perkawinan beda agama oleh lembaga sosial
TRANSCRIPT
Perkawinan Beda Agama Dari Pandangan HAM
Tugas Makalah
Dosen : Asep Yuyun, SH.,M.Kn
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Hukum
Islam II
Zainal Abidin
430.200.12.2868
SEKOLAH TINGGI HUKUM GALUNGGUNG
TASIKMALAYA
2013
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, tak lupa sholawat serta salam terlimpah curahkan
kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW kepada
keluarganya, sahabatnya serta kita selaku umatnya yang taat kepada
ajarannya sampai akhir zaman, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan tepat waktu untuk memenuhi salah satu tugas
Hukum Islam II.
Makalah ini berisikan tentang Perkawinan Beda Agama oleh
Lembaga Sosial, saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca pada umumnya dan rekan Sekolah Tinggi Hukum
Galunggung Tasikmalaya pada khususnya.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
ikut serta membantu dalam proses penyusunan makalah ini,
sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu. Saran
dan kritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk
kesempurnaan penulisan makalah ini.
Tasikmalaya, 02 November 2014
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................... i
Daftar isi.............................................................................................. ii
A. PENDAHULUAN
- Latar Belakang................................................... ............................... 1
- Rumusan Masalah............................................................................. 2
B. PEMBAHASAN
C. PENUTUP
- Kesimpulan........................................................................................ 9
- Saran...............................................................................................10
Daftar Pusaka.................................................................................... 12
i
A. Pendahuluan
- Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai masyarakat yang sangat majemuk,
baik dari segi budaya, ras, etnik maupun agama. Sehingga karena kemajemukannya sering
terjadi lalu lintas antar suku, ras, dan agama yang tidak bisa dihindari. Salah satu fenomena
yang tidak dapat dihindari dari lalu lintas kemajemukan adalah perkawinan beda agama,
karena perkawinan beda agama bukanlah sesuatu hal yang baru dalam masyarakat
Indonesia. Dahulu orang Hindhu menikah dengan orang Islam, orang Budha dengan orang
Kristen. Hal ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi karena cinta dan kasih antar
manusia bisa melewati etnis, budaya dan agama (Tim Percik, 2009:1).
Indonesia memiliki dasar hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut UUP pasal 1 ayat 1 menyatakan
bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. UUP memandang sah apabila perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan pasal 2UUP.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dianggap sah jika
sesuai dengan agamanya. Indonesia mengakui 6 agama yang dipercayai. Agama tersebut
adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.
Menurut KHI BAB II Pasal 2, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melakukanya merupakan ibadah. Perkawinan
menurut agama Kristen dan Katholik adalah suatu ikatan cinta kasih tetap dan taat yang
menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan hubungan cinta Kristus dengan Gerejanya.
Sebagaimana yang diatur dalam kitab kejadian 1-26 sampai 30, 2.7 sampai 25 juga
Perjanjian Baru episus V: 21 sampai 33 (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:27). Perkawinan
menurut agama hindu adalah hubungan yang sakral dan hanya yang sah bila sudah
dilakukan menurut agama tersebut (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:25). Perkawinan
menurut agama budha adalah ikatan yang fleksibel karena selalu mengadaptasi adat-adat
yang hidup dalam masyarakat (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:26).
KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif bagi umat
Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan beda agama. Pasal 40 KHI
menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam
(pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur adanya perkawinan
beda agama, namun secara tersirat melarang adanya praktek perkawinan beda agama yang
tertuang dalam pasal 2 ayat 1 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
ii
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari prinsip di atas seharusnya seorang
yang beragama Islam harus menikah dengan orang yang beragama Islam pula. Sedangkan
orang yang beragama Kristen ataupun Katolik dalam kepercayaannya juga tidak
diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama. Adanya peraturan yang
melarang perkawinan beda agama ternyata belum mampu mencegah perkawinan beda
agama dalam masyarakat. Aturan dalam KHI dan UU Perkawinan di Indonesia seharusnya
mampu menjadi pedoman yang bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini peneliti menemukan
sebuah lembaga yang yang bisa memfasilitasi perkawinan beda agama. Lembaga tersebut
adalah Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Percik, merupakan lembaga independen
yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini
didirikan pada awal tanggal 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang
terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian
masyarakat.
