kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama

42
KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA OLEH RAGIL NOVITA SARI 802014166 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2018

Upload: others

Post on 29-Dec-2021

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA

AGAMA

OLEH

RAGIL NOVITA SARI

802014166

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari

Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018

Page 2: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Page 3: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Page 4: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang

bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ragil Novita Sari

Nim : 802014166

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

UKSW hal bebas royalty non-ekslusif (non-excusive royalty freeright) atas karya

ilmiah saya berjudul:

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Dengan hak bebas royalty non-ekslusif ini, UKSW berhak menyimpan

mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,

merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga

Pada Tanggal : 2 Mei 2018

Yang menyatakan,

Ragil Novita Sari

Mengetahui,

Pembimbing

Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.

Page 5: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ragil Novita Sari

Nim : 802014166

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

KEPUASAN PERKAWIAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Yang dibimbing oleh :

Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau

gagasan orang lain yang saya ambil dengan menyalin atau meniru dalam bentuk

rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-oleh sebagai karya

sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber lainnya.

Salatiga, 2 Mei 2018

Yang memberi pernyataan

Ragil Novita Sari

Page 6: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

LEMBAR PENGESAHAN

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Oleh

Ragil Novita Sari

802014166

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyarataan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Disetujui Pada Tanggal 2 Mei 2018

Oleh

Pembimbing

Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.

Diketahui oleh,

Kaprogdi

Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi.

Disahkan oleh,

Dekan

Berta Esti A. Prasetya, S.Psi., MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018

Page 7: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN

BEDA AGAMA

Ragil Novita Sari

Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

p

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018

Page 8: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

i

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan perkawinan

pada pernikahan beda agama. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian kualitatif. Pada metode tersebut peneliti menerapkan wawancara

dan observasi untuk mengetahui gambaran kepuasan perkawinan pada pernikahan

beda agama. Partisipan pada penelitian ini merupakan tiga orang yang menjalani

perkawinan beda agama dan mempertahankan perkawinannya sampai penelitian ini

dibuat, tinggal disatu tempat yang sama atau tidak menjalani hubungan jarak jauh,

partisipan merupakan satu-satunya yang menjalani pernikahan beda agama didalam

keluarganya dan pada saat penelitian ini dilakukan usia pernikahanya tidak lebih dari

enam tahun. Hasil dari penelitian ini adalah kepuasan pernikahan itu bersifat subjektif

karena tidak semua pasangan menunjukkan adanya kepuasan dalam pernikahannya.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua subjek yang merasakan kepuasan perkawinan

dan subjek lain kurang menunjukkan kepuasan perkawinan, sesuai dengan aspek-

aspek kepuasan perkawinan dalam teori Olson dan Fowers (1989) yaitu komunikasi,

aktivitas waktu luang, orientasi keyakinan beragama, pemecahan masalah, pengaturan

keuangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat, peran dalam keluarga, kepribadian

pasangan, dan peran menjadi orang tua tidak semua pasangan menunjukkan adanya

kepuasan dalam pernikahannya.

Kata kunci: Kepuasan Perkawinan, pernikahan beda agama.

Page 9: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

ii

Abstract

The purpose of this research is to know the picture of marriage satisfaction at

interfaith marriage. The research method used in this research is qualitative

research. In that method the researcher applies interview and observation to know

picture of marriage satisfaction at interfaith marriage. Participants in this study were

three people who underwent a interfaith marriage and maintained their marriage

until the study was made, living in one place or not undergoing a long distance

relationship, the participants were the only one who underwent interfaith marriages

in his family and at the time and at the time of this study the marriage age is not more

than six years old. The result of this research is the satisfaction of the marriage is

subjective because not all partners show satisfaction in their marriage. This is

indicated by the existence of two subjects who felt the satisfaction of marriage and

other subjects showed less indication of marital satisfaction, in accordance with

aspects of marital satisfaction in the theory of Olson and Fowers (1989) are

communication, leisure activities, religious beliefs orientation, problem solving,

financial, sexual orientation, family and relatives, family role, partner personality,

and parent role, not all partners show satisfaction in their marriage.

Keywords: Marital Satisfaction, interfaith marriage.

Page 10: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

1

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan puncak dari suatu hubungan antara laki-laki dan

perempuan. Seperti halnya yang juga dikatakan oleh Duvall dan Miller (1985),

perkawinan diartikan sebagai hubungan interaksi timbal balik antara laki-laki dan

perempuan yang sifatnya paling intim dan cenderung diperhatikan. Pernikahan

menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada

penerapannya perkawinan tidak selalu terjadi pada pasangan dengan agama yang

sama. Kondisi tersebut semakin diperkuat dengan adanya keberagaman agama di

Indonesia.

Keberagaman agama dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena khas yang

terdapat di Indonesia. Secara resmi, pemerintah Indonesia mengakui adanya enam

agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Akan tetapi, di

samping agama-agama yang diakui tersebut, pada dasarnya Indonesia masih memiliki

beragam agama suku atau aliran kepercayaan yang terdapat di masing-masing daerah.

Keberagaman agama yang ada, sedikit banyak turut mempengaruhi bagaimana tata

kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Semua orang dari latar belakang agama

yang berbeda saling berinteraksi di dalam kesehariannya. Bahkan terdapat fenomena

dimana bentuk interaksi tersebut dapat berlanjut sampai pada tahapan hubungan

perkawinan(http://satzchoochoo182.wordpress.com/2017/01/18/agamaleluhurmasing

masingsukubangsadinusantaraindonesia/).

Page 11: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

2

Dalam pernikahan yang dijalani setiap pasangan mengharapkan adanya

kepuasan perkawinan. Menurut Spanier dan Cole (1976), kepuasan perkawinan

didefiniksikan sebagai sebuah penilaian seseorang atas perasaannya terhadap

pasangannya, perkawinanya, serta hubungannya dengan pasangannya. Dalam

memahami sebuah penilaian ini, kita tidak dapat melihatnya secara statis atau final

karena perkawinan berjalan terus, sehingga dimungkinkan adanya perubahan-

perubahan penilain didalam pernikahannya tersebut.

Kepuasan perkawinan merupakan penilaian subjektif dari seseorang didalam

menjalani kehidupan pernikahan tersebut. Seperti yang dikatakan Hendrick &

Hendrick (1992), kepuasan perkawinan merujuk pada evaluasi hubungan pernikahan,

apakah hubungan tersebut baik, buruk, atau memuaskan. Menurut Bahr, Chappell,

dan Leigh (1983), pasangan suami atau istri akan merasakan kepuasan dalam

perkawinan mereka, jika kebutuhan dan harapannya dapat terpenuhi. Dalam hal ini

kita bisa melihat bahwa kepuasan perkawinan itu tidak hanya bergantung pada diri

individu itu sendiri, tetapi juga bergantung pada respon yang diberikan oleh

pasangannya. Dengan demikian kepuasan perkawinan menuntut adanya hubungan

timbal balik dari masing-masing pasangan suami atau istri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2012), memperlihatkan

bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat subjektif. Dari dua partisipan yang diteliti

didapatkan hasil yang berbeda. Pada partisipan pertama partisipan belum meraskan

kepuasan dalam perkawinannya karena belum terpenuhinya aspek material dan

psikologis. Sedangkan pada partisipan kedua didapatkan partisipan telah merasakan

Page 12: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

3

kepuasan perkawinan karena sudah terpenuhinya aspek material, psikologi, dan

seksual.

Menurut Olson dan Fowers (1993) ada sepuluh aspek yang dapat

mempengaruhi kepuasan perkawinan. Aspek-aspek tersebut meliputi : 1)

Komunikasi, melihat pada perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi yang

berfokus pada kenyamanan. 2) Aktivitas waktu luang, mengukur pada kegiatan yang

dipilih untuk menghabiskan waktu luang bersama. 3) Orientasi keyakinan beragama,

mengukur makna kepercayaan dan praktiknya, dimana pemaknaan akan keagamaan

yang tinggi akan memperlihatkan nilai yang tinggi dalam kepuasan perkawinannya.

