peningkatan kualitas produksi hasil ternak

8

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK
Page 2: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

MELALUI KETERSEDIAAN INFORMASI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

SISTISERKOSIS PADA SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT

Nyoman Sadra Dharmawan1, I Made Damriyasa1, I Gede Mahardika2 1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

2Fakultas Peternakan Universitas Udayana

Email: [email protected]

ABSTRAK

Peningkatan kualitas produksi hasil ternak seperti daging, dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Salah satunya dengan menjamin produk tersebut tetap sehat. Sisitiserkosis

adalah penyakit infeksi parasit Cysticercus bovis yang ditemukan pada otot/daging sapi.

Penyakit ini, selain mengakibatkan kerugian ekonomi karena daging terinfeksi harus

dimusnahkan, juga berbahaya bagi manusia. Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit

zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan/ternak ke manusia). Manusia akan tertular

cacing pita Taenia saginata bila mengonsumsi daging sapi yang terinfeksi Cysticercus bovis.

Sampai saat ini belum ada data epidemiologi kejadian sistiserkosis pada sapi di

Indonesia, sehingga penanggulangannya terabaikan. Penelitian ini bertujuan memperoleh

informasi epidemiologi menyangkut data prevalensi dan penyebaran penyakit tersebut di Bali

dan Nusa Tenggara, sehingga dapat dibuat peta penyakit (mapping). Tujuan jangka panjang

setelah tersedia peta penyakit sistiserkosis adalah penanggulangan dalam bentuk kontrol dan

eradikasi penyakit tersebut di Bali dan Nusa Tenggara pada khususnya dan di Indonesia pada

umumnya. Penelitian dilakukan dengan memeriksa serum sapi bali yang diperoleh dari

beberapa peternak. Antibodi C. bovis dideteksi dengan ELISA menggunakan antigen

komersial.

Penelitian ini adalah Penelitian Tahun II, dilakukan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari

pemeriksaan ELISA terhadap 92 sampel serum sapi yang berasal dari Lombok dan Sumbawa

yang dilakukan secara duplo, dengan nilai cut off 0,295; menunjukkan ada empat serum positif.

Tiga serum positif merupakan serum sapi yang berasal dari Lombok dan satu serum positif dari

Sumbawa. Ini berarti prevalensi sistiserkosis pada sapi di NTB adalah 4,35%. Lewat penelitian

ini, bisa dibuat peta wilayah daerah di NTB yang terinfeksi sistiserkosis. Dianjurkan untuk lebih

teliti saat pemeriksaan post mortum terhadap kesehatan daging, terutama pada sapi asal wilayah

tersebut.

Kata Kunci: kualitas daging, sistiserkosis, sapi bali

PENDAHULUAN

Pemerintah dan masyarakat telah bekerjasama untuk mewujudkan kemandirian

pangan melalui program swasembada daging sapi pada tahun 2014. Swasembada daging sapi

itu, bertujuan menyediakan daging sapi lokal minimal 90% dari kebutuhan konsumsi.

Namun hingga saat ini, produksi daging sapi lokal di Indonesia masih berfluktuasi

mengalami kenaikan dan penurunan. Penurunan produksi daging sapi di antaranya dapat

disebabkan oleh faktor penyakit dan kondisi kesehatan ternak. Salah satu penyakit yang

dapat menurunkan kualitas daging sapi adalah infeksi Cysticercus bovis, yaitu bentuk larva dari

Page 3: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

cacing pita Taenia saginata. Penyakit ini berbahaya bagi manusia karena bersifat

zoonosis, dapat menular dari hewan ke manusia. C. bovis menginfeksi otot sapi, penyakitnya

disebut sistiserkosis. Sementara cacing pita T. saginata berparasit pada usus manusia,

penyakitnya disebut taeniosis.

Manusia terinfeksi cacing pita bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di

masak kurang matang yang mengandung C. bovis. Sebaliknya, sapi akan terinfeksi larva

cacing pita bila menelan telur T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Infeksi C.

bovis pada sapi ditemukan hampir di seluruh dunia (Taresa et al., 2011; Dharmawan et al.,

2012). Dampak ekonomi yang disebabkan oleh penyakit ini merugikan berbagai pihak.

