pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79375/potongan/s1-2014... · ......
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pembangunan pedesaan merupakan kebijakan yang telah digalakkan pemerintah sejak
orde lama. Sampai sekarang, kebijakan ini terus berkembang sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi, politik negara dan dituangkan dalam rencana pembangunan nasional. Selain
pembangunan desa yang termuat dalam APBDes, desa memperoleh program-program
pembangunan lagi dari pemerintah, baik pemeritah pusat, maupun pemerintah daerah.
Beberapa program dari pemerintah pusat itu misalnya PNPM-Mandiri, Desa Sejahtera, dan
BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Dalam program tersebut pun masih terdapat beberapa
agenda pembangunan lain yang dibagi dalam berbagai aspek. Kemudian ada lagi program
yang diinisiasi oleh pemerintah kabupaten, yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah, dan
biasanya lebih spesifik. Misalnya dalam sektor sosial, pendidikan, kesehatan, kebudayaan,
lingkungan hidup, pertanahan, dan sebagainya. Menjadi menarik untuk melihat sinergi antar
program pembangunan pedesaan tersebut. Apalagi banyak studi pembangunan yang lebih
menjelaskan dari sisi hasil, seperti pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dari pengertian politik, desa adalah kesatuan masyarakat hukum terendah yang
mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa mempunyai
hak otonom dan bertindak sebagai subjek. Bila dikaitkan dengan konteks pembangunan,
berarti desa lah yang menentukan apa saja yang dibutuhkan dan program apa saja yang akan
dijalankan. Desa lah yang menjadi subjek (pelaku utama) pembangunan. Namun hal tersebut
berbeda dengan kenyataan di lapangan. Desa cenderung lemah secara politis. Intervensi
negara terhadap desa lebih besar dibanding kemampuan desa mengatur rumah tangganya
sendiri. Tidak terkecuali intervensi negara (pemerintah) terhadap pembangunan desa.
2
Pemerintah banyak menerapkan program-program pembangunan pedesaan tanpa menelaah
lebih lanjut keefektifan proses pelaksanaan dan hasil yang dicapainya.
Selain itu, pemerintah cenderung memperlakukan semua desa di Indonesia secara
seragam dalam menerapkan program-program pembangunan pedesaan. Mungkin ini
merupakan kelatahan pemerintah dari masa orde baru yang memberikan format keseragaram
desa lewat UU No.5 Tahun 1979. Padahal, kebutuhan setiap desa berbeda-beda dan belum
tentu program pembangunan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan serta kondisi desa
tersebut. Hal ini memperlihatkan bagaimana otonomi desa sebenarnya dikekang oleh
pemerintah.
Dilihat dari sejarahnya, selama periode orde lama hingga orde baru, pembangunan
pedesaan lebih ditekankan pada sektor pertanian dan perekonomian desa. Pada saat orde lama
muncul program landreform untuk kesejahteraan masyarakat tani. Kemudian muncul juga
koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan (Eko dan Krisdyatmiko, 2006: 107).
Kemudian pada masa orde baru muncul program-program pembangunan yang tercantum
dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Program-program itu didanai dari
APBN. Selain itu saat orde baru muncul beberapa inpres (instruksi presiden), seperti inpres
bandes (bantuan desa). Desa diberi bantuan dana senilai 100 ribu rupiah dan terus meningkat
hingga mencapai 10 juta rupiah. Kemudian muncul juga program IDT (Inpres Desa
Tertinggal), program pengembangan kawasan terpadu, dan program pembangunan lain yang
dikendalikan oleh hampir semua departemen pemerintahan yang ada.
Setelah orde baru, program pembangunan pedesaan juga semakin berkembang.
Ditambah lagi Indonesia mendapat sejumlah pinjaman dana cukup besar dari luar negeri
seperti bank dunia (World Bank). Tidak berbeda dengan format lama, setiap departemen
pemerintahan masih mengendalikan beberapa program pembangunan di pedesaan.
3
Pertimbangannya agar perencanaan pembangunan lebih spesifik dalam setiap sektor, sektor
pendidikan, kesehatan, pertanian, dll. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan
akan tercapai secara maksimal dan kebutuhan desa di setiap sektor dapat diakomodasi dengan
baik.
Adapun program yang diluncurkan pemerintah pusat ke pedesaan dari bantuan luar
negeri contohnya PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. PNPM
sendiri memiliki banyak program cabang mulai dari PNPM- Mandiri pedesaan, PNPM
Mandiri Perkotaan, PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), hingga PNPM
Infrastruktur Perdesaan (PPIP). Program PNPM Mandiri pun merupakan pengembangan dari
Program Pembangunan Kecamatan (PKK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP). Kemudian ada pula Program pembangunan dari pemerintah kabupaten
melalui badan pemberdayaan masyarakat desa (BPMD) misalnya pembinaan PKK dan
simpan pinjam karang taruna. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten akan menginisiasi
beberapa program pembangunan lagi kepada desa dengan didasarkan pada hasil musrenbang.
Untuk mencapai sebuah tujuan, tentu saja dibutuhkan sinergi dalam setiap elemen
yang terlibat. Begitu pula dengan program-program pembangunan pedesaan yang diinisiasi
pemerintah bagi desa-desa di Indonesia seperti yang tersebut di atas. Diperlukan kesesuaian
antar program, kesinambungan dan koordinasi yang baik antar elemen kebijakan dari
perencanaan hingga pelaksanaannya. Jika program pembangunan pedesaan yang ada saling
bersinergi, pengaruh yang ditimbulkan bagi kehidupan masyarakat desa dapat lebih maksimal.
