalah pengelolaan sampah, Sampah di kota Jember dikelola oleh DKP
Kabupaten Jember, dan kemudian diolah di TPA Kertosari dengan sistem
controlled landfill. Dengan asumsi timbulan sampah untuk kota sedang sebesar 3
liter/orang/hari, maka diasumsikan jumlah sampah yang perlu dikelola di kota
Jember adalah sebesar 733,02 m3/hari. Pengelolaan air limbah/air buangan di kota
Jember dilakukan secara on-site, yaitu secara individual pada masing-masing
rumah tangga dan komunal dengan memanfaatkan fasilitas umum seperti jamban
umum, MCK dengan tangki septik dan cubluk serta saluran lainnya seperti sungai
dan kolam. Perkiraan produksi limbah di Kota Jember adalah 48.868 lt/org/hr.
Jumlah truk tinja di Kota Jember adalah 2 buah dengan keadaan yang baik.
5. Keadaan perilaku masyarakatMasyarakat di Kabupaten Jember masih memiliki kebiasaan buruk yang
berkaitan dengan kesehatan, contohnya adalah, pola makan terbalik, saat bayi dan
anak-anak, warga Jember tidak cukup diberi makan protein. Sementara, justru di
masa dewasa, warga makan makanan berprotein tinggi dan berlemak. Kedua,
pengetahuan mengenai air susu ibu yang keliru. Ketiga, persiapan kehamilan yang
salah. Keempat, gemar minum obat sembarangan. Kelima, gemar merokok.
Keenam, banyak warga yang malas untuk berolahraga, dan ketujuh, kesadaran
terhadap kebersihan lingkungan yang masih rendah. Masyarakat di daerah
pedesaan juga masih banyak yang melakukan buang air besar di sungai yang
menyebabkan persebaran penyakit semakin mudah.
Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan
perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka.
6
Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui
bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan
dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga
dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis (Stranas TB,
2011).
Mitos yang terkait dengan penularan TB masih dijumpai di masyarakat.
Sebagai contoh, studi mengenai perjalanan pasien TB dalam mencari pelayanan di
Yogyakarta telah mengidentifikasi berbagai penyebab TB yang tidak infeksius,
misalnya merokok, alkohol, stres, kelelahan, makanan gorengan, tidur di lantai,
dan tidur larut malam. Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi dengan
meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai TB, mengurangi
mitos-mitos TB melalui kampanye pada kelompok tertentu dan membuat materi
penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat (Stranas TB, 2011).
Survei pada tahun 2004 tersebut juga mengungkapkan pola pencarian
pelayanan kesehatan. Apabila terdapat anggota keluarga yang mempunyai gejala
TB, 66% akan memilih berkunjung ke Puskesmas, 49% ke dokter praktik swasta,
42% ke rumah sakit pemerintah, 14% ke rumah sakit swasta dan sebesar 11% ke
bidan atau perawat praktik swasta. Namun pada responden yang pernah
menjalani pengobatan TB, tiga FPK utama yang digunakan adalah rumah sakit,
Puskesmas dan praktik dokter swasta. Analisis lebih lanjut di tingkat regional
menunjukkan bahwa Puskesmas merupakan FPK utama di KTI, sedangkan untuk
wilayah lain rumah sakit merupakan fasilitas yang utama. Keterlambatan dalam
mengakses fasilitas DOTS untuk diagnosis dan pengobatan TB merupakan
tantangan utama di Indonesia dengan wilayah geografis yang sangat luas (Stranas
TB, 2011)
Masyarakat Jember masih belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang
TB. Masyarakat masih belum mengetahui bagaimana kondisi lingkungan yang
dapat menyebabkan TB. Selain itu, kegagalan pengobatan yang terjadi sampai
saat ini dikarenakan kurangnya kesadaran penderita TB untuk minum obat secara
teratur (drop out). Hal ini juga diperparah dengan kurang optimalnya peran
pengawas minum obat. Masyarakat Jember juga masih belum sadar akan manfaat
7
dan efektivitas BCG. Hal ini dibuktkan dengan cakupan imunisasi BCG yang
masih rendah.
Munculnya adaptasi maladaptif berupa isolasi sosial pada penderita TB
diakibatkan oleh stigma masyarakat yang masih memandang penderita TB untuk
dikucilkan. Hal ini bahwa masyarakat takut akan tertular sehingga penderita TB
harus dihindari.
2.2 Situasi derajat kesehatan
1. Mortalitas
Kabupaten Jember menempati rangking kedua terbanyak jumlah Angka
Kematian bayi (AKB) dan ibu (AKI) di Jawa Timur setelah Probolinggo. Angka
Kematian Ibu di Jember mengalami peningkatan dari tahun ketahun yang mana
pada tahun 2008 yaitu 103/100.000 KH dan pada tahun 2009 AKI sebesar
134/100.000 KH. Tercatat angka kematian ibu melahirkan pada tahun 2011 lalu
tercatat 54 kasus, sedangkan angka kematian ibu melahirkan di tahun 2012 dari
rentang Januari-Oktober kemarin mencapai 420 kasus kematian ibu melahirkan.
