penentuan dosis antibiotik pada sindrom disfungsi organ multiple

26
Penentuan Dosis Antibiotik pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple Marta Ulldemolins, Jason A. Roberts, Jeffrey Lipman, dan Jordi Rello Walapun terapi antibiotik secara dini dan cepat masih menjadi penentu kesuksesan terapi syok sepsis, hanya sedikit data yang tersedia untuk mengarahkan optimalisasi dosis antibiotik pada pasien yang sakit kritis, khususnya pada mereka yang menderita sindrom disfungsi organ multiple (MODS). Telah diketahui bahwa MODS mengubah fisiologi pasien secara signifikan, tetapi efek variasi tersebut terhadap farmakokinetik belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, tujuan dari artikel ini adalah untuk meringkas variasi farmakokinetik dan farmakodinamis akibat penyakit tersebut dan menyediakan rekomendasi penentuan dosis antibiotik pada pasien sakit kritis yang menderita MODS. Penemuan utama dari review ini adalah bahwa kedua parameter yang berubah secara signifikan pada pasien sakit kritis yang mengalami MODS adalah distribusi dan clearance obat. Perubahan akibat penyakit tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan volume distribusi dan konsentrasi obat dalam plasma yang lebih rendah daripada yang diharapkan, setidaknya selama hari pertama terapi. Singkatnya, front-loadeddosis antibiotik selama 24 jam pertama terapi harus memenuhi 1

Upload: fahmi-awaluddin

Post on 12-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

ghghghgh

TRANSCRIPT

Page 1: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

Penentuan Dosis Antibiotik pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

Marta Ulldemolins, Jason A. Roberts, Jeffrey Lipman, dan Jordi Rello

Walapun terapi antibiotik secara dini dan cepat masih menjadi penentu

kesuksesan terapi syok sepsis, hanya sedikit data yang tersedia untuk

mengarahkan optimalisasi dosis antibiotik pada pasien yang sakit kritis,

khususnya pada mereka yang menderita sindrom disfungsi organ multiple

(MODS). Telah diketahui bahwa MODS mengubah fisiologi pasien secara

signifikan, tetapi efek variasi tersebut terhadap farmakokinetik belum

diketahui secara pasti. Oleh karena itu, tujuan dari artikel ini adalah untuk

meringkas variasi farmakokinetik dan farmakodinamis akibat penyakit

tersebut dan menyediakan rekomendasi penentuan dosis antibiotik pada

pasien sakit kritis yang menderita MODS. Penemuan utama dari review ini

adalah bahwa kedua parameter yang berubah secara signifikan pada pasien

sakit kritis yang mengalami MODS adalah distribusi dan clearance obat.

Perubahan akibat penyakit tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan

volume distribusi dan konsentrasi obat dalam plasma yang lebih rendah

daripada yang diharapkan, setidaknya selama hari pertama terapi.

Singkatnya, “front-loaded” dosis antibiotik selama 24 jam pertama terapi

harus memenuhi peningkatan volume distribusi antibiotik. Setelah itu,

pemeliharaan / maintenance dosis harus diarahkan berdasarkan clearance

obat dan disesuaikan terhadap derajat disfungsi organ.

Singkatan : AKI = gagal ginjal akut; AUC0-24 = area dibawah kurva konsentrasi 2

hingga 24 jam; CL = clearance; Cmax = konsentrasi maksimum; CrCL = clearance

kreatinin; fT > MIC = waktu hingga melebihi konsentrasi inhibisi minimum; GFR

= laju filtrasi glomerulus; MDRD = modifikasi diet pada penyakit ginjal; MIC =

waktu hingga melebihi konsentrasi inhibisi minimum; MODS = sindrom disfungsi

organ multiple; PK / PD = farmakokinetik / farmakodinamik; RRT = terapi

penggantian ginjal; TDM = monitoring obat terapeutik; Vd = volume distribusi.

1

Page 2: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

alaupun dengan beberapa dekade pengalaman klinis penggunaan

antibiotik, terapi infeksi berat masih menjadi sebuah tantangan bagi para

dokter. Selama beberapa tahun terakhir, 2 fenomena penting yang makin mebuat

perlunya perbaikan penggunaan antibiotik yang tersedia saat ini dan untuk

memperpanjang waktu efektif sebuah obat adalah : (1) meningkatnya insidens

resistensi bakteri terhadap antibiotik yang tersedia, dan (2) kurangnya obat-obatan

antimikroba dengan mekanisme kerja terbaru yang masih dalam perkembangan.

Salah satu mekanisme untuk memperbaiki optimalisasi penggunaan antibiotik

juga dapat memperbaiki penentuan dosis antibiotik karena adanya hubungan

kausatif yang terjadi pada pengaturan dosis yang tidak tepat, luaran klinis /

prognosis, dan perkembangan resistensi bakteri. Dari sudut pandang klinis,

optimalisasi penggunaan antibiotik penting khususnya untuk pasien sakit kritis

dimana peresepan antibiotik yang cepat dan tepat dapat menurunkan mortalitas.