Sinergi antar program pembangunan pedesaan menjadi syarat bagi keberhasilan
pembangunan yang dicita-citakan.
Selama ini proyek pembangunan pedesaan sudah menuai banyak kritik, baik dari segi
perencanaan, proses, hasil, maupun dari segi programnya sendiri. Hal itu terjadi karena
4
perencanaan, pelaksanaan dan hasil dari pembangunan pedesaan dirasa tidak maksimal.
Pengaruh yang ditimbulkan kepada desa belum tampak secara signifikan. Ketimpangan
masih banyak terlihat. Kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian desa belum tercapai,
padahal pembungunan desa sudah berjalan tiga dasawarsa. Yang tampak hanya beragamnya
program pembangunan, namun saling tumpang tindih dan tidak sinergis. Seperti yang
dikemukakan oleh Sutoro Eko (2003: 3), agenda pembangunan sangat kaya akan konsep,
kebijakan, program, dana dan gerakan, tetapi sangat miskin visi yang dibangun secara
sinergis dan bersama-sama oleh berbagai pemangku kepentingan desa.
Oleh karena itu, patut dipertanyakan sinergi antar program pembangunan pedesaan
tersebut. Program yang tidak sinergis tentu saja menimbulkan dampak yang cukup
merugikan. Anggaran untuk pembangunan membengkak, sedangkan prakteknya tidak
berpengaruh signifikan. Sinergi antar program perlu diwujudkan agar tujuan dapat tercapai
serta pelaksanaannya berjalan dengan efektif dan efisien.
Desa Hargotirto sendiri terletak di Kecamatan Kokap, dimana pertumbuhan
ekonominya masih masuk dalam kategori rendah dibanding dengan daerah lain di Kabupaten
Kulon Progo. Tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat juga perlu menjadi perhatian.
Untuk itu tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah adalah mengentaskan
kemiskinan, peningkatan kesehatan, dan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Untuk
menanggulangi kemiskinan, pemerintah mengusung program penguatan ekonomi lokal. Di
Desa Hargotirto ada potensi industri kecil pembuatan gula aren. Dalam bidang kesehatan,
program yang coba diterapkan terkait peningkatan kesediaan fasilitas pelayanan kesehatan,
pencegahan penyakit (malaria dan chikungunya), dan sosialisasi kesehatan. Dalam bidang
pendidikan, program pembangunannya adalah PNPM, penerapan Wajib belajar sembilan
tahun serta pemberantasan buta huruf. Program pembangunan daerah di atas juga didukung
oleh program yang diinisiasi oleh SIKIB, yaitu membangun desa sejahtera, yang mencakup
5
pilar kesehatan, pendidikan, kebudayaan, lingkungan, serta kewirausahaan. Selain itu, ada
juga beberapa program pembangunan dari beberapa kementrian, seperti Kementrian
Pekerjaan Umum dan Kementrian Perumahan Rakyat. Belum lagi program yang disusun oleh
pemerintah desa sendiri dari dana APBDes.
Program-program pembangunan pedesaan di Desa Hargotirto tersebut menarik untuk
diteliti untuk memberikan penjelasan bagaimana pelaksanaan berbagai program
pembangunan pedesaan yang diinisiasi oleh pemerintah di Desa Hargotirto. Dengan
banyaknya program yang telah dicanangkan pemerintah tersebut di Desa Hargotirto, apakah
justru menjadi terfragmentasi secara sektoral atau saling bertentangan. Menarik pula untuk
diamati peran antar program, bagaimana program-program tersebut dapat saling melengkapi
dan mendukung untuk mewujudkan visi pembangunan Desa Hargotirto, yaitu mewujudkan
‘Masyarakat Desa Hargotirto yang Maju, Mandiri, Sejahtera Lahir dan Batin’. Kemudian
apakah patisipasi masyarakat terlihat dalam proses pembangunan pedesaan yang diinisiasi
oleh pemerintah tersebut dan bagaimana aspek keberlanjutannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis mengajukan rumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
Bagaimana pelaksanaan program pembangunan pedesaan di Desa Hargotirto?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
- Untuk menunjukkan berbagai program pembangunan pedesaan yang ada di desa
Hargotirto.
6
- Untuk mengetahui pelaksanaan program pembangunan pedesaaan di Hargotirto
untuk mewujudkan visi pembangunan jangka menengahnya. Program yang ada
saling bersinergi, atau justru terfragmentasi dan bertentangan satu sama lain.
- Untuk menunjukkan hal-hal yang mempengaruhi proses pelaksanaan itu dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan.
D. Kerangka Teori
D.1. Pembangunan Pedesaan
D.1.1. Pengertian Pembangunan Pedesaan
Definisi pembangunan telah dikemukakan oleh berbagai ahli di seluruh dunia dengan
sudut pandang yang beragam. Pada intinya, pembangunan adalah segala upaya untuk
mewujudkan perubahan sosial besar-besaran dari suatu keadaan kehidupan nasional menuju
keadaan baru yang lebih baik (Katz dalam Ndraha, 1987:30). Perubahan sosial tersebut
meliputi berbagai aspek kehidupan dan berlangsung secara terus menerus.
Perhatian pembangunan perlu diarahkan kepada pembangunan perdesaan, karena
sebagian besar wilayah Indonesia meliputi wilayah pedesaan. Hal tersebut diperkuat lagi oleh
adanya kenyataan bahwa masyarakat perdesaan masih diliputi dengan masalah kemiskinan,
keterbelakangan dan berbagai kerawanan sosial lainnya. Perlu usaha yang terencana untuk
membangun sarana-prasarana pedesaan, kemandirian ekonomi desa (produksi dan distribusi)
dan infrastruktur pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
yang lebih baik (Khoiron, 2003:3). Pemerintah pun telah menjadikan pembangunan pedesaan
menjadi program utama nasional.
