penilaian preoperatif dan persiapan operatif pasien hipertensi

26
PENILAIAN PREOPERATIF DAN PERSIAPAN OPERATIF PASIEN HIPERTENSI Penilaian preoperatif Ketika menilai pasien untuk anestesi, bertanya tentang penyakit terkait seperti penyakit jantung iskemik, gagal ginjal dan penyakit serebrovaskular. Ini dapat menilai tingkat kerusakan organ akhir hipertensi, dan karena itu risiko untuk anestesi. Penyelidikan awal yang harus dipertimbangkan termasuk elektrokardiografi (EKG) dan pengukuran elektrolit. Perubahan EKG yang mungkin termasuk hipertrofi ventrikel kiri, blok cabang berkas dan bukti infark miokard lama seperti gelombang Q. Pada pasien terengah-engah rontgen dada harus dilakukan, dan jika penyakit jantung yang signifikan diduga tes toleransi latihan. Sekitar sembilan puluh persen pasien memiliki idiopatik (tidak ada penyebab yang mendasari) hipertensi, tetapi setiap penyebab diobati seperti tumor endokrin, penyakit ginjal dan gangguan terkait kehamilan seperti pre-eklampsia harus dikeluarkan. Pasien dengan hipertensi tidak terkontrol membutuhkan operasi mendesak dapat mengambil manfaat dari teknik anestesi regional untuk menghindari risiko anestesi umum, misalnya sebuah blok pergelangan kaki untuk kaki amputasi. Investigasi Penderita hipertensi seringkali tanpa gejala, dan penilaian pra operasi dengan pengukuran tekanan darah rutin, sering manifestasi pertama dari setiap potensi masalah. Tekanan darah

Upload: yanti-wijaya

Post on 28-Nov-2015

62 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

PENILAIAN PREOPERATIF DAN PERSIAPAN OPERATIF PASIEN HIPERTENSI

Penilaian preoperatif

Ketika menilai pasien untuk anestesi, bertanya tentang penyakit terkait seperti penyakit

jantung iskemik, gagal ginjal dan penyakit serebrovaskular. Ini dapat menilai tingkat

kerusakan organ akhir hipertensi, dan karena itu risiko untuk anestesi. Penyelidikan awal

yang harus dipertimbangkan termasuk elektrokardiografi (EKG) dan pengukuran elektrolit.

Perubahan EKG yang mungkin termasuk hipertrofi ventrikel kiri, blok cabang berkas dan

bukti infark miokard lama seperti gelombang Q. Pada pasien terengah-engah rontgen dada

harus dilakukan, dan jika penyakit jantung yang signifikan diduga tes toleransi latihan.

Sekitar sembilan puluh persen pasien memiliki idiopatik (tidak ada penyebab yang

mendasari) hipertensi, tetapi setiap penyebab diobati seperti tumor endokrin, penyakit ginjal

dan gangguan terkait kehamilan seperti pre-eklampsia harus dikeluarkan. Pasien dengan

hipertensi tidak terkontrol membutuhkan operasi mendesak dapat mengambil manfaat dari

teknik anestesi regional untuk menghindari risiko anestesi umum, misalnya sebuah blok

pergelangan kaki untuk kaki amputasi.

Investigasi

Penderita hipertensi seringkali tanpa gejala, dan penilaian pra operasi dengan pengukuran

tekanan darah rutin, sering manifestasi pertama dari setiap potensi masalah. Tekanan darah

diukur sesuai dengan suara Korotkoff yang merupakan aliran turbulen dalam arteri. Tekanan

darah sistolik diukur pada suara pertama, dan diastolik antara suara keempat dan kelima,

yang merupakan titik sebelum adanya aliran turbulen.

Temuan hipertensi insidental mungkin mengindikasikan penyakit hipertensi lama berdiri.

Untuk menentukan ini, serangkaian pengukuran tekanan darah, yang diambil dengan ukuran

manset yang benar. Ini dihitung dengan mengukur lingkar lengan atas subjek. Sebuah manset

standar yang cocok antara nilai ini dan 20% lebih besar dari lingkar lengan digunakan.