4) Pemecahan masalah, mengukur persesi pasangan mengenai kemampuan

menghadapi dan cara menyelesaikan masalah. 5) Pengaturan keuangan, dilihat sikap

suami atau istri dalam melakukan pengelolaan keuangan rumah tangga mereka. 6)

Orientasi seksual, mengukur perasaan pasangan menegenai afeksi dan hubungan

seksual mereka. Apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan, penyesuaian

seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidak bahagiaan. 7) Keluarga

dan kerabat, menunjukan bagaimana harapan dan kenyamanan dalam menghabikan

waktu luang bersama keluarga besar dan teman-teman. 8) Peran dalam keluarga,

mengukur tentang perasaan dan sikap individu tentang perannya dalam keluarga.

Yang berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah tangga, seks, serta peran sebagai

orang tua. 9) Kepribadian pasangan, mengukur persepsi individu pada pasangannya

dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap

masalah-masalah yang dihadapi. 10) Peran menjadi orang tua, mengukur sikap dan

perasaan pasangan dalam membesarkan anak, kesepakatan dalam mengasuh dan

Page 13: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

4

mendidik anak. Dari uraian tersebut, aspek-aspek kepuasan perkawinan merupakan

unsur-unsur yang membentuk terciptanya kepuasan perkawinan. Semakin tinggi nilai

dalam suatu aspek menunjukkan kepuasan suatu aspek tersebut.

Kepuasan perkawinan dapat dibangun oleh masing-masing pasangan melalui

banyak faktor. Merujuk pada pemikiran Duvall dan Miller (1985), faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan perkawinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor sebelum

perkawinan dan faktor sesudah perkawinan. Faktor sebelum perkawinan meliputi,

kondisi perkawinan orang tua, kebahagiaan pada masa kanak-kanak, ketegasan dalam

disiplin, pendidikan seks, tingkat pendidikan, dan lamanya waktu berkenalan dengan

pasangan sebelum menikah. Faktor-faktor kepuasan perkawinan yang muncul setelah

perkawinan yaitu, keterbukaan dalam mengekspresikan cinta pada pasangan, rasa

saling percaya, tidak saling mendominasi dalam pengambilan keputusan, adanya

komunikasi yang baik, perasaan senang kedua belah pihak dalam berhubungan seks,

penghasilan yang cukup dalam memenuhi kebutuhan keluarga, dan memiliki tempat

tinggal yang relatif menetap, serta saling berpartisipasi dalam kehidupan sosial

pasangan.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Srisusanti dan Zulkaida (2013). Mereka

meneliti tentang faktor dominan apa saja yang mempengaruhi kepuasan perkawinan.

Dengan hasil, hubungan interpersonal dengan pasangan, partisipasi keagamaan, dan

kehidupan sosial merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kepuasan

perkawinan.

Page 14: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

5

Menurut Mandra & Artadi (dalam Eoh, 1996), pernikahan beda agama atau

yang sering disebut interfaith marriage dapat dipahami sebagai ikatan lahir batin

antara laki-laki dan perempuan yang memiliki latar belakang agama yang berbeda

tetapi mereka tetap mempertahankan perbedaan tersebut didalam hubungan suami

istri dengan tujuan untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa

ketika dua orang yang memiliki agama yang berbeda dan memutuskan untuk menikah

tetapi kemudian mereka menjalani hubungan suami istri dalam satu agama yang

sama, berarti mereka tidak dapat dikatakan menjalani pernikahan beda agama.

Pernikahan beda agama merupakan hal yang masih menarik perhatian di

negara ini. Meskipun hal ini dianggap kebiasaan yang menyimpang dari kebiasaan

yang ada, namun fenomena pernikahan beda agama pada kenyataanya masing sering

terjadi. Hal ini didukung oleh penelitian dari Wahyuni (2004) yang melihat realitas di

masyarakat bahwa pernikahan beda agama masih relatif terjadi dibeberapa daerah. Di

daerah kabupaten Gunung Kidul terdapat data rata-rata 32% pertahun pernikahan

berasal dari agama yang berbeda dan juga di beberapa KUA (Kantor Urusan Agama)

terdapat rata-rata 2,5% pernikahan yang berasal dari agama yang berbeda.

Terkait dengan pernikahan beda agama, Mistranmi (2008) pernah melakukan

penelitian tentang motivasi pasangan yang menikah beda agama. Hasilnya, motivasi

seseorang menikah beda agama bersifat subjektif. Pada partisipan satu dan dua

mereka memiliki motivasi yang sama yaitu pernikahan yang bahagia, sehat, sejahtera,

kekal, keluarga yang harmonis, serta penuh kasih sayang. Sedangkan pada partisipan

Page 15: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

6

tiga, motivasi pernikahan beda agama karena adanya kesatuan dari perbedaan agama

antara partisipan dan pasangan partisipan.

Jika dilihat dari persepsi masyarakat pernikahan dengan agama yang sama

akan lebih memiliki kepuasan dibanding dengan orang yang menikah beda agama.

Hal ini seperti yang dikatakan Pratiwi (2014), bahwa pernikahan beda agama dapat

menimbulkan berbagai masalah baik secara internal maupun eksternal dan mendapat

pandangan yang tidak baik dari masyarakat dan lingkungan agama itu sendiri.

Dari penelitian-penelitian diatas penulis melihat bahwa kepuasan perkawinan

itu bersifat subjektif, tergantung pemaknaan dari masing-masing orang. Meskipun

bersifat subjektif, tetapi terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

perkawian itu sendiri. Salah satu faktornya adalah orientasi keagamaan. Namun pada

penelitian sebelumnya tidak membahas secara mendalam mengenai orientasi

keagamaan. Jika dilihat dari penelitian yang dilakukan sebelumnya pernikahan beda

agama tidak dapat dikatakan hal yang dipandang sebelah mata lagi karena didalam

penelitian tersebut didapat 32% penduduk yang menikah beda agama dan itu bukan

jumlah yang kecil.

Banyak persepsi masyarakat yang melihat bahwa kepuasan perkawinan akan

lebih mudah terbentuk apabila pasangan memiliki orientasi keagamaan yang sama,

namun bagaimana jika persepsi itu salah. Bagaimana jika kepuasan perkawinan itu

dilihat dari pasangan yang menikah beda agama. Sehingga hal-hal di atas menjadi

alasan peneliti untuk melakukan penelitian pada orang yang menjalani pernikahan

beda agama. Berdasarkan uraian diatas mengenai kepuasan perkawinan penulis ingin

Page 16: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

7

meneliti lebih dalam tentang bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada

pernikahan beda agama.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu Psikologi pada umumnya dan khususnya kajian

bagi Psikologi Sosial serta memberikan informasi mengenai gambaran kepuasan

perkawinan pada pernikahan beda agama, keluarga dapat memberikan dukungan bagi

pasangan yang menikah beda agama, memberikan masukan dan bahan pertimbangan

bagi peneliti selanjutnya khususnya mengenai kepuasan perkawinan pada pernikahan

beda agama.

METODE

Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif, secara khusus penelitian ini dilakukan karena peneliti ingin mengetahui

gambaran kepuasan perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang menjalani

pernikahan beda agama, berdasarkan sifat masalah yang akan diteliti dan

mempertimbangkan suatu peristiwa yang tidak dapat diungkap secara kuantitatif,

sehingga akan diperoleh data yang lebih lengkap, komplek, dan mendalam sesuai

dengan penghayatan dan perasaan subjektif individu.

Partisipan

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan partisipan yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian, kriteria partisipan ialah orang yang menjalani pernikahan

beda agama dan mempertahankan perbedaan agama itu hingga penelitian ini

dilakukan, tinggal di satu tempat yang sama atau tidak menjalani hubungan jarak

Page 17: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

8

jauh, partisipan ini merupakan satu-satunya yang menjalani pernikahan beda agama

didalam keluarga besarnya, saat penelitian ini dilakukan usia pernikahannya lebih

dari enam bulan dan kurang dari enam tahun pernikahan. Berdasarkan kriteria

tersebut peneliti memperoleh tiga orang partisipan yang memenuhi kriteria tersebut.

Metode Pengumpulan Data

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Metode yang digunakan peneliti untuk pengumpulan data adalah dengan wawancara

dan observasi. Sebagai pendukung dari penelitian ini, pengumpulan data didukung

dengan melakukan observasi.

Proses Pengambilan Data

Pada bagian ini peneliti melakukan persiapan penelitian yang berkaitan

dengan pengambilan data pada penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan metode pengambilan data dengan observasi dan wawancara,

sehingga peneliti mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan. Untuk merekam

seluruh hasil wawancara, peneliti menggunakan smatphone sebagai alat perekam

suara dan alat tulis guna mencatat hal-hal penting yang muncul selama pendekatan,

proses wawancara dan pengamatan terhadap partisipan. Peneliti juga mempersiapkan

interview guide yang digunakan sebagai panduan dalam melalukan wawancara.

