penerapan metode penemuan hukum (rechtsvinding)

101
PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) OLEH HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : KHOLID ABDUL AZIZ NIM. 11140460000088 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

OLEH HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH DI

PENGADILAN AGAMA

(Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

KHOLID ABDUL AZIZ

NIM. 11140460000088

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 3: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 4: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

iv

ABSTRAK

Kholid Abdul Aziz. NIM 111140460000088. Penerapan Metode

Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam Perkara Ekonomi

Syariah di Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang

Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. xi + 82 halaman + 57 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah hakim Pengadilan Agama

Tangerang menggunakan metode penemuan hukum sehingga berhak memeriksa perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng, serta mengetahui bagaimana hakim Pengadilan Agama Tangerang menerapkan metode penemuan

hukum dalam menangani perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, jika para pihak telah menunjuk badan arbitrase sebagai tempat penyelesaian perselisihan yang dituangkan dalam kontrak perjanjian, maka Pengadilan Agama tidak berwenang menangani perkara yang timbul dari

perselisihan yang terjadi. Namun, ketentuan tentang tempat penyelesaian perselisihan ekonomi syariah yang terjadi pada kontrak tersebut oleh majelis

hakim dinilai bahwa Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library

research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, wawancara dan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hakim Pengadilan Agama

Tangerang yang memeriksa perkara ekonomi syariah dengan nomor perkara 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng melakukan penemuan hukum dengan metode

interpretasi kompeherensif dengan alasan: (1) Dengan menyatakan Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara ekonomi syariah setelah adanya putusan sela memberikan arti bahwa kebutuhan masyarakat akan hukum telah dipenuhi

oleh majelis hakim sehingga terciptanya kepastian hukum, (2) Hukum yang terjadi antara penggugat dan tergugat merupakan realitas dan mempunyai dampak

yang besar. Jika tidak segera dipastikan lembaga mana yang berwenang mengadili, maka sengketa ekonomi syariah akan terus berlarut-larut dan tidak memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi para pencari keadilan, (3) Majelis

hakim mencari maksud dibalik klausula dengan melihat alamat yang tertera dan meminta keterangan penggugat atas hadirnya kalusula tersebut. Artinya majelis

hakim dalam hal ini melakukan interpretasi dengan menyelami makna dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terjadi, (4) Dalam memeriksa perkara ini hakim terlihat tidak bersifat too legal terhadap

permasalahan yang terjadi. Namun, hakim menggunakan penalaran logis yang sejalan dengan hati nuraninya dalam menyelesaikan perkara ini termasuk

Page 5: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

v

menyikapi klausula tersebut. Hal itu semata-mata demi terwujudnya tujuan hukum

itu sendiri.

Kata Kunci : Penerapan Penemuan Hukum, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Nomor Perkara: 2107/Pdt.G/2016/

PA.Tng

Pembimbing : Mustolih Siradj, S.H.I., M.H., C.L.A

Daftar Pustaka : Tahun 1970 s.d. 2017

Page 6: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 7: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala

yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Penerapan Metode Penemuan Hukum (rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam

Perkara Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama”. Shalawat serta salam tak lupa

tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini penulis persembahkan seutuhnya untuk motivator terbesar dan

terindah sepanjang perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta,

Ayahanda (Alm) H. Hidayat Syarif dan Ibunda Hj. Farhatun Aeniyah beserta

kakak-kakakku terkasih dan tercinta Syarifah Aeni, Suryani Atikah, Lia Karmila,

Asep Hidayat, Badru Tamam, dan Shodiq Nurcholis yang tiada lelahnya selalu

memberikan semangat, motivasi, bimbingan, dukungan, kasih sayangnya, do’a,

begitu juga keluangan waktu dan senyumannya. Semoga Allah Subhanahu wa

Ta’ala senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka

semua.

Selama proses penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan

yang penulis hadapi, atas berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan

dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dengan demikian, sudah sepatutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu, khususnya:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku

Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah yang telah

memberikan arahan dan saran yang terbaik bagi mahasiswanya. Sosok

Page 8: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

viii

dosen yang memberikan semangat kepada mahasiswa dengan cara yang

selalu menghibur dan selalu memberi kemudahan.

4. Mustolih Siradj, S.H.I, M.H., CLA., selaku dosen pembimbing skripsi

yang sangat memberikan inspirasi sejak awal bimbingan hingga penulis

menyelesaikan skripsi ini. Beliau memiliki sikap yang sangat rendah hati

dan sabar sehingga bimbingan skripsi yang telah dijalani selama ini tidak

terasa berat atas arahan dan motivasi dari beliau. Semoga Bapak

senantiasa selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

5. Seluruh staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Ekonomi

Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada

penulis dan telah menginspirasi penulis untuk selalu belajar.

6. Yayuk Alfiyanah, S. Ag., M.A., selaku Hakim Pengadilan Agama

Tangerang yang memutus perkara yang penulis jadikan bahan penelitian,

dan senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan

memberi bimbingan, arahan, nasihat, serta saran selama penulis

melakukan wawancara.

7. Saimin, selaku Manager KSPPS IKMI Al- Fath yang telah memberikan

izin dan meluangkan waktunya untuk memperoleh informasi terkait judul

skripsi ini.

8. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama, terutama yang telah

membantu penulis dalam pengadaan refrensi-refrensi sebagai bahan

rujukan skripsi.

9. Firdaus, Badya Fachriansyah, Anugrah Dwicahyatna Putra, Fathur

Rahman Al- Aziz, Muhammad Dzikri Azka, Reno Lintang Pamungkas.

Terima kasih sudah selalu mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi,

memberikan support, hiburan, dan saran keilmuan selama penulisan

skripsi ini. Semoga hubungan persahabatan ini bisa selalu terjalin

dengannya.

Page 9: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

ix

10. Sahabat-sahabat New Forward yang selalu memberikan motivasi, diskusi

dan saran keilmuan kepada penulis.

11. Sahabat-sahabat yang selalu ada sejak awal perkuliahan khususnya di

Kelas B dan umumnya angkatan 2014 Hukum Ekonomi Syariah. Sahabat

yang selalu menemani, selalu berbagi suka dan duka, sahabat yang selalu

setia, serta kenangan indah lainnya yang penulis tidak dapat lupakan

bersama kalian semua.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukukannya,

hanya do’a dan semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran

yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempatan skripsi ini.

Tangerang, 25 Mei 2018

Penulis

Page 10: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………ii

LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iii

ABSTRAK……………………………………………………………………….iv

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..vi

KATA PENGANTAR………………………………………………………......vii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………….1

B. Identifikasi, Batasan, dan Perumusan Masalah…….………….6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………………...7

D. Review Studi Terdahulu……………………………………….8

E. Metode Penelitian…………………………………………….10

F. Sistematika Penulisan………………………………………...13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM

A. Pengertian Penemuan Hukum………………………………..15

B. Sebab Penemuan Hukum…………………………………….20

C. Sistem Penemuan Hukum……………………………………24

D. Metode Penemuan Hukum…………………………………...25

E. Prosedur dan Teknik Pengambilan Putusan dalam Penemuan

Hukum………………………………………………………..36

F. Peran Hakim dalam Penemuan Hukum……………………...39

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI

PENGADILAN AGAMA DAN ARBITRASE SYARIAH

A. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama……………..46

Page 11: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

xi

B. Hukum Materiil dan Formil Di Peradilan Agama Dalam

Bidang Ekonomi Syariah…………………………………….50

C. Hubungan Pengadilan Agama Dengan Arbitrase Syariah…...55

BAB IV PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM

(RECHTSVINDING) OLEH HAKIM DALAM PERKARA

EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi

Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng)

A. Penerapan Metode Penemuan Hukum (Recthvinding)………62

1. Duduk Perkara…………………………………………....62

2. Pertimbangan Hukum…………………………………….64

3. Amar Putusan…………………………………………….64

B. Analisis Penulis………………………………………………65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………..75

B. Saran………………………………………………………....76

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...77

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Tangerang

2. Surat Permohonan Data Wawancara Ke BMT IKMI Al- Fath

3. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Tangerang

4. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Tangerang

5. Putusan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng

6. Akad Kerjasama Musyarakah BMT Al Fath IKMI

7. Dokumentasi Gambar Melakukan Wawancara

Page 12: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 10 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman menegaskan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan

dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksanya. Oleh karena itu, hakim didorong agar selalu memiliki sikap

professional dan berintergritas, karna hakim selalu dianggap tahu akan hukum

(ius curia novit).

Sebagai instansi pemerintah, pengadilan bertugas memeriksa , mengadili

dan memutus suatu perkara. 1 Dalam tahap menerima hingga memutus suatu

perkara, seorang hakim tidak selalu disuguhkan pada suatu keadaan

permasalahan yang sudah mempunyai aturan tertulis atau mempunyai aturan

tertulis namun kurang jelas. Jika terjadi demikian, sikap hakim tidak boleh

tinggal diam, ia harus menyelesaikan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman untuk menegakan hukum dan keadilan. Adapun cara yang dapat

dilakukan oleh hakim ialah dengan melakukan penemuan hukum.

Dalam praktik hukum di pengadilan, biasanya terdapat 3 (tiga) istilah yang

sering digunakan oleh hakim, yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum,

dan penerapan hukum. Akan tetapi, istilah penemuan hukum lebih populer

digunakan oleh para hakim, dan pembentukan hukum biasanya digunakan

oleh lembaga pembentuk undang-undang. 2

Istilah penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan

hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas

melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap

1 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.,10.

Page 13: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

2

peristiwa hukum yang konkrit.3 Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh

Achmad Ali, menyatakan bahwa penemuan hukum adalah sesuatu yang lain

daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana

kadang-kadang atau sering terjadi bahwa peraturannya harus diketemukan,

baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun

penghalusan/pengkonkretan hukum.4 Oleh karena itu, hakim identik dituntut

untuk melakukan penemuan hukum terhadap hukum materill saja.

Menurut Bagir Manan, hakim tidak saja dituntut untuk menemukan hukum

materiil, namun juga dapat diberikan peluang untuk menemukan hukum

formil yang senyatanya Indonesia masih menganut paham HIR/RBG. Dalam

melakukan penemuan hukum formil, hakim dapat menggunakan metode

penafsiran. Karena, kualitas suatu putusan tidak hanya dilihat dari aspek

kualitas subtantif atau ilmiah, namun juga dilihat dari aspek prosedural.5

Undang –Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

telah menegaskan mengenai peran kekuasaan kehakiman dan bagaimana

hakim dapat menciptakan putusan yang dapat memberikan nilai-nilai hukum

dan keadilan yang ada dalam masyarakat. Hal itu semata-mata guna

memenuhi tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan yaitu keadilan,

kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Dalam menegakkan hukum diharapkan adanya kompromi antara ketiga

unsur tersebut. Ketiga unsur itu haruslah mendapat perhatian secara

proporsional dan seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah

mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur

tersebut. Diakui bahwa tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa

yang harus diperbuatnya yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.

Akan tetapi, terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat

mentaati peraturan hukum akibatnya akan kaku serta tidak menutup

3 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya

Atma Pustaka, 2014, Edisi Revisi), h., 49 4 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum¸ (Jakarta: Kencana, 2015, Edisi Kedua), h., 154 5 Muhammad Noor, dkk, “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang”, Quo Vadis

Penemuan Hukum; Majalah Peradilan Agama, Edisi 2, (September-November 2013), h., 7

Page 14: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

3

kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang

terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan

kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara

ketat (lex dura sed tamen scripta).6

Sebagai negara yang mengantut sistem hukum eropa kontinentel,

Indonesia berdasar pada hukum tertulis. Artinya, tindak pelanggaran atau

kejahatan yang dilakukan sudah tertera dan diatur dalam perundang-undangan

yang mengaturnya. Namun, keberagaman permasalahan manusia yang seiring

perkembangan zaman semakin hari semakin kontemporer, sehingga tidak

mungkin tercangkup dalam suatu peraturan perundang-undangan secara

menyeluruh dan jelas. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk

ciptaan Tuhan mempunyai kemampuan yang terbatas sehingga undang-

undang yang dibuatnya tidaklah lengkap dan tidak sempurna untuk

mencangkup keseluruhan permasalahan manusia dalam kehidupannya. Untuk

itu, tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-

lengkapnya atau sejelas-jelasnya untuk mengatur permasalahan yang ada

dalam masyarakat.

Setiap undang-undang bersifat statis dan terkadang tidak selalu mengikuti

perkembangan kemasyarakatan sehingga menimbulkan ruang kosong yang

perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah dibebankan kepada para hakim

dengan melakukan penemuan hukum dengan syarat bahwa dalam

menjalankan tugasnya tersebut, tidak boleh mendistorsi maksud dan jiwa

undang-undang atau tidak boleh bersikap sewenang-wenang.7 Dikarenakan

dalam undang-undang tidak lengkap, maka dari itu harus dicari dan

6 Nur Muliadi. "Rechtvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode

Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam)", Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, Vol 2.1 (2016), h.,

2. 7 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni,

2006), h. 33. Amanah hakim harus melakukan penemuan hukum tertera dalam Pasal 5 ayat 1

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim

dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Page 15: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

4

diketemukan hukumnya dengan memberikan penjelasan, penafsiran atau

melengkapi peraturan perundang-undangannya.8

Seorang hakim bukanlah corong dari undang-undang dan bukanlah robot

yang selalu mengikuti undang-undang yang bersifat statis tanpa melihat akan

dinamika masyarakat. Perundang-undangan pun terkadang sudah tertinggal

dan dirasa sudah tidak cocok akan perkembangan zaman. Maka penting

dinyatakan bahwa hukum itu dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk

hukum. Suatu putusan yang dikeluarkan oleh hakim selalu dipersembahkan

untuk manusia sebagai pencari keadilan. Namun, tidak mengherankan apabila

terhadap suatu putusan hakim, selalu ada yang menyatakan adil dan di lain

pihak menyatakan tidak adil. Hakim haruslah menerima itu sebagai suatu

kenyataan.9

Putusan yang dirasa tidak adil, tidak menutup kemungkinan ditemukan di

lingkungan peradilan agama. Putusan hakim atas perkara dengan tingkat

kerumitan yang kompleks, seperti gugatan harta bersama, hadlanah, kewarisan

ekonomi syariah, dan sebagainya, dipastikan mengandung reaksi

ketidakpuasan dari masyarakat manakala tidak disertai penalaran dan

argumentasi hukum yang memadai. Terlebih kerja professional hakim

bertumpu pada kreativitas dalam menginterpretasi undang-undang dan

melakukan penemuan hukum lainnya. Karena itu, hakim agama harus piawai

dan berani melakukan judicial activism. Kompetensi judicial activism tersebut

meliputi serangkaian pengetahuan, keterampilan dan ciri kepribadian yang

mendorong hakim untuk menggali dan menemukan nilai-nilai hukum tidak

tertulis yang hidup di masyarakat sesuai dengan prinsip dan aturan hukum.10

Sikap hakim peradilan agama dalam melakukan judicial activism atau

penemuan hukum juga tidak luput dalam perkara ekonomi syariah. Ekonomi

syariah merupakan salah satu bidang baru sejak diundangkannya Undang-

8 Pontang Moerad, B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, (Bandung:

Alumni, 2006), h., 86 9 Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh

Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, Hasanudin Law Review, Vol. 1, Issue. 2, (Agustus 2015),

h., 128-129. 10 Muhammad Noor, dkk, “Quo Vadis Penemuan Hukum”, h., 5

Page 16: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

5

Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menambah

kompetensi Pengadilan Agama dalam hal kewenangan mengadili.11 Dalam

kewenangannya itu justru menjadi tantangan baru bagi para hakim Pengadilan

Agama dalam menangani perkara yang selama ini tidak bersentuhan dengan

perkara bisnis syariah. Tantangan lain bagi para hakim yakni kebutuhan akan

hukum materiil dan formil untuk perkara ekonomi syariah.

Namun, tantangan itu tidak menghambat hakim Pengadilan Agama untuk

mengadili perkara ekonomi syariah. Dengan pengetahuan yang dimilikinya,

sudah dapat ditemui beberapa putusan-putusan ekonomi syariah yang telah

ditangani oleh Pengadilan Agama, termasuk di Pengadilan Agama Tangerang.

Perkara dengan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. merupakan perkara

ekonomi syariah perdana yang telah diputus oleh Pengadilan Agama

Tangerang sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

sebagai bentuk kompetensi absolutnya. Perkara tersebut merupakan perkara

wanprestasi atas kontrak kerjasama akad musyarakah antara Koperasi BMT

dengan nasabahnya.

Perkara tersebut menarik penulis untuk melakukan penelitian dikarenakan

terdapat pencantuman klausula “badan arbitrase pada Pengadilan Agama

Tangerang” pada kontrak perjanjian musyarakah dan surat gugatan

penggunggat yang ditujukan ke Pengadilan Agama Tangerang.12 Pengadilan

tetap menerima hingga memutus perkara tersebut. Tidak ada upaya banding

dan sudah dinyatakan In Kracht.13 Padahal, terdapat pasal dalam undang-

undang yang menyatakan pengadilan tidak berwenang untuk mengadili

11 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,

wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syariah. 12 Dapat juga dilihat dalam putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. 13 Artinya berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum biasa yang dapat

ditempuh lagi. Lihat, https://kamushukum.web.id/arti-kata/inkracht/, diakses pada 1 Februari 2018.

Page 17: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

6

sengketa para pihak yang telah mencantumkan klausula arbitrase pada

perjanjiannya.14

Berdasarakan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka penelitian ini penulis fokuskan pada penerapan penemuan hukum dalam

putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor Register Perkara

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng., dan memberi judul penelitian “Penerapan Metode

Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam Perkara Ekonomi

Syariah Di Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama

Tangerang Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA. Tng)”

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan terkait dengan

judul yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah tertuang pada

sub bab latar belakang diatas akan penulis paparkan kembali beberapa

permasalahan yang ditemukan sesuai dengan bagian latar belakang

penelitian ini, antara lain:

a. Bagaimana kontribusi metode penemuan hukum dalam penyelesaian

sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama Tangerang?

b. Bagaimana penerapan metode penemuan hukum oleh hakim di

Pengadilan Agama Tangerang dalam suatu putusan perkara ekonomi

syariah?

c. Apa yang dijadikan pertimbangan bagi hakim sehingga dapat

mengadili perkara nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.?

d. Apakah putusan nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. sudah memenuhi

nilai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan?

