hermeneutika sebagai metode penemuan hukum …

117
ISSN :2356-4164 (cetak) ISSN :2407-4276 (online) JURNAL KOMUNIKASI HUKUM Volume 2 Nomor 1, Pebruari 2016 HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM YANG PROGRESIF Andika Wahyudi Gani KEBENARAN HUKUM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM Beniharmoni Harefa PASAL 66 AYAT (1) UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN TINDAK PIDANA KORUPSI Hendry Julian Noor GAGASAN PENERAPAN VICARIOUS LIABILITY DALAM KONSEP KUHP ATAS TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK I.Gst Ngr Hady Purnama Putera PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INDIVIDUAL OLEH DEWAN HAK ASASI MANUSIA PBB SUATU TINJAUAN TERHADAP TAHANAN RUMAH AUNG SAN SUU KYI I Gusti Ayu Apsari Hadi SINKRONISASI PENGATURAN SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING DI INDONESIA Kadek Agus Sudiarawan PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas LEMBAGA NEGARA PEMBENTUK UNDANG-UNDANG Ni Putu Niti Suari Giri RELEVANSI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN PERKEMBANGAN HUKUM EKSTRADISI INTERNASIONAL (STUDI KASUS : PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA-SINGAPURA) Syarifuddin JKH Volume 2 Nomor 1 Halaman 1-113 Singaraja Pebruari 2016 ISSN : 2356- 4164 2407-4276 JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2016

Upload: others

Post on 12-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

ISSN :2356-4164 (cetak) ISSN :2407-4276 (online)

JURNAL KOMUNIKASI HUKUM

Volume 2 Nomor 1, Pebruari 2016

HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM YANG PROGRESIF Andika Wahyudi Gani KEBENARAN HUKUM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM Beniharmoni Harefa PASAL 66 AYAT (1) UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Hendry Julian Noor

GAGASAN PENERAPAN VICARIOUS LIABILITY DALAM KONSEP KUHP ATAS TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK I.Gst Ngr Hady Purnama Putera PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INDIVIDUAL OLEH DEWAN HAK ASASI MANUSIA PBB SUATU TINJAUAN TERHADAP TAHANAN RUMAH AUNG SAN SUU KYI I Gusti Ayu Apsari Hadi

SINKRONISASI PENGATURAN SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING DI INDONESIA Kadek Agus Sudiarawan PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas LEMBAGA NEGARA PEMBENTUK UNDANG-UNDANG Ni Putu Niti Suari Giri RELEVANSI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN PERKEMBANGAN HUKUM EKSTRADISI INTERNASIONAL (STUDI KASUS : PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA-SINGAPURA) Syarifuddin

JKH Volume 2 Nomor 1 Halaman 1-113

Singaraja Pebruari 2016

ISSN : 2356- 4164 2407-4276

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA 2016

Page 2: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

JURNAL KOMUNIKASI HUKUM

JURNAL BERKALA JURUSAN ILMU HUKUM UNDIKSHA

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

Diterbitkan oleh

Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha

DEWAN REDAKSI

Penanggung Jawab

Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Prof. Dr. Sukadi, M.Pd., M.Ed.

Wakil Penanggung Jawab

Ratna Artha Windari, S.H, M.H.

Ketua Dewan Penyunting

Ni Putu Rai Yuliartini, S.H., M.H.

Wakil Ketua Dewan Penyunting

Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M.

Anggota Dewan Penyunting

Drs. I Nyoman Pursika, M.Hum.

Drs. I Ketut Sudiatmaka, M.Si.

Ni Ketut Sari Adnyani, S.Pd., M.Hum.

Penyunting Pelaksana

Si Ngurah Ardhya, S.H., M.H.

I Gusti Ayu Apsari Hadi, S.H., M.H.

ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL KOMUNIKASI HUKUM

Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha

Jalan Udayana Singaraja (Kampus Tengah Undiksha)

Telp.(0362) 23884 | Fax.(0362) 29884

Email : [email protected]

Website : http://ejournal.undiksha.ac.id

Page 3: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

JURNAL KOMUNIKASI HUKUM JURNAL BERKALA JURUSAN ILMU HUKUM UNDIKSHA

VOLUME 2, NOMOR 1, Pebruari 2016

DAFTAR ISI

SUSUNAN DEWAN REDAKSI DAFTAR ISI HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM YANG PROGRESIF Andika Wahyudi Gani 1-10

KEBENARAN HUKUM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM Beniharmoni Harefa 11-19

PASAL 66 AYAT (1) UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN TINDAK PIDANA KORUPSI Hendry Julian Noor 20-27

GAGASAN PENERAPAN VICARIOUS LIABILITY DALAM KONSEP KUHP ATAS TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK I.Gst Ngr Hady Purnama Putera 28-34 PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INDIVIDUAL OLEH DEWAN HAK ASASI MANUSIA PBB SUATU TINJAUAN TERHADAP TAHANAN RUMAH AUNG SAN SUU KYI I Gusti Ayu Apsari Hadi 35-54

SINKRONISASI PENGATURAN SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING DI INDONESIA Kadek Agus Sudiarawan 55-69

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas 70-83 LEMBAGA NEGARA PEMBENTUK UNDANG-UNDANG Ni Putu Niti Suari Giri 84-93 RELEVANSI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN PERKEMBANGAN HUKUM EKSTRADISI INTERNASIONAL (STUDI KASUS : PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA-SINGAPURA) Syarifuddin 94-113 PETUNJUK PENULISAN

Page 4: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 1

HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM YANG PROGRESIF

Andika Wahyudi Gani STIEM Bongaya Makassar

Email: [email protected]

ABSTRAK Kehidupan manusia begitu luas aspeknya sehingga tidak bisa seluruh

kehidupan manusia didefinisikan dalam suatu aturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Pembuat undang-undang tidaklah mampu merangkum seluruh kehidupan manusia sehingga pada umumnya yang ditetapkan hanyalah peraturan yang bersifat umum saja, karena undang-undang tersebut hanya mencakup yang bersifat umum saja dan kadangkala tidak jelas dan lengkap maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding).

Berangkat dari konsep hukum progresif, penemuan hukum yang progresif, bahwa hukum itu adalah untuk manusia, yang didalamnya termasuk nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan yang menjadi titik pembahasan hukum, sehingga faktor etika dan moralitas tidak terlepas dari proses terjadinya penemuan hukum

Menurut tafsir hermeneutika, rumusan suatu aturan hukum tertulis hanyalah simbol yang mengandung makna. Rangkaian kalimat dalam suatu peraturan hanyalah sekedar baju atau cangkang dari makna yang terkandung di dalamnya. Bagi tafsir ini, yang penting dan terutama adalah mencari makna dari rumusan suatu ketentuan perundangan sebagaimana dimaksud pembentuknya dahulu, lalu dipahami secara holistik dalam sistem hukum yang diterapkan dalam suatu kenyataan. Hermeneutika hukum merupakan suatu bentuk penemuan hukum yang lebih holistik dan bersifat progresif yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan serta juga nilai etika dan moralitas. Hermeneutika juga merupakan alternatif penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta perkembangan masyarakat

Kata kunci : Hermeneutika, Penemuan Hukum, Hukum Progresif.

ABSTRACT

So broad aspects of human life that all human life can not be defined in a rule of law thoroughly and clearly. The lawmakers are not able to summarize all of human life that are generally set only the rules of a general nature only, because the law only covers a general nature only and is sometimes unclear and incomplete, the judge must seek and find legal (rechtsvinding).

Departing from the legal concept of progressive, progressive discovery of the law, that the law is for humans, which includes the values of truth and justice that is the discussion of the law, so the factor of ethics and morality can not be separated from the process of legal discovery

Page 5: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 2

According to the interpretation of hermeneutics, the formulation of a rule of written law is just a symbol that implies. A series of sentences in a regulation is merely a dress or shell of the meaning contained therein. For this interpretation, first and foremost, is to find the meaning of a formula of legislative provisions referred constituent first, then be understood holistically within the legal system applied in reality. Hermeneutics of law is a form of legal discovery is more holistic and progressive nature which relied on legal values, truth and justice as well as the ethics and morality. Hermeneutics is also an alternative legal discovery are capable of creating new values in public life, or engineered in a society that is in accordance with the times and technology and the development of society

Keywords: Hermeneutics, Invention Law, Progressive Law.

Pendahuluan

Aspek kehidupan manusia begitu luas sehingga seluruh kehidupan manusia tak bisa didefinisikan dalam suatu aturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Pembuat undang-undang tidaklah mampu merangkum seluruh kehidupan manusia sehingga pada umumnya yang ditetapkan hanyalah peraturan yang bersifat umum saja, maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding). Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa hukum itu senantiasa harus diketemukan sehingga hukum itu dapat terwujud dalam kenyataan. Tentu tidak hanya sekedar menerapkan peraturan perundang-undangan saja, tetapi perlu juga diperhatikan aspek-aspek lainnya karena hukum itu ada untuk manusia bukan sebaliknya, ini yang dapat dikatakan sebagai hukum yang bersifat progresif, hukum yang senantiasa mengabdi kepada kebutuhan-kebutuhan manusia akan kehidupannya.

Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum. Setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain, yang mana setiap orang

akan berusaha menemukan hukumnya untuk diri sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum padanya. Penemuan hukum yang paling utama dilakukan oleh aparat hukum, baik itu hakim, jaksa dan lain-lain. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo (1993:9) berpendapat bahwa memahami penemuan hukum yang harus diingat oleh aparat hukum adalah bahwa penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus juga penciptaan hukum dan pembentukan hukum.

Pada hakekatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukum baik itu tertulis maupun tidak tertulis dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwa hukum, sehingga dapat terwujud suatu hukum yang diidamkan, yaitu hukum yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan.

Berkenaan dengan penemuan hukum, Eddy O.S. Hiariej (2009: 56) mengutip J.A. Pontier (2008:1) mengemukakan bahwa ada dua unsur penting dalam penemuan hukum.

Page 6: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 3

pertama, hukum/sumber hukum dan kedua adalah fakta. Pada awalnya, unsur hukum/sumber hukum dalam penemuan hukum adalah undang-undang. Hal ini berkaitan dengan suatu postulat yang dikenal dengan istilah “De wet is onschendbaar” (undang-undang tidak dapat diganggu gugat) yang dalam hukum Belanda tertuang secara explisit dalam Pasal 120 Grondwet. Akan tetapi, dalam perkembangannya, tidak semua hukum ditemukan dalam undang-undang. Oleh karena itu unsur hukum/sumber hukum dalam penemuan hukum tidak hanya meliputi undang-undang semata, tetapi juga meliputi sumber hukum lainnya, yaitu doktrin, yurisprudensi, perjanjian dan kebiasaan.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan.

Berdasarkan konteks kekinian, munculnya kritik dari masyarakat terhadap putusan hakim menunjukkan kurang puasnya masyarakat terhadap kinerja pengadilan. Hal ini dapat ditemukan dari data empiris hasil jajak pendapat Harian Kompas (Shinta Dewi Rismawati, 2009 : 28) menunjukkan bahwa 72,7 % rakyat belum mendapatkan perlakuan adil, dimana sebanyak 45,3 % responden menilai bahwa putusan hakim didasarkan pertimbangan uang, sebanyak 30,5 % responden menilai karena pertimbangan politik dan hanya 9,3 % responden yang masih percaya putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum.

Keprihatinan terhadap kondisi hukum di Indonesia yang menurut pengamat hukum dari dalam maupun luar negeri, sebagai salah satu sistem hukum yang terburuk di dunia, sehingga hukum di Indonesia memberikan kontribusi yang rendah dalam turut mencerahkan bangsa untuk keluar dari keterpurukan.

Hal ini memicu munculnya gagasan hukum progresif. Menurut pendapat Satjipto Raharjo (2006 : 2) bahwa hukum itu adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera. Hal lain yang patut disadari bahwa hukum merupakan suatu produk dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat, jadi untuk memahami kehidupan manusia kita juga harus memahami hukumnya.

Tetapi memahami hukum juga tak bisa terlepas dari memahami kenyataan kehidupan manusia sehari-

Page 7: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 4

hari. Dengan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana cara memahami hukum yang benar tentu akan mengarahkan kita dalam melakukan suatu penemuan hukum yang baik. Untuk itulah hermeneutika hukum berusaha mencari dasar kefilsafatan bagaimana manusia memahami hukumnya melalui interpretasi.

Bernard Arief Sidharta (1999 : 94) mengungkapkan bahwa mula pertama hermeneutika itu dikembangkan adalah sebagai metode atau seni untuk menafsirkan teks. Kemudian lewat karya Scleiermacher dan Wilhelm Dilthey (Hans Georg Gadamer, 1965 : 289) mengembangkan dan menggunakan hermeneutika sebagai metode untuk ilmu - ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah. Akhirnya, lewat karya Hegel dan karya Heidegger, Gadamer mengembangkan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu - ilmu manusia dalam bukunya “Truth and Method” . Dalam buku tersebut, Gadamer menyisishkan paragraph khusus dengan judul “The Exemplary Significance of Legal Hermeneutics” yang intinya berbicara mengenai signifikansi hermeneutika hukum. Kemudian dalam karya Heidegger dan karya Gadamer (B. Arief Sidharta, 1999 : 95-96), hermeneutika sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutika yang berintikan konsep-konsep kunci berikut: pendidikan (bildung), tradisi (ueberliefrung), prasangka (Vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran hermeneutika (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh (wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective

historical conciousness), dan perpaduan cakrawala (fusion of horizons). Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis dapat menarik suatu permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu : 1. Metode penemuan hukum yang

progresif patut disadari sebagai upaya alternatif yang dapat ditempuh oleh para penegak hukum untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum dalam sebuah aturan hukum positif demi terwujudnya tujuan hukum. Dengan begitu, bagaimana metode penemuan hukum dalam perspektif hukum progresif?

2. Bagaimana Implementasi metode hermeneutika guna menciptakan penemuan hukum yang progresif?

Pembahasan Metode Penemuan Hukum yang Progresif

Masalah penemuan hukum dalam kaitannya dengan tugas hakim adalah muncul pada saat hakim melakukan pemeriksaan perkara hingga saat menjatuhkan putusan. Hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memeriksa, mengadili dan kemudian menjatuhkan putusan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya, bukan berdasarkan logika hukum semata. Menurut Bagir Manan (2005 : 209), rumusan undang-undang yang bersifat umum tidak pernah menampung secara pasti setiap peristiwa hukum. Hakimlah yang berperan menghubungkan atau menyambungkan peristiwa hukum

Page 8: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 5

yang konkret dengan ketentuan hukum yang abstrak.

Menurut Achmad Ali sebagaimana dikutip oleh Yudha Bhakti Ardhiwisastra (2000 : 19) ada 2 (dua) teori metode penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu antara lain : a. Metode Interpretasi Hukum

Interpretasi merupakan penjelasan setiap istilah dari suatu perjanjian apabila terdapat pengertian ganda atau tidak jelas dan para pihak memberikan pengertian yang berbeda terhadap istilah yang sama atau tidak dapat memberikan arti apa pun terhadap istilah tersebut. Tujuan utama interpretasi adalah menjelaskan maksud sebenarnya dari para pihak atau merupakan suatu kewajiban memberikan penjelasan mengenai maksud para pihak seperti dinyatakan dalam kata-kata yang digunakan oleh para pihak dilihat dari keadaan-keadaan yang mengelilinginya. b. Metode Konstruksi Hukum

Salah satu metode yang akan digunakan oleh hakim pada saat ia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), karena pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya (asas ius curia novit). Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, karena sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Ahmad Rifai (2010 : 4) membagi karakteristik penemuan hukum yang progresif adalah : a. Penemuan hukum yang didasarkan

atas apresiasi hakim sendiri dengan dibimbing oleh pandangannya atau pemikirannya secara mandiri, dengan berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia.

b. Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan, serta juga etika dan moralitas.

c. Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta keadaan masyarakat.

Secara faktual, tidak dapat ditentukan metode penemuan hukum yang bagaimanakah yang dapat digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan karakteristik penemuan hukum yang progresif, karena dalam setiap perkara atau kasus mempunyai bentuk dan karakteristik yang berlainan atau variatif sifatnya. Sehingga hakim akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus yang dihadapinya (case by case), apakah itu salah satu metode interpretasi hukum ataukah salah satu dari metode konstruksi hukum atau hanya berupa gabungan dari beberapa metode interpretasi hukum atau konstruksi hukum, ataukah sekaligus dari metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum sekaligus. Putusan hakim yang demikian diharapkan dapat mendorong pada perbaikan dalam

Page 9: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 6

masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan antar anggota masyarakat serta dapat dipergunakan sebagai sumber pembaharuan hukum. Hermeneutika Hukum sebagai Penemuan Hukum yang Progresif.

Friedrich Schleiermacher (Richard E. Palmer, 2005 : 95) mendefinisikan hermeneutik sebagai seni memahami, sementara Paul Ricoeur (1990 : 43) mendefinisikan, hermeneutik adalah teori operasi pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks (hermeneutics is the theory of the operations of understanding in their relation to the interpretation of texts). Penafsiran untuk mencari makna suatu aturan sebagaimana dimaksud oleh pembentuknya dahulu disebut penafsiran hermeneutika. Secara etimologi, hermeneutika berasal dari kata Hermes, nama salah seorang Dewa Yunani yang berarti ‘Pembawa Berita’. Menurut Gadamer, sebagai mana dikutip oleh Ahmad Rifai (2010 : 87) “Legal hermeneutics is then, in reality no special case but is, in contrary fitted to restore the full scope of the hermeneutical problem and so to retrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian meet the student of humanities.” (yang secara bebas dapat diartikan sebagai: “Hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah suatu hal yang khusus, tetapi sebaliknya ia hanya merekonstruksikan seluruh problem hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika itu secara utuh, dimana

para ahli hukum dan para teologis bertemu dengan mereka-mereka yang mendalami peri kemanusiaan.”).

Gustav Radbruch termasuk orang yang sangat tidak setuju dengan metode penafsiran hermeneutika. Dalam bukunya “Outline of Legal Philosophy”. Radbruch mengatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang harus dicari maknanya sendiri melampaui apa yang dimaksud oleh pembentuknya dahulu dengan menggunakan penafsiran trans empiris (trans-empirical interpretation).

Menurutnya, suatu peraturan harus dimaknai sesuai dengan konteks pemahaman ketika hukum itu akan diterapkan, tidak harus terikat dengan maksud pembentuknya dahulu. Memaknai suatu peraturan perundangan dengan mengacu kepada maksud pembentuk undang-undang dahulu akan menghasilkan kumpulan pandangan dari para pembentuknya yang mungkin memiliki gap (jurang) antara pandangan yang satu dan pandangan lainnya, yang juga belum tentu masih relevan dan sesuai dengan konteks atau situasi yang dihadapi pada saat hukum itu akan diterapkan, sementara hukum memerlukan kepastian makna untuk memberikan suatu kepastian hukum pada suatu kenyataan.

Lebih lanjut Radbruch mengemukakan bahwa sama halnya dengan suatu teka-teki dapat menimbulkan suatu jawaban yang benar sesuai konteks waktu, yang mungkin sama atau sama sekali berbeda dengan jawaban yang dimaksud oleh si pembuat teka-teki tersebut pada saat membuat teka-teki itu, demikian juga halnya undang-

Page 10: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 7

undang, itu dapat mempunyai makna yang meskipun terlepas dan sama sekali berbeda dengan yang dimaksud oleh pembentuk hukum itu dahulu, akan tetapi dapat diterapkan pada dan sesuai dengan suatu konteks tertentu pada saat tertentu.

Penulis dalam hal ini tidak sependapat dengan Gustav Radbruch. Dengan melepaskan makna suatu ketentuan undang-undang dari apa yang dimaksud oleh dan menjadi tujuan pembentuknya dahulu, maka suatu undang-undang itu akan kehilangan roh atau cita-cita (rechtsidee) dari para pembentuknya dahulu untuk mana mereka membuat ketentuan-ketentuan itu.

Keadaan demikian itu juga akan semakin menjauhkan hukum dari tugasnya semula, ialah untuk mengarahkan para justiabelen atau subjek hukum itu mencapai tujuan yang dimaksud oleh pembuat hukum itu dahulu (law as a tool of social enginering), yaitu tujuan dari negara sebagai pembentuk hukum. Akibat yang lebih jauh lagi dari keadaan itu ialah bahwa hukum tidak lagi mengatur otoritas pelaksana hukum guna mencapai tujuannya, melainkan pelaksana hukumlah yang akan mengatur dan melaksanakan hukum sesuai dengan kepentingan dan/ atau kenyataan yang dihadapinya dari masa ke masa.

Jazim Hamidi (2005 : 2) berpendapat bahwa esensi hermeneutika adalah pemahaman melalui interpretasi. Berdasarkan pandangan bahwa kegiatan dalam kehidupan manusia sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup

dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas, maka dari itu hukum itu harus diketemukan agar terdapat kesesuain dengan kenyataan dan disanalah terjadi proses hermeneutika. Gadamer (Gregory Leyh, 2008 : 1-2) menambahkan bahwa hermeneutika dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus khusus/baru, tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksi kembali dari seluruh problematika hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan ahli humaniora/ilmu kemanusiaan.

Dalam kenyataan memang pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan yang bersifat umum saja, dan pertimbangan tentang hal-hal konkret diserahkan kepada hakim jadi hakimlah yang mempunyai kebebasan untuk menentukan hukum itu dalam kenyataan di depan persidangan dan dapat memberikan sentuhan human pada hukum dan peraturan perundang-undangan. Dari sana hakim melakukan penemuan hukum, Sudikno Mertokusumo (1993 : 4) juga mengatakan karena undang-undang tidak lengkap hakim harus melakukan penemuan hukum penegakkan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.

Hermeneutik digunakan tidak hanya berkaitan dengan masalah pengertian dengan arti ganda, tetapi berhubungan dengan seluruh kenyataan bahasa dan dengan suatu teks. Fungsi simbolik dan interpretasi harus diinterpretasikan dalam konteks

Page 11: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 8

yang lebih pasti dari teks, sehingga didalam mengguanakan interpretasi harus diketahui proses dari interpretasi yang berkepentingan untuk menghindari distorsi pemahaman dan bertujuan mencari kebenaran (correctenes).

Teks dalam pengertiannya adalah setiap diskursus yang dibakukan dalam tulisan. Suatu teks menempatkan diskursus lewat tulisan. Sebagai diskursus dialektis peristiwa-arti dan dialektika arti referensi berlaku pula pada teks (W. Poespoprodjo, 2004 : 122). Menurut definisi ini, pembakuan lewat tulisan merupakan ciri konstitutif dari teks itu sendiri sehingan dengan demikian apa yang dibakukan oleh tulisan adalah diskursus yang memang dapat diucapkan, dan pembekuan melalui tulisan menempati posisi ucapan. Sebuah teks baru akan menjadi teks ketika langsung membubuhkan apa yang dimaksudkan oleh diskursus ke dalam huruf-huruf tertulis.

Hubungan langsung antara makna dan pernyataan dan tulisan dapat didukung dengan melihat pada pembaca dan hubungan dengan tulisan. Tulisan yang menjadi teks memerlukan pembaca melalui cara yang memungkinkan pembaca untuk langsung memperkenalkan konsep-konsep interpretasi. Teks adalah tempat munculnya seorang pengarang sehingga muncul relasi antara keduanya yang bisa dikatakan bahwa pengarang teks dilembagakan oleh teks.

Penjelasan dan interpretasi akan saling berhadapan dalam tindakan membaca. W. Dilthey (1976 : 248) mengemukakan pendapat mengenai

dualitas antara penjelasan dan interpretasi. Menurut Dilthey pembaca dari suatu teks sebetulnya bukanlah antara penjelasan dan interpretasi melainkan antara penjelasan dan pemahaman karena interpretasi adalah wilayah khusus yang dijadikan dari bagian pemahaman. Selanjutnya Dilthey mengatakan bahwa pemahaman merupakan proses yang membuat individu tahu sesuatu menganai kehidupan mental melalui tanda-tanda yang harus dipahami yang merepresentasikan kehidupan mental itu.

Disinilah dibutuhkan Hermeneutika sebagai metode yang dapat menerangkan makna dari dokumen hukum yang berkaitan dengan konteks sekarang. Hermeneutik berhubungan dengan konsep memahami dan interpretasi.

Simpulan a. Dengan mendasarkan pada

karakteristik penemuan hukum yang progresif tersebut diatas, maka dapat dijelaskan metode penemuan hukum yang progresif adalah sebagai berikut:

1) Metode penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by case.

2) Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi berpedoman pada hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya.

Page 12: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 9

3) Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini.

b. Metode Hermeneutika dapat dikatakan sebagai metode penemuan hukum yang progresif, dengan berbagai alasan sebagai berikut:

1) Hermeneutika hukum dapat dikatakan sebagai suatu metode penemuan hukum. pada dasarnya hermeneutika hukum tidak terpisah dengan metode penemuan hukum lainnya, Hermeneutika hukum hanya merangkum seluruh metode penemuan hukum yang ada dalam kesatuan pemahaman yang lebih holistis dengan bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya.

2) Hermeneutika hukum sesuai dengan karakteristik penemuan hukum yang progresif. Hermeneutika hukum dalam melaksakan perannya selalu berhati-hati karena senantiasa meperhatikan keterkaitan anatara teks, konteks, dan kontekstualisasinya. Dan dalam praktik yang terjadi pada kasus Marbury vs Madison hermeneutika hukum terbukti mampu menciptakan hukum yang lebih progresif

Saran

Sebagaimana yang disebut tentang metode penemuan hukum dalam perspektif hukum progresif,

maka saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah agar putusan hakim sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif yaitu antara lain: a. Putusan hakim tidak hanya

semata-mata bersifat legalistik, yakni hanya sekedar corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun seharusnya hakim selalu harus legalistik karena putusannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau sekadar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan

c. Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner), yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan.

d. Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk kemakmuran

Page 13: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 10

masyarakat serta membawa bangsa dan negaranya keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.

Daftar Pustaka Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2000.

Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung.

Dilthey, W., 1976. The Development of Hermeneutics in Selected Writings, (terj) H. P. Rickman, Cambridge University Press, Cambridge.

Gadamer, Hans Georg, 1965. Truth and Method terjemahan oleh Ahmad Sahidah, Kebenaran dan Metode, Pengantar Filsafat Hermeneutika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hamidi, Jazim, 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta.

Hiariej, Eddy O.S., 2009. Asas Legalitas dan Penemuan Hukumdalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta.

Manan, Bagir, 2005. Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung RI, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, dan A. Pitlo, 1993. Bab-bab Tentang Penemuan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Palmer, Richard E., 2005. Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi (terj.) Hermeneutics Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, cetakan

Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Poespoprodjo, W., 2004. Hermeneutika, Pustaka Setia, Bandung.

Pontier, J.A., 2008. Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2006. Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar.

Ricoeur, Paul, 1990. Hermeneutics and Human Sciences, John B. Thompson (terj. Dan ed.) Cambridge University Press.

Rifai, Ahmad, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Rismawati, Shinta Dewi, 2009. Hermeneutika Hukum: Upaya Menangkap Makna Keadilan Dalam Teks (Sebuah Tawaran Alternatif dan Solutif), Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat, Vol.7 No. 1 Oktober 2009, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus.

Sidharta, B. Arief, 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Page 14: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 11

KEBENARAN HUKUM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

Beniharmoni Harefa Mahasiswa Pascasarjana FH UGM Yogyakarta

Email : [email protected]

ABSTRAK Memahami kebenaran hukum dari sisi filsafat hukum, harus diawali dengan memahami pengertian dan tujuan hukum itu sendiri. Hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan aturan, kaedah yang berasal dari nilai-nilai yang kemudian menjelma menjadi norma. Kehadiran hukum sangat dibutuhkan dalam menciptakan ketertiban di dalam kehidupan sosial manusia tersebut, itulah yang menjadi salah satu tujuan hukum. Dikenal tiga teori dalam menentukan kriteria kebenaran. Teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis. Kesimpulan, kebenaran hukum perspektif filsafat hukum, kembali kepada paradigma/ teori apa yang digunakan. Keyakinan atau kepercayaan hukum apa yang dianut oleh seseorang akan membawanya kepada jawaban akan kebenaran hukum yang ia percayai. Maka untuk menuntun seseorang kepada kebenaran hukum yang sesungguhnya, dibutuhkan ilmu. Sehingga kebenaran hukum yang dicapai adalah kebenaran yang mutlak/ absolut. Kata Kunci : Kebenaran Hukum, Filsafat Hukum

ABSTRACT

Understanding the legal validity of the philosophy of law, must begin by

understanding the sense and purpose of the law itself. The law can be interpreted

simply as a set of rules, rules derived from the values which are then transformed into

the norm. The presence of the law is needed to establish order in the human social

life, that is the one purpose of the law. Known three theories in determining criterion

of truth. Correspondence theory, the theory of coherence or consistency, and the

pragmatic theory. In conclusion, the truth of the law of legal philosophy perspective,

back to the paradigm / theory of what is used. Confidence or trust what the law

adopted by someone will take him to the answers to the legal truth that he trusted.

Then to lead a person to the truth of the real law, it takes knowledge. So that the

truth of law achieved is the absolute truth / absolute.

Keywords : Truth of Law, Philosophy of Law

Pendahuluan Berbicara tentang kebenaran

sesuatu, tidak terlepas dari pengertian dan fungsi dari sesuatu yang akan dicari kebenarannya itu (Inu K Syafii, 2005:59). Demikian

halnya berbicara tentang kebenaran hukum, maka tidak terlepas dari pengertian dan fungsi dari hukum itu sendiri.

Pengertian hukum menurut Soedikno Mertokusumo adalah

Page 15: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 12

keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama (Sudikno M, 2003:40). Hukum secara umum juga dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan adanya sanksi.

Montesquieu dalam bukunya The Spirit of Laws, menyampaikan hukum secara umum dapat diartikan sebagai hubungan pasti yang berasal dari sifat dasar segala sesuatu. Dalam pengertian ini berarti bahwa semua wujud memiliki hukumnya (Montesquieu,2007:88).

Tuhan memiliki hukumnya, dunia material memiliki hukumnya, binatang memiliki hukumnya, manusiapun memiliki hukumnya sendiri. Dalam kaitannya dengan yang akan dibahas tentunya pengertian yang disampaikan oleh Montesquieu akan dibatasi dalam pengertian hukum yang dimiliki oleh manusia.

Kendati hingga saat ini belum ada pengertian yang baku akan defenisi hukum yang sempurna, namun hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan aturan, kaedah yang berasal dari nilai-nilai yang kemudian menjelma menjadi norma. Nilai-nilai yang terkandung dalam hukum, tentunya sudah sesuai dengan nilai moral dan etika yang ada dan diakui keberadaannya di dalam kehidupan manusia.

Sejauh ini dengan melihat secara singkat pengertian dan penjelasan di atas, sementara disimpulkan bahwa hukum tentunya berasal dari nilai-nilai yang dianggap benar di dalam kehidupan manusia.

Tulisan ini hendak membahas kebenaran hukum, ditinjau dari perspektif filsafat hukum. Maka sebelum mengkaji kebenaran hukum, tentunya harus dipahami apa yang menjadi tujuan hukum.