Kerugian terbesar dialami oleh industri daging, karena daging yang terinfeksi harus

dimusnahkan, tidak boleh dikonsumsi. Cacing T. saginata juga ditemukan hampir di seluruh

dunia. Hasil penelitian di Bali pada 2002-2009 menemukan 80 kasus taeniosis dari 660

orang yang diperiksa (Wandra et al., 2013; 2015). Tingginya kejadian taeniasis di Bali terkait

kegemaran masyarakat mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Hal yang sama juga

ditemukan di beberapa wilayah Indonesia, misalnya mengonsumsi sang-sang di Samosir,

barapen di Papua (Marggono et al, 2006; Suroso et al., 2006; Wandra et al. 2007).

Upaya penanggulangan zoonosis tersebut sebenarnya tidak sulit, salah satunya dengan

memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi. Namun,

permasalahannya sampai sekarang data epidemiologi kejadian infeksi C. bovis pada sapi di

Indonesia tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini akibat sulitnya melakukan diagnosis

sistiserkosis pada hewan hidup. Biasanya diagnosis sistiserkosis dilakukan setelah hewan

disembelih (post mortum) dengan menemukan parasitnya melalui pemeriksaan kesehatan

daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah sapi dengan melakukan palpasi,

teraba adanya benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular. Namun, cara deteksi

seperti ini sensitifitasnya rendah, terutama pada hewan yang terinfeksi ringan (Gonzalez et al.,

2006).

Saat ini telah banyak dikembangkan uji imunodiagnostik untuk deteksi sistiserkosis

pada hewan. Metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dilaporkan memberi hasil

baik (Pinto et al., 2000; Dharmawan et al., 2010). Agar uji memberi nilai sensitifitas dan

spesifisitas baik, metode diagnostik ini telah dikembangkan dengan menggunakan antigen

sistiserkus yang sesuai dan sekarang telah tersedia dalam bentuk komersial. Dengan adanya

metode ini, perlu diterapkan di lapangan untuk dipakai melakukan pemetaan penyakit dengan

cara mendeteksi kejadian sistiserkosis pada sapi di Indonesia, khususnya di Bali dan Nusa

Tenggara. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menerapkan teknik diagnositik yang telah

berhasil dikembangkan, kemudian dipakai mendeteksi sistiserkosis pada sapi di Indonesia,

sehingga diketahui dengan pasti angka kejadian (prevalensi) penyakit tersebut dan

penyebarannya.

MATERI DAN METODE

Penentuan lokasi dan pengambilan sampel

Untuk Penelitian Tahun II ini, lokasi pengambilan sampel adalah di Provinsi Nusa

Tenggara Barat (NTB), yaitu di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sampel serum diambil

dari sapi bali yang dipeliharan peternak. Dipilihnya sapi yang dipelihara peternak sebagai

sampel, selain untuk mengetahui seroprevalensi sistiserkosis pada sapi bali, juga untuk

menentukan faktor resiko yang potensial terhadap penyakit tersebut. Sampel darah yang

Page 4: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

diperoleh akan disentrifus untuk memperoleh serum. Serum yang didapat disimpan pada

suhu -20oC sampai akan digunakan.

Pemeriksaan antibodi terhadap C. bovis

Deteksi antibodi terhadap C. bovis serum sapi bali yang diperoleh dari peternak

dilakukan dengan uji ELISA. Teknik uji ELISA yang digunakan pada penelitian ini mengikuti

prosedur resmi yang di keluarkan oleh Bio-X Diagnostics’s Cysticercosis Antigen ELISA Kit.

Adapun garis besar prosedur tersebut adalah sebagai berikut. Pertama Persiapan Sampel,

sampel serum, kontrol positif dan kontrol negatif diencerkan dengan larutan Trichloroacetic acid

(TCA). Pengenceran dilakukan dalam tabung Eppendorf, dengan cara mencampurkan 150 µl

TCA dengan 150 µl serum, lalu di vortek. Hal yang sama dilakukan juga untuk kontrol. Semua

tabung kemudian diinkubasikan selama 20 menit pada suhu kamar, kemudian di vortek ulang.

