penyusunan program tbc ck

27
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit pernafasan menular yang banyak terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya setiap 100.000 penduduk terdapat 115 penderita baru TB paru dengan BTA positif. Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia produktif. Di provinsi Jawa Timur sendiri penyebaran penyakit TBC sangat memprihatinkan. Data yang didapat di Departemen Kesehatan, penderita penyakit TBC di Jawa Timur menempati urutan ke-3 setelah Jakarta. Didapatkan untuk jumlah penderita TBC baru di Jatim tahun 2010 kemarin mencapai 23.146 penderita. Sedangkan Case Detection Rate (CDR) pada tahun 2011 adalah 65%, dengan jumlah kasus TB BTA positif sebanyak 21.477 penderita. Sementara daerah yang terbanyak menderita penyakit TBC di daerah Jawa Timur adalah Madura dan Jember. Di Kabupaten Jember, terdapat 2.591 orang yang diperiksa untuk mengetahui status TB parunya. Dari jumlah itu terdapat

Upload: retno-utami

Post on 11-Aug-2015

50 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penyusunan Program TBC CK

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit pernafasan menular yang banyak

terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan sekitar

sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.

Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada

negara-negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap

tahunnya setiap 100.000 penduduk terdapat  115 penderita baru TB paru dengan

BTA positif. Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia produktif. Di

provinsi Jawa Timur sendiri penyebaran penyakit TBC sangat memprihatinkan.

Data yang didapat di Departemen Kesehatan, penderita penyakit TBC di Jawa

Timur menempati urutan ke-3 setelah Jakarta. Didapatkan untuk jumlah penderita

TBC baru di Jatim tahun 2010 kemarin mencapai 23.146 penderita. Sedangkan

Case Detection Rate (CDR) pada tahun 2011 adalah 65%, dengan jumlah kasus

TB BTA positif sebanyak 21.477 penderita. Sementara daerah yang terbanyak

menderita penyakit TBC di daerah Jawa Timur adalah Madura dan Jember. Di

Kabupaten Jember, terdapat 2.591 orang yang diperiksa untuk mengetahui status

TB parunya. Dari jumlah itu terdapat 1.815 orang yang positif TB paru.

Sedangkan yang sembuh mencapai 1.627 orang. Pada tahun 2010, ada

peningkatan jumlah orang yang diduga menderita TB paru yaitu sebanyak 2.662

orang. Dari hasil pemeriksaan diketahui jumlah orang yang positif menderita TB

paru sebanyak 1.943 orang. Untuk tahun 2011 hingga bulan April, sudah ada 736

orang yang diduga menderita TB paru. Dengan hasil positif pada 543 orang.

Angka DO di Jember mencapai 2 sampai 2,5 persen dari total penderita TB paru.

Angka DO yang terbilang cukup tinggi (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember,

2010).

Dengan semakin meningkatnya angka kejadian TBC di Indonesia, maka

untuk menekan angka kejadian TBC di Indonesia dibuatlah Strategi Nasional

Program Penanggulangan TBC tahun 2010-2014 yang terdiri dari 7 strategi, 4

Page 2: Penyusunan Program TBC CK

strategi umum yang didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh strategi ini

merupakan upaya yang berkesinambungan dari strategi nasional sebelumnya,

dengan rumusan strategi yang mempertajam respons terhadap tantangan pada saat

ini. Strategi umum yang dikembangkan adalah :

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu;

2. Menghadapi tantangan TB/HIV (human immunodeficiency virus), multi

drugs resistence (MDR)-TB, TB Anak dan kebutuhan masyarakat

miskin serta rentan lainnya;

3. Melibatkan seluruh penyedia layanan pemerintah, masyarakat

(sukarela), perusahaan dan swasta, melalui pendekatan Public–Private

Mix (PPM) dan menjamin kepatuhan terhadap International Standard

for TB Care;

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB;

Pencapaian keempat strategi umum di atas harus didukung oleh strategii

fungsional untuk memperkuat fungsi-fungsi managerial dalam program

penanggulangan TB. Strategi fungsional tersebut adalah :

5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan

manajemen program pengendalian TB;

6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program

TB;

7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi

strategis (www.perdhaki.org, 2012).

