penyakit jantung bawaan

25
Nama: Nyayu aisyah NIM: 04011181320099 Kelas: PSPD A 2013 PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL A. Definisi Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan abnormalitas pada struktur maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir (Sani, 2007). Kelainan ini terjadi karena gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal pertumbuhan janin (Harimurti, 2008). Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah permasalahan pada struktur jantung yang tampak setelah kelahiran. Kelainan ini dapat melibatkan bagian dalam dinding jantung, klep di dalam jantung, atau arteri dan vena yang membawa darah ke jantung atau ke seluruh tubuh. Ada banyak jenis PJB, dari cacat sederhana dengan tidak ada gejala sampai cacat kompleks dengan gejala yang berat dan mengancam jiwa. B. Epidemiologi Penyakit Jantung Bawaan ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup. Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi premature (2%) (Tank, 2000). Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi yang sedikit berbeda, yaitu sekitar 13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana sekitar 12,05 pada bayi berjenis kelamin laki-laki, dan 14,21 pada bayi perempuan. Penyakit Jantung Bawaan yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal Defect (Wu, 2009).

Upload: echee24

Post on 14-Nov-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jantung

TRANSCRIPT

Nama: Nyayu aisyahNIM: 04011181320099Kelas: PSPD A 2013

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

A. DefinisiPenyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan abnormalitas pada struktur maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir (Sani, 2007). Kelainan ini terjadi karena gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal pertumbuhan janin (Harimurti, 2008).Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah permasalahan pada struktur jantung yang tampak setelah kelahiran. Kelainan ini dapat melibatkan bagian dalam dinding jantung, klep di dalam jantung, atau arteri dan vena yang membawa darah ke jantung atau ke seluruh tubuh. Ada banyak jenis PJB, dari cacat sederhana dengan tidak ada gejala sampai cacat kompleks dengan gejala yang berat dan mengancam jiwa.

B. EpidemiologiPenyakit Jantung Bawaan ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup. Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi premature (2%) (Tank, 2000). Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi yang sedikit berbeda, yaitu sekitar 13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana sekitar 12,05 pada bayi berjenis kelamin laki-laki, dan 14,21 pada bayi perempuan. Penyakit Jantung Bawaan yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal Defect (Wu, 2009). Penyakit jantung bawaan pada anak cukup banyak ditemukan di Indonesia, dimana sekitar 6 sampai 10 dari 1000 bayi lahir, mengidap PJB. Sekitar 2-5 persen kelainan ini erat kaitannya dengan abnormalitas kromosom. Misalnya pada penderita sindrom Down, sekitar 60 persen selalu disertai kelainan jantung kongenital seperti defek septum ventrikel, tetralogi fallot, duktus arteriosus persisten, dan defek septum atrium.

C. Etiologi dan Faktor ResikoPada sebagian besar kasus, penyebab dari PJB ini tidak diketahui (Sastroasmoro, 1994). Beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan PJB ini secara garis besar dapat kita klasifikasikan menjadi dua golongan besar, yaitu genetik dan lingkungan. Pada faktor genetik, hal yang penting kita perhatikan adalah adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit jantung. Hal lain yang juga berhubungan adalah adanya kenyataan bahwa sekitar 10% penderita PJB mempunyai penyimpangan pada kromosom, misalnya pada Sindroma Down (Fachri, 2007). Untuk faktor lingkungan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: Paparan lingkungan yang tidak baik, misalnya menghirup asap rokok. Rubella, infeksi virus ini pada kehamilan trimester pertama, akan menyebabkan penyakit jantung bawaan Diabetes, bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol mempunyai risiko sekitar 3-5% untuk mengalami penyakit jantung bawaan Alkohol, seorang ibu yang alkoholik mempunyai insiden sekitar 25-30% untuk mendapatkan bayi dengan penyakit jantung bawaan Ectasy dan obat-obat lain, seperti diazepam, corticosteroid, phenothiazin, dan kokain akan meningkatkan insiden penyakit jantung bawaan (Indriwanto, 2007).