Tujuan Hukum

Lalu apa tujuan diciptakannya hukum ? Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan apabila hukum sudah dikonsepkan sebagai institusi atau gejala sosial yang empiris yang termanifestasi dalam tindakan/ aksi serta interaksi warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, maka hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat (Soetandyo Wignjosoebroto,2002:116).

Ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum ada untuk manusia, hukum itu tidak ada untuk hukum itu sendiri. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia (Satjipto Rahardjo,2010:33). Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, seseorang manusia membutuhkan manusia lainnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri (manusia makhluk sosial) (Aabied,2012:112).

Kehadiran hukum sangat dibutuhkan dalam menciptakan ketertiban di dalam kehidupan sosial manusia tersebut. Hal ini dimaksud untuk menghindari terjadinya konflik antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Sedikit mengenai konflik, konflik itu muncul, pada saat manusia berinteraksi dengan manusia lainnya di dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), Manusia mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, maka dalam

Page 16: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 13

memenuhi kepentingannya, rentan menimbulkan pertentangan dengan manusia lainnya (conflict of interest) yang berujung pada kehancuran. Oleh sebab itu, diperlukan hukum yang mengatur agar tercipta ketertiban.

Kembali pada tujuan hukum, dalam pembahasan mengenai tujuan hukum, Thomas Aquinas mengemukakan 4 (empat) macam hukum, yaitu lex eterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana (Peter Mahmud Marzuki,2010:104). Lex eterna merupakan suatu aturan yang menguasai alam semesta melalui kehendak Allah sesuai dengan kebijaksanaanNya. Semua makhluk berada dalam kerangka tujuan lex eterna dan manusia mempunyai suatu tujuan tertentu karena manusia merupakan makhluk rasional.

Lex naturalis, menurut Thomas Aquinas, tidak terlepas dari partisipasi makhluk rasional dalam lex eterna. Lex naturalis inilah yang akan mengarahkan aktivitas manusia melalui aturan-aturan dasar dalam hidupnya. Masih menurut Thomas Aquinas, lex divina yaitu pedoman-pedoman dari Allah untuk mengarahkan bagaimana seyogianya manusia bertindak. Terakhir, lex humana adalah aturan-aturan yang berasal dari pemerintah atau aturan-aturan yang dibuat oleh manusia.

Aturan-aturan ini dibuat dengan menggunakan kekuatan nalar yang dimiliki oleh manusia. Dari pembagian hukum yang dikemukakan Aquinas, terlihat bahwa tujuan hidup manusia menurut Aquinas, bukan hanya untuk mencapai kebahagiaan duniawi belaka, melainkan untuk mendapatkan kebahagiaan kekal sebagai tujuan bersifat supernatural. Secara sederhana Aquinas hendak

mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kebahagiaan kekal.

Namun apakah sesederhana itu dalam memahami arti dan fungsi hukum itu sendiri. Apakah nantinya pengertian dan fungsi hukum yang telah disampaikan di atas tidak terjebak pada pengertian dan fungsi yang dogmatik semata. Pertanyaan ini yang kemudian akan dijawab secara filosofis oleh filsafat hukum.

Kembali pada apa yang hendak dibahas dalam tulisan ini, yakni kebenaran hukum jika ditinjau dari filsafat hukum. Apa yang dimaksud dengan filsafat hukum ? memang tidak mudah untuk mendefenisikan apa itu filsafat hukum (Dominikus Rato,2011:2). Filsafat Hukum

Theo Huijbers mengatakan bahwa pokok persoalan filsafat hukum bukanlah quid iuris, melainkan quid ius. Sebagai quid iuris hukum berorientasi pada dan sebagai hukum positif yaitu hukum yang berlaku dan sedang berlaku saja. Sedangkan quid ius, hukum berorientasi sebagai sesuatu yang substantif dan esensial, inilah yang kemudian teba telaah filsafat hukum (Theo Huijbers,1995:76).

H.L.A. Hart, berpendapat bahwa filsafat hukum adalah karya pikir bersama antara filsafat moral, filsafat politik, dan bahasa. Sebagai hasil karya filsafat moral, filsafat hukum membahas konsep-konsep hukum tentang rasa bersalah, kesalahan, niat, dan tanggung jawab yang merupakan issue sentral dalam hukum terutama ketika hukum menekankan konsep-konsep di atas dalam pikiran dan perbuatan (H.L.A. Hart,2009).

Page 17: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 14

Mempelajari filsafat hukum tentunya akan membawa seseorang pada apa yang dimaksud mengenai hukum itu, dengan sebenar-benarnya dan sedalam-dalamnya. Plato dalam tulisannya Andre Ata Ujan, menyampaikan bahwa seorang filsuf (orang yang ahli filsafat), tidak pernah berhenti mencari dan menemukan kebenaran (searching for truth) dan membangun keadilan (to built justice) (Andre Ata Ujan,2009:17-18).

Bahkan kebenaran dan keadilan, hasil pemikiran para filsuf sebelumnya, pun tidak luput dari sikap kritik filsafat mereka, sebab dalam filsafat tidak ada kebenaran yang final. Demikian halnya dengan filsafat hukum, filsafat hukum harus berupaya mencari dan menemukan hakekat hukum secara radikal (sampai ke akar-akarnya), secara sistematis, rasional, dan metodis. Filsafat hukum berupaya untuk menemukan jawaban terdalam dari sebuah objek formalnya, yaitu hukum.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, mengungkapkan bahwa filsafat hukum adalah filsafat tingkah laku dan etika, yang mempelajari hakekat hukum secara filosofis. Hukum dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakekat (Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004:11).

J.J.H. Bruggink dalam bukunya Otje Salman dan Anton F. Susanto, mengatakan bahwa filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik. Karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum (Otje Salman dan Anton F. Susanto,2004:64). Ditambahkannya, oleh karena

kefundamentalannya masalah-masalah hukum yang hendak dibahas itu, sehingga oleh manusia tidak terpecahkan. Oleh karena masalahnya melampaui kemampuan berpikir manusia.

Filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan itu tentunya adalah pertanyaan yang terhadapnya, hanya dapat diberikan jawaban yang menimbulkan banyak pertanyaan baru.

Maka dalam menjawab pertanyaan bagaimana kebenaran hukum perspektif filsafat hukum ini nantinya, kiranya akan membawa kita pada wilayah yang semakin menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang hukum. Kita semakin tidak akan berhenti dan puas pada jawaban atas pertanyaan kebenaran hukum perspektif filsafat hukum.

Bahkan jawaban akan pertanyaan tentang kebenaran inilah yang kemudian nantinya, akan membawa kita berjalan jauh, menyusuri pengertian mengenai hukum yang sedalam-dalamnya sampai ke akar-akarnya, itulah filsafat. Maka untuk itu pengertian kebenaran juga harus dipahami.

Pengertian Kebenaran

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (das sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (das sein) yang terjadi.

Page 18: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 15

Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Marwadi, 2013).

Dalam bahasan ini, makna ”kebenaran” dibatasi dalam makna ”kebenaran hukum”. Apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran hukum, mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih sejati lagi dan demikian seterusnya.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan mencari kebenaran hukum berkaitan erat dengan hasrat yang ada dalam diri manusia yang selalu ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak berhenti dari kebenaran hukum itu saja, namun terdapat kebenaran diluar jangkauan manusia. Utamanya untuk mencari kebenaran hukum secara filosofis.

Dikenal ada beberapa teori dalam menentukan kriteria kebenaran. Teori korespondensi (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis (Harold H Titus,dkk,2007:105). Pertama, teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality).

Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi dimana pertimbangan itu

berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Jujun S. Sumiasumantri,2000).

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi hukum yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju atau diatur oleh hukum tersebut. Misalnya “jika seorang melakukan pencurian maka orang tersebut akan dihukum, agar menimbulkan efek jera sehingga orang lain tidak melakukan pencurian lagi dan kehidupan menjadi tertib”.

Materi hukum itu adalah benar, sebab sebagaimana kita ketahui bahwa hukum ada dan berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia, agar tidak saling menghacurkan sebagaimana dikemukakan Thomas Hobbes : homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lain). Sehingga dengan adanya hukum tercipta suatu ketertiban dan kedamaian yang menuju pada kesejahteraan manusia itu sendiri.

Sekiranya ada orang lain yang mengatakan bahwa “pencuri itu tidak dapat dihukum, meskipun telah terbukti” maka tentu saja, pernyataan itu adalah tidak benar. Sebab di dalam hukum diatur mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pencurian merupakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang oleh hukum. Oleh sebab itu, seorang pencuri yang telah terbukti melakukan pencurian harus dihukum agar timbul efek jera dan

Page 19: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 16

menciptakan ketertiban di dalam kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini maka secara faktual “setiap orang yang bersalah dapat dihukum, dengan berdasarkan pembuktian, guna menciptakan kedamaian dan ketertiban di dalam kehidupan manusia”.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.

Dalam wilayah kebenaran hukum berdasarkan teori korespondensi, kesesuaian putusan hakim dengan kebenaran fakta-fakta hukum sangat diutamakan. Kebenaran legalitas, artinya penerapan hukum hukum terhadap sebuah perkara didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terdapat pada peristiwa yang terjadi. Teori kebenaran korespondensi mengutamakan kepastian hukum (asas legalitas).

Teori yang kedua tentang kebenaran adalah teori koherensi. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.

Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si

Budi adalah seorang manusia dan si Budi pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filsuf-filsuf modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi ini. Dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu terhadap teori kebenaran ini.

Dikaitkan dengan kebenaran hukum, teori koherensi diimplementasikan dalam tataran ius constituendum, (ide-ide hukum) yang kesesuaian dengan realitas perilaku masyarakat. Kebenaran hukum yang hendak dipenuhi dalam hal ini adalah aspek keadilan yang diutamakan.

Rasa keadilan untuk setiap orang atau kelompok sangat variatif, oleh sebab itu menggunakan teori ini secara mutlak untuk mengungkapkan kebenaran hukum, rasanya tidak mungkin. Karena apa yang dirasakan adil, belum tentu sesuai dengan kepastian dan kemanfaatan hukum.

Teori yang ketiga, yakni teori pragmatik. Dicetuskan oleh Charles S. Peirce dalam sebuah makalah berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat

Page 20: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 17

Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James, John Dewey, George Hobart Mead, dan C.I. Lewis.

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka yang menganut pragmatisme, ujian terhadap kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Harun Hadiwijono,1990) dalam kehidupan manusia.

Dikaitkan dengan kebenaran hukum, menggunakan teori pragmatis maka kebenaran hukum berhubungan dengan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu, dalam perspektif kebenaran pragmatis tidak berorientasi pada sebuah proses atau suatu peristiwa hukum tetapi hasil dari proses atau peristiwa hukum itu. Sesuatu dikatakan benar apabila mempunyai manfaat bagi kehidupan umat manusia. Apa yang dirasakan bermanfaat itulah hukum yang sebenarnya. Lagi-lagi ini tidak bisa digunakan secara mutlak dalam mencari dan mengungkapkan kebenaran hukum. Kebenaran Hukum Persepektif Filsafat Hukum

Kembali pada apa yang sedang dibahas mengenai kebenaran hukum perspektif filsafat hukum, apabila

ketiga teori kebenaran itu dikaitkan dengan kebenaran hukum, maka akan sulit untuk menentukan kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam menentukan kebenaran hukum. Para filsuf dengan berbagai alur pemikiran tidak dapat bersatu dalam menentukan kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam menentukan kebenaran hukum. Namun paradigma seseoranglah yang menentukan sesuatu itu benar, karena kebenaran itu bersifat subjektif dan tentatif (Dominikus Rato,Op.Cit:12). Kebenaran yang dianut seseorang menuntunnya untuk mencari dan menemukan serta meyakinkan dia tentang sesuatu yang benar itu.

Berbicara mengenai apakah hukum itu benar ada? dari mana datangnya hukum? untuk apa ada hukum? siapa yang berwenang membuat hukum? mengapa orang tunduk pada hukum ? pertanyaan-pertanyaan itu yang akan membawa orang berpikir tentang hukum secara khusus dan mendalam tentang hakekat hukum. Jawaban atas pertanyaan di atas bukan saja membawa orang pada satu pengertian tentang hakekat hukum, melainkan membawa pada berbagai pemikiran, keyakinan atau kepercayaan tentang hal-hal mengenai hukum.

Jawaban atas pertanyaan di atas dapat membawa pada keyakinan, pedoman atau orientasi berpikir tentang hukum. Sehingga kemudian membentuk paradigma, dan paradigma ini menjadi pegangan, pedoman, panduan : berpikir, berkata dan berbuat atau orientasi dasar untuk mengembangkan keyakinan dan kepercayaan tentang hukum.

Lalu, jika kemudian kebenaran hukum dilihat dari pengertian dan

Page 21: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 18

fungsi hukum itu sendiri, maka dapat disimpulkan. Pertama, apakah benar hukum itu merupakan sekumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, maka benar hukum merupakan kumpulan aturan. Kedua, apakah benar fungsi hukum itu adalah untuk mengatur kehidupan manusia maka jawabannya benar. Kendati memang harus ditegaskan bahwa hukum itu ada untuk manusia bukan manusia ada untuk hukum. Kesimpulan

Menjawab pertanyaan bagaimana kebenaran hukum perspektif filsafat hukum, maka menggunakan ketiga teori kebenaran yang ada, yakni kebenaran koherensi, korespondensi, pragmatis. Jawaban sederhana yang disampaikan oleh penulis, kebenaran hukum persepektif filsafat hukum, tentunya kembali kepada paradigma apa yang digunakan. Keyakinan atau kepercayaan hukum apa yang dianut oleh seseorang akan membawanya kepada jawaban akan kebenaran hukum yang ia percayai.

Kebenaran yang dianut seseorang menuntunnya untuk mencari dan menemukan serta meyakinkan dia tentang sesuatu yang benar itu. Oleh karena itu diperlukan ilmu untuk membawa manusia menuju kebenaran absolut.

Menurut Sudjito, ilmu merupakan institusi pencarian kebenaran. Ilmu bila dikejar terus akan mentok pada keimanan. Antara iman dan ilmu tidak ada pemisah. Ilmu tanpa iman sama dengan omong kosong. Iman merupakan dasar ilmu (Sudjito, 2013). Oleh karena itu, maka untuk menuntun seseorang kepada kebenaran hukum yang sebenarnya diperlukan ilmu, sehingga kebenaran

hukum yang dicapai adalah kebenaran yang mutlak/ absolut.

Daftar Pustaka :

Aabied, Hakikat Manusia, Nusantara Sentosa, Jakarta, 2012.

Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 2009.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Dominikus Rato, Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum), LaksBang Justitita, Surabaya, 2011.

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius, Yogyakarta, 1990.

H.L.A.Hart., Hukum, Kebebasan, dan Moralitas, Genta Publising, Yogyakarta, 2009.

Inu Kencana Syafi’i, Filsafat Kehidupan (Prakata),Bumi Aksara, Jakarta 2005.

Jujun S. Sumiasumantri, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000.

Montesquieu, The Spirit of Laws : Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, Nusamedia, Bandung, 2007.

Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2004.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Grup, 2010.

Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasyidi,

Page 22: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja | 19

Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 2007.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya), ELSAM, Jakarta, 2002.

Sudjito bin Atmoredjo, Sari Kuliah : Filsafat Ilmu Hukum, Program S3 Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003.

Internet : Mawardi, Kebenaran Dalam Perspektif

Filsafat Ilmu. http://mawardiumm.wordpress.com/2008/06/02/kebenaran-dalam-perspektif-filsafat-ilmu/ diakses pada 06 Oktober 2013.

Yanluamohdar, Kebenaran Hukum Dalam Perspektif Pengetahuan Hukum, http://yanluamohdar2010.blogspot.com/2013/05/kebenaran-dalam-perpektif pengetahuan.html/ diakses pada 08 Oktober 2013.

Page 23: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 20

PASAL 66 AYAT (1) UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Hendry Julian Noor

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email : [email protected]

ABSTRAK

Penerapan Pasal 66 Ayat (1) hanyalah dilakukan pada ranah pidana, bukan perdata. Jika terkait dengan tindak pidana umum, maka izin dari MPD (kini Majelis Kehormatan Notaris) itu bersifat wajib atau imperatif, jika tidak, maka proses perkara itu seharusnya dapat ditangguhkan dulu sampai ada izin dari MPD, sebagai bentuk perlindungan Jabatan Notaris, terkecuali jika Notaris itu akan diperiksa dalam perkara pidana yang tidak ada hubungannya dengan pembuatan akat Notaris tersebut.

Apabila berhadapan dengan tindak pidana khusus, terutama tindak pidana korupsi, seharusnya Pasal 66 Ayat (1) ini dapat dinegasikan, jadi izin dari MPD, demi kepentingan umum tidak lagi bersifat imperatif, namun dapat saja hanya berupa pemberitahuan kepada MPD karena sifat tindak pidana korupsi yang merupakan suatu extraordinary crime, sehingga diperlukan pula suatu tindakan-tindakan yang ‘tidak biasa’ pula dalam usaha pemberantasannya. Sebagaimana pendapat yang menyatakan bahwa tak ada satupun aturan atau ajaran yang membenarkan profesi tertentu dapat menyembunyikan kejahatan seseorang. Kata kunci : Korupsi, Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris

ABSTRACT

Application of Article 66 Paragraph (1) is only carried out in the areas of criminal, not civil. If related to general crime, then the permission of MPD (now Honorary Council of Notaries) it is mandatory or imperative, if not, then the proceedings it should be deferred used until the permission of MPD, as a form of protection Notary, unless the Notary it will be examined in a criminal case that has nothing to do with the making of the notarial deed.

When dealing with special crimes, particularly corruption, should Article 66 Paragraph (1) can be negated, so the permission of MPD, the public interest no longer is imperative, but it might be only a notification to the MPD because of the nature of corruption offenses is an extraordinary crime, so it is also necessary actions an 'unusual' also in the eradication effort. As it has been argued that no single rule or doctrine that justifies certain professions a person can conceal the crime.

Keywords: Corruption, article 66, paragraph 1, Notary

Page 24: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 21

Pendahuluan Salah satu hal yang selalu

menjadi polemik ketika dibahas mengenai Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN, sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) adalah mengenai penafsiran terhadap Pasal 66 ayat (1) UUJN. Adapun isinya adalah sebagai berikut: “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris Daerah berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta

dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Dengan membaca pasal a quo, dapat diterjemahkan bahwa bunyi pasal tersebut ditujukan dalam perkara pidana, bukan perdata. hal ini didasarkan pada: Pertama, mengenai kepentingan pasal tersebut di atas adalah demi kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim (Habib Adjie, 2008). Kalimat ini harus diinterpretasikan secara utuh dalam 1 kalimat, bukan per kata. Kedua, sebagaimana pendapat dari Habib Adjie (jika Notaris berkedudukan sebagai tergugat), bahwa jika seorang Notaris digugat secara perdata, maka izin dari Majelis

Pengawas Daerah (MPD) tidak diperlukan, karena gugatan perdata merupakan hak setiap orang jika merasa ada hak-haknya yang terlanggar oleh suatu Akta Notaris, sebagaimana postulat dasar persona standi in judicio (orang yang mempunyai hak untuk berperkara di pengadilan). Ketiga, dalam ranah perdata (jika Notaris atau akta Notaris menjadi objek pemeriksaan dalam suatu peradilan perkara perdata), akta Notaris yang bersifat sebagai akta otentik merupakan suatu alat bukti yang penuh dan sempurna tanpa perlu alat bukti lain (probatio plena) (John Gilissen dan Frits Gorle, 2007) atau sebagaimana yang diungkapkan oleh Subekti bahwa akta otentik bersifat volledig bewijs, artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi (Subekti, 2001).

Teori tersebut di atas jika dihubungkan dengan salah satu asas proporsionalitas atau ketidakberpihakan Notaris kepada salah satu pihak, maka sebaiknya cukup akta Notaris itu saja yang ‘berbicara’ di pengadilan tanpa perlu Notaris hadir (A. Kohar, 1983), karena kehadirannya justru dapat membuat posisi Notaris memberatkan salah satu pihak dalam perkara perdata tersebut. Hal inilah yang lalu dikenal sebagai Hak Ingkar Notaris (sebagaimana terdapat pada Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan diatur pula pada Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2

Page 25: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 22

Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta ).

Keempat, dengan memperhatikan Pasal 3 juncto Pasal 9 Peraturan Menteri Kehakiman Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M. 03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris, yang berisi pengambilan terhadap fotokopi minuta akta hanya dimungkinkan jika ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris, ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari paha pihak, dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta atau ada dugaan notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).

Lalu memperhatikan pula pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri a quo, bahwa penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada MPD, namun sebagaimana ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, persetujuan tersebut kini ada pada Majelis Kehormatan Notaris.

Berkaitan dengan ketentuan tersebut, dengan mengutip pendapat Machteld Boot, “every legal norm needs interpretation” (Eddy O.S. Hiariej, 2009,

Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta

), yang artinya setiap norma hukum membutuhkan interpretasi, dengan menggunakan interpretasi teleologis/sosiologis (Sudikno Mertokusumo, 2007), pada dasarnya pasal ini dimaksudkan untuk melindungi profesi Notaris itu sendiri (Hendry Julian Noor, 2010), hal ini pun juga yang diyakini oleh Habib Adjie, bahwa Pasal 66 ayat (1) ini juga ditujukan agar para Notaris mendapat perlindungan yang proporsional ketika menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris (Hendry Julian Noor, 2010).

Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebelum tanggung jawab “persetujuan” tersebut diserahkan kepada Majelis Kehormatan Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tanggung jawab tersebut dipegang oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). Dalam melakukan pemeriksaan, MPD harus objektif dalam melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris.

MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek pemeriksaan, bukan menempatkan diri Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga yang menjadi fokus atau ukuran pemeriksaan tersebut adalah tata cara atau prosedur dalam pembuatan akta (Hendry Julian Noor, 2010). Dalam prakteknya, pasal a quo diterapkan tidak seragam, ada beberapa kebijakan yang diterapkan oleh MPD, yaitu: pertama, tidak jarang ada MPD yang menolak apapun permintaan penyidik

Page 26: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 23

untuk memeriksa Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuat atau oleh Notaris yang dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya.

Kedua, ada MPD yang mengabulkan permohonan penyidik untuk memeriksa Notaris. Ketiga, ada juga MPD yang melihat pokok permasalahannya terlebih dahulu, untuk kemudian menjadi pertimbangan apakah permohonan izin pemeriksaan Notaris itu ditolak atau dikabulkan oleh MPD (Habib Adjie ).

Kebijakan yang dilakukan oleh MPD tersebut, berdasarkan pengalaman penulis, terkadang dilakukan dengan mempertimbangkan keberadaan Notaris dalam suatu kasus yang dihadapi. Artinya MPD juga melakukan penilaian terhadap kasus itu, apakah Notaris atau akta Notaris itu memang dibutuhkan secara vital dalam kasus tersebut. Karena terkadang ada penilaian dari MPD penyidik tidak memahami tentang tugas dan wewenang Notaris. Walaupun biasanya Notaris atau akta notaris tetap dibutuhkan untuk dihadirkan dalam suatu peradilan pidana, sebagaimana sifat dari hukum pidana, yaitu mencari kebenaran materiil yang artinya hakim wajib aktif dan menggali segala hal-hal materiil yang dapat menguatkan alat bukti, pertimbangan, keyakinan, serta putusan hakim.

Berdasarkan tugas-tugas yang diemban Notaris dalam aspek formal akta Notaris, setidaknya tugas-tugas itu dapat bersinggungan dengan sanksi-sanksi pidana sebagaimana pada pasal-pasal berikut dalam KUHP: Pasal 263 ayat (1) dan (2), Pasal 264, Pasal 266, Pasal 55 jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2),

atau Pasal 264, atau Pasal 266, serta Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2), atau Pasal 264, atau Pasal 266. Namun, pemidanaan terhadap Notaris ini dapat saja dilakukan dengan memperhatikan batasan (Habib Adjie) :

Pertama, ada tindakan hukum Notaris dari aspek formal akta yang dilakukan secara sengaja (witten willen / mengetahui dan menghendaki) dan direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama untuk dijadikan dasar melakukan suatu tindak pidana. Kedua, ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur dengan parameter UUJN, hal itu tidak sesuai dengan UUJN. Ketiga, tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris (Habib Adjie), kini hal tersebut dipegang oleh Majelis Kehormatan Notaris.

Saat ini, urgensi kepentingan penyidikan maupun peradilan berkaitan dengan keberadaan Notaris tidak hanya pada tindak pidana umum saja, karena dengan semakin berkembangnya zaman dan teknologi, banyak pula kejahatan yang dilakukan memanfaatkan profesi Notaris untuk menyembunyikan kejahatannya, misalnya menggunakan Notaris untuk melakukan pencucian uang dari hasil melakukan korupsi (misalnya dengan jula-beli saham, mendirikan perseroan, jual beli badan usaha, dan lain-lain) (Hendry Julian Noor ).

Page 27: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 24

Pasal 66 ayat (1) UUJN vs UU TIPIKOR

Dengan memperhatikan bunyi pasal 66 ayat (1) UUJN, dapat disimpulkan bahwa ketentuan di dalamnya bersifat imperatif atau wajib (Hendry Julian Noor), karena tidak ada klausula eksepsional yang terdapat di dalamnya. Artinya wajib di sini berarti pula baik ketika berhadapan dengan tindak pidana umum maupun dengan tindak pidana khusus. Berkaitan dengan tindak pidana umum, penulis cukup setuju dengan pendapat tersebut, namun penulis tidak sependapat jika ketentuan pasal 66 ayat (1) ini juga diberlakukan secara mutlak pula ketika berhadapan dengan suatu tindak pidana khusus, terutama korupsi, bahkan penulis setuju jika pasal ini dapat disimpangi jika berhadapan dengan tindak pidana korupsi. Mengapa demikian?

Pertama, kiranya hampir semua pihak akan setuju dan sependapat dengan penulis bahwa korupsi merupakan suatu kejahatan yang bersifat sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa), yang telah merongrong sistem keuangan dan hukum Indonesia sangat lama. Karena sudah tergolong luar biasa, maka sesuai dengan kesepakatan kita dengan dunia internasional (Eddy O.S. Hiariej, 2008) bahwa kejahatan ini harus dilawan dengan cara yang luar biasa (extraordinary) pula.

Kedua, adanya tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, dengan memperhatikan bunyi pasal 35 ayat (1) (mengenai kewajiban setiap orang memberikan keterangan baik sebagai saksi maupun sebagai ahli) jo. Pasal 22 (mengenai dengan

sengaja tindak memberi keterangan atau memberi keterangan tidak benar) jo. Pasal 36 (kewajiban memberikan kesaksian yang juga berlaku bagi mereka yang karena pekerjaan, harkat dan martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia) UU Nomor 31 tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, sebagai konsekuensi hukum dari Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan diatur pula pada Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa Notaris juga merupakan suatu pekerjaan atau jabatan yang diwajibkan menyimpan rahasia, maka Notaris wajib memberikan kesaksian apabila dibutuhkan dan hal ini mengikuti hukum acara pidana yang berlaku dalam tindak pidana korupsi, artinya dalam hal tersebut, tidak memerlukan izin dari MPD, namun bisa hanya dengan pemberitahuan kepada MPD (Wahyu Kencana Wiguna, 2010), kini hal tersebut digantikan oleh Majelis Kehormatan Notaris.

Pasal 22 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada intinya bertujuan untuk mempermudah pengungkapan kasus korupsi (Mahrus Ali, 2011). Pada dasarnya di sini ada pertentangan antara UUJN dengan UU Tindak Pidana Korupsi, yang manakah yang diberlakukan? Menurut hemat penulis, berdasarkan asas lex specialis sistematis (Jan Remmelink, 2003) yang merupakan derogat dari asas lex specialis derogat legi generalis, maka yang seharusnya didahulukan adalah UU Tindak Pidana Korupsi. Ada 3 parameter untuk menyatakan suatu aturan tersebut bersifat sebagai aturan yang bersifat khusus, yaitu: 1) aturan materiilnya bersifat khusus atau

Page 28: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 25

menyimpang dari aturan umunya; 2) aturan formilnya pun bersifat khusus; serta 3) adresat/tujuan aturan tersebut jelas ditujukan kepada siapa (Eddy O.S. Hiariej ).

Dengan memperhatikan kedua UU a quo, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) secara materiil jelas bahwa UU TIPIKOR menyimpang dari ketentuan umum yang ada (KUHP), dan UUJN memang tidak ada ketentuan pidana di dalamnya; 2) secara formil UUJN dan UU TIPIKOR dapat dikatakan sama-sama menyimpang dari ketentuan umum dalam KUHAP. Penyimpangan UU TIPIKOR dari KUHAP sudah jelas dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi, adanya pengadilan tersendiri (Pengadilan TIPIKOR sebagaimana dimaksud UU Nomor 46 Tahun 2009), dan ke-khusus-an lainnya dari aturan formil UU TIPIKOR, sedangkan UUJN menyimpang karena harus adanya izin dari MPD apabila berkaitan dengan kasus pidana. 3) adresat pada UUJN jelas disebutkan ditujukan bagi jabatan Notaris (sebagaimana asas titulus est lex/judul menentukan isi undang-undang), namun dengan memperhatikan pasal 36 UU TIPIKOR, mengenai kewajiban memberikan kesaksian yang juga berlaku bagi mereka yang karena pekerjaan, harkat dan martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sebagai konsekuensi bunyi pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, maka dapat diinterpretasikan secara teleologis bahwa adresat dari pasal 36 UU TIPIKOR itu juga ditujukan kepada jabatan-jabatan pemegang rahasia, seperti Jabatan Notaris. Dengan memperhatikan secara kumulatif

terhadap ketiga parameter tersebut sebagai syarat penerapan asas lex specialis sistematis, oleh karenanya penulis berpendapat UU TIPIKOR harus lebih didahulukan dari UUJN.

Ketiga, posisi dilematis dari MPD (kini oleh Majelis Kehormatan Notaris). Di satu sisi, MPD (Majelis Kehormatan Notaris) berfungsi sebagai pengawas dan pelindung profesi Notaris apabila diperiksa dalam suatu perkara pidana yang terkait dengan pembuatan aktanya, namun di sisi lain apabila berkaitan dengan korupsi, MPD (Majelis Kehormatan Notaris) dapat dikatakan ‘harus’ memenuhi permintaan pengadilan, penyidik, penuntut umum, maupun hakim. Hal ini dilakukan terkait dengan hal yang dikenal sebagai obstruction of justice yang juga termasuk tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, sebagaimana tertuang dalam Article 25 UNCAC yang juga diatur oleh Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, yang berbunyi: “setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka ataupun terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana ...”.

Pengertian dari pasal a quo, kata “mencegah” itu bermakna perbuatan atau usaha (secara aktif/nyata) yang dilakukan agar suatu tindak pidana korupsi tidak dilakukan penyidikan, penuntutan dan diadili dipengadilan (perkara belum berjalan). Sedangkan makna “menghalangi” diartikan sebagai perbuatan atau usaha (secara aktif/nyata) yang dilakukan agar suatu

Page 29: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 26

tindak pidana korupsi dihalangi atau dipersulit dilakukan penyidikan, penuntutan, dan diadili di pengadilan (proses perkara sudah berjalan). Dan makna “menggagalkan” adalah perbuatan atau usaha (secara aktif/nyata) yang dilakukan agar suatu tindak pidana korupsi yang sudah dilakukan penyidikan, penuntutan, dan diadili di pengadilan menjadi tidak dilaksanakan (proses perkara juga sudah berjalan) (Mahrus Ali ).

