pencatatan perkawinan beda agama yang...

82
PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: NURUL KHOMSAH NIM: 1111044100093 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2018 M

Upload: vothuy

Post on 12-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN

DI LUAR NEGERI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NURUL KHOMSAH

NIM: 1111044100093

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M

Page 2: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian
Page 3: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian
Page 4: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian
Page 5: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

v

ABSTRAK

NURUL KHOMSAH. NIM 1111044100093. Pencatatan Perkawinan Beda

Agama Yang Dilakukan Diluar Negeri, Program studi Hukum Keluarga, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439

H / 2018 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pencatatan

perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian ini

digunakan data primer penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai

dengan pemahaman deskriptif dan data sekunder yang mendukung penelitian ini.

Sedangkan untuk metode analisis, penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa akta perkawinan yang

dikeluarkan diluar negeri merupakan akta otentik di Indonesia, walaupun tidak

sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia karena telah dibuat secara sah oleh

pejabat yang berwenang dinegara tempat pasangan suami istri warga negara

Indonesia berbeda agama tersebut melangsungkan perkawinan.

Kata Kunci: Pencatatan perkawinan, Nikah beda agama, Nikah diluar negeri.

Pembimbing : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., MA., MH

NIP. 150326896

Daftar Pustaka : 1975-2018

Page 6: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian
Page 7: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

teh syanti, teh euis, ka murni dan audhi yang begitu banyak membantu,

terima kasih atas doa dan dukungannya

9. Sahabat-sahabatku dwi, omen, akka, KUA Squad (Kiki, Uyung, Acul), bang

topik, obi dan ratna yang berkenan membantu dan meluangkan waktunya.

Iyang yang senantiasa mengubah kepenatan menjadi kebahagiaan.

10. Teman-teman di Program Studi Hukum Keluarga angkatan 2011, terutama

PAB 2011, yang telah menemani penulis selama menimba ilmu di

perkuliahan.

11. Dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian

skripsi ini baik dari moril maupun material yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu.Semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt. Hanya untaian

kata terimakasih serta do’a yang dapat penulis berikan. Semoga semua pihak

yang telah memberikan semangat, motivasi, serta arahannya kepada penulis

senantiasa diberi kesehatan dan dalam lindungan Allah swt, diridhoi setiap

langkah kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat

kelak.

Jazakumullahu Khairul Jaza.

Ciputat, Juni 2018 M

NURUL KHOMSAH

Page 8: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI…………………………………………iii

LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iv

ABSTRAK………………………………………………………………………..v

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vi

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ix

BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..6

D. Metode Penelitian……………………………………………..7

E. Review Studi Terdahulu………………………………………9

F. Sistematika Penulisan………………………………………..11

BAB II : PENCATATAN PERKAWINAN DAN KEABSAHANNYA..13

A. Pengertian Perkawinan………………………………………13

B. Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974………………………………………………………….15

C. Syarat Sahnya Perkawinan…………………………………..17

D. Pencatatan Perkawinan Menurut Fiqh Konvensional………..21

Page 9: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

ix

E. Pencatatan Perkawinan Menurut Perundang-undangan di

Indonesia..................................................................................22

BAB III : PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN DAN NORMA AGAMA-AGAMA DI

INDONESIA.............................................................................26

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974…………………………………………………...26

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam..29

C. Perkawinan Menurut Norma Agama-agama di Indonesia…...30

D. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan……………………40

BAB IV :PENCATATAN PERKAWINAN DAN

KEABSAHANNYA...................................................................44

A. Alasan Sosiologis-Yuridis dalam Perkawinan Warga Negara

Indonesia di luar Negeri……………………………………..44

B. Legalitas Pencatatan Oleh Kantor Catatan Sipil Berdasarkan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pelaksanaanya………………………………………………..49

C. Pencatatan Perkawinan Beda Agama Pasangan Warga Negara

Indonesia yang dilangsungkan di luar Negeri sebagai Akta

Otentik.....................................................................................54

D. Perkawinan Beda Agama: Hukum Kolonial dan

Kekinian……………………………………………………..57

Page 10: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

x

BAB V : PENUTUP..................................................................................66

A. Kesimpulan..............................................................................66

B. Saran........................................................................................67

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….……..69

Page 11: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat

mempengaruhi dalam merubah status hubungan satu sama lainnya dalam

kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan harus

dilakukan menurut ketentuan yang berlaku, sehingga keabsahan

perkawinan harus diakui seimbang oleh hukum agama dan hukum negara.

Sementara itu, masing-masing agama memiliki ketentuan yang harus

dipatuhi agar perkawinan tersebut diakui keabsahannya.

Fungsi perkawinan menurut Soerjono soekanto didasarkan atas

pertimbangan: (1) Suatu lembaga yang mengatur perilaku manusia

dibidang seks; (2) Suatu sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia akan

kawan hidup; (3) Suatu lembaga yang berisikan hak-hak dan kewajiban

mengenai hubungan suami-istri dan anak; (4) Sarana untuk mendapatkan

kedudukan sosial tertentu; (5) Sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia

akan harta benda; (6) Lembaga untuk memelihara hubungan baik antara

keluarga kekerabatan didalam masyarakat; (7) Sarana untuk mengadaptasi

asimilasi; (8) Lembaga untuk membentuk keluarga yang berfungsi sebagai

berikut: (a) Tempat mendapatkan proses sosialisasi; (b) Tempat berlindung

dimana manusia mencapai ketentraman; (c) Kesatuan sosial ekonomi.1

Oleh karena itu, Keluarga merupakan faktor penting sebagai

kesatuan terkecil dalam tatanan kehidupan bernegara. Dengan demikian,

pengaturan perkawinan yang jelas sangat diperlukan. Dengan adanya

keluarga yang kuat akan membentuk negara yang kuat.

1 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Kekeluargaan (Bandung: Alumni Bandung, 1980),

hal. 16

1

Page 12: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

2

Lembaga perkawinan di Indonesia tersebut diatur dalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Dalam pasal 1

dirumuskan pengertian perkawinan sebagai,“Ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.”

Pengertian tersebut menjadikan perkawinan sebagai lembaga

hukum, sehingga didalamnya terdapat perbuatan hukum, yaitu perbuatan

yang menimbulkan hak dan kewajiban antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Sebagai suatu

perbuatan hukum akan timbul akibat hukum yaitu hubungan suami dan

istri, harta serta anak. Oleh karena itu, harus ada ketentuan hukum yang

mengatur perkawinan agar tercipta suatu kepastian hukum.

Sementara itu, menurut Hazairin, Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan merupakan hasil legislatif yang pertama

memberikan gambaran nyata mengenai kebenaran dasar asasi kejiwaan

dan kebudayaan “Bhineka Tunggal Ika” yang dicantumkan dalam lambang

Negara dan Undang-undang Dasar 1945, Selanjutnya dikemukakan

Undang-undang Perkawinan juga merupakan unifikasi yang unik dengan

menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan

kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Unifikasi tersebut bertujuan melengkapi segala apa yang tidak

diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan. Hal ini disebabkan dalam

aspek perkawinan negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman.3 Oleh karena itu,

pelaksanaan suatu perkawinan lazimnya sesuai dengan peraturan yang ada.

Namun, mengingat perkawinan merupakan suatu hak asasi setiap manusia,

yaitu dalam hal memilih pasangan hidup, perkawinan pada pasangan yang

2Pasal 1 dan 2, Undang-undang tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 tahun

1974, LN No. 1 tahun 1974, TLN No. 3019, 3Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974,

(Jakarta: Tintamas, 1975), hal. 5.

Page 13: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

3

beda agama tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian sebagai warga

Negara yang memiliki dasar agama, hal tersebut adalah tidak sejalan

dengan tujuan perkawinanyang kekal abadi, dunia dan akhirat. Dengan

demikian pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan agama yang

diyakini maka akan melanggar aturan agama tersebut.

Berkaitan dengan adanya perkawinan pada pasangan yang

memiliki perbedaan agama, peraturan yang mendasari pelaksanaan

perkawinan tersebut tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini disebabkan dalam pasal

2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan,

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut agamanya dan

kepercayaannya.”

Selain itu, unsur agama tampak pula dalam ketentuan pasal 8 sub f

yang menentukan larangan pernikahan bagi pasangan yang mempunyai

hubungan, yang berdasarkan agama dilarang untuk melangsungkan

perkawinan. Dengan demikian, Undang-undang perkawinan

mengharuskan bahwa sahnya suatu perkawinan harus tetap dilaksanakan

menurut agama dan kepercayaan yang dianut. Setelah itu, baru dapat

dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 jo pasal 2-9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, perbedaan suku, adat

serta agama dianggap sebagai perbedaan antar hukum. Oleh karena itu,

perkawinan dianggap dalam kategori hukum antar golongan (Intergentie

Recht) atau yang populer disebut perkawinan campuran. Selain itu, ada

peraturan pemerintah Hindia Belanda yang disebut Regeling of de

Gemengde Huwelijken atau Gemengde Huwelijken’s Reglement (GHR)

atau peraturan mengenai perkawinan campuran. Dalam pasal 6 GHR

terdapat ketentuan yang menyatakan, “Perkawinan campuran

dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk si suami.”

Page 14: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

4

Dengan demikian, dalam hal calon suaminya seorang Muslim,

sedangkan calon istri beragama Nasrani, perkawinan harus dilaksanakan

berdasarkan syariat Islam.4

Namun, sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

khususnya pasal 66 yang mengatur perkawinan campuran dinyatakan:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan

berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bulgelijk Wetboek),

Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantia

Christen Indonesia s. 1933 Nomor 74), Peraturan perkawinan

campuran (Regeling op de Gemengde Huwalijken s. 1898 Nomor

158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan

sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak

berlaku.”5

Oleh karena itu perkawinan pada pasangan yang memiliki

perbedaan agama memiliki kendala dalam hal pengaturan pelaksanaan

perkawinan dan pencatatannya.

Pencatatan perkawinan di Indonesia dilakukan oleh Kantor Urusan

Agama bagi yang menganut agama Islam6 dan Kantor Catatan Sipil bagi

yang menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha dan

Hindu. Namun, kedua kantor pencatat tersebut sesuai dengan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974, menolak melakukan pencatatan bagi

perkawinan pasangan yang memiliki perbedaan agama. Akhirnya,

berbagai cara ditempuh agar perkawinan yang “tidak sesuai” Undang-

undang Perkawinan itu tetap diakui Negara.7

4Rachmat Taufik Hidayat, “Masalah Hukum Kawin Campur”

www.pikiranrakyat.com/prcetak/122001/06/0801.htm+kawin+beda+agama, diakses 14 Maret

2018 5Pasal 66, Undang-undang tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,

6Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 1954

7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2006)

Page 15: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

5

Dewasa ini banyak pasangan yang memiliki perbedaan agama

tersebut untuk mengatasi kesulitan pengesahan perkawinannya dengan

cara melakukan perkawinan di luarnegeri. Hal ini merupakan problematika

baru dalam hukum perkawinan di Indonesia. Problematika tersebut ialah

perkawinan antar agama yang dilakukan di luarnegeri tidak sesuai dengan

hukum Indonesia. Akan tetapi, pasangan tersebut tetaplah seorang warga

Negara Indonesia yang tunduk kepada hukum Indonesia dan hal itu

diperlukan suatu legalitas atau pencatatan perkawinan untuk kelangsungan

hidup keluarga di masa depan.

Dalam hal ini, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah

mengatur ketentuan mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar

Indonesia, yaitu dalam pasal 56 yang menyatakan:

1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang

warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan

warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum

yang berlaku di Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan

bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan

Undang-undang ini.

2) Dalam waktu 1 (satu) Tahun setelah suami istri itu kembali di

wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan

di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Dengan mendaftarkan diri pada ketentuan tersebut, dapat

ditafsirkan perkawinan pasangan yang berbeda agama yang dilakukan di

luarnegeri tetap dilihat sebagai perkawinan yang menyalahi ketentuan

hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sebagaimana pasal 56 ayat

(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan “tidak

melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.” Sehingga

pelaksanaan perkawinan tersebut apakah dapat dinilai sebagai perbuatan

penyelundupan hukum. Dengan demikian, hal ini yang akan menjadi

pembahasan mengenai keabsahan dan aspek legalitas perkawinan beda

agama bagi pasangan warga negara Indonesia yang dilakukan di

luarnegeri.

Page 16: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Peraturan yang mendasari pelaksanaan perkawinan beda agama

tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Sehingga banyaknya warga negara Indonesia yang

melangsungkan perkawinannya di luarnegeri. Permasalahan tersebut

peneliti rumuskan sebagai berikut:

1. Apakah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang

perkawinan beda agama ?

2. Apakah pencatatan yang dilakukan oleh kantor catatan sipil tersebut

bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan? Dan apakah akta (tanda perkawinan) yang dikeluarkan

di luarnegeri dapat dijadikan sebagai akta otentik di Indonesia,

walaupun tidak sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian

dari skripsi ini adalah:

a. MenjelaskanUndang-undangNomor 1 Tahun 1974

tentangPerkawinan yang mengaturperkawinanbeda agama

b. Menjelaskan kesesuaian pencatatan yang dilakukan oleh kantor

catatan sipil tersebut bertentangan dengan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinandan menganalisa akta

(tanda pengesahan perkawinan) yang dikeluarkan oleh luar

negeri dapat atau tidak dijadikan sebagai akta otentik di

Indonesia

Page 17: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

7

2. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan

pencerahan dan daya guna bagi pihak-pihak terkait, yakni sebagai berikut:

a. Pentingnya mahasiswa syariah dan hukum membaca skripsi ini

adalah diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata yang

berkaitan dengan hukum perkawinan

b. Karena problematika ini belum mendapatkan kepastian hukum

maka, skripsi ini diharapkan mampu menambah sumbangan

wacana pemikiran serta motivasi kepada pejabat hukum agar

lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan dalam kehidupan

masyarakat, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat

umum sehingga dapat mengurangi bahkan mencegah

penyulundupan hukum yang dilakukan masyarakat akibat dari

kurang atau tidak mengetahui hukum positif yang berlaku di

Indonesia dan kurang memahami ajaran agamanya masing-

masing

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode

kualitatif karena metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih

kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode

kuantitatif.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum

normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder seperti

peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum,

dan berupa pendapat para sarjana.