D. Tanda dan GejalaTanda dan gejala PJB sangat bervariasi tergantung dari jenis dan berat kelainan. PJB yang berat bisa dikenali saat kehamilan atau segera setelah kelahiran. Sedangkan PJB yang ringan sering tidak menampakkan gejala, dan diagnosisnya didasarkan pada pemeriksaan fisik dan tes khusus untuk alasan yang lain. Gejala dan tanda PJB yang mungkin terlihat pada bayi atau anak-anak antara lain: bernafas cepat, sianosis (suatu warna kebiru-biruan pada kulit, bibir, dan kuku jari tangan) , cepat lelah, peredaran darah yang buruk, dan nafsu makan berkurang. Pertumbuhan dan perkembangan yang normal tergantung dari beban kerja jantung dan aliran darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh. Bayi dengan PJB sejak lahir mungkin punya sianosis atau mudah lelah saat pemberian makan. Sebagai hasilnya, pertumbuhan mereka tidak sesuai dengan seharusnya.

E. Manifestasi KlinisGangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala yang menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis, berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan jantung pada seorang bayi atau anak.a Gangguan pertumbuhan. Pada PJB nonsianotik dengan pirau kiri ke kanan, gangguan pertumbuhan timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJB sianotik, gangguan pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan pertumbuhan ini juga dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien PJB.b Sianosis. Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah. Sianosis mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut. Sianosis akibat kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis perifer lebih jelas terlihat pada ujung-ujung jari.c Toleransi latihan. Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik untuk menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan jantung. Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang. Gangguan toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua dengan membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas menjadi cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia hanya mampu minum dalam jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap, dan berkeringat banyak. Pada anak yang lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Pada pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah berjalan.d Infeksi saluran napas berulang. Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah ke paru sehingga mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk ke ahli jantung anak karena anak sering menderita demam, batuk dan pilek. Sebaliknya tidak sedikit pasien PJB yang sebelumnya sudah diobati sebagai tuberkulosis sebelum di rujuk ke ahli jantung anak.e Bising jantung. Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam menentukan penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan jantung. Namun tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis, tidak menyingkirkan adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita kelainan jantung, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.

F. DiagnosisDiagnosis penyakit jantung bawaan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan. Pemeriksaan penunjang dasar yang penting untuk penyakit jantung bawaan adalah foto rontgen dada, elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan lanjutan (untuk penyakit jantung bawaan) mencakup ekokardiografi dan kateterisasi jantung. Kombinasi ke dua pemeriksaan lanjutan tersebut untuk visualisasi dan konfirmasi morfologi dan pato-anatomi masing-masing jenis penyakit jantung bawaan memungkinkan ketepatan diagnosis mendekati seratus persen. Kemajuan teknologi di bidang diagnostik kardiovaskular dalam dekade terakhir menyebabkan pergeseran persentase angka kejadian beberapa jenis penyakit jantung bawaan tertentu. Hal ini tampak jelas pada defek septum atrium dan transposisi arteri besar yang makin sering dideteksi lebih awal.Makin canggihnya alat ekokardiografi yang dilengkapi dengan Doppler berwarna, pemeriksaan tersebut dapat mengambil alih sebagian peran pemeriksaan kateterisasi dan angiokardiografi. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya untuk bayi dengan PJB kompleks, yang sukar ditegakkan diagnosisnya hanya berdasarkan pemeriksaan dasar rutin dan sulitnya pemeriksaan kateterisasi jantung pada bayi. Ekokardiografidapat pula dipakai sebagai pemandu pada tindakan septostomi balon transeptal pada transposisi arteri besar. Di samping lebih murah, ekokardiografi mempunyai keunggulan lainnya yaitu mudah dikerjakan, tidak menyakitkan, akurat dan pasien terhindar dari pajanan sinar X. Bahkan di rumah sakit yang mempunyai fasilitas pemeriksaan ekokardiografi, foto toraks sebagai pemeriksaan rutinpun mulai ditinggalkan. Namun demikian apabila di tangan seorang ahli tidak semua pertanyaan dapat dijawab dengan menggunakan sarana ini, pada keadaan demikian angiografi radionuklir dapat membantu. Pemeriksaan ini di samping untuk menilai secara akurat fungsi ventrikel kanan dan kiri, juga untuk menilai derasnya pirau kiri ke kanan. Pemeriksaan ini lebih murah daripada kateterisasi jantung, dan juga kurang traumatis. Tingginya akurasi pemeriksaan ekokardiografi, membuat pemeriksaan kateterisasi pada tahun 1980 menurun drastis. Sarana diagnostik lain terus berkembang, misalnya digital substraction angiocardiography, ekokardiografi transesofageal, dan ekokardiografi intravaskular. Sarana diagnostik utama yang baru adalah magnetic resonance imaging, dengan dilengkapi modus cine sarana pemeriksaan ini akan merupakan andalan di masa mendatang.