Dari tujuh strategi yang telah disusun oleh Kemenkes, penulis ingin

mengimplementasikan strategi nomor emat yaitu memberdayakan

masyarakat dan pasien TB. Strategi terebut akan dilaksanakan dengan

memanfaatkan peran kearifan local melalui kelompok Mepet di Jember.

1.2 Tujuan

Tujuan Umum

Membangun kemitraan dengan mengoptimalkan kearifan local melalui

kelompk

Page 3: Penyusunan Program TBC CK

Tujuan Khusus

1. Meembentuk kader khusus pengendalian TB

2. Melakukan pelatihan Toga dan Toma sebagai sumber kearifan local

3. Membentuk jejaring TB on call

1.3 Manfaat

1. pemberdayaan masyarakat

2. membantu program penanggulangan TB pemerintah

3. strategi dengan karifan lokal

Page 4: Penyusunan Program TBC CK

BAB 2. PENGKAJIAN

2.1 Gambaran umum dan perilaku penduduk1. Keadaan penduduk

Jember berpenduduk 2.329.929 jiwa (JDA, BPS 2011) dengan

kepadatan rata-rata 707,47 jiwa/km2. Kepadatan penduduk Kabupaten

Jember pada tahun 2000 adalah 664 jiwa/km2. Kemudian meningkat

menjadi 707 jiwa/km pada tahun 2010. Kepadatan penduduk

Kabupaten Jember melebihi garis normatif, namun pola distribusinya

tidak berubah dari tahun ke tahun. Kecamatan dengan penduduk

terjarang adalah Kecamatan Tempurejo dengan tingkat kepadatan 135

jiwa/km2 dan kecamatan terpadat penduduknya adalah Kecamatan

Kaliwates yaitu mencapai 4480 jiwa/Km2. Range yang sangat jauh ini

menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan persebaran penduduk

antar kecamatan di Kabupaten Jember. Kepadatan penduduk berada di

3 kecamatan kota yaitu Kecamatan kaliwates, Sumbersari dan

Kecamatan Patrang,karena di Kecamatan tersebut banyak

pengembangan areal perumahan dan dekat dengan kampus

Universitas Jember (Unej) sehingga banyak penduduk pendatang yang

indekost. Adapun Kecamatan yang masih jarang penduduknya di

kecamatan Tempurejo disusul Kecamatan Silo karena wilayah

kecamatan tersebut sebagian besar terdiri dari Hutan dan areal

perkebunan (Badan Pusat Statistik, 2010). Mayoritas penduduk

Kabupaten Jember terdiri atas Suku Jawa dan Suku Madura, dan

sebagian besar beragama Islam. Selain itu terdapat warga Tionghoa

dan Suku Osing. Rata rata penduduk jember adalah masyarakat

pendatang, Suku Madura dominan di Jember bertempat tinggal di

Page 5: Penyusunan Program TBC CK

daerah utara dan Suku Jawa bertempat tinggal di daerah selatan dan

pesisir pantai.

2. Keadaan ekonomiKegiatan ekonomi ini secara langsung maupun tidak langsung

dapat memperlihatkan cepat dan lambatnya proses perkembangan kota.

Selain itu dapat juga memperlihatkan kecenderungan perkembangan

ekonomi kota. Bagi kota-kota kecamatan di Indonesia, kehidupan

ekonomi kotanya masih lebih banyak ditunjang oleh kegiatan

pertanian. Kondisi ini juga terjadi pada kota Jember dimana sektor

pertanian baik pertanian tanaman pangan maupun holtikultura

(www.ciptakarya.pu.go.id, tanpa tahun). Dengan sebagian besar

penduduk masih bekerja sebagai petani, perekonomian Jember masih

banyak ditunjang dari sektor pertanian. Di Jember terdapat banyak area

perkebunan, sebagian besar peninggalan Belanda. Perkebunan yang

ada dikelola oleh Perusahaan nasional PTP Nusantara, Tarutama

Nusantara (TTN), dan Perusahaan daerah yaitu PDP (Perusahaan

Daerah Perkebunan). Jember terkenal sebagai salah satu daerah

penghasil tembakau utama di Indonesia. Tembakau Jember adalah

tembakau yang digunakan sebagai lapisan luar atau kulit cerutu. Di

pasaran dunia tembakau Jember sangat dikenal di Brehmen, Jerman

dan Belanda.