Rumusan delik yang tercantum dalam pasal a quo, juga yang terdapat pada pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 22 jo. Pasal 36 UU Nomor 31 tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, jelas bahwa delik pada pasal-pasal a quo merupakan delik omisi, yang selalu merupakan delik formil, yaitu adanya suatu kewajiban untuk melakukan perbuatan positif tertentu. Jadi, terpenuhinya delik ini adalah ketika orang yang diperintahkan menurut undang-undang untuk berbuat sesuatu, namun dia tidak melakukan apa yang seharusnya diperbuat (.E Sahetapy). Dengan kata lain, apabila MPD (Majelis Kehormatan Notaris) ketika berhadapan dengan kasus korupsi tidak memberikan izin yang seharusnya diberikan dalam rangka memeriksa Notaris ataupun akta Notaris, maka hal itu dapat diancam dengan pidana sebagaimana tersebut di atas.

Simpulan

Dari semua hal-hal tersebut di atas, ada beberapa catatan penulis berkaitan dengan Pasal 66 ayat (1) UUJN. Pertama, bahwa terkait penerapan pasal ini, hanyalah

dilakukan pada ranah pidana, bukan perdata. Kedua, jika terkait dengan tindak pidana umum, maka izin dari MPD (kini Majelis Kehormatan Notaris) itu bersifat wajib atau imperatif, jika tidak, maka proses perkara itu seharusnya dapat ditangguhkan dulu sampai ada izin dari MPD (kini Majelis Kehormatan Notaris) sebagai bentuk perlindungan Jabatan Notaris, terkecuali jika Notaris itu akan diperiksa dalam perkara pidana yang tidak ada hubungannya dengan pembuatan akat Notaris tersebut.

Ketiga, apabila berhadapan dengan tindak pidana khusus, terutama tindak pidana korupsi, seharusnya pasal 66 ayat (1) ini dapat dinegasikan, jadi izin dari MPD (kini Majelis Kehormatan Notaris), demi kepentingan umum tidak lagi bersifat imperatif, namun dapat saja hanya berupa pemberitahuan kepada MPD (kini Majelis Kehormatan Notaris), karena sifat tindak pidana korupsi yang merupakan suatu extraordinary crime, sehingga diperlukan pula suatu tindakan-tindakan yang ‘tidak biasa’ pula dalam usaha pemberantasannya. Sebagaimana pendapat dari Yunus Husein, bahwa tak ada satupun aturan atau ajaran yang membenarkan profesi tertentu dapat menyembunyikan kejahatan seseorang (Yunus Husein ). Daftar Pustaka Adjie, Habib “Aktualisasi Jabatan

Notaris Pasca Lima Tahun Berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)”, disampaikan dalam Kuliah Umum Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Page 30: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 27

UGM, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 19 Oktober 2009.

Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cetakan Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung.

Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Cetakan Pertama.

Eddy O.S. Hiariej, “Disentralisasi Korupsi : Urgensi Pengadilan TIPIKOR dan KPK Di Daerah”, disampaikan dalam Diskusi Publik Disentralisasi Korupsi : Carut Marut Otonomi Daerah, Kerjasama Pusat Kajian AntiKorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 september 2008.

Gilissen John, dan Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, PT. Refika Aditama, Bandung.

Hiariej, Eddy O.S. “Grey Area Penegakan Hukum Pidana Antara Tindak Pidana Perbankan Dengan Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan dalam Diskusi Terbatas Kegiatan Perbankan Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dan Bank Indonesia, Hotel Santika, Yogyakarta, 30 Oktober 2008

Hiariej, Eddy O.S. 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam

Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta.

Husein, Yunus, 2008, Negeri Sang Pencuci Uang, Cetakan Pertama, Pustaka Juanda Tigalima, Jakarta.

Julian Noor, Hendry 2010, Jasa Notaris Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Menegakkan Rezim Anti Pencucian Uang (Tesis), Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kohar, A. 1983, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta.

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sahetapy, J.E 1995, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke-21, PT. Intermasa, Jakarta.

Wiguna, Wahyu Kencana, 2010, Hak Ingkar Notaris Dalam Hukum Pembuktian Pidana Di Indonesia (Tesis), Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Page 31: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 28

GAGASAN PENERAPAN VICARIOUS LIABILITY DALAM KONSEP KUHP ATAS TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK

I.Gst Ngr Hady Purnama Putera

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Email : [email protected]

ABSTRAK

Pendekatan penegakan hukum pidana Indonesia dewasa ini yang menekankan kepada pelaksanaan restorative justice membuka pintu-pintu baru untuk pembaharuan hukum pidana indonesia, penulis berpandangan bahwa sekat yang selama ini ada antara hukum pidana yang bersifat publik dan hukum perdata yang bersifat prifat bisa menjadi sebuah jembatan jika di manfaatkan secara baik demi pembaharuan hukum pidana tersebut. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang secara hukum di bawah umur untuk dikatakan cakap secara hukum, sering kali terjadi karena adanya pergeseran konstruksi sosial di masyarakat yang mendorong anak melakukan tindak-tindak pidana tersebut. Permasalahan tindak pidana oleh anak tersebut akan membawa pada pertanyaan bagaimana ia akan mempertanggungjawabkannya, pun hukum pidana sudah memiliki konstruksi penegakan hukum pidana anak dalam sistem hukumnya, penulis masih merasa penegakan hukum pidana anak masih dapat dikembangkan dalam konsep pembaharuan hukum pidana, dan penulis datang dengan sebuah gagasan tentang pertanggungjawaban pengganti atau yang dalam bahasa aslinya dikenal sebagai vicarious liability. Vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat vicarious liability sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban pengganti”. Kata kunci : restorative justice, hukum pidana, vicarious liability

ABSTRACT Nowdays Indonesian Penal System is developed to the restorative justice as the result for the penal system. This consept open the posibility for the regenarate the indonesian penal system. The author think that tha gap between penal and private legal system in indonesia can be a good bridge for this regeneration of the penal system. For a case the outlaw act that commited by the unlawful act children was a problem during the prosecution act. This outlaw act that conducted by the children in many case was caused because of the shifting norm in the society. Indonesian penal system nowdays already have their own ways to prosecute this child in the criminal case that they commited to do, even though the outher still belive that we can regenerate the whole new ways to handle this case, one of thoose ways that the author bring to this paper was vicarious liability. The vicarious liability origyn was taken from the indonesian private law field that the author try to infuse into the penal system during this case. How this whole strange consep can make their own way will be elaborate in this paper. Keywords: restorative justice, criminal law, vicarious liability

Page 32: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 29

Pendahuluan Perkembangan jaman dan

kemajuan teknologi serta media masa, ditambah tekanan hidup yang semakin tinggi di masyarakat tidak dapat dipungkiri memberi pengaruh negatif pada perkembangan anak di lingkungan khususnya di wilayah perkotaan, faktor eksternal tadi juga ditambah dengan kurangnya perhatian orang tua dalam mengawasi anak-anak. Dalam hal pandangan ini terdapat pendapat yang senada dengan hal tersebut seperti apa yang disampaikan Gatot Supramono

“Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuain diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.” (Gatot, 2000).

Masalah lain selain akar masalah mengapa anak kemudian memiliki kecenderungan melakukan tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum menjadi lebih kompleks, ketika anak yang

bermasalah dengan hukum ini dihadapkan pada sidang pengadilan yang akan memfonis perbuatannya benar ataukah salah, layaknya efek domino stigmasi di masyarakat semakin memperparah keterpurukan masa depan dari anak yang sempat bermasalah dengan hukum, meski jika kita berkaca pada padangan tentang penyimpangan prilaku anak sebelumnya di atas, perbuatan atau perilaku menyimpang tersebut tidaklah sepenuhnya kesalahan anak.

Konsep KUHP dalam ranah pembaharuan kemudian datang dengan konsep pertanggungjawaban yang benar-benar tidak dikenal dalam hukum pidana, namun sebelumnya kerap digunakan dalam lapangan hukum perdata, yakni vicarious liability atau pertanggungjawaban pengganti. Penulis mencoba melemparkan sebuah gagasan dalam lapangan pembaharuan hukum pidana indonesia dengan menggunakan konsep yang dikenal baik dalam lapangan hukum perdata indonesia, pertanyaan yang kemudian timbul adalah berkenaan dengan bagainama prinsip pertanggungjawaban pegganti atau vicarious liability pada lapangan hukum pidana yang ditawarkan konsep KUHP akan dapat diterapkan sehingga sesuai dengan prinsip penegakan hukum pidana yang telah digunakan sebagai bagian dari sistem hukum pidana indonesia itu sendiri dan dapatkah konsep vicarious liability dalam konsep KUHP tersebut diaplikasikan dalam perkara tindak pidana anak akan menjadi fokus penulis dalam penulisan ilmiah berikut. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan kali ini adalah jenis

Page 33: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 30

penelitian hukum normatif karena meneliti asas-asas hukum, selain itu penelitian ini juga mengkaji dan meneliti peraturan-peraturan tertulis (Soerjono Soekanto, 1986). Karena penelitian ini adalah penelitian normatif maka sumber datanya adalah berupa data sekunder yang berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder (Amirudin

dan H.Zainal Asikin, 2003). Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fakta, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Serta dilakukan pula analisis terhadap bahan-bahan hukum yang didapat dengan cara deskriptif, analisis, dan argumentatif.

Pembahasan Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Anak

Perlu dipahami sebelumnya, kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subyek hukum ditentukan dari sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subyek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum pidana maupun hukum hubungan kontrak yang berada dalam lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan (Wadong, 2000).

Kemudian tentang tindak pidana anak sendiri tidak secara tegas disebut baik dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, dalam rumusan pasal Undang-Undang tersebut hanya dijelaskan tentang anak nakal yang diatur dalam pasal 1 butir 2, yang menyatakan anak nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menururt peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, bahasa yang digunakan adalah anak yang berkonflik dengan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 2 sebagai berikut : “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Kedua rumusan pasal dari dua Undang-Undang yang berbeda tadi seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya tidak secarategas menyebut apa itu tindak pidana anak, namun demikian dari sisi praktisi hukum, apa itu tindak pidana anak dikemukakan Pula Oleh Komari (Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta

Tahun 2009) sebagai berikut : “Apabila terjadi pelanggaran

hak anak termasuk tindak pidana umum berupa kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak maka diklasifikasikan sebagai tindak pidana anak. Oleh karena itu pemakalah berpendapat tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak, yang berumur 8 tahun tetapi belum

Page 34: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 31

berumur 18 tahun dan belum kawin atau yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.” (Komari, 2009).

Tinjauan Umum Tentang Vicarious Liability

Vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat vicarious liability sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban pengganti”. Pertanggungjawaban pengganti itu dirumuskan dalam Pasal 35 ayat (3) Konsep yang mengatur :”Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang. “

Untuk memahami lebih jauh latar dan alasan dicantumkannya asas vicarious liability ini ke dalam konsep, dapat dilihat pada penjelasannya berikut ini :

Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan

tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau ”vicarious liability”.

Roeslan Saleh (1983) dalam bukunya mengakui adanya vicarious liability sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Akan tetapi ada yang disebut vicarious liability, orang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

Vicarious liability biasa digunakan dalam hukum perdata. Namun, dalam hukum pidana merupakan hal baru karena menyimpang dari asas kesalahan yang dianut selama ini. dalam hukum perdata vicarious liability diterapkan pada kasus-kasus kerugian (tort). Tort merupakan pembayaran ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukan oleh buruh yang merugikan pihak ketiga. Akan tetapi, dalam hukum pidana konsepnya sangat berbeda. Diterapkannya hukuman (pidana) terhadap orang yang merugikan atau mengancam kepentingan sosial, sebagian untuk memperbaiki dan sebagian lagi untuk

Page 35: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 32

melindungi dan mencegah dari aktivitas yang bersifat anti social (Johny Krisnan, 2008).

Secara tradisonal konsep itu telah diperluas terhadap suatu situasi dimana pengusaha bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaanya. Tanggung jawab yang dipikul oleh majikan itu dapat terjadi satu diantara tiga hal berikut ini: 1. Peraturan perundang-undangan

secara eksplisit menyebutkan pertanggungjawaban suatu kejahatan secara vicarious.

2. Pengadilan telah mengembangkan “doktrin pendelegasian” dalam kasus pemberian lisensi. Doktrin itu berisi tentang pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang keapda orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian.

3. Pengadilan dapat menginterprestasikan kata-kata dalam undang-undang sehingga tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap sebagai tindakan dari pengusaha.

Penerapan Vicarious Liability dalam Perkara Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak

Dari dua tinjauan umum tentang topik pembahasan penelitian kali ini dapat dilihat ada dua kutub jauh yang masih terlihat memiliki peluang untuk disatukan di masa datang sebagai sebuah upaya hukum yang dicita-citakan atau isu constituendum. Di satu sisi sistem atau prinsip pertanggungjawaban vicarious liability sangat baru digunakan di

lapangan hukum pidana terlebih lagi di indonesia, dimana mekanisme penggunaannya menjadi lebih kompleks dari penggunaannya pada lapangan hukum perdata berupa pembayaran Tort atau ganti rugi, dan dalam konsep KUHP jelas menunjukan adanya ruang terbuka bilamana Undang-Undang di masa datang mengatur atau menghendaki pengalihan atau penggantian kewajiban pertanggungjawaban pidana dari seseorang kepada orang lain.

Dis sisi lain masalah peradilan anak dan tentu tindak pidana oleh anak tidak dipungkiri mengalami kesemrawutan ketika pemerintah mencabut pasal-pasal tentang anak dalam KUHP warisan WvS, dan bukannya memperbaiki aturan induk dalam KUHP tentang hal tersebut namun malah membuat aturan lain di luar KUHP, meski keluarnya sistem tertang peradilan anak yang diawali Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, masih memiliki ruang yang menjaga anak-anak mendapat masa depan yang masih terbuka, diantaranya dengan upaya diversi yang dengan jelas diatur pertimbangan dan mekanismenya, termasuk mempertimbangkan psikologi si anak berupa penghindaran dari stigma negatif.

Adapun diversi sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sisem Peradilan Anak menyebutkan apa yang harus dan patut dipertimbangan dalam diversi sebagai berikut.

Proses Diversi wajib memperhatikan :

Page 36: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 33

a. Kepentingan korban; b. Kesejahteraan dan tanggung

jawab Anak; c. Penghindaran stigma negatif; d. Penghindaran pembalasan; e. Keharmonisan masyaraka;

dan f. Kepatutan, kesusilaan, dan

ketertiban umum Dengan dua hal tersebut dapat

dilihat bahwa penggunaan prinsip vicarious liability dapat kiranya di masa datang diterapkan pada perkara tindak pidana oleh anak, selama, prinsip vicarious liability dapat diterima sepenuhnya sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana di lapangan hukum pidana indonesia di masa yang akan datang, serta adanya perbaikan dalam Undang-Undang atau peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan anak di masa depan yang mencantumkan adanya prinsip pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability tersebut, dan dibarengi pembinaan kepada anak yang berkonflik dengan hukum sehingga tidak ada pengulangan tindak pidana di masa mendatang, dan tentu saja memperhatikan kepentingan korban dan masyarakat sebagai bentuk restorative justice. merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Kesimpulan

Vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat vicarious liability sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban pengganti”. Pertanggungjawaban pengganti itu

dirumuskan dalam Pasal 35 ayat (3) Konsep KUHP. Vicarious liability juga merupakan merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.

Vicarious liability di masa depan dapat diharapkan sebagai sebuah alternatif sistem pertanggungjawaban pidana dalam perkara tindak pidana oleh anak, asalkan prinsip vicarious liability dapat diterima sepenuhnya sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana di lapangan hukum pidana indonesia di masa yang akan datang, serta adanya perbaikan dalam Undang-Undang atau peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan anak di masa depan yang mencantumkan adanya prinsip pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability tersebut, dan dibarengi pembinaan kepada anak yang berkonflik dengan hukum sehingga tidak ada pengulangan tindak pidana di masa mendatang, dan tentu saja memperhatikan kepentingan korban dan masyarakat sebagai bentuk restorative justice.

Daftar Pustaka Amirudin dan H.Zainal Asikin, 2003,

Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, jakarta.

Johny Krisnan, 2008, Sistem pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Thesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Page 37: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 34

Komari, 2009, Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Mengadili Dan Mememutus Perkara Pelanggaran Hak Anak Dan Tindak Pidana Anak, makalah Disampaikan pada : Seminar Nasional “Optimalisasi Perlindungan Anak danTantangannya di Indonesia” Atas Kerjasama Universitas Atmajaya Yogyakarta, UNICEF dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Yogyakarta, 29 Oktober 2009, ( cited 2013 4 january ), Available from URL http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-hukum.html

Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wina Sarana, Jakarta.

Roeslan Saleh, 1983, Suatu Reorienasi dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, jakarta.

Sumpramono Gatot, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta.

Undang – Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332.

Page 38: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 35

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INDIVIDUAL OLEH DEWAN HAK ASASI

MANUSIA PBB SUATU TINJAUAN TERHADAP TAHANAN RUMAH AUNG SAN SUU KYI

I Gusti Ayu Apsari Hadi

Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Munculnya era baru Dewan HAM sebagai pengganti dari Komisi HAM PBB memiliki fungsi

pokok ialah sebagai pengawas yang membongkar kasus-kasus pelanggaran HAM di muka

bumi. Salah satu peran Dewan HAM PBB yang dibentuk sejak tahun 2006 ialah menjamin

HAM secara individu terhadap tahanan rumah Aung San Suu Kyi, seorang tokoh pro-

demokrasi di Myanmar.Penahanan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada Suu Kyi telah

melanggar pasal 9, 10, dan 19 UDHR, yakni bahwa seseorang berhak atas kebebasan untuk

mengemukakan pendapat, larangan atas penangkapan sewenang-wenang hingga memiliki

hak atas pengadilan yang adil dalam pasal 10. Sedangkan dalam ICCPR juga terdapat

ketentuan mengenai pelanggaran yang dilakukan Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi

pada pasal 9 angka (1) tentang penahanan sewenang-wenang.Melalui mekanisme Universal

Periodic Review Dewan HAM, UPR 10th di Geneva, 24 Januari – 4 Februari 2011 par. 29

menyatakan agar pemerintah Myanmar segera membebaskan Aung San Suu Kyi dari

tahanan rumahnya.Hal tersebut mengisyaratkan bahwa negara-negara tidak lagi dapat

berlindung di balik kedaulatan teritorialnya atas pelanggaran hak asasi manusia yang

terjadi di wilayah negaranya, termasuk Myanmar.

Kata Kunci : Hak Asasi Manusia, Individu, Dewan HAM PBB, Aung San Suu Kyi.

Page 39: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 36

ABSTRACT

The advent of a new era in lieu of the Human Rights Council of the UN Human Rights

Commission has the principal function as a watchdog, as in uncovering cases of human rights

violations on earth. One of many role of the UN Human Rights Council is to ensure individual

rights against the house arrest of Aung San Suu Kyi, a pro-democracy leader in Myanmar.

Detention and human rights violations that occurred on Suu Kyi had violated Articles 9, 10,

and 19 UDHR, generally; that a person is entitled to freedom of expression, the prohibition on

arbitrary arrest to have the right to a fair trial under article 10. Whereas in the ICCPR there

are also provisions regarding violations committed against Aung San Suu Kyi by Myanmar in

article 9 point (1) of arbitrary detention. Through the mechanism of the Universal Periodic

Review by the Human Right Council, UPR 10th in Geneva date 24 January-4 February 2011 in

paragraph 29 stated that; the government of Myanmar to immediately release Aung San Suu

Kyi from house arrest. This suggests that countries can no longer hide behind its territorial

sovereignty over human rights violations that occurred in the country, including Myanmar.

Keywords :Human Rights, Individual, Human Rights Council, Aung San Suu Kyi.

PENDAHULUAN

Sejak berakhirnya Perang Dunia I

yakni pada akhir dekade kedua Abad ke

20, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)

Internasional sudah mulai menampakkan

eksistensinya.Hukum HAM Internasional

bermula dari sejarah perkembangan

doktrin-doktrin dan institusi-institusi

internasional

(http://elsam.or.id/pdf/kursusham/Poko

k_pokok_HAM).Namun baru sejak tahun

1945 kebanyakan dari semua yang

dianggap sebagai Hukum HAM

Internasional muncul yakni sebagai

implikasi dari bencana yang ditimbulkan

oleh pengingkaran lain dari kaum Nazi

terhadap hak asasi manusia

(http://elsam.or.id/pdf/kursusham/Tinja

uan_Umum_Hukum_HAM.pdf).Dengan

adanya peristiwa tersebut maka negara-

negara di dunia memutuskan bahwa

peningkatan hak asasi manusia dan

kebebasan dasar haruslah merupakan

satu diantara tujuan utama dari

Page 40: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 37

pembentukan organisasi Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang baru.Kendatipun

adanya jaminan HAM telah

dikembangkan secara progresif oleh

banyak pihak, mulai dari negara hingga

aktor-aktor non negara, namun dalam

kenyataannya masih banyak pihak terjadi

pelanggaran HAM di berbagai belahan

dunia.

Jika melihat kembali, kasus

pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak

hanya terjadi ketika perang terjadi namun

bahkan tidak mungkin menimpa seorang

individu di suatu negara berdaulat. Kasus

paling menjadi sorotan publik

internasional ketika salah satu tokoh pro-

demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi

menjadi tahanan rumah selama hampir

20 tahun tanpa adanya penuntutan dan

pengadilan yang jelas

(http://library.uinsby.ac.id).Dalam

berbagai kesempatan, PBB telah berusaha

untuk memberikan peringatan keras

kepada pemerintah Junta Militer

Myanmar agar menghentikan tindakan-

tindakan represif mereka yang tidak

mengindahkan hak asasi manusia

(http://dunia.vivanews.com).

Mukadimah Piagam PBB pada

paragraf 2 menyebutkan, “to reaffirm I

fundamental human rights, in the dignity

and worth of the human person, in the

equal rights of men and women and of

nations large and small” (Charter of The

United Nations1945).Jadi adanya tekad

untuk memperteguh kepercayaan pada

hak-hak asasi manusia, harkat dan derajat

manusia, serta persamaan hak bagi pria

maupun wanita dan bagi segala bangsa

besar maupun kecilmenjadi

pertimbangan utama PBB dalam rangka

ikut serta untuk menyelesaikan kasus

pelanggaran HAM yang dialami oleh Suu

Kyi (Sri Setianingsih, 2004).

Munculnya era baru Dewan HAM

sebagai pengganti dari Komisi HAM PBB

memiliki fungsi pokok ialah sebagai

pengawas yang membongkar kasus-kasus

pelanggaran HAM di muka bumi, di

samping membantu negara anggota

menyusun instrument-intrumen tentang

HAM.Dewan memperkenalkan lembaga

baru bernama Universal Periodical Review

(UPR) yang dapat meninjau situasi HAM

di seluruh negara besar atau kecil. Kiprah

Dewan HAM ke depan sangat dipengaruhi

oleh kultur banyak negara, terutama

negara besar hingga dapat dikatakan

tugas Dewan HAM PBB sangat berat.

Page 41: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 38

Di tahun 2011, salah satu peran

Dewan HAM dengan kasus yang dialami

Suu Kyi dapat dilihat pada resolusi yang

diadopsi oleh Dewan HAM PBB

A/HRC/RES/16/24 mengenai situasi

HAM di Myanmar. Pada paragraph 3

resolusi tersebut dinyatakan:

Welcomes the release of Daw Aung

San Suu Kyi following the most

recent period of her arbitrary house

arrest, and noting that her release

is unconditional, calls on the

Government of Myanmar to

guarantee the full enjoyment of all

human rights, including civil and

political rights, and fundamental

freedoms, for all people in

Myanmar, including Daw Aung

San Suu Kyi, in particular with

regard to unrestricted movement in

and outside the country and

unrestricted contact with all

domestic stakeholders

Merujuk pada isi resolusi tersebut, dapat

dilihat secara jelas betapa perlindungan

HAM individu memang menjadi perhatian

khusus bagi Dewan HAM PBB.Resolusi

tersebut secara tegas mendesak

Pemerintah Myanmar untuk menjamin

hak-hak sipil dan politik yang dimiliki

oleh Suu Kyi.

Dengan melihat pada uraian

tersebut, penulis berasumsi bahwa dirasa

perlu untuk melakukan kajian lebih lanjut

terhadap perlindungan HAM khususnya

bagi individu yang dilakukan oleh Dewan

HAM PBB.Tindakan penahanan tanpa

alasan yuridis yang jelas tentu tidak

sejalan dengan apa yang digariskan di

dalam International Convenant on Civil

and Political Rights (ICCPR) article 9 part

(1) menyatakan “Everyone has the right to

liberty and security of person. No one shall

be subjected to arbitrary arrest or

detention. No one shall be deprived of his

liberty except on such grounds and in

accordance with such procedure as are

established by law. Dalam konteks ini,

bagaimana sesungguhnya peran Dewan

HAM PBB dalam memberikan

perlindungan secara individual

mengingat terdapat prinsip non-

intervensi sebagai prinsip fundamental

dalam hukum internasional.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data/bahan dalam

penulisan karya ilmiah ini adalah dengan

menggunakan metode penelitian normatif

Page 42: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 39

Secara garis besar penelitian kepustakaan

yang dilakukan berkaitan dengan asas –

asas hukum yakni asas hukum

internasional berkaitan dengan prinsip

non-intervensi yang ada dalam Piagam

PBB.PBB berhak mengambil tindakan

apabila terjadi pelanggaran HAM di suatu

negara seperti yang terjadi di Myanmar

dalam kasus Aung San Suu Kyi.

PEMBAHASAN

Kedudukan dan Kewenangan Dewan

Hak Asasi Manusia PBB

Dewan HAM merupakan salah satu

badan PBB yang baru dibentuk untuk

menggantikan Komisi HAM PBB. Komisi

HAM dibentuk pertama kali oleh ECOSOC

pada tahun 1946 dan bersidang setiap

tahun (enam mingguan yang

diselenggarakan setiap musim semi di

Jenewa) (C. de. Rover, 2000).

Tahun 2005 disepakati penggantian

Komisi HAM PBB dengan Dewan HAM

PBB yang tercantum dalam dokumen

akhir KTT PBB. Dalam KTT tersebut juga

disepkati beberapa isu utama terkait

pembentukan Dewan HAM ialah sebagai

berikut :

1. Membentuk sebuah badan baru

untuk membantu negara-negara

bangkit dari konflik. Timbul

ketidakcocokan dalam masalah

kontrolnya, dilakukan oleh DK PBB

atau oleh MU PBB.

2. Menyerukan negara-negara untuk

memikirkan intervensi dalam

kasus genosida/pembantaian

etnis. Tujuannya untuk mencegah

negara-negara melakukan

kejahatan genosida.

3. Mengutuk terorisme dalam segala

bentuknya.

Majelis Umum PBB yang terdiri

dari 170 negara anggota setuju

mendirikan Dewan HAM pada tanggal 15

Maret 2006, tetapi empat anggota lainnya

yakni Amerika Serikat, Israel, Kepulauan

Marshall dan Palau menolak. Sedangkan

tiga negara lainnya yaitu Bela Rusia, Iran,

dan Venezuela abstain (Masyhur Effendi

& Taufani Sukmana, 2010).Pada

pemilihan anggota putaran pertama,

Indonesia bersama-sama dengan India,

Filipina, Qatar, Bolivia, Nikaragua, Mesir,

Angola, Afrika Selatan, Madagaskar,

Belanda, dan Slovenia ditetapkan sebagai

Page 43: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 40

anggota Dewan HAM untuk periode 2007

– 2010. Sedangkan putaran kedua terpilih

anggota Korea Selatan, Saudi Arabia,

Srilangka, Pakistan, Malaysia, Yordania,

Jepang, Banglades, Cina, dan Bahrain.

Fungsi pokok Dewan HAM PBB

ialah sebagai pengawas yang

membongkar kasus-kasus pelanggaran

HAM di muka bumi, di samping

membantu negara anggota menyusun

undang-undang tentang HAM. Melalui

Resolusi MU PBB yang berbunyi, “Decide

to establish the Human Rights Council,

based in Geneva, in replacement of the

Commission on Human Rights, as a

subsidiary organ of the General Assembly;

the Assembly shall review the status of the

Council within five years” (General

Assembly Resolution, A/RES/60/251,

2006).Menurut ketentuan tersebut

walaupun tidak seperti Komisi HAM yang

secara langsung berada di bawah Dewan

Ekonomi Sosial, namun sebagai badan

subsiderdari Majelis Umum Dewan HAM

PBB memiliki kewenangan yang lebih

luas dari Komisi HAM PBB.

Dengan tugas utama melakukan

tindak lanjut terhadap pelanggaran HAM

yang terjadi di dunia Dewan HAM

memiliki mandat untuk membentuk

subinstitusi - subinstitusi baru dan

menetapkan cara kerja yang lebih efektif.

Sebuah kelompok kerja untuk pemerintah

telah dibentuk yang transparan bagi

semua dalam hal perumusan

rekomendasi – rekomendasi kongkrit

dalam proses peninjauan kembali (Knut

D. Asplund, dkk, 2008).

Untuk lebih jelas mengenai

kedudukan dan kewenangan Dewan HAM

akan diuraikan dalam bentuk struktur

organisasi sebagai berikut :

Majelis Umum

ECOSOC Dewan Hak

Asasi Manusia

Human Rights Council

Advisory Comittee

Country & Thematic

Rapporteurs

Page 44: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 41

Meskipun pembentukan Dewan HAM

dilakukan sesuai resolusi Majelis Umum

namun kedudukannya tetap tidak dapat

disejajarkan dengan Dewan ECOSOC.

Mekanisme pemantauan kerja Dewan

HAM akan dibantu oleh subdivisi-

subdivisi di bawa Dewan baik melalui

laporan negara-negara (Country &

Thematic Rapporteurs) dan Komisioner

Tinggi Hak Asasi Manusia (Human Rights

Council Advisory Committee). Adapun

sistem pemantauan HAM sendiri terbagi

menjadi dua mekanisme yaitu :

1. Berdasarkan piagam (the charter

based mechanism)

Berdasarkan piagam adalah

badan- badan yang dibentuk

melalui piagam PBB.Mekanisme ini

yang bersifat khas adalah Dewan

Ekonomi dan Sosial, Dewan Hak

Asasi Manusia, Majelis Umum, dan

Dewan Keamanan. Selain itu

terdapat banyak sub-komite dan

sub-mekanisme di bawah badan –

badan utama ini, seperti

Komisioner Tinggi Hak Asasi

Manusia, Kelompok Kerja, dan lain

– lain. Metode menurut badan –

badan ini lebih bersifat politik dan

kurang bersifat hukum daripada

mekanisme perjanjian – perjanjian

hak asasi manusia.