Perubahan fisiologi dan farmakokinetik antibiotik sebelumnya telah direview

pada pasien yang menderita sepsis; namun, tidak adanya pedoman pendekatan

penentuan dosis antibiotik yang rasional pada pasien yang menderita sindrom

disfungsi organ multiple (MODS) yang memiliki tingkat keparahan penyakit yang

lebih tinggi sehingga terapi antibiotik yang efektif lebih penting untuk

menentukan prognosis. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mereview, dengan

menggunakan sampel yang ada dari literatur, konsep utama yang kemungkinan

besar mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik serta untuk

menyediakan rekomendasi dosis untuk terapi pasien sakit kritis yang menderita

MODS.

W

STRATEGI PENCAHARIAN DAN KRITERIA SELEKSI

Datanya diidentifikasi oleh pencaharian sistematis pada PubMed (1966 –

Oktober 2010) untuk mencari artikel asli yang mengevaluasi variasi

farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik serta farmakokinetik /

farmakodinamik (PK / PD) pada MODS. Kata kunci yang digunakan adalah

“sepsis” atau “sindrom respon inflamasi sistemik” atau “syok sepsis” atau “gagal

organ multiple” dan “obat-obatan antibakteri” atau “antibiotik” dan

“farmakokinetik” atau “farmakodinamik” dan “pasien sakit kritis” atau “unit

2

Page 3: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

perawatan intensif” atau “perawatan kritis”. Didapatkan total 167 artikel, dimana

hanya 48 yang dianggap relevan bagi pasien sakit kritis yang menderita MODS

atau beberapa tingkat kegagalan organ. Beberapa artikel juga diidentifikasi

melalui pencaharian ekstensif pada berkas para peneliti.

RINGKASAN PSIKOKIMIA, FARMAKOKINETIK, DAN

FARMAKODINAMIK ANTIBIOTIK

Istilah “antibiotik” mencakup sejumlah zat kimia yang memiliki banyak

perbedaan dalam hal mekanisme kerja dan karakteristik psikokimia,

farmakokinetik, serta farmakodinamik. Keunikan setiap kelas antibiotik tersebut

membuat pentingnya penelitian independen untuk memberikan karakteristik sifat

antibiotik yang akurat.

Psikokimia

Sebuah klasifikasi kimiawi antibiotik yang sederhana namun berguna

adalah afinitasnya terhadap air. Obat-obatan hidrofilik umumnya didistribusikan

kedalam intravaskular dan air di usus, namun tidak dapat melewati membran sel

lipid secara pasif, sehingga tidak dapat melakukan penetrasi intraselular dalam

konsentrasi yang cukup. Oleh karena itu, volume distribusinya (Vd) sama dengan

jumlah air ekstraselular dan biasanya memiliki nilai antara 0.1 L/kg dan 0.3 L/kg.

Sebaliknya, obat-obatan lipofilik dapat melewati membran lipid, dan oleh karena

itu dapat didistribusikan secara intraselular dan kedalam jaringan adiposa. Oleh

karena itu, Vd obat-obatan lipofilik bergantung pada jumlah dalam jaringan

adiposa, yang secara umum proporsional terhadap berat badan total. Ada beberapa

pengecualian dimana pendekatan tersebut tidak dapat dijelaskan, misalkan, pada

pasien dengan peningkatan massa otot, karena jaringan otot sangat hidrofilik dan

mempengaruhi Vd lipofilik obat-obatan.

3

Page 4: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara dosis obat

dan variasi konsentrasi pada plasma dan jaringan seiring waktu. Parameter

farmakokinetik yang paling relevan termasuk hal berikut :

Konsentrasi puncak tercapai setelah dosis tunggal (Cmax)

Vd : volume cairan nyata yang mengandung dosis obat total yang diberikan

pada konsentrasi yang sama dalam plasma

clearance (CL) : kuantifikasi / jumlah kehilangan obat irreversibel dari tubuh

oleh metabolisme dan ekskresi

waktu paruh eliminasi : waktu yang dibutuhkan agar konsentrasi plasma

berkurang hingga setengahnya

protein binding : proporsi obat yang berikatan dengan protein plasma

AUC0-24 : total area dibawah kurva konsentrasi 2 hingga 24 jam

Farmakodinamis dan PK / PD

Farmakodinamis adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara

konsentrasi obat dengan efeknya. Pendekatan PK / PD bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara dosis dan efek farmakologis. Gambar 1

menunjukkan hubungan antara farmakokinetik, farmakodinamis, dan PK / PD.

Antibiotik dapat dikategorikan kedalam 3 kelas berdasarkan PK / PD yang

berhubungan dengan aktivitas optimalnya.