3. Keadaan pendidikan

Fasilitas pendidikan di Kota Jember meliputi TK, SD, SLTP,

SLTA dan PT/Akademi. Fasilitas-fasilitas pendidikan ini telah tersebar

secara merata di wilayah Kota Jember. Dan jumlah fasilitas ini

semakin mengecil sejalan dengan semakin tingginya tingkat

pendidikan (www.ciptakarya.pu.go.id, tanpa tahun). Ketersediaan

sarana dan prasarana bidang pendidikan tahun 2004 sebagai berikut:

Taman Kanak-kanak 676 buah, SD/sederajat 1.168 buah,

SMP/sederajat 143 buah, SMA/sederajat 140 buah dan Perguruan

Tinggi 11 buah. Khusus SD Negeri terjadi penurunan sebagai akibat

Page 6: Penyusunan Program TBC CK

kebijakan regrouping, dari 1.211 pada tahun 2000 menjadi 1.112 pada

tahun 2004, atau turun sebesar 8,18%. Beberapa perguruan tinggi yang

ada di wilayah Jember seperti Universitas Jember, STAIN Jember,

dan Politeknik Negeri Jember. Selain itu terdapat beberapa perguruan

tinggi swasta yaitu, Universitas Muhammadiyah Jember, Universitas

Islam Jember, Universitas Moch. Seroedji, STIE Kosgoro, IKIP PGRI

Jember, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mandala Jember,

Sekolah Tinggi Assuniyah Alfalah (Staifas) Kencong dan masih

banyak perguruan tinggi lainnya. PPKIA (Pusat Pendidikan Komputer

Indonesia Amerika) salah satu lembaga pendidikan luar sekolah, ada

juga PIKMI (Pusat Pendidkan Program Satu Tahun) yang berbasis

komputer, (MAGISTRA UTAMA).

4. Keadaan kesehatan lingkunganPengelolaan sumber air bersih di Kota Jember dilakukan oleh

PDAM Kabupaten Jember. Sumber yang digunakan adalah sungai,

mata air, sumur dalam dan sumber air permukaan dengan kapasitas

239 lt/dt dengan kondisi baik. Debit sumber air baku mengalami

penurunan karena penebangan pohon-pohon di daerah resapan air.

Pemenuhan kebutuhan air bersih di kota Jember masih sangat kurang

karena air bersih yang tersedia dan air bersih yang dibutuhkan tidak

seimbang. Untuk masalah pengelolaan sampah, Sampah di kota

Jember dikelola oleh DKP Kabupaten Jember, dan kemudian diolah di

TPA Kertosari dengan sistem controlled landfill. Dengan asumsi

timbulan sampah untuk kota sedang sebesar 3 liter/orang/hari, maka

diasumsikan jumlah sampah yang perlu dikelola di kota Jember adalah

sebesar 733,02 m3/hari. Pengelolaan air limbah/air buangan di kota

Jember dilakukan secara on-site, yaitu secara individual pada masing-

masing rumah tangga dan komunal dengan memanfaatkan fasilitas

umum seperti jamban umum, MCK dengan tangki septik dan cubluk

serta saluran lainnya seperti sungai dan kolam. Perkiraan produksi

Page 7: Penyusunan Program TBC CK

limbah di Kota Jember adalah 48.868 lt/org/hr. Jumlah truk tinja di

Kota Jember adalah 2 buah dengan keadaan yang baik.

5. Keadaan perilaku masyarakatMasyarakat di Kabupaten Jember masih memiliki kebiasaan buruk

yang berkaitan dengan kesehatan, contohnya adalah, pola makan

terbalik, saat bayi dan anak-anak, warga Jember tidak cukup diberi

makan protein. Sementara, justru di masa dewasa, warga makan

makanan berprotein tinggi dan berlemak. Kedua, pengetahuan

mengenai air susu ibu yang keliru. Ketiga, persiapan kehamilan yang

salah. Keempat, gemar minum obat sembarangan. Kelima, gemar

merokok. Keenam, banyak warga yang malas untuk berolahraga, dan

ketujuh, kesadaran terhadap kebersihan lingkungan yang masih

rendah. Masyarakat di daerah pedesaan juga masih banyak yang

melakukan buang air besar di sungai yang menyebabkan persebaran

penyakit semakin mudah.

Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan,

sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat

anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang

menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga

pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat

disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua

tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51%

keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB

gratis (Stranas TB, 2011).

Mitos yang terkait dengan penularan TB masih dijumpai di

masyarakat. Sebagai contoh, studi mengenai perjalanan pasien TB

dalam mencari pelayanan di Yogyakarta telah mengidentifikasi

berbagai penyebab TB yang tidak infeksius, misalnya merokok,

alkohol, stres, kelelahan, makanan gorengan, tidur di lantai, dan tidur

larut malam. Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi

dengan meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat

Page 8: Penyusunan Program TBC CK

mengenai TB, mengurangi mitos-mitos TB melalui kampanye pada

kelompok tertentu dan membuat materi penyuluhan yang sesuai

dengan budaya setempat (Stranas TB, 2011).

Survei pada tahun 2004 tersebut juga mengungkapkan pola

pencarian pelayanan kesehatan. Apabila terdapat anggota keluarga

yang mempunyai gejala TB, 66% akan memilih berkunjung ke

Puskesmas, 49% ke dokter praktik swasta, 42% ke rumah sakit

pemerintah, 14% ke rumah sakit swasta dan sebesar 11% ke

bidan atau perawat praktik swasta. Namun pada responden yang

pernah menjalani pengobatan TB, tiga FPK utama yang

digunakan adalah rumah sakit, Puskesmas dan praktik dokter

swasta. Analisis lebih lanjut di tingkat regional menunjukkan

bahwa Puskesmas merupakan FPK utama di KTI, sedangkan

untuk wilayah lain rumah sakit merupakan fasilitas yang utama.

Keterlambatan dalam mengakses fasilitas DOTS untuk diagnosis dan

pengobatan TB merupakan tantangan utama di Indonesia dengan

wilayah geografis yang sangat luas (Stranas TB, 2011)

Masyarakat Jember masih belum memiliki pengetahuan yang

cukup tntang TB. Masyarakat masih belum mengetahui bagaimana

kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan TB. Selain itu, kgagalan

pengobatan yang terjadi sampai saat ini dikarenakan urangnya

kesadaran penderita TB untuk minum obat secara teratur (drop out).

Hal ini juga diperparah dengan kurang optimalnya peran pengawas

minum obat. Masyarakat Jember juga masih belum sadar akn manfaat

dan efektivitas BCG. Hal ini dibuktkan dengan cakupan imunisasi

BCG yang masih rendah.

Munculnya adaptasi maladaptive berupa isolasi social pada

penderita TB diakibatkan oleh stima masyarakat yang masih

memandang penderita TB untuk dikucilkan. Hal ini bahwa masyarakat

takut akan tertular ehingga penderita TB harus dihindari.

2.2 Situasi derajat kesehatan

Page 9: Penyusunan Program TBC CK

1. Mortalitas

Kabupaten Jember menempati rangking kedua terbanyak jumlah

Angka Kematian bayi (AKB) dan ibu (AKI) di Jawa Timur setelah

Probolinggo. Angka Kematian Ibu di Jember mengalami peningkatan

dari tahun ketahun yang mana pada tahun 2008 yaitu 103/100.000 KH

dan pada tahun 2009 AKI sebesar 134/100.000 KH. Tercatat angka

kematian ibu melahirkan pada tahun 2011 lalu tercatat 54 kasus,

sedangkan angka kematian ibu melahirkan di tahun 2012 dari rentang

Januari-Oktober kemarin mencapai 420 kasus kematian ibu

melahirkan. Padahal, dana Jampersal telah digelontorkan bagi ibu

hamil yang hendak melahirkan hingga masa nifas (www.

