pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79375/potongan/s1-2014... · ......

24
1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pembangunan pedesaan merupakan kebijakan yang telah digalakkan pemerintah sejak orde lama. Sampai sekarang, kebijakan ini terus berkembang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, politik negara dan dituangkan dalam rencana pembangunan nasional. Selain pembangunan desa yang termuat dalam APBDes, desa memperoleh program-program pembangunan lagi dari pemerintah, baik pemeritah pusat, maupun pemerintah daerah. Beberapa program dari pemerintah pusat itu misalnya PNPM-Mandiri, Desa Sejahtera, dan BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Dalam program tersebut pun masih terdapat beberapa agenda pembangunan lain yang dibagi dalam berbagai aspek. Kemudian ada lagi program yang diinisiasi oleh pemerintah kabupaten, yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah, dan biasanya lebih spesifik. Misalnya dalam sektor sosial, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, lingkungan hidup, pertanahan, dan sebagainya. Menjadi menarik untuk melihat sinergi antar program pembangunan pedesaan tersebut. Apalagi banyak studi pembangunan yang lebih menjelaskan dari sisi hasil, seperti pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dari pengertian politik, desa adalah kesatuan masyarakat hukum terendah yang mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa mempunyai hak otonom dan bertindak sebagai subjek. Bila dikaitkan dengan konteks pembangunan, berarti desa lah yang menentukan apa saja yang dibutuhkan dan program apa saja yang akan dijalankan. Desa lah yang menjadi subjek (pelaku utama) pembangunan. Namun hal tersebut berbeda dengan kenyataan di lapangan. Desa cenderung lemah secara politis. Intervensi negara terhadap desa lebih besar dibanding kemampuan desa mengatur rumah tangganya sendiri. Tidak terkecuali intervensi negara (pemerintah) terhadap pembangunan desa.

Upload: vodien

Post on 28-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pembangunan pedesaan merupakan kebijakan yang telah digalakkan pemerintah sejak

orde lama. Sampai sekarang, kebijakan ini terus berkembang sesuai dengan kondisi sosial,

ekonomi, politik negara dan dituangkan dalam rencana pembangunan nasional. Selain

pembangunan desa yang termuat dalam APBDes, desa memperoleh program-program

pembangunan lagi dari pemerintah, baik pemeritah pusat, maupun pemerintah daerah.

Beberapa program dari pemerintah pusat itu misalnya PNPM-Mandiri, Desa Sejahtera, dan

BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Dalam program tersebut pun masih terdapat beberapa

agenda pembangunan lain yang dibagi dalam berbagai aspek. Kemudian ada lagi program

yang diinisiasi oleh pemerintah kabupaten, yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah, dan

biasanya lebih spesifik. Misalnya dalam sektor sosial, pendidikan, kesehatan, kebudayaan,

lingkungan hidup, pertanahan, dan sebagainya. Menjadi menarik untuk melihat sinergi antar

program pembangunan pedesaan tersebut. Apalagi banyak studi pembangunan yang lebih

menjelaskan dari sisi hasil, seperti pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dari pengertian politik, desa adalah kesatuan masyarakat hukum terendah yang

mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa mempunyai

hak otonom dan bertindak sebagai subjek. Bila dikaitkan dengan konteks pembangunan,

berarti desa lah yang menentukan apa saja yang dibutuhkan dan program apa saja yang akan

dijalankan. Desa lah yang menjadi subjek (pelaku utama) pembangunan. Namun hal tersebut

berbeda dengan kenyataan di lapangan. Desa cenderung lemah secara politis. Intervensi

negara terhadap desa lebih besar dibanding kemampuan desa mengatur rumah tangganya

sendiri. Tidak terkecuali intervensi negara (pemerintah) terhadap pembangunan desa.

2

Pemerintah banyak menerapkan program-program pembangunan pedesaan tanpa menelaah

lebih lanjut keefektifan proses pelaksanaan dan hasil yang dicapainya.

Selain itu, pemerintah cenderung memperlakukan semua desa di Indonesia secara

seragam dalam menerapkan program-program pembangunan pedesaan. Mungkin ini

merupakan kelatahan pemerintah dari masa orde baru yang memberikan format keseragaram

desa lewat UU No.5 Tahun 1979. Padahal, kebutuhan setiap desa berbeda-beda dan belum

tentu program pembangunan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan serta kondisi desa

tersebut. Hal ini memperlihatkan bagaimana otonomi desa sebenarnya dikekang oleh

pemerintah.

Dilihat dari sejarahnya, selama periode orde lama hingga orde baru, pembangunan

pedesaan lebih ditekankan pada sektor pertanian dan perekonomian desa. Pada saat orde lama

muncul program landreform untuk kesejahteraan masyarakat tani. Kemudian muncul juga

koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan (Eko dan Krisdyatmiko, 2006: 107).

Kemudian pada masa orde baru muncul program-program pembangunan yang tercantum

dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Program-program itu didanai dari

APBN. Selain itu saat orde baru muncul beberapa inpres (instruksi presiden), seperti inpres

bandes (bantuan desa). Desa diberi bantuan dana senilai 100 ribu rupiah dan terus meningkat

hingga mencapai 10 juta rupiah. Kemudian muncul juga program IDT (Inpres Desa

Tertinggal), program pengembangan kawasan terpadu, dan program pembangunan lain yang

dikendalikan oleh hampir semua departemen pemerintahan yang ada.

Setelah orde baru, program pembangunan pedesaan juga semakin berkembang.

Ditambah lagi Indonesia mendapat sejumlah pinjaman dana cukup besar dari luar negeri

seperti bank dunia (World Bank). Tidak berbeda dengan format lama, setiap departemen

pemerintahan masih mengendalikan beberapa program pembangunan di pedesaan.