Time-Dependent Antibiotics : Aktivitas optimal yang dicapai ketika konsentrasi

tidak terikat dalam plasma yang dipertahankan diatas konsentrasi inhibisi

minimum (MIC) bakteri (fT > MIC) untuk fraksi interval dosis yang ditentukan.

Concentration-Dependent Antibiotics : Aktivitas optimal yang berhubungan

dengan Cmax, dihitung berdasarkan rasionya dengan MIC bakteri (Cmax / MIC).

4

Page 5: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

Concentration-Dependent Antibiotics with Time Dependence : Rasio antara AUC0-

24 yang tidak terikat dan MIC bakteri (fAUC0-24 / MIC) yang berhubungan dengan

aktivitas optimal.

GAMBAR 1. Hubungan antara farmakokinetik, farmakodinamik, dan

farmakokinetik / farmakodinamik.

PATOFISIOLOGI MODS DAN EFEKNYA TERHADAP VD DAN CL

OBAT

MODS akibat sepsis didefinisikan sebagai perburukan fungsi organ karena

infeksi berat sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi,

biasanya mencakup 2 sistem organ atau lebih. Endotoksin memiliki efek kaskade

terhadap produksi molekul endogen yang bekerja pada endotel vaskular,

menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan kebocoran cairan dan protein

transkapiler kedalam ruangan ekstraselular. Selain itu, sepsis diketahui dapat

menyebabkan terjadinya disfungsi myokard. Perubahan hemodinamik tersebut

mengakibatkan terjadinya hipoperfusi jaringan akibat sepsis, yang dapat

mempengaruhi farmakokinetik. Karena antibiotik merupakan kelompok obat-

obatan dengan farmakodinamik yang “silent” (misalnya efek farmakologis obat

tidak dapat langsung diketahui setelah pemberian obat), maka hampir tidak

mungkin untuk menilai apakah telah tercapai konsentrasi terapeutik selama fase

5

Page 6: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

awal terapi. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan skenario yang kemungkinan

dapat mengubah farmakokinetik antibiotik dan melakukan penyesuaian dosis

perlu untuk memungkinkan individualisasi terapi antibiotik.

Hipoperfusi Jaringan

Pada stadium pertama syok (warm shock), arteri berdilatasi, menurunkan

resistensi arteri perifer, dan meningkatkan peningkatan refleks output jantung.

Kemudian, dapat muncul sifat umum dari syok sepsis, termasuk penurunan output

jantung dan tekanan darah / BP. Perubahan aliran darah akibat sepsis tersebut

memiliki efek yang penting terhadap penghantaran obat ke jaringan.

Selama fase warm shock, terjadi hipoperfusi organ vital (misalnya otak

atau paru-paru), sedangkan jaringan perifer dan organ non-vital tetap

mendapatkan aliran darah yang tinggi sebagai akibat dari vasodilatasi perifer

peningkatan kerja jantung. Hipoperfusi organ perifer dapat menyebabkan

terjadinya penghantaran antibiotik suboptimal dan kadar subterapeutik pada organ

target selama stadium awal infeksi pada infeksi organ vital (misalnya infeksi

traktus respiratorius). Namun, halangan intetpretasi hal tersebut adalah karena

tidak adanya data farmakokinetik spesifik yang menargetkan efek warm shock

terhadap distribusi obat, dan dibutuhkan lebih banyak penelitian dalam area

tersebut.

Hipoperfusi jaringan perifer dapat terjadi selama fase kedua syok sepsis

akibat usaha dari tubuh untuk meningkatkan perfusi organ vital. Karena jaringan

perifer seringkali menjadi sumber infeksi, hipoperfusi dapat menyebabkan

terjadinya kegagalan untuk mendapatkan konsentrasi terapeutik pada daerah

infeksi. Skenario yang sama terlihat pada pasien yang mengalami perubahan

cairan, kebocoran kapiler, dan edema. Pada kasus tersebut, walaupun adanya

peningkatan pergerakan plasma dan zat terlarut (misalnya antibiotik hidrofilik)

kedalam kompartemen ekstravaskular, konsetrasi obat pada daerah target dapat

mengalami penurunan karena efek delusi. Pendekatan alternatif pemberian obat

seperti infus kontinyu atau extended, ditunjukkan dapat mencapai konsentrasi

antibiotik dalam jaringan yang lebih konsisten untuk time-dependent antibiotics

pada skenario tersebut dan harus dipertimbangkan ketika menangani infeksi

6

Page 7: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

bakteri yang tidak rentan. Simulasi Monte Carlo dapat digunakan pada keadaan

tersebut untuk membandingkan target PK / PD relatif untuk dosis antibiotik yang

berbeda, khususnya untuk time-dependent antibiotics. Analisis tersebut secara

konsisten menunjukkan bahwa infus time-dependent antibiotics secara extended

(> 3 jam) atau infus secara kontinyu dapat lebih berhasil mencapai target PK / PD

daripada infus intermitten (≤ 30 menit). Simulasi Monte Carlo juga dapat

digunakan untuk menentukan efek disfungsi ginjal terhadap tercapainya target PK

/ PD. Gambar 2 telah diadaptasi dari Roberts et al dan menjelaskan bagaimana

pemberian meropenem dalam dosis yang sama pada tingkat disfungsi ginjal yang

berbeda akan menghasilkan pencapaian kadar target PK / PD yang berbeda.

