laporan praktikum produksi ternak perah

Upload: tiara-marshela-dewi

Post on 18-Jul-2015

821 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK PERAH (PTP) DAPAT DI

DOWNLOAD DISINI

BAB I PENDAHULUAN

Ternak perah merupakan ternak yang menghasilkan susu melebihi kebutuhan konsumsi susu anak-anak sapi. Produksi susu tersebut dapat dipertahankan sampai waktu tertentu atau selama masa hidupnya walaupun anak-anaknya sudah disapih atau sudah tidak disusui lagi. Dengan demikian susu yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain kemampuan genetik sapi, struktur anatomi, struktur fisiologis sapi, makanan dan lingkungan. Kualitas air susu tergantung dari faktor bangsa, jenis, umur, pakan dan interval laktasi. Tujuan praktikum produksi ternak perah ini adalah untuk mengetahui anatomi ambing pada sapi perah beserta bagian - bagiannya, mengetahui struktur kandang yang baik, melakukan penilaian (judging) tentang performa ternak perah, dan untuk mengetahui faktor intrinsik dan ekstrinsik yang berpengaruh bagi ternak. Manfaat dari praktikum ternak perah adalah praktikan dapat memahami dan mengimplentasikan materi perkuliahan yang telah diberikan, mengetahui perbedaan anatomi sapi perah laktasi dan dara, dapat melakukan judging pada sapi perah dengan mengamati body capacity.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, Guernsey, Jersey dan Friesian

Holstein (FH) (Blakely dan Bade, 1995). Sapi-sapi perah di Indonesia dewasa ini pada umumnya adalah sapi perah bangsa FH import dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu warna tubuhnya hitam belang putih dengan pembatas yang jelas, terdapat warna putih berbentuk segitiga di dahi dengan kepala panjang, dan sebagian kecil tubuhnya berwarna putih atau hitam seluruhnya (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Turunan sapi FH dikenal dengan sebutan sapi perah Friesian lokal (PFH). Bangsa sapi FH adalah bangsa sapi perah yang paling menonjol di Amerika serikat, jumlahnya cukup banyak sekitar 80 - 90% dari

seluruh jumlah sapi yang ada. Di antara jenis sapi perah yang ada, FH mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi (Siregar, 1993). 2.1. Fisiologi Ternak

Fisiologi ternak perah meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernafasan, tingkah laku berbaring, urinasi serta defekasi. Pengetahuan tentang fisiologi sapi perah sangat penting karena menentukan keberhasilan dari usaha peternakan sapi perah disamping faktor genetik dan pakan (Anderson, 1970). Penampilan ternak dipengaruhi oleh lingkungan, peralatan dan fasilitas penanganan ternak yang berakibat pada perubahan fisiologis dan tingkah laku ternak (Akoso, 2008). 2.1.2. Frekuensi Nafas

Lingkungan yang panas akan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang dapat digunakan untuk menandai adanya cekaman panas. Kisaran suhu antara 18 20 0C, sapi akan bernafas 20 kali tiap menit dan sebaliknya pada suhu 35 0C frekuensi nafas meningkat 115 kali per menit (Akoso, 2008). Lain halnya dengan pendapat Frandson (1992), yang menyatakan bahwa frekuensi nafas dalam kondisi normal adalah berkisar antara 30 - 40 kali per menit. Peningkatan frekuensi nafas sangat efisien untuk membuang panas tubuh yang terlalu tinggi. Tingginya frekuensi nafas sangat berkaitan dengan pola makan dan ruminasi yang berakibat pada turunnya efisiensi penampilan produksi (Frandson, 1992). Frekuensi

pernafasan setiap menit untuk jenis hewan tidak sama. Pada sapi dewasa berkisar antara 12 16 kali per menit, sedangkan pada sapi muda antara 27 - 37 kali per menit (Akoso, 2008). 2.1.3. Suhu Rektal Sapi Perah

Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan termometer klinik yang dimasukkan ke dalam rektum pada kedalaman tertentu dan harus menempel pada dinding mukosa dari rektum (Dukes, 1955). Suhu rektal tidak mewakili rata-rata suhu tubuh tetapi pengukuran pada bagian rektum lebih baik daripada pengukuran pada bagian tubuh lainnya. Kisaran suhu rektal yang normal adalah 36 - 39,1C (Anderson, 1970). Sapi sapi yang sedang bekerja, sapi yang tiduran pada malam hari suhu tubuhnya relatif tinggi. Suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jenis kelamin, dan kondisi ternak (Dukes, 1955). Kandang beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang ada di dalam kandang beratap genteng dan seng pada pengamatan siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap genteng menyebabkan suhu rektal ternak lebih rendah dibandingkan ternak beratap seng pada pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan malam hari tidak berbeda (Anderson, l970). 2.1.4. Denyut Nadi Sapi Perah

Suhu lingkungan yang tinggi mampu menaikkan frekuensi denyut nadi namun pada suhu lingkungan yang rendah akan menurunkan denyut nadi meskipun dalam batas yang normal (Dukes, 1955). Menurut Frandson (1992), denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan tetapi setelah melewati batas atas comfort zone denyut nadi akan mengalami peningkatan. Denyut nadi yang mengalami peningkatan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan di mana ternak itu berada. Kisaran frekuensi denyut nadi yang normal pada sapi menurut Anderson (1970) adalah 40 69 kali per menit.

2.1.5. Defekasi

Defekasi merupakan salah satu usaha ternak untuk mengatur proses keseimbangan tubuh dengan cara mengeluarkan fesses. Fesses merupakan salah satu produk sisa proses pencernaan setelah pakan yang dikonsumsi mengalami degradasi dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari dalam tubuh (Blakely dan Bade, 1995). Proses pembentukan feses pada sapi perah dimulai dari masuknya bahan makanan melalui mulut sampai keluarnya feses dari anus memerlukan waktu 5 - 7 jam (Siregar, 1993). Bobot feses sapi perah laktasi dan pejantan berkisar antara 8 - 14 kg dan 4 kg pada pedet dalam tiap harinya (Blakely dan Bade, 1995). Lain halnya dengan pendapat Anderson (1970), jumlah feses sapi perah dewasa berkisar antara 18 - 36 kg per ekor per hari, sedangkan pada pedet adalah berkisar antara 4 - 7 kg. 2.1.6. Urinasi

Urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urine di samping faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi banyaknya zat dalam plasma (Blakely dan Bade, 1995). Menurut Akoso (2008) Urinasi merupakan suatu yang dilakukan ternak dalam mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara membuang urin atau cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh. Warna urine berkaitan dengan enzim pencernaan dan warna bahan yang dikonsumsi. Frekuensi urinasi yang normal pada sapi dalam kondisi normal berkisar antara 5 - 7 kali dalam sehari yaitu sebanyak 6 - 12 liter (Seobronto, 1985). 2.1.7. Laying

Perubahan tingkah laku, misal berbaring, makan dan aktivitas lain akan berakibat pada tambahnya pembuangan panas. Berbaring merupakan salah satu cara untuk membuang panas melalui konduksi yaitu melalui partikel benda padat (Frandson, 1992). Sedangkan menurut pendapat Bligh dan Johnson (1973), menyatakan bahwa rebah dan berdiri pada sapi perah merupakan salah satu cara untuk mengurangi maupun menambah temperatur yang disebabkan naik atau turunnya suhu lingkungan. Lama berbaring pada sapi dipengaruhi oleh bangsa, suhu lingkungan dan ukuran tubuh. Pada saat berbaring sapi biasanya melakukan proses remastikasi dan juga melakukan penanggulangan suhu tubuh bila sapi merasa lelah dan kepanasan. Tingginya temperatur dipengaruhi oleh tingkat metabolisme serta proses digesti. Metabolisme akan menghasilkan panas yang dikeluarkan melalui permukaan tubuh (Campbell dan Lasley, 1985).