Mubyarto dan Kartodirdjo (1988:69-70) mendefinisikan pembangunan pedesaan
sebagai pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh aspek kehidupan
7
masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong-
royong. Pembangunan pedesaan ini dijabarkan dalam berbagai program pembangunan
pedesaan yang melingkupi berbagai aspek. Nimal A. Fernando (2008) menyebutkan ada 3
aspek (dimensi) dasar dalam pembangunan pedesaan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial,
dan dimensi politik. Dimensi ekonomi mencakup penyediaan kapasitas dan peluang bagi
masyarakat miskin serta berpendapatan rendah untuk mendapatkan manfaat dari proses
pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga mengurangi ketidakmerataan pendapatan, baik intra
maupun antar sektor. Dimensi sosial mendukung pembangunan sosial masyarakat desa yang
kurang beruntung dan menyediakan jaring pengaman sosial. Dimensi politik memperbaiki
peluang masyarakat miskin dan berpendapatan rendah untuk berpartisipasi secara efektif dan
setara dalam proses politik di tingkat desa (dalam Arsyad,dkk, 2011:18-19).
Gambar 1. Dimensi Utama dalam Pembangunan
Sumber: Arsyad, dkk (2011:19)
Orientasi pembangunan pedesaan terus direvisi untuk melengkapi kekurangan yang
selalu muncul dalam prosesnya di setiap dimensi pembangunan. Orientasi pada pertumbuhan
Dimensi Ekonomi
Kapasitas dan Kesempatan
berpartisipasi dan mendapatkan manfaat proses pembangunan
Dimensi Sosial
Pembangunan sosial yang komprehensif
Pembangunan Pedesaan
Dimensi Politik
Kapasitas dan kesempatan
berpartisipasi dan setara dalam proses
politik di desa
8
ekonomi dan layanan sosial ternyata belum mampu mengatasi masalah kesejahteraan dan
kemandirian desa. Dalam dasawarsa terakhir, gagasan pembangunan pedesaan mulai fokus
pada kegiatan pembangunan yang berbasis masyarakat, berkelanjutan, dan dipadukan dengan
agenda desentralisasi dan demokrasi (Sahdan (ed.), 2005:240). David Korten (1988)
menyebutnya pembangunan yang berpusat pada rakyat. Pembangunan yang berpusat pada
rakyat memberi nilai yang tinggi pada inisiatif lokal dan sistem sosial untuk mengorganisir
diri sendiri melalui satuan organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas yang
mandiri (Korten dan Sjahrir(Ed.), 1988:374). Jadi bukan hanya merubah kondisi fisik desa,
namun juga memberdayakan masyarakat beserta aparat pemerintahannya agar lebih mandiri,
aktif, dan partisipatif.
D.1.2. Paradigma (Model) Pembangunan Pedesaan
Paradigma merupakan model atau kerangka berfikir yang menjadi arah pemikiran
pemerintah dalam proses kebijakan. Untuk kebijakan pembangunan sendiri, ada tiga
paradigma yang pernah menjadi acuan pemerintah dalam perkembangan proses
pembangunan pedesaan di Indonesia. Paradigma ini didesain oleh salah satu lembaga
internasional World Bank (Bank Dunia), antara lain:
a. Integrated Rural Development (IRD)
Paradigma pembangunan desa terpadu (integrated rural development) merupakan
model pembangunan yang dicetuskan oleh Bank Dunia (World Bank) sekitar tahun 1970-
an. Paradigma ini mengacu pada paham developmentalisme (modernisasi) ala barat, yang
mengusung beberapa hal. Pertama, IRD berupaya memacu pertumbuhan ekonomi desa di
sektor pertanian melalui revolusi hijau, yakni dengan cara menyediakan paket lintas
sektoral, sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman, didukung oleh penyuluhan,
pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek infrastruktur desa. Kedua, pembangunan
9
dipimpin oleh negara (state led development). Negara berposisi kuat dan berperan aktif
dalam melancarkan proses pembangunan desa. Tentu saja dengan model birokrasi yang
hierarkis dan terpusat. Dengan pendekatan terpusat, diharapkan keterpaduan antar sektor
dapat tercapai. Ketiga, transfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju.
Keempat, menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat. Kelima, otoritarianisme
ditolerir sebagai prasyarat dan prakondisi untuk melancarkan pertumbuhan ekonomi
(Eko dan Krisdyatmoko, 2006:51). Model ini selanjutnya diadopsi oleh pemerintah
Indonesia rezim Orde Baru.