Padahal, dana Jampersal telah digelontorkan bagi ibu hamil yang hendak
melahirkan hingga masa nifas (www. jaringnews.com, 2012). Pada tahun 2008
dan tahun 2009 kematian ibu banyak disebabkan oleh perdarahan, dan pada tahun
2010 kematian ibu banyak disebabkan oleh eklampsi meskipun masih banyak
yang disebabkan oleh perdarahan. Selain disebabkan akibat langsung kehamilan,
komplikasi kehamilan dan persalinan kematian ibu disebabkan oleh penyakit lain
yang semakin memburuk dengan terjadinya kehamilan dan persalinan yaitu
penyakit TBC, Ginjal, Enchepalitis, Chirosis, dan Pneumoniae. Menurut Humas
Dinas Kesehatan Jember angka kematian bayi yang tinggi ini disebabkan oleh
rendahnya kesadaran ibu untuk melahirkan di bidan atau puskesmas. Sebagian ibu
masih memilih menggunakan jasa dukun bayi. Jumlah dukun bayi di Jember
cukup banyak mencapai 1.200 orang, sedangkan jumlah bidan hanya 420 orang
yang tersebar di 49 puskesmas dan praktik swasta (www.seputar-indonesia.com,
2013).
8
2. MorbiditasJumlah warga yang sakit di Jember cukup tinggi. Data di RS Daerah dr.
Soebandi membenarkan pernyataan tersebut. Sepanjang tahun 2011, ada 152.172
orang pasien yang berobat di rumah sakit terbesar di kawasan timur Jawa Timur
itu. Ini berarti setiap bulan, RS dr. Soebandi menerima 12.681 orang pasien.
Kalau dirata-rata lagi, maka ada 422 orang pasien setiap hari di RSD dr. Soebandi.
Jika dilihat dari SPM Kabupaten Jember tahun 2012 triwulan III didapatkan
penemuan dan penanganan pasien baru TB BTA positif adalah sebesar 1.606
temuan.
3. Dampak kesehatan akibat penyakit
Dengan semakin meningkatnya angka kejadian TBC di daerah Jember,
maka kualitas kesehatan di daerah Jember semakin menurun, yang nantinya juga
berisiko untuk menurunkan angka kualitas hidup di Kabupaten Jember.
2.3 Situasi upaya kesehatan
1. Pelayanan kesehatan dasarKabupaten Jember memiliki 49 puskesmas, 28 puskesmas perawatan, dan
133 puskesmas pembantu. Tahun 2011, cakupan pasien rawat jalan di puskesmas
sekitar 20,2 persen dari jumlah penduduk, yakni 474.246 orang. Jumlah ini lebih
kecil dibandingkan tahun 2010, di mana cakupan pasien rawat jalan mencapai
63,43 persen dari jumlah penduduk, yakni 1,519 juta orang. Sementara itu
cakupan pelayanan rawat inap di puskesmas lebih kecil lagi, dan mengalami
penurunan. Tahun 2010, cakupan pelayanan rawat inap sekitar 4 persen dari
jumlah warga Jember atau sekitar 95.843 orang. Tahun 2011 terjadi penurunan
tinggal 1,6 persen, atau sekitar 39.323 orang.
Puskesmas di Jember juga baru bisa mencakup 34,69 persen warga miskin
pada tahun 2011. Jumlah total warga miskin di Jember adalah 695.360 orang.
Namun puskesmas baru bisa melayani 241.225 orang miskin (beritajatim.com,
2012). Pada tahun 2010, tercatat juga Kabupaten Jember memiliki 2.819
posyandu yang tersebar di setiap desa/kelurahan (bpp.depdagri.go.id, tanpa
tahun).
9
2. Pelayanan kesehatan rujukan
Kabupaten Jember memiliki RSD dr. Soebandi Jember yang merupakan
rumah sakit terbesar di Jawa Timur bagian timur, yang merupakan tempat rujukan
dari rumah sakit-rumah sakit maupun puskesmas-puskesmas di wilayah timur
Jawa Timur. RSD dr. Soebandi mempunyai peranan yang semakin besar dan
menjadi sentral kesehatan wilayah eks Karesidenan Besuki. Namun proses
rujukan di kabupaten Jember antara pelayanan tingkat dasar dan tingkat lanjut di
daerah pedesaan masih sering ditemukan masalah yang kompleks. Macintyre dan
Hotchkiss (1999) menguraikan bahwa masalah dalam proses rujukan meliputi
mutu pelayanan yang kurang baik, ketersediaan tenaga terampil yang rendah
begitu juga suplai obat dan peralatan diagnose medis yang tidak cukup serta
infrastruktur komunikasi dan transportasi yang kurang memadai.
