pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap ......representasi verbal, representasi visual, dan...
TRANSCRIPT
5
A. PENDAHULUAN
Matematika dalam jenjang menengah mempersiapkan siswa untuk menangani
solusi kuantitatif dalam kehidupan nyata. Proses mempersiapkan murid tersebut,
kemampuan berhitung, bernalar dan memecahkan masalah perlu diasah sehingga
mampu dalam memahami matematika. Upaya memahami matematika bertujuan
untuk menyelesaikan masalah matematika dan hal itu tidak lepas kaitannya dari
kemampuan siswa merepresentasikan ide-ide atau pun gagasan dalam menghadapi
permasalahan matematika tersebut. Merepresentasikan berarti mampu untuk
mengkomunikasikan permasalahan, membuat model permasalahan dan
memecahkan permasalahan tersebut secara lisan maupun tertulis (Santrock 2009a;
Muijs & Raynolds 2008).
Berdasarkan Permendiknas no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Mata
Pelajaran Matematika untuk semua jenjang pendidikan dasar maupun menengah
dinyatakan bahwa tujuan mata pelajaran matematika di sekolah adalah supaya
siswa mampu memahami konsep, menggunakan penalaran, memecahkan masalah,
mengomunikasikan gagasan, dan memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan. Sejalan dengan Standar Isi tersebut, tujuan
pembelajaran diantaranya adalah untuk mengembangkan komunikasi matematis,
penalaran matematis, pemecahan matematis, dan representasi matematis. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematis bisa dipandang sebagai
proses untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa (Badan
Nasional Standar Pendidikan 2006).
Kemampuan representasi dianggap cukup beralasan tercantum dalam Standar
Proses, mengingat bahwa kemampuan representasi siswa membantu siswa
berpikir secara matematis dan mengembangkan ide serta gagasan matematis.
Dalam Executive Summary: The Principals and Standards School of Mathematics
dikatakan: The ways in which mathematical ideas are represented is fundamental
to how people understand and use those ideas, artinya adalah langkah dimana ide-
ide matematis direpresentasikan, hal itu bisa sangat berguna untuk seseorang
memahami dan menggunakan ide-ide tersebut. Kemampuan representasi
matematis sangat diperlukan siswa dalam memahami konsep dan menyelesaikan
6
masalah matematik. Kompentensi siswa dapat ditingkatkan melalui peran
representasi matematis. (Executive Summary: The Principals and Standards
School of Mathematics 2004;Kartini 2009)
Kartini dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
menjelaskan bahwa pengajaran matematika tidak sekedar pemberian informasi
seperti aturan, definisi atau prosedur yang harus dihafal siswa, keikutsertaan siswa
dalam pembelajaran mampu memperkuat pemahaman konsep matematika. Siswa
aktif dalam menalar dan mengkonstruksi secara terus menerus hingga terjadi
perubahan ke arah yang lebih kompleks. Karakterisitik tersebut terdapat dalam
Pembelajaran Berbasis Masalah dimana pembelajaran ini terdiri dari 5 tahap yaitu
mengorientasikan siswa kepada masalah, mengorganisasi siswa dalam belajar,
membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan serta
menyajikan hasil karya, dan menganalisa serta mengevaluasi proses pemecahan
masalah. Pembelajaran Berbasis Masalah diharapkan secara aktif membangun
representasi matematis siswa sehingga siswa lebih memahami apa yang mereka
kerjakan dalam penyelesaian masalah (Kartini 2009;Arends 2008b).
Pembelajaran Berbasis Masalah adalah pembelajaran dimana guru
mempresentasikan ide-ide atau mendemonstrasikan berbagai keterampilan, peran
guru adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan
memfasilitasi investigasi dan dialog. Siswa disuguhkan berbagai bentuk masalah
dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk sampai pada ide-ide atau
teorinya sendiri. Piaget mengemukakan ketika siswa sampai pada ide-ide atau
teori mereka secara tidak langsung mereka mengkonstrusikan secara aktif
representasi-representasi di benaknya tentang lingkungan yang mereka alami.
(Santrock 2009a;Piaget 1972;Arends 2008b).
Pembelajaran Berbasis Masalah mempunyai salah satu fitur penting yaitu
pertanyaan atau masalah, dimana Pembelajaran Berbasis Masalah diorganisasikan
di seputar situasi-situasi kehidupan nyata, yang menolak jawaban sederhana.
