penemuan hukum fix

24
METODE / SOLUSI MENGISI KEKOSONGAN HUKUM (RECHTSVACUUM) OLEH HAKIM 1. Latar Belakang dan Permasalahan 1.1. Latar Belakang Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada. Namun perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan aturan perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu system hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam

Upload: william-leonard

Post on 27-Jun-2015

412 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

METODE / SOLUSI MENGISI KEKOSONGAN HUKUM (RECHTSVACUUM) OLEH

HAKIM

1. Latar Belakang dan Permasalahan

1.1. Latar Belakang

Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala

berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang telah terjadi

menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum

dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada. Namun perkembangan masyarakat

lebih cepat dari perkembangan aturan perundang-undangan, sehingga perkembangan

dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam

kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu system hukum untuk menciptakan

kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur.

Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup

seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hokum

untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang memberikan suatu kepastian

hukum dihadapkan pada realita bahwa rasa keadilan masyarakat tidak dapat dipenuhi

oleh asas ini karena masyarakat yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi.

Perubahan cepat yang terjadi tersebut menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak

atau belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin

suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara

tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan

tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat.

1.2 Permasalahan

Dari latar belakang tersebut diatas dalam tulisan ini akan kemukakan mengenai

Permasalahan-permasalahan yang akan akan dibahas sebagai berikut:

1. Mengapa Kekosongan Hukum Terjadi dan Apa akibatnya dari adanya kekosongan

hokum tersebut?

2. Bagaimana Solusinya jika terjadi kekosongan hokum?

2. Metode / Solusi Mengisi Kekosongan Hukum Oleh Hakim

2.1 Definisi Kekosongan Hukum

Tidak ada pengertian atau definisi yang baku mengenai kekosongan hokum

(rechtsvacuum), namun secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut :

Hukum atau recht (Belanda) Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara obyektif berarti

undang-undang atau hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)”

menyatakan bahwa “hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin

keadilan”.

Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie” mengungkapkan

bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergejolak terus

menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan

gejalagejala lainnya”.

Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu Hukum” memberikan pengertian

mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang

besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak

berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan

masyarakat”. Dengan peraturan-peraturan hidup disini dimaksudkan baik peraturan-

peraturan yang tertulis dalam peraturan perundangundangan maupun yang tidak tertulis

(adat atau kebiasaan).

Kekosongan atau vacuum (Belanda) Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI)

cetakan kedua tahun 1989, “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya)

kosong atau kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld)

yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau lowong”.

Dari penjelasan diatas maka secara sempit “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai

“suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang

mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum dalam

Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang/peraturan

perundang-undangan”.

2.2. Terjadinya Kekosongan Hukum

Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif

pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan

perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak

diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekosongan hokum dapat terjadi

karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun

tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang

menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa

tertinggal atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam

perkembangan masyarakat”.

Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku

pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal, yang

tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan

tersebut.

2.3. Akibat dari Kekosongan Hukum

Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau

keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hokum

(rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat

yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam

arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan

diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan)

dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam

masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal

atau keadaan yang terjadi.

2.4. Solusi apabila terjadi kekosongan hukum

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa perkembangan masyarakat selalu

lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-

undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap tindak masyarakat yang dapat

menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil dan ajeg

dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat, namun hukum yang berjalan ditempat

pada kenyataannya akan menjadi hukum yang usang yang tertinggal jauh oleh

perkembangan masyarakat yang acapkali menimbulkan kekosongan hokum (kekosongan

peraturan perundang-undangan) terhadap hal-hal atau keadaan yang berkembang dalam

masyarakat yang pastinya belum diatur atau jika sudah diatur namun tidak jelas bahkan

tidak lengkap atau sudah usang. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan

fleksibel dan mampu mengikuti perkembangan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan

dalam mengatasi terjadinya kekosongan hokum adalah sebagai berikut :

Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat

suatu usaha interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan

secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum positif yang ada bisa diterapkan pada

setiap kasus yang terjadi, karena ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin

sudah tidak relevan dengan zaman (out of date).

Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb.

1847 : 23) dan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 (pokok-pokok kekuasaan Kehakiman)

seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih

UU tidak sempurna atau tidak adanya aturan hukum. Dalam kondisi UU tidak lengkap

atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

Penemuan hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau

petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan

bahasa lain penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat

umum dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim

harus menyesuaikan UU dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturanperaturan

yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.

Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas maka hakim

berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-

sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.

Kebijakan/prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan Walaupun hakim ikut

menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangundangan, namun kedudukan

hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun eksekutif (sebagai badan

pembentuk perundang-undangan) sebagaimana DPR dan Pemerintah (Presiden).

Keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan

umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ini

ditegaskan dalam Pasal 21 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia;

Stb. 1847 : 23) yang menyatakan bahwa “hakim tidak dapat memberi keputusan yang

akan berlaku sebagai peraturan umum”. Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 1917

KUH Perdata (B.W.) bahwa “kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal

yang diputuskan dalam keputusan itu”.

Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat

diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk Perundangundangan, yang

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945

yang telah diamandemen) Pasal 20 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “DPR memegang

kekuasaan membentuk undang-undang” dan “setiap rancangan undang-undang dibahas

oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Pasal 5 UUD Negara RI

Tahun 1945 menegaskan pula bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-

undang kepada DPR” dan “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk

menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini berarti prakarsa

atau kebijakan (political will) dari DPR dan Pemerintah (Presiden) memegang peranan

yang sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu undang-undang (lebih

luas peraturan perundang-undangan) baik mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak

diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari peraturan perundang-

undangan yang telah ada namun sudah tidak sesuai dengan perkembangan di masyarakat.

Lebih lanjut dalam upaya mengatasi kekosongan hukum maka dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-

undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,

perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”. Kemudian

dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa “Perencanaan

penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional

(Prolegnas)”. Prolegnas itu sendiri menurut Pasal 1 angka 9 adalah “instrumen

perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana,

terpadu dan sistematis”. Prolegnas menjadi salah satu dari mekanisme program legislasi.

Karena disamping Prolegnas (pemerintah/eksekutif) yang menampung rencana-rencana

legislasi dari departemen-departemen/LPND, juga terdapat mekanisme program legislasi

yang dikelola oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Bahkan juga ada program legislasi

yang dikelola oleh masyarakat (organisasi profesi dan lembaga swadaya

masyarakat).

2.5. Metode penemuan hukum

Penemuan hokum oleh Hakim dilakukan dengan melakukan Penafsiran (Interpretasi)

dengan beberapa Metode sebagai berikut:

1. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran

Undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada Undang-undang.

Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.

Misalnya :

a. Peraturan per Undang-undangan yang melarang orang menghentikan “Kenderaannya”

pada suatu tempat. Kata kenderaan bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda

empat atau kenderaan bermesin, bagaimana dengan sepeda dan lain-lain (E.Utrecht). Jadi

harus diperjelas dengan kenderaan yang mana yang dimaksudkan.

b. Mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam pasal 342 KUHP Mis : sebuah

paket yang diserahkan kepada Dinas Perkereta Apian (PJKA). Sedangkan yang

berhubungan dengan pengiriman tidak ada selain Dinas tersebut artinya dipercayakan.

c. Istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan sebagai menghilangkan.

 

2. Metode Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan Undang-undang dengan cara

melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang. Penafsran historis ini ada 2 yaitu :

a. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara

penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala

sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Contoh : a. KUHPerdata BW)

yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti

code civil Perancis dan di Belanda (Nederland) di kodifikasikan pada tahuan 1838.

b. Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang (Wethistoirsche interpretatie)

yaitu penafsiran Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-

undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud

ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang pada waktu

pembentukannya.

 

3. Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal

yang satu dengan apasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan,

atau dengan Undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut

sehingga kita memahami maksudnya. Contoh :

a. Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat

persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Timbul pertanyaan :

“Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”. Untuk hal tersebut

harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur batasan orang yang belum

dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.

b. Apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar

perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan didalam

KUHPerdata (BW) saja melainkan harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUHP.

 

4.Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis yaitu makna Undang- undang itu

ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan

disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang

yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk

memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama

dibuat aktual.

Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim di Indonesia

mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan perUndang-

undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai

kondisi sosial suatu daerah. Umpamanya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah

dianggap seperti ibu yang dapat dimiliki oleh setiap orang dan harus dijaga/dirawat

layaknya menjaga/merawat seorang ibu. Dalam hal ini hakim harus menserasikan

pandangan social kemasyarakatannya dengan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang

Pokok-pokok Agraria.

 

5.Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi) yaitu penafsiran yang resmi yang

diberikan oleh pembuat Undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam

Undang-undang tersebut. Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan

secara resmi (authentik)

tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang

dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang

lamanya 30 hari. Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya

berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana diluar KUHP

artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif

mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan menmsosialisasikannya kepada

masyarakat.

 

6.Metode interpretasi secara ekstentif yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti

kata-kata yang terdapat dalam Undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat

dimasukkan kedalamnya.

Contoh : Bahwa Jurisprudensi di Nederland : “Menyambung” atau “menyadap” aliran

listrik dapat dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas pengertian

unsur barang (benda), dalam pasal 362 KUHP.

 

7.Metode Interpretasi Restriktif yaitu penafsiran yang membatasi/mempersempit

maksud suatu pasal dalam Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang

kasus Per Kereta Api “Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365

KUHPerdata juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati

sehingga pejalan kaki juga harus

menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada

kesalahannya) ( Mr. C. Asser, 1986, hal 84-85).