Sentrifus tabung selama 10 menit pada 12000 g. Sementara tabung disentrifus, siapkan seri

baru dari tabung Eppendorf yang mengandung 150 µl cairan penetral (neutralising solution).

Ambil 150 ml supernatan dari setiap tabung TCA dan pipet ke dalam tabung penetral, kemudian

divortek dengan baik. Hasil akhir pengenceran ini akan diperoleh perbandingan antara sampel

dan kontrol sebesar 1:4.

Langkah kedua mengambil plate, keluarkan dari kemasannya, kemudian distribusikan

sampel dan kontrol ke dalam plate masing-masing 100 µl per well. Inkubasi plate pada suhu 21

± 3o C selama satu jam di atas microplate shaker pada kecepatan 700-800 rpm. Setelah itu bilas

plate dengan solotion washing dengan membolak-balikkan plate, isi solotion washing pada

plate dengan mempergunakan pipet tetes dan kemudian dibilas plate tersebut sekali lagi, ulangi

hal tersebut dua kali lagi berhati-hati unrtk menghindari pembentukan gelembung di mikro well.

Setelah plate dicuci tiga kali lanjutkan ke langkah berikutnya yaitu menambahkan 100 ml

konjugat untuk setiap well. Cuci plate seperti yang dijelaskan di atas. Tambahkan 100 µl dari

solusi chromogen untuk setiap plate. Solusi chromogen harus benar-benar berwarna dalam well.

Jika terlihat warna biru, berarti solution atau pipet telah terkontaminasi. Inkubasi pada suhu 21 ±

3o C. Kemudian tambahkan 50 µl larutan penghenti (stop solution) per well, warna kemudian

akan berubah dari biru menjadi kuning. Baca optical densities di setiap well menggunakan

pembaca spektrofotometri plate reader dan 450 nm filter. Hasil dibaca secepatnya setelah

solotion penghenti ditambahkan dari chromogen yang mengkristal dalam well.

Analisis Data

Prevalensi kejadian infeksi C. bovis pada sapi bali di Bali ditetapkan dengan persentase

menggunakan analisis point prevalence berdasarkan hasil uji ELISA. Data disajikan dalam

bentuk gambar dan dianalisis secara deskriptif. Penyebaran kejadian infeksi sisitiserkosis dibuat

berdasarkan asal sapi yang serumnya terdeteksi positif, lalu dituangkan dalam gambar peta

penyakit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Penelitian Tahap II ini telah berhasil dikumpulkan sampel serum sapi yang berasal

dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, NTB. Jumlah sampel yang dikoleksi sebanyak 100,

berasal dari 100 ekor sapi (umur 1-5 tahun), yang diperoleh dari berbagai tempat di Lombok dan

Sumbawa. Asal, jumlah, dan jenis kelamin sapi yang diambil darahnya dapat dilaporkan secara

ringkas, seperti terlihat pada Tabel 1.

Page 5: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

Tabel 1. Asal, jumlah, jenis kelamin sapi yang diambil serum untuk penelitian

No. Asal Jenis Kelamin Jumlah

Jantan Betina

1. Lembar, Lombok Barat 14 22 36

2. Gerung, Lombok Barat 12 1 13

3. Jakem, Lombok Barat 1 0 1

4. Labuhan Badas, Sumbawa 2 0 2

5. Empang, Sumbawa 2 1 3

6. Plampang, Sumbawa 4 0 4

7. Lape, Sumbawa 6 0 6

8. Moyo Hulu, Sumbawa 1 14 15

9. Moyu Utara, Sumbawa 6 0 6

10. Moyo Hilir, Sumbawa 5 0 5

11. Lenangguar, Sumbawa 9 0 9

Jumlah 62 38 100

Sesuai dengan kit yang tersedia, dari 100 serum yang terkumpul, 92 diantaranya diuji

dengan Elisa untuk deteksi atibodi terhadap C. bovis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari

pemeriksaan ELISA yang dilakukan secara duplo, dengan nilai cut off 0,295, terdeteksi ada 4