2.1.8. Ruminansi

Ruminansi merupakan salah satu ciri yang khas pada ternak ruminasia yaitu dengan mengunyah kembali makanan yang telah masuk lambung (rumen) agar lebih lumat dan dapat dengan mudah dicerna (Soebronto, 1985). Sapi biasanya melakukan ruminansia setelah 2 5 jam setelah makan dan pada malam hari pada saat sapi sedang berbaring (Frandson, 1992). 2.2. Fisiologi Lingkungan

Lingkungan menurut asalnya dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan alam dan lingkungan buatan. Lingkungan alam terdiri dari faktor iklim yaitu suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, curah hujan, ketinggian, debu, cahaya dan radiasi kosmik (Williamson dan Payne, 1993). Lingkungan alam dipengaruhi oleh cahaya dan iklim, sedangkan lingkungan buatan terdiri dari polusi lingkungan, komponen toksis pada air, factor mekanis, radiasi ionisasi dan ionisasi udara buatan. Selain lingkungan diatas masih ada lingkungan lainnya yaitu lingkungan social, tanah vegetasi, endoparasit dan ektoparasit (Siregar, 1993). 2.2.1. Pengukuran Suhu Udara

Suhu merupakan bentuk karakteristik inherent, dimiliki oleh suatu benda yang berhubungan dengan panas dan energi. Jika panas dialirkan pada suatu benda maka suhu

benda akan meningkat, sebaliknya suhu benda akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas (Williamson dan Payne, 1993). Pengembangan sapi perah disekitar subtropis sebaiknya dipilih daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 18,3 - 21,1C dan kelembaban diatas 55% dengan ketinggian antara 790 - 1220 m di atas permukaan laut. Daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21 - 25C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut (Siregar, 1993). Menurut Campbell dan Lasley (1985), suhu udara pada daerah yang nyaman (comfort zone) untuk usaha sapi perah adalah berkisar antara 15,56 - 26,67C. 2.2.2. Pengukuran Kelembaban

Kelembaban udara adalah perbandingan relatif uap air yang ada dalam udara jenuh pada tekanan dan suhu yang sama. Kelembaban relatif erat hubungannya dengan tingkat penguapan air dari tubuh ternak ke lingkungan (Siregar, 1993). Kelembaban udara relatif lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada pagi hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evatranspirasi dari permukaan atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara (Williamson dan Payne, 1993). 2.2.3. Pengukuran Radiasi

Radiasi matahari dapat menaikkan beban panas pada ternak. Banyaknya radiasi matahari yang diserap kulit tergantung dari warna kulit dan bulunya. Kira-kira setengah dari spektrum matahari dalam bentuk kelihatan sedangkan lebih kurang setengah lagi dalam bentuk tidak kelihatan yaitu sinar infra merah. Banyaknya sinar yang kelihatan diserap oleh binatang tergantung dari warna binatang di mana warna putih menyerap 20% sedangkan warna hitam menyerap 100% dari radiasi sinar yang kelihatan akan diserap semua oleh binatang apapun warna kulitnya (Williamson dan Payne, 1993). Warna bukan satu-satunya

faktor yang mempengaruhi radiasi matahari terhadap beban panas ternak. Radiasi maksimal dicapai pada saat matahari mencapai zenith, sedangkan radiasi minimal dicapai pada saat matahari berada pada posisi terendah. Pengembangan sapi perah disekitar subtropis sebaiknya dipilih daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 18,3 - 21,1C dan kelembaban diatas 55% dengan ketinggian antara 790-1220 m di atas permukaan laut. Daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21 - 25C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut (Siregar, 1993). Purwanto et al (1995) menyatakan bahwa radiasi maksimal dicapai pada saat matahari mencapai zenith, sedangkan radiasi minimal dicapai pada saat matahari berada pada posisi terendah. 2.3. Perkandangan

Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi sebagian atau seluruh kehidupannya dengan segala fasilitas dan peralatannya, sedangkan kandang adalah tempat tinggal ternak untuk melakukan kegiatan produksi maupun reproduksi dari sebagian atau seluruh kehidupannya (Sudarmono, 1993). Dalam pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan sapi perah, mudah dibersihkan, dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya (Siregar, 1993). Bangunan kandang harus memberikan jaminan hidup yang sehat, nyaman bagi sapi dan tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan tata-laksana. Oleh karena itu, konstruksi, bentuk, dan macam kandang harus dilengkapi dengan ventilasi yang sempurna, atap, dinding, lantai, tempat pakan dan air minum, selokan atau parit, dan ukuran petak kandang yang sesuai kapsitas (Blakely dan Blade, 1995). 2.3.1. Ventilasi

