metode penemuan hukum bayanita'liliistislahi (2)

Upload: fardan6

Post on 08-Apr-2018

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    1/26

    METODE PENEMUAN HUKUM

    (Bayani, Talili dan Istislahi)

    Oleh :

    AL FITRI, S.Ag.,S.H 1

    A. PENDAHULUAN1. Latar Belakang Masalah

    Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya

    bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam

    Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun danfiqh) dapat saja

    dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan

    fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik

    karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum

    yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam metode penemuan hukum

    dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, talii dan istislahi.

    Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode penerapan

    hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq al-

    hukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penemuan

    hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula

    dengan metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah

    dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha) dan sangat mendasar metode yang mereka

    temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode

    seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut Ushul

    1Panitera Pengganti dan Kaur Keuangan pada Pengadilan Agama Kotabumi dan saat sekarang

    Mahasiswa PPs IAIN Raden Intan bandarlampung, Prodi Ilmu Syariah, Konsentrasi Perdata Syariah,

    Angkatan 2007

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    2/26

    1

    Fiqh. Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami hukum Islam dan

    memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut dibangun hukum Islam

    yang ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption). Imam

    Syafii contohnya mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau guru arsitek

    Ushul Fiqh dalam kitabnya Ar Risalah yang tidak hanya karya pertamanya membahasa

    Ushul Fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang muncul

    kemudian.

    Metode pengembangan hukum Islam yang telah diletakan oleh Imam Mujtahid

    (Abu Hanifah 699-767 M, Malik bin Anas 714-795 M, Muhamad Idris Asy-Syafii 767-

    819 M, dan Ahmad bin Hanbal 780-855 M) dan dijadikan dasar pijakkan untuk

    menemukan hukum dan penerapan hukum, maupun memberlakukan hukum dalam suatu

    negara. Metode yang dijelaskan secara rinci dalam Ushul Fiqh menurut Tahir Muhmood

    merupakan asas hukum di berbagai negara Islam dan di dalam pembaharuan hukumnya,

    yaitu motode musawati mazhabib al-fiqh (equality of the schools of Islamic law) istihsan

    (juristic equality), mashalih al-mursalah / istislahi (public interest), siyasah syariah

    (legislative equality) istidlal (juristic reasioning), taudi(legislation), tadwin (codivication)

    dan lain sebaginya.2

    Dikaitkan dengan penemuan hukum dan penerapan hukum oleh Juris Islam

    (fuqaha) setidak-tidaknya mendasarkan kepada beberapa motode, dintaranya motode

    penemuan hukum bayani, talili dan istislahi, yang bermuara pada tolak ukur kemaslahatan

    agar keadilan dan kebenaran dapat dikembangkan dari tiga motode tersebut yang tentunya

    2Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative Analysis),

    New Delhi For the Academi of law and Religion, 1987, hlm.13.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    3/26

    2

    tidak lepas dan kontradiksi denga garis hukum yang telah dietapkan dalam Al Quran dan

    Hadis. Oleh karena itu di dalam upaya menemukan hukum dan penerapan hukum oleh para

    pengali hukum Islam seyogianya bertitik tolak dari prinsip kemaslahatan dengan metode

    yang telah disebutkan di atas.

    Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum dalam

    Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fiqh dan Filsafat Hukum Islm.

    Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama dalam metode penemuan hukum

    Islam. Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka

    mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-

    persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran

    dan Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan

    akan dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang

    muncul, makalah ini akan mencoba menguraikan metode penemuan hukum bayani, talili

    dan isislahi.

    2. PermasalahanDari uraian yang telah penulis kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu

    gambaran dan batasan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini

    adalah : Bagaimana bentuk penemuan hukum dengan metode bayani, talili dan istislahi ?

    B. PEMBAHASAN1. Pengertian Motode Penemuan Hukum Islam

    Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motedo penemuan hukum dipakai dengan istilah

    istinbath. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    4/26

    3

    memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.3 Imam

    Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III dengan judul

    Thuruqul Istitsmar. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fiqh maka passwar yang

    paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan

    mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.

    Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu

    cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik

    dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan

    kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.4

    Ahli Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa untuk

    mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syariyyah dan

    kaidah lughawiyah.

    a. Kaidah syariyyah.Yang dimaksud dengan kaidahsyariyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara

    dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum

    (mukallaf).5 Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang

    dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan

    sebaginya.

    b. Kaidah lughawiyah.Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun

    uslub-nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan

    3Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2004,

    hlm. 14

    A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi

    Revisi, Prebada Media, Jakarta, 2005, hlm.17.5Ibid.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    5/26

    4

    hukum.6 Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang

    dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz

    dan susunannya.

    Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum

    Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Usha memperoleh

    ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-

    dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil

    Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa

    hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang

    menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.7

    Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus

    memahami bahasa dalil Al Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki

    pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan.

    Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang

    mutlak wajib dipelajari oleh seiap orang yang ingin berijtihad.8 Penemuan hukum

    (rechtsvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas

    cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuwan / peneliti

    hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara / advokat), direktur

    perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun.9

    6Ibid, hlm. 5.

    7Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres Yogyakarta, 1984,

    hlm.32.8Ibid.

    9Jazim Hamidi,Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,

    UII Pres, Yogyakata, 2004, hlm. 51

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    6/26

    5

    Dalam makalah ini, penulis membatasi diri pada upaya penemuan hukum secara

    penelitian hukum dari sudut kajian akademisi, yang kemamfaatannya dapat dirasakan oleh

    semua kalangan khsusnya praktisi hukum Islam. Hal demikian dimaksudkan tidak semata-

    mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi

    juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.10

    2. Metode Penemuan Hukum Bayani, Talili dan IstislahiMetode Bayani.

    Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode

    penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses

    mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (al-

    fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan

    penyampaian makna (al-tablig).11

    Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-

    tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang

    bermakna mengartikan, menafsirkan atau menerjemah dan juga bertindak sebagai

    penafsir.12

    Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi

    ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang

    maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu

    proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih

    10Penemuan hukum itu selalu berkonotasi hukumnya sudah ada sehingga tinggal bagaimana cara

    menerapkan dalam peristiwa konkrit. Sedangkan pembentukan hukum berkonotasi bahwa hukumnya belum

    ada sehingga harus membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu sehingga jangan terjadi kekosongan

    hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Sementara penciptaan hukum

    berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap.11

    Jazim Hamidi, Op.,Cit, hlm. 23.12

    Ibid, hlm. 20

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    7/26

    6

    jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari

    pekerjaan seorangpenafsir / muffasir.

    Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama

    dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah ilmu tafsir (ilm tawil

    dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami

    kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan

    istilah ilmu tafisr ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi hermeneutika Al Quran

    sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam

    kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adaah tafsir. Kata tafsir berasal dari

    bahasa Arab ; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian

    eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.13

    Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan tawil (al-tawil) sering kali

    disinonimkan pengertiannya ke dalam penafsiran atau penjelasan. Al-Tafisr berkaitan

    dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-tawil lebih merupakan

    isnterprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan

    penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk

    menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan

    tawil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber

    menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan

    adalah gerak dinamis.

    13Ibid, hlm. 22.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    8/26

    7

    Hermeneutika14 yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni

    menginprestasikan (the art pf interprestation) teks atau memahami sesuatu dalam

    pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya

    menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu / teks di sini bisa berupa : teks hukum,

    peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat

    ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin).15

    Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan

    antara teks, konteks dan kontekstualisasi.

    Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan

    hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang

    memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini

    dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme

    para yuris positif yang elitis16 tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau

    behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata

    berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma

    positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya

    menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan / atau para

    pencari keadilan.

    Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus :

    Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum

    14Sebagaimana yang pernah diambil oleh Nabi Idris esiensinya adalal sebuah ilmu atau seni

    menginterprestasikan (the art of interprestasi) teks. ketika penafsiran wahyu Tuhan / bahasa langit, sehingga

    di[ahami oleh makhluk di bumi. (Ibid, hlm 21)15

    Ibid, hlm. 45.16

    Di mana pada lalu telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang berwenang akademisi dan

    professional untuk menginterprestasikan dan membberikan makna kepada hokum.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    9/26

    8

    atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi

    (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan

    semangat hukum.

    Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori

    penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral

    hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah

    dan fakta-fakta.

    Di bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan

    oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :

    1. Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) :Sebelum mengambil putusan (ex ante) disebut heuristika yaitu proses mencari dan

    berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini

    berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara

    yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap

    sesudah pengambilan putusan (ex post) disebut legitimasi yang berkenan dengan

    pembenaran dari putusan yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi

    (pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu

    penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan

    hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak

    memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan,

    dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut

    agar putusan dapat diterima.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    10/26

    9

    Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan

    hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan undang-

    undang dan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus

    pencipta hukum dan pembentuk hukum

    2. Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi.Metode penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat undang-

    undang dan peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari

    perencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi hukum itu

    sarat dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum. Interperstasi itulah

    meruapakan ruh dari metode bayani.

    3. Ilmuwan hukum / Fuqahak.Ilmuwan / fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian

    hukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dan

    kualitas hukum.

    Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalam

    sebelas macam yaitu :

    1. Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa).Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata

    bahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi kata-

    katanya dari hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah kata

    dapat mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata

    musytarak

    2. Interprestasi historis.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    11/26

    10

    Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya harus

    menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam

    konteks ini dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturan

    hukum pembuat undang-undang (syari) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat

    menentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya

    (rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undang

    dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan

    hukumnya. Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam

    penafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul ayatatau asbabul wurud hadist.

    3. Interprestasi sistematis.Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem,

    artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan

    jenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis,

    hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.

    4. Interprestasi sosiologis atau teologis.Secara sosiologis / teologis apabila makna peraturan / ayat dietapkan berdasarkan

    tujuan kemaslahatan. Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan adanya perbedaan

    atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum

    (rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting.

    Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong

    tangan bagi pencuri, postif hukum setiap pencuri potong tangan, namun kenyataan

    hukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat.

    5. Interprestasi komparatif.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    12/26

    11

    Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina)

    berbagai sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkan

    pendapat-pendapat imam mazhab.

    6. Interperstasi futuristik.Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan

    ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatan

    hukum., karena peraturannya masih dalam rancangan.

    7. Interperstasi restriktif.Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata tetangga dalam

    fiqh muamalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan

    di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini

    berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.

    8. Interprestasi ekstensif.Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi

    gramatikal, seperti perkataan al-bai dalam fiqh muamalah oleh qadhi boleh di

    tafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak.

    9. Interprestasi otentik atau secara resmi.Dalam jenis interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan

    cara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang

    itu sendiri.

    10. Interperstasi interdisipliner.Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu

    hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    13/26

    12

    Sebagai contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan korupsi hakim

    dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum

    pidana, administrasi negara dan perdata.

    11. Interprestasi multidisipliner.Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar

    ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari

    lain-lain disiplin ilmu.

    Metode Talili

    Sebelumnya penulis akan menguraikan sekitar masalah illat. Ulama Ushul Fiqh

    membicarakan masalah illah ketika membahas qiyas (analogy). Illah merupakan rukun

    qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan illahnya. Setiap hukum

    ada illah yang melatarbelakanginya. Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu

    sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh

    sebagaian ulama Ushul Fiqh : Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar

    dalam penetapan hukum.17

    Orang yag mengakui adanya illat dalam nash, berarti ia

    mengakui adanya qiyas.

    Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah illat menjadi 3 golongan :18

    a. Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pastimemiliki illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah illat hukum itu sendiri, hingga

    ada petunjuk(dalil) yang menentukan lain.

    17Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Mashum, Jakarta,

    2000, hlm.364.18

    Ibid.,hlm. 365.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    14/26

    13

    b. Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak berillat, kecualiada dalil yang menentukan adanya illat.

    c.

    Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap

    tidak adanya illat hukum.

    Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan

    meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam. Maka banyak

    ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu

    tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang

    disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang

    melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim ialah illat hukum atau kausa hukum.19 Selama

    illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika illat hukum tidak

    tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para

    fukahak melahirkan kaidah fiqh yang mengatakan :

    Hukum itu berkisar bersama illatnya, baik ada atau tidak adanya.20

    Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga illat (kausa)

    yang melatarbelakanginya ; jika illat ada, hukum pun ada, jika illat tidak ada, hukum pun

    tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh

    karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan

    untuk dapat menunjuk illat hukum secara tepat.