jaringnews.com, 2012). Pada tahun 2008 dan tahun 2009 kematian ibu

banyak disebabkan oleh perdarahan, dan pada tahun 2010 kematian ibu

banyak disebabkan oleh eklampsi meskipun masih banyak yang

disebabkan oleh perdarahan. Selain disebabkan akibat langsung

kehamilan, komplikasi kehamilan dan persalinan kematian ibu

disebabkan oleh penyakit lain yang semakin memburuk dengan

terjadinya kehamilan dan persalinan yaitu penyakit TBC, Ginjal,

Enchepalitis, Chirosis, dan Pneumoniae. Menurut Humas Dinas

Kesehatan Jember angka kematian bayi yang tinggi ini disebabkan

oleh rendahnya kesadaran ibu untuk melahirkan di bidan atau

puskesmas. Sebagian ibu masih memilih menggunakan jasa dukun

bayi. Jumlah dukun bayi di Jember cukup banyak mencapai 1.200

orang,sedangkan jumlah bidan hanya 420 orang yang tersebar di 49

puskesmas dan praktik swasta (www.seputar-indonesia.com, 2013).

2. MorbiditasJumlah warga yang sakit di Jember cukup tinggi. Data di RS

Daerah dr. Soebandi membenarkan pernyataan tersebut. Sepanjang

tahun 2011, ada 152.172 orang pasien yang berobat di rumah sakit

terbesar di kawasan timur Jawa Timur itu. Ini berarti setiap bulan, RS

dr. Soebandi menerima 12.681 orang pasien. Kalau dirata-rata lagi,

Page 10: Penyusunan Program TBC CK

maka ada 422 orang pasien setiap hari di RSD dr. Soebandi. Jika

dilihat dari SPM Kabupaten Jember tahun 2012 triwulan III didapatkan

penemuan dan penanganan pasien baru TB BTA positif adalah sebesar

1.606 temuan.

3. Dampak kesehatan akibat penyakit

Dengan semakin meningkatnya angka kejadian TBC di daerah

Jember, maka kualitas kesehatan di daerah Jember semakin menurun,

yang nantinya juga berisiko untuk menurunkan angka kualitas hidup di

Kabupaten Jember.

2.3 Situasi upaya kesehatan1. Pelayanan kesehatan dasar

Kabupaten Jember memiliki 49 puskesmas, 28 puskesmas

perawatan, dan 133 puskesmas pembantu. Tahun 2011, cakupan pasien

rawat jalan di puskesmas sekitar 20,2 persen dari jumlah penduduk,

yakni 474.246 orang. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan tahun 2010,

di mana cakupan pasien rawat jalan mencapai 63,43 persen dari jumlah

penduduk, yakni 1,519 juta orang. Sementara itu cakupan pelayanan

rawat inap di puskesmas lebih kecil lagi, dan mengalami penurunan.

Tahun 2010, cakupan pelayanan rawat inap sekitar 4 persen dari

jumlah warga Jember atau sekitar 95.843 orang. Tahun 2011 terjadi

penurunan tinggal 1,6 persen, atau sekitar 39.323 orang.

Puskesmas di Jember juga baru bisa mencakup 34,69 persen warga

miskin pada tahun 2011. Jumlah total warga miskin di Jember adalah

695.360 orang. Namun puskesmas baru bisa melayani 241.225 orang

miskin (beritajatim.com, 2012). Pada tahun 2010, tercatat juga

Kabupaten Jember memiliki 2.819 posyandu yang tersebar di setiap

desa/kelurahan (bpp.depdagri.go.id, tanpa tahun).

2. Pelayanan kesehatan rujukan

Kabupaten Jember memiliki RSD dr. Soebandi Jember yang

merupakan rumah sakit terbesar di Jawa Timur bagian timur, yang

merupakan tempat rujukan dari rumah sakit-rumah sakit maupun

Page 11: Penyusunan Program TBC CK

puskesmas-puskesmas di wilayah timur Jawa Timur. RSD dr.

Soebandi mempunyai peranan yang semakin besar dan menjadi sentral

kesehatan wilayah eks Karesidenan Besuki. Namun proses rujukan di

kabupaten Jember antara pelayanan tingkat dasar dan tingkat lanjut di

daerah pedesaan masih sering ditemukan masalah yang kompleks.

Macintyre dan Hotchkiss ( 1999 ) menguraikan bahwa masalah dalam

proses rujukan meliputi mutu pelayanan yang kurang baik,

ketersediaan tenaga terampil yang rendah begitu juga suplai obat dan

peralatan diagnose medis yang tidak cukup serta infrastruktur

komunikasi dan transportasi yang kurang memadai.