Penggunaan infus extended atau infus kontinyu pada keadaan tersebut dapat

makin meningkatkan pencapaian target PK / PD.

Disfungsi Ginjal

Beberapa faktor dapat mencetuskan terjadinya gagal ginjal akut (AKI)

pada pasien sakit kritis. Identifikasi AKI secara dini dan penilaian fungsi ginjal

yang akurat penting untuk menyesuaikan dosis harian antibiotik hidrofilik.

Estimasi clearance kreatinin (CrCL) sebagai pengganti laju filtrasi glomerulus

(GFR) dengan menggunakan rumus seperti Cockroft-Gault dan modifikasi diet

penyakit ginjal (MDRD) harus diinterpretasikan secara hati-hati pada pasien yang

sakit kritis karena walaupun adanya nilai klinis yang terdokumentasi dengan baik

pada populasi pasien spesifik (misalnya pasien dengan penyakit ginjal kronik),

rumus tersebut belum divalidasi untuk pasien sakit kritis. Karena konsentrasi

kreatinin dalam plasma dapat berbeda karena berbagai alasan selain fungsi ginjal

pada pasien tersebut (misalnya menurun akibat cachexia karena immobilitas) dan

jarang dalam keadaan yang tetap, rumus tersebut dapat mengakibatkan terjadinya

estimasi GFR yang tidak akurat dan menyebabkan penyesuaian dosis yang tidak

tepat. Jika memungkinkan, lebih dipilih untuk menggunakan CrCL urin 8-, 12-,

atau 24-jam untuk mengestimasikan GFR pada pasien sakit kritis tersebut.

Ketika menggunakan CrCL urin, juga berlaku rekomendasi dosis pada

informasi obat untuk GFR yang diestimasikan berdasarkan MDRD atau Cockroft-

Gault. Yang menjadi masalah utamanya bukanlah pada perubahan CL obat relatif

7

Page 8: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

terhadap GFR; namun, bagaimana GFR tersebut dihitung. Jika GFR tidak

diestimasikan secara akurat, maka penyesuaian dosis kemungkinan besar akan

suboptimal.

GAMBAR 2. Efek berbagai tingkat disfungsi ginjal terhadap tercapainya target

farmakokinetik / farmakodinamik untuk dosis meropenem yang sama. Contoh

tersebut menjelaskan kemungkinan tercapainya target (fT > MIC) untuk

meropenem yang diberikan secara bolus intermitten (diinfus selama lebih dari 5

menit), pada pria berusia 50 tahun dan memiliki berat 70 kg dengan Cr 50, 100,

200, dan 300 mmol/L. Cr = konsentrasi kreatinin plasma; fT > MIC = waktu

hingga tercapainya konsentrasi inhibisi minimum; MIC = konsentrasi inhibisi

minimum.

Disfungsi Hepar

Penyebab utama kegagalan fungsi hati pada pasien yang sakit kritis adalah

cholestasis dan kerusakan hepatoselular akibat infeksi, yang terjadi sebagai respon

terhadap toksin bakteri dan terhadap toksin itu sendiri. Pada kasus pertama, toksin

bakteri dan sitokin yang dilepaskan dapat mempengaruhi uptake dan ekskresi

empedu oleh hepatosit, sehingga menyebabkan terjadinya jaundice. Pada kasus

kedua, endotoksin dan bakteri difagositosis oleh sel Kupffer yang melepaskan

beberapa molekul hepatotoksik, menyebabkan terjadinya kerusakan selular.

Disfungsi hepar juga dapat terjadi akibat hipoperfusi organ, hemolisis, atau

8

Page 9: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

pemberian obat-obatan hepatotoksik secara terus-menerus (misalnya rifampicin).

Penilaian derajat disfungsi hepar pada kerusakan hati akut umumnya bersifat

klinis dan dapat mencakup tanda-tanda dan gejala seperti peningkatan enzim hati,

bilirubin, atau ammonia dan menurunkan konsentrasi protein yang dihasilkan oleh

hati (misalnya albumin, α1-acid glycoprotein, faktor koagulasi). Disfungsi hepar

dapat mengganggu metabolisme, dan oleh karena itu menyebabkan terjadinya

akumulasi antibiotik yang disekresikan secara hepatik. Penurunan produksi

albumin hepar dan α1-acid glycoprotein juga dapat mengubah farmakokinetik

antibiotik yang berikatan dengan protein.