2. Berdasarkan perjanjian (the treaty

based mechanism)

Berdasarkan perjanjian adalah

mekanisme yang dibentuk melalui

perjanjian – perjanjian hak asasi

manusia yang berada di bawah

sistem PBB, terutama komite –

komite dengan kewenangan untuk

memeriksa dan mengevaluasi

praktik – praktik hak asasi

manusia negara – negara anggota

menurut tugas yang berasal dari

konvensi – konvensi. Metode kerja

mereka terkait erat dengan

dokumen – dokumen

pembentukannya yang membuat

badan – badan ini bersifat

legalistik sejak awalnya.

Perlindungan Hak Asasi Manusia

Dewan HAM PBB Terhadap Aung San

Suu Kyi

Page 45: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 42

Hak asasi manusia sebagai hak

universal yang dimiliki individu sejak

lahir dan tidak berhak direnggut oleh

orang lain. Sesuai dengan isi pasal 2

UDHR yang menyebutkan bahwa :

Everyone is entitled to all the rights

and freedoms set forth in this

Declaration, without distinction of

any kind, such as race, colour, sex,

language, religion, political or other

opinion, national or social origin,

property, birth or other status.

Furthermore, no distinction shall be

made on the basis of the political,

jurisdictional or international

status of the country or territory to

which a person belongs, whether it

be independent, trust, non-self-

governing or under any other

limitation of sovereignty.

HAM yang melekat pada diri setiap

manusia merupakan hak-hak yang

membuat mereka diakui kemanusiannya

tanpa membedakan jenis kelamin, ras,

warna kulit, bahasa, agama, politik,

bangsa, status sosial, kekayaan, dan

kelahirannya.Termasuk juga dalam hal ini

hak untuk hidup layak, merdeka, dan

selamat. Sehingga menjadi tugas negara

untuk melindungi hak asasi warga

negaranya dari pihak-pihak yang ingin

meniadakannya serta bertindak sebagai

hakim yang adil untuk melindungi dari

tindakan pemaksaan, penipuan, dan lain

sebagainya yang dapat mengganggu

kebebasan dari warga negaranya

(Ambarwati, dkk, 2009).

Instrumen hak asasi manusia

terkait penegakan hukum HAM dapat

ditemukan mulai dari dibentuknya

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi

Manusia (UDHR) tahun 1948.Bahkan

ketika pembentukan Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa pernyataan tentang HAM

sudah tercermin dalam penggalan kalimat

yang berbunyi “bahwa kemenangan

adalah penting untuk menjaga kehidupan,

kebebasan, independence, dan kebebasan

beragama serta untuk mempertahankan

Hak Asasi Manusia dan keadilan.

Setelah UDHR diterima maka

semenjak itu PBB terus menerus

berusaha keras memprakarsai suatu

usaha untuk membentuk perjanjian yang

mempunyai kekuatan mengikat. Bila

UDHR hanya bersifat himbauan,

instrumen-instrumen internasional hak

asasi yang timbul dan bersifat mengikat

secara tidak langsung akan dapat

Page 46: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 43

mengawasi pelaksanaan yang efektif hak-

hak asasi tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut maka

tanggal 16 Desember 1966, Majelis

Umum menerima dua perjanjian tentang

hak-hak asasi manusia yaitu International

Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights dan International Covenant on Civil

and Political Rights(Boer Mauna, 2005).

Kedua perjanjian tersebut menyebutkan

adanya hak rakyat untuk menentukan

nasib sendiri termasuk hak untuk

mengatur kekayaan dan sumber-sumber

nasional secara bebas seperti tercantum

dalam masing-masing perjanjian (ICCPR,

1966).Sejak munculnya perjanjian ICCPR

dan ICESCR tahun 1966 kedudukan

individu tidak hanya sebagai objek tetapi

juga dalam hal-hal tertentu sebagai

subjek hukum internasional.Peningkatan

status individu semakin bertambah

setelah banyaknya terjadi pembunuhan

missal, genosida, kejahatan kemanusiaan,

kejahatan perang, dan pelanggaran HAM

berat lainnya di belahan dunia setelah

Perang Dunia II.

Dalam perspektif hukum

internasional kasus pelanggaran HAM

yang terjadi pada seorang aktivis pro

demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi

penangkapan dan penahanan sewenang-

wenang yang dilakukan Junta Militer

telah melanggar ketentuan yang termuat

dalam pasal 9.1 ICCPR “Everyone has the

right to liberty and security of person. No

one shall be subjected to arbitrary arrest

or detention. No one shall be deprived of

his liberty except on such grounds and in

accordance with such procedure as are

established by law”.Aturan ini ditujukan

kepada badan pengundang-undangan

nasional dan kepala badan penegak

hukum. Dalam artian tindakan sewenang-

wenang seperti alasan - alasan

penangkapan serta prosedur penahanan

harus ditemukan di dalam hukum negara

tersebut.

Tidak adanya asas legalitas dalam

penahanan Suu Kyi selama hampir 20

tahun terakhir yang dilakukan oleh Junta

Militer telah jelas menyiratkan

pelanggaran HAM yang dilakukan

Myanmar terhadap warga negaranya

sendiri. Dalam teori hubungan antara

hukum internasional dan hukum nasional

“suatu negara tidak dapat mengemukakan

ketentuan di dalam konstitusi atau hukum

nasionalnya sebagai (alasan) pemaaf atas

kegagalan – kegagalannya melaksanakan

kewajibannya berdasarkan hukum

Page 47: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 44

internasional”.Adanya fakta bahwa

hukum internasional mengikat terhadap

semua negara sehingga negara dianggap

bertanggung jawab jika terjadi

pelanggaran terhadap hukum

internasional. Begitu pula terhadap

Myanmar yang telah melakukan

pelanggaran HAM dengan menangkap

dan menahan Suu Kyi yang dianggap

menentang pemerintahan Junta Militer

kala itu.

Penahanan dan pelanggaran HAM

yang terjadi pada Suu Kyi telah melanggar

pasal 9, 10, dan 19 UDHR (Human Rights

Council, A/HRC/10/19, 2009). Ketiga pasal

tersebut sama – sama menyebutkan

bahwa seseorang berhak atas kebebasan

untuk mengemukakan pendapat,

larangan atas penangkapan sewenang-

wenang hingga memiliki hak atas

pengadilan yang adil dalam pasal 10.

Sedangkan dalam ICCPR juga terdapat

ketentuan mengenai pelanggaran yang

dilakukan Myanmar terhadap Aung San

Suu Kyi pada pasal 9 angka (1) tentang

penahanan sewenang-wenang.

Dewan HAM sebagai organ khusus

PBB dalam pelaksanaan kewenangannya

memiliki badan-badan subsider yang

tugasnya melaporkan secara langsung

situasi pelanggaran HAM yang terjadi di

negara-negara, khususnya pelanggaran

HAM yang dialami Aung San Suu Kyi :

1. Universal Periodic Review (UPR)

UPR adalah mekanisme baru

Dewan HAM PBB diyakini mampu

menjembatani sekaligus mengenali taraf

perkembangan pemenuhan HAM di setiap

negara. Selain itu UPR adalah mekanisme

antarpemerintah yang memungkinkan

setiap negara melakukan dialog secara

setara. Sehingga dalam hal ini negara-

negara yang menyampaikan laporan

(country under review) bukanlah

“pesakitan” bagi negara-negara lain

melainkan untuk membangun kesetaraan,

integritas, dan kredibilitas Dewan HAM

(Majda El Muhtadj, 2008).

UPR berupa laporan secara

periodik setiap empat tahun sekali

tentang pemenuhan kewajiban HAM

semua negara anggota PBB serta jaminan

perlakuan yang sama diantara

anggotanya. Menurut Sekretaris Jenderal

PBB Ban Ki-moon menyatakan bahwa,

“The Universal Periodic Review has great

potential to promote and protect human

rights in the darkest corners of the

world”(http://ohchr.org/EN/HRBodies/U

PR).Dalam pernyataan oleh SekJend PBB

Page 48: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 45

tersebut menyiratkan bahwa UPR

merupakan suatu proses yang berpotensi

besar untuk memajukan dan melindungi

hak asasi manusia dari sisi-sisi buruk di

dunia.

UPR melakukan review terhadap

satu negara setiap empat tahun sekali,

yang mana negara pertama yang direview

dipilih berdasarkan kelompok regional

dengan memperhatikan distribusi secara

geografis. Kemudian pemilihan dilakukan

berdasarkan Alphabetical order kecuali

ada negara yang bersedia secara sukarela

mengajukan diri sebagai negara yang

menyampaikan laporan. Review dilakukan

oleh kelompok kerja yang terdiri dari

negara anggota Dewan yang bertemu 3

kali setiap tahun selama 2 minggu dan

akan difasilitasi oleh kelompok tiga

negara anggota Dewan yang akan

berperan “Rapporteurs”.

UPR sebagai mandat dari Dewan

HAM sesuai dengan resolusi 60/251

angka 5 huruf (e) merupakan suatu

keniscayaan yang mungkin disampaikan

di hadapan sidang Dewan HAM PBB.

Selain itu UPR juga memungkinkan

menerima rekomendasi dari Special

Procedures dan Human Rights treaty

bodies, serta informasi dari berbagai

sumber seperti NGOs dan KOMNAS HAM

suatu negara yang akan diperhitungkan

sebagai sumber tambahan. Sehingga

diharapkan hasil akhir yang didapatkan

akan dilaksanakan oleh negara yang

bersangkutan.

Melalui mekanisme UPR pula,

Dewan HAM menyerukan pembebasan

atas tokoh demokrasi Myanmar Aung San

Suu Kyi di Geneva. Dalam UPR 10th 24

Januari – 4 Februari 2011 par. 29

disebutkan “The Secretary-General, the

High Commissioner for Human Rights, the

Security Council, the General Assembly, the

Human Rights Council and the Special

Rapporteur on the situation of human

rights in Myanmar called for the

immediate release of Daw Aung San Suu

Kyi, and of all remaining political

prisoners.” Artinya organ-organ tersebut

telah mengeluarkan seruan-seruan agar

pemerintah Myanmar segera

membebaskan tanpa syarat dan

penundaan terhadap Aung San Suu Kyi

dari tahanan rumahnya berikut pula

tahanan-tahanan politik lain. Namun

pemerintah Myanmar tetap berkelit dan

tidak menunjukkan keinginan untuk

membebaskan para tahanan termasuk

Suu Kyi.

Page 49: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 46

2. Advisory Committee

Badan ini dibentuk berdasarkan

resolusi Dewan HAM PBB 5/1 angka 65

yang berbunyi, “The Human Rights

Council Advisory Committee (hereinafter

“the Advisory Committee”), composed

of 18 experts serving in their personal

capacity, will function as a think-tank for

the Council and work at its direction.”

Berdasarkan resolusi tersebut

menerangkan bahwa fungsi Advisory

Committee yang terdiri dari 18

ahlimemiliki fungsi sebagai wadah

berpikir bagi Dewan HAM dan juga

bekerja secara langsung sesuai

arahannya.

Dalam rangka menjalankan

tugasnya Komite tidak akan mengadopsi

resolusi atau keputusan namun dapat

mengusulkan kepada Dewan dalam

lingkup tugasnya sebagaimana ditetapkan

oleh Dewan HAM. Dalam mandatnya pun

komite dituntut untuk mealukan interaksi

kepada negara, LSM hak asasi manusia,

NGOs, dan entitas masyarakat sipil

lainnya

(http://ohchr.org/EN/HRNodies/HRC/A

dvisoryCommittee).

Komite melaksanakan dua sesi

selama maksimal sepuluh hari kerja

setiap tahun.Sesi perdananya telah

diadakan pada 4-15 Agustus 2008 di

Kantor PBB, Jenewa dan sesi tambahan

dimungkinkan selama disetujui oleh

Dewan.

3. Complaint Procedure

Menurut Resolusi 5/1 angka 85

menyebutkan, “A complaint procedure is

being established to address consistent

patterns of gross and reliably attested

violations of all human rights and all

fundamental freedoms occurring in any

part of the world and under any

circumstances.” Jadi Prosedur ini dibentuk

untuk melihat ciri-ciri umum serta

seberapa sering terjadinya pelanggaran

HAM dan hak-hak fundamental lainnya

yang terjadi di seluruh belahan dunia

tanpa pengecualian.

Prosedur Pengaduan baru

didirikan sesuai dengan mandat yang

dipercayakan kepada Dewan Hak Asasi

Manusia oleh resolusi Majelis Umum

yang menyebutkan Dewan diminta untuk

meninjau dan jika diperlukan

memperbaiki dan merasionalisasi dengan

jangka waktu satu tahun setelah

penyelenggaraan sidang pertamanya

untuk mengurus semua mandat,

Page 50: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 47

mekanisme, fungsi dan tanggung jawab

Komisi Hak Asasi Manusia terdahulu

termasuk prosedur 1503 dalam rangka

untuk mempertahankan sistem prosedur

khusus, saran para ahli dan prosedur

pengaduan.

Sesuai dengan resolusi

pembentukannya complaint procedure

bekerja dengan mekanisme yang

memungkinkan individu dan organisasi

untuk melaporkan adanya pelanggaran

berat HAM yang membutuhkan perhatian

Dewan HAM.Prosedur ini mengacu

kepada victims-oriented dan bekerja

dengan waktu yang lebih fleksibel. Dalam

artian bahwa pengaduan ini bersifat

rahasia dengan tujuan meningkatkan

kerjasama dengan negara yang

bersangkutan yakni negara tersebut akan

diberitahu ketika diadakan review.

Melalui prosedur ini juga dibentuk

dua kelompok kerja, yakni Kelompok

Kerja bidang Komunikasi (The Working

Group on Communications) dan Kelompok

Kerja bidang Situasi (The Working Group

on Situations).Dua tersebut dibentuk

untuk memeriksa laporan yang dikirmkan

dan meminta perhatian Dewan mengenai

pelanggaran berat HAM dan kebebasan

fundamental yang terjadi. Kedua

Kelompok Kerja tersebut akan bertemu

setidaknya dua kali setahun selama lima

hari setiap periode.

Prosedur menyediakan banyak

pilihan mengenai langkah-langkah yang

mungkin diambil Dewan sebagai

kesimpulan dari proses tersebut.

4. Special Procedure

Merupakan suatu mekanisme yang

ditetapkan Dewan HAM untuk mengatasi

situasi spesifik suatu negara ataupun

masalah-masalah tematis dunia. Saat ini

terdapat 31 tematis dan 8 mandat negara

untuk memperkokoh sistem review dan

menjamin sinergi dengan mekanisme

HAM yang lain dalam sistem PBB

(http://ohchr.org/english/bodies/chr/sp

ecial/index.htm).

Prosedur ini biasanya memanggil

pemegang mandat untuk memeriksa,

memantau, menasehati, dan secara

terbuka melaporkan situasi HAM di suatu

negara atau wilayah tertentu, dikenal

dengan country mandates. Selain itu

dikenal pula mandat tematik atau

thematic mandates yang akan memeriksa

pelanggaran-pelanggaran berat HAM

diseluruh dunia.

Page 51: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 48

Berbagai kegiatandilakukan oleh

Special Procedures, termasuk

menanggapipengaduan

individu,melakukan studi, memberikan

rekomendasi untukkerja sama teknisdi

tingkat negara, dan terlibat dalam

kegiatan promosi secara keseluruhan.

Prosedur khusus

bagiindividu(disebut Special Rapporteur

atau Pelapor Khusus,Special

Representative of the Secretary-General

atau Wakil Khusus Sekretaris Jenderal

atauIndependent Expert atau Pakar

Independen) atau kelompok

kerjabiasanyaterdiri dari lima

anggota(satu darimasing-masing wilayah

regional).

Mandatprosedurkhususditetapkan

danditentukan olehresolusi yang mereka

keluarkan.

Pemegang mandatjuga

melakukankunjungan ke negara-

negarauntuk menyelidikisituasi HAMdi

tingkatnasional.Merekabiasanya

mengirimkansuratkepada Pemerintah

negara yang bersangkutanuntuk

melakukan kunjungan jika pemerintah

tersebutsetujuundanganuntuk

mengunjungidiperpanjang. Beberapa

negarapada prinsipnyasiap untuk

menerimakunjungan darisetiap

pemegangmandat. Setelahkunjungan,

pemegang mandat akan melaporkan

segala permasalahan yang mereka

temukandan rekomendasi-rekomendasi

sesuai misi yang dilakukan.

Khususnya dalam masalah

pelanggaran HAM terhadap individu yang

terjadi pada tokoh demokrasi Myanmar

Aung San Suu Kyi bahwasanya Dewan

HAM PBB melalui United Nations High

Commissioner for Human

Rights(UNHCHR), Progress Report Special

Rapporteur menegaskan untuk

pembebasan segera Suu Kyi dari

penahanan rumahnya. Menurut salah satu

Resolusi Dewan HAM PBB A/HRC/13.48

par.39 menyebutkan The Special

Rapporteur repeats his call for the

termination of the detention of Daw Aung

San Suu Kyi under house arrest, which is in

contravention to international and

domestic law.penahanan atas Suu Kyi

bertentangan dengan hukum

internasional dan juga hukum domestik.

Suatu negara sudah sepatutnya

harus bertanggung jawab secara

internasional menakala terjadi

pelanggaran hak asasi manusia. Apabila

tidak bertanggung jawab jelas bahwa

Page 52: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 49

negara yang bersangkutan akan

mendapat sanksi internasional seperti

embargo hingga dikucilkan dalam

pergaulan internasional yang oleh

Wolfgang Friedmann diistilahkan

sebagai non participation sanction(Adji

Samekto, 2009). Tidak hanya doktrin

pertanggung jawaban negara yang

dipergunakan dalam perlindungan hak

asasi manusia, adanya doktrin mengenai

intervensi juga menjadi bagian yang

cukup penting digunakan dalam hukum

internasional (Huala Adolf, 2002).

Kata intervensi terdapat dalam

dokumen internasional Piagam PBB pasal

2 (7) dan 2 (4) yang mensyaratkan bahwa

PBB dilarang ikut campur dalam urusan

domestik suatu negara, “…to intervere in

matters which are essentially within the

domestic jurisdiction of any state”, kecuali

dalam rangka memelihara perdamaian

menurut bab VII Piagam. Terdapat dua

pandangan berbeda terhadap makna

intervensi pasal 2 (7) Piagam PBB,

pertama bahwa intervensi harus

diinterpretasikan dalam arti teknis

hukum internasional yang berarti adanya

penggerogotan (usurpation) kedaulatan

atau “intervensi diktator”.Pendapat kedua

menyatakan bahwa kata intervensi

hanyalah pengertian kamus saja, hanya

Dewan Keamanan sajalah yang

mempunyai kemampuan untuk bertindak

agar dapat mengakibatkan akibat hukum

maka hal tersebut tidak merupakan

“campur tangan/intervensi diktator”.

Hukum Internasional memberikan

pengecualian terhadap prinsip intervensi

yang mana bahwa dalam keadaan

tertentu tidak selalu merupakan sebuah

pelanggaran atas integritas wilayah

negara lain, yaitu :

a. Suatu negara pelindung telah

diberikan hak-hak intervensi yang

dituangkan dalam perjanjian oleh

negara yang meminta

perlindungan. Hal tersebut terjadi

pada Perjanjian Persahabatan,

Hubungan Bertetangga Baik dan

Kerjasama antara Uni Soviet dan

Afghanistan tahun 1978 di mana

pasal 4 perjanjian tersebut

menetapkan bahwa, akan

mengambil langkah yang

diperlukan untuk melindungi

keamanan, kemerdekaan dan

keutuhan wilayah kedua negara.

b. Jika suatu negara berdasarkan

suatu perjanjian dilarang untuk

mengintervensi, namun ternyata

Page 53: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 50

melanggar larangan ini maka

negara lainnya juga adalah pihak

dalam perjanjian tersebut berhak

untuk melakukan intervensi.

c. Jika suatu negara melanggar

dengan serius ketentuan-

ketentuan hukum kebiasaan yang

telah diterima umum, maka negara

lainnya mempunyai hak untuk

mengintervensi negara tersebut

sebagai alasan pembelaan diri.

d. Jika warga negaranya

diperlakukan semena-mena di luar

negeri, maka negara itu memiliki

hak untuk mengintervensi atas

nama warga negara tersebut,

setelah semua cara damai diambil.

e. Suatu intervensi dapat pula

dianggap sah dalam hal tindakan

bersama oleh suatu organisasi

yang dilakukan kesepakatan

bersama negara-negara anggota.

f. Suatu intervensi dapat juga sah

manakala tindakan tersbut

dilakukan atas permintaan yang

sungguh-sungguh dan tegas-tegas

dari pemerintah yang sah suatu

negara.

Point (e) di atas, yaitu intervensi

atas kesepakatan bersama negara-negara

anggota suatu organisasi yang digunakan

alasan dalam hal ini sebagai justifikasi

terhadap tindakan yang diambil Dewan

HAM PBB ketika menghadapi

pelanggaran HAM di Myanmar.

Pelanggaran HAM yang dilakukan

oleh Myanmar pun bukanlah pelanggaran

HAM biasa melainkan pelanggaran berat

HAM karena telah melakukan penahanan

terhadap tokoh demokrasi Aung San Suu

Kyi. Atas penangkapan dan penahanan

secara sewenang-wenang terhadap Suu

Kyi maka masyarakat internasional ikut

melakukan kecaman terhadap Myanmar

baik melalui organisasi internasional atau

pun tindakan lain untuk ikut

mengupayakan kebebasan bagi Suu Kyi.

Dengan berbagai mekanisme serta

prosedur-prosedur yang terdapat di

Dewan HAM menandakan bahwa dewasa

ini hak asasi manusia sudah menjadi isu

global yang melanda seluruh dunia. Jika

suatu negara melakukan pelanggaran

HAM terlebih merupakan suatu

pelanggaran berat HAM maka masyarakat

internasional seketika dan spontan akan

memberikan reaksinya. Hal tersebut

mengisyaratkan bahwa negara-negara

tidak lagi dapat berlindung di balik

kedaulatan teritorialnya atas pelanggaran

Page 54: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 51

hak asasi manusia yang terjadi di

wilayah.Masyarakat internasional yang

ikut melakukan inervensi terhadap

Myanmar semata-mata hanya untuk

menghentikan pelanggaran-pelanggaran

berat HAM yang terus menerus terjadi di

negara tersebut.

SIMPULAN

Era baru Dewan HAM PBB saat ini

telah memberikan kewenangan

kepadanya untuk dapat melakukan

tindakan yang tegas sekalipun terhadap

setiap pelanggaran HAM di seluruh

dunia.Kinerja Dewan HAM yang konkret

terlihat dalam upaya pembebasan

seorang tahanan rumah sekaligus tokoh

demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi.

Dalam resolusi Dewan HAM

A/HRC/10/19 tahun 2009 par. 38

disebutkan bahwa, “The Special

Rapporteur reiterates his call for the

termination of Daw Aung San Suu Kyi’s

detention under house arrest, which is in

contravention of articles 9, 10 and 19 of

the Universal Declaration of Human

Rights…”Ketiga pasal tersebut sama –

sama menyebutkan bahwa seseorang

berhak atas kebebasan untuk

mengemukakan pendapat, larangan atas

penangkapan sewenang-wenang hingga

memiliki hak atas pengadilan yang adil

dalam pasal 10. Adanya resolusi yang

dilakukan oleh kelompok kerja (Special

Rapporteur) tersebut membuktikan salah

satu langkah Dewan HAM dalam ikut

berperan aktif dalam pembebasan tokoh

demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Penangkapan, penahanan, hingga

peradilan yang sewenang-wenang yang

dialami oleh Suu Kyi merupakan suatu

kejahatan kemanusiaan yang

bertentangan dengan prinsip-prinsip

dasar hukum internasional.Atas dasar

tersebut pula masyarakat internasional

dirasa berhak untuk melakukan

intervensi terhadap kedaulatan Myanmar

sebagai suatu negara.Melalui mekanisme

Universal Periodic Review Dewan HAM

memiliki hak untuk meminta laporan dari

setiap negara atas kondisi HAM yang ada

di wilayah teritorialnya. Maka dalam UPR

10th di Geneva, 24 Januari – 4 Februari

2011 par. 29 disebutkan “The Secretary-

General, the High Commissioner for Human

Rights, the Security Council, the General

Assembly, the Human Rights Council and

the Special Rapporteur on the situation of

human rights in Myanmar called for the

immediate release of Daw Aung San Suu

Page 55: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 52

Kyi, and of all remaining political

prisoners.” Artinya organ-organ tersebut

telah mengeluarkan seruan-seruan agar

pemerintah Myanmar segera

membebaskan Aung San Suu Kyi dari

tahanan rumahnya. Hal tersebut

membuktikan bahwa jika pelanggaran

HAM terjadi di suatu negara terlebih

merupakan suatu pelanggaran berat HAM

maka masyarakat internasional seketika

dan spontan akan memberikan reaksinya.

Selain itu juga mengisyaratkan bahwa

negara-negara tidak lagi dapat berlindung

di balik kedaulatan teritorialnya atas

pelanggaran hak asasi manusia yang

terjadi di wilayah negaranya, termasuk

Myanmar.

Page 56: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 53

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ambarwati, dkk, 2009, Hukum Humaniter

Internasional dalam Studi Hubungan

Internasional, PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta.

Adji Samekto, 2009, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional; Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung.

C. de Rover, 2000, To Serve & to Protect –

Acuan Universal Penegakan HAM, PT.

RajaGrafindo Persada.

Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko

Riyadi, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia,

PUSHAM UII, Yogyakarta.

Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana

Evandri, 2010,HAM Dalam Dimensi

Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, Ghalia

Indonesia, Bogor.

Sri Setianingsih Suwardi, 2004,

Pengantar Hukum Organisasi

Internasional, Universitas Indonesia (UI-

Press), Jakarta.

INTERNET

Rudi M.Rizki, “Pokok-Pokok Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”, diakses pada tanggal 19 Maret 2016, URL: www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Pokok_pokok_HAM_Intl.pdf Richard B. Bilder, “Tinjauan Umum Hukum Hak Asasi Manusia”, diakses pada tanggal 19 Maret 2016, URL: http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Tinjauan_Umum_Hukum_HAM.pdf Tomy Gutomo, “Makna Kemenangan NLD bagi Suu Kyi”, diakses pada tanggal 19 Maret 2016, URL :http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/947-makna-kemenangan-nld-bagi-suu-kyi Renne R.A Kawilarang dan Shinta Eka Puspasari, 2009, “PBB: Penahanan Suu Kyi Melanggar Hukum”, diakses pada 19 Maret 2016, URL: http://dunia.vivanews.com/news/read/43454pbb-penahanan_suu_kyi_melanggar_hukum

Universal Periodic Review, diakses 1 Maret

2016, URL

:http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/U

PR/Pages/UPRmain.aspx

Background information on the Advisory Committee, diakses 3 Maret 2016, URL : http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HR

C/AdvisoryCommittee/Pages/HRCACInd

ex.aspx

Page 57: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 54

Special Procedures of The Human Rights

Council, diakses 3 Maret 2016, URL:

http://www2.ohchr.org/english/bodies/

chr/special/index.htm

INSTRUMEN-INSTRUMEN HUKUM

INTERNASIONAL

Piagam PBB Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (UDHR)

ICCPR

Resolusi Majelis Umum PBB

Resolusi Dewan HAM PBB

Page 58: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 55

SINKRONISASI PENGATURAN SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN SEBAGAI UPAYA

PENINGKATAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING DI INDONESIA

Kadek Agus Sudiarawan

Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi

pengaturan Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sebagai upaya peningkatan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing di Indonesia, yaitu dengan mengkaji kesesuaian antara ketentuan dalam Permenakertrans RI No.19 Tahun 2012 dan SE Menakertrans RI No.04/MEN/VIII/2013 terhadap Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam suatu laporan yang bersifat diskriptif analisis.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa ketentuan dalam Permenakertrans dan SE Menakertrans seperti pengaturan prosedur dan syarat penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain, kewenangan asosiasi sektor usaha, mekanisme pendaftaran perusahaan, pengaturan pesangon dan sanksi yang secara substansial tidak sinkron dan cenderung melemahkan semangat peningkatan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing sebagaimana amanat dari Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

Kata Kunci : Sinkronisasi, Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Perlindungan Hukum, Outsourcing

ABSTRACT The purpose of this study is to know the synchronization of the rules of the

requirements to transfer half of the works to other company. This stands as an effort to improve the legal protection of the outsourced workers in Indonesia by assessing the synchronization between the rules in Permenakertrans RI No.19 of 2012 (Permenakertrans) and SE Menakertrans RI No.04/MEN/VIII/2013 (SE Menakertrans) with the Decision of the Constitutional Court No. 27/PUU-IX/2011 (MK Decision).

This is a normative research that uses secondary data where all these data are analyzed using the qualitative methods. The report of this study is presented in a descriptive analysis way.

The results shows that there are some provisions, namely: the procedure and requirement to transfer the work to other company; authority of business sector association; mechanism to register a company; severance; and sanction, in Permenakertrans and SE Menakertrans, that substantially are not synchronize with

Page 59: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 56

each other and tend to weaken the spirit to enhance the legal protection upon the outsourced workers as the mandate of the MK Decision. Keywords: synchronization, transfer half of the works to other company, legal protection, outsourcing Pendahuluan

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) secara khusus mengatur mengenai beberapa jenis perjanjian kerja yakni meliputi : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan termasuk pula outsourcing. Pengaturan PKWT dan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan dapat disebut sebagai upaya mewujudkan pasar kerja yang fleksibel di Indonesia yang ditujukan untuk perbaikan iklim investasi ditengah guncangan perekonomian pasca krisis finansial pada tahun 1997.

Terkait dengan hubungan kerja outsourcing, persaingan dunia bisnis yang begitu dinamis tentunya telah memaksa perusahaan untuk berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Konsekuensi logis dari strategi ini adalah keputusan perusahaan untuk mengalihdayakan atau menyerahkan proses-proses yang bukan merupakan core competence perusahaan tersebut kepihak lain dengan sistem yang disebut sebagai oustsourcing (Richardus Eko Indrajit, 2003).

Hubungan kerja melalui sistem outsourcing sering disebut sebagai bagian kapitalisme global yang cenderung merugikan pekerja. Prinsip utama pelaksaaan hubungan kerja

dengan pola ini yaitu pengusaha menghindari pekerja tetap dan menghindari hak-hak pekerja (Andari Yurikosari). Hubungan kerja outsourcing menjamin fokus organisasi perusahaan yang bekerja pada kegiatan inti tidak akan terpecah pada urusan atau kegiatan penunjang, sehingga organisasi inti dapat berkonsentrasi penuh mengerjakan kegiatan inti dengan semaksimal mungkin (Suwondo, 2003).

Secara tata bahasa, outsource berasal dari kata ‘out’ yang berarti di luar, dan kata ‘source’ yang berarti sumber. Penerjemah kemudian mengartikan outsource sebagai sumber dari luar, dan bila diaplikasikan ke dalam unit usaha berarti tenaga kerja yang diambil dari luar perusahaan atau alih daya (Aditya Warman, 2013). Dalam pengertian umum, istilah Outsourcing diartikan sebagai kegiatan membuat kontrak dengan perusahaan atau orang lain untuk melakukan fungsi tertentu (outsourcing is contracting with another company or person to do a particular function) (http:// www.sourcing.com). Didalam Black’s Law Dictionary disebutkan outsourcing agreement is an agreement between a bussines and a service provider in which the service provider promises to provide necessary services, esp (Briyan A Garner, 2004).