Page 18: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

8

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, khususnya yang

berkaitan dengan peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan,

Dari segi sifatnya penlitian ini termasuk dalam penelitian yang

berbentuk deskriptif

2. Jenis Data dan Sumber Data

a. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa

deskripsi pencatatan perkawinan beda agama

b. Sumber Data

Adapun data-data yang dipergunakan dalam penelitian

adalah data primer yang ditunjang oleh data sekunder, meliputi

peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan. Bahan

hukum sekunder yang berupa buku dan artikel mengenai

perkawinan dan beberapa bahan hukum tersier seperti kamus

hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis mengunakan dua metode,

yaitu:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Metode ini digunakan untuk memperoleh data tertulis

dengan cara membaca buku-buku, artikel dan sebagainya yang

ada kaitannya dengan masalah yang penulis teliti.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Wawancara dengan narasumber atau informan yaitu orang

yang memberikan informasi karena jabatannya atau keahlian nya,

metode ini digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisa

Page 19: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

9

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian ini

dilakukan secara kualitatif. Metode kualitatif ini berarti yaitu tata

cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analistis yaitu

apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan

yang nyata kemudian diteliti sebagai sesuatu yang utuh

5. Teknik Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017”.

E. Review Studi Terdahulu

1. Analisa Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis Tentang

Perkawinan Beda Agama oleh Anh Robban mahasiswa Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Skripsi

2011. Secara umum permasalahan yang dibahas didalam penelitiannya

adalah mengkaji lebih dalam tentang konsep perkawinan beda agama

yang diusung oleh kalangan feminis dan untuk mengetahui latar

belakang mengenai pemikiran tersebut sedangkan pada skripsi ini,

membahas apakah akta perkawinan yang dikeluarkan di luar negeri

merupakan akta otentik di Indonesia walaupun tidak sesuai dengan

hukum yang ada di Indonesia

2. Analis Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia setelah

Berlakunya Undang-undang Administrasi Kependudukan Nomor 23

Tahun 2006 oleh Ainur Rahman mahasiswa Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Skripsi 2014. Secara

umum permasalahan yang dibahas didalam penelitiannya adalah untuk

mengetahui sejauh mana berlakunya Undang-undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 sedangkan pada skripsi ini,

membahas kesesuaian pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh

Page 20: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

10

kantor catatan sipil tersebut bertentangan dengan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Relasi Agama dan Negara (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi

tentang Poligami dan Nikah Beda Agama) oleh Mhd Yazid

mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun

Tesis 2017. Secara umum permasalahan yang dibahas didalam

penelitiannya adalah bagaimana kecenderungan putusan pertimbangan

masalah hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara poligami dan

nikah beda agama? Dan bagaimana putusan merefleksikan

perlindungan terhadap hak asasi manusia? Sedangkan pada skripsi ini

membahas tentang Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai

hukum perkawinan sekiranya dapat menampung gejala-gejala sosial

yang ada di masyarakat, khususnya tentang perkawinan beda agama.

4. Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Kantor Urusan Agama (KUA)

(Studi Kasus Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak) oleh Aqib

Maimun mahasiswa fakultas syari’ah dan hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun Skripsi 2010. Secara umum permasalahan

yang dibahas didalam penelitiannya adalah bahwa hukum pernikahan

beda agama menurut fiqh klasik itu adalah Ikhtilaf dalam fiqh, dalam

arti kalau laki-lakinya Islam perempuannya Non Muslim ada yang

mengatakan boleh dan ada juga yang mengatakan tidak boleh menurut

para ulama. Sedangkan kalau laki-lakinya Non Muslim wanitanya

Muslimah, para ulama sepakat perkawinan itu haram hukumnya.

Sedangkan pada skripsi ini membahas tentang Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan beda agama karena

yang mengatur sahnya perkawinan adalah agama.

Page 21: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

11

F. Sistematika Penulisan

Dalam membahas skripsi ini, penulis membagi kedalam lima bab.

Pada tiap bab terdapat sub-sub bab. Maka dari itu, dalam penulisan skripsi

ini penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I merupakan Pendahuluan. Dalam bab ini, penulis

menguraikan hal-hal yang terkait dengan latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teori dan konseptual, review studi terdahulu, metodologi

penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang pencatatan perkawinan menurut

peraturan perundang-undangan Indonesia dan fikih konvensional. Dalam

bab ini akan diuraikan secara jelas mengenai pengertian perkawinan,asas-

asas perkawinan dalam Undang-undangNomor 1 Tahun 1974, syarat sah

perkawinan, pencatatan perkawinan menurut fikih konvensional dan

pencatatan perkawinan menurut perundang-undangan di Indonesia.

Bab III menguraikan perkawinan beda agama menurut Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan norma Agama-

agama di Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perkawinan

beda agama menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan

beda agama menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan beda agama

menurut norma Agama Islam, perkawinan beda agama menurut norma

Agama Katolik, perkawinan beda agama menurut norma Agama Protestan,

perkawinan beda agama menurut norma Agama Hindu, perkawinan beda

agama menurut norma Agama Budha dan pencegahan dan pembatalan

perkawinan.

Pada bab IV diuraikan mengenai pencatatan perkawinan dan

keabsahannya. Dalam bab ini akan diuraikan alasan sosiologis-yuridis

dalam perkawinan warga Negara Indonesia di luar Negeri, legalitas

pencatatan perkawinan di luar negeri oleh Kantor Catatan Sipil

berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan

pelaksanaannya, serta pencatatan perkawinan beda agama bagi pasangan

Page 22: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

12

warga negara Indonesia di luar negeri sebagai akta otentik dan Perkawinan

beda agama hukum kolonial dan kekinian.

Bab V merupakan Penutup. Bab penutup ini mencakup

kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-

bab sebelumnya serta saran-saran yang dapat penulis sampaikan dalam

penulisan skripsi ini.

Page 23: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

BAB II

PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN FIKIH KONVENSIONAL

A. Tinjauan Umum Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan peristiwa yang mempengaruhi status

hukum kehidupan seseorang. Oleh karena itu, ketentuan yang berkaitan

dengan perkawinan harus dipatuhi, sehingga perkawinan tersebut dapat

dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama maupun hukum

negara.

Perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis

dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu. Perkawinan ialah suatu

ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita. Bagaimana pun juga

suatu perkawinan yang sukses tidak diharapkan dari mereka yang masih

kurang matang, baik dari fisik maupun mental emosional, melainkan

menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan

mental. Untuk itu suatu perkawinan haruslah dimasuki dengan persiapan

yang matang.1

Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa

disertai oleh persiapan yang matang untuk melanjutkan proses penelusuran

kehidupan, akan mengalami banyak kelemahan karena hanyalah cinta

yang bertolak dari pemikiran sederhana dan terjajah oleh dominasi

emosional, karena perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal

dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia.2

Berdasarkan definisinya, banyak para ahli mengemukakan

pengertian perkawinan tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini:

1Djoko Prakosodan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia ,Cetakan

pertama, (Jakarta: BinaAksara, 1987), h. 2 2Djoko Prakosodan I KetutMurtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.3

Page 24: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

14

1. Wirjono Prodjodikoro merumuskan bahwa perkawinan adalah “suatu

hidup bersama dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan, yang

memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam suatu peraturan.”3

2. Sayuti Talib mengemukakan perkawinan sebagai “suatu perjanjian

yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga

yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan

bahagia.”4

3. R. Subekti menyatakan perkawinan merupakan “pertalian yang sah

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk waktu yang

lama.”5

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merumuskan perkawinan

sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, yang bhagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan dengan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa

perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral dalam hubungan

seorang pria dan wanita dan tidak terlepas dari keyakinan atau agama.

Anggapan ini muncul mengingat secara kultural, pasangan suami istri akan

melangsungkan perkawinannya atas dasar norma agama dan norma

adatnya.

Di Indonesia norma agama yang mempengaruhi pelaksanaan

perkawinan didominasi oleh lima agama utama, yaitu Islam, Kristen

Protestan, Kristen Katolik, Budha, dan Hindu. Kelima agama tersebut

memiliki peraturan perkawinan yang berbeda agama satu sama lain dan

akan mempengaruhi pelaksanaan perkawinan dan keabsahannya menurut

norma agama yang dianut. Dengan demikian, proses perkawinan yang

berbeda agama cenderung menimbulkan permasalahan hukum atas sah

3WirjonoProdjodikoro, HukumPerkawinan di Indonesia (Bandung: Sumur, 1974), h. 7.

4SayutiTalib, HukumKekeluargaanIndonesia(Jakarta: UI Press, 1986), h. 47.

5R. Subekti, Pokok-pokokHukumPerdata(Jakarta: PT Intermusa, 1983), h. 23.

Page 25: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

15

atau tidaknya suatu perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2

ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974

Perkawinan memerlukan ketentuan yang menjadi dasar dari

pelaksanaan perkawinan, sehingga Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

memiliki prinsip dasar yang melandasi perkawinan, yaitu:

1. Perkawinan memperhatikan unsur agama / kepercayaan

Unsur agama ini terdapat pada ketentuan pasal 1, 2 ayat (1), 8 sub f

dan pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam

keempat bab tersebut penekanan aspek agama sebagai suatu faktor

yang harus diperhatikan dalam pengaturan suatu perkawinan. Dengan

demikian, Undang-undang perkawinan menjadikan agama sebagai

aspek dasar yang penting dalam pelaksanaan perkawinan.6

2. Perkawinan memperhatikan unsur biologis / jasmaniah

Unsur biologis ini terkait dengan keturunan, kesiapan fisik dan umur

menikah. Hal ini disebabkan perkawinan menimbulkan suatu ikatan

antara pria dan wanita dimana hal tersebut tidak terlepas dari unsur

biologis/jasmaniah. Oleh karena itu, Undang-undang perkawinan

menjadikan hal tersebut sebagai prinsip dasar yang tertuang dalam

ketentuan pasal 4 ayat (2) dan pasal 7.7

6Pasal 1,2dan 51,Undang-undang tentangPerkawinan, Undang-undangNomor 1 tahun 1974.

7Pasal 4 dan 7.Undang-undangtentangPerkawinan, Undang-undangNomor 1 tahun 1974.

Page 26: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

16

3. Perkawinan memperhatikan unsur sosiologis

Dalam kehidupan berumah tangga, suami istri tidak akan terlepas dari

masalah keturunan, dengan demikian, perkawinan akan terkait dengan

pertumbuhan penduduk yang merupakan salah satu masalah sosial.8

4. Perkawinan memperhatikan atau berdasarkan hukum (aspek yuridis)

Unsur yuridis adalah unsur yang secara otomatis / dengan sendirinya

ada karena suatu perkawinan yang dimaksud oleh Undang-undang

harus dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang itu sendiri.

5. Perkawinan pada hakikatnya berlangsung kekal / abadi

Unsur kekal abadinya perkawinan, tercermin dari definisi pengertian

perkawinan, dimana disebutkan bahwa perkawinan merupakan

persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wnita, yang

bermaksud untuk membentuk persekutuan hidup yang kekal dan

bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip kekal

abadinya perkawinan, merupakan unsur yang univesal bahkan dalam

berbagai pengaturan hukum perkawinan di dunia, diartikan dalam arti

yang sebenarnya karena perceraian tidak dimungkinkan.9

6. Perkawinan berdasarkan pada asas monogami.10

Undang-undang perkawinan mengandung asas monogami dalam suatu

perkawinan. Asas tersebut dapat terlihat pada pasal 3 ayat (1) dan pasal

9, yaitu bahwa pada saat yang bersamaan seorang pria hanya dapat

mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya dapat mempunyai

seorang suami.

8

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia (Jakarta: Rizkita, 2002), h. 10.

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia 9h. 11

10.Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia, h. 7.

Page 27: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

17

B. Syarat Sahnya Perkawinan

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

dinyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Sementara itu, dalam

penjelasan pasal 2 ayat (1) menerangkan, “Dengan perumusan pada pasal

2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama

dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya sepanjang

tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Berkaitan dengan hal tersebut Prof. Hazairin menafsirkan hukum

yang berlaku menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan

hukum agama dan kepercayaannya bagi masing-masing pemeluknya.

Dalam hal ini hukum agama memegang peranan penting dalam

menentukan perkawinan tersebut. Dengan demikian, bagi umat Islam tidak

ada kemungkinan untuk melanggar hukum agamanya sendiri dalam

melaksanakan perkawinan begitu pula dengan agama yang lainnya.11

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan perkawinan harus

dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing

pemeluknya. Hal ini berarti syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terlepas dari ketentuan

agama. Hal ini sesuai dengan tujuan unifikasi Undang-undang perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, yaitu melengkapi hal-hal yang tidak diatur dalam

hukum agama dan kepercayaan, dimana negara dalam hal ini berhak

mengaturnya.

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat materiil dan formil. Syarat materiil

adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan diri pribadi calon mempelai.

11

Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta:

Tintamas, 1975) h. 5-6

Page 28: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

18

Sementara itu, syarat-syarat formil berkaitan dengan tata cara yang harus

dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan.