3

Pertimbangannya agar perencanaan pembangunan lebih spesifik dalam setiap sektor, sektor

pendidikan, kesehatan, pertanian, dll. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan

akan tercapai secara maksimal dan kebutuhan desa di setiap sektor dapat diakomodasi dengan

baik.

Adapun program yang diluncurkan pemerintah pusat ke pedesaan dari bantuan luar

negeri contohnya PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. PNPM

sendiri memiliki banyak program cabang mulai dari PNPM- Mandiri pedesaan, PNPM

Mandiri Perkotaan, PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), hingga PNPM

Infrastruktur Perdesaan (PPIP). Program PNPM Mandiri pun merupakan pengembangan dari

Program Pembangunan Kecamatan (PKK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (P2KP). Kemudian ada pula Program pembangunan dari pemerintah kabupaten

melalui badan pemberdayaan masyarakat desa (BPMD) misalnya pembinaan PKK dan

simpan pinjam karang taruna. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten akan menginisiasi

beberapa program pembangunan lagi kepada desa dengan didasarkan pada hasil musrenbang.

Untuk mencapai sebuah tujuan, tentu saja dibutuhkan sinergi dalam setiap elemen

yang terlibat. Begitu pula dengan program-program pembangunan pedesaan yang diinisiasi

pemerintah bagi desa-desa di Indonesia seperti yang tersebut di atas. Diperlukan kesesuaian

antar program, kesinambungan dan koordinasi yang baik antar elemen kebijakan dari

perencanaan hingga pelaksanaannya. Jika program pembangunan pedesaan yang ada saling

bersinergi, pengaruh yang ditimbulkan bagi kehidupan masyarakat desa dapat lebih maksimal.

Sinergi antar program pembangunan pedesaan menjadi syarat bagi keberhasilan

pembangunan yang dicita-citakan.

Selama ini proyek pembangunan pedesaan sudah menuai banyak kritik, baik dari segi

perencanaan, proses, hasil, maupun dari segi programnya sendiri. Hal itu terjadi karena

4

perencanaan, pelaksanaan dan hasil dari pembangunan pedesaan dirasa tidak maksimal.

Pengaruh yang ditimbulkan kepada desa belum tampak secara signifikan. Ketimpangan

masih banyak terlihat. Kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian desa belum tercapai,

padahal pembungunan desa sudah berjalan tiga dasawarsa. Yang tampak hanya beragamnya

program pembangunan, namun saling tumpang tindih dan tidak sinergis. Seperti yang

dikemukakan oleh Sutoro Eko (2003: 3), agenda pembangunan sangat kaya akan konsep,

kebijakan, program, dana dan gerakan, tetapi sangat miskin visi yang dibangun secara

sinergis dan bersama-sama oleh berbagai pemangku kepentingan desa.

Oleh karena itu, patut dipertanyakan sinergi antar program pembangunan pedesaan

tersebut. Program yang tidak sinergis tentu saja menimbulkan dampak yang cukup

merugikan. Anggaran untuk pembangunan membengkak, sedangkan prakteknya tidak

berpengaruh signifikan. Sinergi antar program perlu diwujudkan agar tujuan dapat tercapai

serta pelaksanaannya berjalan dengan efektif dan efisien.

Desa Hargotirto sendiri terletak di Kecamatan Kokap, dimana pertumbuhan

ekonominya masih masuk dalam kategori rendah dibanding dengan daerah lain di Kabupaten

Kulon Progo. Tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat juga perlu menjadi perhatian.

Untuk itu tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah adalah mengentaskan

kemiskinan, peningkatan kesehatan, dan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Untuk

menanggulangi kemiskinan, pemerintah mengusung program penguatan ekonomi lokal. Di

Desa Hargotirto ada potensi industri kecil pembuatan gula aren. Dalam bidang kesehatan,

program yang coba diterapkan terkait peningkatan kesediaan fasilitas pelayanan kesehatan,

pencegahan penyakit (malaria dan chikungunya), dan sosialisasi kesehatan. Dalam bidang

pendidikan, program pembangunannya adalah PNPM, penerapan Wajib belajar sembilan

tahun serta pemberantasan buta huruf. Program pembangunan daerah di atas juga didukung

oleh program yang diinisiasi oleh SIKIB, yaitu membangun desa sejahtera, yang mencakup

5

pilar kesehatan, pendidikan, kebudayaan, lingkungan, serta kewirausahaan. Selain itu, ada

juga beberapa program pembangunan dari beberapa kementrian, seperti Kementrian

Pekerjaan Umum dan Kementrian Perumahan Rakyat. Belum lagi program yang disusun oleh

pemerintah desa sendiri dari dana APBDes.

Program-program pembangunan pedesaan di Desa Hargotirto tersebut menarik untuk

diteliti untuk memberikan penjelasan bagaimana pelaksanaan berbagai program

pembangunan pedesaan yang diinisiasi oleh pemerintah di Desa Hargotirto. Dengan

banyaknya program yang telah dicanangkan pemerintah tersebut di Desa Hargotirto, apakah

justru menjadi terfragmentasi secara sektoral atau saling bertentangan. Menarik pula untuk

diamati peran antar program, bagaimana program-program tersebut dapat saling melengkapi

dan mendukung untuk mewujudkan visi pembangunan Desa Hargotirto, yaitu mewujudkan

‘Masyarakat Desa Hargotirto yang Maju, Mandiri, Sejahtera Lahir dan Batin’. Kemudian

apakah patisipasi masyarakat terlihat dalam proses pembangunan pedesaan yang diinisiasi

oleh pemerintah tersebut dan bagaimana aspek keberlanjutannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis mengajukan rumusan

masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

Bagaimana pelaksanaan program pembangunan pedesaan di Desa Hargotirto?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

- Untuk menunjukkan berbagai program pembangunan pedesaan yang ada di desa

Hargotirto.