Pengukuran harus terbuat dari periode waktu untuk menentukan kenaikan konsisten dalam

tekanan. Pedoman saat ini menyarankan dua pengukuran berikutnya selama 2 minggu

menggunakan kondisi terbaik yang tersedia. Namun hal ini tidak tepat dalam pengaturan

bedah akut pada pasien yang membutuhkan operasi mendesak. Sejumlah pembacaan tekanan

darah pra operasi dapat diambil lebih dari 2 - 3 jam dengan pasien beristirahat. Sering

tekanan darah mengurangi dari waktu ke waktu ini, yang menunjukkan kecemasan yang

mendasari sebagai penyebab kemungkinan.

Pasien dengan terisolasi "white coat" hipertensi belum terbukti berada pada risiko yang lebih

tinggi dari anestesi dibandingkan kontrol dan karena itu operasi tidak harus ditunda tidak

perlu. Lansia pasien dengan tekanan darah sistolik di bawah 180/190 mmHg juga harus

dipertimbangkan untuk operasi, terutama jika ada sedikit bukti kerusakan organ akhir, karena

nilai-nilai yang dianggap dalam batas normal untuk pasien usia lanjut karena perubahan

fisiologis normal.

Pertimbangan anestesi pada pasien hipertensi

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan tekanan darah berapa sebaiknya yang

paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaananestesia dan

operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off

point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atauoperasi kecuali operasi

emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan

TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring denganpertambahan umur, dimana perubahan ini

lebih dianggap sebagai perubahanfisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli

menganggap bahwahipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas

kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil

studimenunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan

risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.Dalam banyak uji klinik,

terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akanmenurunkan angka kejadian stroke sampai

35%-40%, infark jantung sampai 20-25%dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai

lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak

diperlukan lagi khususnyapada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan

hemodinamik,karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar

terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri.

Penundaanoperasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target

organsehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The AmericanHeart

Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkanacuan bahwa TDS

_ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrolsebelum dilakukan operasi,

terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaanoperasi yang sifatnya urgensi, TD dapat

dikontrol dalam beberapa menit sampaibeberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi

yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai

respon TD yangberlebihan pada periode perioperatif.

Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.

Contoh yang sering terjadi adalahhipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat

pemeliharaan anestesia.Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya

dengan baikakan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak

dikontroldengan baik

Obat-obatan antihipertensi

Dikenal lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk pengobatan

awal hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat

angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin

(Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis kalsium.

A. Diuretik

Mekanisme kerja : Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menghancurkan garam yang

tersimpan di alam tubuh. Pengaruhnya ada dua tahap yaitu : (1) Pengurangan dari volume

darah total dan curah jantung; yang menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah

perifer; (2) Ketika curah jantung kembali ke ambang normal, resistensi pembuluh darah

perifer juga berkurang. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Bumetanide,

Furosemide,Hydrochlorothiazide, Triamterene, Amiloride, Chlorothiazide, Chlorthaldion.

B. Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (β-Blocker)

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker dapat dikaitkan

dengan hambatan reseptor β1 , antara lain : (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan

kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel

jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan Angiotensin II; (3) efek sentral yang

mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroresptor, perubahan

neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosentesis prostasiklin. Contoh antihipertensi dari

golongan ini adalah Propanolol, Metoprolol, Atenolol, Betaxolol, Bisoprolol, Pindolol,

Acebutolol, Penbutolol, Labetalol.

C. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di klinik untuk

pengobatan hipertensi dan gagal jantung.Mekanisme kerja : secara langsung menghambat

pembentukan Angiotensin II dan pada saat yang bersamaan meningkatkan jumlah bradikinin.

Hasilnya berupa vasokonstriksi yang berkurang, berkurangnya natrium dan retensi air, dan

meningkatkan vasodilatasi (melalui bradikinin). Contoh antihipertensi dari golongan ini

adalah Kaptopril, Enalapril, Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril, Lisinopril.

D. Penghambat Reseptor Angiotensin

Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II (tipe 1). Pengaruhnya lebih

spesifik pada Angiotensin II dan mengurangi atau sama sekali tidak ada produksi ataupun

metabolisme bradikinin. Contoh antihipertensi darigolongan ini adalah Losartan, Valsartan,

Candesartan, Irbesartan, Telmisartan,Eprosartan, Zolosartan.

E. Antagonis Kalsium

Mekanisme kerja : antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos

pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan

relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering

diikuti efek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan obat

dihidropirin (Nifedipine). Sedangkan Diltiazem dan Veparamil tidak menimbulkan takikardia

karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh antihipertensi dari golongan

ini adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil, Nifedipine.