Syarat-syarat materiil yang berlaku umum yang terdapat pada

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah:

1. Pasal 6 ayat (1), harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai

2. Pasal 7 ayat (1), usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan

wanita berumur 16 tahun

3. Pasal 9, tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (kecuali dalam

hal yang diizinkan oleh pasal 3 ayat 2 dan pasal 4)

4. Pasal 11 jo pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,

yaitu:

a. 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian

b. 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia

masih haid

c. 90 hari, bila putus karena perceraian, tetapi tidak haid

d. Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan

hamil

e. Tidak ada waktu tunggu bila belum pernah terjadi hubungan

kelamin

f. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan

pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu

perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena

kematian

Syarat-syarat materiil yang berlaku khusus, yaitu syarat bagi

perkawinan tertentu saja dan meliputi:

1. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam

pasal 8, 9, dan 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

menentukan larangan perkawinan antara dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan kebawah ataupun keatas

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping

Page 29: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

19

c. Berhubungan semenda

d. Berhubungan susuan

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari istri, dalam hal seorang seorang suami beristri lebih dari

seorang

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin12

g. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal

tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (Pasal 9)13

h. Untuk perkawinan yang ketiga kalinya, namun telah bercerai untuk

kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya tidak menentukan lain14

2. Izin dari kedua orang tua mereka yang belum berumur 21 tahun. Bila

salah satu orang tua telah meninggal, izin dapat diperoleh dariorang tua

yang masih hidup. Bila itu pun tidak ada, dari wali orang yang

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam

garis keturunan lurus keatas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila

orang-orang tersebut tidak ada atau tidak mungkin dimintai izinnya

(Pasal 6 ayat 2-5)

Syarat-syarat formil (Tata cara perkawinan) yang berkaitan dengan

sahnya suatu perkawinan diatur dalam pasal 3-11 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada

pegawai pencatatsipil

Pemberitahuan kehendak tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10

hari kerja sebelum perkawinan dilaksanakan, dilakukan secara lisan

oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya serta memuat nama,

umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai

12Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

13Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4-9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

14 Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 30: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

20

dan nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah

kawin.15

2. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan

Hal tersebut dilakukan apabila pegawai pencatat pernikahan telah cukup

meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah

tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman akan ditempelkan

pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum

dan ditandatangani oleh pegawai pencatat. Pengumuman memuat data

pribadi calon mempelai serta hari, tanggal, jam dan tempat akan

dilangsungkannya perkawinan.16

3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya masing-masing

Dalam hal ini diperlukan sepuluh hari setelah pengumuman dilakukan,

baru setelah itu perkawinan dapat dilaksanakan. Tata cara perkawinan

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya dihadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri oleh

dua orang saksi.17

4. Pencatatan perkawinan dimulai sejak pemberitahuan kehendak untuk

melangsungkan perkawinan dan berakhir sesudah dilangsungkan

perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan itu, yaitu pada saat

akta perkawinan selesai ditandatangani oleh kedua mempelai, kedua

saksi dan pegawai pencatat nikah

5. Untuk memberikan kepastian hukum, kedua mempelai diberikan

kutipan akta perkawinan sebagai alat bukti

15

Pasal 3-5.Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. 16

Pasal6,7 dan 9, Undang-undangNomor 1 tahun 1974 Pasal 8 jo Peraturan Pemerintah

Nomor 9 tahun 1954. 17

Pasal 10, Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.

Page 31: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

21

C. Pencatatan Perkawinan Menurut Fikih Konvensional

Perkawinan menurut hukum Islam yaitu sebuah ikatan atau akad

yang sangat kuat (misaqan galizan)18

antara pria dan wanita. Kesadaran

terhadap makna akad ini memberikan kontribusi yang besar dalam

membentuk terwujudnya hubungan suami istri yang bahagia dan kekal

berdasarkan syariat agama. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang

akan melangsungkan perkawinan harus memperhatikan prosedur-prosedur

akad nikah, baik ketentuan dalam hukum Islam maupun ketentuan resmi

yang diberlukan pada masyarakat muslim Indonesia berupa Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hukum Islam secara eksplisit tidak mengatur tentang pencatatan

perkawinan, kecuali hal yang berhubungan dengan muamalah dianjurkan

oleh Al-qur’an supaya dicatat.

Para imam mazhab pun tidak membahas pula masalah pencatatan

perkawinan, selain tidak ada dalil yang menganjurkan, juga pencatatan

perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting sekaligus belum

dijadikan bukti otentik terhadap sebuah perkawinan.19

Mereka hanya

menetapkan 5 rukun perkawinan: calon mempelai wanita, calon mempelai

pria, wali nikah, dua orang saksi, dan sighat ijab qabul. Ketentuan ini

berimplikasi pada maraknya praktik nikah sirri atau nikah “bawah tangan”

di Indonesia.

18

Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1 (Semarang:CV. Toha Putra Semarang, 1993), h.

5. 19

Baharudin Ahmad, Hukum Perkawinan di Indonesia: Studi Historis Metodologis, cet. Ke-1

(Jambi: Syari’ah Press IAIN STS Jambi, 2008), h. 80

Page 32: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

22

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mensahkan pernikahan

sirri, karena sebagai warga negara Indonesia dituntut untuk menjadi waga

negara yang baik dan mentaati perundang-undangan yang berlaku. Karena

itu, orang yang melakukan nikah sirri dalam pandangan perundang-

undangan tetap disamakan dengan orang yang melakukan hubungan di

luar nikah.

D. Pencatatan Perkawinan Menurut Perundang-undangan di Indonesia

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur dua syarat

perkawinan, yaitu: Pertama, syarat materil, dan kedua syarat administratif.

Syarat-syarat materil adalah syarat yang melekat pada setiap rukun nikah.

Baik yang diatur dalam fikih maupun yang diatur dalam perundang-

undangan. Sedangkan syarat administratif adalah syarat yang berhubungan

dengan pencatatan pekawinan.20

Kaitannya dengan pencatatan perkawinan

disebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”.21

Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, “Pencatatan perkawinan dari

mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam,

dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk”.22

20

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, dalam Baharuddin Ahmad. Hukum Perkawinan

di Indonesia, h. 11. 21

Pasal 2 ayat (2) 22

Pasal 2 ayat (1)

Page 33: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

23

Tujuan aturan-aturan pencatatan perkawinan tersebut untuk

menjamin tertibnya penyelenggaraan akad nikah, dan yang lebih utama

mellindungi kepentingan-kepentingan suami istri ketika menjalani

kehidupan berumah tangga. Suami istri dapat membuktikan bahwa mereka

adalah pasangan yang legal di mata hukum Islam maupun di mata Negara

dan berhak pula mendapatkan perlindungan Negara baik berkaitan dengan

identitas seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga,

Pasport, Akta Kelahiran Anak, ataupun berkaitan dengan politik yaitu

berhaknya memberikan suara ataupun dipilih pada pemilihan umum.23

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas mangatur

ketentuan pencatatan perkawinan. Pada pasal 2 ayat (2) Undang-undang

tersebut dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

perundang-undangan yang berlaku. Dian Mustika menyatakan bahwa

walaupun masalah pencatatan perkawinan ini hanya diatur oleh satu ayat,

namun masalah pencatatan itu sangat dominan. Hal ini nampak jelas dalam

tata cara perkawinan yang semuanya berhubungan dengan pencatatan.24

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan pada pasal 3 ayat 1 dinyatakan:

“Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan”.

23

Abdul Helim, “Membaca Kembali Eksistensi Pencatatan Akad Nikah dalam Perfektif

Ushul Fikih,” http://abdulhelim.com, Diakses pada 20 Juni 2018 24

Dian Mustika, “Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum Keluarga di Dunia

Islam,” http://online-journal-unja.ac.id, Diakses Pada 20 Juni 2018

Page 34: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

24

Khusus bagi umat Islam di Indonesia, pencatatan perkawinan

diatur secara tersendiri dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 yang

menyatakan:25

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam,

setiap perkawinan harus dicatat

2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang

Nomor 32 Tahun 1954.

Selanjutnya pada pasal 6 ditegaskan:

1. Untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5, setiap

perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai

Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Seiring kemajuan administrasi dan ketatanegaraan, bentuk

pangakuan dan jaminan di masa sekarang muncul dalam bentuk tulisan

berupa akta nikah.

25

Tim Citra Umbara, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam, cet, ke-7 (Bandung: Citra Umbara, 2011), h. 229

Page 35: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

25

Dari beberapa ketentuan yang telah dikemukakan, terlihat bahwa

pencatatan perkawinan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan

ini bersifat prosedural dan administratif.

Page 36: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

BAB III

PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN NORMA

AGAMA- AGAMA DI INDONESIA

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam melangsungkan perkawinan harus

memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan agar perkawinan yang

terjadi adalah merupakan suatu perkawinan yang sah. Sahnya perkawinan

dapat ditinjau dari 2 segi, yaitu segi hukum positif dan segi hukum agama.

Segi hukum positif dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut Undang-undang

Perkawinan. Pengertian perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 yaitu “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1

Dari segi hukum agama dalam hal ini hukum Islam sesuai dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yang menyebutkan bahwa perkawinan

adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan Gholiidhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan beda agama merupakan perkawinan diantara dua orang

yang tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan agama. Problem

yuridis terjadi berkenaan dengan perkawinan beda agama tersebut setelah

berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

memang tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit.

1Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Page 37: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

27

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari suku, agama, ras dan

kebudayaan yangbersifat kompleks. Keanekaragaman tersebut dapat

memungkinkan akan terjadinya perkawinan antara dua warga yang berbeda

agama. Hal tersebut dapat menimbulkan persoalan di bidang hukum

khususnya hukum perkawinan. Indonesia memiliki agama yang beragam,

sehingga sering kali terjadi perkawinan beda agama di dalam masyarakat

Indonesia.

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.2

Pada pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dinyatakan

bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan

dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya.3 Jadi, Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan

antar agama tidak dapat dilakukan.

Adapun Mahkamah Agung dalam yurispudensinya tanggal 20 Januari

1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan

beda agama adalah bahwa perkawinan beda agama dapat diterima

permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang

berwenang untuk melangsungkan permohonan perkawinan beda agama.

Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan

dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama dapat

dilakukan di luar negeri. Berdasarkan pasal 56 Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri dapat dilakukan oleh

sesama warga negara Indonesia dan perkawinan antar pasangan yang beda

agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di

negara dimana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami istri itu kembali ke

Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan

2 Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

3 Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975

Page 38: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

28

dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Artinya, perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan suami istri

yang beda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta

perkawinan.4

Ada beberapa interpretasi yang berkembang dengan tidak diaturnya

perkawinan beda agama di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Interpretasi tersebut tersebut yaitu, tidak diaturnya perkawinan beda agama

dengan demikian tidak ada larangan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan beda agama sepanjang institusi agama dimana calon

mempelai mengijinkan perkawinan beda agama maka perkawinan itu dapat

dilangsungkan dan kemudian dicatatkan. Interpretasi ini kurang populer

terutama karena pada kenyataannya interpretasi yang lebih menguat adalah

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 melarang perkawinan beda agama.

Menguatnya interpretasi ini karena pada kenyataannya banyak pihak yang

melakukan perkawinan beda agama pada umumnya sulit menemukan institusi

agama yang bersedia menikahkan pasangan tersebut. Jika ada pasangan yang

kemudian disahkan oleh institusi agama dalam perkawinan beda agama,

masalahnya kemudian akan ditolak pencatatannya oleh petugas catatan sipil.

Interpretasi kedua adalah perkawinan beda agama tidak dibolehkan.

Interpretasi ini bersandar pada pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 jika dilihat sejarah munculnya pasal ini sebagai pasal kompromi

memang tidak salah jika dikatakan ada pagar yang sengaja dibuat untuk

menghindari perkawinan beda agama dengan berbagai alasan tafsir agama.

Pada umumnya ada keyakinan agama (interpretasi agama-agama) yang

menyarankan pemeluknya untuk menikah dengan seseorang yang satu

keyakinan. Interpretasi ini yang tampaknya menjadi alasan bagi si petugas

catatan sipil dan pemerintah pada umumnya tidak mau mencatatkan

4Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 27

Page 39: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

29

perkawinan beda agama. Pagar atau rambu-rambu yang sama pun diberikan

kepada perkawinan campuran antar negara5

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam

Menurut para penyusun Kompilasi Hukum Islam ketika melangkah

pada arah upaya penyusunan ada beberapa prinsip yang ditetapkan. Pertama,

Kompilasi Hukum Islam merupakan awal pembaharuan hukum Islam di

Indonesia dalam menyongsong hari esok. Kedua, Perjalanan sejarah bangsa

Indonesia pada umumnya dan masyarakat Islam khususnya masih jauh,

karena didasari keterbatasan kemampuan untuk berbuat sempurna. Ketiga,

hasil rumusan dan sistematika Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai Trail

Solving (mencoba memecahkan) kebekuan masa kini. Generasi akan datang

dapat menilai dan berusaha ke titik final walau tidak akan pernah kesana

hingga akhir zaman.Keempat, Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil

karya nilai yang dikandungnya memiliki nilai warisan untuk generasi yang

akan datang.6

Ketentuan hukum mengenai perkawinan dalam Kompilasi Hukum

Islam adalah bagian yang terpenting karena sangat berimplikasi pada

keluarga, harta dan kekayaan suami istri.

Ada tiga hal yang dibolehkan dalam fiqh sekalipun dalam kadar

ikhtilaf, oleh Kompilasi Hukum Islam dikembangkan dengan kaidah

Maslahah Mursalah. Pertama, kebolehan yang bersifat ikhtilaf ditetapkan

seperti sebagai ketentuan yang boleh. Seperti kawin perempuan hamil dengan

laki-laki yang menghamilinya. Kedua, kebolehan yang bersifat ikhtilaf,

ditetapkan sebagai larangan seperti menikah dengan wanita ahli kitab. Ketiga,

kebolehan yang dibatasi dengan memperluas persyaratan, seperti poligami.7

5 Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama

Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 109. 6 Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Binpapera Departemen Agama RI,

1995-1996, Jakarta, h. 297 7Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 339

Page 40: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

30

Mengenai perkawinan beda agama Kompilasi Hukum Islam

menempatkan pada larangan perkawinan. Yang menyinggung perkawinan

beda agama ada dua pasal, yakni pasal 40 (c) dan pasal 44.

Pasal 40 (c) menyatakan “Dilarang melangsungkan perkawinan antara

pria dan wanita karena keadaan tertentu : (c) Seorang wanita yang tidak

beragama Islam”. Pada pasal 44 menyatakan “Seorang wanita Islam dilarang

melangsungka perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang Islam menikah

dengan orang yang bukan beragama Islam, tanpa membedakan laki-laki atau

wanita dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah.8

C. Perkawinan Menurut Norma-normaAgama di Indonesia

a. Perkawinan Menurut Agama Islam

Pengertian perkawinan menurut agama Islam adalah suatu

perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah

anatar seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga

yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram bahagia

dan kekal.9

Perkawinan disyariatkan oleh Islam dapat dilihat dari tiga sudut

pandang, yaitu hukum, sosial dan agama. Berdasarkan sudut hukum,

perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat sebagaimana

disebut dalam Al-qur’an surat An-nisa: 21.

ى و ض ف أ د ق و ه و ذ خ أ ف ت ي اك يظ ل ا غ اق يث ن ه ك ى ه ذ خ أ ض و ع ى ب ل إ ن ك ض ع ب

Artinya:

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu

telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan

mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

8Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, (Jakarta: Qalbun Salim), h. 145. 9Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum

Perkawinan Islam (Jakarta: Ind. Hill.co., 1984/1985), h. 174.

