pengaruh jenis media dan konsentrasi...

32
PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI THIDIAZURON TERHADAP PERTUMBUHAN PLB (Protocorm like bodies) ANGGREK VANDA TRICOLOR SECARA IN VITRO Usulan Penelitian Diajukan oleh : Sri Wahyuni 20140210014 Program Studi Agroteknologi Kepada FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2018

Upload: dothu

Post on 29-May-2019

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI

THIDIAZURON TERHADAP PERTUMBUHAN PLB

(Protocorm like bodies) ANGGREK VANDA TRICOLOR

SECARA IN VITRO

Usulan Penelitian

Diajukan oleh :

Sri Wahyuni

20140210014

Program Studi Agroteknologi

Kepada

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2018

ii

ii

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki potensi besar untuk

pengembangan anggrek, karena diketahui Indonesia memiliki sekitar 5000 spesies

dari sekitar 30.000 spesies anggrek di dunia (Irawati, 2002). Menurut data yang

diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2016), menunjukkan bahwa produksi anggrek

dari tahun 2012 adalah 20.727.891 tangkai, pada tahun 2013 adalah 20.277.672

tangkai, tahun 2014 adalah 19.739.627 tangkai, tahun 2015 adalah 21.513.280

tangkai, dan tahun 2016 adalah 11.523.610 tangkai (Kementan, 2016).

Salah satu varietas lokal anggrek di Indonesia adalah anggrek Vanda

tricolor. Anggrek ini merupakan anggrek endemik Gunung Merapi, yang banyak

tumbuh liar di pohon dadap, angsana dan pohon-pohon tahunan lainnya.

Namun, spesies V. tricolor di habitat asalnya dilaporkan mulai menurun, hal

ini diakibatkan oleh bencana semburan awan panas yang terjadi pada tahun 1994

yang telah menghanguskan 80 % habitat asli anggrek ini. Kerusakan alam akibat

aktivitas gunung Merapi ini juga terjadi pada tahun 2002 dan 2006 yang semakin

mengancam keberadaan anggrek Vanda tricolor. Berdasarkan hasil inventarisasi

Balai TNGM pada tahun 2010, dari 70 spesies anggrek yang hidup di lereng

Merapi, tersisa kurang dari 50 spesies, termasuk didalamnya spesies Vanda tricolor.

Selain itu, faktor lain dari berkurangnya populasi anggrek ini adalah banyaknya

masyarakat sekitar yang mengambil kemudian mengkoleksi dan menjual anggrek-

anggrek ini tanpa adanya perbanyakan kembali (Metusala, 2006). Oleh karena itu,

usaha konservasi untuk menyelamatkan tanaman anggrek V. tricolor dari

kepunahan perlu dilakukan.

Wujud upaya pelestarian yang telah dilakukan BKSDA dalam

meningkatkan populasi Vanda tricolor adalah melaksanakan usaha penangkaran

dengan membentuk 5 kelompok tani konservasi dari 3 Kecamatan di Lereng Selatan

Gunung Merapi. Upaya budidaya yang dilakukan kelima kelompok tani tersebut

dinilai masih kurang optimal karena ketidaktepatan teknik budidaya yang

2

dilakukan, sehingga berdampak pada lambatnya pertumbuhan dan

perkembangbiakan anggrek Vanda tricolor (Metusala, 2006).

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk melestarikan

keanekaragaman anggrek adalah dengan cara melakukan perbanyakan melalui

kultur in vitro. Menurut Rindang, dkk. (2012), perbanyakan melalui kultur in vitro

merupakan metode perbanyakan yang sangat bermanfaat bagi spesies tanaman

langka untuk tujuan konservasi.

Penelitian perbanyakan anggrek Vanda tricolor dengan kultur in vitro telah

dilakukan oleh Rineksane dan Sukarjan (2015), dalam penelitian ini, digunakan dua

medium yaitu ½ MS dan NDM dengan penambahan zat pengatur tumbuh berupa

TDZ (Thidiazuron), BAP serta NAA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

medium NDM dengan penambahan 0,5 mg/l Thidiazuron mampu menghasilkan

kalus dan merupakan perlakuan terbaik dalam menginduksi kalus anggrek Vanda

tricolor dari eksplan daun in vitro. Penelitian tersebut hanya menggunakan dua

jenis media kultur yang mana penggunaan media NDM menghasilkan perlakuan

terbaik. Selain itu, eksplan yang digunakan hanya satu jenis yaitu potongan daun,

sehingga belum diketahui media maupun eksplan lain yang dapat digunakan dalam

memperbanyak anggrek Vanda tricolor. Diketahui bahwa jenis eksplan yang

digunakan berpengaruh dalam keberhasilan kultur in vitro. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Dwiyani (2013), menyimpulkan bahwa untuk pembentukan kalus

pada V. tricolor, eksplan batang (yang mengandung bakal tunas atau meristem

apikal) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan eksplan daun. Dengan

demikian, diperlukan penelitian lanjutan untuk meneliti berbagai macam media

tumbuh dan eksplan lain yang dapat digunakan.

Protocorm like bodies (PLB) merupakan suatu struktur berbentuk bulatan-

bulatan yang dibentuk oleh jaringan eksplan dan atau kalus in vitro (Morel, 1960

dalam Wijayani, dkk., 2006). PLB ini akan membentuk pucuk dan akar sebagai

awal perkecambahan pada biji yang tidak mempunyai endosperm. PLB pada

anggrek berwarna kuning kehijauan yang mana menunjukkan bahwa biji anggrek

yang disemai telah berkecambah.

3

Medium yang digunakan merupakan salah satu faktor yang sangat

berpengaruh terhadap keberhasilan subkultur. Medium tumbuh yang biasa

digunakan untuk perkecambahan anggrek adalah media Murashige dan Skoog

(MS), Vacin and Went (VW) (Bey et al., 2006), dan New Dougashima Medium

(NDM). Penelitian dengan menggunakan media MS untuk anggrek telah dilakukan

oleh Pasanda (2016). Penelitian ini menunjukkan hasil respon anggrek hibrida

Phalaenopsis Sogo Yokidian #F1442 di terbaik adalah pada media MS. Media VW

pernah digunakan sebagai media kultur dalam penelitian anggrek vanda yang

dilakukan oleh Rupawan dkk. (2014). Penelitian ini menujukkan bahwa VW yang

ditambahkan 2 ppm Giberelin dan 250 ml air kelapa per liter media merupakam

perlakuan yang sesuai untuk pertumbuhan anggrek bulan. Sedangkan penelitian

dengan menggunakan media NDM dilakukan oleh Sukarjan (2015) pada tanaman

anggrek Vanda tricolor. Perlakuan media NDM dengan penambahan 0,5

thidiazuron merupakan perlakuan terbaik.

Selain medium, ZPT juga akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan

anggrek. Peran ZPT dalam kultur in vitro sangat penting, antara lain mengatur

kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan

bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman.

