pencatatan perkawinan beda agama yang...
TRANSCRIPT
PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN
DI LUAR NEGERI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NURUL KHOMSAH
NIM: 1111044100093
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
v
ABSTRAK
NURUL KHOMSAH. NIM 1111044100093. Pencatatan Perkawinan Beda
Agama Yang Dilakukan Diluar Negeri, Program studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H / 2018 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pencatatan
perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri, pada penelitian ini
digunakan data primer penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai
dengan pemahaman deskriptif dan data sekunder yang mendukung penelitian ini.
Sedangkan untuk metode analisis, penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa akta perkawinan yang
dikeluarkan diluar negeri merupakan akta otentik di Indonesia, walaupun tidak
sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia karena telah dibuat secara sah oleh
pejabat yang berwenang dinegara tempat pasangan suami istri warga negara
Indonesia berbeda agama tersebut melangsungkan perkawinan.
Kata Kunci: Pencatatan perkawinan, Nikah beda agama, Nikah diluar negeri.
Pembimbing : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., MA., MH
NIP. 150326896
Daftar Pustaka : 1975-2018
teh syanti, teh euis, ka murni dan audhi yang begitu banyak membantu,
terima kasih atas doa dan dukungannya
9. Sahabat-sahabatku dwi, omen, akka, KUA Squad (Kiki, Uyung, Acul), bang
topik, obi dan ratna yang berkenan membantu dan meluangkan waktunya.
Iyang yang senantiasa mengubah kepenatan menjadi kebahagiaan.
10. Teman-teman di Program Studi Hukum Keluarga angkatan 2011, terutama
PAB 2011, yang telah menemani penulis selama menimba ilmu di
perkuliahan.
11. Dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian
skripsi ini baik dari moril maupun material yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.Semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt. Hanya untaian
kata terimakasih serta do’a yang dapat penulis berikan. Semoga semua pihak
yang telah memberikan semangat, motivasi, serta arahannya kepada penulis
senantiasa diberi kesehatan dan dalam lindungan Allah swt, diridhoi setiap
langkah kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat
kelak.
Jazakumullahu Khairul Jaza.
Ciputat, Juni 2018 M
NURUL KHOMSAH
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI…………………………………………iii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iv
ABSTRAK………………………………………………………………………..v
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ix
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..6
D. Metode Penelitian……………………………………………..7
E. Review Studi Terdahulu………………………………………9
F. Sistematika Penulisan………………………………………..11
BAB II : PENCATATAN PERKAWINAN DAN KEABSAHANNYA..13
A. Pengertian Perkawinan………………………………………13
B. Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974………………………………………………………….15
C. Syarat Sahnya Perkawinan…………………………………..17
D. Pencatatan Perkawinan Menurut Fiqh Konvensional………..21
ix
E. Pencatatan Perkawinan Menurut Perundang-undangan di
Indonesia..................................................................................22
BAB III : PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN NORMA AGAMA-AGAMA DI
INDONESIA.............................................................................26
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974…………………………………………………...26
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam..29
C. Perkawinan Menurut Norma Agama-agama di Indonesia…...30
D. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan……………………40
BAB IV :PENCATATAN PERKAWINAN DAN
KEABSAHANNYA...................................................................44
A. Alasan Sosiologis-Yuridis dalam Perkawinan Warga Negara
Indonesia di luar Negeri……………………………………..44
B. Legalitas Pencatatan Oleh Kantor Catatan Sipil Berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pelaksanaanya………………………………………………..49
C. Pencatatan Perkawinan Beda Agama Pasangan Warga Negara
Indonesia yang dilangsungkan di luar Negeri sebagai Akta
Otentik.....................................................................................54
D. Perkawinan Beda Agama: Hukum Kolonial dan
Kekinian……………………………………………………..57
x
BAB V : PENUTUP..................................................................................66
A. Kesimpulan..............................................................................66
B. Saran........................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….……..69
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat
mempengaruhi dalam merubah status hubungan satu sama lainnya dalam
kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan harus
dilakukan menurut ketentuan yang berlaku, sehingga keabsahan
perkawinan harus diakui seimbang oleh hukum agama dan hukum negara.
Sementara itu, masing-masing agama memiliki ketentuan yang harus
dipatuhi agar perkawinan tersebut diakui keabsahannya.
Fungsi perkawinan menurut Soerjono soekanto didasarkan atas
pertimbangan: (1) Suatu lembaga yang mengatur perilaku manusia
dibidang seks; (2) Suatu sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia akan
kawan hidup; (3) Suatu lembaga yang berisikan hak-hak dan kewajiban
mengenai hubungan suami-istri dan anak; (4) Sarana untuk mendapatkan
kedudukan sosial tertentu; (5) Sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia
akan harta benda; (6) Lembaga untuk memelihara hubungan baik antara
keluarga kekerabatan didalam masyarakat; (7) Sarana untuk mengadaptasi
asimilasi; (8) Lembaga untuk membentuk keluarga yang berfungsi sebagai
berikut: (a) Tempat mendapatkan proses sosialisasi; (b) Tempat berlindung
dimana manusia mencapai ketentraman; (c) Kesatuan sosial ekonomi.1
Oleh karena itu, Keluarga merupakan faktor penting sebagai
kesatuan terkecil dalam tatanan kehidupan bernegara. Dengan demikian,
pengaturan perkawinan yang jelas sangat diperlukan. Dengan adanya
keluarga yang kuat akan membentuk negara yang kuat.
1 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Kekeluargaan (Bandung: Alumni Bandung, 1980),
hal. 16
1
2
Lembaga perkawinan di Indonesia tersebut diatur dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Dalam pasal 1
dirumuskan pengertian perkawinan sebagai,“Ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Pengertian tersebut menjadikan perkawinan sebagai lembaga
hukum, sehingga didalamnya terdapat perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang menimbulkan hak dan kewajiban antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Sebagai suatu
perbuatan hukum akan timbul akibat hukum yaitu hubungan suami dan
istri, harta serta anak. Oleh karena itu, harus ada ketentuan hukum yang
mengatur perkawinan agar tercipta suatu kepastian hukum.
Sementara itu, menurut Hazairin, Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan merupakan hasil legislatif yang pertama
memberikan gambaran nyata mengenai kebenaran dasar asasi kejiwaan
dan kebudayaan “Bhineka Tunggal Ika” yang dicantumkan dalam lambang
Negara dan Undang-undang Dasar 1945, Selanjutnya dikemukakan
Undang-undang Perkawinan juga merupakan unifikasi yang unik dengan
menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan
kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Unifikasi tersebut bertujuan melengkapi segala apa yang tidak
diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan. Hal ini disebabkan dalam
aspek perkawinan negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman.3 Oleh karena itu,
pelaksanaan suatu perkawinan lazimnya sesuai dengan peraturan yang ada.
Namun, mengingat perkawinan merupakan suatu hak asasi setiap manusia,
yaitu dalam hal memilih pasangan hidup, perkawinan pada pasangan yang
2Pasal 1 dan 2, Undang-undang tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 tahun
1974, LN No. 1 tahun 1974, TLN No. 3019, 3Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974,
(Jakarta: Tintamas, 1975), hal. 5.
3
beda agama tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian sebagai warga
Negara yang memiliki dasar agama, hal tersebut adalah tidak sejalan
dengan tujuan perkawinanyang kekal abadi, dunia dan akhirat. Dengan
demikian pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan agama yang
diyakini maka akan melanggar aturan agama tersebut.
Berkaitan dengan adanya perkawinan pada pasangan yang
memiliki perbedaan agama, peraturan yang mendasari pelaksanaan
perkawinan tersebut tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini disebabkan dalam pasal
2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan,
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut agamanya dan
kepercayaannya.”
Selain itu, unsur agama tampak pula dalam ketentuan pasal 8 sub f
yang menentukan larangan pernikahan bagi pasangan yang mempunyai
hubungan, yang berdasarkan agama dilarang untuk melangsungkan
perkawinan. Dengan demikian, Undang-undang perkawinan
mengharuskan bahwa sahnya suatu perkawinan harus tetap dilaksanakan
menurut agama dan kepercayaan yang dianut. Setelah itu, baru dapat
dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo pasal 2-9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, perbedaan suku, adat
serta agama dianggap sebagai perbedaan antar hukum. Oleh karena itu,
perkawinan dianggap dalam kategori hukum antar golongan (Intergentie
Recht) atau yang populer disebut perkawinan campuran. Selain itu, ada
peraturan pemerintah Hindia Belanda yang disebut Regeling of de
Gemengde Huwelijken atau Gemengde Huwelijken’s Reglement (GHR)
atau peraturan mengenai perkawinan campuran. Dalam pasal 6 GHR
terdapat ketentuan yang menyatakan, “Perkawinan campuran
dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk si suami.”
4
Dengan demikian, dalam hal calon suaminya seorang Muslim,
sedangkan calon istri beragama Nasrani, perkawinan harus dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam.4
Namun, sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
khususnya pasal 66 yang mengatur perkawinan campuran dinyatakan:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bulgelijk Wetboek),
Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantia
Christen Indonesia s. 1933 Nomor 74), Peraturan perkawinan
campuran (Regeling op de Gemengde Huwalijken s. 1898 Nomor
158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.”5
Oleh karena itu perkawinan pada pasangan yang memiliki
perbedaan agama memiliki kendala dalam hal pengaturan pelaksanaan
perkawinan dan pencatatannya.
Pencatatan perkawinan di Indonesia dilakukan oleh Kantor Urusan
Agama bagi yang menganut agama Islam6 dan Kantor Catatan Sipil bagi
yang menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha dan
Hindu. Namun, kedua kantor pencatat tersebut sesuai dengan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, menolak melakukan pencatatan bagi
perkawinan pasangan yang memiliki perbedaan agama. Akhirnya,
berbagai cara ditempuh agar perkawinan yang “tidak sesuai” Undang-
undang Perkawinan itu tetap diakui Negara.7
4Rachmat Taufik Hidayat, “Masalah Hukum Kawin Campur”
www.pikiranrakyat.com/prcetak/122001/06/0801.htm+kawin+beda+agama, diakses 14 Maret
2018 5Pasal 66, Undang-undang tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
6Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 1954
7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006)
5
Dewasa ini banyak pasangan yang memiliki perbedaan agama
tersebut untuk mengatasi kesulitan pengesahan perkawinannya dengan
cara melakukan perkawinan di luarnegeri. Hal ini merupakan problematika
baru dalam hukum perkawinan di Indonesia. Problematika tersebut ialah
perkawinan antar agama yang dilakukan di luarnegeri tidak sesuai dengan
hukum Indonesia. Akan tetapi, pasangan tersebut tetaplah seorang warga
Negara Indonesia yang tunduk kepada hukum Indonesia dan hal itu
diperlukan suatu legalitas atau pencatatan perkawinan untuk kelangsungan
hidup keluarga di masa depan.
Dalam hal ini, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah
mengatur ketentuan mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar
Indonesia, yaitu dalam pasal 56 yang menyatakan:
1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan
warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
2) Dalam waktu 1 (satu) Tahun setelah suami istri itu kembali di
wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan
di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Dengan mendaftarkan diri pada ketentuan tersebut, dapat
ditafsirkan perkawinan pasangan yang berbeda agama yang dilakukan di
luarnegeri tetap dilihat sebagai perkawinan yang menyalahi ketentuan
hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sebagaimana pasal 56 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan “tidak
melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.” Sehingga
pelaksanaan perkawinan tersebut apakah dapat dinilai sebagai perbuatan
penyelundupan hukum. Dengan demikian, hal ini yang akan menjadi
pembahasan mengenai keabsahan dan aspek legalitas perkawinan beda
agama bagi pasangan warga negara Indonesia yang dilakukan di
luarnegeri.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Peraturan yang mendasari pelaksanaan perkawinan beda agama
tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Sehingga banyaknya warga negara Indonesia yang
melangsungkan perkawinannya di luarnegeri. Permasalahan tersebut
peneliti rumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang
perkawinan beda agama ?
2. Apakah pencatatan yang dilakukan oleh kantor catatan sipil tersebut
bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan? Dan apakah akta (tanda perkawinan) yang dikeluarkan
di luarnegeri dapat dijadikan sebagai akta otentik di Indonesia,
walaupun tidak sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian
dari skripsi ini adalah:
a. MenjelaskanUndang-undangNomor 1 Tahun 1974
tentangPerkawinan yang mengaturperkawinanbeda agama
b. Menjelaskan kesesuaian pencatatan yang dilakukan oleh kantor
catatan sipil tersebut bertentangan dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinandan menganalisa akta
(tanda pengesahan perkawinan) yang dikeluarkan oleh luar
negeri dapat atau tidak dijadikan sebagai akta otentik di
Indonesia
7
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan
pencerahan dan daya guna bagi pihak-pihak terkait, yakni sebagai berikut:
a. Pentingnya mahasiswa syariah dan hukum membaca skripsi ini
adalah diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata yang
berkaitan dengan hukum perkawinan
b. Karena problematika ini belum mendapatkan kepastian hukum
maka, skripsi ini diharapkan mampu menambah sumbangan
wacana pemikiran serta motivasi kepada pejabat hukum agar
lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan dalam kehidupan
masyarakat, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat
umum sehingga dapat mengurangi bahkan mencegah
penyulundupan hukum yang dilakukan masyarakat akibat dari
kurang atau tidak mengetahui hukum positif yang berlaku di
Indonesia dan kurang memahami ajaran agamanya masing-
masing
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
kualitatif karena metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode
kuantitatif.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder seperti
peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum,
dan berupa pendapat para sarjana.