Page 41: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

31

Sementara itu, berdasarkan sudut sosial, perkawinan merupakan

sarana untuk meningkatkan status seseorang dalam masyarakat. Sedangkan

menurut sudut agama, perkawinan dianggap sebagai lembaga suci sebab

pasangan suami istri itu dihubungkan dengan menggunakan nama Allah

(dalam Al-qur’an Surat An-nisa Ayat1).10

ث ب ا و ه ج و ا س ه ق ه ل خ ة و د ح ا فس و ي ن ه ك ق ل ي خ ذ ل ن ا ك ب ىا ر ق ت اس ا ل ا ا ه ي أ ا ي

ذ ل ا ىا للا ق ات و ء ا س ا و يز ث ال ك ج ا ر و ه اى ه ك ى للا إ ام ح ر ل ا ه و ىى ب ل اء س ي ت

ا يب ق ن ر ك ي ل ع

Artinya:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan

istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki

dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga

dan mengawasi kamu.

Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam adalah

dengan memenuhi rukun dan syarat. Rukun adalah unsur pokok yang

harus dipenuhi, sedangkan syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap

perbuatan hukum. Agama Islam menentukan sahnya akad nikah apabila

memenuhi tiga macam syarat yaitu:

1. Dipenuhinya rukun nikah

Merupakan hakikat perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah

tidak terpenuhi, tidak akan terjadi suatu perkawinan, rukun nikah terdiri

atas:

a. Adanya calon mempelai laki-laki dan wanita

b. Adanya wali bagi calon mempelai wanita

c. Adanya ada dua orang saksi

d. Adanya mahar atau mas kawin

10Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 28.

Page 42: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

32

e. Akad nikah, yaitu ijab dari wali mempelai wanita atau wakilnya dan

qabul dari mempelai laki-laki

2. Dipenuhi semua syarat-syarat nikah

Syarat nikah ini dapat digolongkan kedalam syarat materiil dan harus

dipenuhi agar dapat melangsungkan pernikahan. Adapun syarat-syarat

perkawinan adalah:

a. Adanya persetujuan dari kedua calon suami istri dan dari wali calon

istri

b. Beragama Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya

c. Tidak ada hubungan semenda

d. Tidak ada hubungan sesusuan

e. Tidak ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat

f. Calon istri tdak terikat dalam suatu tali perkawinan

3. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang telah

ditentukan oleh syariat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk sahnya suatu perkawinan

menurut agama Islam salah satunya adalah tidak adanya perbedaan agama

diantara kedua calon pengantin. Hal ini merupakan suatu hal prinsip yang

berlaku bagi umat Islam.

b. Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik

Gereja katolik merumuskan perkawinan sebagai perjanjian

perkawinan dimana pria dan wanita membentuk antara mereka

kebersamaan seluruh hidup. Dari sifat kodratinya terarah pada

kesejahteraan suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan. Oleh Kristus

Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat

sakramen. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa

perkawinan menurut agama Katolik bersifat monogami, kekal, dan

Page 43: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

33

sakramental.11

Sahnya perkawinan menurut agama Kristen Katolik adalah

pernikahan yang dilakukan, diteguhkan, dan diberkati oleh pejabat gereja.

Syarat yang harus diperhatikan oleh umat Katolik yang ingin

melangsungkan pernikahan, adalah sebagai berikut:

a. Calon mempelai sudah mengerti makna penerimaan sakramen

perkawinan beserta akibat-akibatnya

b. Tidak berdasarkan paksaan

c. Pria sudah berumur 16 tahun dan wanita berumur 14 tahun

d. Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain

e. Beragama Katolik

f. Tidak ada hubungan darah yang terlampau dekat

g. Tidak melanggar larangan perkawinan

h. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan

maksudnya kepada pastor paroki, pihak wanita atau pihak pria bila

calon istri tidak beragama Katolik

i. Pernikahan dilakukan menurut aturan gereja Katolik, yaitu harus

dihadapan ordinaries wilayah atau pastor-pastor atau imamdiakon yang

diberi delegasi oleh salah satu dari mereka untuk meneguhkan

perkawinan tersebut

j. Harus disaksikan oleh 2 orang saksi

k. Setelah perkawinan menurut agama selesai pernikahan tersebut

haruslah dicatatkan di kantor catatan sipil.12

Mengenai perkawinan lintas agama antara orang Katolik dan Non

Katolik memandang perbedaan itu merupakan suatu larangan untuk

melangsungkan suatu perkawinan. Karena itu gereja melarang kawin

dengan yang tidak beragama Katolik, baik laki-laki maupun

11Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 35. 12Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, h. 37.

Page 44: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

34

permepuan. Larangan itu salah satunya tidak dibaptis dan akibatnya

perkawinan itu tidak sah.13

Perkembangan selanjutnya larangan itu tidak mutlak lagi karena

kemungkinan peluang diberikan dispensasi oleh uskup setempat.

Bahkan bukan saja diperlunak tapi dapat juga dilakukan pemberkatan

dalam suatu kebaktian menurut tata cara peneguhan kanonik gereja.14

Gereja melihat bahwa perkawinan antara seorang katolik dan yang

bukan katolik tidak diharapkan dan tidak dilihat sebagai yang

seharusnya. Hanya saja apa yang tidak dinginkan tidak dapat

sepenuhnya terlaksana. Dengan semakin terbukanya hubungan sosial

dalam masyarakat maka tidak mungkin lagi membatasi hubungan antar

pribadi yang memungkinkan tumbuhnya cinta diantara mereka. Dengan

kata lain, siapa pun tidak dapat menghalangi orang untuk jatuh cinta

yang memungkinkan untuk diikat dalam tali perkawinan dan tidak juga

gereja Katolik.

Secara prinsip perkawinan beda agama ataupun beda gereja tidak

diinginkan, akan tetapi apabila sudah menjadi keputusan pihak yang

bersangkutan maka gereja Katolik membuka kemungkinan untuk

meneguhkannya secara gerejani dengan syarat-syarat tertentu. Sikap

semacam ini perlu diambil demi pihak Katolik yang hak-haknya

sebagai warga Gereja perlu dilindungi sehingga ia dapat melaksanakan

kehidupannya sebagai seorang Katolik secara penuh. Bagi setiap orang

Katolik, pernikahannya sah apabila peneguhannya secara Katolik.

“Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan dihadapan Ordinaris

wilayah (uskup setempat) atau pastor-paroki atau imam maupun

diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang

meneguhkannya, serta dihadapan dua orang saksi; (kanon 1108

parla)”

13 Paus Yohanes Paulus II, Kitab Perjanjian Baru, Korintus I, H. 316 14Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, h. 125

Page 45: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

35

Syarat peneguhan secara gerejani ini bagi pihak non Katolik sering

dilihat sebagai semacam pemaksaan tetapi dri sudut gereja Katolik

adalah dari pihak Katolik untuk mendapat pelayanan gerejani. Untuk

dapat memahami ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam gereja ini

bergunalah untuk mengerti paham gereja mengenai perkawinan.15

Walaupun bukan yang dicita-citakan, gereja Katolik memberi

kemungkinan untuk meneguhkan perkawinan antara seorang Katolik

dengan seorang yang dibaptis di gereja lain ataupun yang tidak dibaptis.

Halangan beda gereja atau beda agama, dipastikan tidak ada halangan

lain yang dapat membuat perkawinan tidak sah.

Pimpinan gereja setempat dapat memberi secara resmi dan tertulis,

kemudahan atau pengecualian/dispensasi setelah mendapat kepastian

bahwa semua persyaratan yang lain dipenuhi. Walaupun, tidak ada

keharusan terhadap pihak yang bukan Katolik untuk menjadi Katolik, ia

harus menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan perkawinan menurut

gereja Katolik. Ia harus juga mengetahui dan menerima kewajiban

pihak Katolik untuk menjaga imannya dan mendidik aank mereka

secara Katolik.

c. Perkawinan Menurut Agama Kristen Protestan

Perkawinan menurut pandangan agama Kristen Protestan adalah

suatu persekutuan hidup dan percaya yang total, ekslusif, dan kontinyu

antara seorang pria dengan seorang wanita yang dikuduskan dan diberkati

Kristus Yesus.16

Sahnya suatu perkawinan menurut agama Kristen

Protestan ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek sipil dan agama.17

15Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama

Perspektif Perempuan dan Pluralisme, h. 55 16Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985),h. 40. 17Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, h. 41

Page 46: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

36

Oleh karena itu, gereja Kristen Protestan berpendapat agar

perkawinan tersebut sah, harus memenuhi hukum negara dan agama.

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut agama Kristen Protestan

adalah:

a. Masing-masing calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan

pihak lain

b. Kedua mempelai beragama Kristen Protestan (agar pernikahan tersebut

dapat diteguhkan dan diberkati)

c. Kedua calon mempelai harus sudah dewasa

d. Harus dihadiri 2 orang saksi

e. Disaksikan oleh jemaat.18

Menurut Winata Sairin dengan berpedoman pada Pasal 80, 81

KUH-Perdata/Burgelijk Wetboek,19

dan Hoci secara formal telah

dibatalkan oleh pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, bagi agama Protestan tetap berlaku karena identeik dengan

hukum perkawinan gereja Kristen yang isinya mirip dengan Burgerijk

Wetboek tersebut. 20

Seorang Kristen mengalami kesulitan menerjemahkan

Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya

perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Masalahnya mereka tidak ada hukum perkawinan

menurut agama, karena memang agama Kristen tidak ada peraturan

tersebut, kalaupun ada sangat minim.21

18Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 41. 19

Pasal 80 “Dihadapan Pegawai Catatan Sipil Dengan Dihadiri Saksi-saksi Kedua Calon

Suami Istri Harus Menjelaskan Yang Satu Menerima yang lain sebagai istri, yang lain

menerimanya sebagai suami perlu dengan tulus menunaikan kewajiban demi Undang-undang

ditanggungkan kepada mereka sebagai suami/istri

Pasal 81 “Tiada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan sebelum kedua belah pihak

pejabat agama mereka membuktikan bahwa perkawinan dihadapan pegawai catatan sipil telah

berlangsung. 20

Pasal 33 ayat 2 “Kemudian pegawai catatan sipil atau penuntun agama menerangkan

bahwa atas nama Undang-undang kedua belah pihak telah dikukuhkan perkawinannya”. 21

Winata Sairin JM Pattiasina, Problematika Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia Dalam

Pengamatan PGI, H. 148

Page 47: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

37

Karena itu gereja mengadakan peneguhan dan pemberkatan

sebelum disahkan dan dicatat dikantor catatan sipil. Karena yang dianut

perkawinan perdata bukan agama, maka sahnya setelah dikukuhkan dan

divatat dikantor catatan sipil. Tetapi faktanya adalah sebaliknya yakni

diselesaikan dikantor catatan sipil dahulu kemudian diberkati di gereja.

Peneguhan dan pemberkatan itu sifatnya konfirmasi (penegasan)

bukan legitimasi demikian ditegaskan dalam sidang MPL-PGI No.

01/MPL-PGI/1989 di Bogor tanggal 29 April 1989.22

Klausul “Menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”, mereka tidak artikan secara letterlijk, tetapi diartikan

sesuai sistem yang dianut gereja yang bersangkutan, yakni perkawinan

secara keperdataan itu harus terlebih dahulu dilangsungkan dikantor

catatan sipil, baru kemudian diteguhkan dan diberkati oleh gereja.

d. Perkawinan Menurut Agama Hindu

Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan seorang

wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yaitu

keturunan.23

Hukum perkawinan Hindu menganut asas atau prinsip-prinsip

perkawinan, antara lain:

1. Asas monogami dan poligami

2. Asas kesepakatan bersama

3. Asas sahnya perkawinan melalui agama, yaitu melalui prosedur wiwaha

samsakara atau wiwaha homa yaitu melalui upacara sakramen24

Mengingat sahnya suatu perkawinan disandarkan pada hukum agama,

perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi ketentuan syarat

perkawinan menurut agama Hindu, yaitu:

1. Perkawinan harus dilakukan atas dasar persetujuan kedua pihak

22

Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, h. 122 23

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985),h. 46. 24

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, h. 45.

Page 48: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

38

2. Telah mencapai usia yang layak, yaitu 21 tahun, atau bila jasmaniahnya

telah mampu untuk menikah

3. Harus ada izin orang tua atau bila tidak ada oleh sanak keluarga yang

dapat bertindak sebagai wali

4. Tidak melanggar larangan kawin

Perkawinan dalam agama Hindu dikenal dengan “Wiwaha”.

Perkawinan bersifat religius dan obligator, karena dikaitkan dengan

kewajiban untuk mempunyai putra untuk menebus dosa orang tuanya.

Menurut Hindu anaklah yang akan menyelamatkan orang tuanya dari

neraka. Karena perkawinan bagian dari agama maka harus memenuhi

syarat sesuai hukum agama.25

Wiwaha samkara adalah ritualita yang menentukan sah tidaknya

suatu perkawinan. Perkawinan yang tidak disakralkan dipandang tidak

mempunyai akibat hukum ritualita wiwaha yang sesuai ketentuan dapat

mengakibatkan batalnya perkawinan, sejalan dengan pasal 2 ayat 1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Pernikahan beda agama menurut Gede Puje suatu perkawinan batal

bila tidak memenuhi syarat, misalnya mereka tidak menganut agama yang

sama pada saat upacara perkawinan dilangsungkan, karena nikah lintas

agama tidak dapat dilangsungkan menurut agama Hindu. Agama Hindu

tidak membenarkan pemeluknya menikah dengan non hindu, bila

dilakukan maka harus memeluk agama Hindu terlebih dahulu, bila tidak

maka tidak sah (sekalipun dilakukan dikantor catatan sipil) perkawinan

yang tidak sah akan berakibat hukum pada anak-anaknya yang tidka sah

dan tidak berhak atas harta warisan.26

25 Gede Puje, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, h. 16. 26Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, h. 129

Page 49: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

39

e. Perkawinan Menurut Agama Budha

Agama Budha merumuskan arti perkawinan sebagai suatu ikatan

suci yang harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang

diajarkan oleh Budha.27

Ketentuan sahnya suatu perkawinan dalam agama

Budha tidak dikatakan secara tekstatular karena menurut agama Budha

perkawinan adalah sebagai salah satu aspek hidup yang akan selalu

dicengkram oleh duka dan dalam suatu perkawinan kebahagiaan yang

diperoleh adalah bersifat keduniawian. Sementara itu, kebahagiaan

tertinggi adalah nirwana dan untuk pencapaiannya diperlukan pemadaman

kekotoran batin untuk nafsu seks. Namun, tetap ada syarat minimal yang

harus dipenuhi oleh umat Budha untuk dapat melangsungkan suatu

perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Apapun yang mendorong suatu pasangan untuk menikah, cinta kasih

dan pengertian yang baik dengan tujuan membahagiakan satu sama

lain adalah hal utama yang harus dikembangkan

2. Usia kedua calon mempelai tidak terlalu jauh berbeda

3. Kedua calon mempelai haruslah sedharma. Mempunyai keyakinan

yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding dan kebijaksanaan

yang sebanding pula.28

Berdasarkan uraian pembahasan mengenai ketentuan perkawinan

menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan norma agama, dimana

prinsipnya setiap agama menghendaki umatnya untuk melakukan

perkawinan sesama agama. Sehingga dapat diartikan bahwa ketentuan

yang ada dalam norma agama tersebut diatas sejalan dengan Undang-

undang perkawinan mengenai larangan perkawinan beda agama.

27Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 50.

28Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, h. 52.

Page 50: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

40

Undang-undang perkawinan mendasarkan ketentuan sah atau

tidaknya suatu perkawinan pada hukum atau ketentuan agama yang

diyakini oleh pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan.

D. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

Perkawinan pasangan yang memiliki perbedaan agama seringkali

mengalami pertentangan dari pihak lain terutama keluarga. Oleh karena

itu, Undang-undang Nomor 1 Tahhun 1974 mengatur pencegahan

perkawinan yang tertuang pada pasal 13 sampai dengan pasal 21.

Pencegahan dapat diajukan kepada pengadilan karena perkawinan tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan

tersebut harus diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah dan dilakukan

sebelum pernikahan dilangsungkan.

Pernikahan tersebut dapat dicegah bila tidak memenuhi syarat-

syarat, antara lain:

1. Salah satu pihak masih terikat dalam perkawinan

2. Salah satu pihak dari calon suami / istri berada dalam pengampuan

3. Umur calon suami / istri belum memenuhi syarat

4. Ada hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sesusuan dan ada

hubungan yang oleh agama dilarang untuk dilangsungkan pernikahan

5. Melangsungkan perkawinan dengan wanita yang telah ditalak tiga kali

6. Melangsungkan perkawinan yang menyimpang dari tata cara peraturan

perkawinan

Berkaitan dengan pencegahan tersebut, pihak-pihak yang dapat

melakukan pencegahan sebagaimana tercantum dalam pasal 14 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1. Saudara dalam garis lurus keatas dan kebawah

2. Saudara

3. Wali nikah

4. Wali pengampu dari calon mempelai

Page 51: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

41

5. Mereka yang masih terikat dalam perkawinan (suami / istri mempunyai

hak untuk mencegah perkawinan yang akan dilangsungkan)

6. Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pencegahan bila terdapat syarat

yang tidak dipenuhi:

a. Syarat umur bagi calon suami / istri

b. Terdapat pelanggaran tentang hubungan darah, keturunan dalam

garis lurus, keturunan dalam garis menyamping, ada hubungan

semenda, ada hubungan susuan, perkawinan untuk ketiga kalinya

terhadap pasangan yang sama dan apabila dilanggar tata cara

perkawinan yang diatur dalam Undang-undang.

Permohonan pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan

dalam wilayah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.

Pencegahan perkawinan tersebut juga diberitahukan kepada pegawai

pencatat pernikahan dan calon mempelai. Namun, Undang-undang tidak

mengatur secara jelas mengenai tata cara pengajuan pencegahan

perkawinan dilakukan secara tertulis atau lisan. Dalam hal melakukan

pencegahan, pemohon dapat menarik kembali permohonannya, begitu pula

pengadilan dapat pula mencabut pencegahan perkawinan yang telah

diputuskan

Mengenai pembatalan ini sesuai dengan pasal 22 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974, batalnya perkawinan terjadi apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pembatalan

perkawinan tersebut diajukan kepada pengadilan, sehingga pembatalan

perkawinan hanya dapat dilakukan dengan adanya putusan hakim. Adapun

pengadilan yang berwenang dalam hal pembatalan ini adalah pengadilan

negeri atau pengadilan agama.

Pengajuan pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila terdapat

pihak yang mengajukan gugatan kepada pengadilan dengan alasan:

Page 52: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

42

1. Perkawinan dilangsungkan dimuka pegawai pencatat nikah yang tidak

berwenang

2. Wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh

dua orang saksi

3. Perkawinan dilaksanakan dibawah ancaman yang melanggar hukum

4. Terdapatnya salah sangka mengenai diri suami / istri

Pihak-pihak yang berwenang mengajukan pembatakan perkawinan

adalah:

1. Para keluarga dalam garis lurus keatas

2. Suami atau istri

3. Salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan

4. Jaksa, apabila perkawinan dilangsungkan oleh pejabat yang tidak

berwenang, wali tidak sah dan tanpa saksi

Dalam hal berlakunya pembatalan, Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa batalnya perkawinan

berlaku setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap

dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974, dapat ditafsirkan bahwa keputusan pembatalan itu berlaku

surut sampai saat dilangsungkannya perkawinan. Dengan demikian,

dianggap tidak pernah ada perkawinan, tetapi dalam pasl 28 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan, “keputusan tidak

berlaku surut terhadap:

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

Jadi, meskipun perkawinan orang tuanya batal, tetapi anak-anaknya

tetap dianggap sebagai anak-anak yang sah

2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap

harta bersama, bila pembatalan perkwinan didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang lebih dahulu. Meskipun perkawinannya batal

Page 53: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

43

sejak semula, akan tetapi harta bersama mereka dianggap tetap ada

sampai pada hari jatuhnya keputusan pembatalan

3. Orang-orang ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan

itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai

kekuatan hukum tetap.29

29

Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia

(Surabaya: Airlangga Press, 1988), h. 87.

Page 54: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

BAB IV

PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

DAN KEABSAHANNYA

A. Alasan Sosiologis–Yuridis dalam Perkawinan Warga Negara

Indonesia di luar Negeri

Perkawinan sebagai rangkaian kehidupan manusia senantiasa tidak

dapat dihindari dari berbagai perbedaan yang kemungkinan dihadapi

pasangan suami istri. Sebagai bagian dari fitrah dan siklus kehidupan

manusia serta hak keperdataan dari seseorang, pernikahan harus senantiasa

menjembatani perbedaan menjadi suatu ikatan untuk membentuk keluarga

yang kekal dan bahagia. Diantara perbedaan yang dihadapi pasangan calon

suami istri adalah adanya perbedaan prinsip yang cukup signifikan bagi

terbentuknya keluarga yang harmonis, yaitu perbedaan agama.

Adanya realitas sosial dan akultrasi didalam masyarakat yang terus

berkembang telah menjadi penghalang atau pendorong perubahan salam

rangka terbentuk keluarga.1 Diantara realitas sosial itu adalah sifat

majemuk masyarakat Indonesia yang mempunyai identifikasi budaya dan

agama yang berbeda-beda. Akan tetapi, sistem hukum yang mengaturnya

berada pada arah unifikasi hukum yang mencerminkan politik hukum

pemerintah. Akibatnya, terjadi pembenturan antara realitas didalam

masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan yang cenderung

terabaikannya posisi hukum dari pihak-pihak yang dirugikan.

Fenomena keanekaragaman agama merupakan salah satu masalah

dalam konsep perkawinan di Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974, perbedaan agama tidak menghalangi

seseorang untuk melakukan pernikahan. Adanya politik hukum kolonial

1 T.O Ihromi, “Hukum dan Keluarga: Pembahasan tentang Hubungan Timbal Balik antara

Hukum dan Keluarga dalam rangka Pengumpulan bahan-bahan untuk Usaha Pembaharuan

Hukum,” dalam Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976), h. 85.

Page 55: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

45

Belanda yang membiarkan perbedaan terjadi mengakibatkan kultur asas

hukum yang berlaku dalam keluarga menjadi bersifat pluralistis. Padahal,

norma agama yang dianut dan diajarkan menggariskan keharusan

pasangan suami istri berasal dari lingkup agama yang sama

Dengan adanya unifikasi hukum itulah kemudian Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan secara implisit bahwa perkawinan yang

dilaksanakan atas latar belakang yang berbeda dapat terjadi karena

perbedaan kebangsaan (nasionalitas). Hal ini berarti Undang-undang

perkawinan mengesampingkan kemungkinan terdapatnya perbedaan

agama dalam perkawinan. Disamping itu, Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 menyatakan bahwa, “suatu perkawinan harus didasarkan pada

Ketuhanan Yang Maha Esa dan dilakukan menurut agama yang dianut.”

Ketentuan tersebut meletakkan ketentuan norma agama yang sama dianut

oleh pasangan suami istri dalam pelaksanaan perkawinan.

Namun, hukum kadangkala tidak mampu mencapai realitas sosial

dimana interaksi manusia telah menembus perbedaan tersebut. Akibatnya

muncul simpulan bahwa, “pendekatan untuk mendorong perubahan dalam

bidang keluarga, terutama melakukan hukum, bersifat sangat terbatas.”2

Hukum dalam hal ini direfleksikan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 ternyata tidak mampu membendung ikatan suami istri yang dilatar

belakangi oleh perbedaan agama. Oleh karena itu, fakta sosial menunjukan

adanya pasangan suami istri yang menikah dalam perbedaan agama.

Namun, fakta hukum, bila pasangan yang berbeda agama ingin

melangsungkan pernikahan, kendala dalam pelaksanaannya cukup banyak.

Baik menurut norma agama mauput menurut hukum positif yang berlaku

di Indonesia.

Kendala ini kemudian diatasi pasangan suami istri dengan

melangsungkan pernikahannya di luar negeri. Pernikahan yang dilakukan

2T.O Ihromi, “Hukum dan Keluarga: Pembahasan tentang Hubungan Timbal Balik antara

Hukum dan Keluarga dalam rangka Pengumpulan bahan-bahan untuk Usaha Pembaharuan

Hukum,” dalam Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976), h. 87.

Page 56: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

46

di luar negeri diatur dalam pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 yang menyatakan:

“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua

orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara asing

adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di

Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga

negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-

undang ini.”

Ketentuan tersebut memungkinkan warga negara Indonesia untuk

menikah di luar negeri dan perbuatan hukum tersebut dinyatakan sah. Hal

ini disebabkan setiap negara mempunyai hukum yang berbeda dalam

mengatur perkawinan. Sebagian dari hukum ini adalah hukum perdata

yang mengatur perhubungan hukum antara pelbagai orang-orang

perseorangan, dalam mana titik berat kepada kepentingan orang

perseorangan.3 Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan di luar

negeri tersebut mengikuti hukum yang berlaku di negara perkawinan

tersebut dilangsungkan

Berdasarkan aturan tersebut, wajar jika ketentuan mengenai

perkawinan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih

tetap berlaku bagi warga negara Indonesia yang melangsungkan

perkawinan di luar negeri. Padahal secara prinsip, Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 merumuskan secara tegas maksud perkawinan campuran

dalam pasal 57 sebagai:

“Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada

hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan satu

pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia.”

Maksud yang terkandung didalamnya adalah perkawinan menurut

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung unsur-unsur asing,

yang terdapat berupa “seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan

yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama

3Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional (Jakarta: Pustaka

pelajar, 1977), h. 22

Page 57: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

47

kewarganegaraan, tapi perkawinan dilangsungkan dinegara lain.”4 Dengan

kata lain, Undang-undang perkawinan sebagai politik hukum negara

mengenai perkawinan menegaskan tidak dapatnya warga negara Indonesia

melangsungkan perkawinan atas dasar perbedaan agama.

Pemahaman demikian dapat ditarik berdasarkan ketentuan pasal 2

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan sah setelah

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Selain itu, pasal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur lebih lanjut tata cara

perkawinan yang lazimnya dilakukan dengan berlandaskan pada ketentuan

tersebut, tata cara perkawinan yang lazim dilakukan mempunyai tiga hal

pokok, yaitu:

1. Sesuai dengan ketentuan agama

2. Dicatat dalam akta nikah

3. Tata cara lain yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan

nasional.

Dalam pelaksanaan perkawinan yang bersendikan perbedaan

agama, lazimnya suami istri yang menikah mempunyai kualitas yang sama

nasionalitas kewarganegaraannya. Kondisi demikian menyulitkan proses

pencatatannya karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak

merumuskan perkawinan antar agama. Padahal, pengesahan pernikahan

hanya dapat dilaksanakan apabila telah disahkan berdasarkan hukum dan

formalitas negara yang harus diselenggarakan di negaranya sendiri.

Oleh sebab itu, sebenarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

secara prinsipil dan eksplisit menekankan asa “kesatuan agama” dari

kedua mempelai. Asas demikian dijalankan dalam rangka “menjaga

keutuhan rumah tangga dan mengukuhkan perbedaan menuju

4Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional:

Suatu Orientasi (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 36.

Page 58: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

48

kesejahteraan bersama.”5Berdasarkan pada asas tersebut, berarti ketika

perkawinan antar agama dilakukan, dimana agamanya melarang, pada saat

itu pula muncul masalah status hukum perkawinan tersebut bagi kedua

mempelai. Dalam menghadapi situasi demikian, pasangan suami istri

berupaya mengambil celah-celah hukum dengan melakukan pencatatan

perkawinan dan melangsungkan perkawinan di luar negeri atau negara

yang menerapkan prosedur pencatatan yang lebih mudah. Hal demikian

dilakukan hanya untuk memenuhi paembuktian bahwa syarat-syarat

perkawinan yang ditentukan oleh hukum bagi masing-masing pihak telah

terpenuhi.

Berdasarkan alasan tersebut, sebenarnya Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974, yaitu pasal 56 yang mengatur pencatatan perkawinan warga

negara Indonesia di luar negeri, membuka peluang diadakannya

perkawinan antar agama. Adanya proses pencatatan perkawinan di luar

negeri dan kemudian dicatat kembali di Indonesia menunjukkan adanya

pertentangan secara mendalam antara substansi Undang-undanng Nomor 1

Tahun 1974 dan realisasi dilapangan.