Zat pengatur tumbuh pada kultur in vitro terdiri dari golongan sitokinin dan auksin

(Lestari, 2011). NAA merupakan ZPT golongan auksin, sedang TDZ merupakan

ZPT golongan sitokinin. Penelitian dengan menggunakan ZPT Thidiazuron telah

banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rineksane

dan Sukarjan (2015), penambahan Thidiazuron sebanyak 0,5 mg/l dalam media

NDM menghasilkan induksi kalus terbaik pada kultur anggrek in vitro.

Penelitian ini akan menguji berbagai jenis media dan konsentrasi

Thidiazuron untuk menginduksi pertumbuhan PLB (protocorm like bodies)

anggrek Vanda tricolor.

4

B. Perumusan Masalah

1. Jenis media yang tepat untuk pertumbuhan anggrek Vanda tricolor dengan

kultur in vitro?

2. Bagaimana pengaruh berbagai konsentrasi TDZ terhadap anggrek Vanda

tricolor ?

C. Tujuan

1. Mengetahui interaksi antar macam media dengan ZPT Thidiazuron.

2. Mendapatkan media terbaik untuk pertumbuhan PLB (protocorm like

bodies) anggrek Vanda tricolor secara in vitro.

3. Mendapatkan konsentrasi Thidiazuron terbaik terhadap pertumbuhan PLB

(protocorm like bodies) anggrek Vanda tricolor secara in vitro

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anggrek Vanda tricolor

Anggrek genus vanda merupakan anggrek dengan variasi bentuk dan warna

yang banyak. Dengan demikian, anggrek ini diklasifikasikan menjadi 40 spesies

yang keberadaannya tersebar mulai dari India bagian timur, Sri Langka, Myanmar,

Thailand, Indochina, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Indonesia hingga Australia.

Dari ke-40 spesies yang ada, sekitar 20 spesies berada di kepulauan Indonesia yang

menyebar di hutan-hutan tropis di Pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Maluku

dan Papua (Hardjo, 2017).

Anggrek Vanda tricolor merupakan spesies anggrek endemik di kawasan

lereng Gunung Merapi. DiIndonesia sendiri, anggrek Vanda tricolor dapat tumbuh

baik pada ketinggian 800-1.700 mdpl, khususnya di hutan yang cukup terbuka.

Namun demikian, spesies ini mampu beradaptasi baik seperti pada saat fase

berbunga dengan sempurna pada ketinggian 200-300 mdpl (Anonim, 2016).

Anggrek Vanda tricolor memiliki batang bundar, panjang dan kokoh.

Tinggi tanaman dapat mencapai 2 m, daun berbentuk pita agak melengkung dengan

ujung daun rumpang bersudut tajam dengan lebar sekitar kurang lebih 3 cm dan

panjang mencapai 45 cm yang tersusun saling bergantian pada batang yang tumbuh

tegak. Tandan bunga dapat mencapai ukuran 50 cm yang menyangga 10 – 20

kuntum bunga, dimana kuntum – kuntum bunga ini tumbuh dari ketiak daun. Sepal

dan petal bunga anggrek Vanda tricolor memiliki warna dasar antara putih dan

kuning dengan corak totol berwarna coklat hingga kuning, dengan totol-totol merah

keunguan. Bunga anggrek Vanda tricolor berbau harum, aroma harum ini sangat di

pengaruhi oleh ketinggian tempat hidupnya, di dataran tinggi aromanya sangat kuat

dan semakin turun ke dataran rendah aromanya akan semakin berkurang. Diameter

bunga anggrek Vanda tricolor dapat mencapai ukuran 10 cm, serta bunga dapat

bertahan hingga 20-25 hari (Metusala, 2006).

Secara umum, klasifikasi anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis menurut

Dressler dan Dodson (1960) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi :

Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo :

6

Orchidales Familia : Orchidaceae Genus : Vanda Spesies : Vanda tricolor Lindl.

var. Suavis.

Perbanyakan tanaman anggrek sendiri sebenarnya dapat dilakukan secara

generatif maupun vegetatif. Perbanyakan secara vegetatif dilakukan dengan

repotting (pemisahan rumpun) dan kultur in vitro, sedangkan perbanyakan secara

generatif yaitu dengan menggunakan biji. Namun, perkembangbiakan secara

generatif membutuhkan waktu yang lama karena embrio atau biji anggrek bukan

merupakan biji yang sempurna dan tidak mempunyai cadangan makanan untuk

pertumbuhan embrionya. Oleh karena itu untuk mengecambahkan atau

menumbuhkan biji anggrek mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi (Susilo, 1990)

dalam Handayani dan Isnawan, (2015). Dengan demikian, perbanyakan tanaman

anggrek melalui kultur in vitro merupakan teknik perbanyakan yang lebih tepat.

B. Kultur In vitro

Kultur in vitro sendiri merupakan teknik mengisolasi bagian tanaman,

kemudian menumbuhkannya dalam media buatan yang mengandung nutrisi

lengkap di lingkungan yang steril sehingga bagian tanaman tersebut tumbuh

menjadi tanaman sempurna (George, 1993).

Menurut Nursyami (2010), perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan ini

mempunyai keunggulan seperti: (a) tingginya homogenitas tanaman, (b) tingginya

vigor tanaman, dan (c) memiliki genetik yang sama dengan induknya. Penggunaan

bibit hasil kultur jaringan juga akan mengurangi biaya pemeliharaan seperti

penyulaman dan umur produksinya lebih singkat.

Namun, teknik kultur jaringan juga mempunyai beberapa kelemahan

misalnya munculnya variasi somaklonal yang akan menyebabkan penyimpangan

fenotip dari sifat genetik tanaman induknya. Hal ini terjadi karena subkultur yang

berlebihan serta organogenesis tidak langsung (perbanyakan dari kalus) serta

konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan terlalu tinggi (Mariska et al.,

1992). Masalah lain yang banyak dihadapi dalam aplikasi teknik kultur jaringan

khususnya di Indonesia adalah modal investasi awal yang cukup besar dan masih

7

terbatasnya sumberdaya manusia yang menguasai dan terampil dalam bidang kultur

in vitro.

Keberhasilan kultur in vitro sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti

bahan tanam (eksplan), medium tumbuh, dan Zat Pengatur Tumbuh. Bahan tanam

dalam kultur in vitro biasa disebut eksplan, yaitu bagian dari tanaman yang

digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur (Vidyasagar, 2006). Dalam

teknik kultur in vitro, semua bagian tanaman yang bebas mikroorganisme dapat

dicoba sebagai eksplan, walaupun demikian tidak semua jaringan tanaman mudah

ditumbuhkan (Wareing dan Phillips, 1976).