2. Batasan Masalah

Dalam hal ini penulis membatasi penelitian, agar masalah yang

diteliti lebih terfokus dan spesifik, diantaranya pada:

14 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Page 18: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

7

a. Penemuan hukum dibatasi pada metode yang digunakan oleh hakim

terhadap perkara Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng., baik penafsiran

maupun kontruksi.

b. Pengadilan Agama dibatasi pada Pengadilan Agama Tangerang.

c. Perkara Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng., dibatasi dengan

permasalahan mengenai hadirnya “klausula badan arbitrase pada

Pengadilan Agama Tangerang” pada kontrak perjanjian dan surat

gugatan yang ditujukan ke Pengadilan Agama Tangerang.

3. Rumusan Masalah

a. Apakah hakim Pengadilan Agama Tangerang menggunakan metode

penemuan hukum sehingga berhak memeriksa perkara ekonomi

syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng ?

b. Bagaimana hakim Pengadilan Agama Tangerang menerapkan metode

penemuan hukum dalam menangani perkara ekonomi syariah Nomor

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Peneliatian

Penelitian ini adalah kegiatan ilmiah yang mempunyai tujuan-tujuan

tertentu yang hendak dicapai oleh peneliti yang tidak terlepas dari

perumusan masalah yang telah di tentukan. Adapun tujuan penulisan ini

secara umum untuk mengetahui metode penemuan hukum oleh hakim di

Pengadilan Agama dalam perkara ekonomi syariah. Sedangkan secara

khususnya, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Untuk mengetahui apakah hakim Pengadilan Agama Tangerang

menggunakan metode penemuan hukum sehingga berhak memeriksa

perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.

b. Untuk mengetahui penerapan metode penemuan hukum oleh hakim

Pengadilan Agama Tangerang dalam menangani perkara ekonomi

syariah Nomor 2117/Pdt.G/2016/PA.Tng.

Page 19: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

8

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan bagi akademisi, praktisi, serta para penegak hukum,

khususnya hakim lingkup peradilan agama yang menangani perkara

ekonomi syariah dan umumnya seluruh Hakim Pengadilan Agama.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan

menyertakan beberapa penelitian terdahulu yang diperoleh baik melalui

perpustkaan maupun dunia maya yang membahas mengenai penerapan

metode penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim di Pengadilan Agama,

tulisan tersebut antara lain:

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Fitriawan Sidiq, “Analisis Terhadap

Putusan Hakim Dalam Kasus Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan

Agama Bantul, Skrispi, Yogyakarta: Muamalat, Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. Dalam skripsi ini mengkaji penemuan

hukum oleh hakim menanggapi perkara ekonomi syariah yang merupakan

kasus baru di Pengadilan Agama Bantul. Selain itu, pembahas juga menitik

beratkan dasar hukum yang dipakai hakim dalam melihat perkara ekonomi

syraiah ini. Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis, terdapat kesamaan

mengenai pembahasan penemuan hukum dalam lingkup Pengadilan Agama,

namun pembedanya adalah penulis menggunakan putusan Pengadilan Agama

Tangerang.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Safira Maharani, “Penerapan

Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa,

(Stusi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta bersama)”,

skripsi, Jakarta 2015: Kosentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum

Keluarga, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi

ini mengkaji penerapan konsep hermeneutika hukum pada putusan harta

bersama, serta mencari tahu alasan hakim dalam memutus harta bersama tanpa

merujuk pada Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan dalam penelitian yang

Page 20: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

9

saya tulis, membahas mengenai penemuan hukum (rechtvinding) dengan

metode interpretasi maupun kontruksi dalam sengketa ekonomi syariah. Selain

itu, penelitian ini juga membahas penemuan hukum formil pada putusan

Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan

Agama Tangerang dengan mengetahui nilai kepastian hukum, kemanfaatan,

dan keadilan.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Nurus Sa’adah, “Analisis Putusan Hakim

Dalam Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Surakarta Tahun

2013-2017 (Berbasis Nilai Keadilan), skripsi, Surakarta 2017: Jurusan Hukum

Ekonomi Syariah (Muamalah), Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dalam

skripsi ini mengkaji tentang pertimbangan hakim yang digunakan dalam

menjatuhkan putusan dan dianalisis menggunakan asas keadilan. Sedangkan

dalam penelitian yang saya tulis, membahas mengenai metode penemuan

hukum (rechtvinding) dalam sengketa ekonomi syariah. Selain itu, penelitian

ini mengkaji putusan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng yang dijatuhkan oleh

hakim di Pengadilan Agama Tangerang dengan mengetahui nilai kepastian

hukum, kemanfaatan , dan keadilan. Tidak hanya keadilan.

Keempat, artikel yang ditulis oleh Nafi’ Mubarok, “Penemuan Hukum

Sebagai Pertimbangan Sosiologis Hakim Agama Dalam Menerapkan

Hukum”, Jurnal Al-Qanun, Vol. 17, No. 2, Desember 2014, Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Tulisan tersebut

mengkaji metode penemuan hukum dengan penerapan sosiologi hukum untuk

hakim agama dalam memutus perkara. Sedangkan dalam penelitian yang saya

tulis, fokus membahas mengenai metode penemuan hukum dalam sengketa

ekonomi syariah. Selain itu, penelitian ini juga membahas penemuan hukum

formil pada putusan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng yang dijatuhkan oleh

hakim di Pengadilan Agama Tangerang sebagai kompetensi dalam

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

Page 21: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

10

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,

dan konsisten.15 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya.16 Inti daripada metodologi dalam setiap penelitian hukum

adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu

harus dilakukan.17

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum yang

dilakukan dengan memakai pendekatan hukum normatif. Penelitian hukum

normatif dapat disebut dengan penelitian hukum doktriner dan disebut

juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut

penelitian hukum doktriner, karna penelitian ini dilakukan atau ditujukan

hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.

Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian

ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder.18

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang

bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif yakni penelitian yang

mendasarkan data-data penelitiannya pada data kualitatif. Data kualitatif

dapat berupa dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan hasil wawancara.19

Sifat deskriptif yang dimaksud adalah memberikan gambaran atau

15 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet. Kelima),

h., 17. 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986, Cet.

Ketiga), h. 43. 17 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008,

Cet. Keempat), h., 17. 18 Ibid. h., 13. 19 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h., 9.

Page 22: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

11

pemaparan atas realita yang terjadi20 dalam putusan Pengadilan Agama

Tangerang Nomor 2107/Pdt.G/2016/Tng, kemudian menghubungkannya

dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang

objektif, logis, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikhendaki.

3. Data Penelitian

Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dan terbagi

menjadi dua, yaitu:

a. Data Primer

Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan

melakukan wawancara langsung terhadap pihak-pihak terkait dengan

penelitian ini terutama hakim-hakim yang menerima, memeriksa, dan

mengadili perkara Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data mengenai atau yang berkaitan dengan

objek penelitian yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber

data.21 Data sekunder berisikan informasi tentang bahan primer yang

dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan, putusan

pengadilan, Al- Qur’an, Hadis, data-data resmi dari instansi

pemerintah yang berwenang, buku-buku, internet, karangan ilmiah,

jurnal, dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumentasi

Melalui studi ini dapat menelaah bahan-bahan atau data-data yang

diambil dari dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang

20 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

& Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.,183. Menurut Moh. Nazir, Metode deskriptif

adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu

sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian

deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual,

dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki, Lihat,

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h., 54. 21 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas

Atma Jaya, 2007), h.,71.

Page 23: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

12

pemeriksaan yang terkait perkara ekonomi syariah pada putusan

Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.

b. Studi Pustaka (Library Research)

Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan

dengan penulisan skripsi ini yaitu Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

(KHES), PERMA No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian

Perkara Ekonomi Syariah, , Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fatwa DSN-

MUI, dan kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian ini.

Pengolahan data studi pustaka dilakukan dengan cara dibaca, dikaji,

dan dikelompokan sesuai dengan pokok masalah yang akan diteliti.

c. Penelitian Wawancara (Interview)

Wawancara dilakukan kepada majelis hakim yang menerima,

memeriksa, dan mengadili perkara putusan Nomor

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. Wawancara ini menggunakan metode bebas

dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan refrensi

untuk memperkuat data.

5. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan deskriptif

analisis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif

terhadap data primer dan data sekunder.22 Analisis data ini memberikan

telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah,

atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan

terhadap hasil penelitian.23

Pada penelitian ini, sifat deskriptif analisis dengan pendekatan

kualitatif yang akan digunakan pada putusan Pengadilan Agama

Tangerang Nomor Register Perkara 2107/Pdt.g/2016/P.A.Tng., dan

22 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h., 107. 23 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

& Empiris, h., 183.

Page 24: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

13

melakukan wawancara terhadap hakim yang memeriksanya, untuk

mengetahui proses dan aturan hukum yang digunakan dalam proses

penemuan hukum dalam putusan ekonomi syariah tersebut.

Langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan

data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, baik data primer maupun

sekunder. Setelah data terkumpul, kemudian dipilih kategori mana yang

relevan dan mana yang tidak relevan terhadap penelitian ini. Setelah itu,

disusun menjadi rancangan yang sistematis untuk ditampilkan sehingga

pada kesimpulan akhir didapatkan suatu simpulan berdasarkan data yang

peroleh secara lengkap.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi nantinya, diperlukan adanya uraian mengenai

susunan penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada

pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu, penulis merencanakan

penulisan ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, yaitu:

BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, studi (review) terdahulu,

metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian penemuan hukum,

sebab penemuan hukum, sistem penemuan hukum, metode

penemuan hukum, prosedur dan teknik pengambilan

putusan dalam penemuan hukum, peran hakim dalam

peneman hukum.

BAB III Penulis membahas mengenai kompetensi peradilan agama

dalam menangani perkara ekonomi syariah yang terdiri dari

kedudukan dan kewenangan peradilan agama, hukum

materiil dan formil di Pengadilan Agama dalam perkara

ekonomi syariah, dan hubungan Pengadilan Agama dengan

arbitrase syariah.

Page 25: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

14

BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan duduk perkara,

pertimbangan hukum beserta amar putusan terkait Perkara

Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng dan menganalisisnya

dengan berpedoman pada aturan yang berlaku dan

berdasarkan pada metode penemuan hukum oleh hakim.

BAB V Pada bab akhir ini, penulis akan memberikan kesimpulan

yang disertai dengan saran-saran.

Demikianlah rancangan sistematika penulisan ini, mudah-mudahan rancangan

ini dapat dimengerti dan bermanfaat.

Page 26: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM

A. Pengertian Penemuan Hukum

Terlepas dari tidak wajibnya mengikuti preseden, diacunya yurisprudensi

kuat bagi penyelesaian sengketa serupa menunjukan bahwa tugas hakim

bukan sekedar menerapkan undang-undang. Melalui putusannya yang menjadi

yurisprudensi kuat, hakim juga membuat hukum. Hal itu dalam praktik

penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala terminologi yang

digunakan oleh undang-undang tidak jelas, undang-undang tidak mengatur

masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan dengan

situasi yang dihadapi. Oleh karena itulah, hakim dalam hal ini lalu melakukan

pembentukan hukum (rechtvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan

hukum (rechtverfijning), atau penafsiran (interpretative). Kegiatan-kegiatan

semacam itu, dalam sistem hukum kontinental disebut sebagai penemuan

hukum (rechtsvinding).24

Kehadiran penemuan hukum dalam dunia hukum memberikan solusi

antara pandangan legisme, begriffsjurisprudenz yang terlalu tajam dalam

menyikapi pandangannya dalam suatu penyelesaian persoalan hukum.25

Penemuan hukum merupakan aliran yang menyatakan bahwa hakim terikat

pada undang-undang, tetapi tidaklah seketat seperti menurut ajaran legisme,

24 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008, Edisi

Revisi), h., 282. Sudikno Mertokusumo memberikan 5 istilah yang sering dikaitkan dalam

kegiatan penemuan hukum, yaitu Pembentukan Hukum (rechtsvorming), Penerapan Hukum

(rechtstoepassing), Pelaksanaan Hukum (rechtshandhaving), Penciptaan Hukum (rechtschepping),

Penemuan Hukum (rechtsvinding). Lihat, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah

Pengantar, h., 47-48. Yang dimaksud penemuan hukum bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi

hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan untuk diterapkan dalam

peristiwa konkret. Lihat, Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press,

2012), h., 53. 25 Aliran begriffsjurisprudenz merupakan aliran yang memperbaiki aliran Legisme. Aliran

ini mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang tidak lengkap, tetapi undang-undang masih bisa

menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas.

Penggunaan hukum logika yang dinamakan silogisme menjadi dasar aliran ini, tujuan dari aliran

ini ialah bagimana kepastian hukum dapat terwujud. Lihat, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h.,

155.

Page 27: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

16

karena hakim juga memiliki kebebasan. Namun kebebasan hakim dalam

melaksanakan tugas disebut sebagai kebebasan yang terikat atau keterikatan

yang bebas. Oleh karena itu, tugas hakim disebutkan demikian karena ia

berperan dalam penemuan hukum berdasarkan tuntutan zaman.26

Berdasarkan hal di atas, eksistensi penemuan hukum begitu mendapatkan

perhatian yang berlebih, karena penemuan hukum dirasa mampu memberikan

suatu putusan yang dinamis dengan memadukan aturan yang tertulis dan

aturan yang tidak tertulis. Penemuan hukum diartikan sebagai wadah ijtihad

hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa tujuan hukum.

Sehingga penemuan hukum dirasa memiliki corak yang indah yang menjelma

menjadi suatu putusan hakim yang didambakan. Berdasarkan hal tersebut, lalu

apa yang dimaksud dengan penemuan hukum oleh hakim itu?

Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, penemuan

hukum diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada hanya penerapan

peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana kadang-kadang atau sering

terjadi bahwa peraturannya harus diketemukan, baik dengan jalan interpretasi

maupun dengan jalan analogi ataupun pengkonkretan hukum.27 Sependapat

dengan Scholten, Panggabean mengartikan penemuan hukum sebagai proses

konkretisasi terhadap peraturan hukum yang bersifat umum dengan

memperhatikan peristiwa konkret yang terjadi dalam perkara tersebut.28

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses

pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang

diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkrit.

Jadi, yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan

atau menentukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.29

Menurut Arif Hidayat, penemuan hukum dapat diartikan sebagai tindakan

untuk menyisiasati terjadinya kesenjangan dalam undang-undang (legal gap),

26 Zainuddin Ali, Metode Penemuan Hukum, h.,146. 27 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 154. 28 H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia,

(Bandung: PT. Alumni, 2014), h., 217. 29 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, h., 49.

Page 28: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

17

yang terjadi akibat undang-undang yang cepat atau lambat akan tertinggal oleh

fakta seiring berubahnya tananan sosial tempat hukum itu hidup di dalam alam

kenyataan. Legal gap yang dimaksud antara hukum di atas kertas (law in the

books), dan hukum yang hidup dalam kenyataan (law in action).30

Dari pengertian penemuan hukum di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa yang dimaksud penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum

oleh hakim, yang dimana hakim tersebut tidak hanya melihat pada konteks

tekstual atau dalam arti hanya dari undang-undang saja, namun dapat juga dari

sumber hukum yang lain. Pada penemuan hukum pula, hakim harus melihat

apakah undang-undang tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau

tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Jika terjadi demikian, maka hakim

dapat melakukan penemuan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan

hukum yang konkrit dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Disisi lain, penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh

subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan

hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode

tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum, seperti interpretasi,

penalaran, kontruksi hukum dan lain-lain.31 Menurut Amir Syamsudin

sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifa’i, kaidah-kaidah atau metode-metode

tertentu yang digunakan oleh hakim dalam pembentukan hukum bertujuan

agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara

30 Arif Hidayat, “Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim Dalam Putusan

Pengadilan, Pandecta, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013, h.,154. Penyebab terjadinya Legal Gap

dikarenakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh legislatif maupun

eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan

perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal atau keadaan yang khendak diatur oleh

peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu, kekosongan hukum dapat terjadi ketika hal-hal atau

keadaan yang terjadi belum diatur dalam peraturan-perundang-undangan atau sekalipun sudah

diatur namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang

menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan-perundang-undangan senantiasa tertinggal atau

terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat.” Lihat,

Muhammad Syukri Albani Nasution, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta: Kencana,

2016, Cet. Pertama), h., 286. 31 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h.,52-53.

Page 29: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

18

tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses

itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum.32

Penemuan hukum nampaknya tidak hanya persoalan yang khas dalam

sistem hukum eropa kontinentel yang berpedoman pada hukum tertulis berupa

perundang-undangan33, namun sistem hukum Islam juga mengenal adanya

penemuan hukum (rechtvinding). Dalam sistem hukum Islam penemuan

hukum dikenal dengan istilah “Ijtihad”.

Ijtihad menurut istilah ulama ushul, yaitu mencurahkan daya kemamuan

untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terinci.

Adapun lapangan ijtihad ini meliputi dua hal, yaitu: (1) sesuatu yang tidak ada

nashnya sama sekali, dan (2) sesuatu yang ada nashnya yang tidak pasti.

Kedua lapangan ijtihad inilah merupakan objek yang sangat luas untuk

melakukan ijtihad. Karena seorang mujtahid itu meneliti agar sampai kepada

mengetahui hukumnya dengan cara qiyas (analogi), atau istishan

(menganggap baik), atau istishab (menganggap berhubungan), atau

memelihara ‘Urf (kebiasaan), atau maslahah mursalah (kepentingan umum).34

32 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespek tif Hukum Progresif, h.,

23. 33 Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem civil law berupa

peraturan-perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka

menemukan keadilan, para yuris lembaga-lembaga yudisial maupun quas i-judisial merujuk kepada

sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber itu, yang jadi rujukan pertama dalam tradisi sistem civil

law adalah peraturan perundang-undangan. Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu

Hukum, (Jakarta: Kencana, Edisi Revisi, 2008), h.,259. Selain itu, Menurut Bagir Manan

sebagaimana dikutip oleh Herowati Poesko, sesuai dengan tradisi hukum yang berlaku, hukum

wajib mengutamakan penerapan hukum tertulis, kecuali kalau akan menimbulkan ketidakadilan,

bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Lihat, Herowati Poesko, “Penemuan

Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata, Jurnal Hukum Acara Perdata

ADHAPER, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2015), h., 229. 34 Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h.,

148-149. Metode Ijtihad kini semakin diperlukan karena pengaruh era globalisasi. Menurut Yusuf

al-Qardhawi sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, untuk menghadapi era globalisasi saat ini

terdapat dua metode yang tepat dalam berijthad, yaitu pertama: Ijtihad intiqa’i (tarjin) yakni

memilih satu pendapat dari pendapat terkuat yang ada dalam warisan fikih Islam, kemudian

menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan relevan dengan kondisi saat ini sehingga dapat

diterima. Kedua: Ijtihad Insya’I yakni pengambilan kesimpulan baru dari suatu persoalan, dimana

persoalan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik berupa persoalan lama

maupun baru. Dalam metode ijtihad insya’i diperlukan pemahaman yang baik tentang metode

pnentuan hukum yang dikemukakan oleh para ahli ushul fikih yaitu qiyas, istishan, istislah,

maslahah mursalah, dan sadduz zari’ah, serta maqashidusy syariah. Lihat, Abdul Manan, Aspek-

Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Ketiga), h., 242-243.