Selama proses penerapannya, disadari kemudian bahwa paradigma ini
mengandung beberapa kelemahan. Pertama, pola pembangunan sentralistik
memperlemah kapasitas pemerintah daerah dan desa, serta menciptakan ketergantungan
desa dan daerah kepada pemerintah pusat. Kedua, pola modernisasi dan transfer
teknologi secara seragam telah menumpulkan kreativitas lokal dan membunuh kearifan
tradisional masyarakat desa. Ketiga, tata kelola pembangunan desa miskin transparansi
dan akuntabilitas, sehingga menciptakan tradisi proyek, rente, dan korupsi di tubuh
birokrasi. Keempat, pola pembangunan miskin semangat pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat. Kelima, otorianisme memang menciptakan stabilitas politik jangka pendek,
namun menumpulkan semangat kewargaan (hak dan kewajiban warga) (Eko dan
Krisdyatmoko, 2006:61).
b. Community Driven Development (CDD)
Community Driven Development (CDD) merupakan sebuah model yang
dikembangkan oleh Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1990-an, sebagai kritik
terhadap pendekatan Integrated Rural Development (IRD). Paradigma ini mengusung
beberapa keyakinan. Pertama, belajar dari program bantuan (utang) luar negeri yang
10
menimbulkan banyak praktek korupsi di tubuh birokrasi pada tahun-tahun sebelumnya,
Bank Dunia mendesain model minimalisasi negara dalam pelaksanaan pembangunan
pedesaan. Dengan kata lain, posisi kunci pembangunan bukan dipegang oleh negara lagi,
melainkan masyarakat. Kedua, CDD menekankan pada partisipasi masyarakat, mulai
dari perencanaan hingga pelaksanaan program pembangunan. Negara hanya bertugas
sebagai administrator dan fasilitator. Ketiga, CDD memberi ruang keterlibatan unsur-
unsur masyarakat sipil seperti NGOs atau konsultan pembangunan dalam pelaksanaan
pembangunan. Hal ini sering disebut dengan liberalisasi sektor ketiga. Keempat, CDD
mengundang sektor swasta untuk terlibat dalam melaksanakan proyek pembangunan
pedesaan. Kelima, CDD mengusung model antar sektor atau antar aktor dalam
pengelolaan pembangunan pedesaan. Keenam, CDD memasukkan unsur good
governance (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi) sebagai spirit dan kerangka kerja
pembangunan pedesaan (Eko dan Krisdyatmoko, 2006:68-69).
c. Sustainable Rural Development (SRD)
Arah dan tujuan pembangunan pedesaan kembali direvisi dalam dekade
belakangan ini dengan mengusung paradigma Sustainable Rural Development (SRD).
Seperti yang dituliskan oleh A.Shepherd (1998), SRD mengusung beberapa keyakinan,
antara lain: a) Pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan, b) Proses pengambilan
keputusan melibatkan warga yang marginal, c) Menonjolkan nilai-nilai kebebasan,
otonomi, harga diri, d) Pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial, e)
Penghargaan terhadap kearifan lokal dan teknologi lokal, f) Penguatan institusi untuk
melindungi aset komunitas miskin, g) Organisasi belajar non-hirarkis, h) Peran negara
yang aktif dan responsif: menyiapkan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan,
memberikan jaminan distribusi sosial, mendorong tumbuhnya institusi masyarakat, i)
11
Peran pemerintah daerah yang aktif dan responsif, j) Aktor pemerintahan desa yang
berkapasitas, k) Pemerintahan desa yang otonom dan demokratis (Eko dan Krisdyatmoko,
2006:80).
D.1.3. Strategi Pembangunan Pedesaan
Menurut Abdul Wahab (1994:45) pada umumnya ada empat strategi yang sering
dipakai oleh pemerintah yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan tujuan yang termasuk
dalam pembangunan desa yaitu : (1) The Growth (strategi pertumbuhan), (2) The Welfare
Strategy (strategi kesejahteraan) (3) Responsive strategy (strategi yang tanggap kebutuhan
masyarakat/responsif) dan (4) The Integrated and Sustainable Strategy (strategi terpadu dan
berkelanjutan). Hal ini juga disebutkan oleh Rahardjo Adisasmita dalam bukunya
“Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan” (2006:21).
Strategi pertumbuhan pada umumnya bermaksud untuk mencapai peningkatan yang
cepat dalam nilai ekonomis dari output pertanian dengan cara mengeluarkan sumber-sumber
pada para petani yang paling mudah untuk di jangkau dalam artian psikologis maupun artian
administratif. Biasanya para petani besar, petani-petani modern yang memiliki kemampuan
akses terhadap fasilitas kredit, teknologi padat modal dan pasar. Titik berat strategi ini adalah
pada peningkatan jenis-jenis tanaman yang akan menghasilkan keuntungan besar, seringkali
berupa tanaman yang dieksport atau konsumsi elit.
Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf hidup
dan kesejahteraan penduduk desa melalui program-program sosial berskala besar seperti
misalnya pendirian klinik-klinik kesehatan dan pusat-pusat perbaikan gizi di desa. Fokus dari
strategi ini lebih menunjuk kepada layanan sosial seperti kesehatan, transportasi dan
pendidikan.
12
Strategi yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (responsif) merupakan reaksi
terhadap strategi kesejahteraan yang telah dirumuskan untuk menanggapi kebutuhan yang
dirumuskan sendiri oleh penduduk desa, mungkin dengan bantuan pihak luar. Selain itu
strategi ini untuk membantu memperlancar usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh
penduduk desa melalui pengadaan teknonologi serta sumber-sumber yang cocok untuk
kepentingan mereka, terutama yang tidak tersedia di desa.
Strategi terpadu dan berkelanjutan dimaksudkan untuk mengkombinasikan unsur-
unsur pokok dari pendekatan. Artinya ingin mencapai secara simultan tujuan-tujuan yang
menyangkut pertumbuhan, persamaan kesejahteraan, partisipasi, dan kemandirian masyarakat
pedesaan. Strategi ini melibatkan peran aktif pemerintah desa dalam memelihara integritas
masyarakat desa serta memelihara arah, strategi, dan proses pembangunan. Interaksi yang
dibangun berasal dari komponen-komponen organisasi matriks yang lebih mengejawantahkan
hubungan horizontal, daripada vertikal, antara rakyat dan birokrat (Tjokrowinoto, 2007:43).