Menurut Hartmann et al., (1990), hal yang harus diperhatikan dalam

memilih bahan eksplan untuk kultur adalah ukuran eksplan, umur fisiologinya, dan

organ yang menjadi sumber bahan tanaman. Ukuran eksplan ini akan

mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan planlet. Tunas dengan ukuran besar lebih

tahan pada saat dipindahkan ke dalam kondisi kultur, pertumbuhannya lebih cepat

serta menghasilkan lebih banyak mata tunas. Adapun kelemahan dari penggunaan

eksplan yang berukuran besar adalah sulit mendapatkan kultur yang aseptik serta

akan memerlukan bahan tanaman yang lebih banyak.

Medium tumbuh sangat mempengaruhi keberhasilan dalam kultur in vitro.

Unsur hara esensial adalah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman untuk

menyelesaikan siklus hidupnya, yang mana fungsi unsur hara tersebut tidak dapat

digantikan oleh unsur yang lain dan diperlukan dalam proses metabolisme tanaman

sebagai komponen molekul anorganik atau sebagai kofaktor dalam reaksi enzim

(Orcutt and Nilsen, 2000).

Faktor terakhir yang mempengaruhi keberhasilan kultur in vitro adalah

ZPT. Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam konsentrasi rendah

mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan

dan perkembangan tanaman. Gunawan (1988) mengatakan bahwa dalam kultur

jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin

dan auksin.

8

Menurut Nursyami (2010), tahapan dalam perbanyakan dengan kultur in

vitro meliputi :

1. Tahap inisiasi, adalah tahap awal kultur yang bertujuan untuk

mendapatkan eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi

pertumbuhan baru.

2. Tahap multiplikasi atau biasa disebut tahap perbanyakan, tunas tunas yang

tumbuh dari hasil induksi diperbanyak dengan cara memotong setiap ruas

dan menanamnya pada media perbanyakan.

3. Tahap perakaran, yang memiliki tujuan untuk pembentukan akar dan

pembentukan plantlet yang mandiri serta pucuk tanaman yang cukup kuat

hingga dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-

vitro ke lingkungan alamiahnya. Tunas-tunas hasil multiplikasi yang

belum mempunyai akar dipindahkan ke media yang mengandung lebih

banyak auksin.

4. Tahap aklimatisasi, yang merupakan tahap akhir dari kultur jaringan

tanaman adalah tahap aklimatisasi. Aklimatisasi dapat didefinisikan

sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada

lingkungan yang baru. Proses aklimatisasi sangat penting karena akan

menentukan apakah tanaman yang berasal dari in vitro dapat beradaptasi

atau tidak pada kondisi in-vivo.

C. Media Kultur In Vitro

Keberhasilan perbanyakan maupun perkembangbiakan tanaman dengan

metode kultur in vitro secara umum sangat tergantung pada jenis medium yang

digunakan. Menurut Gunawan (1992), ada tiga penggolongan medium tumbuh,

yaitu medium padat, semi padat dan cair. Unsur-unsur hara yang terkandung dalam

ketiga media tersebut sama, namun yang membedakan adalah penggunaan pemadat

berupa agar pada media padat dan semi padat.

Pemilihan media kultur in vitro ini tergantung pada spesies tanaman,

jaringan atau organ yang akan digunakan dan tujuan dilakukannya kultur in vitro

tanaman. Pada proses perakaran, akan lebih baik dilakukan pada media padat.

9

Pembentukan bagian tanaman (morfogenesis) langsung maupun tidak langsung

juga akan tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik,

anorganik dan zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam suatu media kultur.

Sedangkan media cair umumnya digunakan untuk keperluan suspensi sel,

keperluan isolasi dan fusi protoplas.

Komposisi medium yang digunakan dalam kultur in vitro dapat berbeda.

Perbedaan komposisi medium ini dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan

dan perkembangan eksplan. Beberapa media yang biasa digunakan dalam kultur in

vitro adalah Murashige dan Skoog (MS), Vacin and Went, dan Dougashima

Medium (NDM).

1. Media MS

Media Murashige & Skoog (MS) merupakan perbaikan komposisi

media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung

pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung

40 mM N dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan lainnya berupa Kalium

20 mM dan P 1,25 mM (Erwin dalam Sutriani, 2014). Pertama kali unsur-unsur

makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, namun komposisi

pada media MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman

lain, termasuk anggrek.

Seperti dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Pasanda, (2016).

Penelitian ini menggunakan anak semai anggrek hibrida Phalaenopsis Sogo

Yokidian #F1442, yang dilakukan secara in vitro. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa media MS memberikan respon terbaik terhadap

pertumbuhan tinggi anak semai, panjang daun, panjang akar, jumlah daun,

jumlah akar, dan berat segar individu anggrek hibrida Phalaenopsis

dibandingkan dengan media Knudson C.

2. Media VW

Knudson (1922), menemukan penambahan 7,6 mM NH4+ disamping 8,5

mM NO3-, sangat baik untuk perkecambahan dan pertumbuhan biji anggrek.

Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm. Selain

10

itu, Bey dkk (2006) melaporkan bahwa penggunaan media VW yang

ditambahkan ZPT jenis giberelin dapat mempercepat pembentukan Protocorm

Like Bodies (PLB) pada tanaman anggrek.

Penelitian pada kultur in vitro anggrek dengan menggunakan media VW

telah banyak dilakukan. Salah satu contohnya adalah penelitian oleh Rupawan,

dkk,. (2014), yang menggunakan planlet anggrek dengan perlakuan media MS

dan VW serta ZPT giberelin yang dikombinasi dengan air kelapa. Hasil

penelitian menunjukkan komposisi media VW yang ditambahkan 2 ppm

giberelin dan 250 mL air kelapa per liter media lebih sesuai bagi pertumbuhan

anggrek bulan. Rata-rata tinggi planlet, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah

akar anggrek bulan yang tumbuh pada komposisi media tersebut masing-masing

1,82 cm, 2,55 tunas, 2,00 helai daun dan 2,25 helai akar per planlet.

3. Media NDM

Media NDM merupakan medium yang mengandung banyak komponen

organik. Penelitian mengenai media NDM sebagai media untuk kultur in vitro

sebelumnya telah dilakukan oleh Tokuhara dan Mii (1993). Dari hasil

penelitian, didapatkan lebih dari 10.000 PLB pada anggrek Phalaeonopsis dan

Doritaenopsis selama 1 tahun dengan mengkulturkan eksplan potongan pucuk.

Peneltian anggrek Vanda tricolor dengan menggunakan media NDM

secara kultur in vitro telah dilakukan oleh Sukarjan (2015). Penelitian ini

menggunakan medium yaitu ½ MS dan NDM dengan penambahan thidiazuron

dengan konsentrasi 0 mg/l, 0,5 mg/l serta 1 mg/l. Hasil penelitian Sukarjan

(2015) ini menunjukkan bahwa medium NDM dengan penambahan

Thidiazuron mampu menghasilkan kalus anggrek Merapi. Medium NDM

dengan penambahan 0,5 mg/l Thidiazuron merupakan perlakuan terbaik dalam

menginduksi kalus anggrek Vanda tricolor.

D. Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan hara, yang dalam

jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologis

tumbuhan (Abidin, 1990). Zat pengatur tumbuh dalam teknik kultur jaringan

11

memberikan pengaruh sangat nyata. Zurkarnain (2009) menyatakan bahwa sangat

sulit untuk menerapkan teknik kultur jaringan pada upaya perbanyakan tanaman

tanpa melibatkan zat pengatur tumbuh. Dalam kultur in vitro dua golongan zat

pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin.

1. Sitokinin (Thidiazuron)

Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi dan

mendorong pembelahan sel dan memperlambat proses penghancuran butir-buitr

klorofil pada daun yang terlepas dari tanaman. Sitokinin juga berperan sebagai

perkembangan dominasi apikal, perkembangan tunas adventif dan diferensial

tunas.

Thidiazuron atau yang sering disingkat menjadi TDZ merupakan salah

satu contoh ZPT golongan sitokinin. TDZ merupakan senyawa yang dapat

diserap secara langsung dari medium oleh eksplan atau tanaman in vitro. Oleh

karena pengaruhnya yang sangat kuat, hormon ini digunakan dalam konsentrasi

yang rendah dibanding jenis sitokinin yang lain. Selain itu penelitian lainnya

membuktikan bahwa TDZ sebagai salah satu senyawa Phenylurea sintetik

(Hamidah et al., 1997), yang mana ZPT ini banyak menentukan dalam inisiasi

kalus (Singh dan Syamal, 2001).

Thidiazuron pertama kali diperkenalkan pada tahun 1976 Oleh

Schering. Thidiazuron berpotensi memacu frekuensi regenerasi pada kacang

tanah (Arachis hipogaea) secara in vitro, dan memacu pembentukan tunas

adventif pada beberapa jenis tumbuhan (Huetterman dan Prece, 1993) karena

dapat menginduksi proses pembelahan sel secara cepat pada kumpulan sel

meristem sehingga terbentuk primordia tunas (George dan Sherington, 1993).

Thomas dan Katterman (1986) juga menduga bahwa TDZ mempunyai

kemampuan memacu sintesis sitokinin endogen atau menghambat perombakan

sitokinin. Murthy et al. (1998) menyatakan bahwa aktivitas TDZ berhubungan

erat dengan metabolisme purin sebagai rantai dasar sitokinin dan auksin.

Menurut Sukarjan (2015), Thidiazuron merupakan senyawa kimia yang

mempunyai sifat termolabil, yaitu senyawa yang bekerja pada suhu tertentu dan

12

akan mengalami penurunan kualitas bahkan rusak pada suhu tinggi, sehingga

penggunaan Thidiazuron sebaiknya dilakukan menggunakan milipore agar

cendawan penyebab kontaminasi tersaring dan aplikasinya dapat dilakukan di

LAF.

Fungsi sitokinin dalam kultur in vitro adalah mendorong pembelahan

sel-sel. Perbandingan konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi daripada auksin

akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan tunas, akan tetapi jika auksin

lebih tinggi daripada sitokinin akan merangsang pertumbuhan dan

pembentukan akar. Bila sitokinin dan auksin memiliki konsentrasi yang sama,

maka akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan kalus.

Sitokinin mendorong pembelahan dengan cara meningkatkan peralihan

G2 ke mitosis, dan dalam hal ini sitokinin juga meningkatkan laju sintesis

protein. Bererapa protein itu adalah protein pembangun atau erzim yang

dibutuhkan untuk mitosis. Sitokinin juga dapat memperpendek fase S yaitu

dengan cara mengaktifkan DNA, sehingga ukuran salinan DNA menjadi dua

kali lebih besar, kemudian terjadi sintesis DNA (Dwiyati, 2016).

2. Auksin (NAA)

Auksin merupakan salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari

proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman. Auksin berpengaruh

terhadap perkembangan sel yang menunjukkan adanya indikasi bahwa auksin

dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan

permeabilitas sel terhadap air, dan melunakkan dinding sel yang diikuti

menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang

disertai dengan kenaikan volume sel (Hendaryono, dkk. 1994).

Salah satu jenis auksin yang biasa digunakan dalam kultur in vitro

adalah NAA (Naphthalene Acetic Acid). Menurut Salisbury dan Ross (1995)

bahwa NAA merupakan hormon tiruan dari IAA (Indol Acetic Acid) dan tidak

dihasilkan oleh tanaman tetapi memiliki daya kerja seperti auksin. NAA juga

lebih sering digunakan daripada IAA karena NAA tidak terurai oleh enzim IAA

oksidase atau enzim yang dikeluarkan oleh sel saat proses sterilisasi melalui

13

pemanasan. Dengan kata lain, NAA mempunyai sifat lebih stabil dari pada IAA

(Fitrianti, 2006).

Menurut Dwiyati (2016), secara umum sistem kerja hormon auksin

yaitu menginisiasi pemanjangan dan pembesaran sel serta memacu protein

tertentu yg ada di membran plasma sel untuk memompa ion H+ ke dinding sel.

Ion H+ akan mengaktifkan enzim tertentu sehingga memutuskan beberapa

ikatan silang hidrogen dengan rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel

tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis melalui

dinding sel.

E. Hipotesis

Diduga hasil pertumbuhan PLB terbaik pada anggrek Vanda tricolor yaitu

media NDM dengan konsentrasi TDZ 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.

14

III. TATACARA PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Kultur In vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta..

Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Februari 2018 sampai dengan April 2018.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah PLB anggrek

Vanda tricolor. PLB ini berasal dari biji anggrek Vanda tricolor yang sebelumnya

telah dikulturkan. Medium persemaian yang digunakan adalah medium MS padat

yang dikombinasikan dengan ZPT BAP dosis 0,2 mg/L dan NAA dosis 0,5 mg/L.

Bahan lain yang digunakan adalah media MS, VW dan NDM, Zat Pengatur

Tumbuh (TDZ dan NAA), Plant Preservatif Mixture (PPM), arang aktif, Phytagel,

sukrosa, alkohol, alumunium foil, kertas payung, karet, HCl, KOH, plastik wrap,

spirtus dan aquades steril.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi botol kultur,

erlenmeyer, petridish, gelas ukur, dissecting kits, pH meter, timbangan analitik,

stirer, millipore, pipet tetes, pembagi media, sendok, bunsen, cawan timbang,

autoklaf, dan Laminar Air Flow.

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental yang

disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial (3x3) dengan 2 faktor.