Page 30: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

19

Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid

wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’

dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan

pasti.35 Adapun sandaran diperbolehkannya melakukan ijtihad berdasar pada :

1. Surat al- Hasyr (59): 2:

فاعتبروا ي ولى ال بصار آ أ

“maka ambillah pelajaran hai orang-orang yang berakal”

2. Surat an- Nahl (16): 43 dan Surat al- Anbiya’ (21): 7:

اهل الذ كر ان كنتم ل تعلمو ن فسئلوآ

“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan

jika kamu tidak mengetahui”

3. Surat an- Nisa (4): 59:

ر سول...شيئ فردو ه الى الله وا ل فان تنا ز عتم في

“maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah

kepada Allah dan Rasul.. ”

4. Hadis Riwayat Abu Hurairah

ل الله صلى الله عليه ورس حد يث عمر و بن العاص رضي الله عنه : أنه سمع

م وإذا حكم فا جتهد ث , فله أجران إذا حكم الحاكم فا جتهد ثم أصاب : وسلم قا ل

جر.أخطأ فله أ

“Diriwayatkan dari Amr bin Asy radhiyallahu ‘anhu, beliau telah

berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallahu

‘alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim memutuskan

suatu perkara dengan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia

akan mendapatkan dua pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan suatu

perkara dengan berijtihad, tetapi ijtihadnya itu tidak benar, maka ia

akan memperoleh satu pahala”

35 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), Jilid 2, h., 227.

Page 31: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

20

Firman Allah dalam Al- Qur’an dan Hadis Nabi tersebut di atas menjadi

dalil adanya ijtihad dalam menetapkan hukum, terutama jika dalam masalah

yang dihadapi ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam Al- Quran dan As-

Sunnah. Ijthad dapat dilakukan bukan hanya oleh fuqaha atau ushuliyyin.

Seorang hakim di pengadilan pun, jika menemukan masalah yang

membutuhkan pemikiran mendalam, dapat melakukan ijtihad dalam memutus

perkara yang dihadapi. Hal itulah yang dalam lingkungan peradilan disebut

dengan penemuan hukum.36

B. Sebab Penemuan Hukum

Kehadiran aliran penemuan hukum tidak langsung terjadi dan tumbuh

dalam perkembangan ilmu hukum, aliran ini terjadi berdasarkan keadaan yang

terus dinamis dalam masyarakat. Penyebab lain yang menjadi inspirasi atas

lahirnya penemuan hukum yaitu kehadiran aliran-aliran hukum yang berasal

dari undang-undang dan putusan hakim yang selama berabad-abad

menimbulkan perdebatan sengit yang tak putus-putusnya. Setidaknya, terdapat

2 aliran yang menjadi lahirnya penemuan hukum yakni aliran Legisme dan

Freirechtslehre.

Aliran legisme merupakan aliran yang menjunjung tinggi undang-undang.

Hakim tidak boleh menyimpang dari undang-undang meskipun teks tersebut

tidak berjiwa manusiawi. Segala perkara yang diterima harus berdasarkan

undang-undang, tidak boleh ansir-ansir non-yuridis masuk ke dalam putusan

hakim. Oleh karena itu, hakim tidak boleh berbuat selain dari tugasnya yakni

menerapkan undang-undang.

Seorang hakim hanya merupakan “corong undang-undang”, sebagaimana

pendapat Montesquieu mengemukakan bahwa: “Hakim-hakim rakyat tidak

lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak

berjiwa manusiawi, maka para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang

kekuataannya maupun keketatannya.” Menurut Achmad Ali, aliran Legisme

36 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), h., 185.

Page 32: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

21

muncul disaat hukum kebiasaan mendominasi, saat itu terasa ketidakpastian

berlangsung pada dunia hukum. Akhirnya muncul dimana kepercayaan

sepenuhnya dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian

dari hukum tak tertulis. Kepastian hukum memang mungkin terwujud dengan

undang-undang tetapi pihak lain muncul kelemahan undang-undang,

khususnya sifat yang statis dan kaku. 37

Dalam perkembangannya, aliran legisme ini semakin lama semakin

ditinggalkan. Karena semakin lama semakin disadarai bahwa undang-undang

memiliki kelemahan lagi selain sifatnya statis dan kaku, yakni tidak dapat

mencangkup kebutuhan masyarakat akan suatu permasalahan hukum.

Kehadiran hakim yang hanya merupakan corong undang-undang memberikan

makna bahwa hukum dapat dikatakan berkacamata kuda.38 Sehingga adagium

lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian

bunyinya) menjadi relevan di dalam aliran ini.

Akibat kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam perjalanan aliran

Legisme, kemudian lahirlah aliran Freie Rechtslehre atau Freie

Rechtsbewegung atau Freie Rechtsschule sebagai penentang aliran legisme

yang memiliki banyak kekurangan.

Aliran Freie Rechtslehre ini bertolak belakang dengan aliran legisme.

Aliran ini lahir karena melihat kekurangan-kekurangan dalam aliran legisme

yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tidak dapat

mengatasi persoalan-persoalan baru. Ciri utama pada aliran ini adalah hukum

tidak dibuat oleh legislatif. Hakim menentukan dan menciptakan hukum

(judge made law), karena keputusannya didasarkan pada keyakinan hakim.

Jurisprudensi adalah sumber hukum primer, sedangkan undang-undang adalah

sekunder. Keputusan hakim lebih dinamis dan up to date karena senantiasa

mengikuti keadaan perkembangan di masyarakat dan bertitik tolak pada

kegunaan sosial (social dolmatigheid). Tujuan utama aliran ini yakni

memberikan kemanfaatan dalam masyarakat. Namun dalam perkembangan

37 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 151 38 Yang dimaksud hukum berkacamata kuda ialah hukum yang diproyeksikan untuk tidak

mempertimbangkan hal-hal lain selain yang ada dalam undang-undang.

Page 33: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

22

selanjutnya, ternyata ditemukan bahwa solusi menemukan yang pada awalnya

menjadi tujuan utama aliran Freie Rechtslehre justru menimbulkan

ketidakpastian dalam perjalanan selanjutnya.39

Pandangan Legisme dan Freie Rechtslehre yang ekstream tersebut secara

tegas membedakan hukum yang berasal dari perundang-undangan dan hukum

yang berasal dari peradilan. Pandangan Legisme yang menjunjung tinggi akan

kepastian hukum, sedangkan ajaran Freie Rechtslehre yang menjunjung akan

kemanfaatan bagi masyarakat. Namun, kedua pandangan tersebut ternyata

tidak dapat dipertahankan. Karena pemikiran hukum harus berdasarkan asas

keadilan masyarakat yang terus berkembang. Maka timbullah aliran penemuan

hukum (rechtvinding) yang berdiri di antara Legisme dan Freie Rechtslehre.

Adapun ajaran penemuan hukum ini menyatakan bahwa:

1. Hukum itu terbentuk melalui beberapa cara

2. Pertama-tama karena wetgever (pembentuk undang-undang) yang

membuat aturan umum, hakim harus menerapkan undang-undang.

3. Penerapan undang-undang tidak dapat langsung secara mekanis

melainkan melalui penafsiran (interpretasi) dan karena itu ia sendiri

kreatif.

4. Perundang-undangan tidak dapat lengkap sempurna. Kadang-kadang

digunakan istilah yang kabur yang maknanya harus diberikan lebih

jauh oleh hakim dan kadang-kadang terdapat kekosongan dalam

undang-undang yang harus diisi oleh peradilan.

5. Di samping oleh perundang-undangan dan peradilan, hukum juga

terbentuk karena di dalam pergaulan sosial terbentuk kebiasaan.

6. Peradilan kasasi berfungsi terutama untuk memelihara kesatuan hukum

dalam pembentukan hukum.

39 “Profil Jurnal Rechtsvinding”, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari

http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil.

Page 34: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

23

Menurut Soeroso, uraian di atas dengan singkat dapat dikatakan bahwa

hukum itu terbentuk dari kebiasaan, perundang-undangan dan proses

peradilan. 40

Di Indonesia, aliran penemuan hukum juga dikenal terutama dalam

praktik peradilan dan mulai mendapatkan tempatnya dalam peraturan

perundang-undangan terutama yang mengatur tentang kekuasaan

kehakiman yang secara subtansial mengantur mengenai beberapa

ketentuan yang memungkinkan kegiatan penemuan hukum ini dilakukan.41

Jika dicermati, sebenarnya tertera beberapa ketentuan yang menjadi

dasar terjadinya penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia.

Apabila melihat undang-undang tentang kekuasaan kehakiman mulai dari

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 197042, Undang-Undang Nomor 4

Tahun 200443 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 200944 , terdapat

pasal yang menegaskan agar hakim wajib menggali mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Pasal-pasal tersebut tentu berkaitan dengan tugas pokok

hakim yakni memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Selain dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, perihal penemuan

hukum pun disinggung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) sebagai urutan pertama dalam hirarki

40 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Ketujuh), h.,

96. Disisi lain, menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara, yaitu: karena

wetgeving (pembentukan undang-undang); karena administrasi (TUN); karena rechspraak atau

peradilan ; karena kebiasaan/tradisi yang sudah mengikat masyarakat ; karena ilmu (wetenschap).

Lihat, “Profil Jurnal Rechtsvinding”, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari

http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil. 41 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 55. 42 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” 43 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 44 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam mas yarakat.”

Page 35: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

24

peraturan perundang-undangan45, sebagaimana terlihat dalam Pasal 18B

ayat (2)46 , Pasal 28 I ayat (3)47 dan Pasal 28 J ayat (2)48.

Hadirnya pasal-pasal yang termuat dalam undang-undang kekuasaan

kehakiman dan UUD 1945 memberikan arti jelas bahwa wajah penemuan

hukum di Indonesia mendapatkan tempatnya dan sekaligus menjadi

pedoman bagi para hakim dalam menjalankan tugas sebagai penegak

hukum untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai yang hidup dan

memberikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

C. Sistem Penemuan Hukum

Pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem

hukum yang ada. Penemuan hukum yang semata-mata mendasarkan pada

undang-undang saja disebut sebagai system oriented, tetapi apabila sistem

tidak memberikan solusi, maka sistem harus dikesampingkan dan menuju

problem oriented.49

Menurut Wiarda sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, sistem

penemuan hukum terbagi menjadi 2 bagian, yaitu penemuan hukum heteron

dan penemuan hukum otonom. Yang dimaksud penemuan hukum heteron

yaitu hakim dalam menangani perkara mendasarkan pada peraturan peraturan-

peraturan diluar dirinya, seorang hakim tidak mandiri karena harus tunduk

pada undang-undang. Dengan demikian, penemuan hukum ini tidak lain

merupakan penerapan undang-undang yang secara logis-terpaksa sebagai

silogisme. Berbeda dengan penemuan hukum heteron, penemuan hukum

45 Lihat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan 46 Bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan ses uai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 47 Bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban 48 Menyatakan “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi

tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.” 49 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 62.

Page 36: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

25

otonom, hakim dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri

menurut apresiasi pribadi. Disini hakim menjalankan fungsi yang mandiri

dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkret.

Negara Indonesia yang menganut hukum Kontinental mengenal penemuan

hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang tetapi

penemuan hukum ini mempunyai unsur otonom yang kuat, karena sering kali

hakim harus menjelaskan atau lengkapi undang-undang menurut

pandangannya sendiri. Sedangkan hukum precedent yang dianut negara-

negara Anglo Saxon adalah hasil penemuan hukum otonom sepanjang

pembentukan peraturan dan penerapan peraturan dilakukan oleh hakim, tetapi

sekaligus bersifat heteronom, karena hakim terikat pada putusan-putusan

terdahulu.

Melihat kedua sistem penemuan hukum di atas, rasanya tidak bisa

dipisahkan pada seorang hakim. Karena kedua sistem tersebut sama-sama

membantu hakim dalam melakukan menyelesaikan perkara. Sebagaimana

pendapat Sudikno sendiri “tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum

yang heteronom dan otonom. Kenyataanya di dalam praktik penemuan hukum

mengandung kedua unsur tersebut, yakni heteronom dan otonom”. 50

D. Metode Penemuan Hukum

Peristiwa hukum yang ditemukan oleh hakim dalam memeriksa perkara,

tidak semuanya ditemukan aturan hukum yang pas atau aturan hukum yang

ada tidak relevan pada saat ini, hingga terdapat lebih dari satu aturan hukum

yang saling bertentangan mengatur fakta hukum yang bersangkutan. Sehingga

memerlukan pembaharuan sosial (social engineering). Dalam situasi yang

demikian, hakim diperkenankan menggunakan alat bantu untuk menemukan

dan menentukan hukum yang menguasai fakta itu.

Penggunaan alat bantu dalam penemuan hukum oleh hakim semata-mata

dimaksudkan untuk menegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu,

50 Sudikno Merokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, (Yogyakarta:

Cahaya Atma Pustaka, 2010, Edisi Revisi), h., 212-214.

Page 37: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

26

penemuan hukum oleh hakim harus dilakukan sangat hati-hati, karena sering

dalam praktik penemuan hukum itu disalah gunakan, yaitu sekedar mencari

dasar pembenaran untuk keuntungan pihak-pihak yang berperkara (karena

keberpihakan).51

Dalam usaha menemukan hukum, hakim dapat mencarinya dalam sumber-

sumber penemuan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan

(hukum tertullis), hukum tidak tertulis (kebiasaan), yurisprudensi, perjanjian

internasional, doktrin (pendapat ahli hukum), dan perilaku manusia. Dalam hal

ini, hakim memiliki metode yang digunakan dalam melakukan penemuan

hukum yakni metode interpretasi dan kontruksi.

Dalam metode tersebut, terdapat perbedaan pandangan tentang metode

yang digunakan, yaitu pandangan yang tidak memisahkan dan yang

memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi.52

Interpretasi memiliki arti pemberian kesan, pendapat, pandangan teoritis

terhadap sesuatu atau biasa dikenal dengan sebutan tafsiran.53 Menurut

Soeroso, metode interpretasi atau penafsiran ialah mencari dan menetapkan

pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai

dengan yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. 54

Penafisran juga merupakan salah satu cara mencapai penemuan hukum yang

diperlukan untuk menegakan keadilan.55 Sedangkan metode kontruksi,

memiliki arti bahwa hakim membuat suatu pengertian hukum yang

51 Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh

Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, Hasanudin Law Review, Vol. 1, Issue. 2, (Agustus 2015),

h., 131. 52 Ada perbedaan pandangan tentang metode penemuan hukum oleh hakim menurut yuris

Eropa Kontinentel dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya, yuris Eropa

Kontinentel tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode kontruksi.

Hal itu dapat dilihat dari karangan buku-buku karangan Paul Scholten, Pitlo, maupun Sudikno

Mertokusumo di Indonesia. Sebaliknya, penulis yang secara tegas membedakan antara interpretasi

dan kontruksi adalah L.B Curzon, Ahmad Ali, Arif Sidharta, Harifin A Tumpa. Lihat, Ahmad Ali,

Menguak Tabir Hukum, h.,163. Bambang Sutiyoso, Metode Penmuan Hukum, h., 105., dan Harifin

A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus

Suatu Perkara”, h., 131-132 53 https://www.kbbi.web.id/interpretasi , diakses pada 31 Januari 2018. 54 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 97. 55 Muhammad Shiddiq Armia, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradyna

Paramita, 2003), h., 90.

Page 38: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

27

mengandung persamaan ketika tidak dijumpai ketentuan yang berlaku dalam

peraturan perundang-undangan meskipun sudah dilakukan penafsiran.56 Selain

metode interpretasi dan konstruksi hukum sebagai metode dan cara dalam

penemuan hukum, terdapat suatu metode lain yaitu hermeneutika, yakni

metode untuk menafsirkan teks-teks ayat suci akan tetapi belum populer

digunakan untuk menafsirkan teks-teks hukum.57 Metode yang kini masih

popular dan biasa dilakukan dalam praktik peradilan di Indonesia yakni

metode interpretasi dan kontruksi.

Mengenai pengertian interpretasi dan kontruksi, Ahmad Ali membedakan

nya sebagai berikut :58

1. Pada interpretasi, merupakan penafsiran terhadap teks undang-undang

masih tetap berpegang tegus pada bunyi teks itu.

2. Pada kontruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk

mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim

tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak

mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Pada metode interpretasi dan kontruski, ternyata tidak sebatas sampai

pengertian saja. Terdapat beberapa jenis atau bagian-bagian yang merupakan

kategori dari metode interpretasi dan kontruksi yang masih dianut dalam dunia

56 Ibid., h.111. Para hakim yang melakukan kontruksi dalam melakukan menemukan dan

pemecahan masalah hukum, harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: (1) kontruksi harus mampu

meliput semua bidang hukum positif yang bersangkutan (meliputi materi hukum positif), (2) tidak

boleh ada pertentangan logis didalamnya (tidak boleh membantah dirinya sendiri), (3) kontruksi

kiranya dapat mengandung faktor keindahan, yaitu bahwa kontruksi tidak merupakan sesuatu yang

dibuat-buat (faktor estetis). Selain itu, tujuan dari kontruksi adalah agar putusan hakim da lam

peristiwa konkret dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.

Lihat, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 201. 57 Alef Musyahdah R, “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan

Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No.

2, (Mei, 2013), h., 298. Penambahan metode hermeneutika dalam metode penemuan hukum tidak

menutup kemungkinan dilakukan oleh para hakim, seperti Abdul Manan yang mencantumkan

hermeneutika sebagai metode penemuan hukum dalam makalah nya pada acara Rakernas

Mahkamah Agung RI tahun 2010 di Balikpapan. Lihat, Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh

Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama." Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2,

No. 2, (Juli, 2013), h. 196. 58 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 176.