Berdasarkan pengertian diatas, secara umum outsourcing dapat diartikan sebagai pendelegasian suatu

Page 60: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 57

kegiatan, aktivitas, operasi dan atau manajemen harian dari suatu proses bisnis perusahaan tertentu kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh).

Dasar hukum dilegalkannya sistem outsourcing di Indonesia adalah dalam UU Ketenagakerjaan dengan pasal-pasal yang mengacu pada praktek outsourcing adalah Pasal 64, 65 dan 66. Dimana secara khusus diatur dalam sistem outsourcing perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui 2 mekanisme yaitu : perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh a. Perjanjian pemborongan

pekerjaan Perjanjian pemborongan

pekerjaan adalah perjanjian penyerahan pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan lain (Hardijan Rusli, 2003).

Perjanjian pemborongan pekerjaan harus dibuat secara tertulis dan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Dilakukan secara terpisah dari

kegiatan utama, b. Dilakukan dengan perintah langsung

atau tidak langsung dari pemberi kerja,

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dalam hal pekerjaan yang diserahkan tidak memenuhi

persyaratan yang ditentukan diatas, maka hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja tersebut dengan perusahaan pemberi pekerjaan. b. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh

Perusahaan tidak diperbolehkan memperkerjakan pekerja dari penyedia jasa pekerja untuk melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Pekerja atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja hanya boleh digunakan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan tersebut antara lain : usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang dipertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, pada satu sisi telah membuka peluang munculnya perusahaan-perusahaan baru yang bergerak dibidang jasa, dan disisi lain memungkinkan perusahaan-perusahaan yang telah berdiri untuk melakukan efisiensi dengan memanfaatkan outsourcing untuk memproduksi barang atau jasa yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis utama perusahaan (Markeling, 2009). Upaya pekerja untuk melawan sistem outsourcing dan PKWT seakan

Page 61: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 58

tidak pernah berhenti. Salah satu langkah yang diambil pekerja yaitu melalui permohonan dengan register No.27/PUU-IX/2011 yang diajukan oleh saudara Didik Supriadi mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI). Judicial review diajukan terhadap ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Atas permohonan tersebut, pada tanggal 17 Januari 2012 MK menjatuhkan Putusan MK No.27/PUU-IX/2011. MK memandang bahwa PKWT sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan itu tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Disisi lain pengaturan mengenai outsourcing yang terkandung dalam ketentuan Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan oleh MK kemudian dipertimbangkan lebih jauh mengenai apakah ketentuan-ketentuan dalam norma dimaksud menyebabkan terancamnya hak setiap orang dan hak-hak pekerja outsourcing yang diberikan perlindungan atau dijamin dalam UUD NRI 1945, yaitu hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) dan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 (I Dewa Gede Palguna, 2012).

Dalam menjawab pertanyaan tersebut MK pertama-tama merujuk pertimbangan Mahkamah sendiri dalam Putusan MK No.12/PUU-I/2003 yang pada dasarnya menyatakan bahwa outsourcing tidaklah terbukti jika dikatakan sebagai bentuk

perbudakan modern dalam proses produksi. Pada Putusan MK N0.27/PUU-IX/2011, meskipun tidak bergeser dari pendiriannya bahwa outsourcing tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun Mahkamah menekankan pentingnya perlindungan kepada pekerja outsourcing akan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945.

Semangat Perlindungan pekerja ini tampak jelas dalam pertimbangan hukum MK yang menyatakan antara lain : frasa”…untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Tranfers of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan outsourcing.

Pemberlakuan model pertama menegaskan hubungan kerja

Page 62: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 59

antara pekerja dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan model “perjanjian kerja waktu tidak tertentu secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan yang melaksanakan perkerjaan outsourcing melalui PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas haknya sebagai pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja atau buruh (Tranfers of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

TUPE sebagai prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja yang menekankan bahwa jika berganti perusahaan outsourcing masa kerja pekerja tetap sebagai masa kerja yang diperhitungkan oleh perusahaan outsourcing baru dan harus dijamin diterima oleh perusahaan outsourcing baru dengan dijamin kelangsungan bekerjanya dengan kompensasi yang sama (Muhammad Aditya Warman).

Langkah taktis lanjutan yang dilakukan pemerintah pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 terkait dengan upaya peningkatan perlindungan pekerja outsourcing adalah dengan membuat guidance atau aturan pelaksana pelaksanaan outsourcing. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Permenakertrans 19/2012) dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia No.04/MEN/VIII/2013 (SE Menakertrans 04/2013) kemudian hadir sebagai tindak lanjut pemerintah terhadap Putusan MK. Salah satu isu hangat yang muncul pasca dikeluarkannya aturan ini ialah perusahaan kemudian harus menanggung biaya besar dan tidak dapat melakukan efisiensi lagi, beberapa perusahaan bahkan terancam akibat pengetatan syarat dari pemerintah di dalam Permenakertrans (http://www.tribunnews.com,).

Permenakertrans No.19/2012 dan SE Menakertrans 04/2013 ini hadir dan melakukan beberapa perubahan atas UU Ketenagakerjaan seperti perubahan pada penjelasan pasal 66 ayat (1). Proses perubahan undang-undang ini tidak dlakukan dengan prosedur yang sama dengan ketentuan diatas. Ketentuan lainnya yang diatur oleh Permenakertrans ini adalah dalam bentuk pelaksanaan penetapan jenis kegiatan utama dan pendukung di perusahaan.

Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing, Permenakertrans No.19/2012 juga mengatur perubahan mendasar terkait hubungan kerja pekerja outsourcing dalam bentuk diisyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja yang obyek kerjanya tetap ada, jika hubungan kerjanya diikat dengan PKWT.

Hal ini sejatinya menunjukkan semangat yang diemban dari lahirnya Permenakertrans No.19/2012 dan SE Menakertrans 04/2013 tidak lain adalah ditujukan untuk perbaikan dalam pengaturan kegiatan utama dan

Page 63: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 60

penunjang serta melakukan perbaikan dalam pengaturan tentang hubungan kerja pekerja outsourcing di Indonesia. Namun faktanya pelaksanaan dilapangan kemudian malah menunjukkan munculnya berbagai kebingungan-kebingungan baru dan beberapa celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak pengusaha atau perusahaan outsourcing untuk tidak segera memperbaiki sistem dan tata kelola perusahaannya agar lebih mampu melindungi pekerja sebagaimana semangat dari Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

Sinkronisasi pengaturan syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dalam Permenakertrans No.19/2012 dan SE Menakertrans No.04/2013 dengan semangat perlindungan pekerja dalam Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 menjadi begitu penting dalam upaya meningkatkan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing.

Berangkat dari latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dalam lingkup hukum ketenagakerjaan Indonesia untuk berusaha menemukan bagaimana “Sinkronisasi Pengaturan Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Sebagai Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourcing di Indonesia”.

Pembahasan

Sinkronisasi Materi Muatan Permenakertrans RI No.19/2012 dan SE Menakertrans RI No.04/2013 terhadap Semangat Penguatan

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourcing dalam Putusan MK No.27/PUU-IX/2011

Dalam rangka mengukur tingkat sinkronisasi antara materi muatan didalam Permenakertrans No.19/2012 dan SE Menakertrans No.4/2013 terhadap Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 jo UU No.13 Tahun 2003, maka harus dibangun indikator-indikator khusus yang merupakan bagian dari muatan dari Permenakertrans dan SE untuk kemudian dapat dianalisis tingkat kesesuaiannya dengan semangat penguatan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011.

Adapun beberapa point muatan Permenakertrans No.19/2013 dan SE Menakertrans No.04/2013 yang kemudian dianalisis kesesuaiannya terhadap Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 antara lain meliputi :

a. Bagian Konsideran Pada bagian konsideran,

Permenaker outsourcing ini merujuk pada UU No.3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Keppres No.84/P Tahun 2009.

Pada bagian konsideran dijelaskan pula bahwa 2 (dua) Kepmenakertrans yang mengatur mengenai outsourcing sebelumnya dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.

Page 64: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 61

Kepmenakertrans tersebut adalah Kepmenakertrans No.KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No.KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Analisis yang timbul bila memperhatikan konsideran dan ketentuan penutup tersebut, Permenakertrans No.19/2012 bukanlah aturan perubahan dari kedua Kepmenakertrans tersebut melainkan merupakan aturan pengganti. Maka semua ketentuan dalam dua Kepmenakertrans tersebut tidak lagi berlaku sebagai hukum positif.

Pada bagian lainnya, pemerintah justru tidak mencantumkan Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 kedalam konsideran munculnya Permenakertrans ini. Padahal tidak dapat dibantah lagi bahwa Putusan MK sangat mempengaruhi munculnya Permenakertrans outsourcing ini. Ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 31 Permenakertrans No.19/2012 merupakan beberapa pengaturan substansial yang dipengaruhi langsung oleh Putusan MK.

Ketentuan Pasal 29 mengatur mengenai hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja yang dapat didasarkan atas PKWTT atau PKWT. Pada ayat 2 diatur mengenai dalam hal hubungan kerja didasarkan atas PKWT yang obyeknya tetap ada sekurang-kurangnya harus memuat jaminan kelangsungan bekerja, jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja sesuai

dengan perundang-undangan, dan jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja untuk menetapkan upah. Dalam ayat 3 kemudian diatur secara khusus mengenai hak-hak pekerja. Pengaruh dari Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 juga terlihat dari ketentuan Pasal 31 Permenakertrans ini yang mengatur mengenai tindakan atau jalur yang dapat ditempuh pekerja bila tidak memperoleh jaminan kelangsungan pekerja. Ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 Permenakertrans ini tidak lain merupakan aplikasi dari kewajiban pengaturan prinsip pengalihan perlindungan hak pekerja (TUPE) sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing berdasarkan PKWT yang merupakan salah satu intisari dari Putusan MK.

Tidak dicantumkannya Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 sebagai salah satu dasar pembentukan aturan pelaksana ini juga ditemukan dalam SE Menakertrans No.04/2013 yang merupakan aturan pelaksanaan dari Permenakertrans No.19/2012. Pilihan Menakertrans untuk tidak mencantumkan Putusan MK sebagai konsideran dan atau pada pendahuluan aturan pelaksana ini memberi kesan bahwa pembentukan Permenakertrans dan SE sebagai inisiatif murni Kemenakertrans dan bukan merupakan pengaruh dari Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 ataupun atas desakan masyarakat (pekerja) (http//:www.pemantaukeadilan).

b. Bagian Substansi Pasal-Pasal dalam Permenakertrans dan SE

Page 65: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 62

1. Prosedur dan Syarat-Syarat Penyerahan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Ketentuan terkait prosedur dan syarat-syarat penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain dalam Permenakertrans No.19/2019 tidak berbeda dengan UU Ketenagakerjaan. Penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain itu dapat dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja.

Sistematika teknis dalam penyerahan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan, mensyaratkan pemberi kerja harus terlebih dahulu menentukan bidang mana dari proses kegiatan perusahaannya yang dikategorikan sebagai pekerjaan penunjang. Ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur empat syarat pekerjaan yang boleh diborongkan kepada perusahaan lain. Keempat syarat itu meliputi : a. pekerjaan yang dikerjakan itu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama. b. pekerjaan yang dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja. c. pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. d. pekerjaan yang diborongkan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Pemerintah dalam Permenakertrans No.19/2012 kemudian memberi penjelasan khusus terhadap keempat syarat diatas. Penjelasan tersebut membuat Permenakertrans tersebut identik

bukan sebagai ketentuan pokok tetapi sebagai ketentuan penjelasan.

Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans No.19/2012 selengkapnya disusun dengan pemaparan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. dilakukan secara terpisah dari

kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan,

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan,

c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan aluru kegiatan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan,

d. tidak menghambat proses produksi secara langsung yang diartikan sebagai kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Pengaturan ketentuan penjelasan tersebut kemudian memunculkan

Page 66: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 63

berbagai tafsir baru yang menimbukan kebingungan dalam tahap pelaksanaannya. Penentuan kategori yang termasuk pekerjaan penunjang yang dapat ditentukan oleh asosiasi sektor usaha menjadi salah satu permasalahan yang menimbulkan berbagai polemik di masyarakat. Padahal UU Ketenagakerjaan sebelumnya telah memberikan spesifikasi khusus sebagai syarat pemborongan pekerjaan. Pemerintah seharusnya tidak boleh membuat secara sepihak penjelasan baru atas undang-undang, terlebih memasukkan ke dalam peraturan menteri, kecuali undang-undang memberikan mandat atau arahan kepada eksekutif untuk melakukan itu (Juanda Pangaribuan).

SE Menakertrans No.04/2013 ikut memperkeruh pengaturan tentang outsourcing tersebut. Ketentuan pada SE menyebutkan bahwa pemborongan boleh dilakukan di lokasi kantor atau di lokasi perusahaan pemberi kerja. Pengaturan tersebut menandakan bahwa pembuat kebijakan tidak memahami apa itu pemborongan pekerjaan dalam sistem ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan telah tegas menentukan bahwa pemborongan pekerjaan harus dilakukan terpisah dari kegiatan utama (http://www.jawapos.com,).

Ratio legis UU Ketenagakerjaan mengharuskan pemborongan pekerjaan dilakukan di luar kantor atau lingkungan perusahaan karena pemborongan pekerjaan merupakan pengalihan pekerjaan, bukan pengalihan pekerja (orang). Ketentuan SE Menakertrans No.04/2013 yang memperbolehkan pemborongan orang, dapat diklasifikasikan sebagai bentuk

dari perbudakan yang dilegalkan. Celah hukum ini akan mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran seperti banyaknya perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagai perusahaan penyedia jasa yang tidak mengaku sedang melakukan usaha outsourcing, melainkan hanya melakukan memborongkan pekerjaan tersebut.

2. Kewenangan Asosiasi Sektor Usaha

Ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf (c) Permenakertrans No.19/2012 menyebutkan bahwa asosiasi sektor usaha sebagai lembaga yang berwenang menetapkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan perusahaan.

Konsep pembuatan alur proses sesungguhnya adalah mengacu kepada strategi perusahaan guna meningkatkan daya saingnya. Dasar pertimbangan perusahaan dalam mengalihkan sebagaian pekerjaan kepada perusahaan lain adalah untuk fokus pada bisnis utama, perampingan organisasi dan peningkatan produktifitas. Hal ini berimplikasi pada besarnya kemungkinan asosiasi akan membuat alur proses sebatas kebutuhan dan kepentingan bisnis mereka. Pengaturan kewenangan asosiasi sektor usaha dalam Permenakertrans No.19/2012 dianggap telah memberikan blangko kepada pengusaha untuk dengan sendirinya menentukan sektor-sektor usaha tersebut. Pengusaha tentu akan menentukan sebanyak mungkin pekerjaan yang masuk dalam kegiatan penunjang agar bisa sebanyak-banyaknya dilakukan melalui

Page 67: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 64

pemborongan pekerjaan (Hadi Shubhan).

Pemerintah perlu memperhatikan dan memastikan sejauh mana legalitas asosiasi dan kekuatan hukum yang menyertainya dan secara khusus memberikan acuan agar asosiasi sektor usaha tidak dianggap membuat alur proses sebatas kebutuhan dan kepentingan bisnis mereka. Ketika pemerintah memandang perlu memberikan kewenangan kepada asosiasi sektor usaha menentukan alur kegiatan bisnis perusahaan, penjelasan Pasal 3 ayat (2) seharusnya dibuat dalam amandemen UU Ketenagakerjaan atau setidaknya disusun ke dalam pasal tersendiri yang terpisah dari Pasal 3 ayat (2) (Hadi Shubhan). 3. Status Badan Hukum Bagi Perusahaan Outsourcing

Permenakertrans No.19/2012 menentukan bahwa perusahaan yang dapat menerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan berbadan hukum. Klasifikasi yang dapat digolongkan ke dalam badan hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), yayasan dan koperasi. Permenakertrans kemudian tidak menyebut PT sebagai satu-satunya perusahaan yang bertindak sebagai penerima atau pemborongan pekerja.

Berbeda dengan ketentuan Pasal 24 ditegaskan bahwa perusahaan yang dapat bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Ketentuan tersebut secara tidak langsung menganggap koperasi, yayasan, firma, CV tidak dapat bertindak dalam perjanjian penyedia jasa pekerja.

Konsekuensi hukum apabila perjanjian penyedia jasa pekerja bukan berbentuk PT, maka hubungan kerja pekerja outsourcing berdasarkan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan beralih ke perusahaan pengguna.

Ketentuan terkait keharusan perusahaan penyedia jasa pekerja harus berbentuk PT secara khusus memang memiliki nilai positif yaitu untuk memastikan perusahaan tersebut siap secara finansial dan organisasi dalam mengelola perusahaannya sehingga mampu melindungi hak-hak pekerjanya. Hal ini akan berimplikasi pada peningkatan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing di Indonesia. 4. Mekanisme Pendaftaran Perusahaan

Ketentuan Pasal 10 Ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Permenakertrans No.19/2012 mewajibkan pengusaha mendaftarkan perjanjian pemborongan dan perjanjian penyediaan jasa pekerja ke kantor pemerintahan yang mengurusi ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja ditentukan paling lambat dilakukan 30 hari kerja sejak ditandatangani perjanjian tersebut. Ketentuan ini juga mengatur untuk perjanjian pemborongan harus didaftarkan paling lambat 30 hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan. Permenaker tidak menjelaskan apa tujuan mendaftarkan perjanjian borongan pekerjaan. Pendaftaran perjanjian borongan dan perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja dikualifikasikan sebagai sarana memeriksa implementasi Pasal 5, Pasal

Page 68: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 65

9, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 24 Permenakertrans No.19/2012.

Permenakertrans juga tidak mengatur sanksi kepada perusahaan pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan yang tidak mendaftarkan perjanjian pemborongan. Permenakertrans hanya mengatur akibat hukum bagi perusahaan yang memborongkan pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) yang menegaskan, hubungan kerja antara penerima pemborongan dengan pekerja beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan bila terbukti penyerahan pekerjaan itu dilakukan sebelum memiliki bukti pelaporan.

Bagian lain ketentuan Pasal 22 melarang perusahaan penyedia jasa pekerja melaksanakan operasional perusahaan sebelum memiliki bukti pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja. Apabila penyediaan jasa pekerja tetap melaksanakan operasionalnya, dinas tenaga kerja tingkat propinsi mencabut izin operasional penyediaan jasa pekerja.

Pada keadaan tersebut Permenakertrans No.19/2012 tidak menyebutkan hubungan kerjasama perjanjian penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi kerja berakhir demi hukum. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) mengatur bahwa pemenuhan hak pekerja tetap menjadi tanggung jawab perjanjian penyediaan jasa pekerja. Hal ini berkonsekuensi pada kondisi bahwa pencabutan izin operasional perjanjian penyediaan jasa pekerja tidak serta merta mengakhiri kontrak kerja antara perjanjian penyedia jasa pekerja. Pencabutan izin operasional hanya memberi derita bagi pekerja perjanjian penyediaan jasa

pekerja tetapi tidak memberi manfaat kepada pekerja (Juanda Pangaribuan).

5. Hak Menerima Ganti Rugi atau Pesangon.

Ketentuan Pasal 29 Permenakertrans merupakan salah satu pengaturan substansial yang dipengaruhi langsung oleh Putusan MK No.27/PUU-IX/2011. Ketentuan Pasal 29 mengatur mengenai hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja yang dapat didasarkan atas PKWTT atau PKWT. Dalam ketentuan ayat 2 diatur pula mengenai dalam hal hubungan kerja didasarkan atas PKWT yang obyeknya tetap ada sekurang-kurangnya harus memuat jaminan kelangsungan bekerja, jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja sesuai dengan perundang-undangan, dan jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja untuk menetapkan upah. Sebagai bentuk perlindungan terhadap pekerja dalam ayat 3 kemudian diatur secara khusus mengenai hak-hak pekerja yang diantaranya meliputi : hak atas cuti, hak atas jaminan sosial, hak atas tunjangan hari raya, hak istirahat paling singkat 1 hari dalam 1 minggu, hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia jasa, hak atas penyesuaian upah terhadap masa kerja.

Permenakertrans No.19/2012 juga secara khusus menyebutkan bahwa jika pelaksanaan berdasarkan PKWT sekurang-kurangnya harus memuat: jaminan kelangsungan bekerja, jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja dan jaminan masa kerja untuk

Page 69: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 66

menetapkan upah (http://disnakertrans.kaltimprov.com).

Pengaturan ini kemudian masih menimbukan kebingungan dari pelaku hubungan industrial khususnya oleh sebagian besar pengusaha atau perusahaan outsourcing. Keluhan pengusaha ialah terkait ketidakjelasan pengaturan antara Permenakertrans dengan UU Ketenakerjaan terkait ganti rugi atau pesangon untuk pekerja dalam hal hubungan kerja diakhiri perusahaan penyedia jasa pekerja. Ketentuan Pasal 29 ayat 3 point e Permenakertrans No.19/2012 menyebutkan bahwa pekerja berhak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia jasa pekerja sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan pekerja. Ketentuan ini memang relatif tidak berbeda dengan ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

6. Sanksi

Ketentuan BAB V SE Menakertrans No.04/2013 secara khusus mengatur mengenai sanksi. Pelanggaran terhadap ketentuan Permenakertrans 19/2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lain, dikenakan sanksi berupa : a. Beralihnya hubungan kerja pekerja

dari perusahaan penerima pemborongan kepada pemberi kerja dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan menyerahkan sebagian pelaksanaan perkerjaan kepada perusahaan lain tanpa bukti pelaporan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan mengenai jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan,

b. Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi berdasarkan rekomendasi dari kabupaten kota dalam hal : perusahaan penyedia jasa pekerja tidak mendaftarkan perjanjian penyedia jasa pekerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten kota tempat pekerjaan dilaksanakan dan perusahaan penyedia jasa pekerja yang tidak mencatatkan perjanjian kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

c. Perubahan hubungan kerja dari PKWT menjadi PKWTT antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja sejak ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 28 dan Pasal 29 Permenakertrans No.19/2012 tentang syarat-syarat penyerahan

Page 70: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 67

sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.

Dalam Permenakertrans No.19/2012 dan SE Menakertrans No.04/2013 diatur beberapa jenis sanksi dan atau akibat hukum apabila terjadi pelanggaran. Pada kondisi terjadi ketidakpatuhan perusahaan outsourcing untuk mengatur klausul pengalihan perlindungan pekerja dalam perjanjian kerja dengan pekerja yang didasarkan pada PKWT sesuai dengan amanat Putusan MK dan aturan pelaksananya perjanjian kerja tersebut secara otomatis akan atau harus beralih menjadi perjanjian kerja dalam bentuk PKWTT. Ketentuan tersebut dianggap sangat lemah untuk memaksa perusahaan outsourcing untuk menerapkan prinsip pengalihan perlindungan pekerja dalam perjanjian kerja mereka. Akibat hukum tersebut tidak secara substansial mampu memaksa perusahaan karena bila dipaksakan pada kondisi terburuk jika perusahaan tidak kuat secara finansial dan bangkrut maka yang dirugikan kembali adalah pihak pekerja. Pengaturan yang tegas mengenai sanksi, konsekuensi atas pelanggaran dan penegakan hukum atas pelanggaran menjadi sangat diperlukan agar prinsip ini dapat memberikan perlindungan hukum secara represif dalam rangka melindungi hak-hak pekerja.

Penutup

Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik kesimpulan yakni :

Bahwa terdapat beberapa ketentuan dalam Permenakertrans RI No.19 Tahun 2012 dan SE

Menakertrans RI No.04/MEN/VIII/2013 yang secara substansial tidak sinkron dengan semangat dari Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 khususnya terkait upaya peningkatan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing. Beberapa ketentuan Permenakertrans No.19/2012 dan SE Menakertrans No.04/2013 yang cenderung melemahkan adopsi dari penguatan perlindungan pekerja tersebut, diantaranya meliputi : bagian konsideran dengan tidak dicantumkannya Putusan MK sebagai landasan pembentukan Permenkertrans, bagian substansi pasal-pasal seperti pengaturan prosedur dan syarat-syarat penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain, kewenangan asosiasi sektor usaha, status badan hukum perusahaan, mekanisme pendaftaran perusahaan, ketidakjelasan pengaturan mengenai pesangon hingga pengaturan ketentuan mengenai sanksi yang dianggap tidak tegas.

Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka saran yang dapat diberikan ialah :

Pemerintah seharusnya dapat membentuk suatu peraturan pelaksanaan yang memiliki sinkronsasi yang kuat terhadap semangat Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, karena pengadopsian konsep peningkatan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing secara utuh kedalam aturan pelaksana pasca Putusan MK dipastikan tidak akan mampu mencapai hasil maksimal tanpa didukung sinkronisasi pengaturan

Page 71: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 68

pada ketentuan-ketentuan pelaksana terkait lainnya. Daftar Pustaka

Buku- Buku Chandra Suwondo, 2003, Outsourcing

Implementasi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Hardijan Rusli, 2003, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Muhammad Aditya Warman, 2013, Business Process of Outsourcing Management, PT.Pusat Studi Apindo, Jakarta.

Richardus Eko Indrajit, 2003, Proses Bisnis Outsourcing, Grasindo, Jakarta.

Jurnal/Makalah I Ketut Markeling, 2009, Existensi

Outsourcing Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Kertha Pratika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

I Dewa Gede Palguna, 2012, Outsourcing Dalam Pandangan Mahkamah Konstitusi, Catatan Terhadap Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, Makalah yang disampaikan pada seminar oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana dalam rangka pengabdian masyarakat, Gianyar, 9 Oktober 2012.

Internet Andari Yurikosari, “Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Tentang Pekerja Outsourcing, Quo Vadis Bagi Para Pihak dalam Hubungan Kerja”,

www.pemantauperadilan.com, diakses tanggal 2 Maret 2016

Feryanto Hadi, “Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 Lindungi Hak Pekerja”, http://www.tribunnews.com, diakses pada tanggal 10 Maret 2016.

“Apa Itu Outsourcing”, http:// www.sourcing.com, diakses tanggal 10 Maret 2016.

Juanda Pangaribuan, “Membaca Muatan dan Implikasi Permenaker Outsourcing”, http//:www.pemantaukeadilan.com, diakses pada tanggal 12 Maret 2016.

Hadi Shubhan, “Kebijakan Oplosan Outsourcing Pekerja”, http://www.jawapos.com, diakses pada tanggal 12 Maret 2016.

Disnakertras Kalimantan Timur, “Penerapan Outsourcing Pasca Dikeluarkannya Permenakertrans No.19 Tahun 2012”, http://disnakertrans.kaltimprov.com, diakses tanggal 20 Maret 2016.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No.13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.27/PUU-IX/2011.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian

Page 72: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 69

Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Kamus Briyan A Garner, 2004, Black’s Law

Dictionary, West Publishing Co, United States of Amerika.

Page 73: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 70

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

Email : [email protected]

ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional atau Internastional Humanitarian Law adalah bagian dari Hukum Internasional. Hukum Humaniter Internasional dapat diberi pengertian sebagai hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang. Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan kepada korban perang atau mereka yang terlibat dalam pertempuran .Dalam tulisan ini akan mengkaji tentang perlindungan penduduk sipil, utamanya bagaimana hukum humaniter internasional memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil dalam pertikaian bersenjata, termasuk orang sipil yang karena pekerjaannya harus mendapatkan perlindungan. Perlindungan terhadap orang sipil dalam pertikaian bersenjata sudah lama mendapatkan pengaturan dalam hukum internasional, baik melalui perjanjian internasional maupun melalui hukum kebiasaan internasional. Perlindungan orang sipil dalam pertikaian bersenjata berlandaskan prinsip kemanusiaan, hal ini untuk menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Kata kunci : hukum humaniter internasional, perlindungan korban perang, hukum internasional

ABSTRACT

International Humanitarian Law or International Humanitarian Law is part of international law. International humanitarian law can be made to understand as the law governing the protection of war victims. International humanitarian law provides protection to victims of war or those involved in the battle .In this paper will examine on the protection of civilians, particularly how international humanitarian law provides protection of civilians in armed conflict, including civilians who because of their work must be protected. Protection of civilians in armed conflict has been a long time getting arrangements in international law, either through international treaties or through customary international law. Protection of civilians in armed conflict based on principles of humanity, it is to respect and uphold human dignity. Keywords: international humanitarian law, the protection of victims of war, international law Pendahuluan Sebagaimana diketahui, bahwa Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humanitarian Law merupakan bagian dari Hukum Perang,

dan hukum perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Internasional. Hukum perang merupakan bagian hukum tertua dari hukum internasional dan sebagian besar dari

Page 74: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 71

hukum perang merupakan hukum tertulis atau telah terkodifikasi. Secara sederhana HHI dapat diberi pengertian sebagai hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang (Haryomataram, 2005). Dari pengertian yang sederhana ini ada dua aktifitas bisa diperhatikan, yaitu aktifitas perang dan dan aktifitas perlindungan korban perang. Aktifitas perang dengan berbagai peraturan yang menyertainya pada kesempatan ini kita abaikan, yang perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut adalah aktifitas perlindungan korban perang berikut ketentuan yang menyertainya. Ketentuan yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam memberikan perlindungan korban perang pada dasarnya bersumberkan pada hukum internasional, baik yang berupa perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.

Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan kepada korban perang atau mereka yang terlibat dalam pertempuran secara garis besar dapat dikategorikan menjadi; Pertama, perlindungan yang diberikan kepada Kombatan (Combatant), yaitu mereka yang terlibat aktif dalam pertempuran. Bentuk perlindungan yang diberikan kepadanya yaitu status sebagai tawanan perang bila ternyata berada di tangan pihak lawan. Sebagai tawanan perang mereka harus diperlakukan secara manusiawi dan dijamin hak-hak dan kewajibannya (Konvensi Jenewa III). Kedua, perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil (Civilian population), yaitu penduduk dari pihak yang bertikai yang tidak

terlibat aktif dalam pertempuran. Bentuk perlindungan yang diberikan kepadanya berupa larangan untuk menjadikan mereka sebagai obyek atau sasaran serangan (Konvensi Jenewa IV). Ketiga, perlindungan yang diberikan kepada orang yang karena pekerjaanya harus dihormati dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan.