G. Klasifikasi Penyakit Jantung BawaanSecara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik. Penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri, sebagai contoh tetralogi Fallot, transposisi arteri besar, atresia trikuspid.Termasuk dalam kelompok penyakit jantung bawaan nonsianotik adalah penyakit jantung bawaan dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri ke kanan di antaranya adalah defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap terbukanya pembuluh darah seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain itu penyakit jantung bawaan nonsianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan keluar ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koarktasio aorta.

PJB non-sianotik PJB non-sianotik merupakan bagian terbesar dari seluruh PJB. Pada PJB non-sianotik ini,tidak ditemukan adanya tanda sianosis. Kelompok penyakit jantung ini dapat dibagi menjadi: (i) PJB non-sianotik dengan pirau kiri ke kanan; (ii) PJB non-sianotik tanpa pirau. PJB non-sianotik dengan pirau kiri ke kanan diantaranya: 1. Defek Septum Ventrikel Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah kelainan jantung berupa lubang pada sekat antar bilik jantung, menyebabkan kebocoran aliran darah pada bilik kiri dan kanan jantung. Hal ini mengakibatkan sebagian darah kaya oksigen kembali ke paru-paru, sehingga menghalangi darah rendah oksigen memasuki paru-paru. DSV merupakan malformasi jantung yang paling sering, meliputi 25% PJB. Gejala utama dari kelainan ini adalah gangguan pertumbuhan, sulit ketika menyusu, nafas pendek dan mudah lelah. Defek yang besar dengan pirau kiri ke kanan berlanjut, menyebabkan tekanan yang selalu tinggi pada sirkulasi paru. Bila tekanan di ventrikel kanan melampaui ventrikel kiri maka akan terjadi pirau yang terbalik (dari kanan ke kiri), sehingga pasien menjadi sianotik. Keadaan ini disebut Sindroma Eisenmenger. Pada defek besar proses terjadinya hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak berumur 1 tahun. 2. Defek Septum Atrium Defek Septum Atrium (DSA) adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan.2 Secara anatomis defek ini dibagi menjadi defek septum atrium primum, sekundum, tipe sinus venosus, dan tipe sinus koronarius. Pada DSA, presentasi klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum atrium dan aliran dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan aliran ke paru yang berlebihan juga menyebabkan beban volum pada jantung kanan.3. Duktus Arteriosus Persisten Duktus Arteriosus Persisten (DAP) disebabkan oleh duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah bayi lahir.2 Jika duktus tetap terbuka setelah penurunan resistensi vaskular paru, maka darah aorta dapat bercampur ke darah arteri pulmonalis. DAP merupakan salah satu anomali kardiovaskuler kongenital yang paling sering akibat infeksi rubella ibu selama awal kehamilan.19 Pertumbuhan badan umumnya normal, akan tetapi gangguan pertumbuhan fisik dapat menjadi gejala utama pada bayi yang menderita DAP besar.

PJB tanpa pirau diantaranya: 1. Stenosis PulmonalPada stenosis pulmonalis (SP) terjadi obstruksi aliran keluar ventrikel kanan atau arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya. Status gizi penderita dengan stenosis pulmonal umumnya baik dengan pertambahan berat badan yang memuaskan. Bayi dan anak dengan stenosis ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis sedangkan neonatus dengan stenosis berat atau kritis akan terlihat takipneu dan sianosis. 2. Stenosis Aorta Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan aorta yang dapat terjadi pada tingkat subvalvular, valvular, atau supravalvular. Stenosis aorta derajat ringan biasanya tidak bergejala dan menampakkan pertumbuhan dan pola perkembangan normal. Sedangkan pada stenosis aorta derajat berat akan timbul gagal jantung kongestif pada usia minggu-minggu pertama kehidupannya.3. Koarktasio Aorta

Koarktasio Aorta (KA) adalah penyempitan terlokalisasi pada aorta yang umumnya terjadi pada daerah duktus arteriosus. Tanda yang klasik pada kelainan ini adalah tidak terabanya nadi femoralis serta dorsalis pedis sedangkan nadi brakialis teraba normal. Koarktasio aorta pada anak besar seringkali asimtomatik. Sebagian besar dari pasien mengeluh sakit kepala, nyeri di tungkai dan kaki, atau terjadi epistaksis.