6

- Untuk mengetahui pelaksanaan program pembangunan pedesaaan di Hargotirto

untuk mewujudkan visi pembangunan jangka menengahnya. Program yang ada

saling bersinergi, atau justru terfragmentasi dan bertentangan satu sama lain.

- Untuk menunjukkan hal-hal yang mempengaruhi proses pelaksanaan itu dalam

rangka mencapai tujuan pembangunan.

D. Kerangka Teori

D.1. Pembangunan Pedesaan

D.1.1. Pengertian Pembangunan Pedesaan

Definisi pembangunan telah dikemukakan oleh berbagai ahli di seluruh dunia dengan

sudut pandang yang beragam. Pada intinya, pembangunan adalah segala upaya untuk

mewujudkan perubahan sosial besar-besaran dari suatu keadaan kehidupan nasional menuju

keadaan baru yang lebih baik (Katz dalam Ndraha, 1987:30). Perubahan sosial tersebut

meliputi berbagai aspek kehidupan dan berlangsung secara terus menerus.

Perhatian pembangunan perlu diarahkan kepada pembangunan perdesaan, karena

sebagian besar wilayah Indonesia meliputi wilayah pedesaan. Hal tersebut diperkuat lagi oleh

adanya kenyataan bahwa masyarakat perdesaan masih diliputi dengan masalah kemiskinan,

keterbelakangan dan berbagai kerawanan sosial lainnya. Perlu usaha yang terencana untuk

membangun sarana-prasarana pedesaan, kemandirian ekonomi desa (produksi dan distribusi)

dan infrastruktur pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat

yang lebih baik (Khoiron, 2003:3). Pemerintah pun telah menjadikan pembangunan pedesaan

menjadi program utama nasional.

Mubyarto dan Kartodirdjo (1988:69-70) mendefinisikan pembangunan pedesaan

sebagai pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh aspek kehidupan

7

masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong-

royong. Pembangunan pedesaan ini dijabarkan dalam berbagai program pembangunan

pedesaan yang melingkupi berbagai aspek. Nimal A. Fernando (2008) menyebutkan ada 3

aspek (dimensi) dasar dalam pembangunan pedesaan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial,

dan dimensi politik. Dimensi ekonomi mencakup penyediaan kapasitas dan peluang bagi

masyarakat miskin serta berpendapatan rendah untuk mendapatkan manfaat dari proses

pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga mengurangi ketidakmerataan pendapatan, baik intra

maupun antar sektor. Dimensi sosial mendukung pembangunan sosial masyarakat desa yang

kurang beruntung dan menyediakan jaring pengaman sosial. Dimensi politik memperbaiki

peluang masyarakat miskin dan berpendapatan rendah untuk berpartisipasi secara efektif dan

setara dalam proses politik di tingkat desa (dalam Arsyad,dkk, 2011:18-19).

Gambar 1. Dimensi Utama dalam Pembangunan

Sumber: Arsyad, dkk (2011:19)

Orientasi pembangunan pedesaan terus direvisi untuk melengkapi kekurangan yang

selalu muncul dalam prosesnya di setiap dimensi pembangunan. Orientasi pada pertumbuhan

Dimensi Ekonomi

Kapasitas dan Kesempatan

berpartisipasi dan mendapatkan manfaat proses pembangunan

Dimensi Sosial

Pembangunan sosial yang komprehensif

Pembangunan Pedesaan

Dimensi Politik

Kapasitas dan kesempatan

berpartisipasi dan setara dalam proses

politik di desa

8

ekonomi dan layanan sosial ternyata belum mampu mengatasi masalah kesejahteraan dan

kemandirian desa. Dalam dasawarsa terakhir, gagasan pembangunan pedesaan mulai fokus

pada kegiatan pembangunan yang berbasis masyarakat, berkelanjutan, dan dipadukan dengan

agenda desentralisasi dan demokrasi (Sahdan (ed.), 2005:240). David Korten (1988)

menyebutnya pembangunan yang berpusat pada rakyat. Pembangunan yang berpusat pada

rakyat memberi nilai yang tinggi pada inisiatif lokal dan sistem sosial untuk mengorganisir

diri sendiri melalui satuan organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas yang

mandiri (Korten dan Sjahrir(Ed.), 1988:374). Jadi bukan hanya merubah kondisi fisik desa,

namun juga memberdayakan masyarakat beserta aparat pemerintahannya agar lebih mandiri,

aktif, dan partisipatif.

D.1.2. Paradigma (Model) Pembangunan Pedesaan

Paradigma merupakan model atau kerangka berfikir yang menjadi arah pemikiran

pemerintah dalam proses kebijakan. Untuk kebijakan pembangunan sendiri, ada tiga

paradigma yang pernah menjadi acuan pemerintah dalam perkembangan proses

pembangunan pedesaan di Indonesia. Paradigma ini didesain oleh salah satu lembaga

internasional World Bank (Bank Dunia), antara lain:

a. Integrated Rural Development (IRD)

Paradigma pembangunan desa terpadu (integrated rural development) merupakan

model pembangunan yang dicetuskan oleh Bank Dunia (World Bank) sekitar tahun 1970-

an. Paradigma ini mengacu pada paham developmentalisme (modernisasi) ala barat, yang

mengusung beberapa hal. Pertama, IRD berupaya memacu pertumbuhan ekonomi desa di

sektor pertanian melalui revolusi hijau, yakni dengan cara menyediakan paket lintas

sektoral, sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman, didukung oleh penyuluhan,

pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek infrastruktur desa. Kedua, pembangunan

9

dipimpin oleh negara (state led development). Negara berposisi kuat dan berperan aktif

dalam melancarkan proses pembangunan desa. Tentu saja dengan model birokrasi yang

hierarkis dan terpusat. Dengan pendekatan terpusat, diharapkan keterpaduan antar sektor

dapat tercapai. Ketiga, transfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju.