Page 39: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

28

peradilan di Indonesia dewasa ini. Adapaun jenis-jenisnya akan diuraikan

sebagai berikut:

1. Metode Interpretasi

a. Metode Subsumptif

Maksud dari metode subtantif adalah suatu keadaan di mana hakim

harus menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasus

inconcreto, dengan belum menggunakan penalaran sama sekali,

dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.59

Sebagai contoh ialah seorang hakim yang mengadili perkara

pidana, di mana penuntut umum mendakwakan bahwa terdakwa

melakukan pencurian. Pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP.

Pengertian barang, kriteria pemilikan, dan maksud melawan

hukum semuanya tidak ada penjelasannya dalam Pasal 362 KUHP.

Pengertian masing-masing unsur itu diketahui baik dari doktrin

(ajaran para pakar hukum) dan dari yurisprudensi (putusan

pengadilan terdahulu yang masih diikuti oleh putusan hakim

sesudahnya).

Jika hakim sependapat dengan dengan doktrin atau yurisprudensi

yang telah ada, maka hakim hanya menerapkan dengan

mencocokan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 362 KUHP,

terhadap peristiwa konkrit yang didakwakan pada terdakwa. Proses

pencocokan unsur-unsur undang-undang terhadap peristiwa konkrit

itulah dinamakan metode subsumptif.60

b. Interpretasi Gramatikal

Menurut Harifin A Tumpa, interpretasi ini merupakan penafsiran

yang dilakukan hakim terhadap bunyi undang-undang itu menurut

tata bahasa yang benar dan berlaku.61 Interpretasi gramatikal

59 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, Cet. Kedua),

h.,169. 60 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 184 61 Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim

dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 131.

Page 40: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

29

terjadi apabila dalam menetapkan pengertian aturan undang-

undang merujuk pada kata-kata yang digunakan atau bagian-bagian

kalimat berdasarkan kata sehari-hari atau yang lazim digunakan.62

Sebagai contoh ialah putusan Mahkamah Agung RI Nomor.

1590K/Pid/1997 tentang pencurian. Pada perkara ini, hakim

menafsirakan yang dimaksud dengan “mencuri” dalam bahasa

sehari-hari mengandung pengertian mengambil barang orang lain

untuk dimilikinya sendiri “tanpa sepengetahuan pemiliknya”.

Dalam bahasa hukum, “tanpa sepengetahuan pemiliknya” dapat

disebut sebagai tindakan melawan hukum.

c. Interpretasi Historis

Penafsiran historis adalah penafsiran yang didasarkan kepada

sejarah terjadinya suatu undang-undang..63

d. Interpretasi Sistematis

Sebuah model penafsiran memiliki susunan yang berhubungan

dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu

maupun dengan undang-undang yang lain atau membaca

penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa

yang dimaksud.

Sebagai contoh:

Pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan tidak cakap untuk

membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa.

Bunyi lengkapnya Pasal 1330 KUHPerdata ialah:

“Tidak cakap membuat perjanjian adalah: (a) Orang yang belum

dewasa, (b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, (c) Orang

perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang dan

pada umumnya orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat persetujuan tertentu”.

Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa?

62 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, h., 291. 63 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h., 96.

Page 41: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

30

Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat

Pasal 330 KUH Perdata yang memberikan batas belum berumur 21

tahun.64

e. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis

Menurut Chainur Arrasyid, pada hakikatnya suatu penafsiran

undang-undang yang dimulai dengan cara gramatikal atau tata

bahasa selalu harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Kalau

tidak demikian, maka tidak mungkin hakim dapat membuat suatu

putusan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan hukum di

dalam masyarakat.

Penafsiran sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan

dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-

undang di dalam masyarakat. Apabila suatu peraturan perundang-

undangan telah ditetapkan pada waktu pola kehidupan dan aliran-

aliran berlainan sama sekali dengan paham yanga ada dalam

masyarakat sekarang, hal itu harus dilakukan penafsiran secara

sosiologis.65

f. Interpretasi Komparatif

Metode interpretasi komparatif atau metode penafsiran dengan

membandingkan ialah penafsiran dengan jalan membandingkan

antara berbagai sistem hukum.

Contoh dari interpretasi komparatif ini ialah dalam masalah waris.

Masalah waris dapat dibandingkan dengan menurut sistem hukum

adat, hukum islam, maupun perdata barat.66

g. Interpretasi Futuristis

Interprestasi futuristis adalah penafsiran undang-undang yang

bersifat antisipasi dengan berpedoman kepada undang-undang

yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum).

64 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 102-103. 65 Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet.

Keempat), h., 92. 66 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 117.

Page 42: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

31

Misalnya suatu rancangan undang-undang yang masih dalam

proses perundangan, tetapi pasti akan diundangkan.67

h. Interpretasi Restriktif

Interpretasi ini mempersempit pengertian dari suatu istilah. Seperti

contoh kata kerugian dalam pasal 1407 BW yang mengecualikan

kerugian yang tidak berwujud (batin) seperti cacat, sakit dan lain-

lain.68

i. Interpretasi Ekstentif

Interpretasi ekstensif adalah penafsiran yang lebih luas dari

penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan

khusus menjadi ketentuan umum sesuai kaidah tata bahasanya.

Disini hakim menafsirkan kaidah tata bahasa, karena maksud dan

tujuannya kurang jelas atau terlalu abstrak agar menajdi jelas dan

konkret, perlu diperluas maknanya. Misalnya, kata “pencurian

barang” dalam Pasal 362KUHPidana, diperluas esensi maknanya

terhadap “aliran listrik” sebagai benda yang tidak berwujud.

Dengan demikian, orang yang menggunakan tenaga listrik tanpa

hak dianggap melakukan pencurian barang. Esensi kata “barang”

diperluas maknanya dari ketentuan khusus menjadi ketentuan

umum.69 Contoh lain, seperti perkataan menjual dalam Pasal 1576

KUH Perdata; ditafsirkan bukan hanya jualbeli semata-mata, tetapi

juga "peralihan hak”.70

j. Penafsiran Komprehensif

Menurut Harifin A Tumpa, hakim dapat menggunakan metode ini,

yang dimana penafsiran ini dapat mereduksi teks undang-undang

atau sebaliknya dapat pula menginduksi makna realitas suatu teks.

Metode ini mempunyai tujuan untuk menghasilkan makna sesuai

67 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h., 151. 68 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2011, Cet.

Ketigapuluh Empat), h.,390. 69 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h., 170. 70 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, h.,

70.

Page 43: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

32

kebutuhan masyarakat, bersifat kontemporer yaitu realitas dimana

ia muncul, dan bersifat realistis atas kehidupan dengan segala

problemnya. 71

2. Metode Kontruksi

a. Metode Argumentum Per Analogiam (Analogi)

Konstruksi ini juga disebut dengan "analogi" yang dalam hukum

Islam dikenal dengan "qiyas". Konstruksi hukum model ini

dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam

suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu

mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.

Misalnya dalam hal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

1756 KUH Perdata yang mengatur tentang mata uang (goldspecie).

Apakah uang kertas termasuk dalam hal yang diatur dalam

peraturan tersebut? Dengan jalan argumentum peranalogian atau

analogi, mata uang tersebut ditafsirkan termasuk juga uang kertas.

Di Indonesia, penggunaan metode argumentum peranalogian, atau

analogi baru terbatas dalam bidang hukum perdata, belum

disepakati oleh pakar hukum untuk dipergunakan dalam bidang

hukum pidana.72

b. Metode Argumentum A’Contrario

Jenis interpretasi ini merupakan cara penafsiran undang-undang

yang berdasarkan perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi

dan dipermasalahkan yang diatur dalam sebuah pasal undang-

undang. Dengan bertitik tolak dari perlawanan pengingkaran

(pengertian) itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

permasalahan yang dihadapi itu tidak termuat dalam pasal yang

dimaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.73

71 Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim

Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 131. 72 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di

Peradilan Agama”, h., 8. 73 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 115.

Page 44: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

33

Menurut Zaenal Asikin, argumentum a contrario berarti

menggunakan penalaran terhadap undang-undang yang didasarkan

pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi.74

Contoh sederhana yang lain apa yang dimaksud “causa yang halal

atau sebab yang diperbolehkan” di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Untuk menafsirkan hal itu, maka perlu dicari pengertian yang

sebaliknya. Pengertian yang sebaliknya atas “sebab yang halal” itu

dijumpai dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur “sebab

yang terlarang”, yaitu sebab yang bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

c. Rechtsservijnings (Penghalusan Hukum)

Kadang kala peraturan perundang-undangan mempunyai

cangkupan ruang lingup yang terlalu umum atau sangat luas. Itulah

sebabnya perlu dilakukan penghalusan hukum agar dapat

diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penghalusan

hukum, dibentuklah pngecualian-pengecualian atau

penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang

bersifat umum. Dalam hal ini peraturan yang sifatnya umum

diterapkan pada peristiwa hukum yang khusus atau sesuai dengan

kenyataan sosial. Dengan demikian peristiwa itu dapat diselesaikan

secara adil dan sesuai dengan kondisi kenyataan yanga da dalam

masyarakat.75

Sebagai contoh, ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tentang

maksud “perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad”

yang pengertiannya masih abstrak dan hanya perbuatan yang

bertentangan dengan undang-undang yang masuk ke dalam

kategori perbuatan melawan hukum kala itu. Namun berdasarkan

74 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, h.,112. 75 Chainur Arrasyid, Dasa-Dasar Ilmu Hukum, h., 95. Dalam istilah rechtsservijnings

banyak pakar hukum yang berbeda dalam pengartian istilah tersebut. Ada yang mengatakan

pengkonkretan hukum, dan ada yang mengatakan penghalusan hukum. Namun, secara materi

muatan perihal metode kontruksi pada rechtsservijnings mengandung arti yang sama.

Page 45: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

34

Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda pada tahun 1919,

bahwa perbuatan melawan hukum itu diperluas atau dikonkretkan

atau dihaluskan, yaitu dengan kriteria melanggar hak subjek

hukum lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, serta

bertentangan dengan kepatutan subjek hukum lain yang diakui

dalam kehidupan masyarakat.76

d. Fiksi Hukum

Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu

hukum (presumption iures de iure). Dalam sebuah fiksi hukum,

siapapun tanpa kecuali dianggap tahu hukum. Dalam bahasa Latin

dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat artinya

ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa

menghindar dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak

mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan

tertentu.77

Menurut Ahmad Rifai, fiksi hukum dapat dijelaskan lebih lanjut

dengan teori kebijkasanaan, di mana fiksi hukum berangkat dari

pemahaman bahwa setiap orang dianggap tahu akan hukum. Dalam

praktik peradilan, hakim harus bijaksana dalam mengambil

keputusan terhadap seorang pelaku tindak pidana, karena memang

ada kalanya si pelaku benar-benar tidak tahu akan adanya suatu

ketentuan hukum tertentu yang telah diberlakukan oleh negara.

Hakim perlu menjatuhkan putusan yang bijaksana sehingga

bermanfaat dan berkeadilan bagi para pihak.78

Menurut Ahmad Ali, fiksi yang sudah tertuang dalam wujud

putusan hakim bukan lagi fiksi, melainkan telah menjadi judge

made law, telah menjadi kenyataan dan telah menjadi hukum. Fiksi

76 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h., 174 77 Nurhasanah dan Hotnidah Nasution, “Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, Jurnal Ahkam, Vol. XVI, No. 2, (Juli, 2016), h., 275. 78 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, h.,

86.

Page 46: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

35

berfungsi pada saat-saat perlihan, manakala peralihan usai,

berakhir pula fungsi fiksi tersebut.79

Teori fiksi sangat mendapat tempat dalam hukum pada abad-abad

sebelumnya, tetapi di abad ke 20 sudah mulai dilupakan orang.80

Meskipun fiksi hukum sudah lama ditinggalkan, tetapi faktanya

pandangan ini dianut dunia peradilan, baik Mahkamah Agung

(MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MA No.

645K/Sip/1970 dan putusan MK No. 001/PUU-V/2007 memuat

prinsip yang sama yaitu ketidaktahuan seseorang akan undang-

undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf. Putusan MA No. 77

K/ Kr/1961 menegaskan bahwa tiap-tiap orang dianggap

mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu

diundangkan dalam lembaran negara

Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan suatu

peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya.

untuk memilih metode penemuan mana yang paling cocok dan relevan Untuk

diterapkan dalam suatu perkara. Hakim harus jeli dan memiliki

profesionalisme tinggi dalam menerapkan metode penemuan hukum

sebagaimana tersebut di atas. Apabila seorang hakim dapat mempergunakan

metode hukum yang relevan dan sesuai dengan yang diharapkan dalam kasus

yang sedang diperiksanya, maka putusan yang dilahirkan akan mempunyai

nilai keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan.81

79 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h.,311. 80 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.,12. 81 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di

Peradilan Agama." h., 11.

Page 47: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

36

E. Prosedur dan Teknik Pengambilan Putusan dalam Penemuan Hukum

Dalam melakukan penemuan hukum, seorang hakim tidak langsung

melakukannya tanpa memperhatikan hal-hal yang secara prosedural harus

dilakukan dalam dunia peradilan. Seorang hakim harus selektif dan ekstra

hati-hati. Proses selektif dan sikap hati-hati oleh hakim memberikan pengaruh

yang besar dalam proses penemuan hukum sehingga terciptanya putusan yang

berjiwa tujuan hukum.

Untuk melakukan penemuan hukum oleh hakim, maka pertama-tama

hakim harus melihat kepada undang-undang yang tersedia yang mengatur

tentang perkara yang ditanganinya, apabila dalam undang-undang tersebut

tidak jelas, maka hakim melakukan penafsiran subtantif, sistematis, historis

ataupun sosiologis. Sedangkan, apabila undang-undang tidak mengaturnya,

maka hakim melakukan penemuan hukum dengan penalaran argumentum

contrario, argumentum peranalogian, ataupun penyempitan/penghalusan

hukum. Dan apabila undang-undang belum mengatur tentang permasalahan

perkara tersebut, maka hakim dengan cara menggali nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan bantuan metode di atas.82

Proses penemuan hukum oleh para hakim dibedakan dalam 2 (dua) tahap.

Pertama, tahap sebelum pengambilan keputusan (ex ante/didasarkan pada

asumsi dan prediksi). Dalam teori penemuan hukum modern disebut dengan

heuristika, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan

pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro kontra

terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan

yang lain untuk ditemukan yang paling tepat. Kedua, tahap setelah

pengambilan keputusan. Dalam teori penemuan hukum modern disebut

dengan legitimasi, yaitu pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan)

82 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan

Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)" , Jurnal

Konstitusi, Vol. 1, No. 1, November, 2012), h., 54-55.

Page 48: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

37

dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran

yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan.83

Menurut Panggabean, proses penemuan hukum yang dilakukan oleh

hakim memerlukan beberapa faktor, antara lain : (1) tahapan pemeriksaan

sesuai anatomi putusan, (2) sistem penemuan hukum, (3) sumber penemuan

hukum, dan (4) berbagai antinomi untuk pengambilan keputusan.84

Adapun Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali

memberikan tiga tahap tugas hakim sebagai berikut :85

1. Tahap Konstatir

Pada tahap ini, hakim mengkonstituir benar atau tidaknya peristiwa yang

diajukan. Misalnya, benarkah si A telah memecahkan jendela rumah B

sehingga si B menderita kerugian? Disini para pihak (dalam perkara

perdata) dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk

membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Dalam tahap konstatir

ini, kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi

hakim sangat dibutuhkan dalam tahap ini.

2. Tahap Kualifikasi

Disini hakim mengkualifikasi, termasuk hubungan hukum apakah tindakan

si A tadi? Dalam hal ini dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan

hukum (Pasal 1365 BW)

3. Tahap Konstituir

Disini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan (para

pihak atau terdakwa), hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu

simpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya (dalam contoh Pasal

365 BW) dan premis minor berupa tindakan si memecahkan kaca jendela

si B.

Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai dari pada tahap kualifikasi

dan berakhir pada tahap konstituir.

83 Alef Musyahadah R, “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan

Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”, h., 300. 84 H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia , h., 218. 85 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 173

Page 49: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

38

Adapun teknik pengambilan putusan,dapat memilih 3 (tiga) jenis teknik

pengambilan putusan dan penerapan hukum yakni :86

1. Teknik Analitik

Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim

mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai Hukum Acara

secara lengkap. Tehnik Analitik paling cocok di pergunakan pada perkara-

perkara yang berskala besar dan biasanya dalam hukum kebendaan (Zaken

Rech). Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat khusus, lalu ditarik

kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan deduktif). Dalam

pertimbangan hukum, Hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih

dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan

dengan pokok masalah tersebut, misalnya dalam bidang kewarisan, hakim

harus memulai dengan pernyataan siapa pewaris, lalu siapa ahli warisnya,

barang-barang waris apa saja, berapa bagianmasing-masing, dan

bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja analisa dari pertanyaan tersebut

sekaligus mempertimbangkan alat-alat bukti dan menjawab petitum dari

gugatan.

Jika penjelasan tentang Hukum Acara belum begitu lengkap, sebaiknya

jangan pakai metode ini, sebab sangat sulit dalam hal analisa masalah dan

pengambilan keputusan

2. Teknik Equatable

Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan dari

prinsip keadilan. Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat

bukti yang diajukan penggugat dan tergugat. Apabila alat-alat bukti itu

telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam

peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).

3. Teknik Silogisme

Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan

dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnis ini disebut juga dengan

86 Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di

Peradilan Agama." h., 16.

Page 50: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

39

metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini umum

kepada hal-hal yang bersifat khusus. Penggunaan hukum logika yang

dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim

mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan

hukumnya, dan primesse minor, yaitu peristiwanya. Sebagai contoh, siapa

mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio

dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-

undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika

dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio. Kritik

terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar

persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani

maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat

irrasional.

F. Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum

Seorang hakim merupakan organ utama peradilan yang mempunyai tugas

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Ia

berperan sebagai pemberi keadian atas permasalahan yang terjadi. Seorang

hakim dipercaya oleh para pencari keadilan agar memberikan putusan yang

berkeadilan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, bahkan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Agus Sudaryanto, dalam

pelaksanaan tugas dan perannya, hakim berkewajiban menemukan hukum

didorong oleh beberapa faktor: Pertama, karena hampir semua peristiwa

hukum konkrit tidak sepenuhnya terlukis secara tepat dalam suatu undang-

undang atau peraturan perundang-undangan ; Kedua, karena ketentuan

undang-undang atau peraturan perundang-undangan tidak jelas atau

bertentangan dengan ketentuan lain, yang memerlukan “pilihan” agar dapat

diterapkan secara tepat, benar, dan adil; Ketiga, akibat dinamika masyarakat,

terjadi beberapa peristiwa hukum yang baru yang tidak terlukis dalam undang-

Page 51: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

40

undang atau peraturan perundang-undangan; Keempat, kewajiban menemukan

hukum juga timbul karena ketentuan atau asas hukum yang melarang hakim

menolak memutus suatu perkara atau permohonan atas alasan ketentuan tidak

jelas atau undang-undang kurang mengatur. 87

Selain beberapa faktor yang telah disebutkan diatas, Ahmad Ali

mengemukakan kapan penemuan hukum harus dilakukan oleh hakim yang

terbagi ke dalam 2 pendapat. Pertama, pendapat dari penganut doktrin seins-

clair yang menyatakan penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan ketika:

1) tidak ditemukan peraturan untuk suatu kasus yang konkrit, dan 2) peraturan

yang ada belum/tidak jelas. Kedua, pendapat yang menyatakan hakim selalu

dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. 88

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah

mengkonstatasi peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan

peristiwa konkrit, mengkualifikasi peristwa konkrit yang berarti menetapkan

peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit, dan mengkonstitusi atau memberi

hukum atau hukumannya. Semua itu pada dasrnya sama dengan kegiatan

seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan

87 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan

Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)” h., 54. Harus

diingat bahwa tugas hakim hanyalah menegakan hukum dan keadilan. Ia bukanlah pembuat

undang-undang, sehingga penerapan konsep rechtsvinding hanya boleh dilakukan hakim apabila:

Pertama, tidak ditemukan aturan hukumnya didalam perundang-undangan yang ada. Kedua, diatur

dalam perundang-undangan yang ada tetapi tidak jelas makna atau mengandung pelbagai

penafsiran, Ketiga, aturan yang ada di dalam perundang-undangan tidak lagi memenuhi rasa

keadilan masa kini (out of date). Keempat, didasarkan pada suatu yurisprudensi atau pendapat ahli.

Lihat pula, Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh

Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 138. 88 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 164. Menurut Abdul Manan, sekarang doktrin

Sens Clair sudah banyak ditinggalkan, sebab sekarang muncul doktrin baru yang menganggap

bahwa hakim dalam setiap putusannya selalu melakukan penemuan hukum, karena bahasa hukum

senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Dalam arus globalisasi

seperti sekarang ini banyak hal terus berkembang dan memerlukan interpretasi, sedangkan

peraturan perundang-undangan banyak yang statis dan lamban dalam menyesuaikan diri dengan

kondisi perubahan zaman. Lihat, Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek

Hukum Acara Di Peradilan Agama”, h., 5.

Page 52: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

41

harus memecahkannya , yaitu meliputu : (1) legal problem identification, (2)

legal problem solving, dan (3) decision making.89

Dalam menjalankan tugasnya di persidangan, hakim harus senantiasa

mengikuti perkembangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar

terciptanya suatu putusan yang berkeadilan. Menurut Bagir Manan, nilai-nilai

hukum sudah tumbuh dalam masyarakat meskipun undang-undang belum

mengaturnya. Hal itu dapat dilihat dari wujud adat istiadat dan keyakinan.

Sebenarnya bukanlah hukumnya yang tidak ada, namun belum ada undang-

undangnya, karena hukum selalu hidup dalam masyarakat, sebagaimana

ungkapan populernya Cicero yang mengatakan “ubi socities ibi ius” (di mana

ada masyarakat disitu ada hukum). Disini terlihat nyata tugas hakim sebagai

organ utama peradilan memikul tanggung jawab dalam melakukan penemuan

hukum melalui hukum tak tertulis.90

Namun, hadirnya paradigma “hakim sekedar terompet atau corong

undang-undang” menegaskan bahwa seorang hakim hanya terpaku pada

aturan dogmatis dalam menerapkan hukum. Dimana ungkapan Montesquieu

itu masih dirasakan saat ini. Hakim tidak memiliki kreativitas-kreativitas atau

memberikan argumentasi yang logis dalam suatu putusan. Menurut Ahmad

Ali, paradigma tersebut harus dihapuskan dari praktik peradilan kita di

Indonesia, jika kita menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang lebih

responsif.

Berkaitan dengan peran hakim, pada dasarnya peran utama hakim adalah

dalam perisdangan. Karena menjadi penentu penyelesaian kasus yang

dihadapinya melalui putusan hakim.91 Dalam hal memberikan suatu putusan,

seorang hakim tidak boleh terlibat oleh campur tangan orang lain, karena

sebagaimana ungkapan Hans Kelsen menyatakan dengan tegas bahwa salah

satu syarat untuk adanya negara hukum adalah keberadaan peradilan yang

89 Siti Malikhatun Badriyah, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum

(Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum,

Vol. 40, No. 3, (2011), h., 388. 90 Muhammad Noor, dkk, “Quo Vadis Penemuan Hukum”, h., 8. 91 Siti Malikhatun Badriyah, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum

(Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”, h., 389

Page 53: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

42

bebas, termasuk bebas dari tekanan opini publik ketika menjatuhkan

putusan.92

Oleh karena itu, seorang hakim mempunyai peran sangat penting dalam

menegakan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para

pencari keadilan selalu berharap perkara yang diajukannya dapat diputus oleh

hakim yang professional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga

putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum)

tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice

(keadilan masyarakat).93

Seorang hakim kadang-kadang dihadapkan pada persoalan seolah antara

hukum yang dipakai tidak sinkron dengan keadilan yang dicapai. Tidaklah

mudah bagi seorang hakim untuk memadukan antara “hukum” dengan

“keadilan” dalam putusannya. Apalagi jika kita melihat kondisi sekarang yang

sudah dikatakan zaman modern, hukum pun harus senada dengan tuntutan

zaman dan lingkup sosial. Hakim tidak boleh mengabaikan hukum yang ada,

dan tidak boleh pula meninggalkan keadilan yang tumbuh di masyarakat.

Penemuan hukum dapat juga disebut sebagai upaya kreatifitas hakim

dalam menanganai perkara. Hakim berperan mencari hukumnya agar

terciptanya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dalam putusanyang

dihasilkan. Dalam hal ini, kerap kali putusan hakim dapat menjadi

yurisprudensi atau berfungsi sebagai a tool of social engineering.94

Harifin A Tumpa memberikan pengertian penemuan hukum oleh hakim,

yang pada dasarnya memberi suatu pengertian konkrit atas suatu peraturan,

dapat dipandang sebagai “landmark decision” yang bila kemuadian diikuti

92 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h., 480. 93 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan

Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)" , h.,56. 94 Hadirnya Yurisprudensi merupakan hal yang penting, karena di dalam yurisprudensi

terdapat banyak garis hukum yang berlaku dalam masyarakat, tetapi tidak terbaca di dalam

undang-undang. Menurut Rechtsvinding, hukum terbentuk karena undang-undang, kebiasaan, dan

peradilan. Peradilan inilah yang menelurkan hukum yang apabila dipergunakan oleh hakim-hakim

lain menjadi yurisprudensi. Lihat, R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2

Tentang Pihak-Pihak Dalam Perkara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kedua), h., xl.

Page 54: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

43

hakim-hakim lainnya akan terbentuk yurispridensi sebagai sumber hukum.

Putusan-putusan hakim yang merupakan hasil dari penemuan hukum, bisa

membawa perubahan, penegasan atau pengkonkritan norma yang sudah ada

dalam undang-undang.95

Menurut Arpani, undang-undang memang menuntut hakim untuk

menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang secara filosofis

berarti menuntut hakim untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan

hukum. Namun, dengan dalih kebebasan hakim atau dengan dalih hakim harus

memutus atas alasan keyakinannya hakim tidak boleh sekehendak hatinya

melakukan penyimpangan terhadap undang-undang (contra legem) atau

memberi interpretasi atau penafsiran terhadap undang-undang. Karena hal itu

akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. Dalam upaya

penemuan dan penciptaan hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-

prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini UUD tahun 1945 dan

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.96

Bustanul Arifin sebagaimana dikutip oleh A Salman Manggalatung,

mengatakan bahwa, seorang hakim haruslah learned in law (ahli dalam ilmu

hukum), hakim selain harus memahami substansi dan arti hukum, juga harus

skilled in law (terampil dalam melaksanakan atau menerapkan hukum). Di

tangan hakim, ilmu hukum menjadi pengetahuan yang praktis (applied

science). Para hakimlah yang memberi nyawa dan hidup kepada pasal-pasal

undang-undang dan peraturan yang terdiri dari huruf-huruf mati itu.97

95 Harifin A Tumpa, Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan

Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 133-134. 96 Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam

Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”., Artikel, h., 9, diakses pada tanggal 25 Maret 2018 dari http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-dalam-penemuan-

hukum-dan-penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan-oleh-drs-h-arpani-sh-

mh-64. 97 A Salman Manggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin

Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, Jurnal Cita Hukum, Vol. II, No. 2, (Desember,

2014), h., 190.

Page 55: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

44

Disamping itu, seorang hakim harus mempertimbangkan hukum dengan

nalar yang baik karena salahs atu kualitas putusan hakim dinilai dari bobot

alasan dan pertimbangan hukum yang digunakan. 98 Suatu putusan hakim

menurut JR Spencer sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap dikatakan

sama dengan putusan Tuhan.99

Menurut Arif Sidharta sebagaimana dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis,

para hakim dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggung

jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawabnya itu, sebab

keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh dari kehidupan para

yustiabel dan/atau orang-orang lain yang terkena jangkauan keputusan

tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan

penderitaan lahir dan batin yang dapat membekas dalam batin para yustiabel

yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.100

Untuk mewujudkan perilaku hakim yang bijaksana, selain mengubah

mental para hakim, juga diperlukan adanya penataan lembaga peradilan yang

bersih dan berwibawa melalui good governance, seperti pengadilan harus

bersih dari bentuk KKN, pengadilan khususnya majelis hakim harus bebas

dari segala bentuk campur tangan dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial

atau politik yang meresahkan dan menggiring majelis hakim pada arah

tertentu. Membangun sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan

majelis hakim, sebagai suatu bentuk keikutsertaan membangun pengadilan

yang berwibawa, dan kehadiran sistem pengelolaan (manajemen) yang

menjamin efisiensi, efektifitas, dan produktifitas putusan-putusan yang

bermutu.101

98 Fence M. Wantu, “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam

Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 3, (September,

2010), h., 487-488. 99 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2008), h., 11. 100 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ketiga,

2002), h., 25. 101 A Salman Manggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin

Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, h., 191

Page 56: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

45

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hukum adalah untuk manusia,

bukan manusia untuk hukum. Oleh karena itu, hakim harus senantiasa

mengedepankan nilai keadilan dalam masyarakat sehingga dan selalu

mengikuti dinamika perubahan yang ada demi terwujudnya putusan yang

selalu memberikan dampak positif bagi nama baik hakim dan peradilan yang

mandiri dan bebas dari campur tangan pihak manapun khususnya, dan

umumya bagi perkembangan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia

tercinta ini.

Page 57: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

46

BAB III

KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA DALAM

MENANGANI PERKARA EKONOMI SYARIAH

A. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama

Peradian Agama merupakan salah satu badan peradilan sebagai pelaku

kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berada di bawah lingkungan

Mahkamah Agung untuk menegakan hukum dan dan keadilan bagi orang-

orang yang beragama Islam dalam perkara tertentu. Menurut Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama bertugas, berwenang, memeriksa,

memutus, dan menyelesaiakan perkara di bidang perkawinan, kewarisan,

wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Namun, perkembangan zaman membuat

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai dengan

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan. Sehingga

lahir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menggantikan Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menandai lahirnya

paradigma baru peradilan agama. Paradigma baru tersebut menyangkut

yuridiksinya tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi

Pengadilan Agama, termasuk pelanggaran atas undang-udang perkawinan dan

peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah

Syariah dalam melaksanakan kewenanganya di bidang jinayah berdasarkan

qanun. Selain itu dengan adanya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini

landasan hukum Islam semakin kokoh. Seperti terjadinya perubahan yang

fundamental menyangkut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara

peradilan agama dengan peradilan umum , khususnya menyangkut hak opsi

dan sengketa kepemilikan.102

102 Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2008), h., 343.

Page 58: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

47

Disisi lain, dari lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

memberikan penambahan kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk

menangani perkara di bidang ekonomi syariah.103 Arti dari ekonomi syariah

sendiri merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut

prinsip-prinsip syariah.104 Sebagaimana Muhamamad Syauqi Al Fanjari yang

dikutip oleh Neni Sri Imaniyati mendefinisikan ekonomi syariah sebagai ilmu

yang mengarahkan kegiatan ekonomi dan mengaturnya sesuati dengan dasar-

dasar dan siasat ekonomi Islam.105

Dengan sebutan “perbuatan atau kegiatan usaha” maka yang menjadi

kewenangan Pengadilan Agama adalah transaksi yang menggunakan akad

syari’ah, walau pelakunya bukan muslim. Ukuran personalitas keislaman

dalam sengketa ekonomi syariah adalah akad yang mendasari sebuah

transaksi, apabila menggunakan akad syariah, maka menjadi kewenangan

peradilan agama. Dalam konteks ini pelaku non muslim yang menggunakan

akad syariah berarti menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga oleh

karenanya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa

sengketanya harus diselesaikan di Pengadilan Agama.106

Peradilan Agama dalam perjalanannya banyak menghadapi jalan terjal.

Salah satunya ketika Peradilan Agama memiliki wewenang baru mengadili

sengketa ekonomi syariah. Sebagian praktisi perbankan menyangsikan

kemampuan hakim agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.

Seolah-olah ekonomi syariah menjadi makhluk langka yang jarang ditekuni

103 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjelaskan bahwa Pengadilan

Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara -perkara di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,

hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syariah. Yang dimaksud dengan ekonomi syariah

berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf i disebutkan bahwa perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuanga n

mikro syariah, asuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga

berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana

pension lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

104 http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-peradilan-agama-

1/kewenangan-pengadilan-agama, diakses pada 19 Februari 2018.

105 Neni Sri Imaniyati, “Pengaruh Perbankan Syariah Terhadap Hukum Perbankan

Nasional”, Syiar Hukum, Vol. XIII, No. 3, (November, 2011), h. 204.

106 Muhammad Karsayuda, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai

Kewenangan Baru Pengadilan Agama”, www. badilag. net, (2009) h., 4.

Page 59: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

48

oleh hakim Peradilan Agama. Padahal, kendatipun sebagai kewenangan baru,

secara filosofis hukum-hukum keuangan dan perbankan syariah bukan sesuatu

yang asing karena muatan substantif serta terminologi yang digunakan justru

familiar bagi hakim Peradilan Agama. Apalagi, pasal-pasal yang berkaitan

dengan sengketa syariah telah diatur secara organik dalam undang-undang

peradilan agama.107

Selain jalan terjal yang disebutkan di atas, jalan terjal kembali dirasakan

oleh peradilan agama ketika lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah. Undang-undang tersebut banyak dikritik oleh

kalangangan akademisi maupun praktisi ekonomi syariah menyangkut forum

penyelesaian sengketa, karna dalam undang-undang perbankan syariah

peradilan agama bukan satu-satunya lembaga peradilan yang mempunyai

kewenangan abosulut menangani perkara perbankan syariah. Hal itu tertuang

pada penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan

sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: (a) musyawarah, (b)

mediasi perbankan, (c) melaui Basyarnas atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

(d) melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Kehadiran penjelesan pasal 55 ayat (2) tersebut menunjukan bahwa para

pihak boleh menunjuk lembaga peradilan umum dalam menyelesaikan perkara

perbankan syariah. Disini terjadi dualisme antara Pengadilan Agama dan

pengadilan umum. Persoalan dualisme akhirnya hilang ketika adanya uji

materiil terhadap Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ke

Mahkamah Konstitusi. Hasil dari uji materiil ini berupa Putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) Nomor 93 /PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa penjelasan

pasal 55 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,dan Pengadilan

Agama menjadi satu-satunya lembaga litigasi yang mempunyai kewenangan

abosolut menyelesaikan perkara ekonomi syariah.108

107 Ahmad Fauzi, “Mencari Akar Masalah”, Sengketa Ekonomi Syariah Publik Percaya

Peradilan Agama; Majalah Peradilan Agama, Edisi 4, (Juli, 2014), h., 16-17.

108 Sengketa Perbankan Syariah diselesaikan Sesuai Akad, diakses pada 19 Februari 2018

dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt521f32b33267f/sengketa-perbankan-syariah-

Page 60: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

49

Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 memang sudah mengatur

tentang kompetensi absolut (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh

karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip

syariah tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di pengadilan

lain.109 Karena yang dimaksud kompetensi absolut ialah kewenangan badan

pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak

dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Selain kompetensi absolut, dalam

hal kewenangan pengadilan, terdapat juga kompetensi relatif atau kewenangan

nisbi yang berarti kewenangan pengadilan ditempat tergugat tinggal.110

Kehadiran Pengadilan Agama sebagai bentuk kekuasaan kehakiman

disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sebagai peradilan yang menegakan hukum dan keadilan. Sebagai kekuasaan

kehakiman, Pengadilan Agama wajib menyelesaiakan perkara yang berada

dalam kewenangannya. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa “Pengadilan dilarang menolak

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib

untuk memeriksa dan mengadilinya”.111

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut,

Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan absolutnya sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 berikut

penjelasannya, wajib memeriksa dan mengadili terhadap perkara ekonomi

syariah yang diajukan kepadanya sekalipun hukum materiil dan formil yang

diselesaikan-sesuai-akad. Lihat juga, Gala Perdana Putra Lubis, “Analisis Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 93/PUU-X/ 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di

Indonesia”, Premise Law Jurnal, Vol 6, (2015), h., 6.

109 Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum: Prespektif Hukum Perdata dan

Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, Cet. Kesatu, 2016), h., 467.

110 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,

(Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2011), h., 8-9.

111 Meskipun Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 merupakan perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989, akan tetapi status peraturan perundang-undangan yang lama tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Lihat, Jaenal Aripin, Peradilan

Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h., 343.