Perkembangan demikian pada dasarnya memperluas hakikat

perkawinan campuran menurut pasl 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 yang tidak lagi hanya merupakan perkwinan antar negara.

Hal tersebut secara tidak langsung menunjukan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tidak konsisten dalam pengaturan perkawinan di

Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan keberadaan pasal 2 ayat (1) jo pasal 8

huruf f yang mendasarkan pelaksanaan perkawinan beda agama, sementara

disisi lain, terdapat penafsiran yang lebih luas terhadap arti perkawinan

campuran, serta terjadinya perkawinan warga negara Indonesia beda

agama di luar negeri.

Kondisi demikian sebenarnya terjadi disebabkan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tampaknya tidak berusaha untuk melarang terjadinya

5Wiarawan Hadiono, Perkawinan Antar Agama dan Antar Negara Sebagai Suatu

Permasalahan Hukum: Suatu Kajian Terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan,” Mimbar Hukum (Juni 1983), h. 23

Page 59: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

49

perkawinan antar agama secara tegas. Hal ini dibuktikan dengan tidak

disertainya sanksi jika ada warga negara Indonesia yang melakukan

perkawinan antar agama. Dengan kata lain, pegawai pencatatan sipil tidak

berhak menolak untuk melangsungkan pernikahan apabila mempelai

berbeda agama, sepanjang persyaratan administrasinya telah terpenuhi.

Padahal, pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diakatakan

sebagai keinginan dan pernyataan masyarakat pemeluk agama, bahwa

perkawinan akan selaras jika berada pada kesatuan iman.6

Dengan berdasarkan alasan sosiologis – yuridis mengenai

perkawsinan tersebut akan tampak begitu sulit penerapan pengaturan

perkawinan di Indonesia. Situasi demikian menunjukan tidak mampunya

pemerintah dalam menciptakan hukum untuk mengatur perkawinan,

sehingga pengaturan tersebut dialihkan oleh institusi pengadilan berupa

penetapan perkawinan

B. Legalitas Pencatatan oleh Kantor Catatan Sipil Berdasarkan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan

pelaksanaannya

Pencatatan perkawinan di Indonesia berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan oleh dua lembaga, yaitu

kantor urusan agama (KUA) bagi pasangan suami istri yang beragama

Islam dan kantor catatan sipil (KCS) bagi pasangan suami istri yang

beragama non Islam serta perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia.7

Adanya pencatatan ini sebenarnya diperlukan sebagai alat bukti

bahwa suatu perkawinan telah dilakukan dan sah menurut Undang-undang

perkawinan.

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

menyatakan:

6Irawati Kusuma Wardhani, Aspek-aspek Perkawinan Campuran: Suatu Analisis

Dampaknya Terhadap Anak-anak, Yudisthira 2 (Feb 1998), h. 23 7Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

Page 60: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

50

“Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan

pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,

misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat

keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan.”

Ketentuan tersebut menjelaskan secara mendalam konsep

pencatatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembuktian

perkawinan. Negara sebagai institusi publik perlu memberikan

perlindungan hukum dan pengakuan atas hak-haknya kepada semua pihak

yang melangsungkan perkawinan. Hal ini dilakukan dalam bentuk

pencatatan di kantor urusan agama atau kantor catatan sipil.Dengan

demikian, sangat tegas terlihat antara syarat keabsahan dan syarat

administrasi dalam proses perkawinan.

Syarat keabsahan perkawinan menurut pasal 2 ayat (1) Undang-

unang Nomor 1 Tahun 1974 ialah “apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya.” Sementara itu, bagi pasangan

suami istri warga negara Indonesia antar warganegara yang

melangsungkan perkawinan di luar negeri sah “bilamana dilakukan

menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan

dilangsungkan.” Adanya dua pemahaman mengenai istilah „sah‟ dalam

dua pasal ini sebenernya saling kontradiksi. Sebab, pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 lebih mensyaratkan keabsahan

agama yang kemudian akan diakui negara melalui pencatatan. Sementara

itu, istilah „sah‟ dalam pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 lebih didasarkan pada keabsahan administrasi dan sistem hukum.

Oleh sebab itu, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya

tidak mengatur secara seksama mengenai sikap negara, yang ditunjukan

oleh pejabat kantor urusan agama dan kantor catatan sipil, jika pasangan

suami istri tidak menjalankan perkawinan berdasarkan agama dan

keyakinannya, tetapi hanya menjalankan persyaratan administrasi.

Dengan demikian, secara hukum negara sebenarnya pencatatan yang

dilakukan kantor catatan sipil terhadap perkawinan yang dilakukan warga

Page 61: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

51

negara Indonesia yang berbeda agama di luar negeri adalah sah dan dapat

dibenarkan oleh hukum. Sah dalam pengertian absah dan diakui negara

berdasarkan peraturan perundang-undangan di negara warga negara

Indonesia melangsungkan perkawinan dan di Indonesia. Dengan landasan

pemahaman tersebut, legalitas atas pencatatan perkawinan yang dilakukan

warga negara Indonesia di luar negeri tidak terdapat persoalan secara

hukum negara.

Persoalan yang muncul justru berada pada hukum agama masing-

masing pasangan suami istri tersebut, dimana norma agama mengatur

sendiri ketentuan perkawinan yang harus dilakukan dalam satu atap

keimanan. Adanya „penolakan‟ norma agama terhadap perkawinan yang

dilakukan pasangan berbeda agama sebenarnya diadopsi Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 yang dalam penjelasan pasal 2 menyatakan, “dengan

perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-

undang 1945.”

Rumusan penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 sebenarnya dapat menjadi dasar hukum penolakan negara

terhadap pelaksanaan perkawinan di luar ketentuan yang diatur agama.

Dengan kata lain, negara tidak dapat mencatatkan perkawinan beda agama

dimana pun dilaksanakannya, karena telah menyimpang dari norma agama

masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan. Namun,

pemahaman ini dimentahkan sendiri oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 melalui pasal 56 yang menyatakan perkawinan sah dilakukan di luar

negeri apabila sesuai dengan peraturan perundang-undangan ditempat

dilangsungkannya perkawinan. Meskipun kemudian juga ditambah dengan

tidak melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi tampak

tidak menambahkannya sebagai suatu syarat keabsahan.

Berkenaan dengan hal tersebut Prof Wahyono Darmabrata

berpendapat “Perumusan dalam pasal 56 Undang-undang perkawinan

dapat menimbulkan masalah, menyebabkan dipergunakan untuk

Page 62: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

52

menyelundupi pasal 2 Undang-undang perkawinan. Pelaksanaan

perkawinan menurut pasal 56, yang isinya kurang lebih sama dengan pasal

83 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak akan menimbulkan

masalah, jika perkawinan hanya dilihat dari segi perdatanya saja,

berdasarkan pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Namun,

tidaklah demikian jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 2 Undang-undang

Perkawinan. Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, tetap harus

dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya masing-masing, tidak dapat ditentukan sesuai dengan

normalitas yang berlaku di Negara dimana perkawinan dilangsungkan.

Selain itu, penetapan penjelasan pasal 2 ayat (1) sebagai dasar

hukum penolakan negara dalam perkawinan warga negara Indonesia

berbeda agama, ditolak Mahkamah Agung. Dalam Putusan Mahkamah

Agung No. 1400 K/Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989, Mahkamah

agung berpendapat:

“Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu

ketentuan apapun yang menyebut perbedaan agama antara calon

suami dan calon istri merupakan larangan untuk melangsungkan

perkawinan, dan hal ini sesuai dengan pasal 27 Undang-undang

Dasar 1945,...”8

Berbeda dengan putusan tersebut, pada 29 Maret 1994. Mahkamah

Agung melalui putusan No. 1634 K/Pdt/1994 menegaskan bahwa hukum

agama sebagai landasan filosofis dan landasan hukum keabsahan

perkawinan. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung

berpendapat:

1. Tidak tepat pendapat yang mengatakan ada kekosongan hukum yang

mengatur perkawinan antara calon mempelai yang berlainan agama

8Putusan Mahkamah Agung ini sangat bertentangan dalam pertimbangan

hukumnya, sehingga satu sama lain menimbulkan kontradiksi, hal ini terlihat dari

pertimbangan hukumnya yang jauh melangkahi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

dengan menyatakan pasangan suami istri tersebut telah menghiraukan status agamanya.

Padahal, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas-jelas menempatkan agama sebagai

fundamental pengaturan perkawinan di Indonesia.

Page 63: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

53

2. Tidak dapat dibantah oleh siapapun, setiap pemeluk agama yang ada di

Indonesia, masing-masing mempunyai hukum agama yang mengatur

keabsahan perkawinan, dan setiap hukum agama yang bersangkutan

masing-masing memiliki perbedaan nilai dan syarat

3. Oleh karena itu, tidak mungkin dilakukan perkawinan yang ada di

Indonesia, masing-masing mempunyai hukum agama yang mengatur

keabsahan perkawinan, dan setiap hukum agama yang bersangkutan

masing-masing memiliki perbedaan nilai dan syarat

4. Namun kesulitan dan hambatan itu dapat mereka atasi dan selesaikan

dengan jalan memilih salah satu agama yang mereka anut, sehingga

hambatan yang semula bersifat imposibilitas sirna dengan sendirinya.

Apabila mendasarkan pada dua putusan Mahkamah Agung

tersebut, putusan yang kedua terasa menjiwai isi Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 dengan dasar pertimbangan hukum tersebut sebenarnya

pencatatan yang dilakukan petugas kantor catatan sipil bertentangan

dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun1974, sehinggan perkawinan yang

dicatatkan itu juga tidak mengandung legalitas didalamnya. Hal ini

disebabkan keabsahan perkawinan bagi warga negara Indonesia adalah

didasari pada hukum agama masing-masing sesuai dengan pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Keabsahan menurut pasal 56

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah legalitas pencatatan dan

pengadministrasiannya menurut peraturan perundang-undangan di negara

masing-masing. Disamping itu, pasal 56 hanya mengatur pernikahan di

luar negeri dan bukan mengatur keabsahan perkawinan

Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 juga hanya

menegaskan surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan

perkawinan. Menurut pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) PP Nomor 9 Tahun

1975, kantor pencatatan perkawinan bagi pasangan yang beragama Islam

dan non Islam berbeda. Hal ini berarti secara implisit yuridis perkawinan

harus dilakukan atas persyaratan pasngan yang sama agama. Sementara

Page 64: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

54

itu, sebagian besar perkawinan berbeda agama yang melangsungkan

perkawinan di luar negeri lebih banyak mendaftarkan di kantor catatan

sipil.

Hal ini berarti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai

persoalan yang sangat mendasar dan rentan terhadap terjadinya

penyelundupan hukum dan penafsiran hukum yang demikian cenderung

akan menghilangkan esensi perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara

pria dan wanita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

C. Pencatatan Perkawinan Pasangan Warga Negara Indonesia yang

Berbeda Agama di luar Negeri sebagai Akta Otentik

Mengingat pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negeri

telah dilakukan oleh pejabat berwenang menurut peraturan perundang-

undangan di negara tersebut, meskipun tidak mengandung keabsahan

secara agama, secara yuridis akta perkawinan itu berlaku sebagai akta

otentik. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah:

“Suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-

undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang

berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuat.”

Oleh sebab itu, negara tidak dapat menganggapnya sebagai sebatas

catatan adanya perkawinan. Hal ini disebabkan akta perkawinan tersebut

dapat berlaku sebagai alat bukti bagi pasangan suami istri tersebut bahwa

telah melakukan pernikahan. Dalam konsep pembuktian menurut hukum

perdata, suatu akta yang cacat hukum, misalnya karena cacat dalam

bentuknya, hanya berlaku sebagai catatan dibawah tangan. Dalam hal ini

perlu dipertimbangkan untuk menjadikan akta perkawinan di luar negeri

sebagai catatan dibawah tangan. Hal demikian disebabkan pencatatan

perkawinan mengabaikan bentuk akta perkawinan sebagaimana diatur

dalam Pasal 22 PP No. 9 Tahun 1975.

Page 65: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

55

Sesuai dengan pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975, akta perkawinan

memuat:

1. Nama, tanggal, dan tempat tanggal lahir, agama/kepercayaan,

pekerjaan, dan tempat kediaman suami/istri;

2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman

orangtua;

3. Berbagai izin dan dispensasi;

4. Perjanjian perkawinan jika ada;

5. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam

6. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang

kuasa.9

Akan tetapi, dalam akta perkawinan yang dilakukan di luar negeri,

lazimnya hanya berisi nama pasangan suami istri disertai dengan nomor

paspor dan nama para saksi disertai dengan nomor paspor.10

Hal inilah

yang memunculkan pendapat bahwa akta perkawinan yang dibuat di luar

negeri hanya merupakan catatan dibawah tangan dan bukan akta otentik.

Namun keduanya tetap mempunyai kedudukan sebagai pembuktian, dalam

hal pembuktian adanya perkawinan. Perbedaan nya terletak pada

kesempurnaan sebagai suatu alat bukti bagi akta otentik, sedangkan catatan

dibawah tangan kurang memberikan kesempurnaan sebagai alat bukti.

Adanya fenomena tersebut sebenarnya menunjukan lemahnya

posisi hukum pasangan suami istri warga negara Indonesia berbeda agama

yang mencatatkan perkawinannya di luar negeri. Pengujian akta

perkawinan di luar negeri lazimnya dilakukan di pengadilan, misalnya

melakukan perceraian atau pembatalan perkawinan. Namun, hal demikian

sebenarnya lebih diarahkan hamik untuk menentukan ada tiadanya

9Pasal 22 Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

10Desi Sachiko, “Menikah di Singapura; It‟s So Simple!”

http://www.desisachiko.com/2014/04/10/menikah-di-singapura-its-so-simple/ diakses

pada 13 April 2018

Page 66: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

56

perkawinan dan tidak mengubah persoalan yang menyangkut mengenai

akta perkawinan itu sendiri sebagai alat bukti, wewenang pengadilan ini

pada dasarnya terbatas pada pengujian alat bukti, dan bukan pengujian atas

keabsahan perkawinan itu sendiri. Pengujian atas keabsahan perkawinan

itu sendiri jika dinilai pengadilan dalam prosesnya memerlukan tahap-

tahap pemeriksaan yang lama.