Keempat, menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat. Kelima, otoritarianisme

ditolerir sebagai prasyarat dan prakondisi untuk melancarkan pertumbuhan ekonomi

(Eko dan Krisdyatmoko, 2006:51). Model ini selanjutnya diadopsi oleh pemerintah

Indonesia rezim Orde Baru.

Selama proses penerapannya, disadari kemudian bahwa paradigma ini

mengandung beberapa kelemahan. Pertama, pola pembangunan sentralistik

memperlemah kapasitas pemerintah daerah dan desa, serta menciptakan ketergantungan

desa dan daerah kepada pemerintah pusat. Kedua, pola modernisasi dan transfer

teknologi secara seragam telah menumpulkan kreativitas lokal dan membunuh kearifan

tradisional masyarakat desa. Ketiga, tata kelola pembangunan desa miskin transparansi

dan akuntabilitas, sehingga menciptakan tradisi proyek, rente, dan korupsi di tubuh

birokrasi. Keempat, pola pembangunan miskin semangat pemberdayaan dan partisipasi

masyarakat. Kelima, otorianisme memang menciptakan stabilitas politik jangka pendek,

namun menumpulkan semangat kewargaan (hak dan kewajiban warga) (Eko dan

Krisdyatmoko, 2006:61).

b. Community Driven Development (CDD)

Community Driven Development (CDD) merupakan sebuah model yang

dikembangkan oleh Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1990-an, sebagai kritik

terhadap pendekatan Integrated Rural Development (IRD). Paradigma ini mengusung

beberapa keyakinan. Pertama, belajar dari program bantuan (utang) luar negeri yang

10

menimbulkan banyak praktek korupsi di tubuh birokrasi pada tahun-tahun sebelumnya,

Bank Dunia mendesain model minimalisasi negara dalam pelaksanaan pembangunan

pedesaan. Dengan kata lain, posisi kunci pembangunan bukan dipegang oleh negara lagi,

melainkan masyarakat. Kedua, CDD menekankan pada partisipasi masyarakat, mulai

dari perencanaan hingga pelaksanaan program pembangunan. Negara hanya bertugas

sebagai administrator dan fasilitator. Ketiga, CDD memberi ruang keterlibatan unsur-

unsur masyarakat sipil seperti NGOs atau konsultan pembangunan dalam pelaksanaan

pembangunan. Hal ini sering disebut dengan liberalisasi sektor ketiga. Keempat, CDD

mengundang sektor swasta untuk terlibat dalam melaksanakan proyek pembangunan

pedesaan. Kelima, CDD mengusung model antar sektor atau antar aktor dalam

pengelolaan pembangunan pedesaan. Keenam, CDD memasukkan unsur good

governance (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi) sebagai spirit dan kerangka kerja

pembangunan pedesaan (Eko dan Krisdyatmoko, 2006:68-69).

c. Sustainable Rural Development (SRD)

Arah dan tujuan pembangunan pedesaan kembali direvisi dalam dekade

belakangan ini dengan mengusung paradigma Sustainable Rural Development (SRD).

Seperti yang dituliskan oleh A.Shepherd (1998), SRD mengusung beberapa keyakinan,

antara lain: a) Pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan, b) Proses pengambilan

keputusan melibatkan warga yang marginal, c) Menonjolkan nilai-nilai kebebasan,

otonomi, harga diri, d) Pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial, e)

Penghargaan terhadap kearifan lokal dan teknologi lokal, f) Penguatan institusi untuk

melindungi aset komunitas miskin, g) Organisasi belajar non-hirarkis, h) Peran negara

yang aktif dan responsif: menyiapkan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan,

memberikan jaminan distribusi sosial, mendorong tumbuhnya institusi masyarakat, i)

11

Peran pemerintah daerah yang aktif dan responsif, j) Aktor pemerintahan desa yang

berkapasitas, k) Pemerintahan desa yang otonom dan demokratis (Eko dan Krisdyatmoko,

2006:80).

D.1.3. Strategi Pembangunan Pedesaan

Menurut Abdul Wahab (1994:45) pada umumnya ada empat strategi yang sering

dipakai oleh pemerintah yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan tujuan yang termasuk

dalam pembangunan desa yaitu : (1) The Growth (strategi pertumbuhan), (2) The Welfare

Strategy (strategi kesejahteraan) (3) Responsive strategy (strategi yang tanggap kebutuhan

masyarakat/responsif) dan (4) The Integrated and Sustainable Strategy (strategi terpadu dan

berkelanjutan). Hal ini juga disebutkan oleh Rahardjo Adisasmita dalam bukunya

“Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan” (2006:21).

Strategi pertumbuhan pada umumnya bermaksud untuk mencapai peningkatan yang

cepat dalam nilai ekonomis dari output pertanian dengan cara mengeluarkan sumber-sumber

pada para petani yang paling mudah untuk di jangkau dalam artian psikologis maupun artian

administratif. Biasanya para petani besar, petani-petani modern yang memiliki kemampuan

akses terhadap fasilitas kredit, teknologi padat modal dan pasar. Titik berat strategi ini adalah

pada peningkatan jenis-jenis tanaman yang akan menghasilkan keuntungan besar, seringkali

berupa tanaman yang dieksport atau konsumsi elit.

Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf hidup

dan kesejahteraan penduduk desa melalui program-program sosial berskala besar seperti

misalnya pendirian klinik-klinik kesehatan dan pusat-pusat perbaikan gizi di desa. Fokus dari

strategi ini lebih menunjuk kepada layanan sosial seperti kesehatan, transportasi dan

pendidikan.