3. Pelayanan jaminan kesehatan masyarakat
Bantuan dana Jampersal (Jaminan Persalinan) bagi ibu-ibu hamil dari
golongan non Askes (Asuransi Kesehatan), belum mampu menurunkan angka
kematian ibu melahirkan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Meski Jampersal
memberikan layanan gratis bagi ibu melahirkan di bidan, rumah sakit hingga
melahirkan lewat operasi cesar, namun tetap saja angka kematian ibu melahirkan
terbilang tinggi (www. jaringnews.com, 2012). Pemkab Jember sejak 1 Januari
2006 lalu yakni menggratiskan rawat jalan bagi masyarakat di puskesmas,
kebijakan tersebut mungkin baru ada di Kabupaten Jember dan hal tersebut belum
pernah ada. Berobat gratis di puskesmas tersebut bukan hanya untuk masyarakat
miskin tapi juga untuk semua kalangan , sehingga tidak alasan bagi masyarakat
untuk tidak ada alasan untuk berobat ke puskesmas. Kebijakan rawat jalan gratis
tersebut juga ditunjang dengan peningkatan dan pemeliharaan mutu lembaga
pelayanan kesehatan, baik melalui pemberdayaan sumber daya manusia (SDM)
secara berkelanjutan dan pemeliharaan sarana medis, termasuk ketersediaan obat
yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Jemberpost.com, tanpa tahun).
4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
10
Dalam hal pencegahan dan pemberantasan penyakit, kabupaten Jember
telah berupaya dengan sangat keras untuk meminimalkan persebaran penyakit,
terutama penyakit TBC. Salah satunya dengan memberikan suatu jaminan
pelayanan kesehatan gratis agar para masyarakat mengakses pelayanan kesehatan
ketika mereka mengalami sakit.
2.4 Situasi sumber daya kesehatan
1. Sarana kesehatanUntuk melayani kesehatan masyarakat di Kota Jember telah dipenuhi oleh
Rumah Sakit Umum, RS Khusus, RS Bersalin, Puskesmas, Puskesmas pembantu,
Posyandu dan Puskesmas keliling. Persebaran fasilitas kesehatan tersebut
berdasarkan data tahun 1990 telah mencukupi untuk skala pelayanan kota.
Kabupaten Jember memiliki RSD dr. Soebandi Jember yang merupakan rumah
sakit terbesar di Jawa Timur bagian timur, yang merupakan tempat rujukan dari
rumah sakit-rumah sakit maupun puskesmas-puskesmas di wilayah timur Jawa
Timur. Ketersediaan sarana dan prasarana di bidang kesehatan tahun 2004 antara
lain Rumah Sakit Umum 7 buah, Rumah Sakit Khusus Paru-Paru 1 buah, Rumah
Sakit Bersalin 6 buah, Puskesmas 49 buah, Puskesmas Pembantu 131 buah,
Puskesmas Keliling 28 buah, dan didukung oleh keberadaan Laboratorium 6 buah,
Posyandu 2.755 buah. Puskesmas dan Puskesmas Pembantu sebagai Upaya
Kesehatan Masyarakat yang tersebar di seluruh kecamatan, kondisi fisik perlu
mendapat perhatian karena dari 49 Puskesmas yang ada, 3 Puskesmas (7%) rusak
berat, 27 Puskesmas (55%) rusak ringan dan 19 Puskesmas (38%) dalam kondisi
baik. Kondisi Puskesmas Pembantu dari sejumlah 131 buah, terdapat 45 buah
(34%) dalam kondisi baik, 56 buah (43%) rusak ringan, dan 30 buah (23%) rusak
berat (www.suwitogeografi.blogspot.com, 2010).
2. Tenaga kesehatanTercatat data di BKD Jember jumlah pegawai negeri sipil (PNS) tenaga
medis di Kabupaten Jember sebanyak 1.703 orang, di antaranya bidan sebanyak
357 orang, perawat sebanyak 1.018 orang, dan dokter umum sebanyak 89 orang.
Kabupaten Jember juga belum memiliki PNS dokter spesialis gigi dan spesialis
forensik. Serta masih memerlukan sebanyak 234 bidan dan 602 perawat untuk
11
ditempatkan di puskesmas-puskesmas. Di Kabupaten Jember tidak sedikit ibu
melahirkan memilih memanfaatkan jasa dukun beranak. Pasalnya, keberadaan
dukun beranak ini lebih mudah dijangkau oleh warga terdekat. Berdasarkan data
yang dicatat Dinas Kesehatan Jember, di Kabupaten Jember terdapat 1.100 dukun
beranak. Sedangkan jumlah bidan hanya 357 orang.
3. Pembiayaan kesehatanMasyarakat di Kabupaten Jember banyak yang menggunakan jaminan
kesehatan atau asuransi kesehatan saat mengunjungi pelayanan kesehatan.
Dikarenakan garis kemiskinan yang masih tinggi di daerah Jember, biasanya saat
pergi ke pelayanan kesehatan, banyak warga yang menggunakan surat keterangan
miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan.
2.5 Perbandingan Indonesia dengan negara anggota ASEAN dan SEARO
1. KependudukanMenururt World Populations Data Sheet 2008, pada pertengahan tahun
2008, Indonesia adalah Negara dengan penduduk terbanyak di antara Negara
ASEAN lainnya d engan jumlah penduduk 239,9 juta jiwa. Dengan wilayah
terluas, Indonesia selalu menempati peringkat satu Negara dengan jumlah
penduduk tertinggi di ASEAN. Di SEARO, Indonesia menampati peringkat kedua
setelah India dengan jumlah penduduk 1.149,3 juta jiwa. Jika ditinjau dari
kepadatan penduduk, Singapura tercatat sebagai Negara yang paling padat di
kawasan ASEAN yaitu 7.013 penduduk per km2. Di kawasan SEARO, Maladewa
merupakan Negara dengan kepadatan penduduk tertinggi yaitu 1.040 jiwa per
km2. Kepadatan penduduk Inonesia sebesar 126 jiwa per km2 dan terus meningkat
tiap tahunnya (Profil Kesehatan Indonesia 2008, 2009).