Individu (masyarakat) bukan lagi berperan sebagai objek, melainkan sebagai aktor yang
menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya, dan mengarahkan proses pembangunan
yang mempengaruhi kehidupannya.
Strategi terpadu dan berkelanjutan juga menjadi kritik dari beberapa strategi lainnya
yang memiliki kelemahan. Strategi pertumbuhan memiliki kelemahan yaitu semakin
memperlebar ketimpangan antara anggota masyarakat yang kaya dan yang miskin.
Kelemahan strategi kesejahteraan adalah menciptakan ketergantungan masyarakat yang
sangat kuat pada pemerintah. Kelemahan stategi responsif terhadap kebutuhan masyarakat
sangat sulit untuk direalisasikan, diadaptasi dan ditransformasikan secara luas karena terlalu
idealis, sehingga sukar dilaksanakan secara efektif (Adisasmita, 2006:22). Dalam dekade
belakangan ini, implementasi pembangunan diarahkan menggunakan strategi terpadu dan
13
berkelanjutan yang menjamin adanya koordinasi dan kesinambungan program, berpusat pada
rakyat (pemberdayaan), serta selaras dengan paradigma SRD.
D.2 Sustainable Livelihood (Penghidupan Berkelanjutan)
Di Indonesia, berbagai paradigma dan strategi pembangunan pedesaan sudah
diterapkan. Hanya saja output dan outcome dari berbagai upaya tersebut belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. Masyarakat pedesaan masih berada pada kondisi yang rentan
(vulnerable) dan terkekang. Konsep Sustainable Livelihood (SL) pun hadir untuk mengatasi
hal tersebut. Sustainable Livelihood (SL) memahami penghidupan masyarakat desa dari
kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan
mengembangkan aset yang dimiliki dan dinamika yang ada menjadi mampu
ditransformasikan. Konsep ini menawarkan metode yang membalik metode konvensional
dalam pembangunan desa, yaitu dengan mengenali kekuatan dan kapasitas lokal yang
dimiliki individu, rumah tangga, dan komunitas, bukan mengenali kebutuhan yang penting
untuk dipenuhi oleh pihak luar (Saragih, Lassa, dan Ramli, 2007) (dalam Tim IRE dan
Australian Community Development and Civil Society, 2013:11). Dengan kata lain, konsep
ini berusaha menciptakan kehidupan masyarakat desa yang berkelanjutan dan mandiri.
Gambar 2. Kerangka Kerja Sustainable Livelihoods
Sumber: Department for International Development (DFID) (1999) dalam Tim IRE dan Australian
Community Development and Civil Society (ACCESS) ( 2013:11)
14
Dari framework di atas, diketahui bahwa untuk mewujudkan sustainable livelihoods,
perlu dikedepankan pengelolaan aset, akses, strategi dalam mempertahankan dan atau
mengembangkan, serta hasil yang diperoleh. Pentagon aset yang terdiri dari sumber daya
manusia, sumber daya alam, modal finansial, modal fisik, dan modal sosial, dapat mejadi
penggerak perubahan dari kondisi rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable).
Tentu saja harus dilengkapi dengan pengaruh (influence) dari para stakeholder dan
keterbukaan akses dalam proses perubaan itu. Strategi yang dipilih juga harus tepat sebagai
ujung tombak yang menentukan hasil dari perubahan.
D.2.1 Politik Anggaran yang Consolidated
Dari gambar 2. di atas, terlihat bahwa ketersediaan livelihood asset (aset) menjadi hal
penting karena berperan sebagai motor penggerak terjadinya proses perubahan. Kelima aset
tersebut, yang terdiri dari human capital, natural capital, financial capital, physical capital,
dan social capital, sering disebut dengan pentagon aset. Salah satu aset yang yang menjadi
modal utama pembangunan adalah financial capital atau anggaran. Kebijakan politik
anggaran pemerintah Indonesia terhadap pedesaan belum mampu mendukung proses
pembangunan secara maksimal.
Politik anggaran sendiri merupakan arah kebijakan dalam hal akumulasi dan distribusi
sumberdaya keuangan publik. V.O Key (1940) menyebutkan bahwa politik anggaran
menyangkut persoalan siapa memperoleh apa (who gets what) dan bagaimana (Eko dan
Zamroni(Ed.), 2011:11). Sederhananya, ia membicarakan bagaimana uang didapat dan
dialokasikan.
Pendekatan politik anggaran pembangunan Indonesia yang diterapkan selama ini
adalah pro poor budgeting. Fridolin Berek, dkk (2006) memberi tiga pengertian pro poor
budgeting. Pertama, suatu anggaran yang mengarahkan pada pentingnya kebijakan
15
pembangunan yang berpihak pada orang miskin. Kedua, praktik penyusunan dan kebijakan di
bidang anggran yang sengaja (by design) ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan
proyek yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin. Ketiga, kebijakan anggaran yang
dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan dan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak
dasar rakyat miskin (Eko dan Zamroni(Ed.), 2011:15). Sayangnya konsep ini sering
dipolitisasi oleh para elit untuk meningkatkan popularitas. Hal ini pada akhirnya hanya
menciptakan fragmented budget (anggaran cerai berai) yang dibagi secara merata pada skala
ekonomi yang kecil sehingga hanya menghasilkan produksi yang relatif kecil. Misalnya saja
kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai), BLM (Bantuan Langsung Mandiri) atau BLSM
(Bantuan Langsung Sementara Mandiri).