12

Strategi yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (responsif) merupakan reaksi

terhadap strategi kesejahteraan yang telah dirumuskan untuk menanggapi kebutuhan yang

dirumuskan sendiri oleh penduduk desa, mungkin dengan bantuan pihak luar. Selain itu

strategi ini untuk membantu memperlancar usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh

penduduk desa melalui pengadaan teknonologi serta sumber-sumber yang cocok untuk

kepentingan mereka, terutama yang tidak tersedia di desa.

Strategi terpadu dan berkelanjutan dimaksudkan untuk mengkombinasikan unsur-

unsur pokok dari pendekatan. Artinya ingin mencapai secara simultan tujuan-tujuan yang

menyangkut pertumbuhan, persamaan kesejahteraan, partisipasi, dan kemandirian masyarakat

pedesaan. Strategi ini melibatkan peran aktif pemerintah desa dalam memelihara integritas

masyarakat desa serta memelihara arah, strategi, dan proses pembangunan. Interaksi yang

dibangun berasal dari komponen-komponen organisasi matriks yang lebih mengejawantahkan

hubungan horizontal, daripada vertikal, antara rakyat dan birokrat (Tjokrowinoto, 2007:43).

Individu (masyarakat) bukan lagi berperan sebagai objek, melainkan sebagai aktor yang

menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya, dan mengarahkan proses pembangunan

yang mempengaruhi kehidupannya.

Strategi terpadu dan berkelanjutan juga menjadi kritik dari beberapa strategi lainnya

yang memiliki kelemahan. Strategi pertumbuhan memiliki kelemahan yaitu semakin

memperlebar ketimpangan antara anggota masyarakat yang kaya dan yang miskin.

Kelemahan strategi kesejahteraan adalah menciptakan ketergantungan masyarakat yang

sangat kuat pada pemerintah. Kelemahan stategi responsif terhadap kebutuhan masyarakat

sangat sulit untuk direalisasikan, diadaptasi dan ditransformasikan secara luas karena terlalu

idealis, sehingga sukar dilaksanakan secara efektif (Adisasmita, 2006:22). Dalam dekade

belakangan ini, implementasi pembangunan diarahkan menggunakan strategi terpadu dan

13

berkelanjutan yang menjamin adanya koordinasi dan kesinambungan program, berpusat pada

rakyat (pemberdayaan), serta selaras dengan paradigma SRD.

D.2 Sustainable Livelihood (Penghidupan Berkelanjutan)

Di Indonesia, berbagai paradigma dan strategi pembangunan pedesaan sudah

diterapkan. Hanya saja output dan outcome dari berbagai upaya tersebut belum menunjukkan

hasil yang memuaskan. Masyarakat pedesaan masih berada pada kondisi yang rentan

(vulnerable) dan terkekang. Konsep Sustainable Livelihood (SL) pun hadir untuk mengatasi

hal tersebut. Sustainable Livelihood (SL) memahami penghidupan masyarakat desa dari

kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan

mengembangkan aset yang dimiliki dan dinamika yang ada menjadi mampu

ditransformasikan. Konsep ini menawarkan metode yang membalik metode konvensional

dalam pembangunan desa, yaitu dengan mengenali kekuatan dan kapasitas lokal yang

dimiliki individu, rumah tangga, dan komunitas, bukan mengenali kebutuhan yang penting

untuk dipenuhi oleh pihak luar (Saragih, Lassa, dan Ramli, 2007) (dalam Tim IRE dan

Australian Community Development and Civil Society, 2013:11). Dengan kata lain, konsep

ini berusaha menciptakan kehidupan masyarakat desa yang berkelanjutan dan mandiri.

Gambar 2. Kerangka Kerja Sustainable Livelihoods

Sumber: Department for International Development (DFID) (1999) dalam Tim IRE dan Australian

Community Development and Civil Society (ACCESS) ( 2013:11)

14

Dari framework di atas, diketahui bahwa untuk mewujudkan sustainable livelihoods,

perlu dikedepankan pengelolaan aset, akses, strategi dalam mempertahankan dan atau

mengembangkan, serta hasil yang diperoleh. Pentagon aset yang terdiri dari sumber daya

manusia, sumber daya alam, modal finansial, modal fisik, dan modal sosial, dapat mejadi

penggerak perubahan dari kondisi rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable).

Tentu saja harus dilengkapi dengan pengaruh (influence) dari para stakeholder dan

keterbukaan akses dalam proses perubaan itu. Strategi yang dipilih juga harus tepat sebagai

ujung tombak yang menentukan hasil dari perubahan.

D.2.1 Politik Anggaran yang Consolidated

Dari gambar 2. di atas, terlihat bahwa ketersediaan livelihood asset (aset) menjadi hal

penting karena berperan sebagai motor penggerak terjadinya proses perubahan. Kelima aset

tersebut, yang terdiri dari human capital, natural capital, financial capital, physical capital,

dan social capital, sering disebut dengan pentagon aset. Salah satu aset yang yang menjadi

modal utama pembangunan adalah financial capital atau anggaran. Kebijakan politik

anggaran pemerintah Indonesia terhadap pedesaan belum mampu mendukung proses

pembangunan secara maksimal.

Politik anggaran sendiri merupakan arah kebijakan dalam hal akumulasi dan distribusi

sumberdaya keuangan publik. V.O Key (1940) menyebutkan bahwa politik anggaran

menyangkut persoalan siapa memperoleh apa (who gets what) dan bagaimana (Eko dan

Zamroni(Ed.), 2011:11). Sederhananya, ia membicarakan bagaimana uang didapat dan

dialokasikan.