Perlindungan terhadap penduduk sipil sebagai akibat atau karena adanya pertikaian bersenjata pada dasarnya mendapatkan pengaturan dalam hukum humaniter. Namun, dalam perkembangannya dalam memberikan perlindungan terhadap perlindungan penduduk sipil karena adanya pertikaian bersenjata di negaranya dapat dilakukan melalui cara lain, seperti pemindahan penduduk ke wilayah yang tidak digunakan sebagai arena pertikaian, namun masih dalam wilayah negara yang bertikai (internally displaced persons = pengungsi internal), pemindahan penduduk ke wilayah negara lain yang aman (refugees = pengungsi internasional), atau melakukan perpindahan penduduk (Emigrants). Sebagaimana contoh situasi yang terjadi di Iraq pada sekitar Tahun 2003. Pada waktu itu penduduk Iraq, sekitar 1, 5 juta dicarikan tempat yang aman di luar kota Bagdad dari akibat pertikaian. Demikian juga sekitar 7.000 penduduk Iraq berstatus sebagai pencari suaka di Damaskus dan Amman. Sedangkan sebagian penduduk Iraq yang lain pergi meninggalkan kota atau negaranya menuju Syria dan Jordan sebagai Emigrant (Al Hassani, 2008). Adanya bentuk-bentuk perlindungan yang demikian tentunya

Page 75: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 72

terkait dengan salah satu prinsip atau asas dalam hukum humaniter, yaitu Prinsip Pembedaan (Distinction Principle). Prinsip ini menegaskan, bahwa penduduk suatu negara yang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata atau berperang dibedakan atas Kombatan (Combatant) dan Penduduk Sipil (Civilian Population). Latar belakang munculnya prinsip ini, untuk mengetahui siapa yang boleh turut aktif dalam pertikaian bersenjata atau perang dan siapa yang tidak; Juga untuk menentukan siapa yang dapat dijadikan sasaran obyek serangan dan siapa yang tidak. Masing-masing kelompok tersebut di samping mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, serta konsekuensi yang berbeda dalam kaitannya dengan pihak musuh. Namun, dipihak lain mempunyai hak yang sama, yaitu diperlakukan secara manusiawi. Oleh karena itu dalam situasi pertikaian bersenjata atau perang seseorang harus menentukan pilihan dia akan masuk kedalam golongan mana, seseorang pada saat yang sama tidak dapat masuk kedalam dua golongan. Berdasarkan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh hukum humaniter tersebut di atas, pada kesempatan ini akan dikaji lebih mendalam tentang perlindungan penduduk sipil, utamanya bagaimana hukum humaniter internasional memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil dalam pertikaian bersenjata, termasuk orang sipil yang karena pekerjaannya harus mendapatkan perlindungan ? Pengaturan Internasional Terhadap

Perlindungan Penduduk Sipil

Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam pertikaian bersenjata sebenarnya sudah lama menjadi perhatian negara-negara, baik yang terlibat maupun tidak dalam perang. Bahkan dalam kebiasaan berperang ditemukan asas hukum perang yang melarang penyerangan atas penduduk sipil yang tak bersenjata, sebagai orang yang berarada ”di luar perang”. Mereka membutuhkan perlindungan yang lebih positif, yaitu menghindarkan mereka dari serangan yang langsung. Sebelum lahirnya Konvensi jenewa 1949, perlindungan terhadap penduduk sipil memang sudah disinggung dalam Konvensi Den Haag, namun masih kurang lengkap dan hanya mengatur perlindungan penduduk sipil di wilayah yang diduduki. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam Konvensi Jenewa IV merupakan suatu pengaturan yang baru. Berikut akan diuraikan secara sepintas pengaturan perlindungan penduduk sipil sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, serta pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam Konvensi Jenewa 1949 berikut Protokolnya. 1. Instruksi Lieber Tahun 1863. Instruksi Lieber pada awalnya merupakan instruksi Pemerintah AS yang kemudian dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional. Menurut instruksi ini, orang sipil dibedakan kedalam tiga kelompok, yaitu: a. orang sipil yg inoffensive: mereka

mendapat perlindungan pribadi, harta dan kehormatan. Mereka

Page 76: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 73

tidak boleh dibunuh, tidak boleh dijadikan budak, dipindah paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang, dan kesucian hubungan keluarga tidak boleh dicemarkan.

b. orang sipil yg ikut serta langsung dalam permusuhan ( levee en masse) diberi kedudukan sebagai belligerent.

c. orang sipil yg terkait aktif dalam pelaksanaan tugas Angkatan Bersenjata dan bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tawanan perang.

2. Konvensi Jenewa Tahun 1864. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama yang menetapkan perlindungan bagi korban perang, yaitu mereka yang luka di medan perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Juga konvensi ini mengatur tingkah laku orang sipil dalam pertikaian bersenjata berikut perlindungannya 3. Deklarasi St. Petersburg tahun 1868. Dalam deklarasi ini sekalipun tidak secara eksplisit mengatur orang sipil, namun secara implisit menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Perlindungan diberikan dengan mencantumkan prinsip pembedaan dalam konsideran deklarasi tersebut. Menurut konsideran tersebut dikatakan bahwa satu-satunya sasaran sah yang dapat dijadikan sasaran serangan adalah melemahkan angkatan bersenjata musuh. Mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata musuh tergolong orang sipil.

4. Konvensi Den Haag Tahun 1899 dan Tahun 1907 (Konvensi Den Haag).

Konvensi Den Haag 1907 itu sebenarnya merupakan penyempurnaan Konvensi Den Haag 1899, yang mengatur Hukum dan Kebiasaan Perang di darat. Dalam Konvensi Den Haag di atur tentang Belligerents (istilah sekarang Kombatan), yaitu mereka yang ikut aktif dalam permusuhan, oleh karenanya ia tunduk pada hukum perang. Sedangkan mereka yang tidak tergolong belligerents, yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam permusuhan adalah orang sipil. Orang sipil yang berada di wilayah penduidukan harus dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan pihak musuh yang mendudukinya. Secara garis besar bentuk perlindungan terhadap orang sipil itu antara lain :

- Orang sipil tidak bisa dipaksa untuk memberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan yang bertikai, termasuk perlengkapan pertahanannya

- Mereka tidak boleh dipaksa bersumpah untuk setia kepad musuh yang menguasai

- Penghormatan hak-hak pribadi dan harta orang sipil

- Larangan penjarahan pada penduduk sipil

- Larangan pemungutan pajak dan pungutan yang sejenis secara sewenang-wenang

- Larangan penghukuman kolektif pada orang sipil

- Larangan pencabutan hak milik orang sipil secara sewenang-wenang.

Page 77: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 74

5. Konvensi Jenewa 1949 Pada dasarnya Konvensi Jenewa IV merupakan penyempurnaan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi Jenewa 1949 terdiri atas empat Konvensi. Sebagaimana di singgung di atas bahwa perlindungan terhadap penduduk sipil utamanya diatur dalam Konvensi IV. Konvensi IV dalam mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil di kelompokkan atas perlindungan umum dan perlindungan khusus. Perlindungan umum dimaksudkan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Penduduk sipil adalah orang-orang yang tidak ikut aktif dalam pertempuran. Mereka dalam segala keadaan berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan hak atas agamanya. Terhadap mereka tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 – 34, yaitu berupa tindakan-tindakan :

a. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan;

b. Melakukan tindakan penyiksaan atau sejenisnya yang menimbulkan penderitaan jasmani;

c. Melakukan tindakan intimidasi, teror, dan penjarahan;

d. Melakukan tindakan pembalasan;

e. Larangan menghalang-halangi untuk melakukan ibadah sesuai dengan agamanya;

f. Melakukan penghukuman secara kolektif, penyanderaan, penghinaan

g. Memberi kesempatan meninggalkan wilayah musuh

h. Mendapatkan jaminan makanan dan obat-obatan yang cukup;

i. Melakukan tindakan permusuhan terhadap orang sipil. Dalam kaitanya dengan

perlindungan terhadap penduduk sipil, Konvensi Jenewa mengisyaratkan pembentukan daerah keselamatan (safety zones), yaitu suatu kawasan yang terletak jauh dari medan pertempuran, untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat perang, seperti mereka yang sakit, perempuan hamil, perempuan menyusui, anak balita, orang tua. Demikian juga, perlakuan khusus harus diberikan kepada anak-anak. Mereka tidak boleh dilibatkan dalam pertempuran. Mereka harus mendapatkan bantuan dan perawatan sesuai dengan usia mereka. Lebih lagi terhadap anak yatim atau yang terpisah dengan orang tuanya harus mendapatkan perlindungan atau jaminan keselamatan. Konvensi Jenewa IV dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap penduduk sipil, juga mengatur perlindungan terhadap orang asing yang berada di wilayah pendudukan, orang-orang yang tinggal di wilayah pendudukan, dan interniran sipil. Ada suatu kemungkinan bahwa pada saat terjadinya sengketa bersenjata, diwilayah negara yang bertikai terdapat warganegara pihak musuh. Negara yang di wilayahnya terdapat orang yang berkewarganegaraan negara musuh tetap mempunyai kewajiban untuk

Page 78: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 75

memberikan penghormatan atau perlindungan. Bahkan mereka harus diberi ijin untuk meneinggalkan negara tersebut. Mereka dapat dipindahkan ke negara asal kapan saja, baik secara langsung maupun melalui pihak ketiga. Sedangkan terhadap orang-orang sipil yang tinggal di wilayah pendudukan harus dihormati hak-hak asasinya, seperti tidak boleh dipaksa bekerja untuk penguasa pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa pendudukan harus bertanggung jawab untuk pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum. Penguasa pendudukan juga harus memelihara kesejahteraan anak-anak, kebutuhan makanan dan kesehatan. Memperkenankan adanya bantuan yang datang dari luar negeri, manakala penguasa pendudukan tidak mampu memberikan jaminan yang demikian. Perlindungan umum lain yang harus dilakukan oleh pihak yang bertikai terhadap orang sipil yang diinternir, yaitu sebagaimana di atur dalam Pasal 79 – 135 Konvensi Jenewa 1949. Tindakan menginternir penduduk sipil pada dasarnya melakukan tindakan administratif, jika sekiranya terdapat alasan keamanan yang riil dan mendesak. Judi bukan merupakan suatu hukuman. Dengan demikian, sekalipun penduduk sipil diintenir mereka tidak kehilangan hak-hak sipilnya, mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka. Berdasarkan Pasal 79 Konvensi Jenewa IV, orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah (Arlina, 1999) :

a. penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang besengketa

yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan,

b. penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang besengketa yang dengan sukarela menghendaki untuk dinternir atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir,

c. penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila penguasa Pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alasan mendesak;

d. penduduk sipil yang melakukan pelanggran hukum yang secara khusus bertujuan untuk merugikan Penguasa pendudukan. Penduduk sipil di samping

memperoleh perlindungan umum dari Konvensi, juga memperoleh perlindungan khusus, yaitu ditujukan pada penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial atau kemanusiaan. Pada saat melaksanakan tugas-tugasnya, biasanya mereka mengenakan tanda khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati, yaitu diberi kesempatan atau dibiarkan melaksanakan tugas-tugasnya; dan dilindungi, yaitu mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer,

6. Protokol Tambahan 1977, Konvensi Jenewa 1949. Protokol Tambahan 1977 Konvensi Jenewa 1949 terdiri atas Protokol I tahun 1977 mengatur tentang Perlindungan Korban Pertikaian Bersenjata yang Bersifat Internasional; dan Protokol II Tahun 1977 Perlindungan Korban Pertikaian

Page 79: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 76

Bersenjata yang Bersifat non-Internasional. Dalam Protokol I tahun 1977 diatur tentang batasan pengertian orang sipil, yaitu setiap orang yang bukan anggota angkatan bersenjata pihak yang bertikai. Secara umum, perlindungan terhadap penduduk sipil dan orang sipil berupa larangan penyerangan terhadap mereka. Mereka menikmati perlindungan dari bahaya yang timbul dari operasi militer. Beradasrkan prinsip tersebut dapat dikatakan bahwa: a. penduduk sipil dan orang sipil

tidak boleh dijadikan obyek sasaran;

b. tindakan atau ancaman kekerasan yang dimaksudkan untuk menyebar teror dikalangan pendudu di larang;

c. Orang sipil akan menikmati perlindungan, kecuali bila ia turut serta aktif dalam permusuhan

Kemudian bila dilihat lebih rinci lagi mengenai bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh Protokol tambahan antara lain:

- larangan menyerang orang sipil - keharusan melakukan tindakan

penghati-hati dalam melakukan serangan, demi untuk melindungi orang sipil

- larangan melakukan kekerasan kepada orang sipil

- larangan melakukan pemindahan paksa orang sipil

- jaminan mendapatkan bantuan - harus dibolehkan memberikan

bantuan pada korban pertikaian bersenjata

- perlindungan terhadap operasi militer

- larangan menjadikan orang sipil sebagai sasaran pertikaian bersenjata

- larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian

- larangan melakukan penyerangan bangunan dan instalasi yang mengandung kekuatan berbahaya

- memberi perlindungan orang sipil yg melakukan kemanusiaan.

Dalam memberikan perlindungan kepada penduduk sipil, hukum humaniter mengenal beberapa prinsip yaitu :

Prinsip Kemanusiaan, prinsip ini menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk bertindak dengan mengutamakan aspek kemanusiaan, yaitu dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan penderitaan yang berlebihan. Ada beberapa ketentuan yang tidak boleh dilanggar dalam suatu konflik bersenjata, yaitu (Pictet, 1996) : 1. Seseorang yang telah jatuh di

tangan musuh atau salah satu pihak yang berperang, maka hak untuk hidup harus dihormati. Prinsip ini berkaitan dengan kombatan yang tertangkap musuh. Seseorang hanya boleh dibunuh pada saat orang tersebut berada dalam suatu peperangan, dimana ia siap dalam posisi untuk dibunuh.

Page 80: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 77

Bila ia tertangkap maka harus diperlakukan dengan baik.

2. Penyiksaan, penghinaan, dan hukuman yang tidak manusiawi dilarang.

3. Seseorang diakui di hadapan hukum

4. Setiap orang dihormati untuk kehormatannya, keluarganya, pendiriannya dan kebiasaan yang ia miliki

5. Jika seorang musuh tetangkap dan menderita luka, maka tawanan tersebut berhak mendapat perawatan yang layak sampai sembuh.

6. Seseorang berhak menerima kabar dari keluarganya dan menerima kiriman yang menjadi kebutuhannya

7. Seseorang tidak boleh dicabut hak miliknya.

Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) adalah prinsip yang membedakan antara kombatan dan penduduk sipil dalam wilayah negara yang sedang terjadi konflik. Kombatan adalah penduduk yang aktif turut serta dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah penduduk yang tidak turut dalam permusuhan. Prinsip ini dipandang sangat penting dalam Hukum Humaiter Internasional, karena dengan begitu dapat membedakan mana yang dapat dijadikan sasaran serang dalam permusuhan.

Prinsip Proporsional adalah prinsip yang mempunyai tujuan untuk meyeimbangkan antara kepentiangan militer dan resiko yang akan diderita oleh

penduduk sipil. Prinsip ini diatur dalam Protokol Tambahan I 1977 Sub Bagian II (F. Sugeng Istanto, 1998).

Prinsip Larangan untuk Menyebabkan Penderitaan yang Berlebihan, pada prinsip ini erat kaitannya dengan prinsip kemanusiaan. Karena pihak yang bersengketa dilarang menimbulkan penderitaan yang berlebihan.

Prinsip Kepentingan Militer, dalam prinsip ini ditentukan mengenai kewajiban para pihak dalam menggunakan kekuatan militer haruslah sesuai hukum. Dalam penggunaan prinsip harus melalui lima tahap yang kesemuanya haruslah dipenuhi tanpa terkecuali, yaitu: a) Tindakan yang dilakukan

tidak melanggar ketentuan Hukum Humaniter Internasional;

b) Harus benar-benar ada keharusan unrtuk melakukan tindakan tersebut;

c) Tindakan yang dilakukan dalah paling tepat untuk meraih keuntungan yang diharapkan pada saat itu;

d) Akibat dari tindakan tersebut telah memenuhi prinsip proporsionalitas;

e) Cara yang diambil sudah melalui pertimbangan segala aspek yang terkait.

Dari kelima tahap tersebut diatas, memang sangatlah penting untuk dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan permusuhan, karena sangat dimungkinkan korban yang ditrimbulkan akibat pertikaian

Page 81: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 78

tersebut sangat banyak dan meluas. Untuk itulah aspek kemanusiaan sangat dipentingkan dan mendapat perhatian yang utama karena menyangkut hak-hak hidup yang dimiliki oleh setiap manusia.

Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) Prinsip pembedaan (Distinction Principle) adalah prinsip penting dalam hukum humaniter, yaitu suatu prinsip yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan yaitu Combatant dan Penduduk Sipil. Combatant adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak dijadikan obyek kekerasan. Ini sangat penting ditekankan karena sebenarnya perang hanya berlaku anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam permusuhan itu harus dilindungi dari tindakan-tindakan tersebut. Menurut Jean Pictet dalam buku Arlina Permanasari, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan, yang menyatakan ’the civilian population and invidual civilian shall

enjoy general protection againts danger arising from military operation’. Dalam prinsip ini diperlukan penjabaran atau implementasi lebih lanjut ke dalam beberapa asas pelaksanaan yang selanjutnya disebut sebagai prinsip pelaksanaan (principles of application), yakni :

a) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan anatara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.

b) Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal reprisal.

c) Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.

d) Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan dan memungkinkan untuk penyelamatan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak disengaja menjadi sekecil mungkin.

e) Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. Sebagaimana yang telah

dijabarkan diatas, meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada saat konflik bersenjata, tetapi secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para anggota angkatan

Page 82: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 79

bersenjata atau kombatan dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Karena dengan adanya prinsip pembedaan ini, akan diketahui siapa saja yang boleh turut serta dalam permusuhan dan boleh dijadikan obyek kekerasan dan siapa yang tidak boleh turut dalam permusuhan dan tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dengan adanya prinsip pembedaan ini, jadi diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya pelanggraan yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil.

Dalam Hukum Humaniter Internasional, diatur pula mengenai pemberian perlindungan terhadap penduduk sipil berdasarkan klasifikasi-klasifikasi ukuran tertentu pada saat terjadi koflik bersenjata yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata, yaitu meliputi :

a. Pengaturan tentang kawasan-kawasan yang berada dalam wilayah sengketa., antara lain : 1. Rumah Sakit dan kawasan,

serta lokasi yang aman bebas dari serangan ketika terjadi permusuhan (pasal 14 Konvensi Jenewa 1949).

2. Kawasan yang dinetralkan (pasal 15 Konvensi Jenewa 1949).

3. Kawasan khusus berdasarkan persetujuan tertentu yang ditujukan untuk mengevakuasi korban perang (pasal 17 Konvensi Jenewa 1949).

b. Pengaturan tentang perlindungan terhadap instalasi dan personil medis, antara lain:

1. larangan penyerangan terhadap rumah sakit umum (pasal 18 Konvensi Jenewa 1949).

2. Perlindungan yang diberikan kepada petugas rumah sakit atau anggota dinas kesehatan (pasal 20 Konvensi Jenewa 1949).

3. perlindungan yang ditujukan terhadap pesawat atau angkutan kesehatan (pasal 21 dan pasal 22 Konvensi Jenewa 1949), yang meliputi pengriman bantuan kemanusiaan/obat-obatan (pasal 23 Konvensi Jenewa 1949)

c. Perlindungan bagi orang-orang yang dalam kondisi tertentu, yaitu : 1. orang-orang yang

mengalami luka atau sakit dan orang-orang yang lemah serta wanita yang sedang dalam keadaan hamil pada saat terjadi permusuhan (pasal 23 Konvensi Jenewa 1949).

2. anak-anak yang terpisah dari keluarganya dan yatim piatu (pasal 24 Konvensi Jenewa 1949), maupun anggota keluarga yang kehilangan famili atau saudara kandung (pasal 26 Konvensi Jenewa 1949).

Sesuai yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27 samapai dengan pasal 34 Konvensi IV, terhadap

Page 83: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 80

mereka (penduduk sipil) tidak boleh melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

a. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan;

b. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani;

c. Menjatuhkan hukuman kolektif; d. Melakukan intimidasi, terorisme

dan perampokan; e. Melakukan pembalasan

(reprisal); f. Menjadikan merka sebagai

sandera; g. Melakukan tindakan yang

menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang-orang yang dilindungi.

Penegakan Hukum Humaniter

Penegakan hukum bertujuan untuk menjaga agar hukum itu dipatuhi. Penegakan hukum dapat dilakukan dengan paling tidak dua cara, yaitu : pertama, menumbuhkan kesadaran hukum, dan kedua, dengan cara yang bersifat ancaman atau paksaan, (Mieke Komar Kantaatmadja, 1994). Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dalam penegakan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Namun, dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakannya (Sudikno Mertokusumo, 1991).

Demikian juga atas berlakunya hukum humaniter, yang merupakan bagian dari hukum internasional, diperlukan upaya-upaya tertentu agar pihak-pihak yang bertikai mau mengindahkan dan mematuhinya. Sehingga tujuan dari hukum humaniter tersebut akan tercapai, yaitu memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang menjadi korban pertikaian bersenjata. Adapun upaya-upaya tersebut antara lain: 1. Menumbuhkan kesadaran.

Upaya yang demikian berkait dengan kewajiban negara yang telah meratifikasi, utamanya Konvensi Jenewa 1949 berikut Protokol Tambahan. Dalam hukum perjanjian internasional di katakan bahwa bagi negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian internasional, mempunyai kewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian internasional di bentuk. Sedangkan bagi negara yang tidak menjadi pihak pada suatu perjanjian internasional, bila perjanjian internasional itu telah berlaku efektif dalam masyarakat internasional, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip umum atau dasar dalam perjanjian tersebut telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. Lebih-lebih atas Konvensi Jenewa 1949, yang di dalamnya mengandung prinsip-prinsip kemanusiaan atau berkaitan erat dengan masalah kemanusiaan (HAM), maka prinsip-prinip umum atau dasar dalam Konvensi Jenewa 1949 telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional, yang berarti mengikat pada semua negara yang terlibat dalam

Page 84: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 81

pertikaian bersenjata. Bila suatu negara melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional maupun kebiasaan internasional, dapat dikatakan ia melanggar kewajiban internasional.

Dalam rangka menumbuhkan kesadaran, yang utamanya ditujukan pada negara sebagai pihak yang bertikai, namun dalam realisasinya menumbuhkan kesaradan ini termasuk di dalamnya menumbuhkan kesadaran bagi angkatan bersenjata dan atau warganegara atau penduduk suatu negara. Tentunya hal ini sejalan dengan amanah dari Konvensi Jenewa 1949, bahwa negara dalam situasi damai supaya mengadakan penyebar luasan isi Konvensi kepada penduduk negara.

2. Melakukan Ancaman atau Paksaan Tindakan ancaman dimaksudkan agar dengan tindakan tertentu pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter kembali mentaati hukum humaniter. Bila dengan ancaman ternyata tidak berhasil mengembalikan negara untuk mentaati hukum humaniter, maka negara dapat mengambil tindakan paksa. Tindakan ancaman atau pemaksaan yang dapat dilakukan oleh suatu negara antara lain: a. melakukan tindakan reprisal. Reprisal atau tindakan pembalasan, yang sebenarnya merupakan suatu tindakan yang dianggap melanggar hukum internasional dan dilarang, sebagaimana yang diatur antara lain dalam Pasal 46 Konvensi I, Pasal 47 Konvensi II, Pasal 13 Konvensi Jenewa

III, Pasal 33 Konvensi IV, Pasal 51 paragraf 6 Protoko lI – 1977. Namun dalam batas-batas tertentu reprisal masih dibolehkan, sepenjang memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Reprisal baru boleh dilaksanakan bila sarana-sarana lain sudah tidak ada lagi,

2) Reprisal dilakukan sebagai upaya untuk mencegah pihak lawan melakukan lagi tindakan yang bertentangan dengan hukum perang,

3) Reprisal yang dilakukan tidak perlu sama dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak lawan dan bertentangan dengan hukum,

4) Reprisal tidak boleh dilakukan secara berlebihan atau melebihi kekerasan yang dilakukan oleh lawan,

5) Reprisal harus diperintahkan oleh seorang komandan yang diberi wewenang untuk itu,

6) Reprisal againts (menentang atau melanggar), dilarang.

b. Mengadili. Dalam konteks proses peradilan, pada dasarnya mengadili mereka yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter adalah minta pertanggung jawaban kepada pihak yang melakukan pelanggaran melalui lembaga pengadilan, dan sekaligus menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan tertentu dari hukum humaniter. Pelanggaran terhadap hukum humaniter dapat dilakukan oleh negara atau individu. Sehingga siapapun yang

Page 85: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 82

melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter harus mempertanggung jawabkan perbuatannya melalui pengadilan. Bila yang melakukan pelanggaran hukum humaniter adalah negara, maka negara yang merasa dirugikan bisa mengajukan tuntutan melalui pengadilan internasional. Walaupun dalam rangka penyelesaian sengketa antar negara, penyelesaian melalui pengadilan bukan merupakan satu-satunya cara. Bila yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter adalah individu atau orang perseorangan, maka individu yang bersangkutan dapat dimintai pertanggung jawaban secara individual di depan pengadilan, baik pengadilan nasional maupun pengadilan internasional. Pengadilan internasional dapat bersifat ad-hoc maupun permanen. Penutup Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa:

1. Perlindungan terhadap orang sipil dalam pertikaian bersenjata sudah lama mendapatkan pengaturan dalam hukum internasional, baik melalui perjanjian internasional maupun melalui hukum kebiasaan internasional.

2. Pada masing-masing perjanjian internasional telah mengatur secara rinsci tentang perlindungan orang sipil dalam pertikaian bersenjata.

3. Perlindungan orang sipil dalam pertikaian bersenjata berlandaskan prinsip

kemanusiaan. Hal ini untuk menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martaban manusia.

4. Yang masih perlu mendapatkan perhatian adalah sikap negara-negara pihak dalam pertikaian bersenjata, yang masih kurang menjunjung tinggi dan menghormati orang-orang sipil sebagai pihak yang harus dilindungi.

Daftar Pustaka Al Hassani, Zouhair, 2008, International

Humanitarian Law and its Implementation in Iraq, International Review of the Red Cross, Volume 90 Number 869 March 2008.

F. Sugeng Istanto, 1998, Bahan Ajar Hukum Humaniter Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

J. Pictet, 1996, The Principles of International Humanitarian Law, ICRC, Geneva.

Kantaatmadja, Mieke Komar, 1994, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, Mandar Maju, Bandung.

Konvensi I mengatur tentang Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat.

Konvensi II mengatur Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, sakit dan Korban Karam.

Page 86: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja| 83

Konvensi III mengatur Perlakuan tawanan Perang.

Konvensi IV mengatur Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang.

Konvensi Jenewa III tentang Perlindungan Terhadap Tawanan Perang

Konvensi Jenewa IV Perlindungan terhadap Penduduk Sipil

Mertokusumo, Sudikno, 1991, Penemuan Hukum dan Penegakan Hukum, Bahan Penataran, Yogyakarta.

Permanasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.

www.detik.com, Serangan Israel Terhadap Palestina Dikecam Dunia Internasional, 15 Juli 2014, diakses tanggal 18 Desember 2014

Page 87: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 84

LEMBAGA NEGARA PEMBENTUK UNDANG-UNDANG

Ni Putu Niti Suari Giri Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Bali

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui mengenai lembaga negara pembentuk undang-undang. Penelitian ini mengkaji Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dan sesudah amandemen, juga mengkaji dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Bahan atau data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan mencari dan mengumpulkan bahan yang berasal dari data kepustakaan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lembaga negara pembentuk undang-undang adalah lembaga negara yang ikut dalam proses pembentukan undang-undang, yaitu terdiri dari DPR, Presiden dan DPD. Hanya saja kekuasaan untuk membentuk undang-undang,berada ditangan DPR.

Kata Kunci :Lembaga Negara, Undang-Undang, Kekuasaan, DPR, Presiden, DPD

ABSTRACT This study was conducted to find out about the institutions state legislature. This

study examine the association the Constitution 1945 before the amandement and after amandement, also review by Act No. 12 of 2011 Concerning the Establishment of Regulatory Legislation.

The method used in this study, using normative juridical research method. Materials or data that is used to address the issue discussed in this study, to find and collect ingredients derived from literature data.

The result of this study indicate that the state legislature is the state institution that participates in the formation of la, which is composed of DPR, President and DPD. The power to legislate, belongs to DPR.

Keywords : State institution, The Law, power, DPR, President, DPD Pendahuluan

Awal mula mengenai kelembagaan negara adalah teori kekuasaan dalam negara. Terdapat tiga kekuasaan utama yang ada dalam suatu negara agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Teori mengenai tiga kekuasaan negara ini, diawali

dengan adanya pendapat dari John Locke yang memisahkan tiga kekuasaan negara menjadi Kekuasaan Legislatif (merupakan kekuasaan yang untuk membentuk atau membuat aturan), Kekuasaan Eksekutif (yaitu kekuasaan untuk menjalankan aturan) dan Kekuasaan Federatif (kekuasaan

Page 88: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 85

yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri atau kerja sama dengan negara lain). Kemudian Montesqueue mengemukakan pendapatnya mengenai Trias Politica yang membagi tiga kekuasaan negara menjadi Kekuasaan Legislatif (kekuasaan untuk membentuk aturan), Kekuasaan Eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan atau melaksanakan aturan yang telah dibuat) dan terakhir adalah Kekuasaan Yudisial (yaitu kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili apabila terjadi penyimpangan dari pelaksanaaan aturan tersebut).

Dalam Bahasa Belanda, lembaga negara disebut dengan staatorgaan yang dalam Kamus Hukum Belanda-Indonesia, staatorgaan diterjemahkan sebagai alat kelengkapan negara. Hans Kelsen mengemukakan mengenai konsep organ negara dalam arti yang luas yaitu barang siapa yang menjalankan suatu fungsi yang ditetapkan oleh tata hukum adalah suatu organ. Fungsi yang dimaksud, baik berupa fungsi pembuatan norma atau fungsi dari penerapan norma, yang pada akhirnya ditujukan kepada pelaksanaan sanksi hukum. Jadi berdasarkan pengertian tersebut, organ adalah individu yang menjalankan suatu fungsi tertentu yang mana kualitas seseorang dibentuk oleh fungsinya. Seperti lembaga legislatif, sebagai lembaga yang menetapkan aturan (fungsi legislasi), yang mana lembaga ini dipilih oleh rakyat, presiden yang menjalankan fungsi pemerintahan atau hakim yang menghukum pelaku kejahatan (fungsi yudisial). Kemudian Hans Kelsen juga mengemukakan mengenai konsep

organ yang lebih sempit (secara material) yang lebih menekankan pada pegawai negeri yang menempati kedudukan tertentu dan menjalankan fungsi organ negara. Hakim merupakan kategori organ negara dalam pengertian material ini, karena hakim diangkat merupakan pegawai negeri yang menjalankan fungsi yudisial sedangkan untuk presiden dan lembaga legislatif bukan pegawai negeri (Hans Kelsen, 2007).

Dilihat dari segi konsep, tujuan dibentuknya lembaga negara adalah untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau menyelenggaraan fungsi negara. Lembaga-lembaga negara tersebut harus bekerja sama sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang yang oleh Prof. Sri Soemantri diistilahkan dengan actual governmental process (Firmansyah Arifin et. Al, 2005).

Perkembangan lembaga negara di Indonesia, terdapat perubahan yang sangat signifikan antara masa sebelum amandamen dengan setelah diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum diamandemen, tidak ada ketentuan mengenai istilah lembaga negara sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasi dan memaknai lembaga penyelenggara negara. Konstitusi RIS 1949 menggunakan istilah alat-alat kelengkapan federal. Istilah badan secara konsisten dipergunakan dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Peristilahan lembaga negara banyak muncul dalam ketetapan-ketetapan MPR, sehingga mulai

Page 89: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 86

ditemukannya konsep lembaga negara di Indonesia yang membagi kedudukan lembaga negara ke dalam dua kategori yaitu lembaga tertinggi negara (MPR) dan lembaga tinggi negara (Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA) (Firmansyah Arifin et. Al, 2005).

