makalah penemuan hukum

64
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang Demokratis, dimana semua warga memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi ini mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Dalam mengimplikasikan hak memilih secara langsung yang dimiliki warga negara Indonesia, Pemerintahan Eksekutif dan Legislatif menyelenggarakan suatu sistem yang disebut dengan Pemilihan Umum. Pemilihan umum ini dilakukan terhadap pemilihan Presiden, wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota dan Bupati. Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 tepatnya pada tanggal 9 Desember 2015, akan melaksanakan Pilkada 1

Upload: yoga-herdianna

Post on 22-Jan-2016

137 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Penemuan Hukum, mengenai Pilkada Serentak.

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Penemuan Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang Demokratis, dimana semua warga memiliki

hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.

Demokrasi ini mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau

melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Dalam

mengimplikasikan hak memilih secara langsung yang dimiliki warga negara

Indonesia, Pemerintahan Eksekutif dan Legislatif menyelenggarakan suatu sistem

yang disebut dengan Pemilihan Umum. Pemilihan umum ini dilakukan terhadap

pemilihan Presiden, wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota dan

Bupati.

Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 tepatnya pada tanggal 9 Desember

2015, akan melaksanakan Pilkada serentak dikarenakan seluruh kepala daerah sudah

habis jabatannya pada tahun 2014 dan 2015. Pilkada serentak ini dilakukan di 263

Propinsi, Kota, dan Kabupaten. Pilkada ini dilakukan oleh KPU dan KIP (Aceh)

sebagai komisi penyelenggara pemilihan umum yang di percaya oleh pemerintah

untuk menyelenggarakannya dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2015 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati. Dalam UU ini menerangkan

bahwa setiap propinsi, Kota, dan Kabupaten mempunyai minimal 2 (dua) pasangan

calon kepala daerah sebagai syarat untuk dapat diselenggarakannya Pilkada langsung.

1

Page 2: Makalah Penemuan Hukum

Namun ada beberapa kota hanya mempunyai 1 (satu) pasangan calon kepala daerah

yang menyebabkan tidak bisanya dilaksanakan penyelenggaraan Pilkada serentak

diseluruh Indonesia, karena tidak terpenuhi syarat paling sedikit 2 pasangan calon

kepala daerah dan beberapa kota tersebut harus menunda penyelenggaraan

Pilkadanya.

Hal ini menyebabkan adanya ketidakpastian hukum karena menurut Undang-

Undang Pilkada, Pilkada harus dilaksanakan serentak sehingga dengan adanya

masalah tersebut menjadi Pilkada tidak dapat dilakukan serentak. Akan tetapi MK

melalui Putusannya No. 100/PUU-XIII/2015 memutuskan keikutsertaan calon

tunggal dalam pilkada serentak dapat dilakukan. Dengan adanya putusan MK tersebut

kelompok kami mengambil masalah-masalah yang akan menjadi pembahasan dalam

makalah ini, masalah-masalah tersebut antara lain :

2. Identifikasi Masalah

1. Apa penemuan hukum oleh hakim dalam putusan MK tersebut?

2. Apa yang menjadi alasan dan dasar hukum Hakim MK memutuskan untuk

mengikutsertakan calon tunggal dalam PILKADA Serentak?

3. Bagaimana mekanisme pemilihan bagi daerah – daerah yang hanya mempunyai 1

(satu) pasangan calon Kepala Daerah?

2

Page 3: Makalah Penemuan Hukum

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. NEGARA DEMOKRASI

Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara untuk menjamin

jalannya organisasi suatu negara. Demokraasi sebagai dasar hidup bernegara memberi

pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-

masalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam menilai kebijaksanaan

negara karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.

Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan

kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu

pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan

rakyat karena kedulatan berada di tangan rakyat1.

Demokrasi dalam negara hukum formal (demokrasi abad ke-19) menimbulkan

suatu gagasan tentang tata cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan

konstitusi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini dilatarbelakangi dengan isu saat

itu, bahwa masalah hak politik rakyat dan hak asasi manusia secara individu

merupakan dasar pemikiran politik dalam ketatanegaraan. Gagasan diatas pada

akhirnya dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan. Ciri penting

dalam negara yang menganut konstitusionalisme adalah pemerintahan yang bersifat

1 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 24.

3

Page 4: Makalah Penemuan Hukum

pasif, artinya pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan

rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen.

Carl J. Friedrich mengemukakan konstitusionalisme adalah gagasan dimana

pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama

rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan untuk memberikan jaminan

kepada kekuasaan. Disamping itu, kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah

tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.

1.1. Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum material (demokrasi abad ke-20) bahwa gagasan

pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara, baik di bidang sosial

maupun bidang ekonomi bergeser kea rah gagasan baru bahwa pemerintah harus

bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh bersifat pasif

atau berlaku sebagai penjaga malam melainkan harus aktif melaksanakan upaya-

upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur

kehidupan ekonomi dan sosial.

Pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law berdasarkan syarat-syarat

yang ditentukan oleh International Comission of Jurists pada konferensinya di

Bangkok tahun 1965, sebagai berikut :

a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu,

konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh

perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

4

Page 5: Makalah Penemuan Hukum

b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

c. Pemilihan umum yang bebas;

d. Kebebasan menyatakan pendapat;

e. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;

f. Pendidikan kewarganegaraan2.

1.2. Asas Umum Penyelenggara Negara

Asas umum penyelenggaraan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28

Tahun 1998 yang pada dewasa ini diamandemen kedalam Undang-Undang Nomor 23

tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas penyelenggaraan negara

yang bersih tersebut, meliputi :

a. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggara negara;

b. Asas tertib penyelenggara negara,yaitu asas yang menjadi landasan

keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara;

c. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif atas

hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;

2 Ibid, hlm. 26

5

Page 6: Makalah Penemuan Hukum

d. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak

dan kewajiban penyelenggara negara;

e. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

f. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku3.

2. MAKNA PILKADA MENURUT PASAL 18 AYAT (4) UUD 1945

Perubahan UUD 1945 berimplikasi luas terhadap sistem ketatanegaraan RI.

Sal satunya adalah ketentuan yang menyangkut pemerintahan daerah. Amandemen

kedua UUD 1945 (tahun 2000) menghasilkan rumusan baru pasal-pasal yang

mengatur pemerintahan di daerah, yakni Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.

Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan menyangkut prinsip-prinsip yang

terkandung dalam pasal-pasal baru, Pasal 18 (hasil perubahan kedua UUD 1945)

adalah sebagai berikut :

1. prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2),

3 Ibid, hlm. 34

6

Page 7: Makalah Penemuan Hukum

2. prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5);

3. prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 ayat (1);

4. prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat (2);

5. prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat (1);

6. prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu (Pasal 18 ayat

(3);

7. prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil

(Pasal 18 A ayat (2).

Menurut Bagir Manan, Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai

dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan

pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan

mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrument sentralisasi, karena itu

sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang

merupakan antithesis dari sentralisasi4.

Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen

kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan procedural pemilu

sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (Tahun 2001).

Artinya, pilkada langsung, khususnya lembaga yang memiliki kewenangan

melakukan rekrutmen calon kepala daerah. Pilkada langsung adalah pilkada yang

4 Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 25

7

Page 8: Makalah Penemuan Hukum

dilakukan secara langsung oleh rakyat, sedangkan pilkada tidak langsung adalah

pilkada yang dilakukan secara tidak langsung melainkan melalui DPRD.

Adapun ciri-ciri sistem Demokrasi Pancasila/Orde Baru (1966/1998) meliputi :

1. dari sudut konstitusi, credo Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila

dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu,

lembaga-lembaga negara ditata sesuai dengan format UUD 1945;

2. dari sudut bentuk negara dan bentuk pemerintahan, tetap dianut bentuk

negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republic;

3. dari sudut sistem pemerintahan, tetap dianut sistem presidensial

dengan sangat dominannya peranan Presiden Soeharto dalam

kehidupan politik dan ketatanegaraan selama tiga dasawarsa, sehingga

cenderung “excutive heavy”;

4. dari sudut tipologi negara, meskipun secara normative konstitusional

tetap merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, bahkan dalam

GBHN 1973-1978 juga dimasukkan prinsip-prinsip negara hukum

atau rule of law, tetapi dalam prakteknya telah terjadi distorsi atas

prinsip-prinsip tersebut;

5. dari sudut model demokrasi, disebut sistem Demokrasi Pancasila yang

bukan demokrasi liberal parlementer dan bukan demokrasi terpimpin,

dengan mengutamakan prinsip musyawarah mufakat;

6. dari sudut sistem pemerintahan local/daerah, berdasarkan UU No. 5

tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, dianut

8

Page 9: Makalah Penemuan Hukum

prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, serta titik berat

otonomi pada daerah tingkat II;

7. dari sudut kepartaian dan pemilu, dilakukan penataan parpol menjadi

hanya tiga dengan asas tunggal Pancasila, kebijakan “floating mass”,

campur tangan negara melalui konsep “Pembina politik” telah

melahirkan suatu sistem kepartaian yang hegemonik, dimana Golkar

menjadi perpanjangan tangan politik ABRI dan Birokrasi, sehingga

bisa selalu meraih “single majority” dalam Pemilu yang diadakan

secara periodic setiap lima tahun sekali;

8. dari sudut peranan militer dalam politik, ditandai dengan sangat

dominannya peranan politik ABRI melalui konsep Dwi FUngsi, baik

governmental political lilfe maupun social political life;

9. dari sudut HAM, khususnya hak atas kebebasan berserikat dan

berkumpul dibatasi dan kebebasan pers sangat terkendali melalui

konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab5;

Akibat tidak adanya pertumbuhan kelas-kelas baru selain transformasi dari

kelompok-kelompok kekuasaan yang ada ke dalam lingkaran luar-kekuasaan, bukan

saja selama tahun-tahun Demokrasi Terpimpin, tetapi juga ketika partai-partai politik

dan serikat buruh amat sangat lemah, walaupun tetap tumbuh dalam kurun Orde

Baru, tatkala organisasi petani dan organisasi massa dibatasi dan perhimpunan

mahasiswa diawasi.