Ventilasi harus berfungsi dengan baik agar keluar-masuknya udara dari dalam dan luar kandang berjalan sempurna. Pengaturan ventilasi yang sempurna berarti memperlancar pergantian udara di dalam kandang yang kotor dengan udara yang bersih dari luar (Siregar, 1993). Jika ventilasi sempurna, maka ruangan kandang tidak akan pengap, lembab, kotor, berdebu, dan panas. Ventilasi kandang sapi perah di daerah tropis cukup dengan ventilasi alami, yang pengadaannya erat sekali dengan perlengkapan dinding terbuka atau dinding semi terbuka (Blakely dan Blade, 1995). 2.3.2. Atap

Atap berfungsi untuk menjaga kehangatan sapi pada malam hari. Atap juga berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan. Konstruksi atap harus dibuat miring agar air hujan dapat meluncur di atas atap dengan lancar. Sudut kemiringan atap diusahakan sekitar 30, bagian yang rendah mengarah ke belakang (Blakely dan Blade, 1995). Bahan yang digunakan untuk membuat atap antara lain asbes, rumbai tanah, genting dan seng. Bahan yang ideal adalah genteng karena mudah menyerap panas dan antara genting terdapat celah-celah sehingga membantu dalam sirkulasi udara. Atap rumbai memiliki kelemahan yaitu mudah rusak akibat serangan angin yang besar, oleh karena itu perlu adanya pengikatan yang kuat pada pemakaian atap rumbai. Bila menggunakan seng sebaiknya dicat putih pada bagian luarnya dan hitam pada bagian dalamnya agar pada siang hari tidak terlalu panas. Selain itu dapat digunakan genteng karena mudah menyerap panas dan antara genteng terrdapat celah-celah dalam membantu sirkulasi udara. (Williamson dan Payne, 1993). 2.3.4. Dinding

Pembuatan dinding kandang disarankan hanya pada daerah yang banyak angin bertiup dengan kencang. Sebaliknya pada daerah yang berangin tenang tak perlu dibuat dinding kandang, kalau perlu hanya dibuat pada kedua sisi kandang kanan dan kiri dengan tinggi 1

meter dari lantai (Siregar, 1993). Dinding biasanya dibuat dari tembok atau beton yang dibuat rata agar mudah membersihkannya. Warna dinding putih atau warna terang lainnya sehingga kotoran dalam kandang mudah kelihatan dan kandang lebih bersih. Dinding yang dibangun semi terbuka memberikan keuntungan antara lain terjadinya pergantian udara dalam kandang. (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). 2.3.5. Lantai

Lantai yang memenuhi syarat dapat menunjang proses fisis, biologis seperti memamah biak, bernafas dan lainnya sehingga berjalan dengan normal. Lantai yang kasar atau tajam akan dapat menimbulkan luka khususnya pada kulit contohnya lecet sehingga mudah dimasuki organisme kedalam luka tersebut (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Lantai yang licin dapat menyebabkan sapi mudah tergelincir, sedangkan lantai yang lembab dan becek dapat mengganggu pernapasan sapi dan menjadi sarang kuman. Supaya air mudah mengalir atau kering, lantai kandang harus diupayakan miring dengan kemiringan 2-3 cm. Lantai sebagai tempat berpijak dan berbaring sapi sepanjang waktu harus benar-benar memenuhi syarat : tahan injak, tidak licin, tidak mudah menjadi lembab, dan selalu bersih (Siregar, 1993). 2.3.6. Tempat Pakan dan Air Minum

Tempat pakan dan air minum sebaiknya dibuat cekung. Tempat pakan biasanya terbuat dari papan kayu dan tempat air minum menggunakan ember (Siregar, 1993). Kandang yang disekat-sekat dengan pembatas sebaiknya dilengkapi tempat pakan dan air minum dari beton semen secara individual. Masing-masing dibuat dengan ukuran 80 x 50 cm2 untuk tempat pakan dan 40 x 50 cm2 untuk air minum (Blakely dan Blade, 1995).