Albumin merupakan penghantar obat yang paling banyak di aliran darah.

Interaksi obat-protein bersifat cepat dan dinamis, dan keseimbangannya

bergantung pada konsentrasi obat dan protein. Jika terjadi hipoalbuminemia,

sejumlah besar molekul obat yang tidak terikat dapat didistribusikan dari aliran

darah kedalam jaringan dalam jumlah yang lebih banyak daripada ikatan dengan

proteinnya normal; secara farmakokinetik, keadaan tersebut menyebabkan

terjadinya Vd yang lebih tinggi.

Selain itu, penatalaksanaan klinis kerusakan hepar berat dapat berupa

terapi penggantian ginjal (RRT) dan penggunaan absorbent columns untuk

menghilangkan kelebihan ammonia dan produk sisa lainnya dari aliran darah.

Efek ketergantungan dari intervensi tersebut dan fungsi ginjal endogen terhadap

ekskresi antibiotik yang dikeluarkan secara renal harus dipertimbangkan ketika

menentukan dosis antibiotik hidrofilik.

MENGOPTIMALKAN DOSIS AWAL ANTIBIOTIK PADA MODS

Perubahan farmakokinetik yang dimediasi oleh MODS harus

dipertimbangkan selama peresepan antibiotik pada pasien yang sakit kritis.

Selama fase awal sepsis, peningkatan Vd dan CL umum terjadi, dan dosisnya

harus disesuaikan, hal ini telah dikonfirmasi pada 2 penelitian terbaru. Penelitian

pertama oleh Robert et al, adalah evaluasi monitoring obat terapeutik β-lactam

(TDM) pada pasien yang sakit kritis, termasuk pasien yang menderita MODS,

yang menemukan bahwa ~70% pasien tidak dapat mencapai konsentrasi antibiotik

yang tepat, yang membutuhkan 50.4% peningkatan dosis dan 23.7% penurunan

9

Page 10: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

dosis pada fase awal terapi. Penelitian kedua adalah sebuah penelitian multicenter

yang dilakukan oleh Taccone et al menunjukkan bahwa dosis awal konvensional

untuk kebanyakan β-lactam yang umum digunakan tidak cukup untuk mencapai

target PK / PD pada hari pertama terapi. Pada penelitian ini, hanya 28% dari

pasien yang mendapatkan ceftazidime, 16% yang mendapatkan cefepime, dan

44% yang mendapatkan piperacillin / tazobacctam yang dapat mencapai target PK

/ PD pada hari pertama terapi. Peneliti menemukan bahwa 40% dari pasien yang

mendapatkan piperacillin / tazobaccta mmemiliki konsentrasi plasma kurang dari

4 kali MIC dalam 90 menit setelah pemberian.

Hasil dari kedua penelitian tersebut kemungkinan besar terjadi karena

adanya peningkatan Vd pada pasien tersebut. Penting untuk dicatat bahwa pada

penelitian oleh Taccone et al., 27% pasien menderita AKI, dan walaupun telah

diresepkan dengan dosis awal standar non-AKI, kebanyakan dari pasien tersebut

memiliki konsentrasi suboptimal setelah dosis pertama. Sebaliknya, pada

penelitian yang dilakukan oleh Roberts et al., 19% dari pasien tersebut menderita

AKI (dengan atau tanpa kebutuhkan dialisis), dan pada hari kedua hingga

seterusnya 5.72% dari pasien tersebut membutuhkan penurunan dosis. Data dari

kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa dosis antibiotik awal harus

mempertimbangkan peningkatan Vd yang terjadi pada pasien sakit kritis yang

menderita MODS; oleh karena itu, harus dipertimbangkan pemberian dosis yang

lebih tinggi dari dosis standar pada fase awal terapi. Dalam review ini, konsep

tersebut akan disebut sebagai pengaturan dosis “front-loading” dan diaplikasikan

khususnya untuk obat-obatan hidrofilik dimana Vd meningkat secara dramatis

pada skenario tersebut. Konsep tersebut dijelaskan oleh Marik yang menunjukkan

adanya peningkatan Vd amikacin sebesar 2 kali lipat pada pasien sakit kritis yang

mengalami infeksi gram negatif. Perubahan farmakokinetik tersebut akan

mempengaruhi tercapainya konsentrasi terapeutik puncak (Cmax / MIC ≥ 10)

secara signifikan. Penelitian terbaru juga mendukung pemberian aminoglikosida

dengan dosis front-loaded (misalnya 25 mg/kg untuk amikacin) pada hari pertama

terapi sepsis berat dan syok sepsis.