8
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, khususnya yang
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan,
Dari segi sifatnya penlitian ini termasuk dalam penelitian yang
berbentuk deskriptif
2. Jenis Data dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa
deskripsi pencatatan perkawinan beda agama
b. Sumber Data
Adapun data-data yang dipergunakan dalam penelitian
adalah data primer yang ditunjang oleh data sekunder, meliputi
peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan. Bahan
hukum sekunder yang berupa buku dan artikel mengenai
perkawinan dan beberapa bahan hukum tersier seperti kamus
hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis mengunakan dua metode,
yaitu:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tertulis
dengan cara membaca buku-buku, artikel dan sebagainya yang
ada kaitannya dengan masalah yang penulis teliti.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Wawancara dengan narasumber atau informan yaitu orang
yang memberikan informasi karena jabatannya atau keahlian nya,
metode ini digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisa
9
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian ini
dilakukan secara kualitatif. Metode kualitatif ini berarti yaitu tata
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analistis yaitu
apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan
yang nyata kemudian diteliti sebagai sesuatu yang utuh
5. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017”.
E. Review Studi Terdahulu
1. Analisa Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis Tentang
Perkawinan Beda Agama oleh Anh Robban mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Skripsi
2011. Secara umum permasalahan yang dibahas didalam penelitiannya
adalah mengkaji lebih dalam tentang konsep perkawinan beda agama
yang diusung oleh kalangan feminis dan untuk mengetahui latar
belakang mengenai pemikiran tersebut sedangkan pada skripsi ini,
membahas apakah akta perkawinan yang dikeluarkan di luar negeri
merupakan akta otentik di Indonesia walaupun tidak sesuai dengan
hukum yang ada di Indonesia
2. Analis Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia setelah
Berlakunya Undang-undang Administrasi Kependudukan Nomor 23
Tahun 2006 oleh Ainur Rahman mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Skripsi 2014. Secara
umum permasalahan yang dibahas didalam penelitiannya adalah untuk
mengetahui sejauh mana berlakunya Undang-undang Administrasi
Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 sedangkan pada skripsi ini,
membahas kesesuaian pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh
10
kantor catatan sipil tersebut bertentangan dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Relasi Agama dan Negara (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi
tentang Poligami dan Nikah Beda Agama) oleh Mhd Yazid
mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun
Tesis 2017. Secara umum permasalahan yang dibahas didalam
penelitiannya adalah bagaimana kecenderungan putusan pertimbangan
masalah hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara poligami dan
nikah beda agama? Dan bagaimana putusan merefleksikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia? Sedangkan pada skripsi ini
membahas tentang Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai
hukum perkawinan sekiranya dapat menampung gejala-gejala sosial
yang ada di masyarakat, khususnya tentang perkawinan beda agama.
4. Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Kantor Urusan Agama (KUA)
(Studi Kasus Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak) oleh Aqib
Maimun mahasiswa fakultas syari’ah dan hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun Skripsi 2010. Secara umum permasalahan
yang dibahas didalam penelitiannya adalah bahwa hukum pernikahan
beda agama menurut fiqh klasik itu adalah Ikhtilaf dalam fiqh, dalam
arti kalau laki-lakinya Islam perempuannya Non Muslim ada yang
mengatakan boleh dan ada juga yang mengatakan tidak boleh menurut
para ulama. Sedangkan kalau laki-lakinya Non Muslim wanitanya
Muslimah, para ulama sepakat perkawinan itu haram hukumnya.
Sedangkan pada skripsi ini membahas tentang Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan beda agama karena
yang mengatur sahnya perkawinan adalah agama.
11
F. Sistematika Penulisan
Dalam membahas skripsi ini, penulis membagi kedalam lima bab.
Pada tiap bab terdapat sub-sub bab. Maka dari itu, dalam penulisan skripsi
ini penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I merupakan Pendahuluan. Dalam bab ini, penulis
menguraikan hal-hal yang terkait dengan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka teori dan konseptual, review studi terdahulu, metodologi
penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang pencatatan perkawinan menurut
peraturan perundang-undangan Indonesia dan fikih konvensional. Dalam
bab ini akan diuraikan secara jelas mengenai pengertian perkawinan,asas-
asas perkawinan dalam Undang-undangNomor 1 Tahun 1974, syarat sah
perkawinan, pencatatan perkawinan menurut fikih konvensional dan
pencatatan perkawinan menurut perundang-undangan di Indonesia.
Bab III menguraikan perkawinan beda agama menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan norma Agama-
agama di Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perkawinan
beda agama menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
beda agama menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan beda agama
menurut norma Agama Islam, perkawinan beda agama menurut norma
Agama Katolik, perkawinan beda agama menurut norma Agama Protestan,
perkawinan beda agama menurut norma Agama Hindu, perkawinan beda
agama menurut norma Agama Budha dan pencegahan dan pembatalan
perkawinan.
Pada bab IV diuraikan mengenai pencatatan perkawinan dan
keabsahannya. Dalam bab ini akan diuraikan alasan sosiologis-yuridis
dalam perkawinan warga Negara Indonesia di luar Negeri, legalitas
pencatatan perkawinan di luar negeri oleh Kantor Catatan Sipil
berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan
pelaksanaannya, serta pencatatan perkawinan beda agama bagi pasangan
12
warga negara Indonesia di luar negeri sebagai akta otentik dan Perkawinan
beda agama hukum kolonial dan kekinian.
Bab V merupakan Penutup. Bab penutup ini mencakup
kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-
bab sebelumnya serta saran-saran yang dapat penulis sampaikan dalam
penulisan skripsi ini.
BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN FIKIH KONVENSIONAL
A. Tinjauan Umum Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa yang mempengaruhi status
hukum kehidupan seseorang. Oleh karena itu, ketentuan yang berkaitan
dengan perkawinan harus dipatuhi, sehingga perkawinan tersebut dapat
dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama maupun hukum
negara.
Perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis
dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu. Perkawinan ialah suatu
ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita. Bagaimana pun juga
suatu perkawinan yang sukses tidak diharapkan dari mereka yang masih
kurang matang, baik dari fisik maupun mental emosional, melainkan
menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan
mental. Untuk itu suatu perkawinan haruslah dimasuki dengan persiapan
yang matang.1
Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa
disertai oleh persiapan yang matang untuk melanjutkan proses penelusuran
kehidupan, akan mengalami banyak kelemahan karena hanyalah cinta
yang bertolak dari pemikiran sederhana dan terjajah oleh dominasi
emosional, karena perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal
dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia.2
Berdasarkan definisinya, banyak para ahli mengemukakan
pengertian perkawinan tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini:
1Djoko Prakosodan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia ,Cetakan
pertama, (Jakarta: BinaAksara, 1987), h. 2 2Djoko Prakosodan I KetutMurtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.3
14
1. Wirjono Prodjodikoro merumuskan bahwa perkawinan adalah “suatu
hidup bersama dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam suatu peraturan.”3
2. Sayuti Talib mengemukakan perkawinan sebagai “suatu perjanjian
yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga
yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan
bahagia.”4
3. R. Subekti menyatakan perkawinan merupakan “pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk waktu yang
lama.”5
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merumuskan perkawinan
sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, yang bhagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan dengan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral dalam hubungan
seorang pria dan wanita dan tidak terlepas dari keyakinan atau agama.
Anggapan ini muncul mengingat secara kultural, pasangan suami istri akan
melangsungkan perkawinannya atas dasar norma agama dan norma
adatnya.
Di Indonesia norma agama yang mempengaruhi pelaksanaan
perkawinan didominasi oleh lima agama utama, yaitu Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Budha, dan Hindu. Kelima agama tersebut
memiliki peraturan perkawinan yang berbeda agama satu sama lain dan
akan mempengaruhi pelaksanaan perkawinan dan keabsahannya menurut
norma agama yang dianut. Dengan demikian, proses perkawinan yang
berbeda agama cenderung menimbulkan permasalahan hukum atas sah
3WirjonoProdjodikoro, HukumPerkawinan di Indonesia (Bandung: Sumur, 1974), h. 7.
4SayutiTalib, HukumKekeluargaanIndonesia(Jakarta: UI Press, 1986), h. 47.
5R. Subekti, Pokok-pokokHukumPerdata(Jakarta: PT Intermusa, 1983), h. 23.
15
atau tidaknya suatu perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b. Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974
Perkawinan memerlukan ketentuan yang menjadi dasar dari
pelaksanaan perkawinan, sehingga Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
memiliki prinsip dasar yang melandasi perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan memperhatikan unsur agama / kepercayaan
Unsur agama ini terdapat pada ketentuan pasal 1, 2 ayat (1), 8 sub f
dan pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam
keempat bab tersebut penekanan aspek agama sebagai suatu faktor
yang harus diperhatikan dalam pengaturan suatu perkawinan. Dengan
demikian, Undang-undang perkawinan menjadikan agama sebagai
aspek dasar yang penting dalam pelaksanaan perkawinan.6
2. Perkawinan memperhatikan unsur biologis / jasmaniah
Unsur biologis ini terkait dengan keturunan, kesiapan fisik dan umur
menikah. Hal ini disebabkan perkawinan menimbulkan suatu ikatan
antara pria dan wanita dimana hal tersebut tidak terlepas dari unsur
biologis/jasmaniah. Oleh karena itu, Undang-undang perkawinan
menjadikan hal tersebut sebagai prinsip dasar yang tertuang dalam
ketentuan pasal 4 ayat (2) dan pasal 7.7
6Pasal 1,2dan 51,Undang-undang tentangPerkawinan, Undang-undangNomor 1 tahun 1974.
7Pasal 4 dan 7.Undang-undangtentangPerkawinan, Undang-undangNomor 1 tahun 1974.
16
3. Perkawinan memperhatikan unsur sosiologis
Dalam kehidupan berumah tangga, suami istri tidak akan terlepas dari
masalah keturunan, dengan demikian, perkawinan akan terkait dengan
pertumbuhan penduduk yang merupakan salah satu masalah sosial.8
4. Perkawinan memperhatikan atau berdasarkan hukum (aspek yuridis)
Unsur yuridis adalah unsur yang secara otomatis / dengan sendirinya
ada karena suatu perkawinan yang dimaksud oleh Undang-undang
harus dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang itu sendiri.
5. Perkawinan pada hakikatnya berlangsung kekal / abadi
Unsur kekal abadinya perkawinan, tercermin dari definisi pengertian
perkawinan, dimana disebutkan bahwa perkawinan merupakan
persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wnita, yang
bermaksud untuk membentuk persekutuan hidup yang kekal dan
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip kekal
abadinya perkawinan, merupakan unsur yang univesal bahkan dalam
berbagai pengaturan hukum perkawinan di dunia, diartikan dalam arti
yang sebenarnya karena perceraian tidak dimungkinkan.9
6. Perkawinan berdasarkan pada asas monogami.10
Undang-undang perkawinan mengandung asas monogami dalam suatu
perkawinan. Asas tersebut dapat terlihat pada pasal 3 ayat (1) dan pasal
9, yaitu bahwa pada saat yang bersamaan seorang pria hanya dapat
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya dapat mempunyai
seorang suami.
8
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia (Jakarta: Rizkita, 2002), h. 10.
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia 9h. 11
10.Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, h. 7.
17
B. Syarat Sahnya Perkawinan
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dinyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Sementara itu, dalam
penjelasan pasal 2 ayat (1) menerangkan, “Dengan perumusan pada pasal
2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Berkaitan dengan hal tersebut Prof. Hazairin menafsirkan hukum
yang berlaku menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan
hukum agama dan kepercayaannya bagi masing-masing pemeluknya.
Dalam hal ini hukum agama memegang peranan penting dalam
menentukan perkawinan tersebut. Dengan demikian, bagi umat Islam tidak
ada kemungkinan untuk melanggar hukum agamanya sendiri dalam
melaksanakan perkawinan begitu pula dengan agama yang lainnya.11
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan perkawinan harus
dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing
pemeluknya. Hal ini berarti syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terlepas dari ketentuan
agama. Hal ini sesuai dengan tujuan unifikasi Undang-undang perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, yaitu melengkapi hal-hal yang tidak diatur dalam
hukum agama dan kepercayaan, dimana negara dalam hal ini berhak
mengaturnya.
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat materiil dan formil. Syarat materiil
adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan diri pribadi calon mempelai.
11
Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta:
Tintamas, 1975) h. 5-6
18
Sementara itu, syarat-syarat formil berkaitan dengan tata cara yang harus
dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan.