Untuk itu diperlukan skema politik anggaran yang terkonsolidasi, seperti
Consolidated budget. Consolidated budget adalah sebuah pendekatan alokasi dana untuk
membiayai unit dan sakala ekonomi yang lebih besar untuk menghasilkan produksi yang
lebih besar juga, sehingga mampu meningkatkan penghasilan kaum miskin secara signifikan
(Eko&Zamroni(Ed.), 2011:16). Tentunya diperlukan sinergi dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun pemerintah desa sendiri untuk menciptakannya. Dan
kepercayaan menjadi hal yang harus terjalin antar stakeholder, terutama dari pemerintah
pusat kepada desa, untuk mengurus dana pembangunan desa.
Jika pemerintah supradesa memiliki komitmen terhadap inovasi pemerintahan dan
pemberdayaan masyarakat, maka mempercayai desa adalah pilihan yang harus dilaksanakan.
Keengganan, keraguan, dan kekhawatiran terhadap desa harus diubah menjadi kerelaan,
ketulusan, dan keyakinan yang diteruskan dengan pembagian kekuasaan, kewenangan,
keuangan, sumberdaya dan tanggungjawab. Kepercayaan yang diberikan kepada desa tentu
harus diikuti dengan fasilitasi, supervisi dan capacity building sehingga kewenangan
16
keuangan yang dibagi kepada desa dapat dikelola secara efektif, bertanggungjawab dan
membuahkan kemajuan serta kemandirian desa (Eko & Rozaki [Ed.], 2005:170).
D.2.2 Integrated and Sustainable Development bagi Sustainable livelihood
Dalam skema Sustainable livelihood (SL), diperlukan strategi untuk menjaga
keberlanjutan atas penguasaan dan pengelolaan aset/ sumberdaya yang dimiliki. Strategi
yang sesuai dengan SL ini adalah strategi terpadu dan berkelanjutan (integrated dan
sustainable development). Strategi ini menciptakan keberlanjutan dengan upaya yang terpadu
antar elemennya.
Konsep dasar pengembangan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
antara lain, Pertama, masyarakat sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people-
centered), dari proses perencanaan hingga perubahannya. Kedua, pendekatan menyeluruh
berangkat dari pemahaman dan kepentingan masyarakat. Kacamata perubahan perlu
disesuaikan dengan pengetahuan dan kemampuan mayarakat agar masyarakat dapat berperan
aktif dan mandiri. Ketiga, pengembangan proses monitoring dan pembelajaraan oleh
masyarakat maupun pihak-pihak terkait, dengan mengikuti setiap proses dan perubahan yang
terjadi. Keempat, membangun kekuatan (building on strengthts) daripada sekedar
menganalisa kebutuhan. Kekuatan dibangun dengan mengakui kemampuan masing-masing
orang untuk berkembang dengan memperkuat jaringan sosialnya, agar mampu secara
individu maupun kolektif mengatasi permasalahan, menghilangkan kendala dan membangun
potensi untuk mencapai tujuan. Kelima, keterkaitan makro dan mikro dalam proses
perubahan dan pengembangan (macro-micro link). Dalam hal ini diperlukan pemahaman oleh
individu, komunitas, maupun institusi lokal mengenai apa yang terjadi dalam konteks makro
dan mikro yang mempengaruhi kehidupannya. Keenam, memperhatikan kelangsungan dan
keberlanjutan proses dan hasil dalam suatu siklus yang diharapkan tidak pernah putus. Proses
17
dan hasi yang diharapkan adalah transformasi dari kondisi yang rentan menuju penguatan
yang berkelanjutan (sustainable) (Tim IRE dan Pemda Kab.Gunung Kidul, 2013:7).
Untuk menyinergikan antar elemen tersebut agar terpadu dan saling menyokong,
diperlukan suatu bentuk koordinasi. Kartasamita (1997:62) menjelaskan bahwa koordinasi
merupakan upaya untuk menghasilkan pembangunan efisien dalam pemanfaatan sumber daya
untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal. Jika digambarkan, koordinasi
ini sesuai dengan bagan dari Chaterine Seckler Hudson (dalam Westra, 1983:54), sebagai
berikut:
Sumber: Westra (1987:54)
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pembangunan, dalam hal ini
menciptakan kehidupan masyarakat desa yang berkelanjutan/SL, akan tercapai apabila setiap
upayanya memiliki arah yang sama dan antar elemennya saling berkoordinasi dan bersinergi.
Sebaliknya, jika tidak ada koordinasi antar elemennya akan terjadi fragmentasi , yang
menyebabkan setiap upaya menjadi tidak maksimal, bahkan menjadi sia-sia. Chaterine
Seckler Hudson (dalam Westra,1983:54) pun menggambarkannya sebagai berikut:
Gambar 3. Bentuk Koordinasi
18
E. Definisi Konseptual
E.1 Pembangunan Pedesaan
Sampai saat ini desa masih menjadi target utama dalam pembangunan karena menjadi
entitas masyarakat yang rawan akan jebakan kemiskinan. Pembangunan pedesaan juga
menjadi kebijakan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan antara daerah pedesaan dan
perkotaan. Kemiskinan dan kesenjangan tersebut perlu mendapat perhatian karena desa
berperan sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Industri di perkotaan sangat
tergantung dari hasil produksi pertanian di pedesaan. Untuk meningkatkan hasil produksi
sekaligus pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat desa perlu ditingkatkan. Sarana-
prasarana dan infrastruktur pendukung di desa juga perlu dilengkapi. Tak hanya merubah
wajah fisik desa, karakter mandiri dan berdaya juga harus dibentuk dalam masyarakat
pedesaaan agar tidak mudah terjebak kembali dalam ketidakberdayaan. Caranya dengan
menjalankan program yang berbasis masyarakat dan penghidupan yang berkelanjutan
(sustainable livelihood).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat desa dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptakan kemandirian, pemerintah banyak meluncurkan
program pembangunan pedesaan. Desa pun dibanjiri dengan proyek pembangunan baik yang
Gambar 4. Bentuk Fragmentasi
Sumber: Westra (1987:54)
19
berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, departemen-departemen pemerintahan
(kementrian), serta berbagai dinas yang ada. Belum lagi program pembangunan yang
diinisiasi pemerintah desa sendiri dan dari donatur. Tentu setiap program mempunyai
tujuannya masing-masing. Kesuksesan pelaksanaan program pembangunan tersebut dapat
dipengaruhi oleh sinergisme dan integrasi antar program, keberlanjutan progran, partisipasi
masyarakat, dan koordinasi antar pemangku kepentingan.