Langkah awal untuk mengatasi masalah adalah menemukan dengan tepat apa arti
masalahnya. Murid harus menemukan masalah matematik yang relevan dari
informasi kontekstual yang ada di sekitarnya. Kemampuan representasi matematis
7
yang akurat tentang masalah itu perlu dikembangkan. Penelitian menunjukkan
bahwa siswa yang diminta untuk menjelaskan masing-masing langkah dalam
penyelesaian masalah lebih sukses dibanding murid-murid yang tidak diminta
melakukan itu (Gagne 1965; Muijs & Raynolds 2008).
Berdasarkan hasil wawancara guru dan observasi, kemampuan representasi
matematis siswa kelas VIII masih tergolong rendah dengan hasil belajar siswa
kelas VIII yang juga tergolong rendah dimana banyak siswa memiliki hasil belajar
dibawah KKM. Hal itu didukung oleh penelitian Risdiyanto (2011) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif kemampuan representasi matematis
siswa dengan hasil belajar, sehingga ketika hasil belajar tinggi maka kemampuan
representasi matematisnya pun tinggi dan begitu pula dengan sebaliknya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan representasi matematis siswa kelas
VIII SMP Negeri 6 Salatiga rendah. Siswa kesulitan menentukan langkah-langkah
penyelesaian yang diperlukan. Terbukti dengan pekerjaan siswa saat mengerjakan
soal cerita materi Pythagoras. Soal yang diberikan adalah sebagai berikut ‘sebuah
tangga dengan panjang 10 m disandarkan kepada tembok, jarak ujung atas tangga
ke lantai adalah 8 m, berapakah jarak ujung bawah tangga ke tembok?’. Dalam
mengerjakan soal itu siswa tidak membuat model permasalahan namun langsung
memasukkan angka-angka itu ke dalam rumus pythagoras ‘jarak ujung bawah
tangga ke tembok = ’ dan hasilnya salah. Siswa kesulitan
dalam menentukan informasi-informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan
soal sehingga sulit bagi siswa untuk menentukan langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Guru memberikan pembelajaran
ekspositori dimana guru menjelaskan materi secara verbal sehingga siswa lebih
banyak mendengar dan mengikuti instruksi guru sehingga saat mengerjakan soal
siswa jarang memahami terlebih dahulu isi dan maksud dari permasalahan
tersebut. Hal itu jelas menunjukkan bahwa siswa tidak mempunyai ruang untuk
merepresentasikan ide-ide atau gagasan-gagasannya. Siswa hanya menerima saja
tanpa aktif turut serta dalam berpikir dan mencari penyelesaiain dari masalah yang
ada.
8
Pembelajaran Berbasis Masalah diharapkan mampu memberikan kesempatan
untuk siswa memberikan ide-ide dan gagasan-gagasannya dalam pembelajaran
sehingga kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6
Salatiga terus dapat dibangun. Berdasarkan hal itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah
terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas VIII SMP Negeri 6
pada materi Garis Singgung Lingkaran Salatiga Semester Genap Tahun Ajaran
2013/2014.
B. KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan pembelajaran yang berorientasi
pada kerangka teoritik konstruktivisme. Engel menyatakan bahwa The goal of
problem based learning is twofold: to learn a required set of competencies and to
develop problem solving skills that are necessary for lifelong learning, artinya:
Ada 2 tujuan akhir dari Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu belajar sesuai syarat
kompetensi yang ada dan mengembangkan pemecahan masalah selama belajar
sepanjang hayat (Ngalimun 2014;Boud & Felleti 1991 (Eds.)).