2.3.7. Selokan atau Parit

Lantai bagian belakang dan di keliling kandang harus dilengkapi parit agar air pembersih kandang dan air untuk memandikan sapi mudah mengalir menuju ke bak penampungan (Blakely dan Blade, 1995). Selokan dibuat dengan lebar 20 - 40 cm dan kedalaman 15 - 25 cm yang untuk memudahkan pembuangan kotoran yang cair, air minum maupun air untuk memandikan sapi (Siregar, 1993). 2.3.8. Tempat Sapi (Petak Kandang)

Pengaturan ukuran kandang yang sesuai kapasitas dapat menjamin kesehatan dan kenyamanan sapi. Sebagai pedoman ukuran luas untuk seekor sapi perah dewasa adalah 1,2 x 1,75 m2. Setiap ruangan bagi sapi-sapi dewasa sebaiknya diberi dinding penyekat untuk memisahkan sapi yang satu dengan yang lain (Siregar, 1993). Dinding penyekat ini dapat terbuat dari tembok, besi bulat (pipa air) ataupun berasal dari kayu atau bambu. Dengan adanya dinding penyekat ini dimaksudkan agar setiap sapi yang menghuni ruangan itu tidak terganggau dengan yang lain, sehingga masing-masing merasa lebih aman. Dengan penyekatan tersebut paling tidak dapat mengurangi atau menghalangi sapi-sapi yang sering memiliki perangai agak agresif (Blakely dan Blade, 1995). 2.4. Anatomi Ambing

Ambing merupakan kelenjar kulit yang ditumbuhi bulu kecuali puting, 4 saluran susu yang terpisah bersama-sama menuju ambing (Schmidt, 1971). Menurut Blakely dan Bade (1995) anatomi ambing seekor sapi perah dibagi menjadi empat kuartir terpisah. Dua kuartir depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir ambing bagian belakang dan antara kuartir itu bebas satu dengan yang lainnya. Tiap-tiap kuartir mempunyai satu putting. Bentuk putting bulat, seragam, terletak pada masing-masing kuartir seperti pada sudut bujur sangkar. Kuartir ambing terdapat saluran tempat air susu keluar yang disebut saluran putting Pemisahan ambing menjadi dua bagian ke arah ventral ditandai dengan adanya kerutan longitudinal pada lekukan intermamae (Frandson, 1992). Masing-masing terdiri dari 2 kuartir, kuartir depan dan belakang dipisahkan oleh lapisan tipis (fine membrane). Lapisan pemisah ini menyebabkan setiap kuartir ambing berdiri sendiri terutama pada kenampakan secara eksterior. Perbedaannya terletak pada ukuran ambing dan struktur atau anatomi bagian dalamnya, yaitu belum sempurnanya kerja sel-sel penghasil susu (Soebronto,1985). 2.4.1. Ambing Sapi Dara

Sapi dara mempunyai ambing dengan ukuran yang lebih kecil dan struktur alveoli yang masih halus. Saluran pada ambing sapi dara belum berkembang dan hanya berupa jaringan adiposa. Puting sapi dara masih sederhana dan belum banyak saluran untuk proses

laktasi. Hal ini dikarenakan pada ambing sapi dara masih berupa bantalan lemak sehingga saluran untuk proses laktasi belum terbentuk (Frandson, 1992). Sapi betina yang telah mencapai dewasa-kelamin, maka estrogen (dihasilkan oleh folikel pada ovarium) merangsang perkembangan sistema duktus yang besar. Siklus yang berulang, jaringan kelenjar susu dirangsang untuk berkembang lebih cepat. Setelah sapi dara mengalami beberapa kali siklus estrus, maka folikel berkembang menjadi korpus luteum dan memproduksi progesteron, yang menyebabkan perkembangan sistema lobul-alveolar (Williamson dan Payne, 1993). 2.4.2. Ambing Sapi Laktasi

Puting ambing sapi laktasi terbentuk sempurna dan berkembang baik seiring dengan perkembangan ambing dan sudah menampakkan saluran yang lengkap seperti, muara putting yang berfungsi tempat berkumpulnya susu, teat canal merupakan saluran putting tempat keluarnya susu, membran mukosa merupakan saluran tipis yang menutupi atau melapisi dinding putting bagian dalam, otot spinter merupakan otot yang mengatur pembukaan dan penutupan putting dan teat meatus (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Pada ambing sapi laktasi, ligamentum lateralis dan ligamentum medialis terlihat jelas. Struktur alveoli lebih banyak dan besar yang membentuk rongga. Vena mammaria pada ambing sapi laktasi tampak jelas karena sapi laktasi sudah dapat memproduksi susu (Frandson, 1992). Suplai darah ke ambing sebagian besar melalui arteri pudendal (pundik) eksternal yang merupakan cabang dari pudendoepigastrik. Arteri pudendal eksternal bergerak ke arah bawah melalui kanalis inguinalis yang berliku-liku dan terbagi menjadi cabang-cabang kranial dan kaudal yang mensuplai bagian depan dan belakang kuarter ambing pada sisi yang sama dari arteri tersebut. Arteri perineal mensuplai sejumlah kecil darah ke bagian kaudal dari kedua bagian (masing-masing separuh bagian) ambing. Aliran vena dari ambing melalui lingkaran vena pada dasar ambing, yang melekat pada dinding abdominal. Vena pada bagian