Indeks Pembangunan Manusia Negara ASEAN dengan kategori sangat
tinggi adalah Singapura. Indonesia berada pada kategori sedang dengan Indeks
sebesar 0,729.
2. Derajat kesehatanIndonesia dengan angka kematian kasar 6 kematian per 1.000 berada pada
peringkat ke-5 tertinggi di ASEAN. Di kawasan SEARO, Indonesia menduduki
peringkat ke 2 terendah. Di kawasan ASEAN, Indonnesia dengan harapan hidup
12
waktu lahir 70 tahun menempati peringkat ke-6 tertinggi, sedangkan kaasan
SEARO menempati peringkat ke-5 tertinggi. Prevalensi TB di Indonesia
mencapai 326 per 100.000 penduduk berada pada urutan 6 tertinggi. Sementara
Singapura berada pada peringkat paling bawah dengan 27 kasus per 100.000
penduduk.
3. Upaya kesehatan
Di Indonesia dibuat suatu Strategi Nasional Program Penanggulangan
TBC tahun 2010-2014 yang terdiri dari 7 strategi, 4 strategi umum yang didukung
oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh strategi ini merupakan upaya yang
berkesinambungan dari strategi nasional sebelumnya, dengan rumusan strategi
yang mempertajam respons terhadap tantangan pada saat ini. Strategi umum yang
dikembangkan adalah :
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu;
2. Menghadapi tantangan TB/HIV (human immunodeficiency virus),
multi drugs resistence (MDR)-TB, TB Anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya;
3. Melibatkan seluruh penyedia layanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan dan swasta, melalui pendekatan Public–
Private Mix (PPM) dan menjamin kepatuhan terhadap International
Standard for TB Care;
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB;
Pencapaian keempat strategi umum di atas harus didukung oleh strategii
fungsional untuk memperkuat fungsi-fungsi managerial dalam program
penanggulangan TB. Strategi fungsional tersebut adalah :
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB;
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap
program TB;
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis (www.perdhaki.org, 2012).
13
Rencana strategis regional Asia Tenggara untuk Pengendalian TB 2006 –
2010 disusun berdasarkan rencana global, pencapaian dan tantangan di Asia
Tenggara serta prioritas utama di masa depan. Negara-negara di kawasan ini
didorong untuk memfokuskan kegiatannya dengan strategi sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan memperluas pelayanan DOTS yang berkualitas agar
dapat menjangkau seluruh pasien TB, meningkatkan tingkat penemuan
kasus dan keberhasilan pengobatan;
2. Menetapkan intervensi untuk menghadapi tantangan TB/HIV dan MDR-
TB;
3. Memperkuat kemitraan dalam menyediakan akses dan standar pelayanan
yangdiperlukan bagi seluruh pasien TB; dan
4. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan (Kemenkes, 2011).
Pada tahun 2007, cakupan imunisasi BCG tertinggi di antara Negara
anggota ASEAN dicapai oleh Thailand dan Malaysia dengan cakupan mencapai
99 %. Sedangkan Indonesia berhasil mencapai cakupan 91% untuk imunisasi
BCG. Pada tahun 2007, 80% Negara ASEAN telah mencapai target penemuan
kasus TB yang ditetapkan WHO sebesar 70%. Myanmar telah mencapai angka
penemuan sebesar 100%. Sednagkan Indonesia masih belum mencapai target
WHO yaitu 68%. Namun, Indonesia sudah mencapai target angka kesembuhan
sesuai target yaitu 91%.
2.6 Analisis situasi
1. Perencanaan
Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada
periode 2010-2014 sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten/kota untuk
merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB. Pencapaian utama
selama periode ini adalah: (1) Pengembangan rencana strategis 2002-2006; (2)
Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan
provinsi; (3) Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari
pengembangan sumberdaya manusia; (4) Kerja sama internasional dalam
memberikan dukungan teknis dan pendanaan (pemerintah Belanda, WHO,
14
TBCTA-CIDA, USAID, GDF, GFATM, KNCV, UAB, IUATLD, dll); (5)
Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah; (6) Perbaikan supervisi
dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi; dan (7) Keterlibatan BP4 dan
rumah sakit pemerintah dan swasta dalam melaksanakan strategi DOTS melalui
uji coba HDL di Jogjakarta (Stranas TB, 2011).