Page 61: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

50

berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang ditanganinya tidak ada atau

kurang jelas.112

Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang, hakim peradilan agama

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang ada dalam masyarakat. seorang hakim senantiasa dipandang

piawai menyelesaiakan perkara dan Pengadilan Agama sebagai jalur litigasi

merupakan tempat yang dipercaya pencari keadilan dalam menangani perkara

di bidang ekonomi syariah. Kehadiran asas-asas umum yang terdapat dalam

Undang-Undang Peradilan Agama berupa asas personalitas keislaman, asas

kebebasan, asas wajib mendamaikan, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan,

asas persidangan terbuka untuk umum, asas legalitas, asas equity, dan asas

aktif memberi bantuan, menjadikan fundamentum umum dan pedoman umum

bagi Pengadilan Agama dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan

semangat undang-undang peradilan agama.113

B. Hukum Materiil dan Formil Dalam Bidang Ekonomi Syariah

1. Hukum Materiil

Hukum materiil merupakan hukum yang mengatur beberapa

kebutuhan serta hubungan-hubungan yang berwujud perintah serta

larangan. Sumber hukum materiil ini diambil dari beberpa faktor yang

membantu pembentukan hukum misalnya hubungan sosial, kekuatan

politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan

kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan nasional dan

internasional, dan keadaan geografis.114

112 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h., 174.

113 Sulaikan Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, Cet. Ketiga, 2008), h., 65.

114 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

Grafika, Cet. Keempat, 2006), h., 15. Menurut Abdul Manan, hukum materiil tidak saja

menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga doktrin-

doktrin, teori-teori hukum dan kebiasaan masyarakat yang sudah dianggap sebagai hukum yang

harus dipatuhi. Lihat, Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan

Agama, (Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000), h., 5.

Page 62: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

51

Menurut Jaenal Aripin, hukum materiil di peradilan agama kini

sudah meninggalkan kitab kuning ke dalam kitab putih sebagai bentuk

pengakuan akan eksistensi hukum Islam di Indonesia. Karena itu,

membicarakan tentang hukum materiil peradilan agama tidak lepas dari

perbincangan tentang perjalanan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.

Bila dipertakan, hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi

menajdi 2 (dua). Pertama hukum Islam yang berlaku secara Normatif

(kategori ibadah), dan kedua hukum Islam yang berlaku secara yuridis

formal (hubungan manusia dengan manusia/muamalah).115

Jika dikaitkan dengan ekonomi syariah, maka kegiatan ekonomi

syariah merupakan masuk kedalam kategori hukum Islam yang berlaku

secara yuridis formal karena kegiatan ekonomi dilakukan antara manusia

dengan manusia atau biasa disebut dengan kegiatan muamalah. Persoalan

muamalah tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Ia mengikuti perkembangan

zaman dengan segala jenis dan bentuk muamalah didasarkan atas kreasi

manusia yang diciptakan sesuai dengan perubahan sosial.116 Dalam hal

terjadi sengketa ekonomi syariah, maka untuk menyelesaikannya

diperlukan Sumber Daya Manusia yang kompeten dan didukung oleh

hukum materiil yang memadai yang bisa dijadikan pedoman oleh para

hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.

Fathurrahman Djamil menyebutkan beberapa hukum materiil yang

dapat menjadi dasar untuk digunakan dalam memutus perkara ekonomi

syariah di pengadilan, antara lain : (a) akad, (b) Nash al-Qur’an dan Hadis,

(c) Peraturan Perundang-Undangan, (d) Fatwa-fatwa Dewan Syariah

Nasional (DSN), (e) Fiqh dan Ushul Fiqh, (f) Adat Kebiasaan, dan (g)

Yurisprudensi.117 Adapun menurut Mardani sebagai berikut : (a) Isi

Perjanjian atau Akad yang dibuat para pihak, (b) Peraturan perundang-

115 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet.

Kesatu, 2013), h., 79.

116 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, Cet. Kedua,

2013), H., 6-7

117 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, h.,

176.

Page 63: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

52

undangan di Bidang Ekonomi Syariah, (c) Kebiasaan-kebiasaan di Bidang

Ekonomi Syariah, (d) Fatwa Dewan Syariah Nasional, (e) Yurisprudensi,

dan (d) Dokrtin.118 Selain itu, dapat kita ketahui bahwa saat ini yang

menjadi hukum materiil yang paling mencolok ialah Kompilasi Hukum

Ekonomi Syraiah (KHES). KHES dikeluarkan oleh Mahkamah Agung

berupa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.119

Dari macam-macam hukum materiil yang telah disebutkan di atas,

dapat diketahui bahwa urutan pertama yang menajdi dasar hukum materiil

untuk digunakan dalam menangani perkara ekonomi syariah yaitu Akad

atau isi perjanjian. Karena akad tersebut merupakan pacta sunt servanda

(undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian). Dari akad

tersebut dapat diketahui hak, kewajiban, larangan, dan segala macam yang

diatur dalam perjanjian para pihak, sehingga kehadiran dan kedudukan

akad dalam urutan awal hukum materiil dalam menangani perkara

ekonomi syariah merupakan langkah yang tepat. Setelah akad atau isi

perjanjian, barulah aturan-aturan lain yang selaras dengan permasalahan

yang sedang terjadi. Apabila dalam dalam aturan tidak diketemukan atau

terdapat suatu ketidakjelasan, maka Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim dan

hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, harus diterapkan

secara bijaksana oleh hakim Pengadilan Agama. Karena hakim Pengadilan

Agama mempunyai tanggung jawab yang besar, selain menegakan hukum

dan keadilan, ia juga menegakan syariat Islam.

118 Mardani, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.

Kesatu), h., 271. 119 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) memiliki memiliki isi IV (empat) buku,

yakni buku I tentang subjek hukum dan amwal, buku II tentang akad, buku III tentang zakat dan

hibah, dan buku IV tentang akuntansi syariah.

Page 64: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

53

2. Hukum Formil

Undang-Undang Peradilan Agama tidak menjelaskan secara

khusus mengenai hukum acara untuk tata cara penyelesaian sengketa

ekonomi syariah. Yang diketemukan dalam undang-undang hanya hukum

acara yang berlaku pada umumnya untuk digunakan di peradilan agama.

Sebagaimana bunyi Pasal 54 : “Hukum Acara yang berlaku pada

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara

Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus oleh undang-undang

ini”.120

Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat hukum acara

perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum dan peradilan agama, dan ada pula hukum acara yang

berlaku hanya pada Pengadilan Agama. Hal terakhir merupakan suatu

kekecualian (istisna) dan kekhususan (takhisis).121

Menurut Abdul Kadir Muhammad, hukum acara perdata

dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian

perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan

sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.122 Sejalan dengan itu, Abdul

Manan mendefinisikan hukum acara perdata merupakan hukum yang

mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan,

bagaimanapun pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan

penggugat, bagaimanpun para hakim bertindak baik sebelum dan sedang

pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara

yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan

putusan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan

120 Undang—Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

121 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Cet. Keempat, 2003), h.,241.

122 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2000), h., 15.

Page 65: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

54

kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata dapat

berjalan semestinya.123

Berkaitan dengan masih digunakannya hukum acara perdata yang

yang berlaku pada peradilan umum, penyelesaian sengketa ekonomi

syariah juga masih mengikuti hukum acara yang berlaku pada peradilan

umum. Adapun sumber hukum acara yang berlaku meliputi : Reglement

op de Bugerlijke Rechtsvordering (B.Rv), Het Herzience Indonesia

Reglement (HIR) atau disebut juga dengan Reglement Indonesia yang

diperbaharui (RIB, Rechsreglement Voor de Buitengewesten (R.Bg),

Bugerlijke Wetbook voor Indonesia (BW), Wetboek van Koophandel

(WvK), Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, Yurisprudensi,

Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Doktrin atau ilmu pengetahuan. 124

Begitupun dengan upaya hukum yang berlaku, tunduk pada tata cara

upaya hukum Peradilan Umum. Dalam upaya banding merujuk kepada

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan

(Banding) di Jawa dan Madura. Dalam upaya kasasi tunduk pada Pasal 43-

65 Undang-Undang Mahkamah Agung. Begitu pula dalam upaya

Peninjauan Kembali (PK) tunduk pada Pasal 66-79 Undang-Undang

Mahkamah Agung.125

Perkembangan hubungan hukum di masyarakat dalam bidang ekonomi

yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengalami perkembangan

yang signifikan sehingga kemungkinan menimbulkan sengketa diantara

para pelaku ekonomi syariah. Hadirnya sengketa ekonomi syariah sudah

terbukti dengan adanya perkara ekonomi syariah yang diselesaikan di

Pengadilan Agama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Dalam hal ini para hakim dan masyarakat membutuhkan kepastian hukum

terkait hukum acara yang digunakan dalam perkara ekonomi syariah. Pada

123 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Kencana, Cet. Kelima, 2008), h., 2. 124 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000), h., 5-8.

125 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah, h.,

168.

Page 66: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

55

tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara

Ekonomi Syariah. Peraturan tersebut memberikan kategori ruang lingkup

perkara ekonomi syariah yang dapat diajukan ke dalam 2 bentuk , yakni

gugatan sederhana atau gugatan secara biasa.126

Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara

Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah memberikan jawaban atas

problematika yang dihadapi para hakim dalam menyelesaiakan perkara

ekonomi syariah sekaligus untuk masyarakat sebagai pencari keadilan.

Dalam hal ini Mahkamah Agung melengkapi hal-hal yang belum cukup

diatur dalam undang-undang atau terjadi kekosongan hukum acara

perdata. Hal itu bertujuan untuk memberikan kelancaran bagi

penyelenggaraan peradilan yang dilaksanakan dengan asas sederhana,

cepat, dan biaya ringan. Meskipun tentang tata cara penyelesaian perkara

ekonomi syariah ini sudah ada, namun ketentuan hukum acara perdata

tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan

Mahkamah Agung tersebut.

C. Hubungan Pengadilan Agama Dengan Arbitrase Syariah

Pada umumnya, apabila terjadi sengketa dalam ekonomi syariah, terdapat

beberapa cara penyelesaian yang dapat ditempuh oleh para pihak yang

berperkara, yang mencangkup :127

1. Proses perdamaian antara para pihak

2. Lembaga peradilan agama sesuai dengan hukum yang mengaturnya, baik

hukum materiil maupun hukum formil

126 Yang dimaksud dengan pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara sederhana

adalah pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah yang nilainya paling banyak

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan mengacu kepada PERMA No. 2 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal yang diatur secara khusus

dalam PERMA No. 14 Tahun 2016. Penyelesaian perkara dengan gugatan sederhana diselesaikan

paling lama 25 hari. Sedangkan pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara biasa adalah

pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah dengan berpedoman pada hukum acara yang

berlaku kecuali telah diatur secara khusus dalam PERMA ini.

127 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,

(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h., 369

Page 67: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

56

3. Melalui lembaga arbitrase syariah atau alternatif penyelesaian sengketa

(penyelesaian diluar peradilan)

Adapun jika melihat mengenai tentang pilihan forum penyelesaian

sengketa yang ada dalam Fatwa DSN-MUI, maka urutan yang disajikan dalam

menyelesaikan sengketa ialah dilakukannya musyawarah. Apabila tidak

tercapai kesepakatan melalui musyawarah, maka langkah yang bisa ditempuh

melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan prinsip syariah sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana disebutkan di atas, diketahui bahwa terdapat 2 sebutan kata

“lembaga” yang dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yakni

lembaga peradilan dan lembaga arbitrase. Lembaga peradilan masuk ke dalam

kategori penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan

negara (lembaga negara) yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna mengakan hukum dan keadilan.128 Sedangkan arbitase merupakan salah

satu alternatif dari beberapa cara penyelelesaian sengketa diluar peengadilan

berdasarkan suatu kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh para pihak.129

Dan yang dimaksud dengan lembaga arbitrase disini merupakan badan yang

dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan suatu putusan

tertentu.130

128 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 129 Cicut Sutarsi, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), H., 21. 130 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, secara teoritis maupun praktek mempunyai

dua bentuk, yakni arbitrase ad hoc (ad hock arbitration) dan arbitrase institusional (institutional

arbitration). Arbitrase ad hoc, yaitu badan arbitrase yang tidak permanen atau juga disebut

arbitrase volunteer. Badan arbitrase ini bersifat sementara, setelah selesai tugasnya, maka badan ini

bubar dengan sendirinya. Sedangkan arbitase institusinal merupakan lembaga arbitase yang

bersifat permanen yang diselenggarakan di bawah supervise suatu lembaga yang sifatnya

permenen pula. Adapun arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah: BANI, BAPMI,

BASYARNAS, dll. Lihat, Parman Komarudin, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui

Jalur Non Litigasi”, Al- Iqtishadiyah; Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah , Vol.

1, Issues I , (Desember, 2014), h., 91. Atang Abd Hakim dan Sofwan Al- Hakim, “Kerangka

Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, At- Taradhi ; Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, No.1,

(Juni ,2015), h., 45. Rahmadi Indra Tektona, “Arbitrase Sebagai Alternatif Solusi Penyelesaian

Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”, Pandecta, Vol. 6, No.1 (Januari, 2011), h.,92.

Page 68: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

57

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa lembaga peradilan

merupakan lembaga negara yang berdiri atas kewenangannya dibidang

yudikatif yang ditugaskan untuk menegakan hukum dan keadilan. Sedangkan

arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang

didasarkan atas suatu kesepakatan bersama oleh para pihak. Maka dari itu,

dapat diketahui lebih lanjut beberapa perbedaan prinsip antara pengadilan

dengan arbitrase, yaitu :131

1. Pengadilan memfungsikan suatu lembaga kontrol dalam persidangannya

melalui sifat terbuka untuk umum (open baar). Kedua belah pihak harus

didengar keterangannya di depan persidangan. Sebaliknya, di dalam

persidangan arbitrase meskipun asas bahwa kedua belah pihak harus

didengar keterangannya, namun persidangan arbitrase bersifat tertutup

untuk umum, sehingga kerahasiaan (confidential) para pihak dapat terjaga.

2. Tuntutan perkara ke arbitrase hanya bisa dilakukan jika di antara para

pihak yang bersengketa terdapat perjanjian (klausul) arbitrase, sedangkan

tuntutan perkara ke pengadilan bisa diajukan tanpa syarat dan oleh

siapapun.

3. Proses beracara di pengadilan lebih bersifat formal dan sangat kaku,

sedangkan proses beracara di arbitrase lebih bersifat informal sehingga

terbuka untuk memperoleh cara penyelesaian secara kekeluargaan dan

damai (amicable) serta memberi kesempatan luas untuk meneruskan

hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya

proses penyelesaian sengketa.

Pada kenyataannya, pengadilan dengan arbitrase mempunyai beberapa

keterkaitan yang ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan

beberapa peranan pengadilan di Indonesia untuk memperkuat proses arbitrase

131 Cut Memi, “Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase Dan

Pengadilan”, Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 2 (Agustus, 2017), h., 120.

Page 69: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

58

dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksaan putusan arbitrase

tersebut.132

Hubungan pertama yang dapat diketahui antara Pengadilan Agama dengan

arbitrse syariah diawali dengan adanya pencantuman klausul arbitrase pada

kontrak perjanjian. Pencantuman klausul tersebut merupakan choice of forum

menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal itu berimplikasi terhadap

kewenangan pengadilan yang tidak menjangkau sengketa yang terjadi dalam

perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Karena perjanjian

arbitrase dibuat atas dasar kesepakatan bersama para pihak. Dalam hal terjadi

sengketa ekonomi syariah, fatwa DSN juga memerintahkan agar dapat

diselesaikan di lembaga arbitrase syariah, dalam hal ini ialah BASYARNAS.

Ketidaan hak peradilan untuk memeriksa perkara yang didalamnya tercantum

klausula arbitrase berdasar pada Pasal 3, Pasal 6, Pasal 11 ayat (1) dan (2).

Sedangkan pengakuan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan jalur

arbitrase didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 58

dan 59 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dan Fatwa DSN-MUI.

Aturan hukum sebagaimana disebutkan di atas telah berjalan sebagaimana

perintah undang-undang. Namun dalam perjalanannya, ada saja pengadilan

yang tetap menerima hingga memutus perkara tersebut mesikupun terdapat

pencantuman klausula arbitrase. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip

oleh Cik Bisri, jika terdapat perkara yang diajukan ke pengadilan dan terdapat

klausula arbitrase didalam perjanjian syariah yang mereka buat, maka

pengadilan harus menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

Sikap yang tepat bagi hakim Pengadilan Agama dalam hal ini adalah dengan

menjatuhkan putusan negatif berupa pernyataan hukum yang menyatakan

bahwa Pengadilan Agama secara absolut tidak berwenang memeriksa dan

mengadili perkara tersebut.133

132 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia

dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 65. 133 Cik Bisri, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama dan

Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h., 108-109.

Page 70: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

59

Hubungan yang kedua adalah perihal syarat pengangkatan arbiter oleh

pengadilan. Dalam Pasal 13, 14, dan 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 memberikan wewenang kepada pengadilan untuk menunjuk arbiter atau

majelis arbitrase jika para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai

pemelihan arbiter serta tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai

pengengkatan arbiter. Pengadilan juga dapat mengangkat arbiter ketiga jika

para pihak tidak bisa memilih arbiter ketiga dalam kurun waktu 14 hari.

Menurut penulis, jika lembaga arbitrase sudah memiliki ketentuan-ketentuan

yang dianggap sebagai prosedur dalam lembaga arbitrase tersebut, maka para

pihak wajib tunduk pada aturan pada lembaga arbitrase serta meaksanakan

putusan yang diambil oleh majelis arbiter berdasarkan peraturan dan prosedur

dalam lembaga arbitrase tersebut.

Hubungan yang ketiga adalah mengenai hak ingkar. Hak ingkar diartikan

sebagai tuntutan ingkar apabila cukup alasan dan cukup bukti autentik yang

menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya secara tidak

bebas dan independen, serta akan menimbulkan keberpihakan dalam

mengambil keputusan. Dalam keterkaitannya dengan pengadilan, arbiter yang

diangkat oleh pengadilan maka dapat mengajukan hak ingkar kepada

pengadilan yang bersangkutan.134 Selain itu, dalam hak ingkar, pengadilan

dapat memberikan putusan yang mengikat dan tidak dapat diajukan

perlawanan, mengganti arbiter atas hak ingkar, dan menolak tuntutan ingkar.

Persoalan hak ingkar diatur dalam pasal 22, 23, dan 25 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999.

Hubungan yang terakhir ialah mengenai pelaksanaan putusan arbitrase

dalam hal ini putusan BASYARNAS. Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal

60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa putusan

arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak.

Namun dalam rangka melaksanakan putusan tersebut, lagi-lagi pengadilan

134 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan

Internasional, h., 67.

Page 71: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

60

berperan. Putusan arbitrase sejak tanggal putusan diucapkan, lembaran asli

putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya ke

pengadilan. Penyerahan putusan arbitrase tersebut untuk dilakukan pencatatan

dan ditandatangani pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera

pengadilan.