Untuk obat-obatan lipofilik, harus dipertimbangkan pemberian dosis front-

loaded yang didasarkan pada berat badan untuk pasien dengan proporsi jaringan

10

Page 11: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

adiposa yang lebih banyak untuk mencapai konsentrasi terapeutik. Hal tersebut

merupakan prinsip yang sama dimana diperlukan loading dose obat seperti

amiodarone dan fenitoin. Selain itu, bukti yang ada juga mendukung bahwa Vd

antibiotik hidrofilik bahkan meningkat pada pasien obesitas karena terjadinya

peningkatan cairan interstisial, jaringan lunak, dan massa otot pada obesitas. Oleh

karena itu, obsesitas harus menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan untuk

penentuan dosis awal. Dalam konteks tersebut, harus digunakan rumus yang

membantu penghitungan berat badan / lean body mass.

Tabel 1 memberikan rekomendasi optimalisasi penentuan dosis awal pada

pasien yang mengalami peningkatan Vd. Tabel 2 memberikan pedoman

pengobatan spesifik pada skenario tersebut.

OPTIMALISASI PENENTUAN DOSIS PEMELIHARAAN /

MAINTENANCE ANTIBIOTIK PADA MODS

Penentuan dosis pemeliharaan / maintenance harus diarahkan berdasarkan

CL obat. Bergantung pada sistem organ yang terganggu akibat MODS, efek CL

antibiotik dapat sangat bervariasi. Sistem organ paling relevan yang dapat

mempengaruhi farmakokinetik (umumnya sistem renal dan hepatik) akan

dipertimbangkan secara terpisah.

Tabel 1 memberikan prinsip umum penentuan dosis pemeliharaan pada

gagal ginjal, kerusahan hepar, dan RRT. Tabel 2 memberikan pedoman obat-

obatan spesifik pada skenario tersebut. Gambar 3 meringkas skenario yang

kemungkinan dapat mengubah farmakokinetik pada MODS.

Disfungsi Ginjal

Antibiotik hidrofilik kebanyakan dikeluarkan secara renal oleh filtrasi

glomerulus dan sekresi tubular. Penurunan CL obat-obatan tersebut terlihat jelas

pada disfungsi ginjal, dan oleh karena itu, dibutuhkan penurunan dosis atau

pemanjangan interval dosis untuk mencegah akumulasi dan toksisitas obat.

Penyesuaian dosis untuk mencegah toksisitas penting khususnya untuk antibiotik

dengan therapeutic window yang sempit seperti glikopeptida dan aminoglikosida,

yang dapat mengakibatkan terjadinya nefrotoksik, dan oleh karena itu

11

Page 12: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

akumulasinya dapat mengakibatkan siklus pengrusakan pada ginjal yang rusak

sehingga makin meningkatkan akumulasi obat.

Tabel 1 – Pedoman Penentuan Dosis Loading dan Maintenance Antibiotik

pada Pasien Sakit Kritis yang Menderita MODS

AUC0-24 / MIC = rasio area dibawah kurva konsentrasi 0 hingga 24 jam terhadap

konsentrasi inhibisi minimum; Cmax / MIC = rasio konsentrasi maksimum

terhadap konsentrasi inhibisi minimum; fT > MIC = waktu hingga konsentrasi

inhibisi minimum; LD = dosis front-loaded; MD = dosis pemeliharaan; MIC =

konsentrasi inhibisi minimum; MODS = sindrom disfungsi organ multiple; PD =

farmakodinamik; TDM = monitoring obat terapeutik; Vd = volume distribusi.

Tabel 2 – Rekomendasi Dosis untuk LD dan MD pada MODS berdasarkan

Obat-obatan Individual

Data dimodifikasi dari informasi produk pada setiap obat. Perhatikan bahwa

informasi produk untuk kebanyakan antibiotik hidrofilik yang termasuk dalam

tabel (kecuali teicoplanin dan aminoglikosida) tidak mempertimbangkan jadwal

penentuan dosis yang berbeda untuk LD dan MD dan didasarkan pada penelitian

terhadap pasien yang tidak sakit kritis. LD yang direkomendasikan didasarkan

pada data dari pasien yang sakit kritis untuk memungkinkan tercapainya

konsentrasi terapeutik secara cepat. Cmin = konsentrasi menyeluruh; RRT = terapi

pengganti ginjal. Lihat penjelasan dibawah Tabel 1 untuk singkatan lainnya.

a Dosis yang diresepkan diarahkan berdasarkan tingkat disfungsi organ.

b Dosisnya bergantung pada data yang tersedia dalam keadaan dialisis.

c Ada beberapa data yang mengukur toksisitas vancomycin LD; oleh karena itu,

kami tidak menyarankan untuk memberikan LD melebihi 35 mg/kg.