 

8.Metode interpretasi Analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan hukum

dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas

hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya

dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Contoh penafsiran penjualan dalam

pasal 1576 KUHPerdata yaitu “Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa

menyewa kecuali apabila diperjanjikan”. Apabila misalnya seseorang menghibahkan

rumah miliknya kepada orang lain

sedangkan rumah tersebut dalam keadaan disewakan kepada orang lain, bagaimana?

Berdasarkan persamaan yang ada dalam perbuatan memberi (hibah), menukar,

mewariskan dengan perbuatan menjual, dan persamaan itu adalah perbuatan yang

bermaksud mengasingkan suatu benda maka hakim membuat suatu pengertian “bahwa

pengasingan (menukar, mewariskan) tidak memutuskan (mengakhiri) sewa menyewa.

Pasal 1576 KUHPerdata walau hanya menyebut kata “menjual” masih juga dapat

diterapkan pada peristiwa hibah, menukar mewariskan. Oleh konstruksi hukum seperti

itu. Hakim dapat menyempurnakan sistem formil hukum.

Konstruksi hukum seperti diatas menurut Scholten tidak boleh dilakukan secara

sewenang-wenang. Konstruksi itu harus meliputi bahan-bahan yang positip (Contructive

moet de positive stof dekken). Yang dimaksud dengan bahan-bahan positip adalah sistem

materil Undang-undang yang sedang berlaku. Konstruksi itu harus didasarkan atas

pengertian-pengertian hukum yang memang ada dalam Undang-undang yang

bersangkutan dan menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan.

Konstruksi tidak boleh didasarkan atas anasir-anasir (elemen-elemen) diluar sistem

materil positip. Didalam hukum pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi

ekstensif dibolehkan (contoh Kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik) Hukum di

Inggris yang sebagian tertulis (Statute law) dan sebagian tidak tertulis (Common law)

mengenal analogi. Walaupun demikian Hukum di Inggris menolak menggunakan analogi

terhadap hukum pidana.

Sedangkan di Uni Soviet menghilangkan dengan sengaja ketentuan nullum delictum dan

menggunakan prinsip bahwa hakim pidana harus menghukum semua tindakan yang

membahayakan masyarakat.

 

9.Metode interpretasi argumentus a contrario yaitu suatu penafsiran yang

memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan

peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu

kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut

melainkan diluar peraturan perundang-undangan.  Scolten mengatakan bahwa tidak

hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan Undang-undang secara analogi dan

menerapkan Undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2

menjalankan Undangundang tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip

sedangkan menjalankan Undang-undang secara Argumentus a contrario membawa hasil

yang negatif.

Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak

dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak

perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka

ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria.

Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu

300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4

x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih

dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah menimbulkan

ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.

 

 

3. Kesimpulan

1. Dalam kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu sistem hukum untuk

menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Namun perubahan cepat

yang terjadi dalam masyarakat menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau

belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu

peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas

sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak

lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat. Kekosongan hukum

dapat diatasi dengan jalan yaitu jika kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka

seorang hakim dapat melakukan penemuan hokum (rechtsvinding), atau dengan cara

prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

dan Pemerintah (Presiden). Dengan adanya Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

merupakan salah satu dari mekanisme program legislasi dan juga sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi kekosongan hukum.

2. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim menggunakan metode penafsiran terhadap

Undang-undangseperti penafsiran menurut bahasa, penafsiran secara historis, penafsiran

secara sistematis, penafsiran secara teleologis/sosiologis, penafsiran secara authentik,

penafsiran secara ektensif, penafsiran secara restriktif, penafsiran secara analogi,

penafsiran secara argumentus a contrario.

Daftar Pustaka

Surojo Wignjodipuro, S.H., Pengantar Ilmu Hukum (Himpunan Kuliah), Alumni Bandung,

1971;

C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Jakarta,

1989;

H. Ahmad Ubbe, S.H., MH, APU, Instrumen Prolegnas dalam Proses Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Yang Terencana dan Terpadu;

Chainur Arrasjid, Prof, SH, Pengatar Ilmu Hukum, Yani Corp Medan, 1988

_____________________ , Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika Jakarta, 2000

C.S.T. Kansil, Drs., SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka

Jakarta, 1986

C. Asser, Mr/Paul Scholtes, Mr., Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Gajah

Mada University Press, 1986.

E. Utrecht, Drs., SH & M. Saleh Djinjang, SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, 1982

L.J. Van Apeldoorn, Prof. Dr. Mr., Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramitha, Jakarta, 1985

Satjipto, Raharjo, Prof, Dr., SH, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 1996

Syahruddin Husin, SH, Pengantar Ilmu Hukum, Kel Study Hukum & Masyarakat, Medan 1992.

Sudikno Merto Kusumo, Prof, Dr, SH, Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta, 1999

__________________________ , Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

1993.

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Kamus Hukum (Edisi Lengkap);

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka Jakarta, 1989;