    19Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit.,hlm.20.

    20Ibid., hlm. 22.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    15/26

    14

    Mengenai adanya kaitan antara illat dan hukum, para fuqaha mazhab Zahiri tidak

    dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui illat hukum hanyalah Allah dan

    Rasul-Nya. Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada

    ketentuan hukum nash menurut apa adanya.21

    Menetapkan adanya kaitan hukum dengan

    illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa

    yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan illat hukum

    peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash. Dengan mengetahui illat

    hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap

    peristiwa yang terkadi kemudian.

    Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam

    kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus tersebut.

    Sehingga illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara

    obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan

    sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum.

    Sedangkan hikmatadalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam

    wujud kemaslahatan bagi manusia. Illat merupakan tujuan yang dekat dan dapat

    dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan tujuan yang jauh dan

    tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.

    Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan illat

    adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan

    ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak,

    21Ibid.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    16/26

    15

    mundhabith atau tidak.22 Jadi baginya illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahatdan

    mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan

    berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dengan illat mempunyai

    hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.23

    Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyaspenemuan illat

    dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari

    sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid al-

    syariat Dalam pencarian illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat

    menjadi illat adalah bahwa shifattersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahatyang

    diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam illat menjadi maslahat

    daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul pengembangan prinsip dan

    teori maqashid al-syariat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang

    menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam

    menetapkan hukum melalui jalur qiyas.

    Illat adalah hal yang oleh syari (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar,

    tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. Illat pada pokoknya dapat

    dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu illat diperoleh dengan

    dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijmadan illat yang diperoleh dengan jalan istinbath

    (pemahaman kepada nash).24

    Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi

    tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih,

    22Al-Syatibi,Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt, hlm. 185.

    23Contoh, dalam bidang ibadah (shalat qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya

    itu illatnya karena safr, sedangkan musyaqatnya merupakan hikmat24

    Ibid., hlm. 24.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    17/26

    16

    yang diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya

    petunjuksebab.25

    Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk

    menentukan illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran

    kefilsafatan dalam menentukan illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk

    menentukan illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu :

    1. Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuaibenar sebagai illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar-benar

    sebagi illat dilakukan taqsim dan sabr. Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan

    sesuai sebagai illat hukum, dan sabr adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan

    dirasakan sesuai sebagi illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus

    disisihkan sebagai illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini

    merupakan peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan terjadi

    perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.

    2. Menetapkan kesesuaian illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji illatyang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya illat itu terhadap hukum

    bersangkutan. Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-illah al-

    munasibah.26

    Al-illah al-munasibah ada empat macam, yaitu : illat muatstsirah

    (membekas), illat mula-imah (sejalan), illat gharibah (asing) dan illat mursalah

    (lepas, bebas).27 , di bawah ini akan dibahas tentang empat illat itu :

    a. al-illah al-munasab.25

    Muhammad Makruf ad-Dawaalibi,Al Madkhal Ilaa Im Ushuul al-Faqh, 1959, hlm. 417.26

    Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyrii al-Islami, 1964, hlm. 131.27

    Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit., hlm. 28-31.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    18/26

    17

    Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau ijmadan diketahui membekas

    pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan atas

    anak di bawah umur, yang dipandang illatnya adalah keadaan di bawah umur.

    b. illat mula-imah.Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum

    karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai

    illatnya. Namun illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai masalah

    yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan illat hukum yang

    bersangkutan.

    c.illat gharibahIllat yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa illat itu membekas

    pengaruhnya terhadap hukum dan tidak ketahui dengan jelas kesejalanannya dengan

    hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain

    mengenai masalah yang sejenis. Namun illat yang diperoleh dari nash itu sendiri

    dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya.

    d.illat mursalah

    Illat yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat diketahui dari jiwa

    ajaran Islam pada umumnya. Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik.

    Untuk menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan cakrawala

    pemikiran tentang tujuan dan rahasia hukum Islam khususnya dan ajaran Islam

    umumnya.