5 Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Setara Pers, Malang, 2013, hlm. 7

9

Page 10: Makalah Penemuan Hukum

Dalam struktur kekuasaan seperti ini hanya sedikit tersedia ruang bagi

pembatasan kelembagaan yang hendak diterapkan oleh para pendukung negara

hukum. Selain itu tidak ada cukup kekuatan pada gabungan kaum kaum liberal untuk

memaksakan kehendaknya terhadap kemauan pihak militer dan birokrasi pusat yang

ada sekarang. Tanpa landasan ekonomi yang cukup kuat di pihak swasta yang

sanggup mandiri, yang relatif tidak tergantung kepada birokrasi, kekuatan tawar

menawar golongan menengah akan jatuh bangun secara sporadic sejalan dengan

perubahan-perubahan politik yang tidak dapat mereka kendalikan6.

3. PENGERTIAN DAN TUJUAN POLITIK HUKUM NASIONAL

Dalam rangka memahami pengertian dan tujuan dari politik hukum nasional,

kelompok kami akan berangkat pada pengertian politik secara umum.

Pengertian politik hukum nasional disini adalah dasar penyelenggara negara

(Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang

bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara

(Republik Indonesia) yang dicita-citakan.

Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan : (1) sebagai suatu alat

(tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk

menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki ; dan (2) dengan sistem

hukum nasional itu akan diwujdkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.

6 Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cetakan Keempat, LP3ES, Jakarta, 2014, hlm. 363.

10

Page 11: Makalah Penemuan Hukum

Sistem hukum nasional terbentuk dari istilah, sistem hukum nasional. Sistem

di adaptasi dari bahasa Yunani Systema yang berarti keseluruhan yang tersusun dari

sekian banyak bagian (whole coumpounded of several parts)7.atau hubungan yang

berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an

organized, functioning realationship among units or components).8 Dalam bahasa

Inggris system mengandung arti susunan atau jaringan. Jadi, dengan kata lain istilah

sistem itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling

berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan (a Whole).9

Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan

yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila

dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang

didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri10. Sehubungan dengan itu,

hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya

rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi

seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Republik Indonesia11.

Pentingnya pemilu yang demokratis (objektif) sebagai sarana demokrasi

dalam sistem perwakilan setidaknya menjamin terbentuknya representative

government. Kata “perwakilan” (representation) adalah konsep seorang atau suatu

7 Istilah sistem pada mulanya hanya dipakai dikalangan ahli manajemen. Lihat William A. Shorde dan Dan Voich, Jr.Organization and management: Basic Systems Concept( Malaysia: Irwin Book Co.,1974),hlm.1158 Elias M. Awad. System Analysis and Design (Homewood, Illionis: Richard D.Irwin,1979,hlm.4.9 Tatang M. Amirin. Pokok-Pokok Teori Sistem, cet.VI,(Jakarta: Rajawali Pers,1996),hlm.1.10 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 64.11 Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm. 87.

11

Page 12: Makalah Penemuan Hukum

kelompok mempunyai kemempuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas

nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota Dewan Perwakilan

Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal itu dinamakan

perwakilan yang bersifat politik (political representation)12.

Kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab,

karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang diperoleh

dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus

dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Degnan demikian, pertanggungjawaban

merupakan syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi, walaupun

political responsibility is actually some what ambigious13.

4. STRUKTUR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH

Dalam peraturan perundang-undangan, wewenang untuk menetapkan

kebijakan merupakan pengaturan (regeling), sedangkan wewenang melaksanakan

kebijakan tersebut merupakan wewenang pengurusan (bestuur). Wewenang

pengaturan adalah wewenang untuk menciptakan norma hukum tertulis yagn berlaku

umum. Adapun wewenang pengurusan adalah wewenang untuk melaksanakan dan

menerapkan norma hukum umum dan abstrak kepada situasi konkret. Penyerahan

wewenang pengaturan dan wewenang pengurusan dalam gatra kehidupan tertentu

menurut peraturan perundang-undangan disebut penyerahan urusan pemerintahan.

12 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 75.13 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 109.

12

Page 13: Makalah Penemuan Hukum

Pengembangan wewenang untuk membentuk kebijakan dalam daerah otonom

adalah lembaga-lembaga daerah yang keberadaannya atas dasar pemilihan. Ciri inilah

yang melatarbelakangi sehingga devolusi sebagai desentralisasi demokratis.

Desentralisasi terkadang dilihat dari devolusi, desentralisasi territorial, desentralisasi

politik, atau desentralisasi fungsional.

Daerah otonom yang terbentuk dalam rangka desentralisasi memiliki berbagai

ciri, yakni daerah otonom adalah badan hukum (rechtspersoon), sebagai badan

hukum maka daerah otonom memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan

hukum. Dalam kedudukannya sebagai badan hukum tersebut, daerah otonom dapat

menuntut dan dituntut oleh pihak lain. Daerah otonom juga memiliki wewenang yang

mengalokasikan sumber-sumber daya yang dimiliki. Ciri multifungsi inilah

merupakan salah satu pembeda utama antara daerah otonom dengan lembaga yang

terbentuk dalam rangka desentralisasi fungsional.

Desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup

pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Perwujudan dari desentralisasi di tingkat

daerah adalah otonomi daerah. Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi.

Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi.

Jika sentralisasi merupakan pemusatan pengelolaan, desentralisasi adalah pembagian

dan pelimpahan. Secara umum desentralisasi dikenal dalam bentuk desentralisasi

territorial atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional.

Desentralisasi territorial adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat

kepada daerah dalam negara. Adapun desentralisasi fungsional adalah yang secara

13

Page 14: Makalah Penemuan Hukum

langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Devolusi adalah kemampuan

unit pemerintah lokal dalam melaksanakan peralihan kekuasaan dari pemerintah

pusat, adapun pilar penyelenggaraan urusan pemerintahan meliputi aspek pemerintah

daerah, perangkat daerah, kepegawaian daerah dan keuangan daerah.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan

kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah, penyelenggaraan

urusan pemerintahan dibagi dalam criteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi

dengan memerhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan, sebagai

suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah

daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, atau pemerintahan daerah yang

saling terkait, tergantung, dan sinergis.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdiri

atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib, artinya penyelenggaraan

pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara

bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan pemerintahan yang

bersifat pilihan, baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi dan dalam skala kabupaten/kota, meliputi :

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;

14

Page 15: Makalah Penemuan Hukum

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan bidang kesehatan;

6. Penyelenggaraan pendidikan;

7. Penanggulangan masalah sosial;

8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

9. Memfasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;

10. Pengendalian lingkungan hidup;

11. Pelayanan pertanahan;

12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

14. Pelayanan administrasi penanaman modal;

15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;

16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan14.

Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota,

berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah guna

menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah

(Perda) ditetapkan oleh kepala daerah, setelah mendapat persetujuan bersama Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Substansi atau muatan materi Perda adalah

penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi,

14 Ibid, hlm. 35

15

Page 16: Makalah Penemuan Hukum

dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah, dan substansi materi tidak

boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan yang

lebih tinggi.

4.1. Tugas dan Kewajiban Pemerintah Daerah

Penyelenggara pemerintahan adalah presiden dibantu oleh satu orang wakil

presiden, dan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan

DPRD. Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang disebut kepala

daerah, untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk

kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah,

yang masing-masing untuk provinsi disebut wakil gubernur, untuk kabupaten disebut

wakil bupati, dan untuk kota disebut wakil walikota.

Tugas dan wewenang kepala daerah adalah :

b. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang

ditetapkan bersama DPRD;

c. mengajukan rancangan Peraturan Daerah;

d. menetapkan Peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama

DPRD;

e. menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan daerah tentang APBD

kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

f. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

16

Page 17: Makalah Penemuan Hukum

g. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundangundangan; dan

h. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan

4.2. Tugas Wakil Kepala Daerah, meliputi :

a. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;

b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal

di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat

pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta

mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan

hidup;

c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan

kota bagi wakil kepala daerah provinsi; 

d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah

kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah

kabupaten/kota; 

e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam

penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; 

17

Page 18: Makalah Penemuan Hukum

f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh

kepala daerah; dan 

g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah

berhalangan.

4.3. Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Selain mempunyai kewajiban di atas, kepala daerah mempunyai kewajiban

untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah

dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta

menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada

masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah,

disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk gubernur, dan

kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk bupati/walikota satu kali

dalam satu tahun.

Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen

kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan procedural pemilu

sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (tahun 2001).

Artinya, pilkada langsung khususnya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan

rekrutmen calon kepala daerah adalah lembaga yang juga menjadi penanggung jawab

pelaksanaan pemilu (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif)

18

Page 19: Makalah Penemuan Hukum

yaitu KPU(D). Pasal 22E ayat ((1) UUD 1945, bahwa pemilihan umum dilaksanakan

secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Pilkada langsung merupakan salah satu tujuan dari desentralisasi dalam

kerangka otonomi daerah. Desentralisasi secara garis besar mencakup dua aspek,

yaitu desentralisasi administrasi dan desentralisasi politik. Berdasarkan perspektif

administrative, desentralisasi didefinisikan secagai the transfer of administrative

responsibility from central to lokal governments. Berdasarkan perspektif

administrative desentralisasi sesungguhnya kata lain dari dekonsentrasi.

Dekonsentrasi sendiri menurut Pasal 1 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah, Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah

Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan

bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

Menurut Philip Mawhood (1983) dan J.A. Chandler (1993), pemerintah lokal

memiliki potensi dalam mewujudkan demokratisasi karena proses desentralisasi

mensyaratkan adanya tingkat responsivitas, keterwakilan dan akuntabilitas yang lebih

besar. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktik bernegara masa

kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas

negara dan pemerintahan15.