(empat) serum positif. Tiga serum positif merupakan serum sapi yang berasal dari Lombok,

yaitu 2 (dua) dari Lembar dan 1 (satu) dari Gerung. Sementara, 1 (satu) serum positif lainnya

berasal dari Plampang, Sumbawa (Gambar 1 dan 2). Ini berarti prevalensi sistiserkosis pada sapi

di NTB adalah 4,35%. Lewat hasil penelitian ini, bisa dibuat peta penyakit sisitiserkosis pada

sapi bali di wilayah NTB (Gambar 3).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaporkan bahwa sistiserkosis pada sapi

sangat umum terjadi di negara berkembang. Hal ini terkait dengan kebersihan yang buruk dan

faktor lokal termasuk latar belakang budaya seperti kebiasaan mengonsumsi daging mentah atau

semi matang, kondisi ekonomi dan kepercayaan agama, kedekatan manusia dengan ternak yang

dipelihara (Alemneh, 2017). Sistiserkosis pada sapi secara luas dilaporkan tersebar di Ethiopia,

dengan prevalensi di berbagai negara bagian dari 9,7% hingga 21% (Ahmed et al., 1990; Tembo

et al. 2001; Alemneh, 2017).

Penelitian tentang kejadian sistiserkosis pada sapi di Indonesia masih jarang dilakukan

dan publikasi tentang prevalensinya juga sedikit. Dari hasil penelitian tahun lalu di Bali, penulis

menemukan prevalensi sistiserkosis pada sapi bali di Bali adalah 10%. Dengan nilai cut off

0,193, terdeteksi ada sembilan sampel serum yang positif. Kesembilan serum positif tersebut

berasal dari Kabupaten Buleleng (3), Karangasem (3), Tabanan (1), Gianyar (1), dan Klungkung

(1). Kejadian tersebut bersesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan sejak 2002, kerjasama

Tim Universitas Udayana Denpasar Bali, Asahikawa Medical University Jepang, dan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar cacing

pita Taenia yang dikoleksi lewat studi epidemiologi diidentifikasi sebagai Taenia saginata.

Mayoritas infeksi tersebut terjadi di Kabupaten Gianyar (Wandra et al., 2015).

Sementara itu, pada laporan Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian,

diketahui bahwa pada tahun 1977, prevalensi sistiserkosis pada sapi di empat kabupaten di Bali,

Page 6: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

Gambar 1. Hasil pemeriksaan Elisa untuk deteksi antibodi C. bovis

pada serum sapi bali asal NTB

Gambar 2. Hasil pembacaan ELISA terhadap serum sapi bali asal NTB

Page 7: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

yaitu Badung, Gianyar, Klungkung dan Tabanan berturut-turut adalah 3,3%, 16,9%, 1,2% dan

8,3% (Dharmawan et al., 2012). Pada laporan terakhir dari Swastika et al. (2016), telah

menkonfirmasi kejadian sistiserkosis pada babi di Karangasem.

Dari hasil penelitian tahun ini, seperti tampak dari Gambar 1 dan Gambar 2, diketahui

bahwa seropositif terjadi pada sampel No. 17, 33, 43, dan 57. Setelah ditelusuri asal sampel

tersebut ternyata berasal dari Lombok, yaitu 2 (dua) dari Lembar dan 1 (satu) dari Gerung.

Sementara, 1 (satu) serum positif lainnya berasal dari Plampang, Sumbawa. Berdasarkan hasil

ini dapat dibuat peta penyakit seperti Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Peta Kejadian Penyakit Sistiserkosis pada sapi bali di NTB

SIMPULAN DAN SARAN

1. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa prevalensi sistiserkosis pada sapi bali di NTB

adalah 4,35%. Dengan nilai cut off 0,295, terdeteksi ada 4 (empat) sampel serum yang

positif. Tiga merupakan serum sapi yang berasal dari Lombok dan satu serum dari Sumbawa.

2. Dari hasil penelitian ini dapat dibuat luaran penelitian berupa pemetaan kasus sistiserkosis di

NTB, seperti tersaji pada Gambar 3.