PJB sianotik Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Sesuai dengan namanya, manifestasi klinis yang selalu terdapat pada pasien dengan PJB sianotik adalah sianosis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangankaki dalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan terlihat bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5 gram %. Secara garis besar terdapat 2 golongan PJB sianotik, yaitu PJB sianotik dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang dan PJB sianotik dengan gejala aliran darah ke paru yang bertambah. PJB sianotik dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang, yaitu: 1. Tetralogi Fallot Tetralogi Fallot (TF) merupakan PJB sianotik yang paling banyak ditemukan, kurang lebih 10% dari seluruh PJB. Tetralogi Fallot terdiri dari 4 kelainan yaitu, defek septum ventrikel, over-riding aorta, stenosis pulmonal, serta hipertrofi ventrikel kanan. Salah satu manifestasi yang penting pada Tetralogi Fallot adalah terjadinya serangan sianotik (cyanotic spells) yang ditandai oleh timbulnya sesak napas mendadak, nafas cepat dan dalam, sianosis bertambah, lemas, bahkan dapat disertai dengan kejang. 2. Atresia Pulmonal dengan Defek Septum Ventrikel Kelainan ini merupakan 20% dari pasien dengan gejala menyerupai Tetralogi Fallot, dan merupakan penyebab penting sianosis pada neonatus. Atresia dapat mengenai katup pulmonal, a.pulmonalis, atau infundibulum, sehingga seluruh curah ventrikel kanan dialirkan ke dalam aorta. Sedangkan aliran darah ke pulmonal tergantung pada DAP atau pada pembuluh darah bronkial.

PJB sianotik dengan gejala aliran darah ke paru bertambah, yaitu: 1. Transposisi Arteri Besar Transposisi Arteri Besar (TAB) ditandai dengan aorta yang secara morfologi muncul dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis muncul dari ventrikel kiri. Gejala klinis dapat berupa sianosis, sesak napas, dan gangguan pertumbuhan fisik.

2. Common Mixing Pada PJB sianotik golongan ini, terdapat percampuran antara darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis baik di tingkat atrium (DSA besar atau Common Atrium), di tingkat ventrikel (DSV besar atau Single Ventricle) ataupun di tingkat arterial (Truncus Arteriosus). Sianosis umumnya tidak begitu nyata karena tidak ada obstruksi aliran darah ke paru dan percampuran antara darah vena sistemik dan pulmonalis cukup baik. Penderita akan memperlihatkan tanda dan gejala gagal tumbuh kembang, gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal akibat aliran darah ke paru yang berlebihan.