Students in small teams would explore a problem situation and through this
exploration were expected to examine the gaps in their own knowledge and skills
in order to decide what information they needed to acquire in order to resolve or
manage the situation with which they were presented, artinya: Siswa-siswa dalam
kelompok-kelompok kecil menggali masalah melalui penyelidikan yang
diharapkan menjelaskan kesenjangan di dalam pengetahuan mereka dan
kemampuan untuk memutuskan informasi mana yang mereka butuhkan untuk
memperoleh maksud dan menyelesaikan ulang atau mengatur situasi yang
disuguhkan pada mereka. Definisi tentang Pembelajaran Berbasis Masalah itu
mengacu pada problem scenarios yang diutarakan oleh Barrows dan Tamblyn
yaitu Pembelajaran Berbasis Masalah adalah pembelajaran dengan karakteristik,
fokus pembelajaran tidak hanya mengenal satu jawaban “benar”, siswa bekerja
dalam tim untuk mengahadapi masalah serta penyelesaiannya, siswa mengambil
9
hal baik dari pengetahuan baru melalui pembelajaran yang self-directed, pengajar
bertindak sebagai fasilitator dimana fasilitator membimbing siswa dalam
penyelidikan dan membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil, dan orientasi
pembelajaran pada masalah menjadi penunjang kecakapan dalam penyelesaian
masalah. Problem-based learning (PBL) is a method of learning in which learners
first encounter a problem followed by a systematic, learner-centered inquiry and
reflection process, artinya: Pembelajaran Berbasis Masalah adalah metode
pembelajaran dimana siswa bertemu masalah yang tersusun sistematis, penemuan
terpusat pada siswa dan proses refleksi (Maggi & Claire 2004;Barrows &
Tamblyn 1980;Division of Teacher and Educational Development 2002).
Esensi Pembelajaran Berbasis Masalah berupa menyuguhkan berbagai situasi
bermasalah yang yang autentik dan bermakna kepada siswa, sebagai batu loncatan
untuk investigasi dan penyelidikan. Proyek-proyek Pembelajaran Bebasis Masalah
yang pada awalnya dikembangkan di John Hopkins University yang dimaksudkan
untuk mengintegrasikan kurikulum di bidang sains, ilmu pengetahuan sosial, dan
menulis. Siswa belajar materi akademis dan keterampilan mengatasi masalah
dengan terlibat dalam berbagai macam masalah di kehidupan nyata. Therefore, the
central concept of problem-based learning is that students will learn content as
effectively as they would through lecture by attempting to solve realistic problems,
artinya: Maka dari itu, konsep utama dari Pembelajaran Berbasis Masalah adalah
menyiapkan siswa belajar konten seefektif siswa mengikuti sekolah dengan
menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan nyata atau realistis (Slavin,
dkk. 1994;Biley & Smith 1998;Ward & Lee 2002;Arends 2008b).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka penulis mendefinisikan
Pembelajaran Berbasis Masalah atau juga disebut Problem Based Learning adalah
kegiatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk melihat masalah yang
berkaitan dengan kehidupan nyata dan memberikan siswa kesempatan untuk
membangun pengetahuannya dengan pengalaman yang ada pada mereka untuk
menyelesaikan masalah dengan pengajar sebagai fasilitator. Secara garis besar
Pembelajaran Berbasis Masalah menyajikan kepada siswa suatu masalah yang
autentik dan bermakna dengan memberikan kemudahan kepada siswa untuk
10
menyelesaikan masalah tersebut melalui suatu penyelidikan dan inkuiri. Berikut
sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah:
Tabel 1
Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase Aktivitas Guru
Fase 1:
Mengorientasikan siswa kepada
masalah
Menjelaskan tujuan
pembelajaran yang diperlukan,
memotivasi siswa dengan
memperhadapkan siswa pada
masalah kontekstual
Fase 2:
Mengorganisasi siswa untuk
belajar
Membantu siswa membatasi dan
mengorganisasi tugas belajar
yang berhubungan dengan
masalah yang dihadapi
Fase 3:
Membimbing penyelidikan
individu maupun kelompok
Mendorong siswa
mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan
eksperimen dan mencari untuk
penjelasan dan pemecahan
Fase 4:
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Membantu siswa merencanakan
dan menyiapkan karya yang
sesuai laporan, video dan model,
dan membantu mereka untuk
berbagi tugas dengan temannya.
Fase 5:
Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Membantu siswa melakukan
refleksi terhadap penyelidikan
dan proses yang digunakan
selama berlangsungnya
pemecahan masalah
Kemampuan Representasi Matematis Siswa
Siswa mempunyai cara mereka sendiri untuk mengkonstruksikan
pengetahuannya. Siswa yang mengkonstrusikan pemikirannya memulai untuk
merepresentasikan ide-ide dalam memahami sebuah konsep.