15 Suharizal, Pemilukada, Regulasi, DInamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 175.

19

Page 20: Makalah Penemuan Hukum

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan di setiap negara,

terdapat berbagai urusan di daerah. Suatu urusan tetap menjadi urusan pemerintah

pusat dan urusan lain menjadi urusan rumah tangga daerah sendiri, sehingga harus

ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan cara pembagian urusan

dikenal adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu, yakni cara pengisian rumah

tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah. Salah satu penjelmaan pembagian

tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan

baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan

rumah tangga daerah16.

5. PROSEDUR PENEMUAN HUKUM

Hukum acara pada umumnya, baik perdata maupun pidana, dapat dibagi

dalam garis besarnya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau permulaan,

tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap sebelum

acara pemeriksaan di persidangan. Dalam acara perdata pada tahap pendahuluan ini

tidak berapa banyak kegiatan dilakukan, seperti memasukkan gugatan, memajukan

permohonan penyitaan jaminan, dan pencabutan gugatan.

Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap

penentuan, yaitu pemeriksaan di persidangan. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh

hakim di persidangan adalah mengkonstatasi pristiwa konkret, yang sekaligus berarti

merumuskan pristiwa konkret, mengkualifikasi pristiwa konkret, yang berarti 16 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999, hlm. 26.

20

Page 21: Makalah Penemuan Hukum

menetapkan pristiwa hukumnya dan pristiwa konkret dan mengkonstitusi atau

member hukum atau hukumnya, yang pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan

kegiatan seseorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan

harus memecahkanya, yaitu legal problem indentification, legal problem solving, dan

decision making . Setiap sarjana hukum yang bekerja dibidang hukum, terutama

hakim, selalu dihadapkan pada pristiwa konkret, suatu kasus atau konflik, yang harus

dicarikan hukumnya dan dipecahkan atau diselesaikan17.

Telah dikemukakakan bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan

hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainya yang diberi tugas

melaksanakan hukum terhadap pristiwa-pristiwa konkret. Lebih konkret lagi dapat

dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi, atau

individualisasi peraturan hukum atau dsa Sollen, yang bersifat umum dengan

mengingat pristiwa konkret atau das Sein. Untuk mengetahui prosedur penemuan

hukum dapat diikuti tahap-tahap dalam pemerikasaan perkara perdata

Penggugat mengajukan gugatan yang berisi pristiwa konkret yang dijawab

oleh tergugat dalam jawabanya yang berisi pristiwa konkret pula. Sering terjadi

bahwa pristiwa konkret yang diajukan oleh tergugat dalam jawabanya ada yang sama

atau ada yang tidak sama dengan pristiwa konkret yang diajukan oleh penggugat

dalam gugatanya. Maka, hakim perlu mengetahui apa yang sekiranya menjadi

sengketa bagi kedua belah pihak. Untuk itu, diadakan prosedur jawab-menjawab

antara kedua belah pihak. Dari jawab-menjawab itu akhirnya akan diketahui oleh

17 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogykarta, 2014, hlm. 102

21

Page 22: Makalah Penemuan Hukum

hakim pristiwa manakah yang sekiranya menjadi sengketa. Dikatakan “sekiranya”

karena pristiwa konkret itu masih harus dibuktikan kebenaranya18.

18 Ibid, hlm. 103.

22

Page 23: Makalah Penemuan Hukum

BAB III

RINGKASAN PUTUSAN DAN KASUS

PUTUSAN MK NOMOR 100/PUU-XIII/2015PEMILIHAN KEPALA DAERAH

DENGAN HANYA SATU PASANGAN CALON

1. PEMOHON

1) Effendi Gazali (Pemohon I)

2) Yayan Sakti Suryandaru (Pemohon II)

Kuasa Hukum

AH. Wakil Kamal, S.H, M.H berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 5

Agustus2015

2. OBJEK PERMOHONAN

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

PemilihanGubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

3. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

mengujiUndang-Undang adalah:

23

Page 24: Makalah Penemuan Hukum

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan

Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);

Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji

Undang-Undang terhadap UUD 1945;

Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Mahkamah Konstitusi

berwenangmengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat finaluntuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945”;

Pasal 7 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi

dari Undang-Undang, oleh karena itu setiap ketentuan Undang-Undang tidak

boleh bertentangan dengan UUD 1945 (constitutie is de hoogste wet). Dalam

hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi.

4. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)

24

Page 25: Makalah Penemuan Hukum

Pemohon I adalah perseorangan warga Indonesia yang mempunyai hak

untukmemilih; serta merupakan warga negara Indonesia yang selalu

aktifmelaksanakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum dam Pemilihan Kepala

DaerahAdapun Pemohon II adalah perseorangan warga Indonesia yang

merasadirugikan oleh pasal yang diajukan permohonan a quo karena

menyebabkanpemilihan Kepala Daerah Kota Surabaya mengalami penundaan.

5. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945

A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN

Norma materiil yaitu Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan

(9), Pasal 51 ayat (2), Pasa 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat

(6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.

Pasal 49 ayat (8) UU 8/2015

Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat

(7)menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari

2(dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling

lama10 (sepuluh) hari.

Pasal 49 ayat (9) UU 8/2015

KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon

Gubernur danCalon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah

penundaan tahapansebagaimana dimaksud pada ayat (8).