H. Perkembangan pada anak dengan Penyakit Jantung Bawaan Gangguan sistem saraf pusat, gangguan perkembangan fungsional, dan kognitif telah banyak dilaporkan pada anak-anak dengan PJB. Masalah dalam pemberian makan menyebabkan gagal tumbuh, yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak muda dengan penyakit jantung kongenital, dan dapat mengakibatkan gangguan perkembangan dan intelektual.Keterlambatan perkembangan pada anak dengan penyakit kronis disebabkan multifaktorial. Beberapa faktor yang penting dalam menjelaskan keterlambatan perkembangan diantaranya: Pertama, anak-anak dengan penyakit jantung sering kemampuan fisiknya kurang mampu untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka, sehingga mereka membatasi aktivitasnya. Gangguan kemampuan fisik juga menghambat perkembangan keterampilan lain, seperti perilaku eksplorasi. Kedua, kecemasan dan kekhawatiran pada anak yang sakit sering menyebabkan orang tua overprotektif. Sejumlah ibu-ibu mengaku menjaga anak-anak mereka jauh dari orang lain (misalnya, karena takut infeksi), sehingga membatasi interaksi sosial dan membatasi gerakan anak mereka. Hal ini mempengaruhi perkembangan bicara dan keterampilan sosialisasi khususnya, konsisten dengan penelitian bahwa anak-anak dengan PJB dilakukan secara signifikan kurang baik dari rekan-rekan sehat mereka pada skala pribadi / sosial dan berbicara dan mendengar.Sejumlah penelitian telah menyelidiki toleransi latihan pada anak dengan berbagai bentuk penyakit jantung bawaan. Tergantung pada keparahan malformasi, keberhasilan prosedur korektif dan keberadaan gejala-gejala sisa, menyebabkan kinerja fisik menjadi terbatas. Bahkan anak-anak dengan lesi yang tidak dikoreksi / masih ringan, atau mereka yang tidak ada gejala sisa setelah operasi sebelumnya, dapat terlihat pengurangan dalam kinerja fisik mereka. Dampak dari kelainan jantung bawaan pada perkembangan anak, tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta waktu dan keberhasilan terapi. Untuk beberapa malformasi yang komplek, solusi yang tersedia hanya paliatif. Lesi seperti TF, DSA, dan TAB dapat diperbaiki pada masa bayi dengan waktu jangka panjang. Setelah koreksi berhasil baik pada masa bayi, kebanyakan anak yang lahir dengan malformasi kongenital sianotik dapat melakukan kegiatan fisik yang normal. Sementara pembatasan aktivitas fisik dapat direkomendasikan pada anak dengan temuan klinis yang signifikan pasca-operasi, sementara kelompok anak tanpa gejala klinik setelah operasi tidak memerlukan pembatasan dan harus melakukan aktifitas fisik normal. Hal ini tidak menjelaskan defisit perkembangan motorik yang diamati pada anak-anak dengan PJB. Orang tua dan pengasuh lainnya memainkan peran penting dalam perkembangan anak. Status kesehatan anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gaya asuh orang tua. Sikap orang tua secara signifikan dapat mempengaruhi seluruh perkembangan anak. Orang tua dari anak-anak dengan PJB dapat mengubah dan membesarkan mereka untuk mengasimilasi kebutuhan anak. Sebuah penelitian baru mengungkapkan bahwa ibu yang anak-anaknya dengan PJB dilaporkan mempunyai tingkat kewaspadaan yang tinggi daripada ibu dari anak yang sehat. Bahkan ada penelitian yang melaporkan peningkatan kadar stress pada orang tua dengan anak yang terkena PJB. Stres orang tua cenderung lebih tinggi dengan bertambahnya usia anak, hal ini disebabkan dengan bertambahnya usia membuat orang tua sulit untuk menentukan batas-batas dan menjaga kontrol terhadap anak mereka. Ketiga, efek dari sakit yang berkepanjangan dan rawat inap yang mungkin penting. Beberapa anak dalam kelompok jantung telah menghabiskan jangka waktu yang lama di rumah sakit, mengakibatkan inkonsistensi dari lingkungan fisik dan jumlah orang yang terlibat dengan anak, yang selanjutnya bisa dikompromikan perkembangan mereka. Keempat, status gizi anak yang baik diperlukan untuk mempertahankan derajat kebugaran dan kesehatan, serta membantu pertumbuhan bagi anak. Status gizi merupakan ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi, yang dapat diukur dengan mengukur berat badan dan panjang badan.29 Berdasarkan WHO 2005, salah satu penentuan status gizi adalah menurut Indeks Masa Tubuh menurut umur, dengan ambang batas sebagai berikut: Untuk anak usia 0-60 bulan: Jika > +2 SD dikatakan gemuk Jika -2 sampai +2 SD dikatakan normal Jika -3 sampai < -2 SD dikatakan kurus Jika < -3 SD dikatakan sangat kurus