Keadaan yang terjadi di Jember bahwa maslaah yang masih terjad yaitu
kurangya pendanaan dan blum adanya kader khusus kasus TB. Hal ini diakibatkan
oleh kurangnya kemitraan yang dibangun dengan masyarakat lokal. Program yang
selama ini disusun masih belum berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
2. Pengorganisasian
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara
administratif berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan,
yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang bernaung di
bawah Ditjen P2PL). Pembinaan Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya
Kesehatan dan merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan dari
subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah sakit berada di bawah Ditjen
Bina Upaya Kesehatan. Pelayanan TB juga diselenggarakan di praktik swasta,
rutan/lapas, militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada
di dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama antar
Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat diperlukan dalam
menerapkan program pengendalian TB yang terpadu.
Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang
punggung dalam program pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota memiliki
sejumlah FPK primer berbentuk Puskesmas, terdiri dari Puskesmas Rujukan
Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri
(PPM).
Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan program kesehatan, termasuk perencanaan, pembiayaan dan
pemantauan pelayanannya. Di seki P2M Wakil supervisor (wasor) TB
bertanggung jawab atas pemantauan program, register dan ketersediaan obat.
Pemantauan pengobatan di bawah tanggung jawab tenaga di FPK dan pada
15
umumnya peran Pengawasan Minum Obat (PMO) dilakukan oleh anggota
keluarga. Di tingkat Provinsi, telah dibentuk tim inti DOTS yang terdiri dari
Provincial Project Officer (PPO) serta staf Dinas Kesehatan, khususnya di
provinsi dengan beban TB yang tinggi. Di beberapa provinsi dengan wilayah
geografis yang luas dan jumlah FPK yang besar, telah mulai dikembangkan sistem
klaster kabupaten/kota yang bertujuan utama untuk meningkatkan mutu
implementasi strategi DOTS di rumah sakit. Rutan, lapas serta tempat kerja telah
terlibat pula dalam program pengendalian TB melalui jejaring dengan
Kabupaten/kota dan Puskesmas.
Di kabupaten Jember, program yang dibangun kurang menjalin kemitraan
dengan pihak terkait baik itu Toga atau Toma. Peran Toga dan Toma dapat
menjadi sebagai motivator untuk kelompok penderita dan kelompok risiko untuk
tetap berkomitmn terhadap pengobatan atau utnuk melakukan penmeriksaan dini
ketika dicurigai adanya TB. Sistem pelaporan kasus baru Tb juga masih belum
ada alur pelaporan yang jelas. Pemerintah belum mengoptimalkan peran pihak
swasta untuk program penanggulangan TB. Pihak swasta dapat berperan penting
dalam upaya pencegahan, pengobatan, dan pelaporan kasus TB.
3. Pengarahan
Desentralisasi pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap kapasitas
sumber daya manusia dan pengembangan program pengendalian TB. Meskipun
dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di rumah
sakit telah dilatih, program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber
daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi faktor keterbatasan
jumlah staf, rotasi staf di fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan serta
kesinambungan antar pelatihan juga menjadi tantangan dalam pengembangan
sumber daya manusia di era desentralisasi. Konsekuensi dari kebutuhan pelatihan
yang tinggi adalah kebutuhan ketersediaan fasilitator tambahan dengan jumlah,
keterampilan dan keahlian spesifik yang memadai (Stranas TB, 2011).
4. Pengawasan
Supervisi sebagai salah satu metode untuk peningkatan kinerja sumber
daya manusia belum dioptimalkan. Dengan lemahnya sistem informasi sumber
16
daya manusia dalam program pengendalian TB serta praktik supervisi pada saat
ini, maka ketergantungan program pada pelatihan tetap tinggi. Konsekuensi yang
ditimbulkan adalah penilaian kebutuhan pelatihan, pengembangan metode
pelatihan yang tepat, serta evaluasi efektivitas dan efektivitas biaya pelatihan
merupakan prioritas untuk riset operasional.
Monitoring dan evaluasi seharusnya dilakukan melalui kegiatan supervisi
(on the job training) dan pertemuan triwulanan di berbagai tingkat. Akibat
kekurangan sumber daya (SDM, dana dan logistik) supervisi di provinsi dan
kabupaten/kota tidak dilaksanakan secara rutin, sementara tantangan dalam
program TB semakin kompleks. Pengembangan sistem informasi elektronik dan
sistem informasi geografis direncanakan untuk meningkatkan kualitas
perencanaan dan penanganan penderita yang lebih baik. Selain itu, pertemuan
monitoring dan evaluasi triwulanan juga dilaksanakan di tingkat Puskesmas,
sebagai upaya untuk meningkatkan mutu laboratorium, memvalidasi data dan
mengoptimalkan jejaring TB.