Pendekatan politik anggaran pembangunan Indonesia yang diterapkan selama ini

adalah pro poor budgeting. Fridolin Berek, dkk (2006) memberi tiga pengertian pro poor

budgeting. Pertama, suatu anggaran yang mengarahkan pada pentingnya kebijakan

15

pembangunan yang berpihak pada orang miskin. Kedua, praktik penyusunan dan kebijakan di

bidang anggran yang sengaja (by design) ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan

proyek yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin. Ketiga, kebijakan anggaran yang

dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan dan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak

dasar rakyat miskin (Eko dan Zamroni(Ed.), 2011:15). Sayangnya konsep ini sering

dipolitisasi oleh para elit untuk meningkatkan popularitas. Hal ini pada akhirnya hanya

menciptakan fragmented budget (anggaran cerai berai) yang dibagi secara merata pada skala

ekonomi yang kecil sehingga hanya menghasilkan produksi yang relatif kecil. Misalnya saja

kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai), BLM (Bantuan Langsung Mandiri) atau BLSM

(Bantuan Langsung Sementara Mandiri).

Untuk itu diperlukan skema politik anggaran yang terkonsolidasi, seperti

Consolidated budget. Consolidated budget adalah sebuah pendekatan alokasi dana untuk

membiayai unit dan sakala ekonomi yang lebih besar untuk menghasilkan produksi yang

lebih besar juga, sehingga mampu meningkatkan penghasilan kaum miskin secara signifikan

(Eko&Zamroni(Ed.), 2011:16). Tentunya diperlukan sinergi dari pemerintah pusat,

pemerintah daerah, maupun pemerintah desa sendiri untuk menciptakannya. Dan

kepercayaan menjadi hal yang harus terjalin antar stakeholder, terutama dari pemerintah

pusat kepada desa, untuk mengurus dana pembangunan desa.

Jika pemerintah supradesa memiliki komitmen terhadap inovasi pemerintahan dan

pemberdayaan masyarakat, maka mempercayai desa adalah pilihan yang harus dilaksanakan.

Keengganan, keraguan, dan kekhawatiran terhadap desa harus diubah menjadi kerelaan,

ketulusan, dan keyakinan yang diteruskan dengan pembagian kekuasaan, kewenangan,

keuangan, sumberdaya dan tanggungjawab. Kepercayaan yang diberikan kepada desa tentu

harus diikuti dengan fasilitasi, supervisi dan capacity building sehingga kewenangan

16

keuangan yang dibagi kepada desa dapat dikelola secara efektif, bertanggungjawab dan

membuahkan kemajuan serta kemandirian desa (Eko & Rozaki [Ed.], 2005:170).

D.2.2 Integrated and Sustainable Development bagi Sustainable livelihood

Dalam skema Sustainable livelihood (SL), diperlukan strategi untuk menjaga

keberlanjutan atas penguasaan dan pengelolaan aset/ sumberdaya yang dimiliki. Strategi

yang sesuai dengan SL ini adalah strategi terpadu dan berkelanjutan (integrated dan

sustainable development). Strategi ini menciptakan keberlanjutan dengan upaya yang terpadu

antar elemennya.

Konsep dasar pengembangan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

antara lain, Pertama, masyarakat sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people-

centered), dari proses perencanaan hingga perubahannya. Kedua, pendekatan menyeluruh

berangkat dari pemahaman dan kepentingan masyarakat. Kacamata perubahan perlu

disesuaikan dengan pengetahuan dan kemampuan mayarakat agar masyarakat dapat berperan

aktif dan mandiri. Ketiga, pengembangan proses monitoring dan pembelajaraan oleh

masyarakat maupun pihak-pihak terkait, dengan mengikuti setiap proses dan perubahan yang

terjadi. Keempat, membangun kekuatan (building on strengthts) daripada sekedar

menganalisa kebutuhan. Kekuatan dibangun dengan mengakui kemampuan masing-masing

orang untuk berkembang dengan memperkuat jaringan sosialnya, agar mampu secara

individu maupun kolektif mengatasi permasalahan, menghilangkan kendala dan membangun

potensi untuk mencapai tujuan. Kelima, keterkaitan makro dan mikro dalam proses

perubahan dan pengembangan (macro-micro link). Dalam hal ini diperlukan pemahaman oleh

individu, komunitas, maupun institusi lokal mengenai apa yang terjadi dalam konteks makro

dan mikro yang mempengaruhi kehidupannya. Keenam, memperhatikan kelangsungan dan

keberlanjutan proses dan hasil dalam suatu siklus yang diharapkan tidak pernah putus. Proses

17

dan hasi yang diharapkan adalah transformasi dari kondisi yang rentan menuju penguatan

yang berkelanjutan (sustainable) (Tim IRE dan Pemda Kab.Gunung Kidul, 2013:7).

Untuk menyinergikan antar elemen tersebut agar terpadu dan saling menyokong,

diperlukan suatu bentuk koordinasi. Kartasamita (1997:62) menjelaskan bahwa koordinasi

merupakan upaya untuk menghasilkan pembangunan efisien dalam pemanfaatan sumber daya

untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal. Jika digambarkan, koordinasi

ini sesuai dengan bagan dari Chaterine Seckler Hudson (dalam Westra, 1983:54), sebagai

berikut:

Sumber: Westra (1987:54)

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pembangunan, dalam hal ini

menciptakan kehidupan masyarakat desa yang berkelanjutan/SL, akan tercapai apabila setiap

upayanya memiliki arah yang sama dan antar elemennya saling berkoordinasi dan bersinergi.