Ketika dosis dikurangi, penting untuk mempertimbangkan

farmakodinamik antibiotik untuk memastikan bahwa targetnya dapat tetap

tercapai. Misalnya, penurunan dosis antibiotik time-dependent yang lebih tepat

adalah dengan cara mengurangi dosis bukannya frekuensi pemberian sebagai cara

12

Page 13: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

untuk mempertahankan fT > MIC (misalnya dosis meropenem yang

direkomendasikan untuk estimasi GFR < 15 mL/menit adalah dosis front-loaded

1000 mg untuk memberikan konsentrasi terapeutik diikuti dengan dosis

pemeliharaan sebesar 500 mg setiap 12 jam untuk optimalisasi fT > MIC secara

terus menerus tanpa adanya toksisitas). Untuk obat-obatan concentration-

dependent seperti aminoglikosida, disarankan untuk memperpanjang interval

antar dosis daripada mengurangi dosisnya sehingga konsentrasi puncak yang

diperlukan untuk pembunuhan bakteri yang optimal dapat tetap tercapai.

Namun, walaupun adanya teori rekomendasi tersebut, selalu ada

ketidakjelasan ketika meresepkan antibiotik pada pasien yang menderita MODS

karena kegagalan organ kemungkinan besar berfluktuasi dari hari ke hari selama

terapi. Diketahui bahwa TDM merupakan alat yang sangat berguna untuk

mentitrasi penentuan dosis antibiotik pada MODS. TDM digunakan secara luas

untuk aminoglikosida dan glikopeptid untuk memastikan paparan dan

meminimalisasi insidens toksisitas. Namun, potensial dan kegunaan TDM sebagai

sebuah strategi untuk mengoptimalisasi dosis antibiotik β-lactam (kelas antibiotik

yang paling sering diresepkan) belum dikonfirmasikan. Penelitian terbaru telah

menilai kegunaanya dengan kelompok pasien sakit kritis yang besar. Roberts et al

menunjukkan bahwa pada fase pemeliharaan terapi, banyak pasien yang

menderita disfungsi ginjal memerlukan penurunan dosis karena konsentrasi yang

tinggi (sekitar 10 kali MIC), walaupun adanya penyesuaian dosis empirik untuk

disfungsi ginjal. Namun, beberapa pasien lainnya yang menderita gagal ginjal

atau RRT menunjukkan konsentrasi suboptimal dengan penyesuaian dosis, yang

membuktikan bahwa konsentrasi obat tidak hanya bergantung pada fungsi ginjal,

tetapi juga pada berbagai faktor lainnya.

TERAPI PENGGANTI GINJAL

Seiring dengan penurunan fungsi ginjal, produk sisa akan terakumulasi,

dan harus dipertimbangkan untuk memulai RRT. Penentu utama CL selama RRT

adalah modalitas dan keadaan pasien. Hemodialisis, hemofiltrasi, hemodiafiltrasi,

dan dialisis peritoneal semua memiliki mekanisme yang berbeda untuk

menghilangkan sisa metabolisme dan memiliki efek yang berbeda terhadap

13

Page 14: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

derajat clearance obat. Faktor lainnya yang menentukan rasio ekstraksi adalah

berat molekul obat (obat-obatan dengan berat molekul yang lebih tinggi daripada

pori-pori membran filtrasi tidak dapat dihilangkan), ikatan dengan protein (hanya

molekul yang tidak berikatan dengan protein yang dapat dihilangkan), afinitas

obat terhadap filter adsorbsi, apakah cairan pengganti ditambahkan prefilter atau

postfilter, dan laju ultrafiltrasi. Implikasi RRT terhadap penentuan dosis obat telah

direview, dan diskusi lebih lanjut tidak masuk dalam cakupan artikel ini. namun,

Tabel 1 memberikan sejumlah rekomendasi untuk penentuan dosis pada RRT.

GAMBAR 3. Skenario klinis yang kemungkinan dapat mengubah PK antibiotik

pada MODS. MODS = sindrom disfungsi organ multiple; PK = farmakokinetik.

Disfungsi Hepar

Gangguan pada hepar bisa memiliki dampak yang signifikan terhadap CL

obat-obatan lipofilik dan hidrofilik. Obat-obatan lipofilik dapat menjalani

metabolisme di hati untuk meningkatkan hidrofilisitas zat tersebut. CL obat-

obatan yang dieliminasi secara hepatik bergantung pada aliran darah hepatik dan

clearance intriksik (misalnya derajat aktivitas enzimatik). Oleh karena itu, dapat

dibedakan 2 jenis skenario. CL obat dengan ekstraksi yang tinggi umumnya

berhubungan dengan aliran darah hepatik (misalnya lidokain), sedangkan pada

14

Page 15: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

obat-obatan dengan ekstraksi yang kurang, CL nya ditentukan oleh CL intrinsik

dan derajat keterikatan dengan protein (misalnya nitroimidazole, fluorokuinolon).