Efek Samping Antihipertensi dari golongan diuretik, ACE-inhibitor dan beberapa β-Blocker

dapat menyebabkan reaksi likenoid. ACE-inhibitor juga diasosiasikan dengan kehilangan

sensasi pada lidah dan rasa terbakar pada mulut. ACE–inhibitor danpenghambat reseptor

angiotensin II pernah diimpliksikan bahwa keduanya menyebabkan angioedema pada rongga

mulut pada sekelompok 1% dari pasien yang mengonsumsinya. Meskipun oedema pada

lidah, uvula, dan palatum lunak yang paling sering terjadi, tetapi oedema larynx adalah yang

paling serius karena berpotensi menghambat jalan nafas. Efek samping obat–obatan

antihipertensi pada rongga mulut adalahxerostomia, reaksi likenoid, pertumbuhan gingiva

yang berlebih, pendarahan yang parah, penyembuhan luka yang tertunda. Sedangkan efek

samping yang sistemik yang paling sering dilaporkan adalah konstipasi, batuk, pusing,

mengantuk, letih, frekuensi berkemih yang meningkat, berkuranya konsentrasi, disfungsi

seksual dan rasa tidak enak pada perut.

Perlengkapan monitor

Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dantujuan

penggunaanya:

• EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasienhipertensi punya

risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

• TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:hanya digunakan

untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCIberulang.

• Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringanperifer.

• Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kitamempertahankan kadar

CO2.

• Suhu atau temperature.

Premedikasi

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.Untuk hipertensi

yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakanan siolitik seperti golongan

benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari

pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikitair non partikel. Beberapa klinisi

menghentikan penggunaan ACE inhibitor denganalasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.

Pemberian obat premedikasi bertujuan:

1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien ( menghilangkan kekhawatiran, memberikan

ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi)

2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anestesi.

3. Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi.

4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, brakikardi, mual dan muntanh pascaanestesi.

5. Mengurangi stress fisiologis (takikardia, napas cepat, dll)

6. Mengurangi keasaman lambung.

Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai berikut:

1) Analgetik narkotik

Morfin

Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuskular. Diberikan untuk

mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, dan agar anestesi

berjalan dengan tenag dan dalam.

Petidin

Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena. Diberikan untuk

menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otot polos.

2) Barbiturat

Pentobarbital dan Sekobarbital

Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1

mg/kgBB secara oral atau intramuskular.Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak

diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Yang mudah

didapat adalah fenobarbital dengan efek depresan yang lemah terhadap pernafasan dan

sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.

3) Obat antikolinergik

Atropin

Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit.

Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.

4) Obat penenang

Diazepam

Diazepam (valium®) merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis rendah

bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.

Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan

dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB)

intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kgBB intravena.

ANESTESI PASIEN HIPERTENSI INTRAOPERATIF

Tekanan arteri rata-rata cenderung turun sebagai periode anestesi berkembang karena

berbagai faktor, termasuk efek langsung dari anestesi, penghambatan dari sistem saraf

simpatik, dan hilangnya kontrol refleks baroreseptor tekanan arteri. Perubahan ini dapat

menyebabkan episode hipotensi intraoperatif. Pasien yang sebelumnya telah hipertensi lebih

cenderung mengalami intraoperatif darah labilitas tekanan (baik hipotensi atau hipertensi)

[6], yang dapat menyebabkan iskemia miokard [7].

Tekanan darah dan detak jantung perlahan-lahan meningkat karena pasien pulih dari efek

anestesi selama periode pasca operasi segera. Individu hipertensi khususnya mungkin

mengalami peningkatan yang signifikan dalam parameter ini [8].

Induksi

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncanganhemodinamik pada

pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namunsaat intubasi sering

menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi

perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehinggapreloading cairan

penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebeluminduksi. Disamping itu hipotensi

juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karenaefek dari obat anestesi dan efek dari obat

antihipertensi yang sedang dikonsumsioleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin

receptor blocker.3,8,10Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena

laringoskopi danintubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat

menyebabkaniskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-

intubasiendotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah

15detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapateknik

dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untukmenghindari

terjadinya hipertensi.

• Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.

• Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25mikrogram/kgbb, sufentanil

0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1mikrogram/ kgbb).

• Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

• Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,propanolol 1-3

mg, atau labetatol 5-20 mg).

• Menggunakan anestesia topikal pada airway.

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untukmasing-masing

klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkatkeamanannya adalah sama

untuk induksi pada penderita hipertensiUntuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-

atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran

bisa digunakan sebagaiobat induksi secara inhalasi.

Anastetik inhalasi

1) Halotan

Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan tidak

merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesikombinasi dengan

N2O. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan alirandarah otak yang sulit

dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah

otak.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,

depresimiokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya

lemah,anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada indikasi

kontra.

2) Enfluran

Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer setelah adakecuriagan

gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan berulang. Pada EEGmenunjukkan

tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada

pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk

dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi denganadrenalin lebih aman 3 kali

dibanding halotan.Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-

volatilyang dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi

dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding halotan.Efek depresi napas lebih kuat

dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi

lebih kuat dibanding halotan, depresi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi

terhadap otot lurik lebih baik dibandinghalotan.

3) Sofluran

Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atausubanestetik

menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikanaliran darah otak

dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekananintrakranial ini dapat

dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk

bedah otak.

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi

teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.Isofluran

dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dankurang responsif

jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan.

Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

4) Desfluran

Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip

isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengan anestetik volatil lainnya,

sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnyamendekati suhu

ruangan (23.5ºC). potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifatsimpatomimetik menyebabkan

takikardia dan hipertensi. Efek depresi napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran

merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakanuntuk induksi anestesia.

5) Sevofluran

Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih

cepatdibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang

jalannapas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.Efek

terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf

pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian

dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda

lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuhmanusia.

Anastetik intravena

Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental, methothexital); benzodiazepine

(midazolam, diazepam); opioid analgesic (morphine, fentanyl, sufentanil, alfentanil,

remifentanil); propofol; ketamin, suatu senyawa arylcylohexylamine yang dapat

menyebabkan keadaan anestesi disosiatif dan obat-obat lain ( droperianol, etomidate,

dexmedetomidine).

1) Barbiturat

Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis

Hambat pernapasan di medula oblongata

Hambat kontraksi otot. jantung, tdk timbulkan sensitisasi jantung thd ketekolamin

Dosis : induksi = 2 mg/kgBB (i.v) dlm 60 dtk; maintenance = ½ dosis induksi

2) Ketamin

sifat analgesik, anestetik, kataleptik dg kerja singkat

analgesik kuat utk sistem somatik, lemah utk sistem viseral

relaksasi otot polos lurik (-), tonus meninggi

tingkatkan TD, nadi, curah jantung

Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca

anestesi dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk.

Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi mdasolam (dormikum)

atau diazepam (valium) dengan dosis 0.1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi

salivasi diberikan sulfas atropin 0.001 mg/kg.

Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10

mg.

Ketamin dikemas dalam cairan bening dengan kepekatan 1% (1ml=10mg), 5%

(1ml=50 mg) dan 10 % (1ml=100 mg)

3) Fentanil dan droperidol

Analgesik & anestesi neuroleptik

Kombinasi tetap

Aman diberikan pd px yg alami hiperpireksia ok anestesi umum lain

Fentanil :masa kerja pendek, mula keja cepat

Droperidol : masa kerja lama & mula kerja lambat

4) Propofol

Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik

dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).

Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya

dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total

4- 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.

Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan pada wanita hamil tidak

dianjurkan.

5) Diazepam

Suatu benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan kegelisahan, efek relaksasi

otot yang bekerja secara sentral, dan bila diberikan secara intravena bekerja sebagai

antikejang. Respon obat bertahan selama 12-24 jam menjadi nyata dalam 30-90 mnt

stlah pemberian secara oral dan 15 mnt slah injeksi intravena.

Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine, pemberian parenteral

dikontraindikasikan pada pasien syok atau koma

Cause tidur dan penurunan kesadaran disertai nistagmus, bicara lambat

Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB

6) Opioid

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.

Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi

pasien dengan kelainan jantung.

Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg, dilanjutkan

dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit

Obat pelumpuh otot

Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkananestesia umum inhalasi, melakukan

blokade saraf regional, danmemberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko

depresi napasdan depresi jantung,Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan

pelumpuhotot sangat terbatas. Tetapi sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan

penawar opioid, maka penggunaanya jadi semakin rutin. Anestesia tidak perludalam, hanya

sekedar supaya tidak sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis tinggi, dan ototlurik dapat

relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot.Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa

serabut otot lurik dansambungan ujung saraf dengan ototlurik disebut sambungan saraf otot.