Sebenarnya, jika ada putusan pengadilan yang menolak akta

perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti akan menjadi terapi

menyeluruh terhadap adanya penyimpangan dalam pelaksanaan

perkawinan. Dengan kata lain, putusan demikian akan bersifat mendukung

terciptanya kepastian dalam pelaksanaan hukum perkawinan dan

mendukung sempurnanya aturan agama dalam perkawinan.

Oleh sebab itu, perlu adanya upaya agar pengadilan diberikan

kewenangan untuk melalukan pembatalan atas perkawinan dan penolakan

atas akta perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti. Dengan demikian,

pelaksanaan perkawinan diberikan kekuatan yuridis yang jelas dan pasti.

Hal demikian disebabkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak

merumuskan secara mendetail mengenai konsep dan pembuktian akta

perkawinan di luar negeri. Padahal sudah menjadi seharusnya jika

peraturan perundang-undangan dibentuk dengan menghindari seminimal

mungkin penafsiran dan pemaknaan ganda terhadap suatu ketentuan.

Dengan adanya penolakan pengadilan untuk menjadikan akta

perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti, pada prinsipnya berarti

perkawinan itu secara keseluruhan sejak awal semula dianggap batal,

karena sebenarnya akta perkawinan itu tidak pernah melahirkan hubungan

perkawinan. Pertimbangan yang perlu diajukan hakim adalah tidak

terpenuhinya syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan kata lain, tujuan pasangan suami

istri untuk meletakkan akta perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti

adanya perkawinan telah gagal terpenuhi. Dengan demikian, pasangan

suami istri tersebut tidak dapat menuntut hak dan adanya hubungan

Page 67: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

57

keperdataan yang timbul setelah adanya hubungan perkawinan karena

tidak adanya dasar hukum perkawinan. Sementara hakim dapat

menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perkawinan.

Dilain sisi, dengan tidak terpenuhinya keabsahan perkawinan

menurut hukum agama, dapat membuka peluang pihak lain untuk dapat

membatalkannya adalah orang tua atau wali anak yang tidak cakap

menurut hukum dan orang yang mengadakan perkawinan karena tekanan

atau ancaman.

Disamping itu, pertimbangan hukum hakim dalam membatalkan

akta perkawinan di luar negeri adalah atas dasar akta pperkawinan tersebut

tidak mengandung data diri pasangan suami istri yang tidak jelas, sehingga

hakim dapat menyatakan perkawinan tersebut dibuat secara tidak terang.

Oleh sebab itu, hakim dapat menyatakannya sebagai pelanggaran terhadap

hukum.

D. Perkawinan Beda Agama Hukum Kolonial dan Kekinian

Perkawinan beda agama merupakan salah satu dari bagian masalah

perkawinan yang cukup kompleks, baik sebelum bahkan sesudah

perkawinan terjadi. Setelah melewati berbagai proses, pada akhirnya,

hukum pun melegalkan atau bahkan bisa tidak melegalkan perkawinan.

Dalam konteks perkawinan, khususnya perkawinan beda agama

meneropong sistem hukum dalam konteks perkawinan beda agama

dengan membaca realitas sosial dan politik masyarakat yang ada. Sebab

hukum adalah produk politik.11

Perkawinan campuran sebagai salah satu masalah kompleks dalam

isu perkawinan, bukan isu yang baru dalam khasanah hukum di

Indonesia. Dalam sejarahnya, perkawinan campuran antara seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda

11 Hukum sebagai produk politik adalah sebuah pandangan dari aliran hukum kritis yang

mengkritisi pandangan hukum konvensional dimana hukum dilihat sebagai sesuatu yang netral dna

tidak memihak.

Page 68: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

58

berdasarkan hukum agama, adat, maupun kewarganegaraan12

telah diatur

secara khusus sejak jaman kolonial, hingga pasca kemerdekaan. Sejak

jaman kolonial sampai pasca kemerdekaan (sebelum berlakunya Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974), pengaturan kawin campur meliputi

perkawinan dari dua belah pihak yang berbeda agama, adat, maupun

kewarganegaraan. Namun, sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974, definisi perkawinan campur mengarah pada orang yang

akan menikah karena perbedaan kewarganegaran.

Latar belakang terjadinya perubahan adalah karena pengaturan

perkawinan campuran dari sejak jaman kolonial hingga Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dilatarbelakangi situasi politik

dan kelompok kepentingan tertentu sangat berperan dalam dinamika

politik tersebut. Situasi hukum yang demikianlah yang kemudia

memeunculkan pengaturan yang berbeda antara aturan perkawinan

campuran dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Pengaturan yang berbeda pada jaman kolonial dan

pengaturan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan

dinamika yang berbeda pula dalam pelaksanaannya meskipun ada

berbagai hal yang relatif sama.

Konflik yang senantiasa mengitari perkawinan campuran sejak

awal pengaturannya hingga perubahan pengaturan perkawinan antara lain

adalah konflik kepentingan kolonial, agama, adat dan pandangan sekuler.

Dengan demikian, pada saat tertentu hukum negara terkadang bias

dengan kepentingan pemerintal kolonial juga terkadang bias dengan

kepentingan adat, pandangan sekuler dan juga kepentingan agama.

Sejak awal masuknya pemerintah kolonial, telah ada upaya yang

sangat kuat untuk menyingkirkan posisi kelompok agama (Islam) dengan

melakukan pendekatan melalui kelompok adat, sehingga ada saat dimana

terlihat pertentangan pemerintah kolonial bergeser dengan kelompok

adat. Hal ini terjadi mulai dikuatkannya pemberlakuan hukum kolonial

12

Pengertian ini adalah pengertian luas kawin campur

Page 69: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

59

tahun 1848 dengan adanya keinginan untuk melakukan unifikasi dan

kodifikasi hukum di Hindia Belanda atas dasar asas konkordasi.

Unifikasi dan kodifikasi hukum adalah upaya untuk menjadikan

hukum dinegara jajahan sebagai satu kesatuan hukum yang diberlakukan

secara universal dengan merujuk atau memberlakukan hukum Eropa di

negara jajahan (Hindia Belanda). Hal ini muncul tak lepas dari situasi

politik dinegara Belanda bersangkutan dengan pandangan beberapa elit

politik tentang keadaan negara jajahan. Hal ini dipacu dengan

kemenangan kelompok liberal yang menginginkan adanya perbaikan

hukum dinegeri jajahan dan kepastian hukum untuk masyarakat dan

kontrol terhadap pemerintahan eksekutif.13

Keinginan untuk menjamin kepastian hukum dengan anggapan

bahwa hukum Eropa lebih baik dibandingkan hukum bumiputera,

sehingga perlu dilakukan konkordasi. Oleh karena itu, konkordasi ini tak

lain sebagai upaya penetrasi budaya melalui hukum yang kemudian

menimbulkan polemik dan mendapat tantangan dinegara jajahan.14

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada masa itu dibagi beberapa

golongan penduduk dan hukum yang diberlakukan terhadap mereka.

Penggolang tersebut yaitu: golongan Eropa yang tunduk pada hukum

Eropa/Belanda, golongan bumiputera yang tunduk pada hukum adat dan

atau hukum lain yang ia pilih mengikatka, golongan Timur Asing yang

tunduk atau menundukkan diri pada Hukum Eropa dalam hal-hal tertentu

karena berhubungan dengan golongan Eropa. Penggolongan tersebut

kemudian menjadia dasar dan dibuat dan diberlakukannya beberapa

peraturan antara lain BW (Burgelijk Wetboek).

13 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, (Jakarta:

Rajawali Press) 1994 h. 95 14

Soekanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari

Hukum Adat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1981, h. 99

Page 70: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

60

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Burgelijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum kolonial di

Indonesia yang berlaku untuk golongan Eropa yang tunduk pada hukum

Eropa atau golongan Timur Asing yang tunduk atau menundukkan diri

pada hukum Eropa, khususnya dalam hal perdata. Beberapa hal yang

diatur di dalam BW untuk kategori hukum keluarga.

Pengaturan perkawinan pada BW diatur di dalam banyak pasal,

oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengaturannya dianggap prioritas.

Perkawinan menurut BW hanya merupakan hubungan-hubungan perdata.

Maksudnya perkawinan disebutkan sebagai proses antara dua belah pihak

yang bersepakat melangsungkan perkawinan dihadapan seorang pegawai

catatan sipil.15

Peraturan ini tidak akan turut campur dalam upacara-

upacara yang diadakan oleh institusi agama. Pengaturan ini pun tidak

mengindahkan rintangan-rintangan perkawinan menurut agama. Secara

eksplisit BW menyatakan bahwa yang didahului adalah proses

perkawinan dihadapan catatan sipil ketimbang prosesi agama. Bahkan

dilarang dilakukannya perkawinan dengan menggunakan prosesi agama

sebelum dihadapan catatan sipil. Hal ini dapat ditemukan dalam pasal 81

yang menyebutkan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh

diselenggarakan sebslum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat

agama mereka bahwa perkawinan dihadapan pegawai catatan sipil telah

berlangsung.

Pengaturan ini secara implisit memberi peluang dilakukan

perkawinan antar agama. Tidak ada pasal-pasal yang secara eksplisit dan

detil membahas perkawinan antar agama. Dalam pasal-psala larangan

perkawinan tidak pula mengatur larangan perkawinan beda agama. Hal

ini dikarenakan prinsip utamanya adalah perkawinan dari formal

dihadapan negara yang diwakili oleh catatan sipil. Meski pada jaman

kolonial tidak berlaku untuk bumiputera, menarik untuk diamati

15

H.F.A. Vollmar , Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada) Jilid I, 1996, h. 50

Page 71: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

61

bagaimana pengaturan perkawinan dalam BW tersebut. Sebab pada

praktiknya peraturan itu berjalan dan dilaksanakan terhadap golongan

tertentu di Indonesia sebagaimana disebutkan didalam BW. Selanjutnya,

setelah Indonesia merdeka, dan sebelum adanya Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974, BW menjadi salah satu referensi hukum bagi masyarakat

dan institusi pengadilan. Pengaturan inilah yang dijadikan dasar

terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia sebelum disahkannya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan

ini pun menjadi momok yang menakutkan bagi kelompok yang pro pada

pengaturan perkawinan yang berbasis agama.

2. Statblaad 1898 No. 158 tentang Peraturan Perkawinan Campur:

Politik Hukum Campur

Berdasarkan adanya peraturan yang berbeda antara satu golongan

dengan golongan lain, maka pemerintah membentuk beberapa hukum

yang sifatnya menejembatani adanya perbedaan antara satu golongan

dengan golongan lain , yang disebut dengan hukum campuran. Hukum

campuran dimaksud untuk menghindari adanya konflik antar golongan

sehingga ada beberapa macam tergantung bidang-bidang yang

menimbulkan konflik. Dalam hal hukum keluarga, hukum campuran

yang dibentuk adalah peraturan perkawinan campuran. Peraturan

perkawinan campuran dibentuk pada Desember 1896 oleh pemerintah

Hindia Belanda melalui statblaad 1898 Nomor 158 (GHR). Peraturan

perkawinan campuran ini dimaksud untuk mengatur perkawinan-

perkawinan antara orang-orang yang ada di Indonesia tunduk pada

hukum yang berbeda-beda. Penngaturan ini dimaksudnkan agar tidak

menimbulkan konflik hukum atas hal tersebut.

Peraturan perkawinan campuran ini pada umumnya berpegang pada

konsep hukum perdata yang diatur dalam Burgelijk wetboek. Burgelijk

wetboek memegang beberapa prinsip antara lain bahwa perkawinan

Page 72: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

62

harus dicatatatkan dihadapan negara. Disamping itu, BW juga berpegang

pada satu kesatuan hukum di dalam keluarga, dimana laki-laki adalah

sebagai kepala keluarga sehingga perempuan sebagai istri dan anak-

anaknya tunduk dan mengikuti status hukum suami/ayahnya. Selain itu

aturan tersebut memegang pendekatan bahwa perempuan adalah bukan

subjek hukum (tidak cakap hukum).16

Berkaitan dengan perkawinan beda

agama, peraturan ini di dalam pasal 7 menegaskan bahwa: perbedaan

agama, bangsa dan keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang

terhadap perkawinan. Meskipun secara eksplisit peraturan ini menjamin

berlangsungnya perkawinan beda agama, namun dalam praktiknya

khususnya bagi perempuan perkawinan beda agama bukanlah hal yang

mudah. Perkawinan campuran dengan demikian pada prinsipnya

menggunakan perempuan sebagai jembatan perkawinan campuran.

Perempuanlah yang harus menundukkan diri dan mengubah status

hukumnya mengikuti hukum laki-laki. Pasal 2 menyebutkan bahwa

perempuan yang melakukan perkawinan campuran berubah statusnya

menjadi mengikuti status hukum suami. Sebagaimana telah disebutkan

pada peraturan tersebut bahwa perkawinan campuran ialah perkawinan

antara orang-orang (laki-laki maupun perempuan) yang tunduk pada

hukum-hukum yang berlainan, maka perkawinan campuran dapat

dilakukan dengan penundukan hukum.17

Pihak perempuan terhadap

hukum laki-laki yang menjadi suaminya.

Pasal lain dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa jika dalam

perkawinan tersebut putus, perempuan dapat kembali pada kedudukan

hukum semula, jika memberikan keterangan dalam jangka waktu setahun

setelah perkawinan putus. Keterangan tersebut harus ia sampaikan

kepada kepala pemerintahan daerah tempat kediamannnya agar dapat

dicatatkan dalam sebuah daftar khusus untuk itu, dan diumumkan dalam

16

BW memberlakukan tatanan matrimonial yaitu hubungan hukum perdata anak dengan

ibunya. BW juga memegang prinsip monogami dalam perrkawinan. 17

Penundukan hukum atau disebut pula pemilihan hukum dimana orang tersebut akan

tunduk pada hukum yang dipilihnya.