When students gain access to mathematical representations and the ideas
they express and when they can create representations to capture mathematical
concepts or relationships, they acquire a set of tools that significantly expand
11
their capacity to model and interpret physical, social, and mathematical
phenomena, artinya: Ketika siswa-siswa terakses kepada representasi matematis
dan ide-ide yang mereka ekspresikan dan ketika mereka dapat membuat
representasi untuk menangkap konsep matematika atau hubungan-hubungan,
mereka memperoleh seperangkat alat yang secara signifikan memperluas
kapasitas mereka untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik,
sosial, dan matematika. Brenner dalam Kartini (2009) menyatakan bahwa proses
pemecahan masalah yang sukses bergantung dari keterampilan seseorang
merepresentasikan, seperti mengkonstrusikan dan menggunakan representasi
matematik di dalam kata-kata, grafik, tabel, persamaan-persamaan, dan
manipulasi symbol (Executive Summary: The Principals and Standards School of
Mathematics 2004).
Konsep tentang representasi merupakan salah satu konsep psikologi yang
digunakan dalam pendidikan matematika untuk mengetahui tentang cara berpikir
siswa. Konsep ini perlu dijelaskan sehingga di dapat pengertian yang tepat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, representasi diartikan sebagai perbuatan yang
mewakili, ataupun kegiatan yang diwakili. Sejalan dengan pengertian KBBI,
Kaput dkk menyatakan: A representation is defined as any configuration of
characters, images, concrete objects etc., that can symbolize or “represent”
something else, yang artinya: representasi didefinisikan sebagai konfigurasi dari
kata-kata, gambar, objek yang konkret dll., yang dapat menyimbolkan atau
mewakili sesuatu hal. Sama halnya dengan Goldin dan Shteingold yang
mendefinisikan representasi sebagai berikut: A representation is typically a sign
or configuration of signs, characters, and objects, artinya: representasi adalah
konfigurasi yang menggambarkan simbol-simbol, kata-kata, dan gambar-gambar
(Kaput 2001;Janvier 1987;Gagatsis & Elia 2004;Cuoco & Curcio (Ed.) 2001).
Lesh dkk membagi kemampuan representasi matematis ke dalam lima jenis,
yaitu representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol
aritmatika, representasi bahasa atau lisan dan representasi gambar atau grafik.
Representasi simbol aritmatika, representasi bahasa atau lisan, dan representasi
gambar merupakan tingkat representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan
12
masalah. Kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan
menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi rumus aritmatika.
Kemampuan representasi bahasa atau lisan adalah kemampuan menerjemahkan
masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa. Kemampuan
representasi gambar adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematis ke
dalam representasi gambar atau grafik (Janvier (Ed.) 1987). Berdasarkan
pernyataan Lesh, dkk mengenai kemampuan representasi matematis siswa, dapat
dikelompokkan kemampuan representasi matematis siswa ke dalam 3 aspek yaitu,
representasi verbal, representasi visual, dan reprsentasi simbolik.
Kemampuan representasi matematis siswa diukur sesuai model dari Lane dan
Jakabcsin (1996) dalam Kramarski (2004). Berkaitan dengan ketiga aspek
kemampuan representasi matematis maka dibuat kriteria penilaian kemampuan
representasi matematis siswa yaitu kriteria kemampuan representasi verbal,
kriteria representasi visual dan kriteria representasi simbolik. Setiap kriteria
diskor dengan skor 0 sampai 4 sesuai model Lane dan Jakabcsin dalam Handayani
(2013).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan representasi matematis adalah
ungkapan dari ide-ide yang dipergunakan untuk mengkomunikasikan hasil
kerjanya sebagai hasil interpretasi dari proses berpikirnya. Sedangkan kemampuan
representasi matematis adalah kemampuan untuk mengungkapkan ide-ide
matematis ke dalam tiga bentuk skor, yaitu skor representasi visual (gambar,
diagram, atau tabel), skor representasi simbolik (notasi matematik atau
numerik/simbol aljabar), dan skor representasi verbal (teks tertulis/kata-kata)
sebagai interpretasi dari pikirannya.