Awalnya peneliti mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria dalam

penelitian. Peneliti mendapatkan beberapa partisipan, setelah disesuaikan dengan

kriteria akhirnya peneliti mendapatkan tiga orang sebagai partisipan. Sebelum

melakukan pengambilan data dengan wawancara, peneliti melakukan pendekatan

terlebih dahulu pada ketiga partisipan yang berlangsung selama tiga minggu. Ketiga

Page 18: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

9

partisipan merupakan orang yang sudah dikenal peneliti sehingga mempermudah

dalam memperoleh kesepakatan dan proses wawancara. Selama proses pendekatan

peneliti melakukan kesepakatan dengan partisipan, berupa kesediaan partisipan untuk

di wawancara dan penggunaan perekam suara berupa smartphone sebagai keperluan

dalam penelitian. Ketiga partisipan bersedia memberikan informasi tetapi dengan

nama yang diinisialkan.

Analisa Data

Setelah mendaptkan data, maka peneliti melakukan analisis data dengan

metode pengolahan data. Menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2012),

metode pengolahan data meliputi tahapan pengumpulan data yang cukup, sesuai

dengan topik penelitian dan dapat dianalisis, kemudian peneliti menggabungkan dan

menyeragamkan segala bentuk data menjadi satu bentuk tulisan, selanjutnya penulis

membuat matriks kategorisasi sesuai kategori atau kelompok tema-tema, dipecah

dalam bentuk yang lebih konkret dan sederhana (subtema), kemudian memberikan

kode (coding) dari subtema sesuai verbatime wawancara, dan yang terakhir adalah

kesimpulan atau verifikasi yang berisi menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan

fokus penelitian.

HASIL

Dari analisis verbatim dan hingga sampai pada disesuaikannya dengan

sejumlah kategori yang sesuai dengan sepuluh aspek pada pasangan yang menikah

yaitu: komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah,

pengaturan keuangan, kepribadian pasangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat,

Page 19: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

10

peran dalam keluarga, peran menjadi orang tua yang merupakan evaluasi menyeluruh

mengenai kepuasan perkawinan.

Komunikasi

P1 secara keseluruhan terbuka dengan pasangannya, begitu pula sebaliknya,

dalam hal empati saat P1 bercerita tentang keluhannya kepada pasangan, pasangan

menunjukan sikap peduli dengan memberi masukan, pasangan juga tidak

menginterupsi P1 tetapi mendengarkan dulu sampai selesai, P1 mengatakan:

“Ya kalau pasangan saya soal terbuka ya terbuka, tapi gimana ya kayak aku

gitu. Diem dulu, kalau sudah siap mau bicara ya baru dibicarakan gitu

biasanya dibicarain apa yang menjadi ganjelan gitu" (P1 28-30)

“misal udah dikasih tahu aku punya keluhan apa, ada masalah apa, itu pasti

dikasih jalan keluar enaknya gimana” (P140-41)

“pasti didengerke dulu sampai selesai baru dikasih solusi” (P1 44)

P3 juga merasakan hal yang sama dengan P1 dimana ia dan pasangannya selalu

menceritakan tentang hal-hal yang P3 dan pasangan alami, pasangannya

mendengarkan keluh kesah P1 degan mendengarkannya terlebih dahulu tanpa

meginterupsi dan juga menangapi cerita P1 dengan perhatian, P3 mengatakan:

“… kami selau bercerita soal apa aja, saling terbuka gitu mbak satu sama

lain. Entah itu soal sepele, entah hanya gurauan, ya kita saling ngobrola aja”

(P3 33-35)

“Engga kok, didengarkan. Ya gitu didengarkan dulu sampai selesai baru

dikasih saran atau hanya ditanggepin aja sesuai apa yang saya ceritakan,

gimana dan bagaimana, gak pernah kok dicuekin gitu, ga pernah” (P3 49-53)

"Kita obrolin dulu masalah apa yang terjadi, baru cari jalan keluarnya

dengan baik, tidak saling menyalahkan satu sama lain" (P3 60-63)

Page 20: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

11

Sedangkan P2 tidak semua hal dapat dikomunikasikan pada pasangan, pasangannya

juga kurang merespon terhadap P2 dan dalam bebrapa kasus pasanga kurang peduli ,

serta pasangan sering memotng pembicaraan P2 saat ia bercerita, ia mengatakan:

"Emm untuk komunikasi, hanya beberapa yang saya ceritakan kepada suami

saya, saya tidak sepenuhnya bercerita tentang apa yang saya alami kepada

suami saya" (P2 29-31)

"Kalau masalah respon tergantung mbak, tergantung, kalau saya sudah

sering menceritakan ya mungkin responnya kurang baguslah. Apa ya cueklah

gitu, dan suka memotong pembicaraan saya" (P2 51-54)

Aktivitas waktu luang

Ketiga partisipan dan pasangannya saling menghabiskan waktu luang dengan

intensitas P1 dan P3 sering menghabiskan waktu luang bersama-sama untuk sekedar

jalan-jalan, mengobrol bersama, dan juga sebagai refresing. Seperti yang dikatakan

P1:

“ Harus sama anak dan suami, gak perlu mahal yang penting seneng gitu,

yang penting anak bojo(pasangan) itu lego atine (lega hatinya), ben pikirane

refresh (supaya pikirannya segar)”(P1 148-149)

P3 juga mengatakan, P3 sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama waktu luang

bersama-sama untuk sekedar jalan-jalan, mengobrol bersama, ia mengatakan:

“Biasanya kita jalan jalan, walau ketempat yang deket sih tidak apa-apa,

yang penting kita bisa ngobrol bareng- bareng sama mertua" (P3 175-176)

Dalam menghabiskan waktu luang bersama P2 sebisa mungkin menghabiskan waktu

luang dengan pasangan dan juga anaknya, namun kurang intens karena bergantung

dengan kemauan suami mau atau tidaknya, P2 mengatakan:

“Ya tergantung, kalau pas suami bisa dan mau ya bareng-bareng, tapi kalau

enggak ya hanya ak dan anak aja." (P2 137-138)

Page 21: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

12

Orientasi keyakinan beragama

Ketiga partisipan pada umumnya saling mendukung dan menghormati

didalam menjalankan ibadahnya sesuai agama mereka. P1 dan pasangannya pada

orientasi keyakinan beragama saling mendukung dan menghormati serta tidak

memaksakan keyakinan masing-masing, seperti yang diungkapkan P1 dengan

berkata:

"Ya saling mendukung, kita saling menghormati satu sama lain. Ya suamiku

mendukung aku dia gak pernah maksa aku ikut dia dan akupun juga begitu,

suamiku juga ga mempersoalkan apapun tentang agama. Kan rumahku deket

masjid kan, gak pernah yang gimana-gimana juga kalau saya menjalani

agama saya" (P1 263-267)

“…. aku bilang sama suamiku 'yah kok aku diajak ibu kegereja'. Tapi

suamiku bilang 'yasudahlah kalau kamu ga dari hatimu ya jangan ikutan,

orang aku juga gapernah nyuruh nyuruh kamu, aku dalam hati juga begitu

gak mau kalau disuruh suruh'. Aku gak pernah maksa suamiku buat ikut aku

dan suamiku juga begitu dan itu yang selalu kita tanamkan” (P1273-277)

Sama halnya dengan yang dirasakan P1, P3 dan pasangannya juga selalu mendukung

dalam menjalani ibadahnya masing-masing dan dijalankan dengan baik bahkan

pasangannya juga memperbolehkan partisipan mengenakan jilbab dalam

kesehariannya, hal itu diungkapkan oleh P3 dengan mengatkan:

"Gak ada masalah, kita tidak saling mengganggu agama satu sama lain,

kalau waktu ibadah ya kita ibadah dan kita jalankan dengan baik baik" (P3

104-105)

“…. saya kan pakai jilbab, ya diperbolehkan pasangan saya” (P3 119-120)

P2 dan pasangannya juga memberikan dukungan sama seperti P1 dan P3, namun ada

batasan-batasan tertentu dalam menjalankan ibadah dan sebelum menikah juga telah

Page 22: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

13

ada kesepakatan bersama, pasangan P3 juga kurang membaur saat P3 merayakan hari

raya keagamaan, P2 mengatakan:

“Kan gak semua to orang yang ke mahjid itu berprilaku baik, punya pikiran

baik juga, soalnya juga yang memprovokasilah, memprovokasi harus gini

gini, orang beda agama harus gini gitu, dan itu menurut saya tidak baik” (P2

170-173)

“Emm sebelum menikah kita sudah ada perjanjian terlebih dahulu, kan tahu

kalau kita berbeda keyakinan ya misalnya kalau pas ada acara seperti natal

dan lebaran ya masing-masing menjalani keyakinan kita, soal kemahjid juga

ya saya injinkan selama itu baik, kalau gak baik ya saya larang” (P2 164-

165)

“Kalau soal toleransi ya perlu ditingkatkan ya, karena kan keluarga besar

saya semua beragama katholik pas natal atau paskah kan ada pertemuan

keluarga mungkin dia lebih bisa membaurlah, dikurang-kurangi sensitifnya

terhadap keluarga saya yang sebagian besar ya beragama katholik” (P2 175-

179)

Pemecahan masalah

P1 dan P3 dengan pasangannya masing-masing pada pemecahan masalah

saling menguatkan dan memberi dukungan. P1 dan pasangannya dalam pemecahan

masalah menenangkan diri masing-masing, memberi waktu kepada keduanya untuk

berfikir sendiri-sendiri dan jikalau sudah tenang baru dibicarakan. P1 dan

pasangannya juga saling memberi dukungan satu sama lain, P1 mengatakan:

“Misal dalam keluargaku, biasanya klo aku sama suamiku ada masalah to, itu

pasti diem, biasane diem tu satu kalo ga dua hari buat nenangke

(menenagkan) pikiran, kan kalo udah tenang atine (hatinya) udah gak panas

baru diomongin (bicarakan), soale nek pas (soalnya waktu) ada masalah

langsung diomongke (dibicarakan) kan malah tambah panas to, makane

nunggu atine adem (makanya tunggu harinya tenag) dulu.” (P1 49-54)

“…. Soalnya apa aku pernah kecentok (terdesak bicaraan) masak ya mertua

aku bilang pas aku kesana "ko tahu maen ke sini juga km?". ya aku langsung

bilang ke suamiku, ya makanya aku enggak pernah ditinggal sendiri sama

pasanganku soalna takut kaya itu tadi”(P1 419-423)

Page 23: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

14

Saat menghadapi masalah pasangan P3 selalu aktif mencari solusi saat menghadapi

masalah. P3 dan pasangan sama halnya dengan P1, P3 dan pasangan selalu

menguatkan dan saling terlibat dalam menyelesaikan masalah, P3 mengatakan:

“Dia selalu aktif dalam mencari solusi karena kan dia lebih dewasa daripada

saya, tapi keputusan yang dihasilkan itu dari keputusan bersama" (S3 71-72)

“Saling menguatkanlah, semuanya saling terlibat, segala sesuatu harus

diselesaikan dengan baik supaya dikemudian hari tidak kejadian lagi” (S3

91-94)

Namun pasangan P2 kurang terlibat dalam memecahkan masalah karena menurut P2

pasanannya lebih percaya dengan orang tuanya, dalam pemecahan masalah

pasangannya hanya membantu sebisanya da nada kecenderungan tidak peduli pada

P2, ia mengungkapkan:

"Iyaa gitu, soalnya dari pihak suami saya lebih percaya sama orang tuanya,

tapi kalau aku sebisa mungkin cari jalan keluar sendiri, soalnyakan kita gak

selamanya hidup sama orang tua, apa-apa kok minta bantuan orang tua, ya

kalau bener kalau enggakkan ya malah jadi kacau sendiri nati." (P2 99-103)

“Kalau salaing menguatkan sih enggak juga sih. dilihat aja dari masalah

yang sedang terjadi itu apa kalau sekiranya dianya bisa membantu ya

dibantu, kalau enggak ya cueklah" (P2 83-84)

Pengaturan keuangan

Pada P1, ia sendiri yang mengatur keuangan sedangkan pasangan hanya

mengambil seperlunya saja, dalam pengolahan keuangan P1 mengutamakan untuk

keperluan sehari-hari dan lebihnya untuk tabunga, seperti yang P1 ungkapkan:

“Kalau uangku kan punyaku, ndak punya suamiku, soalnya kebutuhan cewe

beda to, buat ini it uterus kebutuhan mendadak pasti, trus kebutuhan buat

anak sekolah pasti harus, makane punyaku ya punyaku punya suamiku

kasihke aku, tapi selama ini ambil secukupnya, kalaupun aku kurang aku

gapernah minta”

“Kalau aku sih lebih tabungan anak, kebutuhan sehari hari, sama misal ada

kebutuhan mendadak , ada layatan itu urusan istri, tapi kalau suami, suamiku

Page 24: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

15

sih masa bodo tapi kalau misal meh beli apa, ganti apa , gitu pasti nego sik

sama istrine, ngomong dulu” (P1 154-159)

Sedangkan P2 mengatur keuangan dan pasangannya hanya diberi untuk keperluan

pasangannya. P2 dalam mengelola keuangan dengan cara meminimalkan keuangan

pengeluaran mereka dan harus ada yang disisakan untuk ditabung, ia mengatakan:

“Emm masalah mengatur keuangan, semua yang mengatur saya. Kalau suami

paling saya kasih yang sekiranya cukup untuk kebutuhan dia. Dan sebisa

mungkin pengeluaran diminimalisirlah buat tabungan juga” (P2 145-146)

P3 dan pasangannya juga memiliki cara sendiri dalam mengelola keuangan mereka,

dengan cara mengabungkan penghasilan keduanya , dan sisanya juga untuk ditabung.

P3 dan pasangan mengelola keuangan secara transparan, ia mengatakan:

“Penghasilan kita, kita jadikan satu, untuk kebutuhan sehari hari dan setiap

bulan harus ada yang disisakan untuk tabungan masa depan, biar sewaktu

waktu kalau pas gak kerja atau ada halangan, kita masih punya simpanan”

(P3 85-87)

“Kita kalau menggunakan uang, harus transparan, mungkin harus ada yang

ditulis untuk keperluan satu bulan atau bagaimana gitu, soalnya kan kadang

kita lupa untuk apa uang itu tapi gak ada wujud barangn atau apa, jadi kita

biasanya sih tulis supaya nanti nanti gak ada masalah” (P3 91-94)

Kepribadian pasangan

Dalam kepribadian pasangan P1, pasangannya merupakan orang yang tegas

dan mudah membaur dan dalam stabilitas emosi juga pasangannya tidak mudah

terbawa emosi dalam menghadapi masalahnya dan tidak berlarut-larut, ia

mengatakan:

“Karakter suami saya kalo menurutku simple, gak ribet, kalau ada masalah

pasti diem dulu, bisa ngemong aku sama anakku, tegas mau mendengarkan

keluh kesah, mudah berbaur”(P1 250-252)

“….keterbukaan masalah ya sering kita bicarakan ga sering berlarut larut”

(P1237-240)

Page 25: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

16

Sedangkan karakter pasangan P2, pasangan kurang dewasa dan masih bergantung

dngan orang tua, tidak mau mendengar opini, sensitive, dan terburu-buru dalam

mengambil keputusan, serta masih egois, P2 mengatakan:

“Dia kurang dewsalah, masih bergantung sama orang tuanya, terus masih

minta tolong soal menyelesaikan masalah sih, emm enggak bisa

menyelesaikan berdua. Ya mungkin juga kalau hanya berduakan kita belum

bisa, soalnya suamiku pasti yang emosi, meskipun udah bicara dengan kepala

dingin pasti ending-endinge (ujung-ukungnya) tetep aja gak ada solusi yang

tepatlah paling semua balik lagi ke orang tua suami saya, pak minta tolong

ini, ini, ini gitu” (P2 90-96)

Dan karakter pasangan P3, pasangan P3 merupakan orang yang peduli dengan

keluarg, tegas dan dalam menghadapi masalah emosinya naik-turun, P3

mengungkapkan:

“Dia itu orang yang sangat peduli sama keluarga, dan dia itu orang yang

sangat tegas" (P3 74)

“Kalau itu dia naik turun sih, kadang mungkin kalau masih dengar dari

orang lain dia suka marah tapi kalau sudah tahu yang sebenarnya ya engga,

ya cuman minta maaf kalau pas marah marah (P3 80-82)