3. Pelayanan jaminan kesehatan masyarakat

Bantuan dana Jampersal (Jaminan Persalinan) bagi ibu-ibu hamil

dari golongan non Askes (Asuransi Kesehatan), belum mampu

menurunkan angka kematian ibu melahirkan di Kabupaten Jember,

Jawa Timur. Meski Jampersal memberikan layanan gratis bagi ibu

melahirkan di bidan, rumah sakit hingga melahirkan lewat operasi

cesar, namun tetap saja angka kematian ibu melahirkan terbilang tinggi

(www. jaringnews.com, 2012). Pemkab Jember sejak 1 Januari 2006

lalu yakni menggratiskan rawat jalan bagi masyarakat di puskesmas,

kebijakan tersebut mungkin baru ada di Kabupaten Jember dan hal

tersebut belum pernah ada. Berobat gratis di puskesmas tersebut bukan

hanya untuk masyarakat miskin tapi juga untuk semua kalangan ,

sehingga tidak alasan bagi masyarakat untuk tidak ada alasan untuk

berobat ke puskesmas. Kebijakan rawat jalan gratis tersebut juga

ditunjang dengan peningkatan dan pemeliharaan mutu lembaga

pelayanan kesehatan, baik melalui pemberdayaan sumber daya

manusia (SDM) secara berkelanjutan dan pemeliharaan sarana medis,

termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat

(Jemberpost.com, tanpa tahun).

4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit

Page 12: Penyusunan Program TBC CK

2.4 Situasi sumber daya kesehatan1. Sarana kesehatan

Untuk melayani kesehatan masyarakat di Kota Jember telah

dipenuhi oleh Rumah Sakit Umum, RS Khusus, RS Bersalin,

Puskesmas, Puskesmas pembantu, Posyandu dan Puskesmas keliling.

Persebaran fasilitas kesehatan tersebut berdasarkan data tahun 1990

telah mencukupi untuk skala pelayanan kota. Kabupaten Jember

memiliki RSD dr. Soebandi Jember yang merupakan rumah sakit

terbesar di Jawa Timur bagian timur, yang merupakan tempat rujukan

dari rumah sakit-rumah sakit maupun puskesmas-puskesmas di

wilayah timur Jawa Timur. Ketersediaan sarana dan prasarana di

bidang kesehatan tahun 2004 sebagai berikut : Rumah Sakit Umum 7

buah, Rumah Sakit Khusus Paru-Paru 1 buah, Rumah Sakit Bersalin 6

buah, Puskesmas 49 buah, Puskesmas Pembantu 131 buah, Puskesmas

Keliling 28 buah, dan didukung oleh keberadaan Laboratorium 6 buah,

Posyandu 2.755 buah. Puskesmas dan Puskesmas Pembantu sebagai

Upaya Kesehatan Masyarakat yang tersebar di seluruh kecamatan,

kondisi fisik perlu mendapat perhatian karena dari 49 Puskesmas yang

ada, 3 Puskesmas (7%) rusak berat, 27 Puskesmas (55%) rusak ringan

dan 19 Puskesmas (38%) dalam kondisi baik. Kondisi Puskesmas

Pembantu dari sejumlah 131 buah, terdapat 45 buah (34%) dalam

kondisi baik, 56 buah (43%) rusak ringan, dan 30 buah (23%) rusak

berat (www.suwitogeografi.blogspot.com, 2010).

2. Tenaga kesehatanTercatat data di BKD Jember jumlah pegawai negeri sipil (PNS)

tenaga medis di Kabupaten Jember sebanyak 1.703 orang, di antaranya

bidan sebanyak 357 orang, perawat sebanyak 1.018 orang, dan dokter

umum sebanyak 89 orang. Kabupaten Jember juga belum memiliki

PNS dokter spesialis gigi dan spesialis forensik. Serta masih

memerlukan sebanyak 234 bidan dan 602 perawat untuk ditempatkan

di puskesmas-puskesmas. Di Kabupaten Jember tidak sedikit ibu

melahirkan memilih memanfaatkan jasa dukun beranak. Pasalnya,

Page 13: Penyusunan Program TBC CK

keberadaan dukun beranak ini lebih mudah dijangkau oleh warga

terdekat. Berdasarkan data yang dicatat Dinas Kesehatan Jember, di

Kabupaten Jember terdapat 1.100 dukun beranak. Sedangkan jumlah

bidan hanya 357 orang.