Sebaliknya, jika tidak ada koordinasi antar elemennya akan terjadi fragmentasi , yang

menyebabkan setiap upaya menjadi tidak maksimal, bahkan menjadi sia-sia. Chaterine

Seckler Hudson (dalam Westra,1983:54) pun menggambarkannya sebagai berikut:

Gambar 3. Bentuk Koordinasi

18

E. Definisi Konseptual

E.1 Pembangunan Pedesaan

Sampai saat ini desa masih menjadi target utama dalam pembangunan karena menjadi

entitas masyarakat yang rawan akan jebakan kemiskinan. Pembangunan pedesaan juga

menjadi kebijakan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan antara daerah pedesaan dan

perkotaan. Kemiskinan dan kesenjangan tersebut perlu mendapat perhatian karena desa

berperan sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Industri di perkotaan sangat

tergantung dari hasil produksi pertanian di pedesaan. Untuk meningkatkan hasil produksi

sekaligus pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat desa perlu ditingkatkan. Sarana-

prasarana dan infrastruktur pendukung di desa juga perlu dilengkapi. Tak hanya merubah

wajah fisik desa, karakter mandiri dan berdaya juga harus dibentuk dalam masyarakat

pedesaaan agar tidak mudah terjebak kembali dalam ketidakberdayaan. Caranya dengan

menjalankan program yang berbasis masyarakat dan penghidupan yang berkelanjutan

(sustainable livelihood).

Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat desa dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan menciptakan kemandirian, pemerintah banyak meluncurkan

program pembangunan pedesaan. Desa pun dibanjiri dengan proyek pembangunan baik yang

Gambar 4. Bentuk Fragmentasi

Sumber: Westra (1987:54)

19

berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, departemen-departemen pemerintahan

(kementrian), serta berbagai dinas yang ada. Belum lagi program pembangunan yang

diinisiasi pemerintah desa sendiri dan dari donatur. Tentu setiap program mempunyai

tujuannya masing-masing. Kesuksesan pelaksanaan program pembangunan tersebut dapat

dipengaruhi oleh sinergisme dan integrasi antar program, keberlanjutan progran, partisipasi

masyarakat, dan koordinasi antar pemangku kepentingan.

E.2 Sinergi Program-program Pembangunan Pedesaan

Proyek dan program pembangunan pedesaan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat desa dan mengatasi permasalahan yang ada di desa agar kehidupan

masyarakatnya lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya. Pemerintah pun memberikan program-

program pembangunan yang mencapai setiap sektor kehidupan masyarakat desa. Baik politik,

sosial maupun ekonomi. Untuk mencapai tujuan yang dicitakan, program-program tersebut

tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Mereka harus saling bersinergi, saling mendukung, dan

saling melengkapi kekurangan masing-masing program. Sinergi menunjukkan kesatuan arah,

keselarasan langkah untuk mewujudkan cita-cita pembangunan. Program yang saling terpadu,

bersinergi dan terkoordinasi dapat memberikan pengaruh yang lebih besar kepada kehidupan

masyarakat desa. Tujuan pembangunan desa pun dapat terwujud dan tercapai secara

berkelanjutan.

F. Definisi Operasional

F.1 Analisis Pelaksanaan Program Pembangunan Pedesaan

Dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah pelaksanaan program pembangunan

pedesaan di Desa Hargotirto. Fokusnya adalah melihat hubungan sinergi yang terjalin antar

program tersebut. Untuk itu, diperlukan beberapa tolak ukur dan pembanding. Beberapa hal

yang diperlukan tersebut antara lain; Pertama, mengetahui kondisi Desa Hargotirto. Kedua,

20

mengetahui program pembangunan apa saja yang ada di Desa Hargotirto. Ketiga, mengetahui

tujuan, paradigma, dan strategi setiap program pembangunan pedesaan yang ada di Desa

Hargotirto. Ketiga, menganalisa keselarasan aspek-aspek tersebut, apakah program sesuai

dengan kondisi desa, bagaimana sinergi yang terjalin antar program, apakah program saling

mempengaruhi, saling mendukung/berintegrasi, dan berkelanjutan. Kemudian dianalisa

apakah terdapat sinergi antar program atau tidak, baik dalam hal paradigmanya, strateginya,

maupun pendanaan kebijakannya. Selain itu dilihat pula pengaruhnya terhadap kehidupan

Desa Hargotirto. Sesuai dengan pendapat Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) dan kerangka

kerja sustainable livelihoods, cita-cita pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan dapat

dicapai jika berbagai dimensi yang menyertainya dapat bersinergi secara terpadu, dengan

membuka akses bagi masyarakat desa untuk menjadi bagian penting dalam proses

pembangunan.

G. Metode Penelitian

G.1 Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Menurut

Robert K. Yin (2003), studi kasus (case study) didefinisikan sebagai suatu penelitian empiris

yang menyelidiki fenomena (konten) dalam konteks kehidupan nyata, apabila batas-batas

antara fenomena (konten) dengan konteks tidak tampak dengan tegas, dan menggunakan

multisumber. Adapun jenis dari studi kasusnya adalah studi kasus tunggal, yaitu mengenai

respon desa terhadap program pembangunan pedesaan. Menurut Creswell (1998), penelitian

studi kasus instrumental tunggal (single instrumental case study) adalah penelitian studi

kasus yang dilakukan dengan menggunakan sebuah kasus untuk menggambarkan suatu isu

atau perhatian. Pada penelitian ini, penelitinya memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang

menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrumen) untuk

21

menggambarkannya secara terperinci. Dalam penelitian ini, peneliti hendak menggambarkan

secara terperinci sinergi antar program pembangunan pedesaan yang ada di Desa Hargotirto.

Metode studi kasus juga paling cocok digunakan untuk menjawab pertanyaan “how”

(bagaimana) dan “why” (mengapa). Rumusan masalah dalam penelitian ini pun menggunakan

bentuk ‘bagaimana’ yaitu: bagaimana sinergi antar program pembangunan pedesaan yang

diinisiasi pemerintah di desa Hargotirto.