Orientasi seksual

P1 dan P2 merasakan hal yang sama dalam orientasi sekual dengan

pasangannya mereka masing-masing, keduanya merasa kurang nyaman jika sedang

lelah, P1 mengtakan:

“…. aku kan otomatis menolak dengan ngomong “aku capek yah””(P1 245)

P2 mengatakan:

“Kalau soal hubungan suami istri sih ya biasa aja mbak, cuman saya gak

suka aja kalau pas saya lagi capek malah dia jadi marah atau diem aja gitu

malah jadi jengkel sendiri aku” (P2 219-221)

Page 26: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

17

Namun P3 dan pasangannya, mereka saling mengerti jika sama-sama lelah, dan P3

tidak terpaksa, P3 mengatakan:

“Gak ada keterpaksaan dalam melakukan hubungan suami istri, kan itu

bagian dari ibadah jadi jangan sampai ada keterpaksaan, kalau capek ya

saling mengerti” (P3 99-101)

Keluarga dan kerabat

Ketiga partisipan pada awalnya merasakan ketidaknyamanan dengan keluarga

maupun kerabat. P1 merasa tidak nyaman karena keluarga pasangan menginginkan

P1 untuk pindah keyakinan, dan interaksi P1 dengan keluarga dan kerabat pasangan

kurang, namun lama kelamaan menjadi akrab. Interaksi pasangan P1, pasangan lebih

bisa membaur dengan keluarga P1, P1 mengatakan:

“Pernah, ini mertuaku sendiri jadi waktu hamil itukan ada misa tiba tiba

tangannya mertuaku ditaruh diatas kepalaku dan aku diajak ibadah dan disitu

aku sampai nangis” (P1 270-277)

“Kalau sekarang malah yang punya inisiatif ke rumah atas aku, "ayo yah

main-main ke rumah atas nginep disana" gitu kalau sekarang” (P1 479)

Namanya juga kayak pendatang kan awalnya, ya canggung gitu tapi kan

sudah terbiasa, dia orangnya mudah membaur juga jadi mudah aja dalam

membaur dengan keluargaku yang muslim semua."(P1 417-421)

Dalam keakraban dan interaksi dengan keluarga dan kerabat, P2 merasa pasangannya

kurang membaur dengan keluarga P2, namun jika interaksinya tergantung jarak

antara P2 dengan kerabat pasangan, P2 mengatakan:

“Kalau saudara yang jauh ya pas lebaran aja, tapi kalau kerabat-kerabat

yang dekat pas ada waktu ya main ke rumah, atau berkunjung.”(P2 123-125)

"Lha giman pasanganku ya kayak gitu, masak dia bilang ko aku gak bisa akur

sama orang tuanya, ya aku bilang ya mbok ya dilihat orang tuanya

gimana….”(P2 175-179)

Page 27: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

18

Sedangkan hubungan P3 dan pasangan dengan keluarga dan kerabat, awalnya P3

merasa kurang nyaman dengan kerabat pasangan, namun seiring berjalannya waktu

malah jadi akrab, sedangkan pasangan P3 lebih akrab dengan keluarga P3. P3 dan

pasangan juga selalu menyambut keluarga mereka saat hari raya, P3 mengatakan:

“Awalnya sih ada satu saudara yang gak srek beda keyakinan, tapi gimana

lagi kita yang jalani, tapi lama kelamaan ya sekarang sudah baik malah jadi

akrab" (P3 126-128)

"Awalnya kan ya kurang mengenal gitu yaa, tapi kan pas dikenalin gitu ya

aku coba buat jalin komunikasi dengan saudara-saudara pasangan saya,

karena kan bakal menjadi saudara saya juga. Tapi kalau pasanganku malah

dia justru yang lebih bisa langsung akrab dengan saudara-saudara saya.

mungkin karena dia memang orangnya akrap, kalau aku ya pelan-pelan gitu"

(P3 260-265)

“Iya mbak soalnya kan kita ya pas bisa kumpul barng dan kenal keluarga ya

pas ada acara hari raya gitu" (P3 126-128)

Peran dalam keluarga

Pada P1 dan pasangannya tidak menetapkan secara khusus peran dalama

keluarga mereka, namun masing-masing saling bertanggungjawab atas hal-hal yang

mereka kerjakan. Seperti yang diungkapkan subjek berikut ini:

“Kalau soal pembagian peran dalam keluarga, tidak ada peran secara

khusus, semua kita kerjakan sama sama, kesehariannya gitu” (P1 254-255)

“Kalau aku sih lebih tabungan anak, kebutuhan sehari hari, sama misal ada

kebutuhan mendadak , ada layatan itu urusan istri, tapi kalau suami, suamiku

sih masa bodo tapi kalau misal meh beli apa, ganti apa , gitu pasti nego sik

sama istrine, ngomong dulu” (P1 164-167)

Pasangan P2 sering membantu subjek dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga

karena pekerjaan P2 terlalu banyak sehingga tidak mungkin diselesaikan sendiri.

Namun, pasangan kurang bertanggung jawab terhadap perannya mengasuh anak. P2

mengatakan:

Page 28: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

19

"Iya dia sering membantu kalau pas enggak capek, kita juga sering membagi

tugas kalau misal saya lagi mencuci atau lagi masak, dia suka membantu

bersih-bersih, ya tapi kalau pas lagi capek ya membentu sedikit, misal aku

nyuci dia yang membilas" (P2 200-203)

“Iya terbantu mbak, kalau soal ngasuh anak yg saya suka kurang terbantu

karena masih asik dengan game online dibanding menjaga anaknya, jadi lupa

semuanya ngasuh anak ya tetep saya" (P2 205-207)

Sedangkan P3, ada kesadaran dari pasangan P3 tentang ketidak seimbangan bahwa

P3 memiliki terlalu banyak peran dalam keluarga, sehingga saat P3 tidak bisa

menjalankan perannya, pasangan P3 sebisa mungkin mengantikan peran itu. P3 dan

pasangan selalu mempertanggung jawabkan perannya masing-maasing. P3

mengatkan:

"Iya soalnya kan sebagai ibu rumah tangga, kan banyak pekerjaannya kalau

diselesaikan sendiri kan gak selesai, soalnya kita masing masing bekerja, jadi

saya dan pasangan itu saling menyadari" (P3 144-146)

"Ya itu harus dipertanggung jawabkan, contohnya misalkan tugas saya kan

nyuci masak, nah itu harus saya kerjakan sebelum saya berangkat kerja,

kalau peran suami lebih ke kayak nyapu gitu, yang bersih bersihlah mbak.”

(P3 148-150)

Peran menjadi orang tua

Dalam peran menjadi orang tua pasangna P1 dan P3 turut serta dalam

pengasuhan anak dan memberi arahan kepada anak, P1 mengatakan:

“Iya pasti, misal anakku panas kan dua duanya kerja, jadi iburnya itu

gantian, misalnya anakku pengen pergi kemana ya itu diusahakan kesana,

tergantung siapa yang bisa, tapi seringnya bertiga sama anak. Misal anak

dirumah dan aku capek, yaudah dia yang mengurus anak” (P1 254-255)

“Kalo anak saya ikut agama katholik ya, dan saya ga paham paham banget

soal katholik, jadi saya serahkan ke dia untuk mengajari, misal ada jadwal

ibadah ya aku ingetin, kalo aku yang ngajarin kan aku sama anakku juga

beda, doa doa kan yang tahu juga suamiku, jadi aku biarin aja yang

mengajari suamiku”(P1 164-167)

Page 29: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

20

P3 dalam peran menjadi orang tua mengatakan:

“Dia itu mengajarkan yang baik baik, kalau misal anak ada yang salah dia

menasihati yang bener itu gini” (P3 148-150)

“Iya mbak, dibandingkan saya dia yang lebih memperhatikan anak, soal

makanan, mainan, kadang sampai baju bajunya pun dia yang lebih

memperhatikan"gini” (P3 153-155)

Sedangkan P2, pasanganya kurang terlibat dalam pengasuhan anak, pasangan lebih

memilig game online dibanging mengasuh anak, namun jika soal bimbingan kepada

anak P2 dan pasangan disusikan dulu. P2 mengatakan:

“…. kalau soal ngasuh anak yg saya suka kurang terbantu karena masih asik

dengan game online dibanding menjaga anaknya, jadi lupa semuanya ngasuh

anak ya tetep saya” (P2 206-207)

“Kalau soal membimbing dan mengarahkan kita berdua sih, soalnya kan gak

bisa juga kalau hanya pendapat saya sendiri, kalau soal membimbing harus

ada omongan berdualah” (P2 210-212)

PEMBAHASAN

Pasangan yang menikah beda agama memperlihatkan bahwa kepuasan

perkawinan itu bersifat subjektif tergantung pada pemaknaan dari masing-masing

orang yang menjalani, seperti yang dikatakan oleh Lemme (1995), bahwa penilaian

atas kepuasan perkawinan itu bersifat dinamis seiring berjalannya perkawinan

tersebut. Oleh karena itu, penilaian saat ini tentang kepuasan perkawinan seseorang

tidak bisa kita asumsikan akan sama di waktu-waktu mendatang.