E.2 Sinergi Program-program Pembangunan Pedesaan
Proyek dan program pembangunan pedesaan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat desa dan mengatasi permasalahan yang ada di desa agar kehidupan
masyarakatnya lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya. Pemerintah pun memberikan program-
program pembangunan yang mencapai setiap sektor kehidupan masyarakat desa. Baik politik,
sosial maupun ekonomi. Untuk mencapai tujuan yang dicitakan, program-program tersebut
tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Mereka harus saling bersinergi, saling mendukung, dan
saling melengkapi kekurangan masing-masing program. Sinergi menunjukkan kesatuan arah,
keselarasan langkah untuk mewujudkan cita-cita pembangunan. Program yang saling terpadu,
bersinergi dan terkoordinasi dapat memberikan pengaruh yang lebih besar kepada kehidupan
masyarakat desa. Tujuan pembangunan desa pun dapat terwujud dan tercapai secara
berkelanjutan.
F. Definisi Operasional
F.1 Analisis Pelaksanaan Program Pembangunan Pedesaan
Dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah pelaksanaan program pembangunan
pedesaan di Desa Hargotirto. Fokusnya adalah melihat hubungan sinergi yang terjalin antar
program tersebut. Untuk itu, diperlukan beberapa tolak ukur dan pembanding. Beberapa hal
yang diperlukan tersebut antara lain; Pertama, mengetahui kondisi Desa Hargotirto. Kedua,
20
mengetahui program pembangunan apa saja yang ada di Desa Hargotirto. Ketiga, mengetahui
tujuan, paradigma, dan strategi setiap program pembangunan pedesaan yang ada di Desa
Hargotirto. Ketiga, menganalisa keselarasan aspek-aspek tersebut, apakah program sesuai
dengan kondisi desa, bagaimana sinergi yang terjalin antar program, apakah program saling
mempengaruhi, saling mendukung/berintegrasi, dan berkelanjutan. Kemudian dianalisa
apakah terdapat sinergi antar program atau tidak, baik dalam hal paradigmanya, strateginya,
maupun pendanaan kebijakannya. Selain itu dilihat pula pengaruhnya terhadap kehidupan
Desa Hargotirto. Sesuai dengan pendapat Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) dan kerangka
kerja sustainable livelihoods, cita-cita pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan dapat
dicapai jika berbagai dimensi yang menyertainya dapat bersinergi secara terpadu, dengan
membuka akses bagi masyarakat desa untuk menjadi bagian penting dalam proses
pembangunan.
G. Metode Penelitian
G.1 Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Menurut
Robert K. Yin (2003), studi kasus (case study) didefinisikan sebagai suatu penelitian empiris
yang menyelidiki fenomena (konten) dalam konteks kehidupan nyata, apabila batas-batas
antara fenomena (konten) dengan konteks tidak tampak dengan tegas, dan menggunakan
multisumber. Adapun jenis dari studi kasusnya adalah studi kasus tunggal, yaitu mengenai
respon desa terhadap program pembangunan pedesaan. Menurut Creswell (1998), penelitian
studi kasus instrumental tunggal (single instrumental case study) adalah penelitian studi
kasus yang dilakukan dengan menggunakan sebuah kasus untuk menggambarkan suatu isu
atau perhatian. Pada penelitian ini, penelitinya memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang
menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrumen) untuk
21
menggambarkannya secara terperinci. Dalam penelitian ini, peneliti hendak menggambarkan
secara terperinci sinergi antar program pembangunan pedesaan yang ada di Desa Hargotirto.
Metode studi kasus juga paling cocok digunakan untuk menjawab pertanyaan “how”
(bagaimana) dan “why” (mengapa). Rumusan masalah dalam penelitian ini pun menggunakan
bentuk ‘bagaimana’ yaitu: bagaimana sinergi antar program pembangunan pedesaan yang
diinisiasi pemerintah di desa Hargotirto.