- Rumusan Masalah
Dari Pernyataan Di atas terdapat Rumusan Masalah yaitu diantaranya :
1. Pengertian perkawinan dengan menjelaskan berdasarkan Undang-undang
perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
2. Perkawinan dengan Beda Agama menurut UUP, KHI dan FIKIH.
3. Pengertian Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan HAM.
i
B. Pembahasan
Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pengertian
perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri”. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang
perlu diperhatikan yaitu:
1. Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara formal baik dalam
hubungan antara satu sama lain maupun mereka dengan masyarakat luas. Ikatan
batin diartikan adanya satu tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal. Untuk itu dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan
lahir dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu kesatuan yang
utuh.
2. Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu
hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak adanya perkawinan
sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa orang Barat.
3. Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua
jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah
“hidup bersama” (Syarifuddin, 2006:40).
Perdebatan hukum tentang perkawinan beda agama sudah berlangsung sejak lama
sehingga menimbulkan pemikiran yang baru tentang keabsahan suatu perkawinan. Melalui
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa
keabsahan suatu perkawinan tergantung pada agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40
dan 41 telah melarang adanya perkawinan beda Agama namun jika perkawinan tersebut
tetap dilakukan maka perkawinan itu akan menjadi rusak / batal (fasad) sesuai dengan pasal
75.
Adanya peraturan yang tegas tentang perkawinan beda agama ternyata belum mampu
membendung pelaku-pelaku perkawinan beda agama. Persoalanpersoalan tersebut
membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perkawinan dan ternyata ada
sebuah lembaga sosial yang bisa memfasilitasi adanya perkawinan beda agama, lembaga
tersebut bernama Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Pertanyaan yang ingin dijawab
adalah (1) Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama ? (2) Bagaimana
proses perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? (3)
Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian
lapangan (field research). Peneltian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif
dengan teknik melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data
ii
menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan
sistematis selanjutnya ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian ini adalah Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda
agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang
(mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan Percik
yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama,
lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh
pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Pandangan Tokoh Agama
terhadap perkawinan beda agama pun berbeda, ada yang melihat dalam perkawinan beda
agama hal itu boleh saja karena untuk menghormati has asasi manusia namun ada juga
tokoh agama yang berpendapat lain bahwa perkawinan beda agama itu tidak ideal karena
dalam perkawinan beda agama kebanyakan memiliki banyak persoalan dalam perjalanan
hidupnya.1
Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada aturan yang
tegas mengenai perkawinan beda agama. UU tersebut hanya menganggap bahwa
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu” (pasal 2 ayat1).
Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Secara tegas KHI melarang perkawinan beda agama. Aturan ini tercantum dalam pasal
75 (1) yaitu perkawinan batal karena salah satu dari suami atau istri murtad. Pengadilan
Agama yang notabene sebagai pemutus suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI
sebagai dasar dalam menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa
perceraian dapat putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal tersebut
secara tegas KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di sisi lain KHI ternyata
membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena pada saat peralihan agama dalam
rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan”, maka secara tidak langsung KHI
juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama. Jadi ketika ada peralihan agama dalam
rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI
juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama.2
Perkawinan Beda Agama Menurut fikih
1 Nikmah, Sri. 2011 Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam
dan Perundang-undangan di Indonesia (Studi Terhadap Pasangan
Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel
Salatiga) 2 Tim Percik, 2008. Pergumulan Perkawinan Beda Agama , Salatiga. Percik
Press
i
1. Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab
a) Kaum musrikin dan ahli kitab
Ayat Al-quran disamping menjelaskan tentang pernikahan golongan mukminin juga
menjelaskan tentang pernikahan dengan golongan ahli kitab dan musrik yang sekaligus
menjadi dasar hukum nikah beda agama diatara mereka. Dasar hukum pernikahan orang
islam dengan ahli kitab dan orang musrik dalam firman Allah SWT yang artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (Depag,
1976:53). QS. Surat Al-Baqoroh ayat 221.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Depag, 1976: 158).