C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian eksperimen semu
(Quasi Experimental Research) dengan desain penelitian Randomized Only
Control Group Pascatest Design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas
VIII SMP Negeri 6 Salatiga. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
random sampling sehingga didapat kelas VIII G dan kelas VIII H sebagai sampel
13
penelitian. Siswa kelas VIII G sebagai kelas eksperimen berjumlah 25 siswa
mendapatkan perlakuan Pembelajaran Berbasis Masalah sedangkan kelas VIII H
sebagai kelas kontrol yang berjumlah menggunakan pemebelajaran ekspositori.
Data dikumpulkan dengan instrumen posttest untuk mengukur kemampuan
representasi matematis siswa. Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS
16.00. Sedangkan untuk menguji kelayakan data menggunakan expert judgement
atau validator ahli. Kisi-kisi kerangka kerja instrumen posttest dapat dilihat pada
Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2
Kisi-kisi Soal Uraian Posttest Kemampuan Representasi Matematis Siswa
(Kemampuan Representasi Verbal, Visual, dan Simbolik)
Materi Garis Singgung Lingkaran
No Indikator Soal Tujuan Pembelajaran No
Soal
1 Menentukan Kedudukan Dua
Lingkaran
Dengan disajikan beberapa gambar
lingkaran, siswa dapat menentukan
Kedudukan-kedudukan Lingkaran
tersebut dengan benar
1a
2
Menentukan panjang Garis
Singgung Persekutuan Dalam
Dua Lingkaran dan melukis
Garis Singgung Persekutuan
Dalam Dua Lingkaran tersebut
Dengan diberikan jari-jari ingkaran
besar serta jarak , jari-jari lingkaran
kecil, dan jarak antara kedua pusat
lingkaran siswa dapat melukis Garis
Singgung Persekutuan Dalam Dua
Lingkaran tersebut dan menghitung
panjangnya. dengan benar
1b
3
Menentukan panjang Garis
Singgung Persekutuan Luar
Dua Lingkaran dan melukis
Garis Singgung Persekutuan
Luar Dua Lingkaran tersebut
Dengan diberikan jari-jari lingkaran
besar, jari-jari lingkaran kecil, dan
jarak antara kedua pusat lingkaran
siswa dapat melukis Garis Singgung
Persekutuan Luar Dua Lingkaran
tersebut dan menghitung panjangnya
dengan benar
1c
4
Menentukan salah satu jari-jari
Garis Singgung Persekutuan
Dalam Dua Lingkaran
Dengan diberikan jarak kedua pusat
lingkaran, panjang Garis Singgung
Persekutuan Dalam Dua Lingkaran,
dan salah satu jari-jari lingkaran, siswa
dapat menghitung panjang jari-jari
2
14
lingkaran lain dengan benar
5
Menentukan jarak pusat
lingkaran Garis Singgung
Persekutuan Luar Dua
Lingkaran
Dengan diberikan jari-jari lingkaran
besar, jari-jari lingkaran kecil, dan
panjang Garis Singgung Persekutuan
Luar Dua Lingkaran, siswa dapat
menentukan jarak pusat lingkaran
dengan benar
3
6
Menentukan panjang Garis
Singgung Persekutuan Luar
Dua Lingkaran
Dengan diberikan jari-jari lingkaran
besar, jari-jari lingkaran kecil, dan
jarak antara kedua pusat lingkaran
siswa dapat menentukan panjang Garis
Singgung Persekutuan Luar Dua
Lingkaran tersebut dan menghitung
panjangnya dengan benar
4
7
Menentukan panjang
hipotenusa sebuah segitiga dan
luas segitiga
Dengan disajikan gambar Dua buah
lingkaran dan jari-jari kedua buah
lingkaran, siswa dapat menghitung
panjang garis yang diminta dan
menhitung luas segitiga yang diminta
dengan benar
5
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi Pembelajaran Berbasis Masalah pada kelas
eksperimen, semua fase pembelajaran terlaksana dalam tiga kali pertemuan, siswa
dapat menikmati pembelajaran sehingga proses Pembelajaran Berbasis Masalah
berjalan dengan baik.
Berdasarkan observasi pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol, semua
langkah pembelajaran terlaksana dalam tiga kali pertemuan. Siswa mengikuti
seluruh langkah pembelajaran sehingga proses pembelajaran ekspositori berjalan
dengan baik.