Syarat-syarat materiil yang berlaku umum yang terdapat pada
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah:
1. Pasal 6 ayat (1), harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai
2. Pasal 7 ayat (1), usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
wanita berumur 16 tahun
3. Pasal 9, tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (kecuali dalam
hal yang diizinkan oleh pasal 3 ayat 2 dan pasal 4)
4. Pasal 11 jo pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,
yaitu:
a. 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian
b. 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia
masih haid
c. 90 hari, bila putus karena perceraian, tetapi tidak haid
d. Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan
hamil
e. Tidak ada waktu tunggu bila belum pernah terjadi hubungan
kelamin
f. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu
perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena
kematian
Syarat-syarat materiil yang berlaku khusus, yaitu syarat bagi
perkawinan tertentu saja dan meliputi:
1. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
pasal 8, 9, dan 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menentukan larangan perkawinan antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan kebawah ataupun keatas
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping
19
c. Berhubungan semenda
d. Berhubungan susuan
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang seorang suami beristri lebih dari
seorang
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin12
g. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal
tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (Pasal 9)13
h. Untuk perkawinan yang ketiga kalinya, namun telah bercerai untuk
kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya tidak menentukan lain14
2. Izin dari kedua orang tua mereka yang belum berumur 21 tahun. Bila
salah satu orang tua telah meninggal, izin dapat diperoleh dariorang tua
yang masih hidup. Bila itu pun tidak ada, dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus keatas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila
orang-orang tersebut tidak ada atau tidak mungkin dimintai izinnya
(Pasal 6 ayat 2-5)
Syarat-syarat formil (Tata cara perkawinan) yang berkaitan dengan
sahnya suatu perkawinan diatur dalam pasal 3-11 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatatsipil
Pemberitahuan kehendak tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10
hari kerja sebelum perkawinan dilaksanakan, dilakukan secara lisan
oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya serta memuat nama,
umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai
12Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
13Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4-9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
14 Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
20
dan nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah
kawin.15
2. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan
Hal tersebut dilakukan apabila pegawai pencatat pernikahan telah cukup
meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah
tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman akan ditempelkan
pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum
dan ditandatangani oleh pegawai pencatat. Pengumuman memuat data
pribadi calon mempelai serta hari, tanggal, jam dan tempat akan
dilangsungkannya perkawinan.16
3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya masing-masing
Dalam hal ini diperlukan sepuluh hari setelah pengumuman dilakukan,
baru setelah itu perkawinan dapat dilaksanakan. Tata cara perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dihadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri oleh
dua orang saksi.17
4. Pencatatan perkawinan dimulai sejak pemberitahuan kehendak untuk
melangsungkan perkawinan dan berakhir sesudah dilangsungkan
perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan itu, yaitu pada saat
akta perkawinan selesai ditandatangani oleh kedua mempelai, kedua
saksi dan pegawai pencatat nikah
5. Untuk memberikan kepastian hukum, kedua mempelai diberikan
kutipan akta perkawinan sebagai alat bukti
15
Pasal 3-5.Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. 16
Pasal6,7 dan 9, Undang-undangNomor 1 tahun 1974 Pasal 8 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1954. 17
Pasal 10, Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
21
C. Pencatatan Perkawinan Menurut Fikih Konvensional
Perkawinan menurut hukum Islam yaitu sebuah ikatan atau akad
yang sangat kuat (misaqan galizan)18
antara pria dan wanita. Kesadaran
terhadap makna akad ini memberikan kontribusi yang besar dalam
membentuk terwujudnya hubungan suami istri yang bahagia dan kekal
berdasarkan syariat agama. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang
akan melangsungkan perkawinan harus memperhatikan prosedur-prosedur
akad nikah, baik ketentuan dalam hukum Islam maupun ketentuan resmi
yang diberlukan pada masyarakat muslim Indonesia berupa Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hukum Islam secara eksplisit tidak mengatur tentang pencatatan
perkawinan, kecuali hal yang berhubungan dengan muamalah dianjurkan
oleh Al-qur’an supaya dicatat.
Para imam mazhab pun tidak membahas pula masalah pencatatan
perkawinan, selain tidak ada dalil yang menganjurkan, juga pencatatan
perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting sekaligus belum
dijadikan bukti otentik terhadap sebuah perkawinan.19
Mereka hanya
menetapkan 5 rukun perkawinan: calon mempelai wanita, calon mempelai
pria, wali nikah, dua orang saksi, dan sighat ijab qabul. Ketentuan ini
berimplikasi pada maraknya praktik nikah sirri atau nikah “bawah tangan”
di Indonesia.
18
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1 (Semarang:CV. Toha Putra Semarang, 1993), h.
5. 19
Baharudin Ahmad, Hukum Perkawinan di Indonesia: Studi Historis Metodologis, cet. Ke-1
(Jambi: Syari’ah Press IAIN STS Jambi, 2008), h. 80
22
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mensahkan pernikahan
sirri, karena sebagai warga negara Indonesia dituntut untuk menjadi waga
negara yang baik dan mentaati perundang-undangan yang berlaku. Karena
itu, orang yang melakukan nikah sirri dalam pandangan perundang-
undangan tetap disamakan dengan orang yang melakukan hubungan di
luar nikah.
D. Pencatatan Perkawinan Menurut Perundang-undangan di Indonesia
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur dua syarat
perkawinan, yaitu: Pertama, syarat materil, dan kedua syarat administratif.
Syarat-syarat materil adalah syarat yang melekat pada setiap rukun nikah.
Baik yang diatur dalam fikih maupun yang diatur dalam perundang-
undangan. Sedangkan syarat administratif adalah syarat yang berhubungan
dengan pencatatan pekawinan.20
Kaitannya dengan pencatatan perkawinan
disebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.21
Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, “Pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam,
dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk”.22
20
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, dalam Baharuddin Ahmad. Hukum Perkawinan
di Indonesia, h. 11. 21
Pasal 2 ayat (2) 22
Pasal 2 ayat (1)
23
Tujuan aturan-aturan pencatatan perkawinan tersebut untuk
menjamin tertibnya penyelenggaraan akad nikah, dan yang lebih utama
mellindungi kepentingan-kepentingan suami istri ketika menjalani
kehidupan berumah tangga. Suami istri dapat membuktikan bahwa mereka
adalah pasangan yang legal di mata hukum Islam maupun di mata Negara
dan berhak pula mendapatkan perlindungan Negara baik berkaitan dengan
identitas seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga,
Pasport, Akta Kelahiran Anak, ataupun berkaitan dengan politik yaitu
berhaknya memberikan suara ataupun dipilih pada pemilihan umum.23
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas mangatur
ketentuan pencatatan perkawinan. Pada pasal 2 ayat (2) Undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku. Dian Mustika menyatakan bahwa
walaupun masalah pencatatan perkawinan ini hanya diatur oleh satu ayat,
namun masalah pencatatan itu sangat dominan. Hal ini nampak jelas dalam
tata cara perkawinan yang semuanya berhubungan dengan pencatatan.24
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan pada pasal 3 ayat 1 dinyatakan:
“Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan”.
23
Abdul Helim, “Membaca Kembali Eksistensi Pencatatan Akad Nikah dalam Perfektif
Ushul Fikih,” http://abdulhelim.com, Diakses pada 20 Juni 2018 24
Dian Mustika, “Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum Keluarga di Dunia
Islam,” http://online-journal-unja.ac.id, Diakses Pada 20 Juni 2018
24
Khusus bagi umat Islam di Indonesia, pencatatan perkawinan
diatur secara tersendiri dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 yang
menyatakan:25
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam,
setiap perkawinan harus dicatat
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954.
Selanjutnya pada pasal 6 ditegaskan:
1. Untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Seiring kemajuan administrasi dan ketatanegaraan, bentuk
pangakuan dan jaminan di masa sekarang muncul dalam bentuk tulisan
berupa akta nikah.
25
Tim Citra Umbara, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam, cet, ke-7 (Bandung: Citra Umbara, 2011), h. 229
25
Dari beberapa ketentuan yang telah dikemukakan, terlihat bahwa
pencatatan perkawinan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan
ini bersifat prosedural dan administratif.
BAB III
PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN NORMA
AGAMA- AGAMA DI INDONESIA
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam melangsungkan perkawinan harus
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan agar perkawinan yang
terjadi adalah merupakan suatu perkawinan yang sah. Sahnya perkawinan
dapat ditinjau dari 2 segi, yaitu segi hukum positif dan segi hukum agama.
Segi hukum positif dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut Undang-undang
Perkawinan. Pengertian perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 yaitu “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1
Dari segi hukum agama dalam hal ini hukum Islam sesuai dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yang menyebutkan bahwa perkawinan
adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan Gholiidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan beda agama merupakan perkawinan diantara dua orang
yang tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan agama. Problem
yuridis terjadi berkenaan dengan perkawinan beda agama tersebut setelah
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
memang tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit.
1Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
27
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari suku, agama, ras dan
kebudayaan yangbersifat kompleks. Keanekaragaman tersebut dapat
memungkinkan akan terjadinya perkawinan antara dua warga yang berbeda
agama. Hal tersebut dapat menimbulkan persoalan di bidang hukum
khususnya hukum perkawinan. Indonesia memiliki agama yang beragam,
sehingga sering kali terjadi perkawinan beda agama di dalam masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.2
Pada pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dinyatakan
bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan
dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya.3 Jadi, Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan
antar agama tidak dapat dilakukan.
Adapun Mahkamah Agung dalam yurispudensinya tanggal 20 Januari
1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan
beda agama adalah bahwa perkawinan beda agama dapat diterima
permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang
berwenang untuk melangsungkan permohonan perkawinan beda agama.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan
dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama dapat
dilakukan di luar negeri. Berdasarkan pasal 56 Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri dapat dilakukan oleh
sesama warga negara Indonesia dan perkawinan antar pasangan yang beda
agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara dimana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami istri itu kembali ke
Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan
2 Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
3 Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975
28
dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Artinya, perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan suami istri
yang beda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta
perkawinan.4
Ada beberapa interpretasi yang berkembang dengan tidak diaturnya
perkawinan beda agama di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Interpretasi tersebut tersebut yaitu, tidak diaturnya perkawinan beda agama
dengan demikian tidak ada larangan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan beda agama sepanjang institusi agama dimana calon
mempelai mengijinkan perkawinan beda agama maka perkawinan itu dapat
dilangsungkan dan kemudian dicatatkan. Interpretasi ini kurang populer
terutama karena pada kenyataannya interpretasi yang lebih menguat adalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 melarang perkawinan beda agama.
Menguatnya interpretasi ini karena pada kenyataannya banyak pihak yang
melakukan perkawinan beda agama pada umumnya sulit menemukan institusi
agama yang bersedia menikahkan pasangan tersebut. Jika ada pasangan yang
kemudian disahkan oleh institusi agama dalam perkawinan beda agama,
masalahnya kemudian akan ditolak pencatatannya oleh petugas catatan sipil.
Interpretasi kedua adalah perkawinan beda agama tidak dibolehkan.
Interpretasi ini bersandar pada pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jika dilihat sejarah munculnya pasal ini sebagai pasal kompromi
memang tidak salah jika dikatakan ada pagar yang sengaja dibuat untuk
menghindari perkawinan beda agama dengan berbagai alasan tafsir agama.
Pada umumnya ada keyakinan agama (interpretasi agama-agama) yang
menyarankan pemeluknya untuk menikah dengan seseorang yang satu
keyakinan. Interpretasi ini yang tampaknya menjadi alasan bagi si petugas
catatan sipil dan pemerintah pada umumnya tidak mau mencatatkan
4Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 27
29
perkawinan beda agama. Pagar atau rambu-rambu yang sama pun diberikan
kepada perkawinan campuran antar negara5
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Menurut para penyusun Kompilasi Hukum Islam ketika melangkah
pada arah upaya penyusunan ada beberapa prinsip yang ditetapkan. Pertama,
Kompilasi Hukum Islam merupakan awal pembaharuan hukum Islam di
Indonesia dalam menyongsong hari esok. Kedua, Perjalanan sejarah bangsa
Indonesia pada umumnya dan masyarakat Islam khususnya masih jauh,
karena didasari keterbatasan kemampuan untuk berbuat sempurna. Ketiga,
hasil rumusan dan sistematika Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai Trail
Solving (mencoba memecahkan) kebekuan masa kini. Generasi akan datang
dapat menilai dan berusaha ke titik final walau tidak akan pernah kesana
hingga akhir zaman.Keempat, Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil
karya nilai yang dikandungnya memiliki nilai warisan untuk generasi yang
akan datang.6
Ketentuan hukum mengenai perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam adalah bagian yang terpenting karena sangat berimplikasi pada
keluarga, harta dan kekayaan suami istri.
Ada tiga hal yang dibolehkan dalam fiqh sekalipun dalam kadar
ikhtilaf, oleh Kompilasi Hukum Islam dikembangkan dengan kaidah
Maslahah Mursalah. Pertama, kebolehan yang bersifat ikhtilaf ditetapkan
seperti sebagai ketentuan yang boleh. Seperti kawin perempuan hamil dengan
laki-laki yang menghamilinya. Kedua, kebolehan yang bersifat ikhtilaf,
ditetapkan sebagai larangan seperti menikah dengan wanita ahli kitab. Ketiga,
kebolehan yang dibatasi dengan memperluas persyaratan, seperti poligami.7
5 Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 109. 6 Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Binpapera Departemen Agama RI,
1995-1996, Jakarta, h. 297 7Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 339
30
Mengenai perkawinan beda agama Kompilasi Hukum Islam
menempatkan pada larangan perkawinan. Yang menyinggung perkawinan
beda agama ada dua pasal, yakni pasal 40 (c) dan pasal 44.
Pasal 40 (c) menyatakan “Dilarang melangsungkan perkawinan antara
pria dan wanita karena keadaan tertentu : (c) Seorang wanita yang tidak
beragama Islam”. Pada pasal 44 menyatakan “Seorang wanita Islam dilarang
melangsungka perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang Islam menikah
dengan orang yang bukan beragama Islam, tanpa membedakan laki-laki atau
wanita dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah.8
C. Perkawinan Menurut Norma-normaAgama di Indonesia
a. Perkawinan Menurut Agama Islam
Pengertian perkawinan menurut agama Islam adalah suatu
perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
anatar seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga
yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram bahagia
dan kekal.9
Perkawinan disyariatkan oleh Islam dapat dilihat dari tiga sudut
pandang, yaitu hukum, sosial dan agama. Berdasarkan sudut hukum,
perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat sebagaimana
disebut dalam Al-qur’an surat An-nisa: 21.
ى و ض ف أ د ق و ه و ذ خ أ ف ت ي اك يظ ل ا غ اق يث ن ه ك ى ه ذ خ أ ض و ع ى ب ل إ ن ك ض ع ب
Artinya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
8Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Qalbun Salim), h. 145. 9Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum
Perkawinan Islam (Jakarta: Ind. Hill.co., 1984/1985), h. 174.
31
Sementara itu, berdasarkan sudut sosial, perkawinan merupakan
sarana untuk meningkatkan status seseorang dalam masyarakat. Sedangkan
menurut sudut agama, perkawinan dianggap sebagai lembaga suci sebab
pasangan suami istri itu dihubungkan dengan menggunakan nama Allah
(dalam Al-qur’an Surat An-nisa Ayat1).10
ث ب ا و ه ج و ا س ه ق ه ل خ ة و د ح ا فس و ي ن ه ك ق ل ي خ ذ ل ن ا ك ب ىا ر ق ت اس ا ل ا ا ه ي أ ا ي
ذ ل ا ىا للا ق ات و ء ا س ا و يز ث ال ك ج ا ر و ه اى ه ك ى للا إ ام ح ر ل ا ه و ىى ب ل اء س ي ت
ا يب ق ن ر ك ي ل ع
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.
Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam adalah
dengan memenuhi rukun dan syarat. Rukun adalah unsur pokok yang
harus dipenuhi, sedangkan syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap
perbuatan hukum. Agama Islam menentukan sahnya akad nikah apabila
memenuhi tiga macam syarat yaitu:
1. Dipenuhinya rukun nikah
Merupakan hakikat perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah
tidak terpenuhi, tidak akan terjadi suatu perkawinan, rukun nikah terdiri
atas:
a. Adanya calon mempelai laki-laki dan wanita
b. Adanya wali bagi calon mempelai wanita
c. Adanya ada dua orang saksi
d. Adanya mahar atau mas kawin
10Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 28.
32
e. Akad nikah, yaitu ijab dari wali mempelai wanita atau wakilnya dan
qabul dari mempelai laki-laki
2. Dipenuhi semua syarat-syarat nikah
Syarat nikah ini dapat digolongkan kedalam syarat materiil dan harus
dipenuhi agar dapat melangsungkan pernikahan. Adapun syarat-syarat
perkawinan adalah:
a. Adanya persetujuan dari kedua calon suami istri dan dari wali calon
istri
b. Beragama Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya
c. Tidak ada hubungan semenda
d. Tidak ada hubungan sesusuan
e. Tidak ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat
f. Calon istri tdak terikat dalam suatu tali perkawinan
3. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang telah
ditentukan oleh syariat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk sahnya suatu perkawinan
menurut agama Islam salah satunya adalah tidak adanya perbedaan agama
diantara kedua calon pengantin. Hal ini merupakan suatu hal prinsip yang
berlaku bagi umat Islam.
b. Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik
Gereja katolik merumuskan perkawinan sebagai perjanjian
perkawinan dimana pria dan wanita membentuk antara mereka
kebersamaan seluruh hidup. Dari sifat kodratinya terarah pada
kesejahteraan suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan. Oleh Kristus
Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat
sakramen. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa
perkawinan menurut agama Katolik bersifat monogami, kekal, dan
33
sakramental.11
Sahnya perkawinan menurut agama Kristen Katolik adalah
pernikahan yang dilakukan, diteguhkan, dan diberkati oleh pejabat gereja.
Syarat yang harus diperhatikan oleh umat Katolik yang ingin
melangsungkan pernikahan, adalah sebagai berikut:
a. Calon mempelai sudah mengerti makna penerimaan sakramen
perkawinan beserta akibat-akibatnya
b. Tidak berdasarkan paksaan
c. Pria sudah berumur 16 tahun dan wanita berumur 14 tahun
d. Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain
e. Beragama Katolik
f. Tidak ada hubungan darah yang terlampau dekat
g. Tidak melanggar larangan perkawinan
h. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan
maksudnya kepada pastor paroki, pihak wanita atau pihak pria bila
calon istri tidak beragama Katolik
i. Pernikahan dilakukan menurut aturan gereja Katolik, yaitu harus
dihadapan ordinaries wilayah atau pastor-pastor atau imamdiakon yang
diberi delegasi oleh salah satu dari mereka untuk meneguhkan
perkawinan tersebut
j. Harus disaksikan oleh 2 orang saksi
k. Setelah perkawinan menurut agama selesai pernikahan tersebut
haruslah dicatatkan di kantor catatan sipil.12
Mengenai perkawinan lintas agama antara orang Katolik dan Non
Katolik memandang perbedaan itu merupakan suatu larangan untuk
melangsungkan suatu perkawinan. Karena itu gereja melarang kawin
dengan yang tidak beragama Katolik, baik laki-laki maupun
11Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 35. 12Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, h. 37.
34
permepuan. Larangan itu salah satunya tidak dibaptis dan akibatnya
perkawinan itu tidak sah.13
Perkembangan selanjutnya larangan itu tidak mutlak lagi karena
kemungkinan peluang diberikan dispensasi oleh uskup setempat.
Bahkan bukan saja diperlunak tapi dapat juga dilakukan pemberkatan
dalam suatu kebaktian menurut tata cara peneguhan kanonik gereja.14
Gereja melihat bahwa perkawinan antara seorang katolik dan yang
bukan katolik tidak diharapkan dan tidak dilihat sebagai yang
seharusnya. Hanya saja apa yang tidak dinginkan tidak dapat
sepenuhnya terlaksana. Dengan semakin terbukanya hubungan sosial
dalam masyarakat maka tidak mungkin lagi membatasi hubungan antar
pribadi yang memungkinkan tumbuhnya cinta diantara mereka. Dengan
kata lain, siapa pun tidak dapat menghalangi orang untuk jatuh cinta
yang memungkinkan untuk diikat dalam tali perkawinan dan tidak juga
gereja Katolik.
Secara prinsip perkawinan beda agama ataupun beda gereja tidak
diinginkan, akan tetapi apabila sudah menjadi keputusan pihak yang
bersangkutan maka gereja Katolik membuka kemungkinan untuk
meneguhkannya secara gerejani dengan syarat-syarat tertentu. Sikap
semacam ini perlu diambil demi pihak Katolik yang hak-haknya
sebagai warga Gereja perlu dilindungi sehingga ia dapat melaksanakan
kehidupannya sebagai seorang Katolik secara penuh. Bagi setiap orang
Katolik, pernikahannya sah apabila peneguhannya secara Katolik.
“Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan dihadapan Ordinaris
wilayah (uskup setempat) atau pastor-paroki atau imam maupun
diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang
meneguhkannya, serta dihadapan dua orang saksi; (kanon 1108
parla)”
13 Paus Yohanes Paulus II, Kitab Perjanjian Baru, Korintus I, H. 316 14Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, h. 125
35
Syarat peneguhan secara gerejani ini bagi pihak non Katolik sering
dilihat sebagai semacam pemaksaan tetapi dri sudut gereja Katolik
adalah dari pihak Katolik untuk mendapat pelayanan gerejani. Untuk
dapat memahami ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam gereja ini
bergunalah untuk mengerti paham gereja mengenai perkawinan.15
Walaupun bukan yang dicita-citakan, gereja Katolik memberi
kemungkinan untuk meneguhkan perkawinan antara seorang Katolik
dengan seorang yang dibaptis di gereja lain ataupun yang tidak dibaptis.
Halangan beda gereja atau beda agama, dipastikan tidak ada halangan
lain yang dapat membuat perkawinan tidak sah.
Pimpinan gereja setempat dapat memberi secara resmi dan tertulis,
kemudahan atau pengecualian/dispensasi setelah mendapat kepastian
bahwa semua persyaratan yang lain dipenuhi. Walaupun, tidak ada
keharusan terhadap pihak yang bukan Katolik untuk menjadi Katolik, ia
harus menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan perkawinan menurut
gereja Katolik. Ia harus juga mengetahui dan menerima kewajiban
pihak Katolik untuk menjaga imannya dan mendidik aank mereka
secara Katolik.
c. Perkawinan Menurut Agama Kristen Protestan
Perkawinan menurut pandangan agama Kristen Protestan adalah
suatu persekutuan hidup dan percaya yang total, ekslusif, dan kontinyu
antara seorang pria dengan seorang wanita yang dikuduskan dan diberkati
Kristus Yesus.16
Sahnya suatu perkawinan menurut agama Kristen
Protestan ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek sipil dan agama.17
15Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Perspektif Perempuan dan Pluralisme, h. 55 16Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985),h. 40. 17Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, h. 41
36
Oleh karena itu, gereja Kristen Protestan berpendapat agar
perkawinan tersebut sah, harus memenuhi hukum negara dan agama.
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut agama Kristen Protestan
adalah:
a. Masing-masing calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan
pihak lain
b. Kedua mempelai beragama Kristen Protestan (agar pernikahan tersebut
dapat diteguhkan dan diberkati)
c. Kedua calon mempelai harus sudah dewasa
d. Harus dihadiri 2 orang saksi
e. Disaksikan oleh jemaat.18
Menurut Winata Sairin dengan berpedoman pada Pasal 80, 81
KUH-Perdata/Burgelijk Wetboek,19
dan Hoci secara formal telah
dibatalkan oleh pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bagi agama Protestan tetap berlaku karena identeik dengan
hukum perkawinan gereja Kristen yang isinya mirip dengan Burgerijk
Wetboek tersebut. 20
Seorang Kristen mengalami kesulitan menerjemahkan
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya
perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Masalahnya mereka tidak ada hukum perkawinan
menurut agama, karena memang agama Kristen tidak ada peraturan
tersebut, kalaupun ada sangat minim.21
18Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 41. 19
Pasal 80 “Dihadapan Pegawai Catatan Sipil Dengan Dihadiri Saksi-saksi Kedua Calon
Suami Istri Harus Menjelaskan Yang Satu Menerima yang lain sebagai istri, yang lain
menerimanya sebagai suami perlu dengan tulus menunaikan kewajiban demi Undang-undang
ditanggungkan kepada mereka sebagai suami/istri
Pasal 81 “Tiada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan sebelum kedua belah pihak
pejabat agama mereka membuktikan bahwa perkawinan dihadapan pegawai catatan sipil telah
berlangsung. 20
Pasal 33 ayat 2 “Kemudian pegawai catatan sipil atau penuntun agama menerangkan
bahwa atas nama Undang-undang kedua belah pihak telah dikukuhkan perkawinannya”. 21
Winata Sairin JM Pattiasina, Problematika Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia Dalam
Pengamatan PGI, H. 148
37
Karena itu gereja mengadakan peneguhan dan pemberkatan
sebelum disahkan dan dicatat dikantor catatan sipil. Karena yang dianut
perkawinan perdata bukan agama, maka sahnya setelah dikukuhkan dan
divatat dikantor catatan sipil. Tetapi faktanya adalah sebaliknya yakni
diselesaikan dikantor catatan sipil dahulu kemudian diberkati di gereja.
Peneguhan dan pemberkatan itu sifatnya konfirmasi (penegasan)
bukan legitimasi demikian ditegaskan dalam sidang MPL-PGI No.
01/MPL-PGI/1989 di Bogor tanggal 29 April 1989.22
Klausul “Menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”, mereka tidak artikan secara letterlijk, tetapi diartikan
sesuai sistem yang dianut gereja yang bersangkutan, yakni perkawinan
secara keperdataan itu harus terlebih dahulu dilangsungkan dikantor
catatan sipil, baru kemudian diteguhkan dan diberkati oleh gereja.
d. Perkawinan Menurut Agama Hindu
Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan seorang
wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yaitu
keturunan.23
Hukum perkawinan Hindu menganut asas atau prinsip-prinsip
perkawinan, antara lain:
1. Asas monogami dan poligami
2. Asas kesepakatan bersama
3. Asas sahnya perkawinan melalui agama, yaitu melalui prosedur wiwaha
samsakara atau wiwaha homa yaitu melalui upacara sakramen24
Mengingat sahnya suatu perkawinan disandarkan pada hukum agama,
perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi ketentuan syarat
perkawinan menurut agama Hindu, yaitu:
1. Perkawinan harus dilakukan atas dasar persetujuan kedua pihak
22
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, h. 122 23
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985),h. 46. 24
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, h. 45.
38
2. Telah mencapai usia yang layak, yaitu 21 tahun, atau bila jasmaniahnya
telah mampu untuk menikah
3. Harus ada izin orang tua atau bila tidak ada oleh sanak keluarga yang
dapat bertindak sebagai wali
4. Tidak melanggar larangan kawin
Perkawinan dalam agama Hindu dikenal dengan “Wiwaha”.
Perkawinan bersifat religius dan obligator, karena dikaitkan dengan
kewajiban untuk mempunyai putra untuk menebus dosa orang tuanya.
Menurut Hindu anaklah yang akan menyelamatkan orang tuanya dari
neraka. Karena perkawinan bagian dari agama maka harus memenuhi
syarat sesuai hukum agama.25
Wiwaha samkara adalah ritualita yang menentukan sah tidaknya
suatu perkawinan. Perkawinan yang tidak disakralkan dipandang tidak
mempunyai akibat hukum ritualita wiwaha yang sesuai ketentuan dapat
mengakibatkan batalnya perkawinan, sejalan dengan pasal 2 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Pernikahan beda agama menurut Gede Puje suatu perkawinan batal
bila tidak memenuhi syarat, misalnya mereka tidak menganut agama yang
sama pada saat upacara perkawinan dilangsungkan, karena nikah lintas
agama tidak dapat dilangsungkan menurut agama Hindu. Agama Hindu
tidak membenarkan pemeluknya menikah dengan non hindu, bila
dilakukan maka harus memeluk agama Hindu terlebih dahulu, bila tidak
maka tidak sah (sekalipun dilakukan dikantor catatan sipil) perkawinan
yang tidak sah akan berakibat hukum pada anak-anaknya yang tidka sah
dan tidak berhak atas harta warisan.26
25 Gede Puje, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, h. 16. 26Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, h. 129
39
e. Perkawinan Menurut Agama Budha
Agama Budha merumuskan arti perkawinan sebagai suatu ikatan
suci yang harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang
diajarkan oleh Budha.27
Ketentuan sahnya suatu perkawinan dalam agama
Budha tidak dikatakan secara tekstatular karena menurut agama Budha
perkawinan adalah sebagai salah satu aspek hidup yang akan selalu
dicengkram oleh duka dan dalam suatu perkawinan kebahagiaan yang
diperoleh adalah bersifat keduniawian. Sementara itu, kebahagiaan
tertinggi adalah nirwana dan untuk pencapaiannya diperlukan pemadaman
kekotoran batin untuk nafsu seks. Namun, tetap ada syarat minimal yang
harus dipenuhi oleh umat Budha untuk dapat melangsungkan suatu
perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Apapun yang mendorong suatu pasangan untuk menikah, cinta kasih
dan pengertian yang baik dengan tujuan membahagiakan satu sama
lain adalah hal utama yang harus dikembangkan
2. Usia kedua calon mempelai tidak terlalu jauh berbeda
3. Kedua calon mempelai haruslah sedharma. Mempunyai keyakinan
yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding dan kebijaksanaan
yang sebanding pula.28
Berdasarkan uraian pembahasan mengenai ketentuan perkawinan
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan norma agama, dimana
prinsipnya setiap agama menghendaki umatnya untuk melakukan
perkawinan sesama agama. Sehingga dapat diartikan bahwa ketentuan
yang ada dalam norma agama tersebut diatas sejalan dengan Undang-
undang perkawinan mengenai larangan perkawinan beda agama.
27Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 50.
28Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, h. 52.
40
Undang-undang perkawinan mendasarkan ketentuan sah atau
tidaknya suatu perkawinan pada hukum atau ketentuan agama yang
diyakini oleh pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan.
D. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Perkawinan pasangan yang memiliki perbedaan agama seringkali
mengalami pertentangan dari pihak lain terutama keluarga. Oleh karena
itu, Undang-undang Nomor 1 Tahhun 1974 mengatur pencegahan
perkawinan yang tertuang pada pasal 13 sampai dengan pasal 21.
Pencegahan dapat diajukan kepada pengadilan karena perkawinan tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan
tersebut harus diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah dan dilakukan
sebelum pernikahan dilangsungkan.
Pernikahan tersebut dapat dicegah bila tidak memenuhi syarat-
syarat, antara lain:
1. Salah satu pihak masih terikat dalam perkawinan
2. Salah satu pihak dari calon suami / istri berada dalam pengampuan
3. Umur calon suami / istri belum memenuhi syarat
4. Ada hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sesusuan dan ada
hubungan yang oleh agama dilarang untuk dilangsungkan pernikahan
5. Melangsungkan perkawinan dengan wanita yang telah ditalak tiga kali
6. Melangsungkan perkawinan yang menyimpang dari tata cara peraturan
perkawinan
Berkaitan dengan pencegahan tersebut, pihak-pihak yang dapat
melakukan pencegahan sebagaimana tercantum dalam pasal 14 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Saudara dalam garis lurus keatas dan kebawah
2. Saudara
3. Wali nikah
4. Wali pengampu dari calon mempelai
41
5. Mereka yang masih terikat dalam perkawinan (suami / istri mempunyai
hak untuk mencegah perkawinan yang akan dilangsungkan)
6. Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pencegahan bila terdapat syarat
yang tidak dipenuhi:
a. Syarat umur bagi calon suami / istri
b. Terdapat pelanggaran tentang hubungan darah, keturunan dalam
garis lurus, keturunan dalam garis menyamping, ada hubungan
semenda, ada hubungan susuan, perkawinan untuk ketiga kalinya
terhadap pasangan yang sama dan apabila dilanggar tata cara
perkawinan yang diatur dalam Undang-undang.
Permohonan pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan
dalam wilayah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.
Pencegahan perkawinan tersebut juga diberitahukan kepada pegawai
pencatat pernikahan dan calon mempelai. Namun, Undang-undang tidak
mengatur secara jelas mengenai tata cara pengajuan pencegahan
perkawinan dilakukan secara tertulis atau lisan. Dalam hal melakukan
pencegahan, pemohon dapat menarik kembali permohonannya, begitu pula
pengadilan dapat pula mencabut pencegahan perkawinan yang telah
diputuskan
Mengenai pembatalan ini sesuai dengan pasal 22 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, batalnya perkawinan terjadi apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pembatalan
perkawinan tersebut diajukan kepada pengadilan, sehingga pembatalan
perkawinan hanya dapat dilakukan dengan adanya putusan hakim. Adapun
pengadilan yang berwenang dalam hal pembatalan ini adalah pengadilan
negeri atau pengadilan agama.
Pengajuan pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila terdapat
pihak yang mengajukan gugatan kepada pengadilan dengan alasan:
42
1. Perkawinan dilangsungkan dimuka pegawai pencatat nikah yang tidak
berwenang
2. Wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh
dua orang saksi
3. Perkawinan dilaksanakan dibawah ancaman yang melanggar hukum
4. Terdapatnya salah sangka mengenai diri suami / istri
Pihak-pihak yang berwenang mengajukan pembatakan perkawinan
adalah:
1. Para keluarga dalam garis lurus keatas
2. Suami atau istri
3. Salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan
4. Jaksa, apabila perkawinan dilangsungkan oleh pejabat yang tidak
berwenang, wali tidak sah dan tanpa saksi
Dalam hal berlakunya pembatalan, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa batalnya perkawinan
berlaku setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, dapat ditafsirkan bahwa keputusan pembatalan itu berlaku
surut sampai saat dilangsungkannya perkawinan. Dengan demikian,
dianggap tidak pernah ada perkawinan, tetapi dalam pasl 28 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan, “keputusan tidak
berlaku surut terhadap:
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
Jadi, meskipun perkawinan orang tuanya batal, tetapi anak-anaknya
tetap dianggap sebagai anak-anak yang sah
2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkwinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu. Meskipun perkawinannya batal
43
sejak semula, akan tetapi harta bersama mereka dianggap tetap ada
sampai pada hari jatuhnya keputusan pembatalan
3. Orang-orang ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan
itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai
kekuatan hukum tetap.29
29
Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia
(Surabaya: Airlangga Press, 1988), h. 87.
BAB IV
PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
DAN KEABSAHANNYA
A. Alasan Sosiologis–Yuridis dalam Perkawinan Warga Negara
Indonesia di luar Negeri
Perkawinan sebagai rangkaian kehidupan manusia senantiasa tidak
dapat dihindari dari berbagai perbedaan yang kemungkinan dihadapi
pasangan suami istri. Sebagai bagian dari fitrah dan siklus kehidupan
manusia serta hak keperdataan dari seseorang, pernikahan harus senantiasa
menjembatani perbedaan menjadi suatu ikatan untuk membentuk keluarga
yang kekal dan bahagia. Diantara perbedaan yang dihadapi pasangan calon
suami istri adalah adanya perbedaan prinsip yang cukup signifikan bagi
terbentuknya keluarga yang harmonis, yaitu perbedaan agama.
Adanya realitas sosial dan akultrasi didalam masyarakat yang terus
berkembang telah menjadi penghalang atau pendorong perubahan salam
rangka terbentuk keluarga.1 Diantara realitas sosial itu adalah sifat
majemuk masyarakat Indonesia yang mempunyai identifikasi budaya dan
agama yang berbeda-beda. Akan tetapi, sistem hukum yang mengaturnya
berada pada arah unifikasi hukum yang mencerminkan politik hukum
pemerintah. Akibatnya, terjadi pembenturan antara realitas didalam
masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan yang cenderung
terabaikannya posisi hukum dari pihak-pihak yang dirugikan.
Fenomena keanekaragaman agama merupakan salah satu masalah
dalam konsep perkawinan di Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, perbedaan agama tidak menghalangi
seseorang untuk melakukan pernikahan. Adanya politik hukum kolonial
1 T.O Ihromi, “Hukum dan Keluarga: Pembahasan tentang Hubungan Timbal Balik antara
Hukum dan Keluarga dalam rangka Pengumpulan bahan-bahan untuk Usaha Pembaharuan
Hukum,” dalam Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976), h. 85.
45
Belanda yang membiarkan perbedaan terjadi mengakibatkan kultur asas
hukum yang berlaku dalam keluarga menjadi bersifat pluralistis. Padahal,
norma agama yang dianut dan diajarkan menggariskan keharusan
pasangan suami istri berasal dari lingkup agama yang sama
Dengan adanya unifikasi hukum itulah kemudian Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan secara implisit bahwa perkawinan yang
dilaksanakan atas latar belakang yang berbeda dapat terjadi karena
perbedaan kebangsaan (nasionalitas). Hal ini berarti Undang-undang
perkawinan mengesampingkan kemungkinan terdapatnya perbedaan
agama dalam perkawinan. Disamping itu, Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 menyatakan bahwa, “suatu perkawinan harus didasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa dan dilakukan menurut agama yang dianut.”
Ketentuan tersebut meletakkan ketentuan norma agama yang sama dianut
oleh pasangan suami istri dalam pelaksanaan perkawinan.
Namun, hukum kadangkala tidak mampu mencapai realitas sosial
dimana interaksi manusia telah menembus perbedaan tersebut. Akibatnya
muncul simpulan bahwa, “pendekatan untuk mendorong perubahan dalam
bidang keluarga, terutama melakukan hukum, bersifat sangat terbatas.”2
Hukum dalam hal ini direfleksikan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 ternyata tidak mampu membendung ikatan suami istri yang dilatar
belakangi oleh perbedaan agama. Oleh karena itu, fakta sosial menunjukan
adanya pasangan suami istri yang menikah dalam perbedaan agama.
Namun, fakta hukum, bila pasangan yang berbeda agama ingin
melangsungkan pernikahan, kendala dalam pelaksanaannya cukup banyak.
Baik menurut norma agama mauput menurut hukum positif yang berlaku
di Indonesia.
Kendala ini kemudian diatasi pasangan suami istri dengan
melangsungkan pernikahannya di luar negeri. Pernikahan yang dilakukan
2T.O Ihromi, “Hukum dan Keluarga: Pembahasan tentang Hubungan Timbal Balik antara
Hukum dan Keluarga dalam rangka Pengumpulan bahan-bahan untuk Usaha Pembaharuan
Hukum,” dalam Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976), h. 87.
46
di luar negeri diatur dalam pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menyatakan:
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua
orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara asing
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga
negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini.”
Ketentuan tersebut memungkinkan warga negara Indonesia untuk
menikah di luar negeri dan perbuatan hukum tersebut dinyatakan sah. Hal
ini disebabkan setiap negara mempunyai hukum yang berbeda dalam
mengatur perkawinan. Sebagian dari hukum ini adalah hukum perdata
yang mengatur perhubungan hukum antara pelbagai orang-orang
perseorangan, dalam mana titik berat kepada kepentingan orang
perseorangan.3 Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan di luar
negeri tersebut mengikuti hukum yang berlaku di negara perkawinan
tersebut dilangsungkan
Berdasarkan aturan tersebut, wajar jika ketentuan mengenai
perkawinan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih
tetap berlaku bagi warga negara Indonesia yang melangsungkan
perkawinan di luar negeri. Padahal secara prinsip, Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 merumuskan secara tegas maksud perkawinan campuran
dalam pasal 57 sebagai:
“Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan satu
pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Maksud yang terkandung didalamnya adalah perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung unsur-unsur asing,
yang terdapat berupa “seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan
yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama
3Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional (Jakarta: Pustaka
pelajar, 1977), h. 22
47
kewarganegaraan, tapi perkawinan dilangsungkan dinegara lain.”4 Dengan
kata lain, Undang-undang perkawinan sebagai politik hukum negara
mengenai perkawinan menegaskan tidak dapatnya warga negara Indonesia
melangsungkan perkawinan atas dasar perbedaan agama.
Pemahaman demikian dapat ditarik berdasarkan ketentuan pasal 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan sah setelah
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Selain itu, pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur lebih lanjut tata cara
perkawinan yang lazimnya dilakukan dengan berlandaskan pada ketentuan
tersebut, tata cara perkawinan yang lazim dilakukan mempunyai tiga hal
pokok, yaitu:
1. Sesuai dengan ketentuan agama
2. Dicatat dalam akta nikah
3. Tata cara lain yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan
nasional.
Dalam pelaksanaan perkawinan yang bersendikan perbedaan
agama, lazimnya suami istri yang menikah mempunyai kualitas yang sama
nasionalitas kewarganegaraannya. Kondisi demikian menyulitkan proses
pencatatannya karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
merumuskan perkawinan antar agama. Padahal, pengesahan pernikahan
hanya dapat dilaksanakan apabila telah disahkan berdasarkan hukum dan
formalitas negara yang harus diselenggarakan di negaranya sendiri.
Oleh sebab itu, sebenarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
secara prinsipil dan eksplisit menekankan asa “kesatuan agama” dari
kedua mempelai. Asas demikian dijalankan dalam rangka “menjaga
keutuhan rumah tangga dan mengukuhkan perbedaan menuju
4Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional:
Suatu Orientasi (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 36.
48
kesejahteraan bersama.”5Berdasarkan pada asas tersebut, berarti ketika
perkawinan antar agama dilakukan, dimana agamanya melarang, pada saat
itu pula muncul masalah status hukum perkawinan tersebut bagi kedua
mempelai. Dalam menghadapi situasi demikian, pasangan suami istri
berupaya mengambil celah-celah hukum dengan melakukan pencatatan
perkawinan dan melangsungkan perkawinan di luar negeri atau negara
yang menerapkan prosedur pencatatan yang lebih mudah. Hal demikian
dilakukan hanya untuk memenuhi paembuktian bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum bagi masing-masing pihak telah
terpenuhi.
Berdasarkan alasan tersebut, sebenarnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu pasal 56 yang mengatur pencatatan perkawinan warga
negara Indonesia di luar negeri, membuka peluang diadakannya
perkawinan antar agama. Adanya proses pencatatan perkawinan di luar
negeri dan kemudian dicatat kembali di Indonesia menunjukkan adanya
pertentangan secara mendalam antara substansi Undang-undanng Nomor 1
Tahun 1974 dan realisasi dilapangan.
Perkembangan demikian pada dasarnya memperluas hakikat
perkawinan campuran menurut pasl 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yang tidak lagi hanya merupakan perkwinan antar negara.