Faktor pertama adalah medium tumbuh yang terdiri dari 3 aras yaitu media MS

(M1), media VW (M2), dan media NDM (M3). Faktor kedua adalah konsentrasi

ZPT TDZ yang terdiri dari 3 aras yaitu 0 mg/l (T1), 0,5 mg/l (T2) dan 1 mg/l (T3)

disertai dengan penambahan NAA sebanyak 0,5 mg/l dan arang aktif sebanyak 0,2

g/liter pada setiap media. Jumlah eksplan perbotol adalah 1 buah eksplan. Setiap

kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali. PLB anggrek yang dibutuhkan

sebanyak 90 buah. Kombinasi perlakuannya yaitu :

15

ZPT T1 T2 T3

MEDIA TDZ 0 mg/l TDZ 0,5 mg/l TDZ 1 mg/l

MS (M1) M1T1 M1T2 M1T3

VW (M2) M2T1 M2T2 M2T3

NDM (M3) M3T1 M3T2 M3T3

Keterangan :

M1 = Media MS

M2 = Media VW

M3 = Media NDM

T1 = TDZ konsentrasi 0 mg/l

T2 = TDZ konsentrasi 0,5 mg/l

T3 = TDZ konsentrasi 1 mg/l

D. Cara Penelitian

1. Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu sterilisasi basah dan sterilisasi

bakar. Sterilisasi basah dilakukan dengan memasukkan alat-alat yang telah

dibungkus dengan kertas payung di autoklaf pada suhu 121⁰C tekanan 1 atm selama

1 jam. Sterilisasi basah dilakukan pada alat – alat seperti botol kultur, pinset,

scalpel, alumunium foil, petridish, dan erlenmeyer. Selain itu, sterilisasi basah juga

dilakukan untuk mensterilkan media yang sudah dibuat dan aquades yang telah di

suling.

Sedangkan sterilisasi bakar dilakukan menggunakan spirtus. Sterilisasi ini

dilakukan di dalam LAF. Caranya adalah dengan mencelupkan alat terlebih dahulu

ke cairan alkohol 70%, kemudian membakar pada bunsen yang terisi larutan siprtus.

Strerilisasi bakar dilakukan pada alat – alat seperti pinset dan scalpel yang

digunakan saat penanaman eksplan. Sebelum digunakan, LAF juga harus

disterilisasi terlebih dahulu. Sterilisasi LAF ini dilakukan dengan menyemprotkan

alkohol 70% pada seluruh permukaan, kemudian di lap dengan tissu kering,

kemudian lampu UV dapat dinyalakan selama 15 menit sebelum LAF digunakan.

2. Pembuatan Media

1. Medium MS

16

Medium MS dibuat sebanyak 600 ml untuk 3 perlakuan, setiap perlakuan

sebanyak 200 ml, masing – masing perlakuan digunakan 10 botol kultur. Setiap

botol kultur diisi sebanyak 20 ml larutan medium MS.

Bahan bahan yang dibutuhkan untuk membuat 200 ml media MS adalah

media MS bubuk = 0,88 g; sukrosa = 6 g; Phytagel = 0,5 g; PPM = 0,1 ml; arang

aktif 0,04 g; NAA 0,5 mg/l (1 ml/200 ml larutan), aquades, serta Thidiazuron

sesuai perlakuan, yaitu 0 (tanpa Thidiazuron), 0,5 mg/l (1 ml/200ml larutan), dan

1 mg/l (2 ml/200 ml larutan). Pemberian Thidiazuron dilakukan didalam LAF

dengan menggunakan millipore steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi.

2. Medium VW

Medium VW dibuat sebanyak 600 ml untuk 3 perlakuan, setiap perlakuan

sebanyak 200 ml, masing – masing perlakuan digunakan 10 botol kultur. Setiap

botol kultur diisi sebanyak 20 ml larutan medium VW.

Bahan bahan yang dibtuhkan untuk membuat 200 ml media VW adalah

media VW bubuk = 0,334 g; sukrosa = 6 g; Phytagel = 0,5 g; PPM = 0,1 ml; arang

aktif 0,04 g; NAA 0,5 mg/l (1 ml/200 ml larutan), aquades, serta Thidiazuron sesuai

perlakuan, yaitu 0 (tanpa Thidiazuron), 0,5 mg/l (1 ml/200ml larutan), dan 1 mg/l

(2 ml/200 ml larutan). Pemberian Thidiazuron dilakukan didalam LAF dengan

menggunakan millipore steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi.

3. Medium NDM

Medium NDM dibuat sebanyak 600 ml untuk 3 perlakuan, setiap perlakuan

sebanyak 200 ml, masing – masing perlakuan digunakan 10 botol kultur. Setiap

botol kultur diisi sebanyak 20 ml larutan medium NDM.

Bahan bahan yang dibutuhkan untuk membuat 200 ml media NDM adalah

media NDM bubuk = 0,2 g; sukrosa = 6 g; Phytagel = 0,5 g; PPM = 0,1 ml; arang

aktif 0,04 g; NAA 0,5 mg/l (1 ml/200 ml larutan), aquades, serta Thidiazuron sesuai

perlakuan, yaitu 0 (tanpa Thidiazuron), 0,5 mg/l (1 ml/200ml larutan), dan 1 mg/l

(2 ml/200 ml larutan). Pemberian Thidiazuron dilakukan didalam LAF dengan

menggunakan millipore steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi.

17

3. Persiapan Thidiazuron

Thidiazuron merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat termolabil,

yaitu senyawa yang mampu bekerja pada suhu tertentu dan akan mengalami

penurunan kualitas dan rusak pada suhu tinggi, sehingga penggunaan Thidiazuron

sebaiknya dilakukan menggunakan millipore agar cendawan penyebab kontaminasi

tersaring dan aplikasinya dilakukan di LAF.

Untuk mendapatkan konsentrasi TDZ sesuai dengan perlakuan, maka harus

dilakukan pengenceran terlebih dahulu. Rumus dasar yang biasa digunakan dalam

mengencerkan TDZ adalah 10 mg TDZ dilarutkan dalam 100 ml aquades steril,

sehingga rumus kebutuhan untuk setiap ulangan adalah :

𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑇𝐷𝑍 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑚𝑙)

1000 𝑚𝑙 𝑎𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠𝑡 × 𝑇𝐷𝑍 (𝑚𝑙)

4. Perlakuan

Perlakuan untuk menentukan total bahan yang dibutuhkan dilakukan

dengan menghitung kebutuhan per ulangan. Sehingga untuk satu erlenmeyer diisi

dengan larutan sebanyak 200ml, yang telah berisi media, sukrosa, vitamin,

Phytagel, ppm, NAA, TDZ, arang aktif dan aquades. Larutan yang telah tercampur

kemudian di masukkan kedalam botol, masing – masing botol berisi 20 ml larutan.

Berikut merupakan perlakuan yang akan dilakukan :

a. M1T1

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media MS + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 200

ml + 0 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan

(10 botol).

b. M1T2

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media MS + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 199

18

ml + 1 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan

(10 botol).

c. M1T3

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media MS + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 198

ml + 2 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan

(10 botol).

d. M2T1

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media VW + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi

200 ml + 0 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali

ulangan (10 botol).

e. M2T2

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media vw + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi

199 ml + 1 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali

ulangan (10 botol).

f. M2T3

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media VW + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM ++ Phytagel aquades hingga volume larutan menjadi 198

ml + 2 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan

(10 botol).