3. Berdasarkan hasil pemetaan dapat dibuat konsep strategi penanggulangan sistiserkosis di

wilayah tersebut, di antaranya berupa: peningkatan metode pemeriksaan post mortum

terhadap sapi-sapi yang dipotong; surveilans taeniasis/sisitiserkosis, pengawasan kesehatan

terhadap penjual lawar, peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat pada anak sekolah

dengan fokus pada higiene personal, sanitasi lingkungan, cara pemeliharaan sapi dan babi

yang baik.

4. Dalam rangka peningkatan kualitas produksi hasil ternak perlu ketersediaan informasi

epidemiologi penyakit sistiserkosis pada sapi bali yang dibuat dalam bentuk peta penyakit

sistiserkosis.

5. Untuk penyusunan peta kejadian sistiserkosis di Bali, NTB, dan NTT, sesuai Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Koridor Ekonomi

Bali-Nusa Tenggara, penelitian selanjutnya (Tahun III) perlu dilaksanakan di Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT).

Page 8: PENINGKATAN KUALITAS PRODUKSI HASIL TERNAK

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed , I. 1990. Bovis cysticercosis in animals slaughtered at Nekemte abattoir, Ethiopia.

DVM thesis, Addis Ababa University, Faculty of Veterinary Medicine, Debre Zeit,

Ethiopia.

Dharmawan NS, Swastika K, Putra IM, Wandra T, Sutisna P, Okamoto M, Ito A.

2012. Present Situation and Problems of Cysticercosis in Animal in Bali and

Papua. J. Vet. 13 (2): 152-160.

Gonzalez LM, Villalobos N, Montero E, Morales J, Sanz RA, Muro RA, Harrison

LJ, Parkhouse RM and Garate T. 2006. Differential molecular identification of

Taeniid spp. and Sarcocystis spp. cysts isolated from infected pigs and cattle. Vet.

Parasitol., 142: 95-101.

Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig PS, Ito A. 2006. Taeniasis /

cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-S148.

Pinto PS, Vaz AJ, Germano PM, Nakamura PM. 2000. Performance of the ELISA test for

swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps

cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130.

Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of taeniasis /

cysticercosis in Indonesia. Parasitol International. 55: S161-S165.

Swastika, K., Dharmawan, N.S., Suardita, IK., Kepeng, IN., Wandra, T., Sako, Y.,

Okamoto, M., Yanagida, T., Sasaki, M., Giraudoux, P., Nakao, M., Yoshida T.,

Diarthini, L.P.E., Sudarmaja, IM., Purba, I.E., Budke, C.K., Ito, A. 2016. Swine

Cysticercosis in the Karangasem District of Bali, Indonesia: An Evaluation of

Serological Screening Methods. Acta Tropica. 163: 46-53.

Tembo A. 2001. Epidemiology of Teania saginata Taeniosis/Cysticercosis in three selecte

Agro climatic Zones in centeral, Ethiopia. MSc thesis, FVM, AAU, Debre Zeit,

Ethiopia.

Taresa G, Melaku A, Bogale B, Chanie M. 2011. Cyst viability, body site distribution and

public health significance of bovine cysticercosis at Jimma, South West

Ethiopia. Global Veterinaria. 7(2): 164-168.

Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan NS, Sako Y, and Okamoto, M. 2013. Taeniasis

and Cysticercosis in Indonesia: Past and Present Situations. Parasitology.

Parasitology. 140: 1608-1616.

Wandra T, Swastika K, Dharmawan NS, Purba IE, Sudarmaja IM, Yoshida T, Sako Y,

Okamoto M, Diarthini NLPE, Laksemi DAAS, Yanagida T, Nakao M, Ito A. 2015.

The present situation and towards the prevention and control of neurocysticercosis on

the tropical island, Bali, Indonesia. Parasites & Control. 8:148. DOI

10.1186/s13071-015-0755-z.

Willingham AL III and Engels D. 2006. Control of Taenia solium cysticercosis /

taeniosis. Adv. Parasitol. 61:509-566.

Xiao N, Yao JW, Ding W, Giraudoux P, Craig PS, Ito A. 2013. Priorities for research and

control of cestode zoonoses in Asia. Infectious Disesases of Poverty 2:16. doi:

10.1186/2049-9957-2-16.