Page 73: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

63

surat kabar resmi. Jika perempuan tersebut menikah lagi dengan laki-laki

lain yang memiliki status hukum yang berbeda maka otomatis perempuan

itu mengikuti status hukum suaminya.18

Disamping penggunaan perempuan sebagai penjembatan, Undang-

undang Perkawinan mensyaratkan secara mutlak adanya surat keterangan

bebas dari rintangan untuk melakukan perkawinan campuran

sebagaimana tertera di beberapa pasalnya. Persyaratan tersebut dapat

dilihat pada pasal 7 dan 8 Perkawinan Campuran. Perempuan yang akan

melakukan perkawinan campuran dengan seorang laki-laki dibolehkan

apabila telah melalui dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat yang

ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi perempuan tersebut. Misalnya,

jika perempuan itu awalnya tunduk pada hukum Eropa, maka ia dapat

melakukan perkawinan campuran dengan golongan ini selama tidak

hukum Eropa dan telah melalui syarat-syarat yang biasa yang harus

dipenuhi olehnya untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum

Eropa. Demikian pula bagi perempuan pribumi yang awalnya tunduk

pada hukum tertentu maka ia dapat melakukan perkawinan campuran

dengan golongan lain selama tidak melanggar oleh hukum tertentu.

Dipenuhinya syarat-syarat tersebut harus dibuktikan melalui surat

keterangan dari mereka yang berwenang menurut hukum yang berlaku

bagi si perempuan. Surat keterangan tersebut menunjukan bahwa tidak

ada rintangan lagi bagi si perempuan untuk melangsungkan perkawinan

campuran.

Persyaratan lain berkaitan dengan pengadaan surat keterangan

tersebut adalah perkawinan tersebut harus dilakukan oleh orang-orang

yang berwenang berdasarkan hukum si perempuan dan dilakukan di

tempat kediaman si perempuan. Jika orang yang berwenang menurut

hukum yang berlaku pada perempuan tersebut tidak ada, barulah

keterangan dapat diberikan oleh kepala penduduk golongan si

18 Pasal 3-5 Peraturan Perkawinan Campuran. Pasal ini menegaskan prinsip hukum

Eropa tentang ketidakmampuan perempuan dihadapan hukum yang tertera di BW. Peraturan

perkawinan campuran ini merupakan peraturan yang melengkapi hukum keluarga BW

Page 74: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

64

perempuan. Jika pejabat tersebut tidak ada, dapat dilakukan oleh orang

yang ditentukan oleh kepala daerah setempat dimana perempuan tersebut

berada. Jika keterangan tidak diberikan, maka atas permintaan yang

berkepentingan pengadilan dapat memberikan putusan apakah

keterangan dapat diberikan atau tidak. Putusan tersebut diambil tidak

dilakukan dengan acara sidang, dan tertutup kemungkinan untuk banding

atau dipertanyakan hasilnya. Jika perkawinan tersebut dilangsungkan

tanpa ada surat keterangan bebas dari rintangan maka perkawinan

campuarn tersebut dapat dikenai sanksi.

Berbagai persyaratan diatas bisa menjadi hambatan, lebih khusus

lagi hambatan tersebut akan semakin tampak bagi perempuan dari

golongan agama yang jelas-jelas melarang perkawinan dengan laki-laki

dari agama lain. 19

Proses persyaratan bisa dihambat oleh keluarga atau

lingkungannya yang sangat mempercayai keyakinan agama atau hukum

yang bertolak belakang dengan peraturan tersebut. Meskipun halangan

perkawinan yang dimaksud bukan halangan agama, melainkan

keterikatan dalam perkawinan lain atau dengan yang memiliki relasi

keluarga dan sebagainya, keluarnya surat keterangan tetap tidak akan

mudah. Dengan demikian staatblaad 1898-158 ini menjamin terjadinya

pekawinan campuran (9suku, ras, agama, dan warga negara) peraturan

perkawinan campuran yang diatur dalam staadblaad 1898 nomor 158

dalam praktiknya masih menemukan kendala. Hal ini karena cara

pandang dan keyakinan terhadap nilai tertentu bahwa perkawinan beda

agama tidak dianjurkan. Namun, peraturan ini dapat dikatakan menjamin

perkawinan beda agama. Kebijakan ini sebetulnya menambah bibit

ketidaksukaan kelompok agama tertentu terhadap pemerintah Belanda

dan aturan-aturan yang dibuatnya.

Berbagai peraturan negara berkaitan dengan perkawinan beda agama

ternyata berbeda dari waktu ke waktu. Sejak mulai adanya kodifikasi

19

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat), 1986, h. 25

Page 75: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

65

sehingga berlakunya BW, negara menyatakan perbedaan agama tidak

boleh menjadi halangan perkawinan hal tersebut berlanjut dengan adanya

peraturan perkawinan campuran dalam staadblaad 1898 Nomor 158

hanya saja pada peraturan ini mulai terlihat ada hambatan yang tersirat.

Pembatasan tersebut implisit dengan adanya persyaratan yang sangat

ketat bagi perempuan yang akan menikah dengan golongan lain.

Selanjutnya, pada pengaturan negara yang terakhir di dalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hambatan menjadi

semakin membesar meskipun tidak ada pelarangan secara eksplisit

terhadap pihak-pihak untuk melakukan perkawinan beda agama, namun

interpretasi agama bagi pelaksana hukum sedemikian kuat untuk

menghalangi perkawinan beda agama.

Oleh karena itu pengaturan yang berbeda dapat ditarik benang merah

bahwa pada sebenarnya perkawinan beda agama adalah masalah yang

sepertinya tidak berkesudahanan tertutama pada saat ini. Pengaturannya

di dalam hukum tidak lebih untuk membatasi dan menghindarkan konflik

yang lebih luas di dalam masyarakat yang plural dimana ada pihak yang

sangat dominan dan memegang kuat nilai-nilainya tanpa kompromi dan

berusaha untuk memperkuat kebenaran yang dipegangnya. Hal ini pada

tingkat implementasi hukumnya menimbulkan masalah sebab dengan

adanya hambatan di tingkat penafsiran terhadap Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga tidak disahkannya

perkawinan beda agama, masih ada masyarakat yang tetap melakukannya

ddengan berbagai cara. Antara lain dengan melangsungkan perkawinan

nya di luar negeri dan banyak pula yang melakukan penyelundupan

hukum.

Page 76: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian pembahasan yang ditelah disampaikan

dalam bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat penulis berikan

adalah:

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang

perkawinan beda agama. Karena yang mengatur sahnya perkawinan

adalah agama. Sehingga apabila ada agama yang memperbolehkan

perbedaan agama maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan pada

Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama. Melalui perumusan

pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta

penjelasannya, ternyata telah menutup kemungkinan terjadinya

perkawinan beda agama dikalangan masyarakat. Kenyataannya ialah,

karena tidak ada pengaturan tentang perkawinan beda agama maka

prosedur tentang perkawinan beda agama pun tidak ada dalam hukum

perkawinan.

2. Pencatatan yang dilakukan oleh kantor catatan sipil tersebut sah sesuai

dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Namun, pengertian sah disini adalah diakui negara berdasarkan

perundang-undangan di negara dimana warga negara Indonesia

melangsungkan perkawinan dan di Indonesia. Dengan landasan

pemahaman tersebut, legalitas atas pencatatan perkawinan yang

dilakukan warga negara Indonesia di luar negeri tidak terdapat

persoalan secara hukum negara. Persoalan yang muncul justru berada

keabsahan menurut hukum agama masing-masing pasangan suami istri

tersebut, dimana norga agama mengatur sendiri ketentuan perkawinan

yang harus dilakukan dalam satu atap keimanan.

Page 77: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

67

3. Akta perkawinan yang dikeluarkan di luar negeri merupakan akta

otentik di Indonesia, walaupun tidak sesuai dengan hukum yang ada di

Indonesia karena telah dibuat secara sah oleh pejabat yang berwenang

dinegara tempat pasangan suami istri warga negara Indonesia berbeda

agama tersebut melangsungkan perkawinan.

B. Saran

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, penulis sampaikan saran

sebagaimana berikut ini:

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai hukum perkawinan

sekiranya harus dapat menampung gejala-gejala sosial yang ada di

masyarakat, khususnya tentang perkawinan beda agama. Kalau pejabat

negara mencermati kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat

bahwa perkawinan beda agama banyak terjadi maka sebaiknya pejabat

negara membuat ketentuan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan beda agama, bahwa sebenarnya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang perkawinan beda

agama, tetapi mengembalikan kepada hukum agama yang dianut oleh

kedua mempelai, apakah dalam hukum agama mereka perkawinan beda

agama dilarang atau tidak. Ketentuan ini berguna untuk mengatasi

pemahaman yang berbeda terhadap ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu, dengan adanya ketentuan

yang jelas tentang perkawinan beda agama, akan mengurangi

kesimpangsiuran mengenai pencatatan perkawinan beda agama. Hal ini

akan memudahkan pemerintah untuk melakukan proses administrasi

terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang dialami oleh warga negara

Indonesia.

2. Perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap rumusan sahnya

perkawinan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 56 ayat (1) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk menghindari adanya

kesalahpahaman mengenai keabsahan perkawinan

Page 78: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

68

3. Untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum perlu segera

dipercepat pembahasan dan pengesahan RUU tentang catatan sipil agar

adanya keseragaman hukum dalam pelaksanaan perkawinan di

Indonesia

4. Untuk mencegah terjadinya penyulundupan hukum dalam perkawinan

pasangan yang berbeda agama di luar negeri, maka diperlukan

peraturan mengenai sanksi atau ketegasan serta keseragaman dalam

penerapan peraturan perkawinan oleh pejabat yang berwenang sehingga

tidak terdapat kemungkinan penggunaan sarana ini sebagai upaya

penyimpangan hukum perkawinan

Page 79: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

69

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rafiq, Tanpa Tahun.Hukum Islam di Indonesia, dalam Baharuddin

Ahmad. Hukum Perkawinan di Indonesia.

Ahmad, Baharudin. 2008.Hukum Perkawinan di Indonesia: Studi Historis

Metodologis. Jambi: Syari’ah Press IAIN STS Jambi.

Asmin. 1985. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang

Perkawinan No. 1 tahun 1974. Jakarta: Dian Rakyat.

Badan Pengkajian Hukum Nasional Departemen Kehakiman. 1993. Laporan

Akhir Pengkajian Hukum tentang Perkawinan Campuran (dalam

Hukum Perdata Internasional). Jakarta: BPHN.

Darmabrata, Wahyono; dan Surini Ahlan Sjarif 2002. Hukum Perkawinan dan

Keluarga di Indonesia. Jakarta: Rizkita.

Djalil, Basiq. 2005. Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan

Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Qalbun Salim

Hadiono, Wiarawan. 1983. Perkawinan antar Agama dan antar Negara Sebagai

Suatu Permasalahan Hukum: Suatu Kajian Terhadap Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mimbar Hukum.

Harahap, Yahya. 1995-1996. Kompilasi Hukum Indonesia. Binpapera Departemen

Agama RI.

Hazairin. 1975. Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974. Jakarta: Tintamas.

Helim, Abdul. “Membaca Kembali Eksistensi Pencatatan Akad Nikah dalam

Perfektif Ushul Fikih,” http://abdulhelim.com, Diakses pada 20 Juni

2018.

Hidayat, Rachmat Taufik. “Masalah Hukum Kawin Campur”

www.pikiranrakyat.com/prcetak/122001/06/0801.htm+kawin+beda+ag

ama&hl=id. Diakses pada 14 Maret 2018

Page 80: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

70

Ihromi, T.o. 1976. “Hukum dan Keluarga: Pembahasan tentang Hubungan

Timbal Balik antara Hukum dan Keluarga dalam rangka Pengumpulan

Bahan-bahan untuk Usaha Pembaharuan Hukum.” Dalam Hubungan

Timbal Balik antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat.

Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Kusumawardhani, Irawati. 1998. Aspek-aspek Perkawinan Campuran: Suatu

Analis Dampaknya Terhadap Anak-anak. Yudishtira 2.

Mahkamah Agung. 1989. Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986.

Manar, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:

Kencana.

Mustika, Dian. “Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum Keluarga

di Dunia Islam,” http://online-journal-unja.ac.id, Diakses Pada 20 Juni

2018.

Nur, Djaman. 1993. Fiqh Munakahat. Semarang: CV Toha Putra Semarang.

Pasal 1, 2 dan 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun1974tentang Perkawinan.

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun1974tentang Perkawinan.

Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975tentang Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 33 ayat (2) KUH-Perdata/Burgelijk Wetboek

Pasal 3-5 Pengaturan Perkawinan Campuran.

Pasal 4 dan 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 56 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 70 Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2012.

Pasal 80-81 KUH-Perdata/Burgelijk Wetboek

Page 81: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

71

Prakoso, Djoko; dan I Ketut Murtika. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan di

Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Prawirohamidjojo. 1974. Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia. Surabaya: Airlangga Press.

Prodjodikoro, Wirjono. 1974. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur.

Puje, Gede. Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu.

Purbacaraka, Purnadi; dan Agus Brotosusilo. 1994. Sendi-sendi Hukum Perdata

Internasional: Suatu Orientasi. Jakarta: Rajawali Press.

Ramulyo, Idris. 1985. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Peradilan Agama

dan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Hill.co

Sachiko, Desi. “Menikah di Singapura; It’s So Simple!”.

http://www.desisachiko.com/2014/04/10/menikah-di-singapura-its-so-

simple/. Diakses Pada 13 April 2018

Sairin, Winata. Problematika Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia Dalam

Pengamatan PGI

Soekanto, Soerjono. 1980. Intisari Hukum Kekeluargaan. Bandung: Alumni

Bandung.

Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk

Mempelajari Hukum Adat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soimin, Soedharyo. 1996. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika.

Subekti, R. 1977. “Beberapa Hal yang Tidak Jelas dalam Undang-undang

Perkawinan.” Dalam Bunga Rampai Ilmu Hukum. Bandung:

Alumni Bandung.

Talib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press.

Ulfah, Maria; dan Martin Lukito. 2004. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama

Perspektif Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: Kapal Perempuan.

Umbara, Citra. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. PP Nomor 9 Tahun

1974. TLN Nomor 3019.

Page 82: PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42994/1/NURUL... · perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian

72

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk

Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-

undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 Nomor 22

tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh

daerah luar Jawa dan Madura

Vollmar, H.F.A. 1996. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum

Nasional;Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di

Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Yohanes, Paulus. Kitab Perjanjian Baru, Korintus I.