17
BAB 3. MASALAH PROGRAM MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
3.1 Analisis Masalah Fish Bone
18
Planning
ActuatingControlling
Organizing
Belum ada kader khusus pengendalian TB
Program yang ada belum bersifat pemberdayaan
masyarakat
Sarana untuk sosialisasi TB masih kurang
Rendahnya cakupan angka penemuan kasus TB
Belum optimalnya kegiatan penawas minum
obat
Kurangnya anggaran khusus untuk kegiatan
pengendalian TBC
Masyarakat masih kesulitan untuk
mendapatkan pelayanan dasar TB
Tingkat pengetahuan masyarakat yang masoh
kurang
Ada sebagian masyarakat yang mengannggap obat TB tidak gratis
Kurangnya kegiatan supervise dari pemerintah
Penyusunan program belum berdasarkan
kebutuhan masyarakat
Tidak adanya pendataan dan pencatatan pasien positif TB yang memeriksakan diri ke pelyanan kesehatan swasta
Sulitnya menggerakkan masyarakat berisiko untuk melaukukan pemeriksaaan
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap penanggulangan TB
Belum ada pemanfaatan tokoh masyarakat dan
tokoh agama untuk mendukung kegiatan penanggulangan TB
Kurangnya kerja sama dengan pihak swasta dan
lintas sektor
Belum ada alur yang jelas tentang pelaporan kasus
TB
Kurangnya kemitraan yang dijalin untuk
penanggulangan Tb
Masalah Manajemen:1. Belum adanya kader khusus TB2. Belum optimalnya program
pengendalian TB berbasis masyarakat
3. Terbatasnya sumber daya dan sarana untuk sosialisasi penyakit TB
4. Belum optimalnya kemitraan yang dibangun untuk penanggulangan TB
5. Kurang optimalnya kerja sama lintas sector
6. Sulitnya mengeerakkan masyarakat yang berisiko untuk melakukan pemeriksaan
7. Kurang optimalnya kegiatan pengawas minum obat
8. Rendahnya cakupan penemuan kasus TB
9. Kurang optimalnya perhatian dan kegiatan supervise pemerintah
10. Belum adanya sistem pelaporan yang jelas
11. Tidak adanya pendataan dan pencatatan pasien yang memeriksakan diri ke pelayanan swasta
3.2 Daftar Masalah Manajemen Pelayanan Kesehatan
Rumusan masalah manajemen pelayanan kesehatan antara lain:
1. Belum optimalnya kemitraan yang dibentuk berhubungan dengan belum
adanya program pemerintah yang bersumberdaya masyarakat dalam
penanggulangan TB
2. Rendahnya cakupan penemuan kasus baru TB berhubungan dengan tidak
adanya alur pelaporan yang jelas; tidak adanya pendataan dan pencatatan
pasien yang positif TB yang memeriksakan diri ke palayanan kesehatan
swasta.
3.3 Prioritas Masalah
Penentuan Peringkat Masalah
No Masal
ah
Besarnya
Masalah
Tingkat
Kegawata
n Masalah
Kemudahan
Penanggulang
an Masalah
P E A R L
0-10 0-10 0,5-1,5 0/1 0/1 0/1 0/1 0/1
1 1 8 7 1,3 1 1 1 1 1
2 2 7 6 0,7 1 0 1 0 1
Tabel 1.1 Penentuan Peringkat Masalah
19
BAB 4. PERENCANAAN
4.1 Perencanaan
No Diagnosa Tujuan Rencana Kegiatan Aktivitas Evaluasi
Indikator Evaluator
1 Belum optimalnya
kemitraan yang dibentuk
berhubungan dengan
belum adanya program
pemerintah yang
bersumberdaya
masyarakat dalam
penanggulangan TB
TUM:
kemitraan
antara
pemerintah
dengan pihak
swasta atau
masyarakat di
kelurahan X
dapat optimal
setelah
dilakukan
pembinaan
selama 1
minggu
1. Pemberdayaan
masyarakat
melalui pelatihan
Toga dan Toma,
dan TB on call,
dan pembentukan
komunitas TB.
1.1 memberikan
pengarahan
kepada Toga
dan Toma
tentang
penanggulan
gan TB
melalui
pembentuka
n kelompok
komunitas
TB
1.2 Pelayanan
1.1.1 terlaksananya
pengarahan Toga
dan Toma untuk
program
penanggulangan TB
1.1.2 terbentuknya
kelompok penderita
TB beserta struktur
organisasinya
1.1.3 terbinanya
individu yang
berisiko/bermsalah
dengan TB
1.2.1 terbentuknya
Mahasiswa
Masyarakat
Kader
Mahasiswa
20
TUK:
terbentuknya
kader dan
sarana TB on
call dengan
difasilitasi oleh
Tokoh agama
dan tokoh
masyarakat
TB on call jaringan TB on call
1.2.2 terbentuknya
alur pelaporan TB
yang jelas melalui
TB on call
1.2.3
Terselenggaranya
pelayanan yang rutin
melalui TB on call
1.2.4 terbentuknya
kerjasama antara
masyarakat dengan
Puskesmas melalui
TB on call
Masyarakat
Kader
2. Rendahnya cakupan
penemuan kasus baru TB
berhubungan dengan
tidak adanya alur
TUM:
Cakupan
penemuan
Kasus baru TB
1. Menjalin
kerjasama
dengan pihak
swasta (praktek
1.1 melakukan