G.2. Teknik Pengumpulan Data
G.2.1. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan peneliti meliputi data primer dan
sekunder. Data primer bersumber langsung dari objek yang diteliti dan dianggap sebagai data
pokok yang dibutuhkan. Beberapa data pokok tersebut yaitu: program pembangunan apa saja
yang ada di Desa Hargotirto, apa tujuan setiap program tersebut, bagaimana pelaksanaannya,
dan bagaimana sinerginya. Data primer didapat dari wawancara dengan informan. Beberapa
informan yang penting untuk penelitian ini antara lain, kepala desa, kepala bagian
pembangunan desa, koordinator bidang pembangunan kecamatan, dan kepala perencanaan
dan pengendalian bappeda kabupaten. Sedangkan data sekundernya adalah data yang telah
tersedia secara fisik. Didalamnya meliputi dokumen-dokumen, jurnal, serta literatur (buku)
lain yang memuat semua data tentang model-model pembangunan pedesaan yang
dicanangkan pemerintah sejak dulu. Selain itu, data sekunder juga dicari dari situs on-line di
internet yang terkait dengan penelitian, pemberitaan di media massa, serta hasil penelitian
yang telah ada sebelumnya mengenai pembangunan pedesaan ini. Beberapa data mengenai
pembangunan memang dapat diakses melalui situs website dari Bappenas, Bappeda, PNPM,
dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo.
22
G.2.2. Pengumpulan Data
Peneliti mengumpulkan data dengan beberapa cara. Pertama melalui wawancara,
dengan melakukan tanya jawab langsung dengan informan kunci. Hal ini dilakukan untuk
dapat menguak informasi secara lebih detail dan komprehensif. Adapun informan kunci yang
dimaksud antara lain kepala desa, kepala bagian pembangunan desa, koordinator bidang
pembangunan kecamatan, dan kepala perencanaan dan pengendalian bappeda kabupaten.
Disini peran dari informan kunci tentunya akan sangat penting yang mana tidak hanya
sekedar memberikan keterangan terkait hal yang diteliti, tetapi juga memberi saran tentang
sumber-sumber bukti lain yang mendukung serta menciptakan akses terhadap sumber bukti
tersebut.
Untuk melakukan wawancara ini tentu saja peneliti menyusun interview guide atau
daftar pertanyaan secara rinci disesuaikan dengan kebutuhan data. Hal ini penting dilakukan
agar pertanyaan yang diajukan kepada informan tidak melenceng dari tujuan penelitian. Akan
tetapi, dalam kondisi tertentu peneliti menanyakan sesuatu yang ada di luar dari interview
guide, dengan maksud memaksimalkan dan mempertajam kebutuhan data yang akan
dianalisis.
Kemudian cara yang kedua adalah melalui observasi. Peneliti melakukan pengamatan
langsung ke lapangan. Untuk itu peneliti dituntut untuk lebih aktif, cermat dan peka dalam
mengumpulkan data yang relevan dengan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menghadiri
pelaksanaan program pembangunan dan mengamati langsung prosesnya. Selain itu juga
mengamati wujud fisik dari hasil pembangunan yang telah dijalankan.
Cara yang ketiga adalah studi literatur atau studi dokumentasi. Cara ini sangat
dibutuhkan peneliti untuk mendukung data lapangan. Dokumen diperoleh dari kantor desa
bagian pembangunan, dari kecamatan bagian pembangunan, dari website, dan dari surat kabar.
23
G.2.3. Teknik Analisis Data
Analisis data dapat diawali dengan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai
sumber yaitu, melalui data primer dan sekunder. Kemudian mengelompokkan data tersebut
sesuai fokusnya dan memilah data yang diperlukan dan yang tidak perlu. Kemudian
mentranskrip hasil wawancara dengan para informan tanpa mengurangi sedikit pun setiap
keterangan yang disampaikan oleh informan. Peneliti juga merapikan catatan-catatan yang
didapat selama observasi serta wawancara. Data-data primer yang didapat coba ditelusuri dan
dicocokkan dengan data sekunder yang didapat. Segala input yang telah didapatkan tersebut
pun selanjutnya dianalisis sesuai dengan kerangka teori dan operasionalnya yang sebelumnya
telah dikonstruksi di awal. Dengan demikian, disini akan membantu peneliti untuk kemudian
dapat menarik kesimpulan dari hasil analisis sekaligus menjawab rumusan masalah.
H. Sistematika Penulisan
Naskah penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab pertama memuat latar belakang,
rumusan masalah, serta tujuan dari penulisan ini. Dalam bab ini pula dipaparkan teori
mengenai pembangunan desa, penjelasan mengenai program pembangunan pedesaan, dan
teori terkait sinergi.
Bab kedua berisi penjelasan tentang profil Desa Hargotirto. Bab ini menjelaskan desa
dari konteks geografis, sosial, dan ekonominya. Dari bab ini terlihat potensi yang dimiliki
desa serta kebutuhan Desa Hargotirto dalam proses pembangunan.
Bab ketiga memaparkan program pembangunan pedesaan yang terdapat di Desa
Hargotirto. Dari mana semua program itu berasal dan apa tujuan dari setiap program. Siapa
pelaksana program dan siapa sasaran dari program pembangunan tersebut.
24
Bab keempat menjelaskan analisis pelaksanaan program pembangunan di Desa
Hargotirto. Dilihat dari evaluasi paradigma setiap program, hubungan yang terjalin antar
program dalam implementasinya, pendanaan program, apakah antar program saling
mendukung dan saling melengkapi (bersinergi), atau justru terfragmentasi. Kemudian
dijelaskan juga bagaimana evaluasi sinergi dari strategi yang digunakan setiap program
pembangunan pedesaan untuk mencapai visi pembangunan desa dalam kerangka sustainable
livelihoods.
Bab kelima mengantarkan pembaca kepada penutup yang memuat kesimpulan dari
penulis. Bagian ini menjelaskan dengan ringkas mengenai pelaksanaan program
pembangunan pedesaan dari pemerintah di Desa Hargotirto berdasarkan data yang telah
dianalisa menggunakan teori dan konsep yang ada.