Maka pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockadeneuro-muskular

Tabel dosis obat dan efek obat pelumpuh otot

Pemeliharaaan anestesi dan monitoring

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaananestesia adalah

meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar.

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah

samapentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi

kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebraldan ginjal. Sehingga

pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunanaliran darah serebral dan iskemia

serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat

antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal.

Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan

yang sebaiknya diperhatikan,yaitu:8

• Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimalyang dianjurkan

untuk penderita hipertensi.

• Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejalahipoperfusi otak.

• Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadianstroke.

• Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang

terjadi pada serebral.Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi

denganmemperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan

volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balanceanesthesia)

dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravenabisa digunakan untuk

pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapatdipergunakan sebagai teknik anesthesia,

namun perlu diingat bahwa anestesiaregional sering menyebabkan hipotensi akibat blok

simpatis dan ini sering dikaitkanpada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi

tidak beresponterhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain

harusdipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroidstorm.

Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasitidak memerlukan

monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsungdiperlukan terutama jenis

operasi yang menyebabkan perubahan preload danafterload yang mendadak. EKG diperlukan

untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk

penderita yang mengalamimasalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk

operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk

memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau

adanya kerusakan end organ yang lain.

Hipertensi intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga padaperiode anestesia

maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidakberespon dengan didalamkannya

anestesia dapat diatasi dengan antihipertensisecara parenteral. Namun faktor penyebab

bersifat reversibel atau bisadiatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau

hiperkapnea harusdisingkirkan terlebih dahulu.

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,penyebab hipertensi,

fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakitbronkospastik pulmoner dan

juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atauefek yang diinginkan dari pemberian obat

tersebut .Berikut iniada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan

•Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasiendengan fungsi

ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan padabronkospastik.

•Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

•Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual seringdihubungkan dengan

iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyaionset yang lambat.

•Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif padahipertensi sedang

sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapiatau pencegahan

iskemia miokard.

•Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsiginjal.

•Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onsetyang lambat

sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia

Krisis hipertensi

Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan

dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkanada tidaknya ancaman

kerusakan target organ atau kerusakan target organ yangprogresif. Pasien dengan hipertensi

sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yanglebih tinggi dibandingkan individu yang

sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi

dibandingkan emergensi. Hal-halyang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah

antara lain karenapenggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom,

obat-obatpenyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia

sepertipheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbuladalah

sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini. Krisishipertensi terbagi atas

hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti

adanya kerusakan target organ yang sedangterjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra

serebral, kegagalan ventrikel kiriakut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme

aorta, IMA, eclampsia,anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang

memerlukan intervensifarmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati

jarang terjadipada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg

sedangkanpada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-

tandaensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanitahamil

dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi danmemerlukan terapi

segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemiakoroner akut, sehingga MAP

diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama,selanjutnya pelan-pelan diturunkan

sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tandapenurunan TD ditoleransi dengan baik adalah

selama fase ini tidak ada tanda-tandahipoperfusi target organ. Hipertensi urgensi adalah

situasi dimana TDmeningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan

target organ.Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas.

PenurunanTD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat

ditanganidengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.

PENATALAKSANAAN POST OPERATIF

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasienyang menderita

hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhanoksigen miokard sehingga

berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa

juga menyebabkan stroke dan perdarahanulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi

vaskuler dan dapat berkonstribusimenyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga

menghambatpenyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi

adabanyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidakteratasi

dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri,overload cairan atau

distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untukmemberikan obat-obat antihipertensi,

penyebab-penyebab sekunder tersebut harusdikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu

faktor yang paling berkonstribusimenyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk

pasien yang berisiko, nyerisebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin

epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,

makaintervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwameskipun

pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudahmempunyai riwayat

hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetapdiberikan.1Hipertensi pasca

operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensisecara parenteral misalnya dengan

betablocker yang terutama digunakan untukmengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi.

Apabila penyebabnya karenaoverload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila

hipertensinya disertaidengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan

iskemiamiokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat

diberikannitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi

beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisamakan

dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.