pertemuan
dengan seluruh
pihak swasta
1.1.1
terselenggaranya
pertemuan yang
dihadiri oleh
Mahasiswa
Masyarakat
kader
21
pelaporan yang jelas; tidak
adanya pendataan dan
pencatatan pasien yang
positif TB yang
memeriksakan diri ke
palayanan kesehatan
swasta
dalam angka
100%
TUK:
tersedianya
sistem
pelaporan
kasus baru
yang jelas dan
terkoordinasi
dokter, bidan,
perawat, dan
LSM)
yang ada di
kelurahan X
minimal 80% pihak
swasta yang ada di
kelurahan X
1.1.2 terdapatnya
kerjasama tentang
pelaporan pasien TB
ke pihak Puskesmas
Tabel 1.2 Perencanaan
4.2 POA (Plan of Action)
No Rencana Kegiatan Tujuan Kegiatan Sumberdaya
Penanggung Jawab Waktu
Pelaksanaan
Alokasi Dana Tempat
Pelaksanaan
1 Pemberdayaan masyarakat
melalui pembentukan
kader, pelatihan Toga dan
Toma, dan TB on call
1. Terbentuknya kader TB
2. Melaksanakan pelatihan
kader dan pengarahan
Toga dan Toma
3. Terbentuknya sistem
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak Puskesmas
Pengurus Kelompok
TB
Minggu I-II Swadana
Masyarakat
Donatur
Kelurahan X
22
pelaporan yang jelas
melalui TB on call
4. Terbentuknya kelompok
TB beserta dengan
struktur organisasinya
2. Menjalin kerjasama
dengan pihak swasta
(praktek dokter, bidan,
perawat, dan LSM)
1. Terselenggaranya
pertemuan pihak Swasta
(Bidan, Perawat, Dokter,
dan LSM)
2. Tingkat penemuan kasus
TB mencapai angka
100%
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak swasta
Puskesmas
Minggu I-II Swadana
masyarakat
Donatur
Kelurahan X
Tabel 1.3 POA (Plan of Action)
23
BAB 5. IMPLEMENTASI
5.1 Pilot Project
a. Judul Program: Pemberdayaan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat
sebagai wujud kemitraan.
b. Desripsi Komunitas:
Komunitas di Kelurahan X masih memiliki pengetahuan yang kurang
terkait TB. Masyarakat masih belum banyak mengetahui tentang
pengobatn, pencegahan, lingkungan yang baik agar tidak terjadi TB.
Selama ini, pemerintah masih belum membangun kemitraan sebagai
tunggak utama dalam pengendalian TB di Kelurahan X.
c. Diagnosis Manajemen Pelayanan Kesehatan Komunitas:
Belum optimalnya kemitraan yang dibentuk berhubungan dengan belum
adanya program pemerintah yang bersumberdaya masyarakat dalam
penanggulangan TB
d. Deskripsi Populasi Target
Masyarakat kelurahan X belum menyadari pentingnya pergerakan
mnasyarakat untuk penanggulangan TB. Sulitnya menggerakkan
masyarakat untuk berobat dan melakukan pemeriksaan merupakan
masalah besar yang ada pada komunitas X.
e. Model Program Perencanaan
Gambar 1.2 Model Program Perencanaan
24
Puskesmas
Kelompok
Berisiko/Kasus
Toga/Toma
Mahasiswa
Kearifan Lokal
f. Deskripsi Program
Program ini dilaksanakan sebagai bentuk strategi pemerintah untuk
penanggulangan TB berbasis pada penberdayaan masyarakan dan pasien
TB sesuai dengan Strategi Nasional Penanggulangan TB. Kemitraan ini
dibangun antara pihak pemerintah dalam hal ini adalah Puskesmas dengan
anggota masyarakat yang terdiri dari kelompok Toga atau Toma, Kader
Tb, dan kelompok berisiko atau bermasalah TB. Mahasiswa bertindak
sebagai pengampu program dengan menjadi fasilitator antara Pemerintah
dengan masyarakat.
Alur koordinasi dapat digambarkan dengan gambar di atas.
Mahasiswa berkoordinasi dengan puskesmas tentang akan
terselenggaranya program ini. Kemudian mahasiswa dan Puskesmas akan
memberikan pengarahan terhadap Toga dan Toma yang ada di Kelurahan
X. Pengarahan yang diberikan terkait dengan pembentukan kelompok TB
dan program TB on Call. Toga dan Toma juga berperan dalam pemberian
motivasi dan pembentukan kelompok TB. Toga dan Toma menjalankan
fungsinya sesuai dengan kerifan lokal daerah tersebut.
Toga dan Toma beserta kelompok TB diberikan pelatihan tentang
screening awal individu diduga TB dan menjadi pengawas minum obat
untuk penderita TB yang sedang menjalani pengobatan TB. Dalam
pelaksanaannya akan difasilitasi untuk pembentukan jadwal rutin
kunjungan ke wilayah di Kelurahannya. Toga dan Toma berperan sebagai
pengampu kegiatan TB on Call. Pelayanan TB on Call ditujukan apabila
ada individu yang dicurigai terkena TB, ada kondisi gawat terkait TB, dan
koordinasi jadwal kunjungan Puskesmas.