Perbedaan agama merupakan faktor penting dalam perkawinan beda agama

karena akan berdampak pada banyak aspek dalam kehidupan mereka, sehingga faktor

agama akan banyak mempengaruhi kepuasan perkawianan, tetapi kepuasan

perkawinan tidak dapat didasari pada aspek perbedaan agama itu sendiri melainkan

Page 30: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

21

ada aspek-aspek lain yang mempengaruhi kepuasan perkawinan yaitu komunikasi,

aktivitas waktu luang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah, pengaturan

keuangan, kepribadian pasangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat, peran dalam

keluarga, peran menjadi orang tua. Hal ini senada dengan teori Olson dan Fowers

(1989) bahwa ada sepuluh aspek pada pasangan yang menikah yaitu komunikasi,

aktivitas waktu luang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah, pengaturan

keuangan, kepribadian pasangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat, peran dalam

keluarga, peran menjadi orang tua yang merupakan evaluasi menyeluruh mengenai

kepuasan perkawinan. Selanjutnya akan dibahas mengenai aspek-aspek yang

memengaruhi kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama.

Di dalam pernikahan tentunya harus memiliki komunikasi. Dari ketiga

pasangan memiliki komunikasi yang berbeda-beda tetapi dua partisipan yaitu P1 dan

P3 memiliki komunikasi yang terbuka dengan pasangannya. P1 dan P3 memiliki

komunikasi yang berbeda tetapi secara keseluruhan mereka terbuka dengan

pasangannya. Mereka berusaha untuk menceritakan apapun kepada pasangannya

termasuk hal-hal yang menyangkut masalah perbedaan agama dalam keluarganya.

Mereka terbiasa memyampaikan apapun termasuk keresahan, kekecewaan, dan lain-

lain. Secara umum P1 dan P3 merasakan kenyamanan pada saat mereka bercerita

kepada pasangan masing-masing. Sedangkan P2 kurang memiliki komunikasi yang

kurang terbuka dengan pasangan, tidak semua hal dapat dikomunikasikan pada

pasangan. Pasangan juga kurang merespon terhadap P2 dan dalam beberapa kasus

pasangan kurang peduli, serta pasangan sering memotong pembicaraan P2 saat ia

bercerita. Olson dan Fowers (1989) aspek komunikasi menyatakan bahwa aspek ini

Page 31: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

22

melihat pada perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam peranan mereka

sebagai pasangan. Fokus aspek ini yaitu pada kenyamanan yang dirasakan pasangan

dalam membagi dan menerima informasi.

Ketiga partisipan pada umumnya saling mendukung dan menghormati di

dalam menjalankan ibadahnya sesuai agama mereka. P1 dan pasangannya pada

orientasi keyakinan beragama saling mendukung dan menghormati serta tidak

memaksakan keyakinan masing-masing baik dalam beribadah ataupun dalam

kesehariannya. Tidak ada konflik dalam hal beribadah bahkan P1 dalam

kesehariannya selalu mengingatkan pasangannya untuk beribadah. Sama halnya

dengan yang dirasakan P1, P3 dan pasangannya juga selalu mendukung dalam

menjalani ibadahnya masing-masing dan dijalankan dengan baik. Walaupun berbeda

agama pasangan tidak malu untuk menunjukkan agama P3 bahkan pasangan

memperbolehkan partisipan mengenakan jilbab dalam kesehariannya, P2 dan

pasangannya juga memberikan dukungan sama seperti P1 dan P3, namun ada

batasan-batasan tertentu dalam menjalankan ibadah yaitu untuk tidak terlalu ikut

dalam kegiatan beribadah karena menurutnya akan ada hasutan dari tempat ibadah itu

memaksakan P2 untuk seagama dan membuat P2 ingin menghindari masalah tentang

agama dan pandangan masyarakat. Pratiwi (2014) bahwa pernikahan beda agama

dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara internal maupun eksternal dan

mendapat pandangan yang tidak baik dari masyarakat dan lingkungan agama itu

sendiri.

Agar tidak terjadi konflik dalam pernikahan beda agama ketiga pasangan

umumnya membuat kesepakatan-kesepakatan tentang masalah-masalah yang akan

Page 32: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

23

terjadi karena perbedaan agama tersebut. Yang paling utama adalah agama anak

nantinya, karena biasanya dalam pernikahan seagama hal ini bukan menjadi masalah

tetapi dalam pernikah agama ini merupakan masalah. Akhirnya untuk menghindari

konflik ketiga pasangan membuat kesepakatan tentang bagaimana mengatur agama

anak. Juga dalam menjalankan hari raya yang berbeda mereka membuat kesepakatan

untuk mengikuti kegiatan hari raya tersebut. Olson dan Fowers (1989) Aspek

orientasi keyakinan beragama merupakan aspek yang mengukur makna kepercayaan

dan praktiknya, dimana pemaknaan akan keagamaan yang tinggi akan

memperlihatkan nilai yang tinggi dalam kepuasan perkawinan. Faktor agama

merupakan faktor yang penting dalam perkawinan pada pernikahan beda agama

karena akan memengaruhi seberapa dekat hubungan mereka, bagaimana mereka

menghargai agama masing-masing dan bagaimana mereka mengatur konflik yang

terjadi dalam pernikahan beda agama. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Srisusanti dan Zulkaida (2013) Mereka meneliti tentang faktor

dominan apa saja yang memengaruhi kepuasan perkawinan. Dengan hasil, hubungan

interpersonal dengan pasangan, partisipasi keagamaan, dan kehidupan sosial

merupakan faktor dominan yang memengaruhi kepuasan perkawinan.

Ketiga partisipan pada awalnya merasakan ketidaknyamanan dengan keluarga

maupun kerabat. P1 merasa tidak nyaman karena keluarga pasangan menginginkan

P1 untuk pindah keyakinan karena menurut keluarga besarnya hal itu masih tidak

biasa dan akan menimbulkan banyak masalah jika tetap berbeda agama hal ini

berdampak pada interaksi P1 dengan keluarga dan kerabat pasangan menjadi kurang,

namun lama kelamaan interaksi P1 dengan keluarga pasangan menjadi lebih baik

Page 33: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

24

karena keluarga sudah mulai terbiasa. P2 merasa pasangannya kurang membaur

dengan keluarga P2 karena keluarga P2, namun interaksi tergantung jarak antara P2

dengan kerabat pasangan. Sedangkan hubungan P3 dan pasangan dengan keluarga

dan kerabat awalnya P3 merasa kurang nyaman dengan kerabat pasangan karena P3

sering diminta untuk berpindah agama, namun seiring berjalannya waktu menjadi

akrab dan ada penerimaan dari keluarga pasangan itu. P3 dan pasangan juga selalu

menyambut keluarga mereka saat hari raya. Karena adanya perbedaan agama, ada

ketidak nyamanan yang dialami oleh ketiga partisipan terhadap keluarga pasangannya

karena pada umumnya keluarga pasangan partisipan meminta partisipan itu untuk

berpindah agama, namun rata-rata hanya masalah waktu sampai ada penerimaan

keluarga pasangan terhadap partisipan. Olson dan Fowers (1989) Aspek keluarga dan

kerabat menunjukkan perasaan yang berhubungan dengan anggota keluarga, keluarga

dari pasangan, dan teman-teman. Aspek ini menunjukkan bagaimana harapan dan

kenyamanan dalam menghabiskan waktu luang bersama keluarga dan teman-teman.