Hal tersebut secara tidak langsung menunjukan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tidak konsisten dalam pengaturan perkawinan di
Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan keberadaan pasal 2 ayat (1) jo pasal 8
huruf f yang mendasarkan pelaksanaan perkawinan beda agama, sementara
disisi lain, terdapat penafsiran yang lebih luas terhadap arti perkawinan
campuran, serta terjadinya perkawinan warga negara Indonesia beda
agama di luar negeri.
Kondisi demikian sebenarnya terjadi disebabkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tampaknya tidak berusaha untuk melarang terjadinya
5Wiarawan Hadiono, Perkawinan Antar Agama dan Antar Negara Sebagai Suatu
Permasalahan Hukum: Suatu Kajian Terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,” Mimbar Hukum (Juni 1983), h. 23
49
perkawinan antar agama secara tegas. Hal ini dibuktikan dengan tidak
disertainya sanksi jika ada warga negara Indonesia yang melakukan
perkawinan antar agama. Dengan kata lain, pegawai pencatatan sipil tidak
berhak menolak untuk melangsungkan pernikahan apabila mempelai
berbeda agama, sepanjang persyaratan administrasinya telah terpenuhi.
Padahal, pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diakatakan
sebagai keinginan dan pernyataan masyarakat pemeluk agama, bahwa
perkawinan akan selaras jika berada pada kesatuan iman.6
Dengan berdasarkan alasan sosiologis – yuridis mengenai
perkawsinan tersebut akan tampak begitu sulit penerapan pengaturan
perkawinan di Indonesia. Situasi demikian menunjukan tidak mampunya
pemerintah dalam menciptakan hukum untuk mengatur perkawinan,
sehingga pengaturan tersebut dialihkan oleh institusi pengadilan berupa
penetapan perkawinan
B. Legalitas Pencatatan oleh Kantor Catatan Sipil Berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
pelaksanaannya
Pencatatan perkawinan di Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan oleh dua lembaga, yaitu
kantor urusan agama (KUA) bagi pasangan suami istri yang beragama
Islam dan kantor catatan sipil (KCS) bagi pasangan suami istri yang
beragama non Islam serta perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia.7
Adanya pencatatan ini sebenarnya diperlukan sebagai alat bukti
bahwa suatu perkawinan telah dilakukan dan sah menurut Undang-undang
perkawinan.
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan:
6Irawati Kusuma Wardhani, Aspek-aspek Perkawinan Campuran: Suatu Analisis
Dampaknya Terhadap Anak-anak, Yudisthira 2 (Feb 1998), h. 23 7Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
50
“Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat
keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.”
Ketentuan tersebut menjelaskan secara mendalam konsep
pencatatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembuktian
perkawinan. Negara sebagai institusi publik perlu memberikan
perlindungan hukum dan pengakuan atas hak-haknya kepada semua pihak
yang melangsungkan perkawinan. Hal ini dilakukan dalam bentuk
pencatatan di kantor urusan agama atau kantor catatan sipil.Dengan
demikian, sangat tegas terlihat antara syarat keabsahan dan syarat
administrasi dalam proses perkawinan.
Syarat keabsahan perkawinan menurut pasal 2 ayat (1) Undang-
unang Nomor 1 Tahun 1974 ialah “apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya.” Sementara itu, bagi pasangan
suami istri warga negara Indonesia antar warganegara yang
melangsungkan perkawinan di luar negeri sah “bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan
dilangsungkan.” Adanya dua pemahaman mengenai istilah „sah‟ dalam
dua pasal ini sebenernya saling kontradiksi. Sebab, pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 lebih mensyaratkan keabsahan
agama yang kemudian akan diakui negara melalui pencatatan. Sementara
itu, istilah „sah‟ dalam pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 lebih didasarkan pada keabsahan administrasi dan sistem hukum.
Oleh sebab itu, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya
tidak mengatur secara seksama mengenai sikap negara, yang ditunjukan
oleh pejabat kantor urusan agama dan kantor catatan sipil, jika pasangan
suami istri tidak menjalankan perkawinan berdasarkan agama dan
keyakinannya, tetapi hanya menjalankan persyaratan administrasi.
Dengan demikian, secara hukum negara sebenarnya pencatatan yang
dilakukan kantor catatan sipil terhadap perkawinan yang dilakukan warga
51
negara Indonesia yang berbeda agama di luar negeri adalah sah dan dapat
dibenarkan oleh hukum. Sah dalam pengertian absah dan diakui negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan di negara warga negara
Indonesia melangsungkan perkawinan dan di Indonesia. Dengan landasan
pemahaman tersebut, legalitas atas pencatatan perkawinan yang dilakukan
warga negara Indonesia di luar negeri tidak terdapat persoalan secara
hukum negara.
Persoalan yang muncul justru berada pada hukum agama masing-
masing pasangan suami istri tersebut, dimana norma agama mengatur
sendiri ketentuan perkawinan yang harus dilakukan dalam satu atap
keimanan. Adanya „penolakan‟ norma agama terhadap perkawinan yang
dilakukan pasangan berbeda agama sebenarnya diadopsi Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang dalam penjelasan pasal 2 menyatakan, “dengan
perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-
undang 1945.”
Rumusan penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 sebenarnya dapat menjadi dasar hukum penolakan negara
terhadap pelaksanaan perkawinan di luar ketentuan yang diatur agama.
Dengan kata lain, negara tidak dapat mencatatkan perkawinan beda agama
dimana pun dilaksanakannya, karena telah menyimpang dari norma agama
masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan. Namun,
pemahaman ini dimentahkan sendiri oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 melalui pasal 56 yang menyatakan perkawinan sah dilakukan di luar
negeri apabila sesuai dengan peraturan perundang-undangan ditempat
dilangsungkannya perkawinan. Meskipun kemudian juga ditambah dengan
tidak melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi tampak
tidak menambahkannya sebagai suatu syarat keabsahan.
Berkenaan dengan hal tersebut Prof Wahyono Darmabrata
berpendapat “Perumusan dalam pasal 56 Undang-undang perkawinan
dapat menimbulkan masalah, menyebabkan dipergunakan untuk
52
menyelundupi pasal 2 Undang-undang perkawinan. Pelaksanaan
perkawinan menurut pasal 56, yang isinya kurang lebih sama dengan pasal
83 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak akan menimbulkan
masalah, jika perkawinan hanya dilihat dari segi perdatanya saja,
berdasarkan pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Namun,
tidaklah demikian jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 2 Undang-undang
Perkawinan. Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, tetap harus
dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya masing-masing, tidak dapat ditentukan sesuai dengan
normalitas yang berlaku di Negara dimana perkawinan dilangsungkan.
Selain itu, penetapan penjelasan pasal 2 ayat (1) sebagai dasar
hukum penolakan negara dalam perkawinan warga negara Indonesia
berbeda agama, ditolak Mahkamah Agung. Dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 1400 K/Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989, Mahkamah
agung berpendapat:
“Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu
ketentuan apapun yang menyebut perbedaan agama antara calon
suami dan calon istri merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan, dan hal ini sesuai dengan pasal 27 Undang-undang
Dasar 1945,...”8
Berbeda dengan putusan tersebut, pada 29 Maret 1994. Mahkamah
Agung melalui putusan No. 1634 K/Pdt/1994 menegaskan bahwa hukum
agama sebagai landasan filosofis dan landasan hukum keabsahan
perkawinan. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung
berpendapat:
1. Tidak tepat pendapat yang mengatakan ada kekosongan hukum yang
mengatur perkawinan antara calon mempelai yang berlainan agama
8Putusan Mahkamah Agung ini sangat bertentangan dalam pertimbangan
hukumnya, sehingga satu sama lain menimbulkan kontradiksi, hal ini terlihat dari
pertimbangan hukumnya yang jauh melangkahi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dengan menyatakan pasangan suami istri tersebut telah menghiraukan status agamanya.
Padahal, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas-jelas menempatkan agama sebagai
fundamental pengaturan perkawinan di Indonesia.
53
2. Tidak dapat dibantah oleh siapapun, setiap pemeluk agama yang ada di
Indonesia, masing-masing mempunyai hukum agama yang mengatur
keabsahan perkawinan, dan setiap hukum agama yang bersangkutan
masing-masing memiliki perbedaan nilai dan syarat
3. Oleh karena itu, tidak mungkin dilakukan perkawinan yang ada di
Indonesia, masing-masing mempunyai hukum agama yang mengatur
keabsahan perkawinan, dan setiap hukum agama yang bersangkutan
masing-masing memiliki perbedaan nilai dan syarat
4. Namun kesulitan dan hambatan itu dapat mereka atasi dan selesaikan
dengan jalan memilih salah satu agama yang mereka anut, sehingga
hambatan yang semula bersifat imposibilitas sirna dengan sendirinya.
Apabila mendasarkan pada dua putusan Mahkamah Agung
tersebut, putusan yang kedua terasa menjiwai isi Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dengan dasar pertimbangan hukum tersebut sebenarnya
pencatatan yang dilakukan petugas kantor catatan sipil bertentangan
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun1974, sehinggan perkawinan yang
dicatatkan itu juga tidak mengandung legalitas didalamnya. Hal ini
disebabkan keabsahan perkawinan bagi warga negara Indonesia adalah
didasari pada hukum agama masing-masing sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Keabsahan menurut pasal 56
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah legalitas pencatatan dan
pengadministrasiannya menurut peraturan perundang-undangan di negara
masing-masing. Disamping itu, pasal 56 hanya mengatur pernikahan di
luar negeri dan bukan mengatur keabsahan perkawinan
Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 juga hanya
menegaskan surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan
perkawinan. Menurut pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) PP Nomor 9 Tahun
1975, kantor pencatatan perkawinan bagi pasangan yang beragama Islam
dan non Islam berbeda. Hal ini berarti secara implisit yuridis perkawinan
harus dilakukan atas persyaratan pasngan yang sama agama. Sementara
54
itu, sebagian besar perkawinan berbeda agama yang melangsungkan
perkawinan di luar negeri lebih banyak mendaftarkan di kantor catatan
sipil.
Hal ini berarti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai
persoalan yang sangat mendasar dan rentan terhadap terjadinya
penyelundupan hukum dan penafsiran hukum yang demikian cenderung
akan menghilangkan esensi perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara
pria dan wanita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
C. Pencatatan Perkawinan Pasangan Warga Negara Indonesia yang
Berbeda Agama di luar Negeri sebagai Akta Otentik
Mengingat pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negeri
telah dilakukan oleh pejabat berwenang menurut peraturan perundang-
undangan di negara tersebut, meskipun tidak mengandung keabsahan
secara agama, secara yuridis akta perkawinan itu berlaku sebagai akta
otentik. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah:
“Suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuat.”
Oleh sebab itu, negara tidak dapat menganggapnya sebagai sebatas
catatan adanya perkawinan. Hal ini disebabkan akta perkawinan tersebut
dapat berlaku sebagai alat bukti bagi pasangan suami istri tersebut bahwa
telah melakukan pernikahan. Dalam konsep pembuktian menurut hukum
perdata, suatu akta yang cacat hukum, misalnya karena cacat dalam
bentuknya, hanya berlaku sebagai catatan dibawah tangan. Dalam hal ini
perlu dipertimbangkan untuk menjadikan akta perkawinan di luar negeri
sebagai catatan dibawah tangan. Hal demikian disebabkan pencatatan
perkawinan mengabaikan bentuk akta perkawinan sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 PP No. 9 Tahun 1975.
55
Sesuai dengan pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975, akta perkawinan
memuat:
1. Nama, tanggal, dan tempat tanggal lahir, agama/kepercayaan,
pekerjaan, dan tempat kediaman suami/istri;
2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman
orangtua;
3. Berbagai izin dan dispensasi;
4. Perjanjian perkawinan jika ada;
5. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam
6. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang
kuasa.9
Akan tetapi, dalam akta perkawinan yang dilakukan di luar negeri,
lazimnya hanya berisi nama pasangan suami istri disertai dengan nomor
paspor dan nama para saksi disertai dengan nomor paspor.10
Hal inilah
yang memunculkan pendapat bahwa akta perkawinan yang dibuat di luar
negeri hanya merupakan catatan dibawah tangan dan bukan akta otentik.
Namun keduanya tetap mempunyai kedudukan sebagai pembuktian, dalam
hal pembuktian adanya perkawinan. Perbedaan nya terletak pada
kesempurnaan sebagai suatu alat bukti bagi akta otentik, sedangkan catatan
dibawah tangan kurang memberikan kesempurnaan sebagai alat bukti.
Adanya fenomena tersebut sebenarnya menunjukan lemahnya
posisi hukum pasangan suami istri warga negara Indonesia berbeda agama
yang mencatatkan perkawinannya di luar negeri. Pengujian akta
perkawinan di luar negeri lazimnya dilakukan di pengadilan, misalnya
melakukan perceraian atau pembatalan perkawinan. Namun, hal demikian
sebenarnya lebih diarahkan hamik untuk menentukan ada tiadanya
9Pasal 22 Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
10Desi Sachiko, “Menikah di Singapura; It‟s So Simple!”
http://www.desisachiko.com/2014/04/10/menikah-di-singapura-its-so-simple/ diakses
pada 13 April 2018
56
perkawinan dan tidak mengubah persoalan yang menyangkut mengenai
akta perkawinan itu sendiri sebagai alat bukti, wewenang pengadilan ini
pada dasarnya terbatas pada pengujian alat bukti, dan bukan pengujian atas
keabsahan perkawinan itu sendiri. Pengujian atas keabsahan perkawinan
itu sendiri jika dinilai pengadilan dalam prosesnya memerlukan tahap-
tahap pemeriksaan yang lama.
Sebenarnya, jika ada putusan pengadilan yang menolak akta
perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti akan menjadi terapi
menyeluruh terhadap adanya penyimpangan dalam pelaksanaan
perkawinan. Dengan kata lain, putusan demikian akan bersifat mendukung
terciptanya kepastian dalam pelaksanaan hukum perkawinan dan
mendukung sempurnanya aturan agama dalam perkawinan.