Jike melihat hubungan antara Pengadilan Agama dan basyaranas maka

akan diketahui keduanya memiliki jalur yang panjang untuk mencapai

keharmonisan. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, badan

penyelesaian sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah yaitu Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang

kini berganti menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

Saat itu, pada putusan arbitase syariah yang tidak melaksanakan putusan

tersebut secara sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Hal

itu tentu menimbulkan ketidakharmonisan tentang pelaksanaan putusan

arbitrase syariah yang dimintakan ke Pengadilan Negeri. Ketika Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 lahir, maka Pengadilan Agama menjadi

pengadilan yang memiliki kewenangan absolut menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah. Pengadilan Agama juga berwenang untuk mengeksekusi

putusan badan arbitrase syariah sebagaimana lahirnya Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan

Arbitrase Syariah. Disinilah terjadi keharmonisan antara badan arbitrase

syariah dengan Pengadilan Agama, karena sama-sama dapat menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah yang merupakan kompetensinya.

Ternyata keharmonisan antara Pengadilan Agama dan badan arbitrase

syariah tidak berlangsung lama. pada tahun 2009, lahir Undang- Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tenang Kekuasaan Kehakiman. Dalam undang-undang

tersebut terdapat pasal 59 ayat (3) yang menyatakan jika salah satu pihak yang

bersengketa tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka

putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Satu

Page 72: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

61

tahun kemudian, lahir Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 tahun 2010

tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor

8 Tahun 2008.135 Isi SEMA tersebut pada intinya adalah dalam hal para

pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah),

putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri.

Disini terlihat bagaimana badan arbitrase syariah mendapatkan tempat yang

tidak konsisten dan tidak harmonis. Sampai pada terjadinya putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang membawa Pengadilan

Agama menjadi satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang dalam

menangani perkara ekonomi syariah. Hal ini pun berimplikasi pada pelaksaan

dan pembatalan putusan badan arbitrase syariah.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama dan badan

arbitrase mempunyai hubungan meskipun kedua lembaga penyelesaian

sengketa ekonomi syariah tersebut berbeda. Keterkaitan arbitrase syariah

dengan Pengadilan Agama rasanya tidak bisa dipisahkan, meskipun para pihak

menaati putusan arbitrase. Karena putusan arbitrase tetap harus didaftarkan ke

Pengadilan Agama. Menurut penulis, inti dari adanya keterkaitan antara

Pengadilan Agama dan badan arbitrase ialah pada hal terciptanya

keharmonisan. Harmonisasi harus tercipta dalam suatu hubungan, termasuk

hubungan hukum. Hal itu tentu harus didukung oleh lembaga-lembaga negara

yang berkaitan, seperti pembentuk undang-undang maupun pelaksana undang-

undang.

135 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012), h., 422.

Page 73: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

62

BAB IV

PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

OLEH HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH DI

PENGADILAN AGAMA (Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang

Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng)

A. Penerapan Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dalam Perkara

Ekonomi Syariah

1. Duduk Perkara

Perkara yang terjadi antara Penggugat berkedudukan sebagai

Pengurus Koperasi berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Nomor:

022/SK/BMT-AF/VI/2003 Tanggal 1 Juni 2003 beralamat di Tangerang

Selatan. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada Febi Firmansyah, S.H.,

Advokat pada Kantor Hukum Fisherman & Co. Melawan Tergugat,

Tergugat I, dan Tergugat II. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada NM

Wahyu Kuncoro, S.H., Rama Atyanto Gama, S.H., dan Riyan Priyanto

Wibowo, S.H., Para Advokat pada Wahyu Mitra Advocate, yang

selanjutnya disebut Para Tergugat.

Penggugat dan Tergugat telah membuat, menandatangani dan

menyepakati beberapa kesepakatan sebagaimana dalam “Akad Kerjasama

Musyarakah” Nomor: 6 Tanggal 12 September 2014, yang dibuat di

hadapan Retno Ima Astuti, S.H., Notaris di Kota Tangerang Selatan.

Dalam akta perjanjian tersebut ditentukan bahwa Penggugat dan Tergugat

sepakat bekerjasama untuk pembelian bibit Sapi Qurban dan

penggemukannya untuk kebutuhan Idul Qurban 1435H. Kerjasama

tersebut berlangsung selama 1 bulan dengan masing-masing kontribusi

permodalan sebesar Rp 818. 400.00,- (delapan ratus delapan belas juta

empat ratus ribu rupiah) untuk Tergugat, dan Rp 500.000,00,- (lima ratus

juta rupiah) untuk Penggugat yang memberikan permodalan kepada

Tergugat . Adapaun nisbah bagi hasil yang disepakati sebesar 30% untuk

Page 74: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

63

Penggugat dan 70% untuk Tergugat. Dalam hal ini Tergugat memberikan

jaminan berupa tanah.

Ketika sudah jatuh tempo, ternyata Tergugat hanya

mengembalikan utang pokok sebesar Rp 305.000,00, -(tiga ratus lima juta

rupiah) saja, sehingga utang pokkok yang belum dikembalikan adalah Rp

195.000.000, - (seratus Sembilan puluh lima juta rupiah), ditambah dengan

bagi hasil (30%) atas keuntungan yang diperoleh dan harus diterima

Penggugat sebesar Rp 43.080.000, - (empat puluh tiga juta delapan ribu

rupiah). Secara keseluruhan adalah sebesar 238.080.000, - (dua ratus tiga

puluh delapan juta delapan puluh ribu rupiah).

Berdasarkan hal tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi atas perjanjian yang

dilakukan. Dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan kepada Tergugat

ke Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama Tangerang.

Setelah Penggugat melakukan gugatan, Tergugat melakukan

eksepsi terhadap gugatan Penggugat. Adapun inti eksepsi tersebut ialah

mengenai kompetensi, dan mengenai kurang subyek hukum tergugat.

Masalah kompetensi karena ketidakjelasan perkara tersebut ditujukan,

apakah ke Badan Arbitrase atau ke Pengadilan Agama, karena masing-

masing lembaga memiliki kompetensi absolut yang berbeda. Selain itu,

dalam pokok perkara, Tergugat menyatakan bahwa kelalaiannya dalam

mengembalikan utang pokok kepada Penggugat dikarenakan potensi

keuntungan usahanya tidak tercapai seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal

itu dikarenakan pelanggan besar yang sekalian lama rutin membeli, pada

tahun tersebut tidak membeli sapi qurban pada Tergugat. Maka kerugian

yang terjadi menurut Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/XI/2000 tentang

Pembiayaan Musyarakah harus dibagi antara mitra secara proporsional

menurut saham masing-masing modal.

Untuk menguatkan dalail-dalil nya, Penggugat telah mengajukan

bukti-bukti berupa bukti tertulis dan bukti saksi-saksi. Sedangkan

Tergugat tidak mengajukan bukti-bukti baik tertulis maupun para saksi

Page 75: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

64

selain yang telah diajukan tersebut. Hingga pada kesimpulannya, masing-

masing Penggugat tetap dengan dalil gugatannya dan Tergugat serta turut

Tergugat I dan Tergugat II tetap dengan dalil-dalil sebagaimana dalam

jawaban dan dupliknya.

2. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hakim dalam memutus perkara ekonomi syariah ini

dimulai dari tahap awal sampai akhir persidangan. Hal itu meliputi

gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian,

kesimpulan. Berkaitan dengan penelitian ini, penulis tidak akan memuat

pertimbangan hakim secara keseluruhan, mengingat penulis hanya

membahas mengenai hadirnya pencantuman badan arbitrase yang

tercantum dalam surat gugatan dan isi perjanjian musyarakah. Yang mana

pertimbangan hukum oleh hakim mengenai hadirnya klausula tersebut

hanya dijelaskan pada bagian ekspespi menyangkut kewenangan absolut

dan tidak menyangkut kepada pokok perkara. Adapun dasar pertimbangan

hakim dalam menyikapi kewenangan absolut berbunyi: “Bahwa Tergugat,

Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II selain telah mengajukan tangkisan

(eksepsi) diantaranya mengenai kompetensi absolut dan eksepsi prosesuil.

Yang mana dalam hal ini sesuai ketentuan pasal 136 HIR sejauh mengenai

eksepsi kompetensi absolut, majelis hakim telah menjatuhkan putusan sela

Nomor 2107/Pdt.G/PA. Tng tanggal 8 Mei 2017 yang pada prinsipnya

menolak ekspespi Tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II dan

menyatakan Pengadilan Agama Tangerang berwenang memeriksa dan

mengadili perkara a quo”.

3. Amar Putusan

a. Dalam Eksepsi

Menolak eksepsi Tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II.

b. Dalam Pokok Perkara

1) Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian.

2) Menyatakan sah dan benar menurut hukum Akad Kerjasama

Musyarokah Nomor 6 tanggal 12 September 2014.

Page 76: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

65

3) Menyatakan Tergugat telah melakukan tindakan wanprestasi atau

cedera janji atas perjanjian yang telah dibuat antara Penggugat dan

Tergugat sebagaimana amar poin 2.

4) Menghukum Tergugat untuk membayar kewajibannya kepada

Penggugat, pengembalian sisa modal ditambah hasil keuntungan

(nisbah) seluruhnya sejumlah Rp. 238.080.00, - (dua ratus tiga

puluh delapan juta delapan puluh ribu rupiah)

5) Menghukum Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II untuk menaati

isi putusan ini

6) Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.

7) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp

1.446.000, - (satu juga empat ratus empat puluh enam ribu rupiah).

B. Analisis Penulis

Berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tangerang dengan nomor perkara

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng diketahui bahwa hakim mengabulkan gugatan

penggugat sebagain. Dalam putusan tersebut majelis hakim menilai bahwa,

tergugat tidak bisa membuktikan kesalahannya, baik bukti tertulis maupun

bukti saksi-saksi sehingga dianggap sebagai wanprestasi. Selain itu, perihal

kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara ekonomi syariah

yang diajukan oleh penggugat meskipun terdapat klausula “Badan Arbitrase

pada Pengadilan Agama” dinyatakan berwenang memeriksa dan mengadili

perkara berdasarkan putusan sela nomor 2107/Pdt.G/PA.Tng tanggal 8 mei

2017.

Hadirnya pencantuman “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama

Tangerang” dalam klausul perjanjian dan surat gugatan memberikan gambaran

bahwa masih ada segelintir masyarakat yang kurang mengetahui betul akan

kompetensi absolut dalam menyelesaiakan perkara ekonomi syariah. Padahal,

Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase adalah lembaga yang berbeda.

Pengadilan Agama merupakan jalur litigasi sedangkan arbitrase merupakan

jalur nonlitigasi. Ketidaktahuan masyarakat akan tempat penyelesaian

Page 77: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

66

sengketa ekonomi syariah dimungkinkan oleh faktor kurangnya informasi

yang up to date terhadap permasalahan ekonomi syariah.

Apabila diteliti kembali, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Agama Tangerang dalam hal terdapat klausula “badan arbitrase pada

Pengadilan Agama Tangerang” tentu memberikan pertanyaan bagi aparatur

Pengadilan Agama Tangerang. Sejak kapan di Pengadilan Agama Tangerang

memiliki badan arbitrase? Tentunya tidak ada. Sebagaimana yang telah

dibahas pada BAB III, bahwa hubungan Pengadilan dan Badan Arbitrase

umumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, selain itu tidak ada aturan

yang menunjukan bahwa badan arbitrase terdapat di lingkungan lembaga

peradilan.

Menurut penulis, asal diterimanya gugatan penggugat adalah berdasar

pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak, memeriksa

perkara yang diajukan kepadanya meskipun hukumnya belum ada atau kurang

jelas. Dalam hal ini Pengadilan Agama harus patuh, karena Pengadilan Agama

merupakan bentuk kekuasaan kehakiman yang turut juga tunduk pada

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Selain itu, asas ius curia novit yang

menjadi julukan hakim untuk mengetahui segala hukum, tidak bisa dipisahkan

dalam paradigma pencari keadilan. Sehingga ketidakjelasan hukum atau

hukum yang belum diatur selalu dapat diselesaikan oleh hakim.

Dengan diterimanya perkara nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng, majelis

hakim tidak langsung menyatakan kewenangannya menyelesaikan perkara

ekonomi syariah, karena terdapat ketidakjelasan mengenai kompetensi

absolut. Oleh karena itu, majelis hakim harus mengeluarkan putusan sela

sesuai Pasal 136 HIR tentang pemeriksaan kompetensi absolut. Menurut

Syarif Mappiase, mengenai kompetensi absolut, dapat dengan eksepsi dan

juga tanpa eksepsi karena hakim secara ex oficio dapat menyatakan diri tidak

Page 78: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

67

berwenang. Apabila melampaui batas wewenang yang ditentukan undang-

undang maka wajib diputus sebelum masuk pada tahap pembuktian.136

Dalam merumuskan putusan sela, terlihat majelis hakim telah berpedoman

sesuai dengan aturan hukum formil yang berlaku. Disisi lain, dalam

perumusan putusan sela, majelis hakim mencurahkan kemampuannya untuk

menemukan maksud dari klausula tersebut dengan melakukan penemuan

hukum menggunakan metode penafsiran. Penemuan hukum dengan metode

penafsiran memudahkan bagi hakim untuk memahami tujuan dari klausula

yang dimaksud oleh pihak penggugat. Penafsiran juga memberikan ruang bagi

hakim untuk memahami arti dibalik teks yang ada. Sebagaimana Sudikno

Mertokusumo menyatakan bahwa menafsirkan ialah untuk mengetahui pikiran

yang ada dibelakang kata-kata itu.137

Menurut Yayuk Alfiyanah, bahwa dalam memutus perkara tersebut

majelis hakim menerapkan metode penemuan hukum yakni metode

penafsiran. Majelis hakim menafsirkan bahwa maksud dari surat gugatan dan

perjanjian kedua belah pihak jika terjadi sengketa ialah menuju Pengadilan

Agama Tangerang. Karena di dalam Pengadilan Agama tidak ada Badan

Arbitrase. Selain itu, majelis hakim juga menafsirkan alamat yang tertera pada

surat gugatan. Menurut majelis hakim, bahwa alamat yang tertera pada surat

gugatan penggugat hanya dimiliki oleh Pengadilan Agama Tangerang, dan

tidak ada badan arbitrase pada alamat tersebut. Untuk memperkuat keyakinan

hakim, majelis hakim juga menanyakan kepada penggugat maksud dari

penulisan klausula itu dan berujung pada Pengadilan Agama Tangerang yang

dimaksud.138

Menurut penulis, alasan majelis hakim mengenai kompetensi absolut

Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara ekonomi syariah sudah tepat

adanya. Majelis hakim menggunakan metode penafsiran dikarenakan

136 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Kencana,

2015), h., 38. 137 Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab Penemuan Hukum, (PT Citra Aditya

Bakri, Cet. Kedua, 2013), h., 56 138 Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Interview Pribadi,

Tangerang, 16 Maret 2018.

Page 79: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

68

hukumnya tidak jelas. Metode penafsiran dalam ilmu hukum umumnya

digunakan untuk memberikan arti dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas

dengan cara menggali makna dibalik ketidakjelasan teks. Penulis juga

berpendapat bahwa maksud dari klausula tersebut ialah menunjuk Pengadilan

Agama sebagai wadah penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Hal itu dapat

dilihat dalam klausula yang berbunyi “Badan Arbitrase pada Pengadilan

Agama Tangerang”. Dalam klausula tersebut dicantumkan nama pengadilan

mana yang akan dituju, dalam hal ini ialah Pengadilan Agama Tangerang

sebagai kompetensi relatifnya. Sedangkan penyebutan badan arbitrase pada

klausula tersebut tidak memberikan kespesifikan apakah melalui arbitrase

institusional atau ad hoc. Namun disisi lain, adanya pencantuman badan

arbitrase dapat membuat kewenangan Pengadilan Agama bergeser dan tidak

mempunyai kewenangan sebagaimana Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tetapi hal itu

dapat terjadi jika para pihak yang bersengketa mengikatkan dirinya kepada

arbitrase melalui perjanjian dan berjanji meniadakan hak untuk menempuh

jalur pengadilan.

Persoalan demikian ternyata tidak hanya terjadi di Pengadilan Agama

Tangerang saja. Berdasarkan penelitian Ahmad139, perihal mencantumkan

klausula arbitrase dalam akad perjanjian pernah dialami oleh Pengadilan

Agama Bandung dengan Nomor Perkara 3066/Pdt.G/2009/PA.Bdg dan

Pengadilan Agama Yogyakarta dengan Nomor Perkara

0303/Pdt.G/2012/PA.Yk. Dalam proses pemeriksaannya, salah satu pihak dari

kedua perkara tersebut tidak mengajukan eksepsi. Akan tetapi dalam

memberikan putusan berbeda, di mana putusan Pengadilan Agama Bandung

menerima dan memeriksa perkara tersebut kerena merupakan kewenangan

Pengadilan Agama, sementara Pengadilan Agama Yogyakarta menyatakan

pemeriksaan perkara nomor 0303/Pdt.G/2012/PA.Yk., diputus dengan

menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang. Menurut Ahmad, bahwa

139 Ahmad, “Penyeelsaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama”, Jurnal

IUS: Kajian Hukum dan Keadilan , Vol. II, Nomor 6, (Desember, 2014), h., 436

Page 80: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

69

terjadinya perbedaan dalam menjatuhkan putusan antara Pengadilan Agama

Bandung dan Pengadilan Agama Yogyakarta terhadap perkara ekonomi

syariah yang sama-sama mencantumkan klausul arbitrase adalah

dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami dan

menerapkan klausul arbitrase.

Jika melihat putusan Pengadilan Agama Tangerang dengan nomor perkara

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng, menurut analisis penulis, putusan Pengadilan

Agama Tangerang memiliki kemiripan dengan Pengadilan Agama Bandung

dalam hal menyatakan kewenangannya, yakni sama-sama menggunakan

metode penafsiran dalam menyikapi perkara ekonomi syariah yang terdapat

klausula arbitrase. Namun, majelis hakim Pengadilan Agama Bandung, dan

Pengadilan Agama Tangerang dalam melakukan penemuan hukum masing-

masing menggunakan metode penafsiran yang berbeda. Perbedaan jenis

penafsiran bukanlah untuk dipersoalkan, justru menambah khazanah keilmuan

hukum karena hakim memiliki dasar dan alasan tersendiri dalam memutus

perkara. Penafsiran yang dilakukan oleh hakim dalam suatu kontrak perjanjian

dapat merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tercantum

dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.