Kerusakan pada hepar dapat mengganggu modifikasi kedua faktor tersebut,

sehingga menyebabkan terjadinya penurunan eliminasi, akumulasi, dan potensi

toksisitas obat. Misalnya, pada keadaan kerusakan hepar, oksidasi metronidazole

oleh mikrosome dapat berkurang karena penurunan ekspresi dan aktifitas enzim,

menyebabkan potensi toksisitas obat termasuk kejang dan neuropati perifer.

Obat-obatan lain yang dapat dikeluarkan melalui ekskresi billiar, dapat

menurun pada gangguan hepar (misalnya tigecycline). Sebuah penelitian yang

membandingkan pasien dengan derajat kerusakan hepar yang berbeda

menemukan bahwa CL tigecycline berkurang sebesar 55%, dan waktu paruh

eliminasi memanjang sebanyak 43% pada pasien yang menderita gangguan hepar

berat. Pada keadaan tersebut, direkomendasikan penurunan dosis untuk

menghindari toksisitas.

Selain itu, penurunan sintesis albumin dan α-1 acid glycoprotein pada

disfungsi hepar, bersama dengan distribusi protein tersebut secara transkapiler

karena adanya kebocoran kapiler dapat mengubah farmakokinetik antibiotik

dengan keterikatan protein yang tinggi. Hipoalbuminemia diketahui dapat

menyebabkan peningkatan Vd dan CL obat-obatan seperti ceftriaxone secara

signifikan (ikatan protein 85%-95%), ertapenem (85%-95%), flucloxacillin

(95%), dan teicoplanin (90%-95%). Oleh karena itu, harus dipertimbangkan

penggunaan dosis front-loaded ketika meresepkan obat-obatan tersebut pada

pasien sakit kritis yang menderita MODS dan hipoalbuminemia. Rekomendasi

dosis awal untuk antibiotik hidrofilik dengan keterikatan yang tinggi (Tabel 2)

dapat dipakai pada keadaan tersebut. Dosis pemeliharaan harus didasarkan pada

tingkat kegagalan organ dan konteks jalur eliminasi utama obat tersebut, dan jika

memungkinkan, didasarkan pada TDM. Penurunan konsentrasi α-1 acid

glycoprotein dalam plasma meningkatkan Vd eritromisin secara substansial

(ikatan protein 73% - 81%), sedangkan CL menurun sebesar 60% pada keadaan

adanya gangguan metabolik. Antibiotik lain yang berikatan dengan protein

tersebut termasuk trimethoprim dan lincosamides.

15

Page 16: Penentuan Dosis Antibiotik Pada Sindrom Disfungsi Organ Multiple

Sebagai pertimbangan terakhir untuk disfungsi organ, penting untuk

diketahui bahwa pasien sakit kritis dapat datang dengan komorbid penyerta,

seperti disfungsi ginjal atau hepar kronik, yang tidak berhubungan dengan sepsis.

Pada kasus tersebut, prinsip penentuan dosis yang telah disebutkan sebelumnya

untuk dosis awal dan dosis pemeliharaan juga harus diaplikasikan. Penyesuaian

dosis harus selalu dibuat sesuai dengan derajat kegagalan organ dan estimasi

kadar Vd dan CL obat yang ada pada pasien, tanpa memperhatikan disfungsi yang

telah ada. Disfungsi yang telah ada tersebut hanya dipertimbangkan sebagai

arahan terhadap tingkatan fungsi organ pada fase pemeliharaan terapi.

KESIMPULAN

Penentuan dosis antibiotik yang sesuai pada MODS merupakan hal yang

kompleks dan bergantung pada beberapa faktor yang berkaitan dengan obat dan

pasien. Pertimbangan karakteristik psikokimia dan farmakodinamik antibiotik

penting untuk menentukan regimen dosis untuk menghindari penentuan dosis

yang suboptimal. Ada 2 fase penting pada terapi antibiotik MODS. Selama hari

pertama terapi, diperlukan dosis front-loaded dan harus diarahkan berdasarkan Vd

yang telah diprediksi, yang kemungkinan meningkat pada pasien sakit kritis

walaupun adanya gangguan fungsi organ. Dari hari kedua dan seterusnya, dosis

pemeliharaan dapat disesuaikan dengan CL yang berhubungan dengan disfungsi

organ. Kebutuhan penyesuaian dosis antibiotik harus dipertimbangkan secara

individual tergantung dari sistem organ yang mengalami masalah dan jalur CL

obat tersebut. Karena variabilitas fungsi organ yang besar selama sepsis, TDM

harus dianggap sebagai alat yang berguna untuk mengindividualisasikan dosis dan

memastikan paparan yang tepat terhadap antibiotik. Dibutuhkan penelitian lebih

lanjut tentang penyesuaian dosis pada MODS untuk memperbaiki kualitas

perawatan pada pasien dan prognosis pada populasi pasien tersebut.

16