Sesuai dengan definisi operasional dari kemampuan representasi matematis
siswa maka analisis meliputi skor representasi verbal, skor representasi visual, dan
skor representasi simbolik yang nantinya secara keseluruhan menjadi skor posttest
kemampuan representasi matematis siswa. Setiap aspek dikategorikan menjadi
tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berikut distribusi frekuensi skor
ketiga aspek dari kemampuan representasi matematis siswa dan juga distribusi
15
frekuensi secara keseluruhan skor posttest kemampuan representasi matematis
siswa:
Gambar 1
Diagram Distribusi Frekuensi Skor Representasi Verbal Siswa
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan perbandingan skor representasi verbal
yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menunjukkan bahwa skor
representasi verbal kelas eksperimen lebih baik dari skor representasi verbal kelas
kontrol.
Gambar 2
Diagram Distribusi Frekuensi Skor Representasi Visual Siswa
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan perbandingan skor representasi visual
yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menunjukkan bahwa skor
representasi visual kelas eksperimen lebih baik dari skor representasi visual kelas
kontrol.
0 5
10 15
0 ≤ Skor < 38
(rendah)
38 ≤ Skor ≤ 65
(sedang)
65 < Skor ≤ 100
(tinggi)
Kelas Kontrol 12 15 0
Kelas Eksperimen 3 11 11
Frek
uen
si
0 5
10 15 20
0 ≤ Skor < 37
(rendah)
37 ≤ Skor ≤ 68
(sedang)
68 < Skor ≤ 100
(tinggi)
Kelas Kontrol 16 8 3
Kelas Eksperimen 2 9 14
Frek
uen
si
55,6% 44%
59,3% 56%
16
Gambar 3
Diagram Distribusi Frekuensi Skor Representasi Simbolik Siswa
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan perbandingan skor representasi
simbolik yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menunjukkan
bahwa skor representasi simbolik kelas eksperimen lebih baik dari skor
representasi simbolik kelas kontrol.
Setelah mengetahui analisis skor ketiga aspek kemampuan representasi
matematis maka berikut distribusi frekuensi secara keseluruhan skor posttest
kemampuan representasi matematis siswa.
Gambar 4
Diagram Distribusi Frekuensi Skor Posttest Kemampuan Representasi
Matematis Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan perbandingan skor posttest kemampuan
representasi matematis siswa yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen
yang menunjukkan bahwa skor kemampuan representasi matematis siswa kelas
0 2 4 6 8
10 12 14
0 ≤ Skor < 57
(rendah)
57 ≤ Skor ≤ 80
(sedang)
80 < Skor ≤ 100
(tinggi)
Kelas Kontrol 11 13 3
Kelas Eksperimen 3 9 13
Frek
uen
si
0
5
10
15
0 ≤ Skor < 45
(rendah)
45 ≤ Skor ≤ 70
(sedang)
70 < Skor ≤ 100
(tinggi)
Kelas Kontrol 13 12 2
Kelas Eksperimen 4 6 15
Frek
uen
si
48,1% 52%
48,1% 60%
17
eksperimen lebih baik dari skor kemampuan representasi matematis siswa kelas
kontrol.
Berdasarkan dari uji normalitas dan homogenitas yang telah dilakukan
terbukti bahwa data skor posttest kemampuan representasi matematis siswa
sebagai data yang terdistribusi dengan normal.
Tabel 3
Hasil Analisis Uji Normalitas Skor Posttest Kemampuan Representasi
Matematis Siswa Kelas Kontrol
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
Kelas_Kontrol .119 27 .200* .964 27 .452
Tabel 4
Hasil Analisis Uji Normalitas Skor Posttest Kemampuan Representasi
Matematis Siswa Kelas Eksperimen
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
Kelas_Eksperimen .102 25 .200* .942 25 .161
Berdsasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan taraf signifikan lebih dari
5% pada uji Shapiro-Wilk sehingga kedua kelas berdistribusi normal.