ambing terdiri atas vena pudendal dan vena epigastrik superfisial kaudal. Vena tersebut berjalan ke arah depan di dalam bidang sagital dari lateral sampai garis tengah dinding abdominal sebelah ventral (Frandson, 1992). Pembagian ambing menjadi empat bagian meliputi jaringan kelenjar dan sistem saluran, yang lebih kurang mirip dua buah pohon yang saling berdekatan di mana ranting serta dahannya saling bertaut, namun masing-masing mempunyai ciri sendiri. Parenkimia (jaringan epitel) dari kelenjar mamae dalam beberapa hal mirip dengan jaringan paru-paru, atau dengan kata lain mirip dengan setandan anggur, dengan alveoli sebagai buah anggurnya, dengan berbagai tingkat duktus digambarkan sebagai batangnya. Alveoli merupakan struktur utama untuk produksi susu (Frandson, 1992). Pada masa kebuntingan yang lanjut terjadi kenaikan bertahap dalam sekresi prolaktin yang dirangsang oleh estrogen. Pelepasan oksitosin pada tiap-tiap pemerahan merangsang sekresi prolaktin. Hormon tersebut masuk lewat darah ke dalam kelenjar susu, merangsang sel-sel epitel untuk mengeluarkan susu diantara waktu pemerahan (Anggorodi, 1994). Laktasi normal pada sapi perah lamanya berkisar antara 305 hari dengan 60 hari masa kering, sedangkan produksi susu tertinggi terjadi pada 6 sampai 12 minggu pertama masa laktasi (Blakely dan Bade, 1995). Semakin lama masa kering yang didapat semakin besar presistensi pada laktasi berikutnya, karena masa kering merupakan masa untuk membangun persediaan zat-zat cadangan makanan (Anggorodi, 1994). 2.5. Judging Sapi Perah

Judging

maupun

seleksi

sapi

perah

dalam

pengamatan

berguna

untuk

menghubungkan antara tipenya sebagai sapi perah yang baik dengan fungsi produksi susunya. Pemberian deskripsi dalam penampilan sapi perah yang ideal biasanya menggunakan semacam kartu skor yang disebut The Dairy Cow Unified Score Card. Kartu

skor tersebut dibagi menjadi 4 bagian utama yaitu: penampilan umum (30 nilai), sifat sapi perah (20 nilai), kapasitas badan (20 nilai), sistem mammae (30 nilai) (Blakely dan Bade, 1995). Penilaian (judging) pada ternak sapi perah dilakukan melalui empat tahapan yaitu : 1) Pandangan samping yaitu untuk menilai keadaan lutut, kekompakan bentuk tubuh, keadaan pinggul dan kaki. 2) Pandangan belakang untuk menilai kelebaran pantat, kedalaman otot, kelebaran dan kepenuhan bokong dan keserasian berdiri pada tumpuan pada kaki-kakinya. 3) Pandangan depan untuk menilai bentuk dan ciri kepalanya, kebulatan bagian rusuk, kedalaman dada dan keadaan pertulangan serta keserasian kaki depan. 4) Perabaan. Penilaian ini untuk menentukan tingkat dan kualitas akhir melalui perabaan yang dirasakan melalui ketitisan, kerapatan dan kelunakan kulit serta perlemakannya (bagian rusuk, transversus processus pada tulang belakang, pangkal ekor, bidang bahu (Santosa, 2007). Klasifikasi penilaian tipe bangsa yaitu : sangat bagus (85 - 90), agak bagus (80 - 84), bagus (75 - 79), sedang (65 - 74), buruk (