19

g. M3T1

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media NDM + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 200

ml + 0 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan

(10 botol).

h. M3T2

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media NDM + sukrosa

+ NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif

+ PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi

199 ml + 1 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali

ulangan (10 botol).

i. M3T3

Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media NDM + sukrosa +

NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +

PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 198

ml + 2 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan

(10 botol).

5. Penanaman

Penanaman eksplan dilakukan dalam Laminar Air Flow (LAF). Peralatan

tanam yang akan digunakan disemprot terlebih dahulu menggunakan alkohol 70%,

termasuk botol media. Penanaman eksplan dilakukan dengan cara mengambil PLB

dari botol semai yang tersedia, kemudian ditanam pada medium kultur yang telah

dipersiapkan menggunakan pinset steril. Setiap satu botol diisi dengan satu buah

PLB anggrek. Botol yang sudah ditanami eksplan selanjutnya ditutup dengan

alumunium foil, dikencangkan menggunakan karet gelang, dan dilapisi kembali

dengan plastic wrap.

6. Inkubasi

Pada proses inkubasi, botol-botol yang sudah dilabeli dan ditanami segera

diletakkan di rak-rak ruang inkubasi. Ruang inkubasi ini dilengkapi lampu neon

20

(TL) dengan kekuatan 40 watt yang dinyalakan selama 24 jam sebagai pengganti

sinar matahari. Suhu ruang inkubasi ini diatur menggunakan AC dengan suhu rata

– rata 20-28⁰C. Sebelumnya, rak-rak yang berada di ruang inkubasi harus

dibersihkan dengan menyemprotkan alkohol 70%. Inkubasi diakukan selama 8

minggu dimulai setelah inokulasi selesai.

7. Pengamatan

Pengamatan dilakukan dari awal penanaman sampai dengan minggu ke 8

setelah tanam. Parameter pengamatan yang diamati meliputi : diameter PLB,

persentase hidup (%), persentase browning (%), waktu muncul tunas, persentase

eksplan bertunas (%), jumlah tunas, waktu muncul akar, persentase eksplan berakar

(%) dan jumlah akar.

E. Parameter yang Diamati

1. Diameter PLB

Diameter PLB diukur pada setiap minggunya. Cara pengukurannya yaitu

menempelkan penggaris ke permukaan botol eksplan sebanyak tiga kali ulangan,

kemudian diambil rata - ratanya. Diameter PLB diukur untuk mengetahui pengaruh

dari media serta ZPT yang diberikan terhadap pertumbuhan ukuran eksplan.

2. Persentase Hidup (%)

Persentase eksplan hidup dilihat dari jumlah eksplan yang hidup oleh dan

dihitung setiap minggunya. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat eksplan

yang hidup (eksplan yang tidak terkontaminasi dan tidak mengalami pencoklatan

atau browning >80%). Persentase eksplan hidup dinyatakan dalam persen untuk

melihat tingkat adaptasi dari eksplan terhadap medium yang diberikan, dengan

rumus:

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝

∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%

21

3. Persentase Browning (%)

Eksplan yang mengalami browning ditunjukan dengan warna kecoklatan

dengan skala >50% pada eksplan. Eksplan yang mengalami browning atau

pencoklatan setiap minggu dihitung dengan rumus :

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑏𝑟𝑜𝑤𝑛𝑖𝑛𝑔 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑟𝑜𝑤𝑛𝑖𝑛𝑔

∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%

4. Waktu Muncul Tunas

Waktu muncul tunas merupakan salah satu indikator pertumbuhan yang

memperlihatkan sejauh mana eksplan responsif terhadap perlakukan yang

diberikan. Waktu muncul tunas diamati setiap minggu. Penentuannya dengan

menghitung dari minggu pertama sejak awal penanaman hingga muncul tunas

pertama.

5. Persentase Eksplan Bertunas (%)

Persentase eksplan bertunas dihitung setiap minggu. Perhitungan dilakukan

dengan melihat pertambahan tunas baru pada eksplan dan dinyatakan dalam persen

untuk mengetahui pengaruh medium terhadap pertumbuhan tunas baru pada

eksplan, dengan rumus:

Persentase 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑢𝑛𝑎𝑠 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑢𝑛𝑎𝑠

∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%

6. Jumlah Tunas per PLB

Jumlah tunas ini sangat penting diamati karena semakin banyak tunas yang

terbentuk akan berpeluang mendapatkan bibit yang banyak pula. Jumlah tunas

merupakan salah satu parameter penting yang dapat menunjukkan pengaruh

perlakuan. Pada penelitian ini, jumlah tunas diamati pada setiap minggunya, dengan

cara menghitung jumlah tunas yang muncul pada setiap plantet.

22

7. Waktu Muncul Akar

Waktu muncul akar diamati setiap minggu. Penentuannya dengan

menghitung dari minggu pertama sejak awal penanaman hingga muncul akar

pertama.

8. Persentase Eksplan Berakar (%)

Persentase eksplan berakar dihitung pada setiap minggunya. Perhitungan

dilakukan dengan melihat jumlah eksplan yang berakar dinyatakan dalam persen,

dengan rumus:

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠e 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑟 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑟

∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%

9. Jumlah akar

Pada penelitian ini, jumlah akar diamati pada setiap minggunya.

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah akar yang muncul pada setiap

eksplan.

F. Analisis Data

Hasil pengamatan kuantitatif dianalisis menggunakan sidik ragam atau

analysis of variance (Annova) . Apabila ada pengaruh beda nyata antar perlakuan

yang diujikan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Range

Test (DMRT). Hasil penelitian dari berbagai perlakuan disajikan dalam bentuk

grafik dan histogram.

23

G. Jadual Kegiatan

No Kegiatan Februari Maret April

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2

1 Sterilisasi alat

2 Pembuatan media

3

Persiapan TDZ dan

perlakuan

4 Persiapan eksplan

5 Penanaman eksplan

6 Diameter PLB

7 Persentase tunas hidup

8 Persentase tunas browning

9 Waktu muncul tunas

10

Presentase eksplan

bertunas

12 Jumlah tunas

14 Waktu muncul akar

15 Presentase eksplan berakar

16 Jumlah akar

17 Analisis data

24

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1990. Dasar Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh.

Angkasa. Bandung. 85 hlm.

Astuti, Agung, Supangkat, G. dan Rineksane, I. A. 2017. Rekayasa Perbanyakan

dan Budidaya Anggrek Vanda tricolor In Vitro Dan Ex Vitro untuk

Konservasi di Kawasan Terdampak Erupsi Merapi.

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14046/InnakaAge

ngRineksane_Laporan%20Kemajuan_Agst2017.pdf?sequence=1&isAllow

ed=y. Diakses tanggal 24 Desember 2017.

Bey, Y., W. Syafii, dan Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin (GA3) dan

Air Kelapa terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan

(Phalaenopsis amabilis BL) secara In vitro. Jurnal Biogenesis. 2 (2): 41-46.