Dalam peran menjadi orang tua pasangan P1 dan P3 turut serta dalam

pengasuhan anak dan memberi arahan kepada anak, pasangan P1 dan pasngan P3

memberi arahan yang sesuai dengan apa yang baik dan sesuai dengan agama, karena

anak P1 dan anak P3 mengikuti agama ayahnya maka pasangan P1 dan pasangan P3

mengusahakan memberi arahan dalam hal agama, disini P1 dan P3 walau awalnya

kurang bisa menerima namun setelah beberapa saat mereka mau menerima dan malah

mendukung pasangannya dalam mengasuh anak. Sedangkan pasangan P2 kurang

terlibat dalam pengasuhan anak, pasangan lebih memilih kepentingannya sendiri

dibanding mengasuh anak, namun jika soal bimbingan kepada anak P2 dan pasangan

Page 34: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

25

mendiskusikan terlebih dulu. Pasangan P1 dan P3 memiliki peranan yang penting

dalam mengasuh anak dan mereka menunjukkan kasih terhadap anaknya juga

kepedulian terhadap anaknya. Hal ini menunjukkan adanya kebahagiaan dari

pasangan P1 dan pasangan P3 karena terpenuhinya salah satu tujuan pernikahan yaitu

anak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Larasati (2012), memperlihatkan bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat

subjektif. Namun kepuasan perkawinan terhadap terpenuhinya aspek psikologis dan

anak memberi hasil yang sama terhadap penelitian tersebut. Sedangkan pasangan P2

agak acuh terhadap anaknya, hal ini terjadi karena kepribadian pasangan itu sendiri

dan mungkin faktor belum siap menjadi orang tua. Olson dan Fowers (1989) pada

aspek peran menjadi orang tua yang diukur adalah sikap dan perasaan pasangan

dalam membesarkan anak, kesepakatan dalam mengasuh dan mendidik anak

merupakan cita-cita pribadi yang dapat menimbulkan kepuasan apabila hal itu

terwujud.

Dalam pemecahan masalah P1 dan pasangannya masing-masing

menenangkan diri terlebih dahulu, memberi waktu kepada keduanya untuk berpikir

dan jika sudah tenang baru dibicarakan. P1 dan pasangan juga saling memberi

dukungan satu sama lain. Saat menghadapi masalah pasangan P3 selalu aktif mencari

solusi saat menghadapi masalah. P3 dan pasangan juga seperti P1, mereka selalu

menguatkan dan saling terlibat dalam menyelesaikan masalah. P1 dan P3 dengan

pasangannya masing-masing saling menguatkan dan memberi dukungan. Namun

pasangan P2 kurang terlibat dalam memecahkan masalah karena menurut P2,

pasanannya lebih percaya dengan orang tuanya ketimbang P2 itu sendiri, dalam

Page 35: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

26

pemecahan masalah pasangan hanya membantu sebisanya dan ada kecenderungan

tidak peduli pada P2. Ketiganya mempunyai cara pandang masing-masing terhadap

pasangannya saat menghadapi masalah, P1 dan P3 memandang pasangan mereka

secara positif dalam menghadapi masalah sedangkan P2 lebih memandang

pasangannya secara negatif saat menghadapi masalah. Olson dan Fowers (1989) yang

menjadi tolak ukur pada pemecahan masalah adalah persepsi pasangan mengenai

kemampuan menghadapi masalah dan cara menyelesaikan masalah dalam hubungan

perkawinannya.

P1 dan P3 sering menghabiskan waktu luang bersama-sama untuk sekedar

jalan-jalan, mengobrol bersama, dan juga sebagai refresing. P3 juga mengatakan, P3

sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama waktu luang bersama-sama untuk

sekedar jalan-jalan, mengobrol bersama. Dalam menghabiskan waktu luang bersama

P2 sebisa mungkin menghabiskan waktu luang dengan pasangan dan juga anak,

namun tergantung dengan kemauan suami mau atau tidaknya. Ketiga pasangan saling

menghabiskan waktu luang dengan intensitas cukup sering dan mereka pada

umumnya selalu ingin menggunakan waktu luang bersama pasangan mereka melalui

kegiatan-kegiatan yang bersifat sederhana tapi menunjukkan kebersamaan. Olson dan

Fowers (1989) aspek aktivitas waktu luang merupakan aspek yang mengukur pada

kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu luang bersama pasangan.

Pada pengaturan keuangan ini ketiga partisipan memiliki cara sendiri-sendiri.

Dalam mengatur keuangan, P1 sendiri yang mengatur keuangan sedangkan pasangan

hanya mengambil seperlunya saja, dalam pengolahan keuangan P1 mengutamakan

untuk keperluan sehari-hari dan lebihnya untuk tabungan. Sedangkan P2 mengatur

Page 36: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

27

keuangan dan pasangannya hanya diberi untuk keperluan pasangannya sendiri. P2

mengelola keuangan dengan cara meminimalkan keuangan pengeluaran mereka dan

harus menyisakan uang untuk ditabung. P3 dan pasangan juga memiliki cara sendiri

dalam mengelola keuangan mereka, dengan cara menggabungkan penghasilan

keduanya, dan sisanya juga untuk ditabung. P3 dan pasangan mengelola keuangan

secara transparan. Ketiga pasangan memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola

keuangan serta kepercayaan yang baik terhadap pasangannya mengenai mengelola

keuangan. Olson dan Fowers (1989) aspek pengaturan keuangan untuk mengetahui

sikap pasangan suami atau istri dalam melakukan pengelolaan keuangan rumah

tangga mereka.

Kepribadian pasangan P1 merupakan orang yang tegas dan mudah membaur.

Dalam stabilitas emosi juga pasangannya tidak mudah terbawa emosi dalam

menghadapi masalahnya dan tidak berlarut-larut. Sedangkan karakter pasangan P2

kurang dewasa dan masih bergantung dengan orang tua, tidak mau mendengar opini,

sensitif, dan terburu-buru dalam mengambil keputusan, serta masih egois. Karakter

pasangan P3 merupakan orang yang peduli dengan keluarga, tegas dan dalam

menghadapi masalah emosinya masih labil. P1 dan P3 memiliki cara pandang baik

terhadap pasangan mereka dan mereka lebih suka melihat dari sudut pandang positif.

Sedangkan P2 memiliki cara pandang negatif terhadap pasangannya. Olson dan

Fowers (1989) aspek kepribadian pasangan digunakan untuk mengetahui persepsi

individu pada pasangan dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan

yang dirasakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.

Page 37: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

28

P1 dan P2 merasakan hal yang sama dalam orientasi sekual dengan pasangan

mereka masing-masing, keduanya merasa kurang nyaman jika sedang lelah. Namun

P3 dan pasangan, mereka saling mengerti jika sama-sama lelah, dan P3 tidak

terpaksa. Ketiganya memiliki hubungan seksual yang baik karena tidak ada rasa

terpaksa dalam berhubungan, hanya pada saat-saat tertentu saja pasngan merasa

kurang nyaman. Olson dan Fowers (1989) Orientasi seksual mengukur perasaan

pasangan mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Menunjukkan sikap

mengenai isu-isu seksual, prilaku seksual, kontrol kelahiran dan kesetiaan. Apabila

tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan, penyesuaian seksual dapat menjadi

penyebab pertengkaran dan ketidak bahagiaan.

P1 dan pasangan tidak menetapkan secara khusus peran dalam keluarga,

melainkan mereka saling bekerja sama dan membantu. Walaupun tidak memiliki

peran secara khusus namun mereka tetap bertanggung jawab atas hal-hal yang mereka

kerjakan. Biasanya hal-hal yang komplek dikerjakan oleh P1 sedangkan pasangan

lebih bertanggung jawab pada hal-hal yang bersifat sederhana. Pada P2 Peran dalam

keluarga lebih dominan dikerjakan oleh P2, pasangan juga sering membantu dalam

menyelesaikan pekerjaan rumah, namun kurang bertanggung jawab terhadap

perannya dalam mengasuh anak. Sedangkan pada P3 dan pasangan saling menyadari

banyaknya peranan dalam rumah tangga yang harus dikerjakan, sehingga mereka

saling membantu dengan cara menggantikan peran itu jika belum terselesaikan. P3

dan pasangan saling bertanggung jawab atas tugas mereka masing-masing dalam

pekerjaan rumah tangga. Ketiga pasangan memiliki cara-cara tersendiri dalam

menjalani perannya dalam rumah tangga, namun semuannya memiliki sikap yang

Page 38: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

29

baik dan tanggung jawab terhadap perannya dalam rumah tangga. Olson dan Fowers

(1989) Aspek peran dalam keluarga mengukur tentang perasaan dan sikap individu

tentang peran-peran dalam pernikahan dan keluarga.