Pasal 50 ayat (8) UU 8/2015

25

Page 26: Makalah Penemuan Hukum

Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat

(7)menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari

2(dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pasangan Calon Bupati

danCalon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil

Walikotapemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.

Pasal 50 ayat (9) UU 8/2015

KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon

Bupatidan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon

WakilWalikota paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan

sebagaimanadimaksud pada ayat (8).

Pasal 51 ayat (2) UU 8/2015

Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksudpada ayat

(1),KPU Provinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon

Gubernurdan Calon Wakil Gubernur dengan Keputusan KPU Provinsi.

Pasal 52 ayat (2) UU 8/2015

Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1),KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan

CalonBupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan

CalonWakil Walikota dengan Keputusan KPU Kabupaten/Kota.

Pasal 54 ayat (4) UU 8/2015

Dalam hal pasangan berhalangan tetap sejak penetapan pasangan

calonsampai pada saat dimulainya hari Kampanye sehingga jumlah

26

Page 27: Makalah Penemuan Hukum

pasangancalon kurang dari 2 (dua) orang, KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kotamembuka kembali pendaftaran pengajuan pasangan calon

paling lama 7(tujuh) hari.

Pasal 54 ayat (6) UU 8/2015

Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat

dimulainyaKampanye sampai hari pemungutan suara pasangan calon

kurang dari 2(dua) orang, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling

lama 14 (empatbelas) hari.

B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastianhukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif

atasdasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuanyang bersifat diskriminatif itu.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

danpemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengantidak ada kecualinya.

27

Page 28: Makalah Penemuan Hukum

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan;

Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,

danmendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak

memperolehpelayanan kesehatan;

Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

kebutuhandasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat

dari ilmupengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan

kualitashidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

6. ALASAN PERMOHONAN

1) Pasal-pasal dan ayat-ayat a quo menjadi ruh dari UU 8/2015 yang kemudian

diturunkan kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun

2015;

2) Warga negara yang tinggal di daerah yang Pemilihan Kepala Daerahnya

hanya memiliki satu pasangan calon terdaftar di KPUD, mengalami perlakuan

diskriminatif dan tidak mendapat kepastian hukum yang adil, dibandingkan

dengan warga negara yang tinggal di daerah yang Pemilihan Kepala

Daerahnya memiliki lebih dari satu pasangan calon terdaftar di KPUD;

28

Page 29: Makalah Penemuan Hukum

3) Warga negara yang tinggal di daerah yang Pemilihan Kepala Daerahnya

hanya memiliki satu pasangan calon terdaftar di KPUD, mengalami kerugian

hak memilih, yang tidak hanya dapat tertunda satu kali, namun dapat pula

tertunda berkali-kali dalam kondisi tidak menentu;

4) Penundaan Pemilihan Kepala Daerah mengakibatkan terhambatnya keputusan

strategis dan penting dalam pembangunan daerah mengingat daerah tersebut

dipimpin oleh seorang Pelaksana Tugas;

5) Hal-hal tersebut tidak hanya merugikan warga negara di daerah tersebut

namun juga seluruh warga negara Indonesia, yang amat berpotensi terlibat

dengan hasil-hasil pembangunan di seluruh Negara Kesatuan Republik

Indonesia, misalnya hasil pembangunan dalam bentuk infrastruktur, fasilitas

umum, dan sebagainya;

6) Mengingat Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 9 Desember 2015

sudah berjalan, maka Pemohon memohon agar kiranya Mahkamah Konstitusi

memberikan prioritas, serta berkenan memeriksa, memutus dan mengadili

perkara ini dalam waktu yang tidak terlalu lama agar pelaksanaan Pemiliha

Kepala Daerah dimaksud segera mendapat kepastian hukum dan

terlaksanatanpa merugikan hak konstitusional warga negara dan bangsa

Indonesia.

7. PETITUM

29

Page 30: Makalah Penemuan Hukum

1) Mengabulkan permohonan yang dimohonkan para Pemohon untuk

seluruhnya;

2) Menyatakan Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9),

Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU

8/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

3) Menyatakan Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9),

Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU

8/2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi

berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

30

Page 31: Makalah Penemuan Hukum

BAB IV

ANALISIS

PUTUSAN MK NOMOR 100/PUU-XIII/2015

1. Penemuan Hukum dalam Putusan MK Nomor 100/PUU-XII/2015

2. Alasan dan Dasar Hukum Hakim MK Memutuskan Mengikutsertakan

Calon Tunggal dalam PILKADA Serentak.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-undang No 8

tahun 2015 yang tercatat sebagai perkara konstitusi No 100/PUU-XIII/2015,

mengundang perdebatan menarik dari sisi politik maupun dari sisi konstitusi. Dari

sisi politik putusan MK ini menegaskan demokrasi tanpa kontestasi adalah sah

dengan segala konsekuensinya. Dari sisi konstitusi putusan ini membuka jalan

buntu akibat tidak adanya calon alternatif dalam pemilihan kepala daerah. Putusan

MK tersebut di atas mengandung makna penting sebagai pembelajaran  bagi

partai politik. Merekalah yang diberi mandat penuh untuk mengusung pasangan

calon dalam pemilu termasuk pemilukada. Tapi apa yang terjadi telah  semakin

menurunkan kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai infrastruktur

utama dalam sistem politik.