3. Pembiayaan kesehatanMasyarakat di Kabupaten Jember banyak yang menggunakan

jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan saat mengunjungi

pelayanan kesehatan. Dikarenakan garis kemiskinan yang masih tinggi

di daerah Jember, biasanya saat pergi ke pelayanan kesehatan, banyak

warga yang menggunakan surat keterangan miskin untuk mengakses

pelayanan kesehatan.

2.5 Perbandingan Indonesia dengan negara anggota ASEAN dan SEARO1. Kependudukan

2. Derajat kesehatan

3. Upaya kesehatan

Di Indonesia dibuat suatu Strategi Nasional Program

Penanggulangan TBC tahun 2010-2014 yang terdiri dari 7 strategi, 4

strategi umum yang didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh

strategi ini merupakan upaya yang berkesinambungan dari strategi

nasional sebelumnya, dengan rumusan strategi yang mempertajam

respons terhadap tantangan pada saat ini. Strategi umum yang

dikembangkan adalah :

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu;

2. Menghadapi tantangan TB/HIV (human immunodeficiency

virus), multi drugs resistence (MDR)-TB, TB Anak dan

kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya;

3. Melibatkan seluruh penyedia layanan pemerintah, masyarakat

(sukarela), perusahaan dan swasta, melalui pendekatan Public–

Private Mix (PPM) dan menjamin kepatuhan terhadap

International Standard for TB Care;

Page 14: Penyusunan Program TBC CK

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB;

Pencapaian keempat strategi umum di atas harus didukung

oleh strategii fungsional untuk memperkuat fungsi-fungsi

managerial dalam program penanggulangan TB. Strategi

fungsional tersebut adalah :

5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan

manajemen program pengendalian TB;

6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap

program TB;

7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan

informasi strategis (www.perdhaki.org, 2012).

Rencana strategis regional Asia Tenggara untuk Pengendalian TB

2006 – 2010 disusun berdasarkan rencana global, pencapaian dan

tantangan di Asia Tenggara serta prioritas utama di masa depan.

Negara-negara di kawasan ini didorong untuk memfokuskan

kegiatannya dengan strategi sebagai berikut:

1. Meningkatkan dan memperluas pelayanan DOTS yang

berkualitas agar dapat menjangkau seluruh pasien TB,

meningkatkan tingkat penemuan kasus dan keberhasilan

pengobatan;

2. Menetapkan intervensi untuk menghadapi tantangan TB/HIV

dan MDR-TB;

3. Memperkuat kemitraan dalam menyediakan akses dan standar

pelayanan yangdiperlukan bagi seluruh pasien TB; dan

4. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan (Kemenkes,

2011).

2.6 Analisis situasi1. Perencanaan

Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali

pada periode ini sebagai pedoman bagi provinsi dan

kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan program

Page 15: Penyusunan Program TBC CK

pengendalian TB. Pencapaian utama selama periode ini adalah: (1)

Pengembangan rencana strategis 2002-2006; (2) Penguatan kapasitas

manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan provinsi;

(3) Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari

pengembangan sumberdaya manusia; (4) Kerja sama internasional

dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan (pemerintah

Belanda, WHO, TBCTA-CIDA, USAID, GDF, GFATM, KNCV,

UAB, IUATLD, dll); (5) Pelatihan perencanaan dan anggaran di

tingkat daerah; (6) Perbaikan supervisi dan monitoring dari tingkat

pusat dan provinsi; dan (7) Keterlibatan BP4 dan rumah sakit

pemerintah dan swasta dalam melaksanakan strategi DOTS melalui

uji coba HDL di Jogjakarta (Stranas TB, 2011).

Keadaan yang terjadi di Jember bahwa maslaah yang masih terjad

yaitu kurangya pendanaan dan blum adanya kader khusus kasus TB.

Hal ini diakibatkan oleh kurangnya kemitraan yang dibangun dengan

masyarakat local. Program yang selama ini disusun masih belum

berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.