Dari aspek-aspek kepuasan diatas, tidak semua pasangan menunjukkan adanya

kepuasan dalam pernikahannya. Hal ini dikarenakan pasangan ini hamil diluar nikah

dan menjadikan belum siap menjalani kehidupan pernikahan. Hal ini termasuk dalam

faktor-faktor yang mempengarui sebelum pernikahan. Sama dengan pemikiran

pemikiran Duvall dan Miller (1985), Faktor sebelum perkawinan meliputi, kondisi

perkawinan orang tua, kebahagiaan pada masa kanak-kanak, ketegasan dalam

disiplin, pendidikan seks, tingkat pendidikan, dan lamanya waktu berkenalan dengan

pasangan sebelum menikah.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengambil kesimpulan

bahwa secara keseluruhan seseorang yang menikah beda agama memperlihatkan

bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat subjektif karena dari aspek-aspek kepuasan

diatas, tidak semua pasangan menunjukkan adanya kepuasan dalam pernikahannya.

Meskipun demikian faktor perbedaan agama cukup mempengaruhi kepuasan

perkawinan didalam rumah tangganya. Dari segi komunikasi ada dua pasangan yang

memiliki komunikasi yang terbuka dalam mengungkapkan apapun yang ingin mereka

sampaikan kepada pasangannya. Termasuk dalam menghadapi masalah mereka saling

menguatkan karena mereka pasangan memiliki kepribadian yang baik. Sedangkan

pasangan lain memiliki komunikasi yang kurang terbuka dalam banyak hal, termasuk

jika ada masalah dalam rumah tangga karena kepribadian pasangan yang kurang

Page 39: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

30

dewasa, bergantung dengan orang tua, serta tidak mau mendengarkan pendapat orang

lain.

Dalam beragama ketiga partisipan dan pasangannya saling menjalankan

keyakinan masing-masing, perbedaan agama tidak membuat partisipan dan

pasangannya memaksakan keyakinan mereka, tetapi membuat mereka saling

menerima satu sama lain sedangkan satu partisipan memiliki batasan-batasan tertentu

saat mengikuti kegiatan keagamaan. Dalam menghadapi konflik yang akan terjadi

karena masalah perbedaan agama, sehingga mereka membuat kesepakatan tentang

hal-hal yang menyangkut masalah agama seperti kesepakatan tentang bagaimana

agama anak natinya. Jika ada hari raya keagamaan ketiga partisipan saling mengikuti

kegiatan keagamaan, namun satu pasangan partisipan tidak mau terlibat dalam

kegiatan keagamaan.

Awalnya mereka memiliki persoalan dengan keluarga maupun keluarga

pasangan, karena masing-masing dari keluarga menginginkan pasangannya untuk

pindah agama, begitu pula dengan keluarga pasangan, sehingga mereka kurang akrab

dengan keluarga dari pasangan mereka. Tetapi seiring berjalannya waktu mereka

dapat saling menerima dan saling akrab dengan keluarga pasangan, namun pada

pasangan yang lain kurang bisa membangun hubungan dengan keluarga dan

cenderung mementingkan dirinya sendiri.

Ketika partisipan dan pasangan memiliki waktu luang mereka menghabiskan

waktu luang tersebut dengan keluarganya, tapi ada yang menghabiskan waktu luang

tergantung kemauan dari pasangannya. Saat menghadapi masalah ada dua pasang

Page 40: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

31

yang saling terlibat dan memberi penguatan saat terjadi masalah dalam keluarga.

Tetapi satu pasang partisipan kurang memberi dukungan dan terlibat.

Aspek pengaturan keuangan ketiga partisipan, dua pasang partisipan mengatur

keuangan dengan perencanaan dan pengelolaan dari pihak istri, namun pada satu

pasang pengaturan keuangan dalam hal perencanaan dan pengolahan partisipan dan

pasangan saling berperan. Tentunya ketiga pasangan memiliki kepribadian yang

berbeda, namun dilihat dari sikap, ada dua pasangan memiliki sikap mudah berbaur,

dan tegas. Dalam berhubungan seksual ketiga pasangan merasakan kepuasan, namun

ada dua pasangan yang merasa keberatan saat mereka merasa lelah. Sedangkan

pasangan lainnya saling mengerti.

Dalam hal keluarga, ketiga pasangan memiliki peran yang berbeda dalam

keluarga. dalam dominasi peran ada satu keluarga yang cenderung didominasi oleh

istri, ada yang membagi peran secara rata jadi tidak ada dominasi, sedangkan

pasangan yang lain saling melengkapi. Dalam hal peran menjadi orang tua, ketiga

pasangan memiliki peranannya sendiri. Faktor ibu atau ayah dalam pengasuhan anak

tidak ada dominasi karena ada pasangan yang pengasuhannya lenih ke ayah dan ada

yang ke ibu dan ada pula yang dititipkan ke orang tua.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan

penelitian. Supaya penelitian ini dapat semakin berkembang dan memberikan

manfaat yang lebih bagi para pembaca dan peneliti selanjutnya, maka peneliti

menyarankan :

1. Bagi pasangan yang menjalani pernikahan beda agama

Page 41: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

32

Dengan penelitian ini diharapkan pasangan yang menjalani pernikahan beda

agama dalam menjalani hubungan untuk lebih menyadari bahwa ada aspek-aspek

dalam kepuasan perkawinan terutama hubungan intersonal dengan pasangan,

toleransi dalam keagamaan, dan kehidupan sosial karena merupakan faktor-faktor

yang dominan dalam memengaruhi kepuasan perkawinan.

2. Bagi calon pasangan yang ingin menikah beda agama

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai kepuasan

pernikahan beda agama.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Dengan adanya penelitian ini diharapkan secara lebih mendalam mengenai

kepuasan pernikahan yang terjadi dengan menggali informasi dari keduanya

(suami dan istri) agar dapat melihat dari dua sudut pandang yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA

Bahr, S.J., Chappell, C. B. & Leigh, G. K. (1983). Age at marriage, role enactment,

role consensus and marital satisfaction. Journal of Marriage and the Family,

45, 793-805. Diunduh dari http://www.jstor.org/discover/10.2307/351792

?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=211020302875775

Duvall, Evelyn, R.M.,& Brent, C. M. (1985). Marriage and FamilyDevelopment.

Michigan: Harper & Row.

Fowers, B.J. dan Olson, D.H. (1989). Enrich martial inventory; A discriminant

validity and cross-validity assessment. Journal of Martial and Family

Theraphy, 15(1), 65-79. Diunduh dari http://www.prepare-

enrich.com/pe_main_site_content /pdf/research/study3.pdf

Hendrick, Susan & Clyde, H. (1992). Romantic Love. Michigan: Sage Publications.

Page 42: KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

33

Larasati, A. (2012). Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau dari Keterlibatan

Suami dalam Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan Pembagian Peran dalam

Rumah Tangga. Diunduh dari

http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/alpenia_ringkasancorel.pdf.

Mistranmi. (2008). “Motivasi Menikah Berbeda Agama”. Skripsi. Salatiga:

Universitas Kristen Satya Wacana.

Nugroho, A. (2017). Agama Leluhur Masing-Masing Suku Bangsa di Nusantara

Indonesia. Diunduh dari http://satzchoochoo182.wordpress.com/2017/ 01/18/

agama-leluhur-masing-masing-suku-bangsa-di-nusantara-indonesia/.

Pratiwi, I. (2014). Pernikahan Pasangan Beda Agama. Diunduh dari

http://eprints.ums.ac.id/31792/1/02._naskah _publikasi.pdf

Spanier, G. B.& Charles L. C. (1976). Toward Clarification and Investigation of

Marital Adjustment. Journal International Spring. Retrived from

http://wwwjstor.org/stable/23027977?seq=1#page_scan_tab_contents.

Srisusanti & Zulkaida. (2013). Studi Deskriptif Mengenai Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Pada Istri. Diunduh dari

http://www.ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/ugjournal/article/viewFile/119

8/1059.

Wahyuni, Sri. (2004). “Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Kabupaten Gunung

Kidul”. Diunduh dari http://media.neliti.com/media/publications/37025-ID-

kontroversi-perkawinan-beda-agama-di-indonesia.pdf