Homogenitas data dapat dilihat pada Tabel yang menunjukkan taraf
signifikan sebesar 0,967 sehingga dapat dikatakan data homogen. Setelah
diketahui data berdistribusi normal dan homogen maka dapat dilanjutkan ke uji t
dengan Independent Sample T-Test (Uji Banding Dua Sampel). Tabel 5
menunjukkan ada tidaknya perbedaan rataan skor posttest kemampuan
representasi siswa antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan taraf
signifikansi 5%
18
Tabel 5
Hasil Analisis Uji t Skor Posttest Kemampuan Representasi Matematis Siswa
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T Df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Skor
Rep
Equal
variances
assumed
.002 .967 4.874 50 .000 27.433 5.628 16.128 38.737
Equal
variances
not
assumed
4.863 49.050 .000 27.433 5.641 16.096 38.769
Berdasarkan hasil analisis Independent Sample T-Test (Uji Banding Dua
Sampel) sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 5, dilakukan uji hipotesis
penelitian. Dasar pengambilan keputusan didasarkan pada nilai signifikansi atau
probabilitas yaitu jika signifikansi > 5% atau 0,05, maka H0 diterima dan jika
signifikansi < 5% atau 0,05, maka H0 ditolak. Hasil uji t Independent Sample Test
pada Equal variances assumed diperoleh skor koefisien t sebesar 4,874 dengan
nilai signifikan sebesar 0,000 yang berarti 0,000 lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan
hasil uji t Independent Sample Test tersebut, maka H0 yang menyatakan tidak
terdapat pengaruh yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap
kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga pada
materi garis singgung lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014 ditolak.
Menolak H0 artinya menerima H1 maka hipotesis yang menyatakan terdapat
pengaruh yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap kemampuan
representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga pada materi garis
singgung lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014 diterima. Terbukti
19
dari rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas eksperimen
yaitu 71,84 lebih baik dari rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa
kelas kontrol yaitu 44,41. Hal itu didukung dengan nilai Mean Difference pada
Tabel 2 yang menunjukkan besar perbedaan rata-rata skor posttest kemampuan
representasi matematis siswa kedua kelas sebesar 27,433 sehingga Pembelajaran
Berbasis Masalah berpengaruh terhadap kemampuan representasi matematis
siswa.
Rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol yang
hanya sebesar 44,41 berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran ekspositori tidak efektif digunakan untuk membuat kemampuan
representasi matematis siswa berada pada kategori sedang, maupun tinggi.
Rendahnya rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol
yang menggunakan pembelajaran ekspositori adalah tidak adanya kegiatan
pembelajaran yang membantu siswa untuk merepresentasikan ide-idenya melalui
gagasan atau pendapatnya saat menerima pembelajaran. Berdasarkan analisis data,
siswa yang berada pada kategori rendah untuk kemampuan representasi matematis
berjumlah 13 siswa dengan persentase 48,1%, 12 siswa berkategori sedang
dengan persentase 44,4%, dan 2 siswa berkategori tinggi dengan persentase 7,4%.
Pada kelas eksperimen, rata-rata skor kemampuan representasi matematis
siswa adalah sebesar 71,84 berada pada kategori tinggi. Hal tersebut terjadi karena
adanya penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah dimana siswa mengikuti
fase-fase Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu orientasi siswa pada masalah,
pengorganisasian kelompok, penyelidikan masalah, penyajian hasil karya atau
presentasi siswa, evaluasi dan analisis masalah untuk pengambilan kesimpulan.
Siswa diberikan masalah berupa soal yang menuntut siswa untuk menggunakan
kemampuan representasi matematisnya lebih banyak dan berusaha untuk
menemukan solusi untuk penyelesaiannya. Berdasarkan analisis data, siswa yang
berada pada kategori rendah berjumlah 4 siswa dengan persentase 16%, 6 siswa
berkategori sedang dengan persentase 24%, dan 15 siswa berkategori tinggi
dengan persentase 60%.
20
Temuan dalam penelitian ini adalah adanya perubahan sikap selama proses
pembelajaran berlangsung. Siswa yang diberi perlakuan Pembelajaran Berbasis
Masalah selama proses pembelajaran tidak lagi menganggap teman lainnya
sebagai pesaingnya namun menjadi partner atau teman belajar. Siswa tidak lagi
takut untuk mengungkapkan ide ataupun gagasannya selama pembelajaran
berlangsung. Siswa dalam menyelesaikan masalah lebih percaya diri karena tidak
dituntut untuk menjawab dengan benar. Guru sebagai fasilitator membuat siswa
lebih nyaman saat meminta bimbingan saat penyelidikan masalah.