Kelompok penderita TB akan dibentuk kelompok yang akan dibina
agar tetap produktif. Selain itu, kelompok TB juga memiliki tugas untuk
memberikan penguatan kepada penderita TB yang mengalami depresi atau
kecemasan dan yang sedang menjalani program pengobatan
g. Tujuan Program
25
Untuk meningkatkan peran serta masyarakat terhadap
penanggulangan TB sesuai dengan kearifan lokal daerah tersebut.
h. Kriteria Evaluasi Program
Kriteria evaluasi yang dapat disusun adalah:
1. terlaksananya pengarahan Toga dan Toma untuk program
penanggulangan TB
2. terbentuknya kelompok penderita TB beserta struktur organisasinya
3. terbinanya individu yang berisiko/bermsalah dengan TB
4. terbentuknya jaringan TB on call
5. terbentuknya alur pelaporan TB yang jelas melalui TB on call
6. Terselenggaranya pelayanan yang rutin melalui TB on call
7. terbentuknya kerjasama antara masyarakat dengan Puskesmas melalui
TB on call
i. Aktivitas Intervensi Program
Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan program adalah
memberikan pengarahan kepada Toga dan Toma tentang penanggulangan
TB melalui pembentukan kelompok komunitas TB dan pembentukan
jejaring pelayanan TB on call
j. Sumber-sumber dan Keterbatasan
Keterbatasan yang mungkin dapat diidentifikasi adalah kurangnya jumlah
Toga/Toma untuk mencakup wilayah yang luas. Apabila daerah tersebut
terpencil, maka pelayanan Tb on call mungkin dapat terganggu.
Sumber-sumber yang dapat mendukung program ini adalah kegiatan
keagamaan yang beragam di daerah tersebut dapat digunakan sebagai
sarana sosialisasi program tanpa memerlukan tempat dan waktu khusus.
k. Rencana Dana
Poster sosialisasi 10 buah = Rp. 100.000
Konsumsi acara pengarahan Toga dan Toma
Sebanyak 20 orang = Rp. 200.000
= Rp. 300.000
26
5.2 Tingkat Kegiatan Implementasi di Komunitas
No Level Target Intervensi
1 Downstream Individu Pendidikan kesehatan
Konseling
2 Midstream Komunitas Kemitraan dengan
masyarakat
TB on Call
3 Upstream Pemerintah Koordinasi dengan
Puskesmas terkait
keberlangsungan
Program
Tabel 1.4 Tingkat Kegiatan Implementasi di Komunitas
27
BAB 6. EVALUASI
Kriteria evaluasi yang dapat disusun adalah:
1. terlaksananya pengarahan Toga dan Toma untuk program penanggulangan
TB
2. terbentuknya kelompok penderita TB beserta struktur organisasinya
3. terbinanya individu yang berisiko/bermsalah dengan TB
4. terbentuknya jaringan TB on call
5. terbentuknya alur pelaporan TB yang jelas melalui TB on call
6. Terselenggaranya pelayanan yang rutin melalui TB on call
7. terbentuknya kerjasama antara masyarakat dengan Puskesmas melalui TB
on call
6.1 Evaluasi Formatif
Program ini dikembangkan berdasarkan strategi pendekatan berbasis
masyarakat. Apa yang ada di masyarakat akan dimanfaatkan sebagai sumber daya
demi terlaksananya program. Pengkajian ke komunitas dilakukan berdasarkan
data statistic dan wawancara ke pihak Puskesmas, Kecamatan, Desa, dan beberapa
Toga/Toma. Hasil yang diharapkan adalah Terbentuknya kemitraan yang efektif
antara pemerintah dan masyarakat. Kemitraan tersebut akan mendukung untuk
cakupan penemuan kasus baru, pengawasan minum obat, pemberdayaan
masyarakat yang terkena TB, dan terbentuknya alur sistem pelaporan yang jelas.
6.2 Evaluasi Proses
Aktivitas program yang akan dijalankan adalah melakukan pengarahan
kepada Toga/Toma, membentuk kelompok komunitas TB, dan pelayanan TB on
Call. Pengarahan Toga/Toma berisi tentang peran dan tugas Toga/Toma sebagai
Pengawas Minum Obat, coordinator kasus, dan motivator untuk seluruh kalangan.
Pembentukan kelompok TB adalah sebagai wadah lembaga kepedulian sosisl
terhadap penderita TB yang berfungsi sebagai support sistem untuk penderita.
28
Layanan TB on call digunakan sebagai alur pelaporan melalui telepon yang dinilai
akan lebih efektif.
6.3 Evaluasi Sumatif
Peran dari Toga/Toma untuk memberikan motivasi untuk seluruh kalangan
dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat. Dari kesadaran ini, diharapkan
masyarakat dapat menunjukkan perubahan perilaku yang adaptif. Kelompok
komunitas TB juga akan memberikan peranan yang sama sebagai agen perubahan
di dalam komunitas. Selain itu, adanya leyanan TB on Call juga akan memebrikan
manfaat tentang sistem pelaporan yang praktis dan cepat kepada pihak yang
berwenang untuk melakukan tindak lanjut kasus.
29
BAB 7. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
7.2 Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008.
Jakarta:Dapkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana Aksi Nasional TB-HIV PEngendalian
Tuberkulosis 2011-2014. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian KesehatanRI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia
2010-2014. Jakarta: Kemenkes RI.
Fahrudda, Ansarul, et al. tanpa tahun. Pendekatan Kemitraan Berbasis Masyarakat
dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis. Kebijakan Kemitraan pada
Impelemantasi DOTS di Jawa Timur.
31