Oleh sebab itu, perlu adanya upaya agar pengadilan diberikan
kewenangan untuk melalukan pembatalan atas perkawinan dan penolakan
atas akta perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti. Dengan demikian,
pelaksanaan perkawinan diberikan kekuatan yuridis yang jelas dan pasti.
Hal demikian disebabkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
merumuskan secara mendetail mengenai konsep dan pembuktian akta
perkawinan di luar negeri. Padahal sudah menjadi seharusnya jika
peraturan perundang-undangan dibentuk dengan menghindari seminimal
mungkin penafsiran dan pemaknaan ganda terhadap suatu ketentuan.
Dengan adanya penolakan pengadilan untuk menjadikan akta
perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti, pada prinsipnya berarti
perkawinan itu secara keseluruhan sejak awal semula dianggap batal,
karena sebenarnya akta perkawinan itu tidak pernah melahirkan hubungan
perkawinan. Pertimbangan yang perlu diajukan hakim adalah tidak
terpenuhinya syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan kata lain, tujuan pasangan suami
istri untuk meletakkan akta perkawinan di luar negeri sebagai alat bukti
adanya perkawinan telah gagal terpenuhi. Dengan demikian, pasangan
suami istri tersebut tidak dapat menuntut hak dan adanya hubungan
57
keperdataan yang timbul setelah adanya hubungan perkawinan karena
tidak adanya dasar hukum perkawinan. Sementara hakim dapat
menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perkawinan.
Dilain sisi, dengan tidak terpenuhinya keabsahan perkawinan
menurut hukum agama, dapat membuka peluang pihak lain untuk dapat
membatalkannya adalah orang tua atau wali anak yang tidak cakap
menurut hukum dan orang yang mengadakan perkawinan karena tekanan
atau ancaman.
Disamping itu, pertimbangan hukum hakim dalam membatalkan
akta perkawinan di luar negeri adalah atas dasar akta pperkawinan tersebut
tidak mengandung data diri pasangan suami istri yang tidak jelas, sehingga
hakim dapat menyatakan perkawinan tersebut dibuat secara tidak terang.
Oleh sebab itu, hakim dapat menyatakannya sebagai pelanggaran terhadap
hukum.
D. Perkawinan Beda Agama Hukum Kolonial dan Kekinian
Perkawinan beda agama merupakan salah satu dari bagian masalah
perkawinan yang cukup kompleks, baik sebelum bahkan sesudah
perkawinan terjadi. Setelah melewati berbagai proses, pada akhirnya,
hukum pun melegalkan atau bahkan bisa tidak melegalkan perkawinan.
Dalam konteks perkawinan, khususnya perkawinan beda agama
meneropong sistem hukum dalam konteks perkawinan beda agama
dengan membaca realitas sosial dan politik masyarakat yang ada. Sebab
hukum adalah produk politik.11
Perkawinan campuran sebagai salah satu masalah kompleks dalam
isu perkawinan, bukan isu yang baru dalam khasanah hukum di
Indonesia. Dalam sejarahnya, perkawinan campuran antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda
11 Hukum sebagai produk politik adalah sebuah pandangan dari aliran hukum kritis yang
mengkritisi pandangan hukum konvensional dimana hukum dilihat sebagai sesuatu yang netral dna
tidak memihak.
58
berdasarkan hukum agama, adat, maupun kewarganegaraan12
telah diatur
secara khusus sejak jaman kolonial, hingga pasca kemerdekaan. Sejak
jaman kolonial sampai pasca kemerdekaan (sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974), pengaturan kawin campur meliputi
perkawinan dari dua belah pihak yang berbeda agama, adat, maupun
kewarganegaraan. Namun, sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, definisi perkawinan campur mengarah pada orang yang
akan menikah karena perbedaan kewarganegaran.
Latar belakang terjadinya perubahan adalah karena pengaturan
perkawinan campuran dari sejak jaman kolonial hingga Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dilatarbelakangi situasi politik
dan kelompok kepentingan tertentu sangat berperan dalam dinamika
politik tersebut. Situasi hukum yang demikianlah yang kemudia
memeunculkan pengaturan yang berbeda antara aturan perkawinan
campuran dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pengaturan yang berbeda pada jaman kolonial dan
pengaturan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan
dinamika yang berbeda pula dalam pelaksanaannya meskipun ada
berbagai hal yang relatif sama.
Konflik yang senantiasa mengitari perkawinan campuran sejak
awal pengaturannya hingga perubahan pengaturan perkawinan antara lain
adalah konflik kepentingan kolonial, agama, adat dan pandangan sekuler.
Dengan demikian, pada saat tertentu hukum negara terkadang bias
dengan kepentingan pemerintal kolonial juga terkadang bias dengan
kepentingan adat, pandangan sekuler dan juga kepentingan agama.
Sejak awal masuknya pemerintah kolonial, telah ada upaya yang
sangat kuat untuk menyingkirkan posisi kelompok agama (Islam) dengan
melakukan pendekatan melalui kelompok adat, sehingga ada saat dimana
terlihat pertentangan pemerintah kolonial bergeser dengan kelompok
adat. Hal ini terjadi mulai dikuatkannya pemberlakuan hukum kolonial
12
Pengertian ini adalah pengertian luas kawin campur
59
tahun 1848 dengan adanya keinginan untuk melakukan unifikasi dan
kodifikasi hukum di Hindia Belanda atas dasar asas konkordasi.
Unifikasi dan kodifikasi hukum adalah upaya untuk menjadikan
hukum dinegara jajahan sebagai satu kesatuan hukum yang diberlakukan
secara universal dengan merujuk atau memberlakukan hukum Eropa di
negara jajahan (Hindia Belanda). Hal ini muncul tak lepas dari situasi
politik dinegara Belanda bersangkutan dengan pandangan beberapa elit
politik tentang keadaan negara jajahan. Hal ini dipacu dengan
kemenangan kelompok liberal yang menginginkan adanya perbaikan
hukum dinegeri jajahan dan kepastian hukum untuk masyarakat dan
kontrol terhadap pemerintahan eksekutif.13
Keinginan untuk menjamin kepastian hukum dengan anggapan
bahwa hukum Eropa lebih baik dibandingkan hukum bumiputera,
sehingga perlu dilakukan konkordasi. Oleh karena itu, konkordasi ini tak
lain sebagai upaya penetrasi budaya melalui hukum yang kemudian
menimbulkan polemik dan mendapat tantangan dinegara jajahan.14
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada masa itu dibagi beberapa
golongan penduduk dan hukum yang diberlakukan terhadap mereka.
Penggolang tersebut yaitu: golongan Eropa yang tunduk pada hukum
Eropa/Belanda, golongan bumiputera yang tunduk pada hukum adat dan
atau hukum lain yang ia pilih mengikatka, golongan Timur Asing yang
tunduk atau menundukkan diri pada Hukum Eropa dalam hal-hal tertentu
karena berhubungan dengan golongan Eropa. Penggolongan tersebut
kemudian menjadia dasar dan dibuat dan diberlakukannya beberapa
peraturan antara lain BW (Burgelijk Wetboek).
13 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, (Jakarta:
Rajawali Press) 1994 h. 95 14
Soekanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari
Hukum Adat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1981, h. 99
60
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Burgelijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum kolonial di
Indonesia yang berlaku untuk golongan Eropa yang tunduk pada hukum
Eropa atau golongan Timur Asing yang tunduk atau menundukkan diri
pada hukum Eropa, khususnya dalam hal perdata. Beberapa hal yang
diatur di dalam BW untuk kategori hukum keluarga.
Pengaturan perkawinan pada BW diatur di dalam banyak pasal,
oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengaturannya dianggap prioritas.
Perkawinan menurut BW hanya merupakan hubungan-hubungan perdata.
Maksudnya perkawinan disebutkan sebagai proses antara dua belah pihak
yang bersepakat melangsungkan perkawinan dihadapan seorang pegawai
catatan sipil.15
Peraturan ini tidak akan turut campur dalam upacara-
upacara yang diadakan oleh institusi agama. Pengaturan ini pun tidak
mengindahkan rintangan-rintangan perkawinan menurut agama. Secara
eksplisit BW menyatakan bahwa yang didahului adalah proses
perkawinan dihadapan catatan sipil ketimbang prosesi agama. Bahkan
dilarang dilakukannya perkawinan dengan menggunakan prosesi agama
sebelum dihadapan catatan sipil. Hal ini dapat ditemukan dalam pasal 81
yang menyebutkan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh
diselenggarakan sebslum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat
agama mereka bahwa perkawinan dihadapan pegawai catatan sipil telah
berlangsung.
Pengaturan ini secara implisit memberi peluang dilakukan
perkawinan antar agama. Tidak ada pasal-pasal yang secara eksplisit dan
detil membahas perkawinan antar agama. Dalam pasal-psala larangan
perkawinan tidak pula mengatur larangan perkawinan beda agama. Hal
ini dikarenakan prinsip utamanya adalah perkawinan dari formal
dihadapan negara yang diwakili oleh catatan sipil. Meski pada jaman
kolonial tidak berlaku untuk bumiputera, menarik untuk diamati
15
H.F.A. Vollmar , Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada) Jilid I, 1996, h. 50
61
bagaimana pengaturan perkawinan dalam BW tersebut. Sebab pada
praktiknya peraturan itu berjalan dan dilaksanakan terhadap golongan
tertentu di Indonesia sebagaimana disebutkan didalam BW. Selanjutnya,
setelah Indonesia merdeka, dan sebelum adanya Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974, BW menjadi salah satu referensi hukum bagi masyarakat
dan institusi pengadilan. Pengaturan inilah yang dijadikan dasar
terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia sebelum disahkannya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan
ini pun menjadi momok yang menakutkan bagi kelompok yang pro pada
pengaturan perkawinan yang berbasis agama.
2. Statblaad 1898 No. 158 tentang Peraturan Perkawinan Campur:
Politik Hukum Campur
Berdasarkan adanya peraturan yang berbeda antara satu golongan
dengan golongan lain, maka pemerintah membentuk beberapa hukum
yang sifatnya menejembatani adanya perbedaan antara satu golongan
dengan golongan lain , yang disebut dengan hukum campuran. Hukum
campuran dimaksud untuk menghindari adanya konflik antar golongan
sehingga ada beberapa macam tergantung bidang-bidang yang
menimbulkan konflik. Dalam hal hukum keluarga, hukum campuran
yang dibentuk adalah peraturan perkawinan campuran. Peraturan
perkawinan campuran dibentuk pada Desember 1896 oleh pemerintah
Hindia Belanda melalui statblaad 1898 Nomor 158 (GHR). Peraturan
perkawinan campuran ini dimaksud untuk mengatur perkawinan-
perkawinan antara orang-orang yang ada di Indonesia tunduk pada
hukum yang berbeda-beda. Penngaturan ini dimaksudnkan agar tidak
menimbulkan konflik hukum atas hal tersebut.
Peraturan perkawinan campuran ini pada umumnya berpegang pada
konsep hukum perdata yang diatur dalam Burgelijk wetboek. Burgelijk
wetboek memegang beberapa prinsip antara lain bahwa perkawinan
62
harus dicatatatkan dihadapan negara. Disamping itu, BW juga berpegang
pada satu kesatuan hukum di dalam keluarga, dimana laki-laki adalah
sebagai kepala keluarga sehingga perempuan sebagai istri dan anak-
anaknya tunduk dan mengikuti status hukum suami/ayahnya. Selain itu
aturan tersebut memegang pendekatan bahwa perempuan adalah bukan
subjek hukum (tidak cakap hukum).16
Berkaitan dengan perkawinan beda
agama, peraturan ini di dalam pasal 7 menegaskan bahwa: perbedaan
agama, bangsa dan keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang
terhadap perkawinan. Meskipun secara eksplisit peraturan ini menjamin
berlangsungnya perkawinan beda agama, namun dalam praktiknya
khususnya bagi perempuan perkawinan beda agama bukanlah hal yang
mudah. Perkawinan campuran dengan demikian pada prinsipnya
menggunakan perempuan sebagai jembatan perkawinan campuran.
Perempuanlah yang harus menundukkan diri dan mengubah status
hukumnya mengikuti hukum laki-laki. Pasal 2 menyebutkan bahwa
perempuan yang melakukan perkawinan campuran berubah statusnya
menjadi mengikuti status hukum suami. Sebagaimana telah disebutkan
pada peraturan tersebut bahwa perkawinan campuran ialah perkawinan
antara orang-orang (laki-laki maupun perempuan) yang tunduk pada
hukum-hukum yang berlainan, maka perkawinan campuran dapat
dilakukan dengan penundukan hukum.17
Pihak perempuan terhadap
hukum laki-laki yang menjadi suaminya.
Pasal lain dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa jika dalam
perkawinan tersebut putus, perempuan dapat kembali pada kedudukan
hukum semula, jika memberikan keterangan dalam jangka waktu setahun
setelah perkawinan putus. Keterangan tersebut harus ia sampaikan
kepada kepala pemerintahan daerah tempat kediamannnya agar dapat
dicatatkan dalam sebuah daftar khusus untuk itu, dan diumumkan dalam
16
BW memberlakukan tatanan matrimonial yaitu hubungan hukum perdata anak dengan
ibunya. BW juga memegang prinsip monogami dalam perrkawinan. 17
Penundukan hukum atau disebut pula pemilihan hukum dimana orang tersebut akan
tunduk pada hukum yang dipilihnya.