Setelah amandemen Undang-Undnag dasar 1945, penataan sistem kelembagaan negara pun dilakukan. Penataan tersebut dilakukan melalui perubahan fungsi dan wewenang beberapa lembaga negara ataupun dengan pembentukan lembaga negara baru, yang mengakibatkan biasnya konsep lembaga negara yang menimbulkan berbagai macam penafsiran. Salah satu penafsiran tersebut, membagi lembaga negara ke dalam dua kategori. Pertama, kategori lembaga negara utama (main state’s organ) yaitu MPR, DPR, DPD, Presiden. MA dan MK. Kedua, kategori lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ) yaitu lembaga-lembaga negara di luar ke enam lembaga negara utama (Firmansyah Arifin et. Al, 2005).

Undang-Undang Dasar 1945 yang telah mengalami amandemen sebanyak empat kali, yang sekarang disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menganut Teori Pembagian Kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa lembaga negara yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memiliki kekuasaan seperti yang dinyatakan dalam Teori Pembagian Kekuasaan. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah DPR sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan legislatif, Presiden sebagai lembaga

negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, kemudian MA dan MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan yudisial. Ketiga lembaga tersebut memiliki wewenang, tugas dan fungsinya masing-masing di dalam pemerintahan yang telah diatur di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi dengan adanya lembaga-lembaga negara tersebut diharapkan pemerintahan Indonesia dapat berjalan dengan baik, karena telah ada lembaga-lembaga negara yang membuat aturan, melaksanakan aturan dan mengawasi jalannya pelaksanaan aturan itu.

Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden diatur di dalam Bab III (Kekuasaan Pemerintahan Negara). Mengenai kekuasaan yang dimiliki oleh DPR diatur dalam Bab VII (Dewan Perwakilan Rakyat). Mengenai kekuasaan yang dimiliki oleh MA diatur dalam Bab IX (Kekuasaan Kehakiman).

Pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Dikaitkan dengan Teori Pembagian Kekuasaan tersebut, maka DPR merupakan lembaga legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang, sedangkan Presiden sebagai lembaga eksekutif, dalam teori pembagian kekuasaan memiliki kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Kemudian pada Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), mengenai keterlibatan

Page 90: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 87

Presiden di dalam pembentukan undang-undang, yaitu pada Pasal 20 ayat (2) mengatur bahwa rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Selanjutnya Pasal 20 ayat (4) mengatur bahwa rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disahkan oleh Presiden, Juga Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi di sini terlihat, Presiden mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan suatu undang-undang. Bila ditinjau dari sudut formulasi norma Pasal 20 ayat (1) , secara jelas mengatur Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan Presiden. Namun pada Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) muncul kata Presiden. Jadi antara Pasal 20 ayat (1) dengan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), terjadi kekaburan dan ketidaksinkronnan norma mengenai kekuasaan dari lembaga legislatif dengan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden dalam ikut membentuk undang-undang sehinnga Presiden juga seolah-olah memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang.

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukumdalam lingkup hukum kelembagaan negara Indonesia untuk berusaha menemukan apakahyang dimaksud dengan “Lembaga Negara Pembentuk Undang-Undang”.

Pembahasan Sebelum membahas lebih jauh

mengenai apa yang dimaksud dengan lembaga pembentuk undang-undang, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dari pembentukan undang-undang itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 angka 1 ini mengatur bahwa yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

Apabila dikaitkan dengan pembentukan sebuah aturan yang baik, proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut sudah mencakup ketujuh kriteria atau kategori yang dikemukakan oleh Ann Seidmann, Robert R. Seidmann dan Nalin Abeyserkere dalam teorinya yang disebut dengan Teori ROCCIPI. Teori ini merupakan identifikasi tujuh faktor yang seringkali menimbulkan masalah yang berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Ketujuh kategori ini dapat digunakan untuk mendapatkan masukan tentang proposisi penjelasan yang dapat diuji dan saling berkaitan, yang terdiri dari Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Proses),dan Ideology (Ideologi) (Ann Seidman, Robert B. Seidmann dan Nalin Abeyserkere, 2002).

Page 91: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 88

Kategori-kategori ROCCIPI ini dibagi kembali menjadi dua kelompok faktor penyebab, yaitu Faktor Subjektif dan Faktor Objektif. Faktor subjektif berkaitan dengan factor apa yang ada dalam benak para pelaku peran, yaitu berupa kepentingan-kepentingan mereka (Interest) dan ideologi-ideologi yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap mereka (Ideology). Hal-hal ini merupakan apa yang awalnya diidentifikasikan kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai alasan dari perilaku masyarakat. Kemudiann untuk kategori faktor objektif terdiri dari Rule, Opportunity, Capacity, Communication dan Process. Faktor objektif ini lebih memusatkan perhatian pada factor penyebab perilaku kelembagaan yang menghambat pemerintahan yang bersih.

Berdasarkan pengaturan Pasal 1 Angka 1 tersebut, terdapat lima tahapan di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu : 1. Tahapan Perencanaan

Laporan hasil penelitian dari pembuat undang-undang harus dimulai dengan memberikan fakta-fakta untuk membuktikan hipotesa deskriptif tentang gambaran manifestasi dari kesulitan tersebut dengan maksud membuat RUU yang efektif. Laporan juga harus menyebutkan perilaku siapa dan yang bagaimana yang menggambarkan kesulitan tersebut.

Tahapan perencanaan ini, merupakan tahapan yang dilakukan oleh lembaga pembentuk undang-undang untuk menentukan rancangan undang-undang apa saja yang akan diprioritaskan akan dibentuk. Rancangan undang-undang yang akan

diprioritaskan tersebut dituangkan ke dalam Prolegnas untuk setahun ke depan. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, mengatur bahwa perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas ini disusun oleh DPR dan Pemerintah. Hasil dari penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dan Pemerintah dibahas bersama yang kemudian pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPR melalui Badan Legislasi. Pasal 19 nya mengatur pada ayat (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya dan ayat (2) nya mengatur mengenai materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-Undangan merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan.

Pada tahapan ini juga merupakan tahapan penyiapan dari naskah akademik, karena berdasarkan pengaturanPasal 19 ayat (3) yaitu materi yang diatur mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan.yang telah melalui pengkajian dan penyelerasan dituangkan ke dalam Naskah Akademik. Juga Pasal 43 ayat (3) mengatur Rancangan Undang-Undang

Page 92: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 89

yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. 2. Tahapan Penyusunan

Tahapan ini merupakan tahapan penyusunan dari hasil penelitian dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap rancangan undnag-undnag yang akan diajukan. Penyusunan terhadadap perumusan norma dalam pasal rancangan undang-undang berdasarkan hasil pengkajian dalam naskah akademik. Untuk mentransformasikan naskah akademik ke dalam bentuk pasal-pasal, perumusan suatu pasal dalam RUU menurut Made Subawa perumusan satu pasal dalam suatu aturan haruslah mengandung satu norma, berdasarkan pendapat dari Philipus M. Hadjon yang dikutip dari acara dengar pendapat dengan para pakar pada tanggal 6 Desember 1999 dengan panitian Ad Hoc I Badan Pekerja MPR di Jakarta, yaitu (Made Subawa, 2003) :

“….. salah satu prinsip dasar di dalam perumusan satu pasal bahwa rumusan itu harus ada kepastian, dapat diterapkan …..”

“Patokannya dalam merumuskan Pasal itu, jangan lupa satu Pasal itu satu norma, sehingga pembagian harus tahu apa dibagi dalam ayat, dalam huruf atau kedalam angka itu hal-hal teknis perlu diperhatikan.”

Sehingga untuk merumuskan pasal-pasal dalam rancangan undang-undang yang berasal dari isi naskah akademik haru benar-benar memperhatikan perumusan satu pasal satu norma ini. Agar nantinya setelah menjadi undang-undang, tidak menghasilkan pasal-pasal yang pengaturannya menafsirkan hal yang ganda atau bertentangan.

3. Tahapan Pembahasan Laporan hasil penelitian pembuat

rancangan harus secara sistematis mengusulkan menguji pilihan-pilihan hipotesa penjelasan tentang sebab-sebab perilaku bermasalah dari pelaku peran. Juga untuk membenarkan hipotesis tersebut, laporan harus mengatur bukti-bukti untuk menunjukkan faktor-faktor khusus yang menyebabkan perilaku tersebut (Ann Seidman, Robert B. Seidmann dan Nalin Abeyserkere; 112).

Pada tahap pembahasan ini, berdasarkan pengaturan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. DPD juga dapat ikut membahas RUU, hanya yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (Pasal 22D ayat (2)). 4. Tahapan Pengesahan atau Penetapan

Setelah sebuah RUU mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, tahap selanjutnya adalah pengesahan. Presiden mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang dengan membubukan tanda tangan. 5. Tahapan Pengundangan

Tahapan terakhir yaitu pengundangan. Undang-undang yang telah disahkan diundangkan dengan menempatkannya ke dalam Lembaran

Page 93: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 90

Negara Republik Indonesia. Setelah diundangkan dan dilaksanakannya suatu undang-undang, maka para pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan apakah pelaku sosial (termasuk lembaga pelaksana yang ditunjuk) berperilaku sebagaimana ditentukan dan akan menghasilkan akibat yang diharapkan (Ann Seidman, Robert B. Seidmann dan Nalin Abeyserkere; 113).

Berpijak dari Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, jadi terlihat jelas bahwa DPR merupakan lembaga negara yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Akan tetapi, apabila dilihat dari pengajuan rancangan undang-undang dan keikutsertaan, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22D ayat (1), Presiden dan DPD dapat dikatakan sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan ketiga lembaga tersebut di dalam proses pembentukan undang-undang. 1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Sebelum adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar,1945 kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang berada di tangan Presiden. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan pada Pasal 20 ayat (1) berbunyi “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Jadi dapat dikatakan berdasarkan bunyi pasal

tersebut, Presidenlah yang sebagai lembaga legislatif dan DPR hanya memiliki kekuasaan untuk memberikan persetujuan semata di dalam pembentukan undang-undang.

Kemudian pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara 1945 setelah amandemen berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-undang”. Lalu pada Pasal 20 ayat (2) berbunyi “Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”.

Pengalihan kekusaan membentuk undang-undang dari tangan Presiden ke tangan DPR dalam Undang-Undang Dasar 1945 ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan. Terlihat dengan adanya pembagian kekuasaan yang jelas terhadap lembaga legislatif yang berada di tangan DPR dan lembaga eksekutif yang dipegang oleh Presiden. Dalam Undang-Undang Dasar sebelum amandemen, dinyatakan DPR hanya memiliki tugas untuk menyetujui undang-undang saja dan kekuasaan membentuk undang-undang ada di tangan Presiden sedangkan setelah amandemen, kekuasaan membentuk undang-undang telah dialihkan dari tangan Presiden kepada DPR. 2. Presiden

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam pasal tersebut, yang dimaksudkan dengan

Page 94: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 91

Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, yaitu menunjuk kepada pengertian Presiden menurut sistem pemerintahan presidensiil. Pada pemerintahan presidensiil, tidak terdapat perbedaan antara Presiden yang berkedudukan sebagai kepala negara dan Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan. Presiden adalah Presiden, yaitu merupakan jabatan yang memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut undang-undang dasar. Akibat adanya pengakuan atas kedua kedudukan Presiden yaitu baik sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, menyebabkan timbulnya kebutuhan yuridis untuk membedakan keduanya dalam pengaturan terhadap hal-hal yang lebih teknis dan operasional. Kapasitas Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak dapat dipisahkan (Jimly Asshiiddiqie, 2006).

Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen mengatur RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Makna dari kata mendapat persetujuan bersama ini, dapat dikatakan mirip dengan pola yang dianut oleh Belanda, karena istilah bersama-sama ini di Belanda terdapat dalam art. 81 Grondwet yang disebut dengan cowetgeving atau medewetgeving, sehingga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem pembentukan undang-undang secara medewetgeving (Philipus M. hadjon, 1999).

Presiden hanya memiliki keuasaan untuk menjalankan pemerintahan sebagai lembaga

eksekutif. DPR lah yang merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan legislatif. Kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden di dalam proses pembentukan undang-undang hanya berupa; dapat menyampaikan rancangan undang-undang, membahas rancangan undang-undang bersama DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama dan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui menjadi undang-undang, yang memang itu merupakan bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden sebagai lembaga yang memegang kekuasaan menjalankan pemerintahan. 3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

DPD awalnya dibentuk dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi sistem dua kamar atau bicameral yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan adanya DPD diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR adalah cerminan representasi politik, sedangkan DPD cerminan prinsip representasi teritorial atau regional (Jimly Asshiiddiqie, 141).

Kedudukan DPD sama dengan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perbedaannya, hanya terletak pada penekanan posisi anggota DPD sebagai wakil dan representatif dari daerah. Pembentukan DPD sendiri bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional, khususnya yang terkait dengan kepentingan daerah. Meskipun

Page 95: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 92

dalam struktur kenegaraan kedudukan DPD sejajar dengan DPR, tapi kewenangan yang dimiliki oleh DPD sangat terbatas (Firmansyah Arifin; 75).

Mengenai kekuasaan yang dimiliki oleh DPD disebutkan dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada ayat (1) dinyatakan DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan derah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Jadi DPD hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah saja.

Kemudian pada Pasal 22D ayat (2) disebutkan bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan derah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Sehingga dapat dilihat kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya sebatas membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan daerah saja.

Penutup Berdasarkan uraian dari

permasalahan, sehingga dapat disimpulkan dari pembahasan permasalahan, yaitu:

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPR adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Akan tetapi jika dilihat dari proses atau mekanisme pembentukan undang- undang itu sendiri dapat dilihat ada beberapa lembaga negara yang terlibat selain DPR, yaitu Presiden dan DPD. Presiden dan DPD di sini perannya sebagai lembaga negara pembentuk undang-undang yang membantu tugas dari DPR di dalam proses pembentukan undang-undang.Kekuasaan untuk membentuk undang-undang, tetap berada ditangan DPR.

Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan uraian dari kesimpulan tersebut di atas, yaitu :

Sebaiknya dalam perumusan suatu pasal sebuah peraturan perundang-undangan hendaknya dibuat satu pasal itu menganut satu norma. Jangan sampai dalm satu pasal terdapat pemuatan lebih dari satu norma yang akhirnya dapat menyebabkan salah tafsir akibat dari ketidakjelasan pengaturannya.

Daftar Pustaka Buku- Buku Anwar, Chairul, 1999, Konstitusi Dan

Kelembagaan Negara, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta.

Page 96: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 93

Arifin, Firmansyah et. Al., 2005, Lembaga Negara Dan Sengketa Wewenang Antar Lembaga Negara, cet. I, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2004, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

_______,2006, Perkembangan Dan Konsiliasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

_______, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kelsen,Hans, 2007,Teori Umum Hukum Dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Bee Media Indonesia, Jakarta.

Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta Selatan.

Pieris, John dan Aryanthi Baramuli Putri, 2006, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia : Studi, Analisis, Kritik Dan Solusi Kajian Hukum Dan Politik, cet. II. Pelangi Cendekia, Jakarta.

Seidman, Ann, Robert B. Seidmann dan Nalin Abeyserkere, 2002, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam

Perubahan Masyarakat Yang Demokratis : Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, terjemahan Johanes Usfunan, et. al., ELIPS.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2006,Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta.

_______, 2007, Ilmu Perundang-Undangan : Proses Dan Teknik Pembentukannya. Kanisius, Bandung.

Jurnal/Makalah Philipus M. Hadjonet. Al., 1999, Majalah

Yuridika Volume 14 Nomor 6 November-Desember 1999.

Karya Ilmiah Subawa, Made, 2003, “Implikasi

Yurudis Pengalihan Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945” Disertasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

Page 97: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha | 94

RELEVANSI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN PERKEMBANGAN HUKUM EKSTRADISI INTERNASIONAL

(STUDI KASUS : PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA-SINGAPURA)

Syarifuddin Magister Hukum Kenegaraan

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Email : [email protected]

ABSTRAK

Beberapa tahun terakhir ini, koruptor semakin kreatif dengan melakukan tindak korupsi di negara asalnya dan melarikan diri ke negara lain berikut dengan aset-aset yang telah diambilnya ditanam di negara tempatnya bersembunyi. Kehadiran orang tersebut kenegara lain adalah untuk menghindari upaya penangkapan atas dirinya sehubungan dengan kejahatan yang telah dilakukannya di negara asal. Dengan larinya orang tersebut ke negara lain, ini berarti ada negara lain yang kepentingannya dirugikan karena tidak dapat menangkap orang tersebut, padahal orang tersebut telah melakukan pelanggaran hukum. Komitmen masyarakat internasional untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan lintas batas melalui kerjasama internasional dapat terlihat dari instrument-instrumen hukum internasional yang lahir belakangan ini, baik yang bersifat hard law maupun soft law. Salah satunya adanya perjanjian ekstradisi. Pada 27 April 2007, pemerintah Republik Indonesia dengan gagah berani menandatangani perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement) dengan Singapura.

Dengan adanya lembaga ekstradisi ini maka pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain diharapkan tidak akan lepas dari jangkauan hukum. Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah permasalahan mengenai: Apakah norma-norma yang ada dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi masih relevan dan selaras/harmonis dengan perkembangan hukum ekstradisi internasional dalam hal ini perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pendekatan normatif yang bersifat Library Research (penelitian Kepustakaan) dan deskriptif, penulisan ini menggunakan data sekunder dengan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku maupun karya ilmiah, serta bahan hukum tersier berupa kamus. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode analisa data secara kualitatif yang bersifat perspektif analitis.

Kata Kunci : Ekstradisi, Hukum, Undang-Undang No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi

ABSTRACT

These last few years, criminals increasingly creative with the acts of corruption in his home country and fled to another country following the assets that have been planted in the country took place in hiding. The presence of these people to other countries is to avoid attempts to arrest him in connection with these crimes in the country of origin. With the flight of these people to other countries, this means that there are other countries whose interests are harmed because they can not catch the person, even though the person has committed a violation of law. International community's commitment to combat cross-border crimes through international cooperation can be seen from the international legal instruments that were born recently, both hard law and soft law. One was an extradition

Page 98: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 95

treaty. On 27 April 2007, the government of the Republic of Indonesia bravely signed an extradition treaty and defense cooperation agreement (Defense Cooperation Agreement) with Singapore.

With the institution of extradition is the criminals who flee to another country is not expected to be out of reach of the law. In this study, which will be discussed is the problem of: Is the norms contained in Law No. 1 1979 On Extradition is still relevant and aligned / harmonized with the development of international extradition law in this respect the extradition treaty between Indonesia and Singapore. This research was conducted by approaching normative Library Research (Research Library) and descriptive writing this using secondary data with primary legal materials in the form of legislation, secondary legal materials such as books and scientific papers, as well as tertiary legal materials such as dictionaries , Analysis was done using qualitative data analysis method that is both analytical perspective. Keywords: Extradition Law, Act 1 of 1979 On Extraditio.

Page 99: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 96

Pendahuluan Setiap negara mempunyai

tujuan yang ingin dicapai secara umum berupa kesejahteraan bagi warga negaranya. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, suatu negara melaksanakan pembangunan di berbagai bidang yang memerlukan dukungan dana cukup besar yang bersumber dari keuangan negara yang tersedia sangat mempengaruhi keberhasilan suatu negara dalam mencapai tujuannya (Kejaksaan Tinggi Sumbar ). Disadari bahwa dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan telah terjadi penyalahgunaan, penyimpangan keuagan negara yang menguntungkan atau memperkaya oknum tertentu dan atau dilakukan oleh penyelenggara dengan para pengusaha dan atau pihak lain yang akibatnya dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan, penuntutan dan peradilan (Romli Atmasasmita, 2007).

Dalam konteks internasional untuk melawan tindakan korupsi tersebut, mayoritas negara telah bersepakat untuk mengadakan kerjasama internasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengikuti perkembangan pencegahan tindak pidana korupsi tersebut dengan bergabung dalam badan-badan atau organisasi internasional serta telah menandatangani beberapa konvensi internasional anti korupsi, seperti

Konvensi PBB Anti Korupsi, yang kemudian disebut UNCAC (United Nation Convention Against Coruuption) dan diratifikasi dengan UU No.7 tahun 2006 oleh Indonesia dan G-20 (Working Group on Anti Corruption-WGAC).

Beberapa tahun terakhir ini, koruptor semakin kreatif dengan melakukan tindak korupsi di negara asalnya dan melarikan diri ke negara lain berikut dengan aset-aset yang telah diambilnya diamankan di negara tempatnya bersembunyi. Kehadiran orang tersebut dinegara lain adalah untuk menghindari upaya penangkapan atas dirinya sehubungan dengan kejahatan yang telah dilakukannya di negara asal. Dengan larinya orang tersebut ke negara lain, ini berarti ada negara lain yang kepentingannya dirugikan karena tidak dapat menangkap orang tersebut, padahal orang tersebut telah melakukan pelanggaran hukum (F.X. Adji Samekto, 2009).

Dalam hal ini, aparat negara yang dirugikan tidak dapat begitu saja memasuki wilayah teritorial negara lain untuk menangkap pelaku kejahatan tersebut. Hal ini disebabkan karena di dalam hukum internasional berlaku prinsip penghormatan kedaulatan yurisdiksi masing-masing negara sehingga untuk memasuki negara lain harus ada persetujuan terlebih dahulu dari negara yang akan dimasuki ((F.X. Adji Samekto, 2009). Hal ini berdasarkan asas umum hukum Internasional bahwa setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan terbatas dalam wilayahnya sendiri.

Negara yang berdaulat mempunyai yurisdiksi secara eksklusif di lingkungan wilayahnya sendiri yang disebut kedaulatan

Page 100: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 97

wilayah (territorial sovereignty). Negara mempunyai yurisdiksi sepenuhnya untuk menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan melanggar hukum yang berada diwilayah negara tersebut. Namun hal ini sering kali tidak dapat dilakukan karena pelaku pelanggar kejahatan telah melarikan diri (fugitive) ke wilayah yurisdiksi negara lain. Dalam hal ini negara tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan didalam wilayah negara lain. Keadaan ini yang mendorong para pengambil keputusan untuk melakukan kerjasama internasional demi kepentingan bersama dalam menegakkan ketertiban dan keadilan.

Komitmen masyarakat internasional untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan lintas batas melalui kerjasama internasional dapat terlihat dari instrument-instrumen hukum internasional yang lahir belakangan ini, baik yang bersifat hard law maupun soft law. Konvensi Palermo 2000 misalnya menyebutkan beberapa bentuk kerjasama internasional yang dapat dilakukan oleh masyakat internasional, yaitu: perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik di bidang pidana (mutual legal assistance in criminal matters), pemindahan narapidana (transfer of sentence person). PBB bahkan telah mengeluarkan Model Treaty on Extradition berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/ 117 tanggal 14 Desember 1990, yang dapat dijadikan model Kerjasama internasional juga di atur dalam Konvensi PBB melawan Korupsi 2003 dan secara khusus mengatur tentang pengembalian aset (asset recovery) hasil korupsi.

Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu bintang negara emerging markets ternyata merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Demikian hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC (2010), ‘“Some US$ 200 billion of Indonesian capital was sitting in Singaporean banks. That compared with an Indonesian GDP of US$ 350 billion. Some money in city state banks is legitimate expatriated capital and some is ill gotten gains’. “Some US$ 200 billion of Indonesian capital was sitting in Singaporean banks. That compared with an Indonesian GDP of US$ 350 billion. Some money in city state banks is legitimate expatriated capital and some is ill gotten gains (Joe Studwell , 2007).

Munculnya perjanjian ekstradisi ini tentunya tidak terlepas dari implementasi asas hukum internasional sebagaimana disampaikan oleh Hugo Grotius, yakni asas au dedere au punere. Artinya pengadilan terhadap pelaku kejahatan dapat dilakukan oleh negara tempat kejahatan itu terjadi (locus delicti) atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yuridiksi untuk mengadili pelaku tersebut. Prasyarat perjanjian ini tidak bersifat mutlak karena tanpa adanya pejanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik) (Asas resiprositas diatur juga dalam Undang-Undangn Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Asas ini meliputi 3(tiga) hal yaitu: (1) adanya kepentingan politik yang sama: (2) ada keuntungan yang sama: (3) ada tujuan yang sama, dan penghormatan

Page 101: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 98

atas asas “state souvereignty”. Asas resiprositas tidak memerlukan suatu perjanjian akan tetapi cukup dengan arrangement”saja yang hanya berlaku atas dasar “on case by case basis”). Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam UU No.1 Tahun 1979 (Menurut pasal 1 UU 1/1979 Ekstradisi ialah penyerahan oleh satu negara kepada Negara yang meminta penyerahan sesorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana diluar wilayah yang menyerahkan dan didalam Yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut).

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi, di Indonesia adalah sebagaimana diatur dalam “Koninklijk Besluit” yang merupakan peninggalam Zaman Hindia Belanda yang dimuat dalam “staatsblad” tahun 1883 Nomor 188 tentang “Uitlevering van Vreemdelingen” (penyerahan orang asing) yang pada waktu itu masih dianggap berlaku berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 Pasal II Aturan Peralihan. Baru pada tanggal 29 Agustus 1978 Pemerintah/Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Ekstradisi dengan amanat Bapak Presiden Nomor: R.07/PU/VIII/1978 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (M. Budiarto, 1981). Setelah melalui proses di Komisi III yang membidangi masalah hukum, yang selanjutnya dalam sidang Pleno DPR tanggal 16 Desember 1978 dapat disetujui untuk disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang tentang Ekstradisi. Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 18 Januari 1979 dalam LNRI nomor 2 tahun 1979, TLNRI Nomor 3130 (I. Wayan Parthiana, 1983).

L.Oppenheim menyatakan “Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territoty the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya : Ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara di wilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan (Perjanjian Renville).

J. G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut (http://id.shvoong.com).

Dalam konteks Indonesia dewasa ini, khususnya kondisi politik dan sosial Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru, masalah ekstradisi semakin penting. Indonesia sangat aktif dalam memburu para pelaku kejahatan korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Untuk membawa kembali para pelaku korupsi tersebut, kerjasama internasional dengan Negara-negara yang selama ini menjadi tempat

Page 102: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 99

pelarian dan “sorga” para koruptor Indonesia terus diupayakan. Salah satunya adalah dengan mendorong dibuatnya perjanjian ekstradisi. Indonesia sampai sejauh ini telah membuat 6 (enam) perjanjian ekstradisi dengan Negara-negara lain (Negara-negara yang sudah terikat perjanjian Ekstradisi dengan Indonesia yaitu: Malaysia, Philipina, Thailand, Australia, Hong Kong, dan Korea Selatan. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapore yang ditanda tangani kedua Negara tanggal 28 April 2007 di Istana Tampak Siring, Bali, tidak dapat diimplementasikan karena perjanjian tersebut belum di ratifikasi oleh DPR).

Permohonan perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura sebenarnya sudah lama terjadi semenjak era kepresidenan Soekarno maupun Soeharto. Krisis moneter yang menghantam Indonesia pada tahun 1997 tidak hanya menorehkan sejarah ambruknya sebuah rezim, juga telah memporakporandakan pondasi perbankan nasional. Tak hanya bank kelas menengah yang goyah, bank-bank kelas kakap juga kesulitan likuiditas akibat penarikan dana nasbah secara besar-besaran. Dalam kondisi darurat inilah Bank Indonesia akhirnya mengucurkan dana kepada 48 bank dengan total dana sebesar Rp 158,9 Trilyun (Majalah EKBIS ). Dana untuk mengatasi kesulitan inilah yang lebih dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dana BLBI inilah ynag disalahgunakan oleh bank yang memperoleh bantuan tersebut. Para koruptor membawa dan melarikan diri beserta asetnya ke Singapura. Seperti terdakwa kasus BLBI Bank Bira Agus Anwar dan yang lainnya,

dimana negara tesebut merupakan surganta para koruptor yang tidak bisa disentuh oleh pemerintah Indonesia dikarenakan tidak adanya perjanjian internasional antara kedua negara tersebut terutama perjanjian ekstradisi (, www.kickandy.metronews.com).

Setelah sekian lama dan dengan melalui proses yang alot akhirnya Pada 27 April 2007, pemerintah Republik Indonesia dengan gagah berani menandatangani perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement), Penandatanganan akhirnya dilakukan oleh pihak Singapura setelah sekian lama terjadi penolakan. Beberapa pendapat menyatakan bahwa penandatangan ini terjadi karena karena mendesaknya kebutuhan akan kesiapan militer Singapura. Sebagai negara dengan luas wilayah yang kecil, Singapura sangat membutuhkan “arena“ untuk berlatih militer. Sebagai negara berperekonomian maju, walaupun Singapura mempunyai sistem pertahanan dan peralatan militer yang canggih namun sebagaimana pisau yang tajam apabila tidak pernah diasah akan menjadi tumpul; maka hal tersebut tidak menjadi maksimal apabila Singapura tidak mempunyai kesempatan untuk mempersiapkannya dengan cara berlatih (www.tempointeraktif.com).

Secara geografis Singapura dikepung oleh negara-negara yang sebagian wilayahnya masih suburbank. Singapura tahu dan sadar betul bahwa bahwa sewaktu-waktu pergolakan bisa saja terjadi akibat konflik ekonomi, politik, ataupun militer. Malaysia sebagai salah satu musuh Singapura dapat sewaktu-

Page 103: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 100

waktu menyerang secara militer.Kalau Indonesia, mungkin masih bermimpi untuk bisa menyerang Singapura secara militer. Latihan militer di Indonesia membuat Singapura harus siap apabila diperlukan untuk beroperasi militer di Malaysia, Filipina, Thailand, dan bahkan di Indonesia. Hal ini adalah poin penting yang diperoleh Singapura sedangkan untuk Indonesia sendiri , melalui pakar hukum pidana Romli Atmasasmita berharap Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura tidak hanya memuat aturan tentang pemindahan orang semata. Dalam konteks tindak pidana korupsi, perjanjian ini semestinya juga harus mengatur tentang bagaimana mekanisme pemindahan aset yang turut diboyong oleh buronan koruptor tersebut. Namun perjanjian ini akhirnya tidak berlaku karena tidak diratifikasi oleh DPR karena alasan penggabungan ekstradisi dan pertahanan negara yang dalam konteks ini sangat jauh berbeda.

Dengan adanya Perjanjian ekstradisi ini maka pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain diharapkan tidak akan lepas dari jangkauan hokum (www.dpr.go.id). Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah permasalahan mengenai: Apakah norma-norma yang ada dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi masih relevan dan selaras/harmonis dengan perkembangan hukum ekstradisi internasional dalam hal ini perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pendekatan normatif yang bersifat Library Research (penelitian Kepustakaan) dan deskriptif,

penulisan ini menggunakan data sekunder dengan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku maupun karya ilmiah, serta bahan hukum tersier berupa kamus. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode analisa data secara kualitatif yang bersifat perspektif analitis.

A. Keadilan

Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk (Donald Black, 1976). Perwujudan keadilan dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat, bernegara dan kehidupan masyarakat internasional, ditunjukkan melalui sikap dan perbuatan yang tidak berat sebelah dan memberikan sesuatu kepada orang lain yang menjadi haknya (dari http://id.shvoong.com/social-sciences/2193610-makna-keadilan/). Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstern yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung eksterm itu menyangkut 2 orang atau benda. Bila 2 orang tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku Nicomachean Ethics (http://bocc.ubi.pt/). Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas tiga hal

Page 104: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 101

utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.

Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan social (Hari Chand, 1994). Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Keadilan menurut Teori hukum Islam adalah merupakan proposionalitas antara hak dan kewajiban setiap manusia dalam peran dan kedudukan yang plural serta kedekatan dengan Allah SWT (Marsudi Triadmodjo). Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice (Teori Keadilan Aristoteles, 1995). Pedoman-pedoman yang obyektif berasal dari groundnorm (norma dasar). Groundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini adalah Negara). Groundnorm merupakan syarat transendentals-logis berlakunya seluruh tata hukum dan seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hinarki pada

groundnorm (Bernard L. Tanya, 2010).

Dalam kasus ekstradisi, Indonesia dan Singapura bersepakat untuk memiliki perjanjian ekstradisi yang sudah dijajaki sejak tahun 1974 (http://www.mediaindonesia.co.id/). Jarak Indonesia – Singapura yang hanya “sejengkal” menjadi sangat ironis ketika seorang koruptor yang diburu oleh Indonesia dan diduga bersembunyi di Singapura, sangat sulit ditangkap dan diadili di Indonesia karena tersangkut masalah perjanjian ekstradisi (www.thejakartapost.com). Meskipun Indonesia telah memiliki Undang – Undang (UU) tentang Ekstradisi, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1979, UU tersebut hanya efektif jika ada perjanjian ekstradisi dengan negara mitra. Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya pada bulan November 2004 telah menyepakati perjanjian mengenai Mutual Legal Assistance (atau bantuan hukum timbal balik), tetapi Mutual Legal Assistance ini hanya dianggap sebagai bentuk semangat kerja sama di antara negara-negara ASEAN untuk memerangi korupsi di negara masing-masing, sedangkan permasalahan ekstradisi menyangkut hubungan antar negara atau government to government (www.kompasiana.com).

1. Substansi

Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan di atasnya.

Page 105: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 102

Implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaannya. Pada asasnya, undang-undang yang baik adalah undang-undang yang langsung dapat diimplementasikan dan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut. Akan tetapi kebiasaan untuk menunggu peraturan pelaksanaan menjadi penghambat operasionalisasi peraturan perundang-undangan. Berbagai undang-undang yang dibentuk dalam rangka reformasi banyak yang tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Penyebab utamanya antara lain tidak dibuatkan dengan segera berbagai peraturan pelaksanaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang bersangkutan. Tidak adanya Perjanjian Ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik antara Pemerintah dengan negara yang berpotensi sebagai tempat pelarian khususnya pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku tindak pidana lainnya. Masalah ini sangat menghambat proses penyidikan terutama kasus-kasus korupsi besar, sehingga mengganggu percepatan proses penyelesaian di peradilan dan pengembalian hasil korupsi kepada negara

Dalam Pasal 2 ayat (1) menegaskan kesediaan Indonesia untuk melakukan ekstradisi atau penyerahan atas diri seseorang pelaku kejahatan, apabila antara Indonesia dengan negara yang meminta tersebut sudah terikat dalam suatu perjanjian ekstradisi. Perjanjian ini baik meliputi perjanjian ekstradisi sebelumnya maupun sesudah diundangkannya undang-undang ini. Akan tetapi di samping atas dasar suatu perjanjian, Indonesia

juga menyatakan kesediaan untuk melakukan ekstradisi atas dasar hubungan baik dengan pihak atau negara lain. Inilah yang lebih dikenal dengan prinsip atas asas timbal balik atau prinsip resiprositas. Walaupun demikian ada pengecualiannya, disamping dianut prinsip hubungan baik (timbal balik) juga ada penegasan, (“…..dan jika kepentingan negara RI menghendakinya”). atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara Republik Indonesia menghendakinya. Ketentuan selanjutnya adalah mengenai kejahatan militer seperti yang dicantumkan dalam Pasal 6. Disebutkan dalam Pasal 6 bahwa ekstradisi terhadap kejahatan menurut hukum pidana militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum, tidak dilakukan kecuali apabila dalam suatu perjanjian ditentukan lain. Dalam Pasal 11 ditentukan, bahwa permintaan ekstradisi ditolak, apabila orang yang dimintakan ekstradisi telah diadili dan dibebaskan atau telah selesai menjalani pidananya di negara lain mengenai kejahatan yang dimintakan ekstradisinya. Adapun yang dimaksud dengan negara lain adalah negara ketiga.

Sebuah perjanjian bilateral antara singapura dan Indonesia haruslah mendapat ratifikasi dari lembaga legislative, akan tetapi pengesahan tersebut tidak serta merta begitu saja. Namun, hal ini harus melalui proses yang lama. Belum lagi Pro dan Kontra dari publik politik terkait perjanjian ekstradisi tersebut yang dinilai tidak transparan, sehingga para koruptor bisa bersiap angkat kaki dari singapura untuk mengamankan asset-aset mereka. Sebenarnya apa

Page 106: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 103

penyebab dari kontra public terhadaap perjanjian yang dikira menguntungkan bangsa ini, masalahnya terletak pada Defence Cooporation Agreement (DCA) yang dikira sangat banyak merugikan Indonesia. Dalam perjanjian itu tertulis apabila kedua belah pihak menyetujui ada perjanjian ekstradisi dan kemudian diratifikasi oleh lembaga legislative maka, kedua negara berhak memanfaatkan fasilitas dan wilayah bersama untuk latihan militer.

Keuntungan Indonesia dari kesepakatan tersebut Indonesia bisa meminjam alat-alat perang, senjata dan lainnya karena peralatan singapura sudah 30 tahun lebih canggih daripada Indonesia sehingga tentara Indonesia bisa mendapatkan teknologi yang canggih. Akan tetapi untuk urusan wilayah tentunya singapura dengan wilayahnya yang sempit dan kecil akan menggunakan wilayah Indonesia untuk menjadi tempat lahitan militer para tentara singapura. Hal ini pastinya akan mengancam kedaulatan negara Indonesia, karena apabila singapura melakukan latihan militernya di Indonesia secara langsung pihak singapura akan mengetahui kekurangan serta kelemahan pertahanan dari Indonesia dengan begitu Indonesia bisa saja dijajah kembali oleh negara lain mengingat singapura adalah negara Persemakmuran dari Inggris sementara inggris mempunyai banyak sekutu.

Kenyataan bahwa perjanjian ekstradisi tidak akan dapat mengembalikan asset dan uang korupsi secara langsung, karena perjanjian ini hanya mengatur pengembalian orang dan sebagai

bekas jajahan Inggris, Singapura menganut sistem hukum Anglo-Amerika atau dikenal sebagai Common Law System. Dalam sistem ini yang memutuskan seseorang diekstradisi atau tidak adalah pengadilan, bukan pemerintah. Permintaan pemerintah Indonesia atas pengembalian koruptor (ekstradisi) sepenuhnya tergantung pada kewenangan pengadilan untuk memutuskan. Oleh karena itu, perjanjian ekstradisi yang sudah ditandatangani oleh kedua belah negara menjadi tidak maksimal apabila dihadapkan pada penerapan hukum di Singapura ini (http://majalah.tempointeraktif.com ).

Yang menjadi adagium atau asas atas analisis keadilan dalam kasus perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura adalah rapport du troit, inbreng van recht (van Apeldorn), yang berarti hakekat hukum adalah membawa aturan yang adil dalam masyarakat. Segala aturan yang terdapat dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura dimaksudkan untuk membawa keadilan bagi kedua negara, namun hal ini mengundang pro kontra mengingat permintaan pihak negara Singapura yang menginginkan sebagian wilayah Indonesia untuk dipakai sebagai tempat pelatihan militer yang tentunya akan mengganggu kedaulatan Indonesia. Perjanjian ini lebih menguntungkan pihak Singapura sebagai negara yang menjadi tujuan para koruptor Indonesia.

2. Struktur

Kurangnya independensi kelembagaan hukum, terutama

Page 107: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 104

lembaga-lembaga penegak hukum juga membawa akibat besar dalam sistem hukum. Intervensi terhadap kekuasaan yudikatif misalnya, telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan. Akumulasi terjadinya putusan-putusan yang meninggalkan prinsip impartialitas dalam jangka panjang telah berperan terhadap terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum.

Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura secara struktur belum mendukung terwujudnya keadilan. Perjanjian ini cenderung menguntungkan pihak Singapura. Sistem peradilan yang tidak transparan dan terbuka. Masalah ini mengakibatkan hukum belum sepenuhnya memihak pada kebenaran dan keadilan karena tiadanya akses masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan. Kondisi tersebut juga diperlemah dengan profesionalisme dan kualitas sistem peradilan yang masih belum memadai sehingga membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah mafia peradilan.

Asas keadilan yang digunakan untuk menjelaskan struktur yaitu yusticia est constant et pepetua suum quick tribuere yang berarti adil adalah keadilan yang terus menerus yang memberikan seseorang apa yang menjadi haknya. Dalam tahap keadilan, harusnya dalam membuat suatu perjanjian, negara menyusun struktur yang kuat namun tetap

saling menguntungkan tanpa harusmencederai kedaulatan suatu negara.

Dalam perjanjian ini ada Asas kekhususan yang berlaku membuat Sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni: Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi orang yang diminta. Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi.

3. Budaya Hukum

Timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat. Gejala ini ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring dengan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat baik kepada substansi hukum maupun kepada struktur hukum yang ada. Hal ini telah tercermin dari peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat.

Menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum masyarakat. Kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajiban hukum tetap mensyaratkan antara lain tingkat pendidikan yang

Page 108: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 105

memungkinkan untuk dapat memahami dan mengerti berbagai permasalahan yang terjadi. Dua pihak berperan penting yaitu masyarakat dan kualitas aparat yang bertugas melakukan penyebarluasan hukum dan berbagai peraturan perundang-undangan. Walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan penyuluhan hukum ke dalam masyarakat, pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajiban mereka. Masalah lainnya adalah ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses dan manfaat dari kegiatan penyuluhan, penyadaran dan pelayanan hukum.

Budaya hukum dalam kasus ekstradisi ini jelas perbedaannya. Indonesia dan Singapura berbeda dan mempunya aturan hukum masing-masing. Indonesia tidak bisa begitu saja meminta para koruptor tersebut untuk dipulangkan berikut dengan asset-asetnya yang telah diubah menjadi bentuk investasi di Singapura. Begitu pula dengan Singapura yang tidak bisa begitu saja meminta wilayah Indonesia untuk dijadikan pelatihan militer karena hal itu jelas akan menimbulkan konflik baru dan menganggu kedaulatan Indonesia.

Sejalan dengan pemikiran Aristotelles mengenai keadilan hukum. Aristoteles menyatakan harus ada kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung

ekstern yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung eksterm itu menyangkut 2 orang atau benda. Bila 2 orang tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau tidak sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan (http://bocc.ubi.pt).

Sesuai dengan jaminan hak-hak kebebasan manusia untuk menganut agama, politik dan untuk menghapus perbedaan kewarganegaraan, suku bangsa dan golongan penduduk, maka dalam Pasal 14 dimuat ketentuan bahwa permintaan ekstradisi ditolak, jika menurut instansi yang berwenang terdapat sangkaan yang cukup kuat, bahwa orang yang dimintakan ekstradisinya akan dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya, atau kewarganegaraannya, ataupun karena ia termasuk suku bangsa atau golongan penduduk tertentu.

B. Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan

Page 109: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 106

bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hokum (Peter Mahmud Marzuki, 2008). Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan hukum dan asas kemanfaatan hokum (http://hukum.kompasiana.com). Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan (Dominikus Rato, 2010).

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura pada pokoknya mengatur pengembalian tersangka atau terpidana yang lari dari kejaran hukum negara peminta dan tinggal di negara yang diminta. Ditegaskan pula bahwa perjanjian ini menganut prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional dan telah dibakukan dalam United Nation Convention Against Corruption. Perjanjian ini juga telah secara limitatif menentukan jenis-jenis tindak pidana yang dapat dimintakan ekstradisi, diantaranya korupsi, suap, pemalsuan uang dan penipuan. Selain itu, perjanjian ini dirancang untuk mengantisipasi

jenis-jenis kejahatan baru di masa depan. Persolaan ini sebenarnya sulit untuk menentukan ujungnya. Karena akibat dari perjanjian tersebut sedikit menguntungkan pihak Indonesia, dan banyak kerugian yang akan dialami Indonesia apabila perjanjian tersebut diratifikasi (http://www.hukumonline.com).

Kesalahan terbesar sebenarnya terletak pada Indonesia yang hukum dan keputusan-keputusan yang ditetapkan tidak tegas, bisa berubah-ubah sesuai kepentingan masing-masing elite politik. Apabila negara kita mempunyai ketegasan dalam putusan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana, siapapun dan apapun pangkatnya maka negara lain tidak berani mengambil keuntungan atas Indonesia, begitu juga dengan para tersangka tidak semudah itu untuk melarikan diri ke negara tetangga (J.G. Starke, 2008).

1. Substansi

Substansi hukum dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberikan kontribusi kasus korupsi yang besar. Kasus ini terjadi karena substansi hukum mudah diciptakan untuk korupsi. Cara sederhana , menjadikan norma hukum yang tidak jelas atau kabur (http://www.tenagasosial.com/). Dalam Pasal 3 ayat (1) ditegaskan tentang siapa yang dapat diekstradisikan atau dimintakan ekstradisinya. Yang dapat diekstradisikan adalah setiap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta kepada Indonesia, atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan (Naskah Akademik RUU).

Page 110: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 107

Dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir sebagaai suatu naskah yang tidak dipisahkan dari undang-undang ini. Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1979 maka tidak semua kejahatan pelakunya dapat diekstradisikan, tetapi terbatas pada kejahatan yang daftarnya terlampir dalam undang-undang tersebut.. Begitu pula dalam Pasal 7 ayat (1) ini dapat disimpulkan bahwa penolakan untuk menyerahkan warga negara Indonesia bukanlah merupakan kewajiban bagi Indonesia, melainkan merupakan hak. Bahkan Pasal 7 ayat (2) secara tegas memperkenankan pemerintah Indonesia untuk menyimpang terhadap ketentuan ayat (1) tersebut di atas dapat dilakukan apabila orang yang besangkutan karena keadaan lebih baik diadili ditempat dilakukannya kejahatan. Dari aturan-aturan yang telah dituliskan dalam perjanjian ekstradisi ini, sudah ditegaskan mengenai hak dan kewajiban dari Indonesia, berikut dengan jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan. Seperti yang dikatakan oleh jan Michael Otto, bahwa kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu tersedia aturan-aturan hukum yang jernih, aturan ditetapkan secara konsisten dan warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan tersebut.

2. Struktur

Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan

sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan berperilaku responsif gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada. Apalagi sistem, proses seleksi serta kebijakan pengembangan SDM di bidang hukum yang diterapkan ternyata tidak menghasilkan SDM yang berkualitas.

Menurut Mertokusumo, dalam hukum yang penting bukan apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Persyaratannya adalah peristiwa (sein), kesimpulannya merupakan keharusan (sollen). Disini tidak berlaku hukum sebab akibat. Struktur dalam perjanjian ekstradisi ataupun dalam uu ektradisi sudah mengandung unsur kepastian, hanya saja SDM yang belum terlalu memahami makna dari ekstradisi.

3. Budaya Hukum

Yang menjadi masalah adalah apabila mengacu pada sistem hukum yang berlaku di Singapura, di mana hanya pengadilan yang berwenang menentukan suatu ekstradisi dan pemerintah menjadi lepas tangan terhadap hal ini. Pemerintah Indonesia akan benar-benar tidak memperoleh keuntungan apapun dari perjanjian ekstradisi ini. Bagi para pengacara Singapura yang pintar dan selevel dengan pengacara-pengacara dunia seperti wall street lawyer, dan memiliki ketahanbantingan yang tinggi, diadu dengan para pemburu harta koruptor dan pengacara kita, dan melihat lebih jauh bahwa tidak ada kepedulian pemerintah Indonesia atau putusan pengadilan nasional yang secara signifikan menyatakan

Page 111: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 108

adanya uang haram tersebut; tersedia banyak alasan yang dapat diajukan kepada hakim untuk menolak ekstradisi (http://nasional.kompas.com). Dengan aset yang begitu besarnya, para koruptor Indonesia tentu saja dapat dengan mudah mempekerjakan pengacara-pengacara handal yang dimiliki Singapura. Kembali mengacu kepada fakta bahwa alasan paling kuat untuk menolak ekstradisi adalah langkanya kepercayaan dunia pada birokrasi penegak hukum Indonesia yang bisa dibeli, sistem hukum yang terlalu formalistis, dan praktek peradilan yang korup dibarengi dengan tumbuh suburnya mafia peradilan. Perlu kompensasi atas perjanjian pertahanan ini terhadap Indonesia. Tetapi perjanjian ekstradisi RI -Singapura ini bukanlah suatu kompensasi. Perjanjian ekstradisi ini justru menjadi perjanjian pokok atau utama dalam usaha pengembalian aset dan uang korupsi.

C. Kemanfaatan

Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna (http://m.artikata.com). Bagi Hans Kelsen hukum itu sendiri adalah suatu sollenskategorie (kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori factual). Yang maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah ‘bagaimana hukum itu seharusnya’ (what the law ought to be) melainkan ‘apa hukumnya’ (what

is the law) (Hans Kelsen). Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri (Sudikno Mertokusumo). Sedangkan kemanfaatan hukum menurut Jeremy Betham bahwa alam telah menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dan dua penguasa, yakni suka dan duka. Dengan kata lain, hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia (Jeremy Betham). John Stuart Mill mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya ditujukan terhadap pencapaian kebahagian, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagian, dengan kalimat lain; "Action are right in proportion as they tend to promote man's happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of happiness. Berdasarkan hal tersebut, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993).

1. Substansi

substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga ”produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Demikian juga dalam hal proses pembentukan hukum yang

Page 112: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 109

akan dijadikan alat untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri. Pembuat hukum adalah orang-orang yang secara individu merupakan warga negara yang sama dengan warga negara lain dan sama-sama punya keinginan untuk menggapai kebahagiaan individunya. Disisi lain ia adalah orang yang diberikan kuasa untuk membuat hukum. Dalam pembuatan hukum jelas akan terjadi konflik kepentingan. Pembuatan aturan hukum mengenai perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura ini tentu saja melibatkan beberapa individu yang dianggap mumpuni. Pembuatan aturan dan undang-undang tentu saja melalui pemikiran yang matang, yang dapat menguntungkan Indonesia tentu saja. Namun dalam praktiknya, perjanjian ini sudah seharusnya menguntungkan kedua belah pihak. Namun jika ditilik kembali, perjanjian ini hanya menguntungkan Indonesia untuk mengamankan asset negara yang belum tentu bisa dikembalikan secara utuh. Sedangkan Singapura mendapatkan manfaat yang begitu luar biasa, peminjaman wilayah, impor pasir bisa dilakukan lagi.

Dalam hukum (pidana) nasional di kenali asas non bis in idem atau de bis in idem yang artinya, seorang tidak boleh diadili dan dihukum lebih dari satu kali untuk satu kejahatan yang sama (diatur dalam Pasal 10). Asas ini sudah merupakan asas umum dalam hukum setiap negara di dunia. Pasal 11 memperluas asas non bis in idem ini, jika yang mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan atas kejahatan yang dimintakan ekstradisi itu adalah pengadilan negara lain atau negara ketiga, permintaan ekstradisi juga harus ditolak. Hal ini berarti bahwa

Indonesia juga mengakui putusan pengadilan negara lain.

2. Struktur

Struktur yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislative. Menurut Publis Syrus, malus bomun ubi se simulat tum est pessimus yang berarti penjahat tidaklah lebih jata kecuali bila ia berpura-pura berbudi. Yang ditekankan untuk kasus perjanjian ekstradisi ini adalah tidak ada pihak yang mengambil keuntungan pribadi selama proses. Perjanjian ekstradisi tersebut, dibuat atas dasar hukum, dimana Indonesia menginginkan para koruptor dan asetnya dikembalikan tentu saja dengan beberapa kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak Singapura.

3. Budaya Hukum

Jika dilihat dari maksud perjanjian tersebut, memang kedengaran sangat baik bagi Indonesia. Singapura kini tidak lagi menjadi surga bagi para koruptor. Tapi perjanjian ini bisa menjadi sia-sia karena baru dilakukan sekarang. Karena yang kita tahu, setiap perjanjian bilateral harus mendapat ratifikasi dari lembaga legislatif. Sedangkan hal tersebut membutuhkan proses yang cukup lama (http://majalah.tempointeraktif.com).

Dalam perjanjian itu, tiap negara boleh memanfaatkan fasilitas

Page 113: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 110

dan wilayah bersama untuk latihan militer. Keuntungan yang diperoleh Indonesia yaitu bisa meminjam peralatan perang Singapura yang sudah 30 tahun lebih canggih dari Indonesia. Sehingga tentara Indonesia bisa mendapatkan teknologi yang canggih. Tapi yang merugikan, untuk wilayah pasti yang digunakan adalah kawasan Indonesia. Sebab mana mungkin menggunakan wilayah Singapura yang hanya seperseratus dari Indonesia itu? Hal ini berarti tentara Singapura dengan bebas memakai suatu lokasi di Indonesia untuk latihan militer. Bahkan mereka boleh mengajak pihak ketiga walaupun tanpa atas seizin Indonesia. Ini berarti kedaulatan Indonesia sudah terganggu karena ada militer negara lain di wilayah Indonesia sendiri. Sistem pertahanan Indonesia bisa diketahui sehingga tidak ada lagi wilayah yang tertutup untuk kekuatan asing.

Lalu kerugian lainnya adalah perizinan kembali ekspor pasir dan granit ke Singapura. Reklamasi perluasan wilayah Singapura sudah pasti akan mengambil wilayah laut dari Indonesia, bukannya ke arah Malaysia. Karena mereka menganggap Indonesia adalah negara yang lemah, tidak tegas, dan berwibawa. Penutup

Perubahan nyata karakter ekstradisi abad 20 sampai dengan abad 21 adalah bahwa ekstradisi bukan lagi semata-mata merupakan hak dan kewajiban sebagaimana dinyatakan dalam suatu perjanjian, melainkan juga ekstradisi adalah merupakan bagian dari hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana,

untuk menyatakan pendapatnya terhadap permintaan suatu negara untuk mengekstradisikan yang bersangkutan dari negara di mana yang bersangkutan berada ke negara yang melakukan permintaan.

Dilihat dari aspek substansi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU RI Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, jelas ketentuan perundang-undangan tentang ekstradisi Indonesia cukup fleksibel dalam menata kerjasama internasional penegakan hukum nasional dengan negara lain. Misalnya saja dalam kasus perjanjian ekstradisi yang dilaksanakan oleh Indonesia dan Singapura sudah mencakup ketiga tujuan hukum yang terdiri dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Walaupun tidak diratifikasi oleh DPR dengan menimbang permintaan Singapura yang meminta wilayah Indonesia sebagai arena latihan militer.

Secara umum prinsip atau asas ekstradisi yang diatur dalam Penjelasan Undang-undang No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum atau universal, baik dengan hukum nasional Negara Negara lain, model treaty, perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral mengenai ekstradisi. Daftar Pustaka Agusman, Damos Dumoli, Hukum

Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung 2010

Atmasasmita,Romli “Perlunya Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1979 tentang Ekstradisi”, Kejaksaan Agung RI,Jakarta 2007

Page 114: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 111

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1996. Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2010

Black,Donald, “Behavior of Law”, (New York, San Fransisco, London: Academic Press, 1976)

Brosur Penyuluhan Hukum/Penerangan Hukum, Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan HAM Tahun 2005. Kejaksaan Tinggi Sumbar

Budiarto,M, Ekstradisi Dalam Hukum Nasional, PT. Ghalia Indonesia, tahun 1981, Jakarta

Chand,Heri Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, International Law Book Review, 1994

Dokumen United Nations Convention against Corruption 2003 (UNCAC) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.

Fakultas Hukum UNPAR. Bandung: CV Mandar Maju B. Arief Sidharta. 1998. “Struktur Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Percikan Gagasan Tentang Hukum ke-III: Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni

Kemanfaatan hukum menurut Jeremy Betham, “Tanya, dkk, oleh Bernard L”.

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti

Mahmud Marzuki,Peter, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008

Majalah EKBIS, “BLBI, Penyimpangan Dana”, Jakarta, edisi Juli 2007

Mertokusumo, Sudikno, tentang kemafaatan hukum

Mertokusumo,Sudikno, 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pendahuluan). Yogyakarta: Liberty

Naskah Akademik RUU Tentang Perubahan UU No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi

Nasution,Dahlan “Konsep Politik Internasional”, Bina Cipta, Jakarta, 1983

Parthiana, I.Wayan, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Alumni 1983, Bandung

Philip Jessup, A Modern Law Of Nations, Penerbit Nuansa, bandung 2012

Rasjidi, Lili dan I.B Wyasa

Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993

Rato, Dominikus, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010

Samekto, F.X. Adji, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009

Sugeng,Istanto.F. Hukum Internasional . 1998, UNIKA Atma Jaya Yogyakarta

Subekti, R. 1993. “Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang”. Makalah dalam Seminar Hukum Nasional

Page 115: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 112

Keempat Tahun 1979 Buku II. Bandung: Binacipta

Starke.J.G Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh. Sinar Grafika. Jakarta. 2008

Studwell,Joe, Asian Godfather: Money and Power in Hong Kong and South East Asia (London: Profile Books Ltd, 2007)

Teori Hukum Murni, Hans Kelsen Teori Keadilan Aristoteles : Theo

Huijibers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta, kanisius, 1995

Triadmodjo,Marsudi Materi Kuliah Teori Hukum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nation Convention Against Corruption,2003

UU 5 Tahun 2009. acuan bagi pembuatan hukum ekstradisi nasional.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi

Wignjosoebroto, Soetandyo , “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002

Internet Aristoteles, Nicomachean Ethics,

translated by W.D Ross,http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html

Dongeng Ekstradisi, www.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/05/07.KL123863 Dwika, “Keadilan dari Dimensi Sistem

Hukum”, http://hukum.kompasiana.com

Friedman, Lawrence M. 1984. American Law: An

Introduction. New York: W.W. Norton and Co.

http://www.mediaindonesia.co.id/, akses tanggal 18 Juni 2015

Indonesia Negara Paling Korup, http://nasional.kompas.com/read/2010/03/08/21205485/PERC.Indonesia.Negara.Paling.Korup,

Kamus Bahasa Indonesia, http://m.artikata.com/arti-339692-manfaat.html, akses tanggal 18 Juni 2015

Makna Keadilan, diakses dari http://id.shvoong.com/social-sciences/2193610-makna-keadilan/

PERC: Indonesia Negara Paling Korup, <http://nasional.kompas.com/read/2010/03/08/21205485/PERC.Indonesia.Negara.Paling.Korup>

Perjanjian Renville, http://jurnalgri.wordpress.com/2010/01/29/perjanjian-renville/

Perjanjian Ekstradisi, www.kickandy.metronews.com

Perjanjian EkstradisiTidak Sepadan Jika Dikaitkan dengan Perjanjian Pertahanan, www.dpr.go.id

Pengertian Perjanjian Ekstradisi,

http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2158086-pengertian-perjanjian-internasional/#ixzz1kSucpVlf

Perjanjian Ekstradisi Indonesia SIngapura Masih Perlu diratifikasi, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16607/perjanjian-ekstradisi-

Page 116: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016

ISSN : 2356-4164

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha| 113

indonesiasingapura-masih-perlu-ratifikasi

RI Highlights Singapore Extradition Treaty International Meeting http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/23/ri-highlights-s-pore-extradition-treaty-int-l-meeting.html

Singapore heaven Corruptors http://www.kompasiana.com/muslimramli/singapore-heaven-corruptors_55010858813311001efa80f8

Substansi Hukum, http://www.tenagasosial.com/2013/08/substansi-hukum-legal-substance.html

Why ASEAN Should Make Extra Diction Treaty Multilateral :

http://www.scribd.com/doc/74138059/Why-ASEAN- Should-Make-Extra-Diction-Treaty-Multilateral

Page 117: HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM …

PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL KOMUNIKASI HUKUM

Jurnal Komunikasi Hukum merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha yang terbit setiap bulan Pebruari dan Agustus. Kami menerima naskah dari hasil penelitian dan artikel yang belum pernah dipublikasikan di jurnal atau media lain. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut. 1. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sepanjang 15 s/d 25 halaman. 2. Penulisan judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan, dituliskan di tengah halaman

(Maksimal 12 kata, istilah dicetak miring). 3. Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada kertas A4, dan diserahkan dalam bentuk naskah dan CD,

pengelolaan kata menggunakan MS Word, huruf Cambria, Font 12. 4. Naskah yang dibuat dalam jurnal ini meliputi tulisan hukum, baik sebagai hasil penelitian atau

artikel ilmiah konseptual. 5. Sistematika penulisan artikel (hasil penelitian) :

a. Judul b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik, dibawah nama penulis dicantumkan nama dan alamat

institusi serta alamat email penulis). c. Abstrak (dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, panjang abstrak maksimal 200 kata). d. Kata Kunci. e. Pendahuluan (tanpa sub judul, latar belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka serta tujuan

penelitian). f. Metode penelitian. g. Hasil Penelitian dan Pembahasan. h. Simpulan dan Saran. i. Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel).

6. Sistematika penulisan artikel (artikel ilmiah) : a. Judul. b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik, dibawah nama penulis dicantumkan nama dan alamat

institusi serta alamat email penulis). c. Abstrak (dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, panjang abstrak maksimal 200 kata). d. Kata Kunci. e. Pendahuluan (tanpa sub judul). f. Rumusan Masalah g. Pembahasan h. Penutup. i. Daftar Pustaka.

7. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis dengan nama pengarang dibalik. Tata cara penulisan adalah sebagai berikut : a. Buku : nama pengarang, tahun terbit, judul, penerbit, tempat terbit, tahun terbit. b. Artikel dan Jurnal : nama pengarang, “judul”, nama jurnal, volume, nomor, bulan, tahun. c. Hasil Penelitian : nama pengarang, tahun terbit, judul, jenis publikasi (hasil

penelitian/skripsi/tesis/disertasi), institusi, tempat institusi. d. Makalah/ Pidato : nama pengarang, “judul”, jenis publikasi, forum, tempat, waktu. e. Artikel Majalah atau Koran : nama pengarang, “judul artikel”, nama majalah/koran, tanggal

artikel diterbitkan. f. Internet : nama pengarang, “judul artikel”, alamat url lengkap, diakses pada tanggal.

8. Penulisan kutipan pada artikel menggunakan sistem “body note/end note” . 9. Penyunting berhak menyeleksi naskah yang masuk. Kepastian pemuatan dan penolakan naskah

akan diberitahukan kepada penulis. Substansi tulisan atau artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan.

10. Penulis melampirkan biodata singkat penulis yang berisi : nama lengkap dengan gelar, alamat rumah, tempat bekerja, no HP dan alamat email.

11. Naskah dialamatkan kepada : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Jalan Udayana, Singaraja-Bali

***********