2. Pengorganisasian

Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara

administratif berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian

Kesehatan, yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit

Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan

Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan

merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan dari

subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah sakit berada di

bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan. Pelayanan TB juga

diselenggarakan di praktik swasta, rutan/lapas, militer dan

perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada di

dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama

antar Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat

diperlukan dalam menerapkan program pengendalian TB yang terpadu.

Page 16: Penyusunan Program TBC CK

Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang

punggung dalam program pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota

memiliki sejumlah FPK primer berbentuk Puskesmas, terdiri dari

Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS) dan

Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM).

Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan bertanggung

jawab terhadap pelaksanaan program kesehatan, termasuk

perencanaan, pembiayaan dan pemantauan pelayanannya. Di seksi

P2M Wakil supervisor (wasor) TB bertanggung jawab atas

pemantauan program, register dan ketersediaan obat. Pemantauan

pengobatan di bawah tanggung jawab tenaga di FPK dan pada

umumnya peran Pengawasan Minum Obat (PMO) dilakukan oleh

anggota keluarga. Di tingkat Provinsi, telah dibentuk tim inti DOTS

yang terdiri dari Provincial Project Officer (PPO) serta staf Dinas

Kesehatan, khususnya di provinsi dengan beban TB yang tinggi.

Di beberapa provinsi dengan wilayah geografis yang luas dan

jumlah FPK yang besar, telah mulai dikembangkan sistem klaster

kabupaten/kota yang bertujuan utama untuk meningkatkan mutu

implementasi strategi DOTS di rumah sakit. Rutan, lapas serta tempat

kerja telah terlibat pula dalam program pengendalian TB melalui

jejaring dengan Kabupaten/kota dan Puskesmas.

Di kabupaten Jember, program yang dibangun kurang menjalin

kemitraan dengan pihak terkait baik itu Toga atau Toma. Peran Toga

dan Toma dapat menjadi sebagai motivator untuk kelompok penderita

dan kelompok risiko untuk tetap berkomitmn terhadap pengobatan atau

utnuk melakukan penmeriksaan dini ketika dicurigai adanya TB.

Sistem pelaporan kasus baru Tb juga masih belum ada alur pelaporan

yang jelas. Pemerintah belum mengoptimalkan peran pihak swasta

untuk program penanggulangan TB. Phak swasta dapat berperan

penting dalam upaya pencegahan, pengobatan, dan pelaoran kasus TB.

3. Pengarahan

Page 17: Penyusunan Program TBC CK

Desentralisasi pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap kapasitas sumber daya manusia dan pengembangan program pengendalian TB. Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di rumah sakit telah dilatih, program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi faktor keterbatasan jumlah staf, rotasi staf di fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan serta kesinambungan antar pelatihan juga menjadi tantangan dalam pengembangan sumber daya manusia di era desentralisasi. Konsekuensi dari kebutuhan pelatihan yang tinggi adalah kebutuhan ketersediaan fasilitator tambahan dengan jumlah, keterampilan dan keahlian spesifik yang memadai

4. Pengawasan Supervisi sebagai salah satu metode untuk peningkatan kinerja sumber daya manusia belum dioptimalkan. Dengan lemahnya sistem informasi sumber daya manusia dalam program pengendalian TB serta praktik supervisi pada saat ini, maka ketergantungan program pada pelatihan tetap tinggi. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah penilaian kebutuhan pelatihan, pengembangan metode pelatihan yang tepat, serta evaluasi efektivitas dan efektivitas biaya pelatihan merupakan prioritas untuk riset operasional. Monitoring dan evaluasi seharusnya dilakukan melalui kegiatan supervisi (on the job training) dan pertemuan triwulanan di berbagai tingkat. Akibat kekurangan sumber daya (SDM, dana dan logistik) supervisi di provinsi dan kabupaten/kota tidak dilaksanakan secara rutin, sementara tantangan dalam program TB semakin kompleks. Pengembangan sistem informasi elektronik dan sistem informasi geografis direncanakan untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan penanganan penderita yang lebih baik. Selain itu, pertemuan monitoring dan evaluasi triwulanan juga dilaksanakan di tingkat Puskesmas, sebagai upaya untuk meningkatkan mutu laboratorium, memvalidasi data dan mengoptimalkan jejaring TB.