Penulis berpendapat bahwa putusan Pengadilan Agama Tangerang dalam

melakukan penemuan hukum terhadap surat gugatan dan isi klausul perjanjian

yang berdapat kata badan arbitrase merupakan suatu metode interpretasi yang

bersifat komperehensif. Yang dimana penafsiran ini dapat mereduksi teks

undang-undang atau sebaliknya dapat pula menginduksi makna realitas suatu

teks. Metode ini mempunyai tujuan untuk menghasilkan makna sesuai

kebutuhan masyarakat, bersifat kontemporer yaitu realitas dimana ia muncul,

dan bersifat realistis atas kehidupan dengan segala problemnya.140

Lebih lanjut, menurut hemat penulis dengan menyatakan kewenangannya

dalam memeriksa perkara ekonomi syariah, hakim Pengadilan Agama

Tangerang telah mengesamingkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

140 Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh

Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 131.

Page 81: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

70

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan menggunakan

metode interpretasi sebagai metode penemuan hukum. Hal itu semata-mata

untuk mewejudkan dari tujuan hukum itu sendiri yakni, kepastian hukum,

kemanfaatan, dan keadilan.

Penemuan hukum dengan metode interpretasi kompeherensif layak

disandang untuk memberikan pengertian dari arti penafsiran yang dilakukan

oleh majelis hakim yang memeriksa perkara ekonomi syariah dengan alasan:

1. Dengan menyatakan Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara

ekonomi syariah setelah adanya putusan sela memberikan arti bahwa

kebutuhan masyarakat akan hukum telah dipenuhi oleh majelis hakim,

sehingga terciptanya kepastian hukum.

2. Hukum yang terjadi antara penggugat dan tergugat merupakan realitas dan

mempunyai dampak yang besar. Jika tidak segera dipastikan lembaga

mana yang berwenang mengadili, maka sengketa ekonomi syariah akan

terus berlarut-larut dan tidak memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi

para pencari keadilan.

3. Majelis hakim mencari maksud dibalik klausula dengan melihat alamat

yang tertera dan meminta keterangan penggugat atas hadirnya kalusula

tersebut. Artinya majelis hakim dalam hal ini melakukan interpretasi

dengan menyelami makna dengan sungguh-sungguh sesuai dengan

kebutuhan hukum masyarakat yang terjadi.

4. Dalam memeriksa perkara ini hakim terlihat tidak bersifat too legal

terhadap permasalahan yang terjadi. Namun hakim menggunakan

penalaran logis yang sejalan dengan hati nuraninya dalam menyelesaikan

perkara ini, termasuk menyikapi klausula tersebut. Hal itu semata-mata

demi terwujudnya tujuan hukum itu sendiri.

Keempat alasan itu merupakan perwujudan bahwa hakim majelis hakim

tidak melihat pada satu kata saja yakni “badan arbitrase” namun melakukan

penemuan hukum dengan cara mencari arti dibalik kalimat itu secara

keseluruhan dan menggali nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.

Page 82: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

71

Pada umumnya, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim berupa

persoalan hukum materiil. Tetapi penulis berpendapat bahwa majelis hakim

disini melakukan penemuan hukum formil. Karena, jika kita lihat kembali

bahwa yang terjadi dalam putusan tersebut mengandung ketidakjelasan tempat

penyelesaian sengketa atau kewenangan absolut. Mengenai kewenangan,

aturannya sudah diatur secara prosedural dalam hukum acara yang berlaku,

yang mana hukum acara ekonomi syariah masih menganut Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Perdata, sepanjang tidak diatur dalam PERMA Nomor

14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.

Seorang hakim boleh saja melakukan penemuan hukum formiil, karena hakim

didorong untuk selalu melakukan kreatifitas-kreatifitas dalam menangani

perkara, tetapi harus sesuai dengan koridor-koridor yang berlaku.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yakni Bagir Manan

juga berpendapat bahwa hakim tidak saja dituntut untuk menemukan hukum

materiil, namun juga dapat diberikan peluang untuk menemukan hukum

formil yang senyatanya Indonesia masih menganut paham HIR/RBG. Dalam

melakukan penemuan hukum formil, hakim dapat menggunakan metode

penafsiran.141Hakim yang melakukan penemuan hukum formil harus

memberikan argumen yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan.

Persoalan penemuan hukum kini tidak lagi dipandang sebagai bentuk cara

hakim untuk menemukan hukum atas suatu peraturan yang belum jelas atau

tidak ada peraturan yang mengaturnya. Namun di era saat ini, ajaran yang

menyatakan bahwa hakim selalu menemukan hukum ialah pandangan yang

dapat dibenarkan. Karena pada hakikatnya, hakim selalu dihadapkan oleh

permasalahan konkret di masyarakat dan hakim memerlukan pijakan hukum

yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi untuk mengambil sebuah

putusan. Dalam praktik persidangan, permasalahan tersebut oleh hakim

diperiksa dan diberikan pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum tersebut

merupakan buah pikir hakim dari hasil penemuan hukum terhadap

141 Muhammad Noor, dkk, “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang” Quo Vadis

Penemuan Hukum; Majalah Peradilan Agama, Edisi 2, (September-November 2013), h., 7

Page 83: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

72

permasalahan yang terjadi, sehingga dalam putusan hakim tidak ada yang

tidak mengandung penemuan hukum. Hal itu selaras seperti yang dikatakan

oleh Yayuk Alfiyanah bahwa hakim selalu melakukan penemuan hukum

setiap saat ketika memeriksa perkara.142

Putusan yang dihasilkan hakim atas penemuan hukumnya tidak menutup

kemungkinan dapat menjadi yurisprudensi jika putusan tersebut merupakan

suatu terobosan-terbosoan baru yang bersifat landmark decision. Apalagi

putusan tersebut disertai pertimbangan-pertimbangan hukum yang sesuai

dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penerapan penemuan hukum memang sangat penting dilakukan oleh

hakim Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.

Karena, persoalan ekonomi syariah merupakan bidang muamalah yang tidak

bersifat statis, ia selalu berubah seiring perkembangan zaman. Berbagai jenis

transaksi dan bisnis terus berkembang dinamis karena persoalan muamalah

selalu boleh dilakukan kecuali terdapat dalil yang melarangnya, sebagimana

kaidah fiqh:

لت في صل ا

عاملا

ال

باحة

ال

ن إل

أ ى دليل ل يد

حريمها عل

ت

“pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil

yang mengharamkannya”

Seorang hakim harus berani melakukan penemuan hukum dalam bidang

ekonomi syariah. Meskipun ekonomi syariah merupakan bidang baru bagi

para hakim peradilan agama, namun hakim peradilan agama harus memiliki

kreatifitas-kreatifitas berupa hasil penemuan hukumnya yang dapat

memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.

Dengan dilakukannya penemuan hukum, seorang hakim tidak boleh asal-

asalan dan menganggap perkara ekonomi syariah layaknya seperti ekonomi

yang bersifat konvensional. Tetapi, hakim harus memiliki pemahamannya

142 Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Interview Pribadi,

Tangerang, 16 Maret 2018.

Page 84: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

73

terhadap persoalan ekonomi syariah, baik dengan cara pendidikan maupun

pelatihan.

Pada dasarnya, hukum Islam telah memberikan ruang untuk melakukan

Ijtihad atau menemukan hukum di bidang ekonomi syariah dengan merujuk

kepada al- Qur’an, Sunnah, dan sumber hukum Islam lainnya. Hukum Islam

yang merupakan pemberian dari Allah SWT yang harus dilestarikan dalam

formulasi baru sesuai dengan konteks zaman, tempat, dan keadaan di mana

masyarakat berinterkasi.143 Hakim yang melakukan penemuan hukum juga

diagungkan sebagai bentuk pencurahan tenaga untuk mengambil kesimpulan

hukum dan dasarnya dengan penelitian yang dapat menyampaikan kepada

tujuan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi.144 Seorang hakim harus

berlaku adil dan bersungguh-sungguh berijtihad dalam mencari kebenaran.

Meskipun hasil penemuan hukumnya salah, hakim tetap mendapatkan

kebaikan, seperti yang tercantum dalam Hadis Riwayat Abu Hurairah:145

ل الله صلى الله عليه وسلم وحد يث عمر و بن العاص رضي الله عنه : أنه سمع رس

فله أجران وإذا حكم فا جتهد ثم أخطأ فله أجر. إذا حكم الحاكم فا جتهد ثم أصاب : قا ل

Diriwayatkan dari Amr bin Asy radhiyallahu ‘anhu, beliau telah berkata:

Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda: “apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan

berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua

pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan suatu perkara dengan berijtihad,

tetapi ijtihadnya itu tidak benar, maka ia akan memperoleh satu pahala”

Dorongan untuk melakukan penemuan hukum dalam praktik peradilan di

Indonesia juga memiliki dasar yang kuat. Apabila melihat undang-undang

tentang kekuasaan kehakiman mulai dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun

143 Munawir Haris, “Metodologi Penemuan Hukum Islam”, Ulumuna Jurnal Studi

Keislaman, Vol. 16, No. 1, (Juni, 2012), h., 19 144 Abdul Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 81. 145 Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih, (Jakarta:

Kencana, 2004), h., 78.

Page 85: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

74

1970146, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004147 dan Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009148 , terdapat pasal yang menegaskan agar hakim wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Maksud dari isi pasal tersebut memberikan arti

bahwa hakim harus menyadari betul nilai-nilai hukum terhadap permasalahan

yang terjadi, sehingga dalam memutus perkara hakim memiliki dasar hukum

yang kuat sekaligus memberikan rasa keadilan di dalam putusannya.

Kesemuanya itu dapat dilakukan dengan cara menerapkan metode penemuan

hukum dalam setiap perkara yang sedang ditanganinya.

Demikian atas putusan Pengadilan Agama Tangerang tentang ekonomi

syariah yang memberikan putusan dengan menggunakan penemuan hukum

dengan metode interpretasi komprehensif. Langkah tersebut dapat dijadikan

contoh bagi hakim-hakim lain yang memeriksa perkara ekonomi syariah

dikarenakan dalam menemukan permasalahan pada ketidakjelasan hukum

harus diinterpretasikan secara menyeleluruh dan lengkap, baik dilakukan

terhadap hukum materiil maupun hukum formiil. Alhasil, kepastian hukum,

kemanfaatan, dan keadilan dapat dirasakan oleh para pihak.

146 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” 147 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 148 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Page 86: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hakim Pengadilan Agama Tangerang yang memeriksa perkara ekonomi

syariah dengan nomor perkara 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng menggunakan

metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang digunakan oleh

hakim ialah metode penafsiran komprehensif. Dalam hal ini, majelis

hakim menginterpretasi secara keseluruhan dan lengkap dalam menyikapi

hadirnya pencantuman klausla “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama

Tangerang” pada surat gugatan penggugat dan isi perjanjian musyarakah

antara penggugat dan tergugat. Metode penemuan hukum itu membantu

majelis hakim dalam menyikapi kalusula tersebut hingga pada kesimpulan

yang menyatakan kewenangannya dan berhak memeriksa perkara ekonomi

syariah meskipun terdapat kata badan arbitrase. Hal itu berdasar pada

interpretasinya yang menyatakan tidak adanya badan arbitrase yang

menangani perkara ekonomi syariah pada wilayah Tangerang dan alamat

yang tertera dalam surat gugatan penggugat hanya dimiliki oleh

Pengadilan Agama Tangerang dan tidak termasuk didalamnya terdapat

badan arbitrase.

2. Dalam menerapkan metode penemuan hukum terhadap perkara ekonomi

syariah ini, majelis hakim menerapkannya berdasarkan permasalahan yang

terjadi. Dimana permasalahan yang terjadi pada perkara ini ialah berupa

pencantuman klausula “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama” dalam

surat gugatan penggugat dan isi perjanjian para pihak. Yang mana dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ditemukan badan

arbitrase masuk ke dalam peradilan agama. Atas permaslahan tersebut

majelis hakim menerapkan metode penemuan hukum sesuai dengan

permasalahan dengan dikaitkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku,

Page 87: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

76

ekonomi syariah dan dalil-dalil kesyariahaan. Kesemuanya itu dilakukan

demi terciptanya tujuan hukum bagi para pihak.

B. Saran

Bagi hakim yang memeriksa perkara ekonomi syariah hendaknya

memeriksa dan memperhatikan terlebih dahulu perjanjian yang dibuat oleh

para pihak meskipun perjanjian itu sudah dibuat sesempurna mungkin.

Karena, kalimat-kalimat dalam perjanjian tidaklah selalu sama dalam hal

menafsirkannya.

Selain itu, hakim juga harus piawai dalam memeriksa perkara ekonomi

syariah dikarenakan kegiatan ekonomi syariah tidak bersifat statis tetapi

dinamis, yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat

cepat, sehingga hakim harus selalu mengikuti perkembangan ekonomi syariah

dan selalu melakukan penemuan hukum untuk memberikan suatu putusan

yang sesuai dengan permasalahan, nilai-nilai hukum dan keadilan dalam suatu

masyarakat.

Page 88: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

77

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni, 2006.

AF, Hasanuddin, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum¸Jakarta: Kencana, 2015.

______________, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta: Kencana, 2009.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Cet. 5, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Aripin, Jaenal, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana,

2013.

______________, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

Armia, Muhammad Shiddiq, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum, Jakarta:

Pradyna Paramita, 2003.

Arrasyid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cet. 4, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Asikin, Zainal, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. 4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

______________, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.

Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Djalil, Abdul Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012.

Djamil, Fathurrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Fuady, Munir, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 4, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Page 89: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

78

Harahap, Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cet. 2, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.

Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Lubis, Sulaikan, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Cet.

3, Jakarta: Kencana, 2008.

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet. 3, Jakarta: Kencana, 2009.

______________, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. 5, Jakarta: Kencana, 2008.

______________, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan

Agama, Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000.

Mappiase, Syarif, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Kencana, 2015.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2013.

______________, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,

2013.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.2, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Merokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010.

______________ dan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab Penemuan Hukum, Cet. 2, PT Citra

Aditya Bakri, 2013.

______________, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014.

Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 2006.

Mudjab, Ahmad dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih, Jakarta: Kencana, 2004.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Nasution, Muhammad Syukri Albani, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat,

Jakarta: Kencana, 2016

Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Panggabean, H.P., Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2014.

Page 90: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

79

Purwaka, Tommy Hendra, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit

Universitas Atma Jaya, 2007.

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Saebani, Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: UI Press, 1986.

Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 7, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

______________, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

______________, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2 Tentang Pihak-

Pihak Dalam Perkara, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Suadi, Amran dan Mardi Candra, Politik Hukum: Prespektif Hukum Perdata dan Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2016.

Sutarsi, Cicut, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2012.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008.

Usman, Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 2012.

Van Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.34, Jakarta: Pradnya Paramita, 2011.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Cet. 4, Jakarta: Sinar

Grafika, 2008.

Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.

Jurnal dan Majalah

Ahmad, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama”, Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. II, Nomor 6, Desember, 2014.

Badriyah, Siti Malikhatun, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan

Hukum (Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Vol. 40, No. 3, 2011.

Page 91: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

80

Fauzi, Ahmad. “Mencari Akar Masalah”. Sengketa Ekonomi Syariah Publik

Percaya Peradilan Agama; Majalah Peradilan Agama. Edisi 4, Juli, 2014.

Hakim, Atang Abd dan Sofwan Al- Hakim. “Kerangka Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”. At- Taradhi; Jurnal Studi Ekonomi, Vol. 6, No.1, Juni, 2015.

Haris, Munawir. “Metodologi Penemuan Hukum Islam”, Ulumuna Jurnal Studi Kislaman. Vol. 16, No. 1, Juni-2012.

Hidayat, Arif. “Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim Dalam Putusan Pengadilan. Pandecta. Vol. 8, No. 2, Juli, 2013.

Imaniyati, Neni Sri. “Pengaruh Perbankan Syariah Terhadap Hukum Perbankan

Nasional”. Syiar Hukum. Vol. XIII, No. 3, November, 2011.

Komarudin, Parman, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Jalur Non Litigasi”. Al- Iqtishadiyah; Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi

Syariah. Vol. 1, Issues I, Desember, 2014.

Lubis, Gala Perdana Putra. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/ 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di

Indonesia”. Premise Law Jurnal, Vol 6, 2015.

Manan, Abdul. "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama." Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 2, No. 2, Juli, 2013.

Manggalatung, A Salman. “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin

Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”. Jurnal Cita Hukum. Vol. II, No. 2, Desember, 2014.

Muliadi, Nur. "Rechtvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam)". Jurnal Ilmiah Al-

Syir'ah. Vol 2.1, 2016

Musyahdah R, Alef. “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”. Jurnal

Dinamika Hukum. Vol. 13 No. 2, Mei, 2013.

Noor, Muhammad, dkk. “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang”. Quo Vadis Penemuan Hukum; Majalah Peradilan Agama. Edisi 2, September-

November, 2013.

Nurhasanah dan Hotnidah Nasution. “Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”. Ahkam. Vol. XVI, No. 2, Juli, 2016.

Poesko, Herowati. “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata”. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER. Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, 2015.

Page 92: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

81

Sudaryanto, Agus. “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan

Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)". Jurnal Konstitusi. Vol. 1, No. 1, November, 2012.

Tektona, Rahmadi Indra. “Arbitrase Sebagai Alternatif Solusi Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”. Pandecta. Vol. 6, No.1, Januari,

2011.

Tumpa, Harifin A. “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”. Hasanudin Law Review. Vol. 1,

Issue. 2, Agustus 2015.

Wantu, Fence M. “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”. Jurnal Dinamika Hukum,

Vol. 12, No. 3, September, 2010.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Internet

Profil Jurnal Rechtsvinding, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari

http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil

Page 93: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

82

Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama, diakses pada 19 Februari 2018 dari

http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-peradilan-agama-1/kewenangan-pengadilan-agama.

Sengketa Perbankan Syariah diselesaikan Sesuai Akad, diakses pada 19 Februari 2018 dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt521f32b33267f/sengketa-perbankan-syariah-diselesaikan-sesuai-akad.

Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam

Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”. Artikel, diakses pada tanggal 25 Maret 2018 dari http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-dalam-penemuan-hukum-dan-penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan-oleh-drs-h-arpani-sh-mh-64.

Wawancara

Interview Pribadi dengan Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Tangerang, 16 Maret 2018.

Page 94: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 95: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 96: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 97: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 98: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 99: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 100: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
Page 101: PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

Foto bersama Hj. Yayuk Alfiyanah, S. Ag., M.A. Selaku Hakim Pengadilan

Agama Tangerang, tanggal 16 Maret 2018.