    Oleh karenanya illah adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di

    dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka illah ditetapkan sebagi

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    19/26

    18

    bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan jelas bagi adanya hikmah.28 Hikmah

    itu bersifat implisit di dalam illah dan tidak terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada

    jika illah tidak ada. Di samping itu, illah adalah dasar perbuatan. Jika illah ada tanpa

    adanya hikmah, maka illah tidak dapat dianggap berasal dari hukum.

    Jika illah itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila illah itu tidak jelas, para ahli

    Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan mencoba menggali

    illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit. Sedangkan yang lainnya mengambil

    metode interprestasi nash sesuai dengan akal berkenaaan dengan kepentingan masyarakat

    (social utility). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa illah merupakan sebab atau

    tujuan ditetapkan hukum. Adakalanya langsung disebut dalam nash (manshushah) dan

    adakalanya tidak(muntanbathah).29

    Metode Istislahi

    Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga

    merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al

    Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara

    langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam

    maslahat, yakni maslahat mutabarat, maslahat mulghatdan maslahat mursalat. Maslahat

    yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran

    maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan

    ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua

    maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak

    28Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm.4.

    29Ibid.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    20/26

    19

    ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.30

    Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah

    adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan

    hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat al-

    mursalat.31

    Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat.

    Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.

    Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :32

    a. Maslahat tersebut bersifat reasonable (maqul) dan relevan (munasib) dengan kasushukum yang ditetapkan.

    b. Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkankesulitan (rafu al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqatdan madharrat.

    c. Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyariatkan hukum (maqashid al-syariat) dan tidak bertentangan dengan dalil syara yang qahti.

    Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat

    dijadikan sebagai penemuan hukum.33

    1. Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa untukmenetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan

    sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas

    tersebut.

    30Dalamm kajian ilmu Ushul Fiqh al-maslahat al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak

    ditetapkan oleh al-Syari sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syari yang menyatakan

    keberadaannya atau keharusan meninggalkannya. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-

    Ala al-Indonesi li al-Dawat al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972, hlm. 84.31

    Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabiah, Adillat al-Tasyri al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj

    Biha, Muassasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M, hlm. 221.32

    Dalam karangan al-Syathibi, al-ITisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil, Op.Cit, hlm. 14233

    Al-Ghazali, al-Mustahasfa min Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364-367.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    21/26

    20

    2. Kemaslahatan itu bersifat qathi, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan) semata-

    mata.

    3. Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umumdan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka

    syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-

    syariat.

    Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode

    penemuan hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang

    diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan

    disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan.

    Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai

    dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada

    ketentuan syariat dan tidak ada illat yang keluar dari syara yang menentukan kejelasan

    hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara,

    yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan

    suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.

    Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh

    khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu

    bagian tujuan syara. Proses seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu

    masalah).34

    Walaupun para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya

    34Rachmat Syafei,Ilmu Ushul Fiqih, Cet. 1, Pustaka Setia, Bandung, 1999.hlm. 117.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    22/26

    21

    adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun

    tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.

    Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya adalah suatu

    metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara yang tidak merupakan dalil tambahan

    terhadap nash syara, tetapi ia tidak keluar dari nash syara. Menurut pandangannya, ia

    merupakan hujjah qathiiyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara,

    walaupun dalam penetapannyazhani.35

    Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi

    itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran

    maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu

    itibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijmaatau qiyas yang

    berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti

    pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah

    ketiga. Hal iu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat

    yang sejalan dengan kehendak syara untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan

    umat tentang Al Quran.36

    Dari uraian di atas jelaslah bahwa istislahi merupakan cara penemuan hukum yang

    berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, urfdan kaidah raf al-

    harj wa al-masyaqqat.

    -+35

    Al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 310.36

    Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabiah, Op. Cit., hlm. 222.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    23/26

    22

    C. ANALISAKonsep penemuan hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran system hokum

    terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya,

    meskipun tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang

    ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika

    dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum

    jelas maknanya, maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani

    (penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan

    tetap berpegang pada bunyi teks.

    Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena

    memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang

    timbul dalam masyarakat. Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari

    fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu

    lainnya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru

    persoalan fiqh merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqh ibadah

    dan muamalahnya.

    Penerapan sebuah hukum harus didahului dengan aktifitas penemuan hokum yang

    lazim diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh para penegak hukum dan fuqahak

    dalam proses menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum

    merupakan upaya bahwa seakan-akan hukumnya sudah ada, dan suatu peristiwa yang tidak

    ada ketentuan hukumnya harus pula dilakukan melalui ijtihad sehingga hukumnya

    ditemukan. Dengan demikian terbentuklah hukum atas peristiwa tersebut.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    24/26

    23

    Penemuan hukum dapat saja dilakukan oleh hakim sebab hasil temuan hukum oleh

    hakim adalah hukum. Ilmuwan hukum yang mengadakan penmuan hukum, baik melalui

    penelitian, maupun hasil pemikirannya dapat dikatakan sebagai ilmu dan doktrin, jika

    diambil oleh hakim maka akan menjadi hukum.

    Aturan hukum yang bersifat normatif kadang-kadang kurang jelas, rinci dan

    lengkap, sedangkan fakta dan peristiwa selalu muncul di luar ketentuan yang ada dan ini

    diperlukan penyelesaian menurut hukum. Begitu juga halnya dengan teks ayat dan hadis

    yang kadang-kadang hanya memuat aturan normatif sehingga perlu penemuan hukum atau

    aturan undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang tidak mungkin menduga

    peristiwa yang akan terjadi ke depan walaupun teks undang-undang jelas tentu masih

    membutuhkan penemuan hukum untuk mencocokan dengan kebutuhan zaman tentu dengan

    tetap mengacu pada aturan yang sudah digariskan dalam teks. Hukum itu ada, akan tetapi

    harus ditemukan, hakim tidak semata-mata menerapkan hukum, akan tetapi menemukan

    hukum.

    Kegiatan penemuan hokum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya

    adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal

    demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab permsalahan

    yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud

    tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan

    intensitas, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi

    mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.

    Penemuan hokum dengan metode talili yang merupakan sifat yang menjadi dasar

    hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukumnya.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    25/26

    24

    Mendasarkan hukum kepada illat diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang

    Al Quran dan As Sunnah memberikan petunjukbahwa illat hukum adalah sifat tertentu,

    maka sifat itu merupakan illat berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui

    bahwa ketentuan hokum itu dapat dipecahkan berdasarkan illat hukum.

    Sedangkan penemuan hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan

    syariat dan merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang

    sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan

    suatu jalan keluar dari kekakuan hukum.

    D. PENUTUPDari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka terakhir dapat diambil

    kesimpulan sebagai berikut :

    1. Metode penemuan hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalammengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa

    (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.

    2. Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metodepenemuan hukum al-bayan, talili dan istislahi.

    3. Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahamanterhadap teks.

    4. Metode penemuan hukum talili adalah suatu metode penemuan hukum dengan illat-illat dalam suatu masalah.

    5. Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum yang stresingnyalebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.

  • 8/7/2019 Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi (2)

    26/26

    25

    DAFTAR PUSTAKA

    Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Mashum,

    Jakarta, 2000.

    Al-Ghazali, al-Mustahasfa min Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt.

    Al-Syatibi,Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt.

    Al-Rabiah, Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali, Adillat al-Tasyri al-Mukhatalaf Fi al-

    Ihtijaj Biha, Muassasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M.

    Ad-Dawaalibi, Muhammad Makruf,Al Madkhal Ilaa Im Ushuul al-Faqh, 1959.

    Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres

    Yogyakarta, 1984.

    Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm.4.

    Djazuli, A, Ilmu FiqhPenggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5,Edisi Revisi, Prebada Media, Jakarta, 2005.

    Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and ComparativeAnalysis), New Delhi For the Academi of law and Religion, 1987.

    Rahman, Asjmuni A., Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang,

    Jakarta, 2004.

    Hamidi, Jazim,Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi

    Teks, UII Pres, Yogyakata, 2004.

    Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-Ala al-Indonesi li al-Dawat al-

    Islamiyyyat, Jakarta, 1972.

    .