Berdasarkan kajian teori yang dikemukakan dan dari hasil analisis data, dapat
disimpulkan bahwa rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas
VIII G sebagai kelas eksperimen dengan Pembelajaran Berbasis Masalah lebih
besar daripada rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII
H sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran ekspositori. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya pengaruh yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap
kemampuan representasi matematis siswa SMP Negeri 6 Salatiga pada materi
garis singgung lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap kemampuan representasi
matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga pada materi garis singgung
lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014.
F. DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I. (2008b). Learning To Teach Belajar untuk Mengajar (buku
dua). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Badan Nasional Standar Pendidikan. (2006). Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta : BNSP.
Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M. (1980). Problem-Based Learning: An Approach
to Medical Education. New York : Springer.
21
Biley, F. C., & Smith, K. L. (1998). Exploring the potential of problem-based
learning in nurse education. Jurnal : Nurse Education Today, 18, 352-361.
Division of Teaching and Educational Development . (2002). Teacher and
Teaching Development, University of New Mexico, Health Science Center,
School of Medicine To Problem-Based Learning (PBL) Tutorials In Phase I
Curriculum of the University of New Mexico School of Medicine. New
Mexico : Teaching and Educational Development.
Engel, C. (1991). ‘Not Just a Method But a Way of Learning’. Dalam Boud, D. &
Feletti, G. (Eds). The Challenge of Problem Based Learning. London :
Kogan Page.
Executive Summary –Principles and Standards School of Mathematics- diambil
dari www.nctm.org pada tanggal 25 Januari 2014.
Gagatsis A. & Elia, I. (2004). The Effect of Different Modes of Representation On
Mathematical Problem Solving. Prosiding: Proceedings of the 28th
Conference of the International Group for the Psychology of Mathematical
Education. Vol. 2 pp 447 – 454.
Gagne, R. M. (1965). The conditions of learning. New York : Holt, Rinehart and
Winston.
Goldin, G., & Shteingold, N. (2001). Systems of representations and the
development of mathematical concepts. Dalam Cuoco, A. A. & Curcio, F.
R. (Eds.). The Roles of Representation In School Mathematics (pp. 1-24).
Reston : NCTM Publications.
Handayani, Hani. (2013). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap
Kemampuan Pemahaman dan representasi matematis siswa sekolah dasar.
Universitas Pendidikan Indonesia: repository.upi.edu
Janvier, C. (1987). Representations and understanding: The notion of function as
an example. Dalam Janvier, C. (Ed.). Problems of Representations in the
Learning and Teaching of Mathematics (pp. 67-73). New Jersey : Lawrence
Erlbaum Associates.
Kaput, J. J. (2001). Representation and the Psychology of Mathematics Education.
Jurnal : Journal of Mathematics Behavior Vol 17 Numbers 1 and 2.
22
Kartini. (2009). Peranan Representasi dalam Pembelajaran Matematika Seminar
Nasional Matematika. Prosiding: Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika FKIP UNRI (hal:22).
Kramarski, Bracha. (2004). Enhancing Mathematical Literacy with The Use of
Metacognitive Guidance in Forum Discussion. Prosiding: Proceeding of
28th
Conference of The International Group For The Psychology of
Mathematics Education, 2004, vol. 3 pp. 169-176
Lesh, R., dkk. (1983). Conceptual models in applied mathematical problem
solving. Dalam Lesh, R & Landau, M.(Eds.). Acquisition of Mathematics
Concepts and Processes (pp. 263-343). New York : Academic Press.
Maggi & Claire. (2004). The Foundations of Problem-based Learning, The
Society for Research in Higher Education, Open University Press : Great
Britain Medical Education. New York : Springer.
Muijs, Daniel & Raynolds, David. (2008). Effective Teaching Teori dan Aplikasi
(Edisi kedua). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ngalimun. (2014). Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta : Aswaja
Presindo.
Piaget, J. (1972). The Psychology of the Child. New York : Basic Books
Risdiyanto. (2011). Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penekanan
Representasi untuk meningkatkan hasil belajar dan kerjasama dalam
kelompok pokok bahasan teorema pytaghoras pada siswa kelas VIII A
semester 1 SMPN 4 Randudongkal Pemalang Tahun Pelajaran 2010/2011.
Skripsi Fakultas MIPA, IKIP PGRI Semarang.