31

Page 32: Makalah Penemuan Hukum

Dalam pemilihan umum termasuk pemilukada, ada dua hak konstitusional

yang penting yang dijamin pemenuhannya oleh pemilihan umum yakni hak untuk

dipilih dan hak untuk memilih. Hak untuk memilih kandidat yang diusung partai

politik pada dasarnya adalah menyetujui gagasan, ide, program dan visi yang

ditawarkan oleh kandidat tersebut. Memilih kandidat tertentu dalam pemilu

hakikatnya memilih yang terbaik dari ide, gagasan, program, dan visi yang

ditawarkan para kandidat yang berkontestasi dalam pemilu atau pemilukada.

Karena itu kontestasi dalam pemilu tidak semata memilih kandidat tapi juga

memilih ide dan gagasan yang terbaik untuk dijadikan prioritas utama dalam lima

tahun kedepan.

Dari perspektif pendidikan politik, kontestasi dalam pemilu ini memberikan

kesempatan pada pemilih untuk menimbang, menilai dan memutuskan gagasan,

ide, program maupun visi siapa yang paling realistis dan pantas didukung dalam

pemilihan umum atau pilkada. Perdebatan yang lahir dari perbedaan ide, gagasan,

program dan visi masing-masing kandidat adalah dalam rangka mempertajam ide,

gagasan, program dan visi tersebut. Sehingga siapapun yang akhirnya menang

dalam kontestasi tersebut memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap

persoalan-persoalan yang menjadi perhatian publik di daerah tersebut. Sebaliknya

yang kalah dalam kontestasi memiliki kesempatan untuk menjadi oposisi yang

mengkritisi terus menerus gagasan yang dijalankan oleh pemenang kontestasi.

Bagi masyarakat, perbedaan pendapat dan kontestasi politik yang terjadi

dalam ruang publik, bisa menjadi arena belajar yang penting dalam memahami

32

Page 33: Makalah Penemuan Hukum

dan menilai persoalan-persoalan yang diperdebatkan. Kondisi inilah yang

sesungguhnya dihilangkan dari demokrasi tanpa kontestasi yang diputuskan MK

beberapa waktu lalu. Memang kita bisa saja berdalih bahwa calon tunggal pun

dituntut untuk memperjelas ide, gagasan, program dan visi mereka melalui

kampanye, tapi tentu berbeda jika ada pihak pesaing yang secara khusus dan kritis

mencermatinya.

Dari perspektif yang lain, kontestasi ide, gagasan, program dan visi kandidat

akan memudahkan proses akuntabilitas demokratis bagi kandidat yang terpilih.

Penajaman visi misi dalam kampanye menjadi ide gagasan yang lebih dimengerti

dan dipahami pemilih adalah tantangan setiap kandidat yang maju dalam pemilu

dan pemilukada.

Masalah terbesar dari calon tunggal dalam demokrasi non kontestasi ini

adalah proses penajaman visi misi dan gagasan serta ide tersebut tidak seintensif

jika ada lebih dari satu calon. Ada dorongan calon lain untuk mengritisi setiap

gagasan yang diajukan calon lain. Lebih dari itu calon tunggal tidak memiliki

kesempatan untuk berdebat dan mempersoalkan detail program dan gagasan yang

diajukan. Padahal detail itulah yang sering menjadi masalah dalam setiap program

dan gagasan yang ditawarkan. Akuntabilitas demokratis kepala daerah terpilih

bisa dituntut melalui catatan-catatan detail yang mengikuti program dan kegiatan

yang ditawarkannya ketika kampanye.

Jika politik dimaknai sebagai proses penentuan prioritas-prioritas utama yang

akan dilaksanakan dalam periode waktu tertentu, maka proses pemilu adalah

33

Page 34: Makalah Penemuan Hukum

proses untuk mengukur prioritas mana yang lebih menarik bagi masyarakat

sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Calon tunggal dalam demokrasi non

kontestasi ini berpotensi mengaburkan pilihan-pilihan prioritas tersebut karena

ketiadaan ruang publik yang memadai untuk memperdebatkan setiap gagasan

yang dimunculkan oleh kandidat tunggal tersebut.

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) yang dimohonkan oleh Akademisi

Effendi Gazali. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Pilkada yang hanya

diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat

dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan sungguh-sungguh terpenuhinya

syarat paling sedikit dua pasangan calon. Untuk itu, Pilkada tidak lagi semata-

mata digantungkan pada keharusan paling sedikit adanya dua pasangan calon

kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Menurut Mahkamah, dalam UU Pilkada, tampak bahwa pembentuk Undang-

Undang ingin kontestasi Pilkada setidaknya diikuti dua pasangan calon. Namun,

pembentuk Undang-Undang tidak memberikan jalan keluar apabila syarat paling

kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. “Dengan demikian, akan ada

kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut

tidak terpenuhi. Kekosongan hukum itu akan berakibat pada tidak dapat

diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah,” jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo

membacakan pertimbangan hukum.