Usia 5- 18 tahun: Jika > +2 SD dikatakan obesitas Jika > +1 sampai + 2 SD dikatakan gemuk Jika -2 sampai 1 SD dikatakan normal Jika -3 sampai < -2 SD dikatakan kurus Jika < -3 SD dikatakan sangat kurus Kelima, hipoksia seluler. Beberapa bukti menunjukkan bahwa konsumsi oksigen PJB sianotik lebih rendah daripada PJB non sianotik. Hipoksia menyebabkan kegagalan pertumbuhan diduga karena efek langsung pada pertumbuhan dan multiplikasi sel.31 Hipoksia diduga menyebabkan berkurangnya pembelahan sel akibat berkurangnya sintesa protein. Mekanisme yang menyebabkan berkurangnya sel lemak pada penderita diduga akibat hipoksia kronis pada saat fase pertumbuhan cepat (awal kehidupan).Anak-anak dengan PJB juga menunjukkan kekuatan otot berkurang secara signifikan dan gangguan keseimbangan. Kekuatan otot dan keseimbangan merupakan komponen penting dari keterampilan motorik yang beberapa tingkat tertentu kekuatan otot dan keseimbangan diperlukan untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Di sisi lain, kemampuan untuk melakukan tugas motorik beberapa keterampilan digunakan sebagai indikator aspek spesifik kekuatan dan keseimbangan.

Selain itu, faktor- faktor lain yang mempengaruhi keterlambatan perkembangan anak adalah:(i) Pekerjaan orang tua Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder.(ii) Pendidikan ibu Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya.

I. Tatalaksana Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan penyakit jantung bawaan dapat diselamatkan dan mempunyai nilai harapan hidup yang lebih panjang. Umumnya tata laksana penyakit jantung bawaan meliputi tata laksana non-bedah dan tata laksana bedah. Tata laksana non-bedah meliputi tata laksana medikamentosa dan kardiologi intervensi.Tata laksana medikamentosa umumnya bersifat sekunder sebagai akibat komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan lain yang menyertai. Dalam hal ini tujuan terapi medikamentosa untuk menghilangkan gejala dan tanda di samping untuk mempersiapkan operasi. Lama dan cara pemberian obat-obatan tergantung pada jenis penyakit yang dihadapi. Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga penyulit yang sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan jantung bawaan. Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini terdapat ketergantungan pada tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk ke dalam golongan penyakit jantung bawaan kritis. Tetap terbukanya duktus ini diperlukan untuk:i. percampuran darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi arteri besar dengan septum ventrikel utuh, ii. penyediaan darah ke aliran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot berat, stenosis pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia trikuspid, (3) penyediaan darah untuk aliran sistemik, misalnya pada stenosis aorta berat, koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung kiri. Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat sementara dan merupakan upaya untukmenstabilkan keadaan pasien, menunggu tindakan operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang harus dilakukan adalah: mempertahankan suhu lingkungan yang netral misalnya pasien ditempatkan dalam inkubator pada neonatus, untuk mengurangi kebutuhan oksigen, kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada neonatus dipertahankan di atas 15 g/dl, memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa, (4) memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah aliran darah ke paru, (5) pemberian prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka dengan dosis permulaan 0,1 mg/kg/menit dan bila sudah terjadi perbaikan maka dosis dapat diturunkan menjadi 0,05 mg/kg/menit. Obat ini akan bekerja dalam waktu 10-30 menit sejak pemberian dan efek terapi ditandai dengan kenaikan PaO2 15-20 mmHg dan perbaikan pH. Pada PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka lebar dapat memperbaiki sirkulasi paru sehingga sianosis akan berkurang. Pada PJB dengan sirkulasi sistemik yang tergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan menjamin sirkulasi sistemik lebih baik. Pada transposisi arteri besar, meskipun bukan merupakan lesi yang bergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan memperbaiki percampuran darah.

Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan pengobatan yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera diberikan dengan memakai sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang adekuat harus dilakukan intubasi endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan ventilasi mekanis. Prostaglandin E1 0,1 mg/kg/menit dapat diberikan untuk melebarkan kembali dan menjaga duktus arteriosus tetap terbuka. Obat-obatan lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid diberikan dengan dosis dan cara yang sama dengan tata laksana gagal jantung. Pada pasien PJB dengan gagal jantung, tata laksana yang ideal adalah memperbaiki kelainan structural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-obatan bertujuan untuk memperbaiki perubahan hemodinamik, dan harus dipandang sebagai terapi sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan. Pengobatan gagal jantung meliputi:i. penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian oksigen, pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam basa dan gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas, perlu dilakukan ventilasi mekanis ii. pengobatan medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obatobat yang digunakan pada gagal jantung antara lain: obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30 mg/kg. Dosis pertama diberikan setengah dosis digitalisasi, yang kedua diberikan 8 jam kemudian sebesar seperempa dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya sebesar seperempat dosis. Dosis ruma diberikan setelah 8-12 jam pemberian dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Oba inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1 mg/kg/ menit diberikan bila terdapat bradikardia, sedangka bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 mg/kg/menit atau dopamin bila laju jantung tidak begit tinggi dengan dosis 2-5 mg/kg/menit. Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemi yang buruk dan jika ada penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan intoksikas digitalis. vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5 mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral. diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2 mg/kg/ hari per oral atau intravena.