Bey, Y., W. Syafii, dan N. Ngatifah. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin pada

media Vacint dan Went terhadap perkecambahan Biji Anggrek Bulan

(Phalaenopsis amabilis BL) secara In Vitro. Jurnal Biogenesis. 14 (1) : 15-

21.

Capelle, S.C., D.W.S Mok, S.C. Kirchner, and M.C Mok. 1983. Effect of

Thidiazuron on Cytokinin Autonomy and the Metabolism of N6-(A3 –

Isopentenyl 8-14C) Adenosine in Callus Tissue of Phaseolus Lunatus L.

Plant Physiol. 73(3): 796-802.

Dressler and Dodson. 1960. Classificatin and Phylogeny in The Orchidaceae.

Annals Of The Missouri Botanical Garden 47: 25-68.

Dwiyani. 2013. Induksi Kalus pada Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. Var.

Suavis, Upaya Penyediaan Target Transformasi Melalui Agrobacterium

tumefaciens. Jurnal Agrotropika 18(2): 73-76.

Dwiyani, R. Purwantoro, A., Indrianto, A. dan Semiarti, E. 2012. Peranan Vitamin

C dan Acetosyringone pada Transformasi genetik anggrek Vanda

tricolor Lindl. var. suavis melalui Agrobacterium tumefaciens. Bionatura

Jurnal Ilmu Hayati dan Fisik14(3): 215-220.

Dwiyati, M. 2016. Peran Zat Pengafur Tumbuh Auksin dan Sitokinin terhadap

Pertumbuhan Semai Anggrek Phalaenopsis.

http://bio.unsoed.ac.id/sites/default/files/Peran%20Zat%20Pengatur%20Tu

mbuh%20Auksin%20dan%20Sitokinin%20terhadap%20pertumbuhan%20

semai%20anggrek%20phalaenopsis.pdf. Diakses tanggal 03 Juni 2017.

Fitrianti, A. 2006. Efektivits Asam 2,4-Diklororofenoksiasetat (2,4-D) dan Kinetin

pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan

Potongan Daun. Skripsi. Biologi FMIPA UNS. Semarang. 64 hlm.

25

Gardiner, L.M. 2007. “Vanda tricolor Lindl. Conservation in Java, Indonesia:

Genetic and GeographicStructure and History”. Lankesteriana, 7. 272-280.

George, E.F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part 1: The Technology.

2nd edition. Exegetics Limited, England. 574p.

Hamidah, M., A.G.A. Karim and P. Debergh. 1997. Somatic Embryogenesis and

Plant Regeneration in Anhthurium andreanum L. hybrids. Plant Cell Tissue

and Organ Culture. 48:183-193.

Handayani, E. dan Isnawan, Bambang Heri. 2015. Substitusi Medium Sintetik

dengan Pupuk Daun, Air Kelapa dan Ekstrak Nabati pada Subkultur

Anggrek Cattleya pastoral Innocence secara In Vitro. Planta Tropika

Journal of Agro Science 2 (2). DOI 10.18196/pt.2014.031.115-124

Hardjo, P. H. 2017. Proliferasi PLBs Vanda tricolor Lindl. var. Pallida.

http://fmipa.unesa.ac.id/biologi/wp-content/uploads/2017/03/25_Popy-

Hartatie-Hardjo_129-131.pdf. Diakses tanggal 27 Juli 2017.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, and F.T. Davies. 1990. Plant Propagation and

Principles Practices. Prentice-Hall Inc. New Jersey. 14 p.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti dan Wijayani, Ari. 1994. Teknik Kultur Jaringan.

Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Hal. 17.

Huetterman, C.A. and J.E. Preece. 1993. Thidiazuron a potent cytokinin for woody

plant tissue culture. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 33:1050119.

Irawati. 2002. Konservasi Anggrek Spesies di Indonesia. Proseding Seminar

Anggrek Indonesia, Yogyakarta, 20 Oktober 2002.

Karjadi, A.K. dan Buchory A. 2008. Pengaruh Komposisi Media Dasar,

Penambahan BAP, dan Pikloram terhadap Induksi Tunas Bawang Merah.

Jurnal Holtikultura 18 (1) : 1-9.

Kementan. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. Badan

Litbang Pertanian. Jakarta Selatan. 39 hlm.

Kementan. 2016. Produksi Anggrek Menurut Provinsi, Tahun 2012-2016.

http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiASEM2016(pdf)/Produksi%2

0Angrek.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2017.

Lestari, Endang G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan

Tanaman melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen. VII (1) : 63-68.

Mariska, I, Hobir dan Sukmadjaja D. 1992. Usaha pengadaan bahan tanaman

melalui bioteknologi kultur jaringan. Pros. Temu Usaha Pengembangan

Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Puslitbangtri, Balittro dan

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Agribisnis. Jakarta, 2-3 Des 1992.

26

Metusala, D. 2006. Melirik Konservasi Anggrek Vanda tricolor di Merapi.

http://anggrek.org/melirik-konservasi-anggrek-vanda-tricolor-di-merapi-

2.html. Dikses tanggal 23 Mei 2017.

Murthy, B.N.S., S.J. Murch, and P.K. Saxena. 1998. Thidiazuron: A potent

regulator of in vitro plant morphogenesis. In vitro Cell Dev. Biol-Plant

34(4): 267-275.

Nursyami. 2010. Teknik Kultur Jaringan Sebagai Alternatif Perbanyakan Tanaman

untuk Mendukung Rehabilitasi Lahan. Balai Penelitian Kehutanan

Makassar. Makassar. Hal 93-94.

Orcutt, D.M. and E.T. Nilsen. 2000. Physiology of Plants Under Stress. Soil and

Biotic Factors. John Willey and Sons, Inc. Canada. 696 p.

Pasanda, A. A. 2016. Pertumbuhan Anak Semai Anggrek Hibrida Phalaenopsis

pada Media Ms, Knudson dan Media Knudson Modifikasi Secara In vitro.

Skripsi. Universitas Sultan Hasanudin. Makassar.

Republika. 2014. Upaya Melestarikan Anggrek Lereng Merapi yang Kian Langka.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/10/14/of123g384-

upaya-melestarikan-anggrek-lereng-merapi-yang-kian-langka. Diakses

tanggal 4 Juni 2017.

Rindang, D.,dkk. 2012. Konservasi Anggrek Alam Indonesia Vanda tricolor Lindl.

varietas suavis Melalui Kultur Embrio Secara In-Vitro. Jurnal Bumi Lestari,

12 (1) : 93-98.

Rineksane, I., A. dan Sukarjan, M. 2015. Regenerasi Anggrek Vanda tricolor Pasca

Erupsi Merapi. Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta.

Yogyakarta. Hal 378-384.