34

Page 35: Makalah Penemuan Hukum

Mahkamah mengimbuhkan, adanya kekosongan hukum tersebut telah

mengancam tidak terlaksananya hak hak rakyat untuk dipilih dan memilih karena

dua alasan. Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya

telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan

serentak saat itu. Kedua, apabila penundaan demikian dapat dibenarkan, tetap

tidak ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat

untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Pasalnya, penyebab tidak dapat

dipenuhinya hak rakyat untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan

yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua pasangan calon dalam

kontestasi Pilkada.

Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pilkada yang ditunda sampai pemilihan

berikutnya hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan

calon bertentangan dengan UUD 1945. “Demi menjamin terpenuhinya hak

konstitusional warga negara, pemilihan Kepala Daerah harus tetap dilaksanakan

meskipun hanya terdapat satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil

kepala daerah, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk

mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon,” tegas Suhartoyo.

3. Mekanisme Pemilihan

Mahkamah memutuskan, keikutsertaan calon tunggal dalam Pilkada dapat

dilakukan jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi syarat

paling sedikit dua pasangan calon. Hal ini berarti penyelenggara telah

35

Page 36: Makalah Penemuan Hukum

melaksanakan ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat

(9) UU Pilkada (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur) dan ketentuan Pasal

50 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pilkada (untuk pemilihan Bupati/Wakil

Bupati dan Walikota/Wakil Walikota).

Setelah itu, dilakukan proses seperti referendum, yakni jika hanya ada satu

pasangan calon, maka dilakukan proses untuk meminta kepada rakyat (pemilih)

untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara, terhadap calon

tunggal tersebut. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara terbanyak maka

pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan

sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila pilihan

“Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pemilihan ditunda sampai

Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.“Penundaan demikian tidaklah

bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah

memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut,”

jelas Suhartoyo.

Agar proses tersebut dapat dijalankan, maka ketentuan Pasal 49 ayat (9) UU

Pilkada yang menyatakan, “KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran

pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari

setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)”harus

dimaknai “termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan Calon

Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari

dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan Calon

36

Page 37: Makalah Penemuan Hukum

Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”. Pemaknaan yang sama juga berlaku

untuk ketentuan Pasal 50 ayat (9) yang mengatur pembukaan kembali pendaftaran

calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon

Wakil Walikota. Demikian juga dengan pasal terkait lainnya, yakni Pasal 51 ayat

(2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pilkada.

Namun, Putusan nomor 100/PUU-XIII/2015 ini diwarnai adanya pendapat

berbeda dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya, keberadaan Calon

tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Sedangkan Pemilu tanpa kontestasi

hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas Luber dan Jurdil. Hak-hak

untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi dengan adanya calon

tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial (semu).

Sedangkan terhadap pengujian norma yang sama dengan nomor perkara yang

berbeda, yakni perkara nomor 95/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan warga

Surabaya dan perkara nomor 96/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Calon Wakil

Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Mahkamah menyatakan kedua

permohonan tersebut tidak dapat diterima.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai argumentasi tentang kerugian

hak konstitusional para Pemohon didasarkan pada keadaan aktual pada saat

permohonan diajukan, yaitu tidak adanya paling sedikit 2 (dua) pasangan calon

Walikota dan calon Wakil Walikota Surabaya. Namun, saat permohonana

quo diputus, keadaan sebagaimana didalilkan para Pemohon telah berubah. Syarat

paling sedikit 2 (dua) pasangan calon tersebut telah terpenuhi, sebagaimana

37

Page 38: Makalah Penemuan Hukum

diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya yang tertuang

dalam Keputusan KPU Kota Surabaya Nomor 36/Kpts/KPU-Kota-

014.329945/2015 tentang Penetapan Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota

dan Wakil Walikota Surabaya Tahun 2015, tanggal 24 September 2015.

Oleh karena itu, Mahkamah memandang dalil kerugian hak konstitusional

para Pemohon menjadi tidak relevan lagi sehingga para Pemohon kehilangan

kedudukan hukum (legal standing)-nya sebagai Pemohon dalam permohonan a

quo.

38

Page 39: Makalah Penemuan Hukum

BAB V

KESIMPULAN

???

39

Page 40: Makalah Penemuan Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Setara Pers, Malang, 2013.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999.

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Daniel S. Lev., Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cetakan Keempat, LP3ES, Jakarta, 2013.

Elias M. Awad. System Analysis and Design, Homewood, Illionis : Richard D.Irwin,1979.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004.

Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogykarta, 2014.

Suharizal, Pemilukada, Regulasi, DInamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Tatang M. Amirin. Pokok-Pokok Teori Sistem, Cetakan keempat, Rajawali Pers, Jakarta,1996.

40

Page 41: Makalah Penemuan Hukum

1. Daftar Pustaka dari Jurnal (2) ?

2. Cover/Sampul ?

3. Daftar Isi ?

4. Kata Pengantar ?

5. Bab IV, Analisis ?

41