G.2. Teknik Pengumpulan Data

G.2.1. Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan peneliti meliputi data primer dan

sekunder. Data primer bersumber langsung dari objek yang diteliti dan dianggap sebagai data

pokok yang dibutuhkan. Beberapa data pokok tersebut yaitu: program pembangunan apa saja

yang ada di Desa Hargotirto, apa tujuan setiap program tersebut, bagaimana pelaksanaannya,

dan bagaimana sinerginya. Data primer didapat dari wawancara dengan informan. Beberapa

informan yang penting untuk penelitian ini antara lain, kepala desa, kepala bagian

pembangunan desa, koordinator bidang pembangunan kecamatan, dan kepala perencanaan

dan pengendalian bappeda kabupaten. Sedangkan data sekundernya adalah data yang telah

tersedia secara fisik. Didalamnya meliputi dokumen-dokumen, jurnal, serta literatur (buku)

lain yang memuat semua data tentang model-model pembangunan pedesaan yang

dicanangkan pemerintah sejak dulu. Selain itu, data sekunder juga dicari dari situs on-line di

internet yang terkait dengan penelitian, pemberitaan di media massa, serta hasil penelitian

yang telah ada sebelumnya mengenai pembangunan pedesaan ini. Beberapa data mengenai

pembangunan memang dapat diakses melalui situs website dari Bappenas, Bappeda, PNPM,

dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo.

22

G.2.2. Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data dengan beberapa cara. Pertama melalui wawancara,

dengan melakukan tanya jawab langsung dengan informan kunci. Hal ini dilakukan untuk

dapat menguak informasi secara lebih detail dan komprehensif. Adapun informan kunci yang

dimaksud antara lain kepala desa, kepala bagian pembangunan desa, koordinator bidang

pembangunan kecamatan, dan kepala perencanaan dan pengendalian bappeda kabupaten.

Disini peran dari informan kunci tentunya akan sangat penting yang mana tidak hanya

sekedar memberikan keterangan terkait hal yang diteliti, tetapi juga memberi saran tentang

sumber-sumber bukti lain yang mendukung serta menciptakan akses terhadap sumber bukti

tersebut.

Untuk melakukan wawancara ini tentu saja peneliti menyusun interview guide atau

daftar pertanyaan secara rinci disesuaikan dengan kebutuhan data. Hal ini penting dilakukan

agar pertanyaan yang diajukan kepada informan tidak melenceng dari tujuan penelitian. Akan

tetapi, dalam kondisi tertentu peneliti menanyakan sesuatu yang ada di luar dari interview

guide, dengan maksud memaksimalkan dan mempertajam kebutuhan data yang akan

dianalisis.

Kemudian cara yang kedua adalah melalui observasi. Peneliti melakukan pengamatan

langsung ke lapangan. Untuk itu peneliti dituntut untuk lebih aktif, cermat dan peka dalam

mengumpulkan data yang relevan dengan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menghadiri

pelaksanaan program pembangunan dan mengamati langsung prosesnya. Selain itu juga

mengamati wujud fisik dari hasil pembangunan yang telah dijalankan.

Cara yang ketiga adalah studi literatur atau studi dokumentasi. Cara ini sangat

dibutuhkan peneliti untuk mendukung data lapangan. Dokumen diperoleh dari kantor desa

bagian pembangunan, dari kecamatan bagian pembangunan, dari website, dan dari surat kabar.

23

G.2.3. Teknik Analisis Data

Analisis data dapat diawali dengan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai

sumber yaitu, melalui data primer dan sekunder. Kemudian mengelompokkan data tersebut

sesuai fokusnya dan memilah data yang diperlukan dan yang tidak perlu. Kemudian

mentranskrip hasil wawancara dengan para informan tanpa mengurangi sedikit pun setiap

keterangan yang disampaikan oleh informan. Peneliti juga merapikan catatan-catatan yang

didapat selama observasi serta wawancara. Data-data primer yang didapat coba ditelusuri dan

dicocokkan dengan data sekunder yang didapat. Segala input yang telah didapatkan tersebut

pun selanjutnya dianalisis sesuai dengan kerangka teori dan operasionalnya yang sebelumnya

telah dikonstruksi di awal. Dengan demikian, disini akan membantu peneliti untuk kemudian

dapat menarik kesimpulan dari hasil analisis sekaligus menjawab rumusan masalah.

H. Sistematika Penulisan

Naskah penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab pertama memuat latar belakang,

rumusan masalah, serta tujuan dari penulisan ini. Dalam bab ini pula dipaparkan teori

mengenai pembangunan desa, penjelasan mengenai program pembangunan pedesaan, dan

teori terkait sinergi.

Bab kedua berisi penjelasan tentang profil Desa Hargotirto. Bab ini menjelaskan desa

dari konteks geografis, sosial, dan ekonominya. Dari bab ini terlihat potensi yang dimiliki

desa serta kebutuhan Desa Hargotirto dalam proses pembangunan.

Bab ketiga memaparkan program pembangunan pedesaan yang terdapat di Desa

Hargotirto. Dari mana semua program itu berasal dan apa tujuan dari setiap program. Siapa

pelaksana program dan siapa sasaran dari program pembangunan tersebut.

24

Bab keempat menjelaskan analisis pelaksanaan program pembangunan di Desa

Hargotirto. Dilihat dari evaluasi paradigma setiap program, hubungan yang terjalin antar

program dalam implementasinya, pendanaan program, apakah antar program saling

mendukung dan saling melengkapi (bersinergi), atau justru terfragmentasi. Kemudian

dijelaskan juga bagaimana evaluasi sinergi dari strategi yang digunakan setiap program

pembangunan pedesaan untuk mencapai visi pembangunan desa dalam kerangka sustainable

livelihoods.

Bab kelima mengantarkan pembaca kepada penutup yang memuat kesimpulan dari

penulis. Bagian ini menjelaskan dengan ringkas mengenai pelaksanaan program

pembangunan pedesaan dari pemerintah di Desa Hargotirto berdasarkan data yang telah

dianalisa menggunakan teori dan konsep yang ada.