Rupawan, M. I, Basri, Z. Dan Bustami, M. 2014. Pertumbuhan Anggrek Vanda

(Vanda sp) pada Berbagai Komposisi Media Secara In vitro. E-jurnal

Agrotekbis. 2 (5) : 488-494

Sabran, A. Krismawati, Y.R. Galingging, dan M.A. Firmansyah. 2015. Eksplorasi

dan Karakterisasi Tanaman Anggrek di Kalimantan Tengah. Buletin Plasma

Nutfah 19 (1).

Singh, S.K. and M.M. Syamal. 2001. A short pre-culture soak in thidiazuron of

forchorfenuron improves axillary shoot proliferation in rose

micropropogation. Hortscience. 91:169-177.

Sukarjan, M. 2015. Pengaruh Jenis Medium dengan Kombinasi Thidiazuron

Terhadap Perumbuhan Kalus Anggrek Merapi (Vanda tricolor Lindl.)

Varietas Suavis Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta. Yogyakarta. 51 hlm.

27

Sutriani E. 2014. Pengaruh Perlakuan Beberapa Konsentrasi 2,4-D yang

dikombinasikan dengan Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan

Klorofil Total Kalus Alfalfa (Medicago sativa L.) pada Media MS. Skripsi.

Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim. Malang. Hal 27.

Thomas, J.C. and F.R. Katterman. 1986. Cytokin Activity Induced by Thidiazuron.

Plant Physiol. 81 (2): 681-683.

Tokuhara, K. And M. Mii. 1993. Micropropagation of Phalaenopsis and

Doritaenopsis by culturing shoot tips of flower stalk buds. Plant Cell

Reports 13:7- 11.

Vidyasagar, K. 2006. National Conference on Plant Biotechnology, Lady Doak

College, Madurai. Retrieved from

http://en.wikipedia.org/wiki/Plant_Tissue_Culture. Diakses 24 Mei 2017.

Wang, B.S.P., P.J. Charest, and B. Downie. 1993. Ex-situ Storage of Seeds, Pollen

and In-vitro Cultures of Perennial Woody Plant Species. FAO. Rome. P.41-

57.

Wareing, P.F. and I.D.J. Phillips. 1976. The Control of Growth and Differentiation

in Plants. Pergamon Press. New York-Sidney-Paris-Frankfurt. 313 p.

Wijayani, Y., Solichatun dan Mudyantini, W. 2006. Pertumbuhan Tunas dan

Struktur Anatomi Protocorm like bodies Anggrek Grammatophyllum

scriptum (Lindl.) Bl. dengan Pemberian Kinetin dan NAA. Bioteknologi, 4

(2): 33-40.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman; Solusi Perbanyakan Tanaman Budi

Daya. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. 272 hlm.

28

Lampiran 1. Kandungan Medium MS, VW dan NDM

Unsur Komponen Medium

MS

(mg/liter)

VW

(mg/liter)

NDM

(mg/liter)

Unsur Makro KNO3 1.900 80 200

NH4NO3 1.650 - 480

(NH4)2 SO4 - - -

NH4H2PO4 - - -

MgSO47H2O 370 740 250

Na2SO4 - 200 -

CaCl2 2H2O 440 - -

KH2 PO4 170 - 550

Ca(NO3)24H2O - 285 470

KCl - 65 150

NaH2PO4 H2O - 16,5 -

Unsur Mikro Na2 EDTA 37,3 - -

FeSO4 7H2O 27,8 - -

MnSO4.4H2O 16,9 7 3

ZnSO4.7H2O 8,6 2,67 0,5

H3BO3 6,2 1,5 0,5

KI 0,83 0,75 -

NaMoO4.2H2O 0,25 - 0,025

CuSO4 5H2O 0,025 0,01 0,025

Fe2(SO4)3 - 2,5 -

CoCl2 6H2O 0,025 - 0,025

NaMoO3 - 0,001 -

Komponen

Organik Myo-inositol 100 - 100

Glicyne 100 3 -

Asam nicotinic 0,5 0,5 -

Pyridoxine HCl 0,5 0,1 1

Thiamine HCl 1 0,1 1

d-Biotin - - 0,1

Niacin - - 1

Calcium

pantothenate - - 1

Adenine - - 1

i-Cystein - - 1

Fe-EDTA - - 21

29

Lampiran 2. Layout Penelitian

M3T3

10

M2T3

1

M1T2

1

M3T1

8

M3T3

9

M3T1

1

M3T3

8

M3T3

1

M2T1

7

M2T2

7

M2T2

9

M1T3

9

M2T3

9

M3T3

5

M3T1

6

M2T1

10

M2T1

2

M3T2

9

M1T3

8

M2T1

8

M3T1

9

M3T2

4

M1T2

8

M1T3

4

M1T1

9

M1T1

7

M1T1

1

M1T2

4

M1T1

10

M3T3

3

M3T1

5

M1T2

2

M2T2

4

M3T1

2

M1T1

2

M2T3

4

M3T2

8

M3T1

10

M1T1

8

M2T2

1

M2T2

10

M2T2

8

M3T1

3

M1T3

3

M2T1

1

M2T3

6

M1T1

5

M1T1

6

M2T2

5

M1T2

5

M2T3

7

M3T2

10

M3T2

3

M2T3

2

M3T2

1

M3T2

5

M3T2

7

M1T3

6

M2T1

6

M3T3

2

M2T2

2

M1T2

7

M3T2

2

M1T3

1

M1T2

9

M1T2

10

M1T2

6

M1T1

3

M3T3

6

M1T3

10

M2T1

3

M1T3

2

M2T2

6

M3T3

4

M3T3

7

M2T1

4

M2T3

8

M1T3

7

M1T3

5

M1T2

3

M3T1

4

M3T2

6

M2T1

9

M2T1

5

M3T1

7

M2T3

3

M1T1

4

M2T2

3

M2T3

5

M2T3

10

Keterangan :

M1 = Media MS

M2 = Media VW

M3 = Media NDM

T1 = TDZ 0 mg/l + 0,5 NAA

T2 = TDZ 0,5 mg/l + 0,5 NAA

T3 = TDZ 1 mg/l + 0,5 NAA

30

Lampiran 3. Perhitungan Medium

a. Hasil perhitungan medium MS

Stok Kebutuhan

1 liter 200 ml

MS 4,43 g 0,88 mg

Sukrosa 30 g 6 g

Phytagel 2,5 g 0,5 g

Arang aktif 0,2 g 0,04 g

PPM 0,5 ml 0,1 ml

b. Hasil perhitungan medium VW

Stok Kebutuhan

1 liter 200 ml

VW 1,67 g 0, 334 g

Sukrosa 30 g 6 g

Phytagel 3 g 0,6 g

Arang aktif 0,2 g 0,04 g

PPM 0,5 ml 0,1 ml

c. Hasil perhitungan medium NDM

Stok Kebutuhan

1 liter 200 ml

NDM 1,96 g 0,392 g

Sukrosa 30 g 6 g

Phytagel 2,5 g 0,5 g

Arang aktif 0,2 g 0,04 g

PPM 0,5 ml 0,1 ml