63
surat kabar resmi. Jika perempuan tersebut menikah lagi dengan laki-laki
lain yang memiliki status hukum yang berbeda maka otomatis perempuan
itu mengikuti status hukum suaminya.18
Disamping penggunaan perempuan sebagai penjembatan, Undang-
undang Perkawinan mensyaratkan secara mutlak adanya surat keterangan
bebas dari rintangan untuk melakukan perkawinan campuran
sebagaimana tertera di beberapa pasalnya. Persyaratan tersebut dapat
dilihat pada pasal 7 dan 8 Perkawinan Campuran. Perempuan yang akan
melakukan perkawinan campuran dengan seorang laki-laki dibolehkan
apabila telah melalui dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi perempuan tersebut. Misalnya,
jika perempuan itu awalnya tunduk pada hukum Eropa, maka ia dapat
melakukan perkawinan campuran dengan golongan ini selama tidak
hukum Eropa dan telah melalui syarat-syarat yang biasa yang harus
dipenuhi olehnya untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum
Eropa. Demikian pula bagi perempuan pribumi yang awalnya tunduk
pada hukum tertentu maka ia dapat melakukan perkawinan campuran
dengan golongan lain selama tidak melanggar oleh hukum tertentu.
Dipenuhinya syarat-syarat tersebut harus dibuktikan melalui surat
keterangan dari mereka yang berwenang menurut hukum yang berlaku
bagi si perempuan. Surat keterangan tersebut menunjukan bahwa tidak
ada rintangan lagi bagi si perempuan untuk melangsungkan perkawinan
campuran.
Persyaratan lain berkaitan dengan pengadaan surat keterangan
tersebut adalah perkawinan tersebut harus dilakukan oleh orang-orang
yang berwenang berdasarkan hukum si perempuan dan dilakukan di
tempat kediaman si perempuan. Jika orang yang berwenang menurut
hukum yang berlaku pada perempuan tersebut tidak ada, barulah
keterangan dapat diberikan oleh kepala penduduk golongan si
18 Pasal 3-5 Peraturan Perkawinan Campuran. Pasal ini menegaskan prinsip hukum
Eropa tentang ketidakmampuan perempuan dihadapan hukum yang tertera di BW. Peraturan
perkawinan campuran ini merupakan peraturan yang melengkapi hukum keluarga BW
64
perempuan. Jika pejabat tersebut tidak ada, dapat dilakukan oleh orang
yang ditentukan oleh kepala daerah setempat dimana perempuan tersebut
berada. Jika keterangan tidak diberikan, maka atas permintaan yang
berkepentingan pengadilan dapat memberikan putusan apakah
keterangan dapat diberikan atau tidak. Putusan tersebut diambil tidak
dilakukan dengan acara sidang, dan tertutup kemungkinan untuk banding
atau dipertanyakan hasilnya. Jika perkawinan tersebut dilangsungkan
tanpa ada surat keterangan bebas dari rintangan maka perkawinan
campuarn tersebut dapat dikenai sanksi.
Berbagai persyaratan diatas bisa menjadi hambatan, lebih khusus
lagi hambatan tersebut akan semakin tampak bagi perempuan dari
golongan agama yang jelas-jelas melarang perkawinan dengan laki-laki
dari agama lain. 19
Proses persyaratan bisa dihambat oleh keluarga atau
lingkungannya yang sangat mempercayai keyakinan agama atau hukum
yang bertolak belakang dengan peraturan tersebut. Meskipun halangan
perkawinan yang dimaksud bukan halangan agama, melainkan
keterikatan dalam perkawinan lain atau dengan yang memiliki relasi
keluarga dan sebagainya, keluarnya surat keterangan tetap tidak akan
mudah. Dengan demikian staatblaad 1898-158 ini menjamin terjadinya
pekawinan campuran (9suku, ras, agama, dan warga negara) peraturan
perkawinan campuran yang diatur dalam staadblaad 1898 nomor 158
dalam praktiknya masih menemukan kendala. Hal ini karena cara
pandang dan keyakinan terhadap nilai tertentu bahwa perkawinan beda
agama tidak dianjurkan. Namun, peraturan ini dapat dikatakan menjamin
perkawinan beda agama. Kebijakan ini sebetulnya menambah bibit
ketidaksukaan kelompok agama tertentu terhadap pemerintah Belanda
dan aturan-aturan yang dibuatnya.
Berbagai peraturan negara berkaitan dengan perkawinan beda agama
ternyata berbeda dari waktu ke waktu. Sejak mulai adanya kodifikasi
19
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat), 1986, h. 25
65
sehingga berlakunya BW, negara menyatakan perbedaan agama tidak
boleh menjadi halangan perkawinan hal tersebut berlanjut dengan adanya
peraturan perkawinan campuran dalam staadblaad 1898 Nomor 158
hanya saja pada peraturan ini mulai terlihat ada hambatan yang tersirat.
Pembatasan tersebut implisit dengan adanya persyaratan yang sangat
ketat bagi perempuan yang akan menikah dengan golongan lain.
Selanjutnya, pada pengaturan negara yang terakhir di dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hambatan menjadi
semakin membesar meskipun tidak ada pelarangan secara eksplisit
terhadap pihak-pihak untuk melakukan perkawinan beda agama, namun
interpretasi agama bagi pelaksana hukum sedemikian kuat untuk
menghalangi perkawinan beda agama.
Oleh karena itu pengaturan yang berbeda dapat ditarik benang merah
bahwa pada sebenarnya perkawinan beda agama adalah masalah yang
sepertinya tidak berkesudahanan tertutama pada saat ini. Pengaturannya
di dalam hukum tidak lebih untuk membatasi dan menghindarkan konflik
yang lebih luas di dalam masyarakat yang plural dimana ada pihak yang
sangat dominan dan memegang kuat nilai-nilainya tanpa kompromi dan
berusaha untuk memperkuat kebenaran yang dipegangnya. Hal ini pada
tingkat implementasi hukumnya menimbulkan masalah sebab dengan
adanya hambatan di tingkat penafsiran terhadap Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga tidak disahkannya
perkawinan beda agama, masih ada masyarakat yang tetap melakukannya
ddengan berbagai cara. Antara lain dengan melangsungkan perkawinan
nya di luar negeri dan banyak pula yang melakukan penyelundupan
hukum.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian pembahasan yang ditelah disampaikan
dalam bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat penulis berikan
adalah:
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang
perkawinan beda agama. Karena yang mengatur sahnya perkawinan
adalah agama. Sehingga apabila ada agama yang memperbolehkan
perbedaan agama maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan pada
Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama. Melalui perumusan
pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta
penjelasannya, ternyata telah menutup kemungkinan terjadinya
perkawinan beda agama dikalangan masyarakat. Kenyataannya ialah,
karena tidak ada pengaturan tentang perkawinan beda agama maka
prosedur tentang perkawinan beda agama pun tidak ada dalam hukum
perkawinan.
2. Pencatatan yang dilakukan oleh kantor catatan sipil tersebut sah sesuai
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun, pengertian sah disini adalah diakui negara berdasarkan
perundang-undangan di negara dimana warga negara Indonesia
melangsungkan perkawinan dan di Indonesia. Dengan landasan
pemahaman tersebut, legalitas atas pencatatan perkawinan yang
dilakukan warga negara Indonesia di luar negeri tidak terdapat
persoalan secara hukum negara. Persoalan yang muncul justru berada
keabsahan menurut hukum agama masing-masing pasangan suami istri
tersebut, dimana norga agama mengatur sendiri ketentuan perkawinan
yang harus dilakukan dalam satu atap keimanan.
67
3. Akta perkawinan yang dikeluarkan di luar negeri merupakan akta
otentik di Indonesia, walaupun tidak sesuai dengan hukum yang ada di
Indonesia karena telah dibuat secara sah oleh pejabat yang berwenang
dinegara tempat pasangan suami istri warga negara Indonesia berbeda
agama tersebut melangsungkan perkawinan.
B. Saran
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, penulis sampaikan saran
sebagaimana berikut ini:
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai hukum perkawinan
sekiranya harus dapat menampung gejala-gejala sosial yang ada di
masyarakat, khususnya tentang perkawinan beda agama. Kalau pejabat
negara mencermati kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat
bahwa perkawinan beda agama banyak terjadi maka sebaiknya pejabat
negara membuat ketentuan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan beda agama, bahwa sebenarnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang perkawinan beda
agama, tetapi mengembalikan kepada hukum agama yang dianut oleh
kedua mempelai, apakah dalam hukum agama mereka perkawinan beda
agama dilarang atau tidak. Ketentuan ini berguna untuk mengatasi
pemahaman yang berbeda terhadap ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu, dengan adanya ketentuan
yang jelas tentang perkawinan beda agama, akan mengurangi
kesimpangsiuran mengenai pencatatan perkawinan beda agama. Hal ini
akan memudahkan pemerintah untuk melakukan proses administrasi
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang dialami oleh warga negara
Indonesia.
2. Perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap rumusan sahnya
perkawinan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 56 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk menghindari adanya
kesalahpahaman mengenai keabsahan perkawinan
68
3. Untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum perlu segera
dipercepat pembahasan dan pengesahan RUU tentang catatan sipil agar
adanya keseragaman hukum dalam pelaksanaan perkawinan di
Indonesia
4. Untuk mencegah terjadinya penyulundupan hukum dalam perkawinan
pasangan yang berbeda agama di luar negeri, maka diperlukan
peraturan mengenai sanksi atau ketegasan serta keseragaman dalam
penerapan peraturan perkawinan oleh pejabat yang berwenang sehingga
tidak terdapat kemungkinan penggunaan sarana ini sebagai upaya
penyimpangan hukum perkawinan
69
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rafiq, Tanpa Tahun.Hukum Islam di Indonesia, dalam Baharuddin
Ahmad. Hukum Perkawinan di Indonesia.
Ahmad, Baharudin. 2008.Hukum Perkawinan di Indonesia: Studi Historis
Metodologis. Jambi: Syari’ah Press IAIN STS Jambi.
Asmin. 1985. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974. Jakarta: Dian Rakyat.
Badan Pengkajian Hukum Nasional Departemen Kehakiman. 1993. Laporan
Akhir Pengkajian Hukum tentang Perkawinan Campuran (dalam
Hukum Perdata Internasional). Jakarta: BPHN.
Darmabrata, Wahyono; dan Surini Ahlan Sjarif 2002. Hukum Perkawinan dan
Keluarga di Indonesia. Jakarta: Rizkita.
Djalil, Basiq. 2005. Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan
Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Qalbun Salim
Hadiono, Wiarawan. 1983. Perkawinan antar Agama dan antar Negara Sebagai
Suatu Permasalahan Hukum: Suatu Kajian Terhadap Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mimbar Hukum.
Harahap, Yahya. 1995-1996. Kompilasi Hukum Indonesia. Binpapera Departemen
Agama RI.
Hazairin. 1975. Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. Jakarta: Tintamas.
Helim, Abdul. “Membaca Kembali Eksistensi Pencatatan Akad Nikah dalam
Perfektif Ushul Fikih,” http://abdulhelim.com, Diakses pada 20 Juni
2018.
Hidayat, Rachmat Taufik. “Masalah Hukum Kawin Campur”
www.pikiranrakyat.com/prcetak/122001/06/0801.htm+kawin+beda+ag
ama&hl=id. Diakses pada 14 Maret 2018
70
Ihromi, T.o. 1976. “Hukum dan Keluarga: Pembahasan tentang Hubungan
Timbal Balik antara Hukum dan Keluarga dalam rangka Pengumpulan
Bahan-bahan untuk Usaha Pembaharuan Hukum.” Dalam Hubungan
Timbal Balik antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Kusumawardhani, Irawati. 1998. Aspek-aspek Perkawinan Campuran: Suatu
Analis Dampaknya Terhadap Anak-anak. Yudishtira 2.
Mahkamah Agung. 1989. Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986.
Manar, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Mustika, Dian. “Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum Keluarga
di Dunia Islam,” http://online-journal-unja.ac.id, Diakses Pada 20 Juni
2018.
Nur, Djaman. 1993. Fiqh Munakahat. Semarang: CV Toha Putra Semarang.
Pasal 1, 2 dan 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun1974tentang Perkawinan.
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun1974tentang Perkawinan.
Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 33 ayat (2) KUH-Perdata/Burgelijk Wetboek
Pasal 3-5 Pengaturan Perkawinan Campuran.
Pasal 4 dan 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 56 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 70 Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2012.
Pasal 80-81 KUH-Perdata/Burgelijk Wetboek
71
Prakoso, Djoko; dan I Ketut Murtika. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan di
Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Prawirohamidjojo. 1974. Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia. Surabaya: Airlangga Press.
Prodjodikoro, Wirjono. 1974. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur.
Puje, Gede. Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu.
Purbacaraka, Purnadi; dan Agus Brotosusilo. 1994. Sendi-sendi Hukum Perdata
Internasional: Suatu Orientasi. Jakarta: Rajawali Press.
Ramulyo, Idris. 1985. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Peradilan Agama
dan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Hill.co
Sachiko, Desi. “Menikah di Singapura; It’s So Simple!”.
http://www.desisachiko.com/2014/04/10/menikah-di-singapura-its-so-
simple/. Diakses Pada 13 April 2018
Sairin, Winata. Problematika Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia Dalam
Pengamatan PGI
Soekanto, Soerjono. 1980. Intisari Hukum Kekeluargaan. Bandung: Alumni
Bandung.
Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk
Mempelajari Hukum Adat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soimin, Soedharyo. 1996. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti, R. 1977. “Beberapa Hal yang Tidak Jelas dalam Undang-undang
Perkawinan.” Dalam Bunga Rampai Ilmu Hukum. Bandung:
Alumni Bandung.
Talib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press.
Ulfah, Maria; dan Martin Lukito. 2004. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Perspektif Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: Kapal Perempuan.
Umbara, Citra. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. PP Nomor 9 Tahun
1974. TLN Nomor 3019.
72
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-
undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 Nomor 22
tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh
daerah luar Jawa dan Madura
Vollmar, H.F.A. 1996. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum
Nasional;Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Yohanes, Paulus. Kitab Perjanjian Baru, Korintus I.