ANALISIS MASALAH

Bagaimana mekanisme sulit naiknya berat badan pada Talita? Jawab: Mekanisme sulit naik berat badan anak dengan penyakit jantung bawaan dapat menunjukkan gangguanpertumbuhan.Gagal tumbuh terjadi sudah sejak masa awal bayi. Beberapa keadaan yang dapat menerangkan gagal tumbuhpada anak dengan penyakit jantung bawaan adalah keadaan hipoksia dan kesulitanbernapasyangmenyebabkanpersoalan makan pada anak. Anoksia dan kongestivena pada saluran cerna dapat menyebabkan malabsorpsi makanan, anoksia perifer dan asidosis menyebabkan ketidakcukupan nutrisi serta peningkatan laju metabolik menunjukkan ketidakcukupan masukan makanan untukpertumbuhan.Anakdenganpenyakitjantungbawaanmemerlukanpemantauanpertumbuhanuntukmempertahankanpertumbuhanlinierdanpeningkatanberatbadan agar berhasil dengan optimal.

Bagaimana mekanisme terjadinya sesak nafas dan kelelahan pada kasus? Jawab:Sesak nafas: Sesak disebabkan oleh meningkatnya sirkulasi darah dijantung dan penurunan sirkulasi sistemik.Darah dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat yang terjadi. Adanya aliran darah menyebabkan penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri dan kanan . Bila shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta.Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan,atrium kanan, arteri pulmonalis menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan ventrikel kanan dan atrium kanan.Kenaikan tekanan ventrikel kanan dan atrium kanan yang tinggi disertai dengan peningkatan aliran darah pulmoner dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan atroum kanan (akibat pressure dan volume overload). Sirkulasi darah yang meningkat dan penurunan sirkulasi sistemik ini yang menyebabka sesak.

Mudah lelah: ASD yang besar menyebabkan aliran darah pintas dari atrium kiri mengalir ke atrium kanan sehingga darah yang kaya akan oksigen yang berasal dari atrium kiri sebagian besar akan kembali lagi ke paru-paru dan tersisa sedikit untuk diteruskan ke ventrikel kiri. Hal ini menyebabkan cardiac output menurun sehingga darah pada sirkulasi sistemik berkurang. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan oksigen dan glukosa pada saat beraktivitas tidak tercukupi. Oleh karena itu terjadilah mekanisme metabolism anaerob yang akan menimbulkan pembentukan asam laktat yang jika menumpuk dalam jumlah yang banyak di dalam otot makan akan mengakibatkan terjadinya kelelahan.Asam laktat selalu diproduksi bahkan saat tubuh sedang beristirahat. Namun, semakin intens aktivitas fisik yang dilakukan semakin banyak pula asam laktat yang diproduksi. Peningkatan asam laktat menyebabkan kelelahan sehingga menurunkan aktivitas fisik. Kelelahan terjadi dalam beberapa tahap :(i) Penurunan energi yang dirasakan. Penurunan suplai oksigen akan mengurangi produksi ATP akibat terhambatnya proses metabolism aerob. Sebab dalam metabolisem anaerob jumlah ATP yang dihasilkan lebih sedikit dan juga dihasilkan molekul-molekil hidrogen.(ii) Otot-otot tidak dapat berkontraksi secara normal atau dengan kekuatan yang normal. Agar dapat berkontraksi, otot membutuhkan ion kalsium. Masalahnya adalah ketika molekul hidrogen menghalangi kalsium. Sehingga otot tidak dapat berkontraksi normal dan merasakan kelelahan bahkan bisa menyebabkan nyeri otot