Surat Al- Maidah ayat 5.
Menurut Al-jaziri sebagaimana dikutip oleh sukarja dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
a) Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab samawi.
Contoh: orang yang menyembah berhala dan orang murtad yang disamakan dengan
mereka.
b) Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi.
Contoh: orang-orang majizi yang menyembah api.
c) Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang Yahudi yang
percaya kepada kitab taurat dan orang-orang nasrani yang mempercayai injil.
Sementara itu Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-Muslim menjadi golongan
musrik, murtad, bahai, dan ahli kitab. Musrik adalah penyembah berhala, mulhid
adalah golongan ateis, murtad adalah golongan yang keluar dari agama islam, bahai
termasuk Murtad. Ahli kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
ii
Titik tolak penggolongan al-Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf al- Qardawi dari segi nama
untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama, hanya Yusuf Qardawi menambahkan golongan
Ateis dan Bahai. Dua golongan pertama disebut oleh al-Jaziri adalah Musrik. Golongan
Mulhid, Murtad dan bahai, dalam hukum nikah oleh Yusuf Qardhawi dari segi nama untuk
tiap golongan. Dalam rincianya sama, hanya Yusuf Qardhawi menambahkan golongan ateis
dan bahai. Ahlul kitab adalah penganut taurat dan injil. Kaum yahudi dan samiri adalah
penganut Taurat. Penganut injil adalah Nasrani yang seakar dalam agama mereka, seperti
orang prancis, jerman dan lain-lain. Masalah yang pelik adalah golongan Ahlul Kitab. Apakah
mereka tidak musrik atau juga termasuk golongan musrik (LSIK, 1994:2-3). Paramufassir
memandang bahwa perkawinan seorang mukmin dipandang halal jika mereka masih
berpegang pada kitab-kitab yang masih murni namun jika kitab atau keyakinannya sudah
menyimpang maka haram untuk dinikahi sesuai dengan surat albayyinah ayat 1: “Orang-
orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak
akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”,
Dan al-hajj ayat 17 yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-
iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi
keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuat”.
Hukum pria islam yang menikah dengan wanita bukan islam dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Dengan wanita musrik dan wanita murtad hukumnya haram sesuai dengan surat
albaqarah 221.
2. Dengan wanita ahli kitab ada tiga hukum yaitu halal, haram, dan yang menghalalkan
tapi siasat tidak menghendakinya.
a) Golongan yang menghalalkan berpendirian bahwa menikahi perempuan ahli kitab
(yahudi dan nasrani) halal hukumnya asalkan perempuan ahli kitab itu merupakan
agama keturunan dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut
sebelum masa nabi muhammad dibangkitkan menjadi rosul.
b) Golongan yang mengharamkan yaitu ibnu umar sesuai dengan albaqarah 221.
c) Golongan yang menggap halal tetapi siasat tidak menghendakinya yang
menimbulkan hukum mubah dalam perkawinan itu karena dalam perkawinan itu ada
bahaya kalau-kalau sisuami ikut agama istrinya (LSIK, 1994: 6-13).
i
A. Non-Muslim Memeluk Islam
Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun Musrik, dapat dibagi atas dua
keadaan. Pertama, perkawinan itu terjadi diantara mereka setelah mereka hijrah dan
dilakukan di Da’arul Islam. Kedua, perkawinan itu terjadi di negeri mereka sendiri, yaitu di
Daarul Harbi. Daarul Islam adalah negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum muslimin.
Darul Harbi adalah negeri dimana kaum muslimin tidak mempunyai tidak mempunyai
kekuasaan untuk mengaturnya. Perkawinan yang terjadi diantara mereka dalam dua
keadaan tersebut mungkin sesuai dengan syarat dan rukun akad pernikahan Islam, mungkin
berbeda. Bila persyaratan perkawinan mereka sesuai dengan perkawinan islam, maka
perkawinan mereka itu sah dalam pandangan islam. Bila berbeda dengan persyaratan
perkawinan islam maka perkawinannya dianggap tidak sah (LSIK, 1994:4).
B. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam
Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa wanita islam haram menikah dengan pria non
muslim. Hal itu sesuai dengan al-baqoroh 221 (LSIK, 1994:5).
Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholis (1995:245-246) Indonesia memiliki
peraturan mengenai hak asasi manusia, melalui TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang hak
asasi manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal. Ketetapan MPR tersebut menyatakan
bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak berkomunikasi,
hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.
Indonesia juga memiliki undang-undang lain mengenai hak asasi manusia, yaitu
undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. Peraturan
mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang tersebut didasarkan pada DUHAM
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) atau Universal Declaration of human rights yang
dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Undang-Undang ini
secara rinci mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintah, hak
wanita dan hak anak. Selain tentang hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban
dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam penegakan hak asasi
manusi, serta fungsi dan tugas Komnas Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan
payung dari seluruh perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu,
ii
pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung , dikenakan sanksi
pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (2005:257) sejak UU Perkawinan
disahkan pada 1974, sejumlah persoalan muncul, di antaranya berkaitan dengan masalah
nikah beda agama, yaitu:
Pertama, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa sahnya perkawinan tergantung
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang
sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka salah satu harus mengikuti
agama yang lain. Kemudian kembali ke agamanya semula setelah perkawinan terlaksana.
Kedua, dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran pemerintah sebatas melakukan
pencatatan nikah. Pemerintah hanya mengatur aspek administrasi perkawinan. Namun
kedua ayat tersebut dalam prakteknya berlaku secara kumulatif. Kedua-duanya harus
diterapkan bagi persyaratan sahnya suatu perkawinan.
Berkaitan dengan perkawinan beda agama, dalam KHI ada dua pasal yang melarang.
Pertama, pasal 40 yang menyatakan seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang wanita yang tidak beragama islam. Kedua, pasal 44 menyatakan seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
islam. Perbedaan agama dalam KHI dipandang sebagai penghalang bagi pasangan yang
hendak melangsungkan perkawinan.
Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-Undang Perkawinan tahun 1974
pasal 2 ayat (1) dan (2), serta KHI pasal 40 dan 44 bertentangan dengan isi DUHAM pasal 16
ayat 1 yang menyebutkan, “Iaki-laki dan perempuan dewasa dengan tidak dibatasi
kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk
keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa
perkawinan, di kala perceraian.” Ayat 2, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.” Sementara ayat 3
menyebut, “Keluarga adalah kesatuan sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan
berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.” Selain itu, Juga bertentangan
dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang berbunyi
“Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.” Dan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi, “Perkawinan yang sah
hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang
bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.”3
3 Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara
Fiqh Munakahat dan UU perkawinan. Jakarta : Prenada Media
i
C. PENUTUP
- Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan mengenai perkawinan beda
agama yang difasilitasi oleh lembaga Percik Salatiga, yaitu sebagai berikut:
1. Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama diasumsikan
sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang (mempermudah)
untuk melakukan perkawinan beda agama. Menurut Percik, melakukan perkawinan
beda agama tidak melanggar UU Perkawinan. Mengenai keabsahan suatu
perkawinan percik mengacu pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa
sahnya suatu perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu, jika perkawinan beda agama sudah disahkan oleh pemuka
agama dari masing-masing pihak maka perkawinan tersebut sudah sah sesuai
Undang- Undang, sehingga perkawinan beda agama menjadi sah menurut agama
dan negara. Hal ini juga didasari oleh isi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia) atau Universal Declaration of human rights dan UU No. 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia.
2. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi
mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang
diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda
agama. Adapun prosedur perkawinan beda agama yang difasilitasi Percik adalah
sebagai berikut:
a. Calon mempelai datang ke Percik untuk konsultasi masalah rencana perkawinan
yang dihadapi. b. Kemudian dari pihak Percik mengadakan diskusi dengan tokoh agama yang terkait
dan berwenang dalam melakukan perkawinan. c. Percik membantu memfasilitasi kedua belah pihak untuk berdiskusi dan
menyelesaikan masalah yang ada. Percik hanya bertugas memfasilitasi, dengan cara
memberikan penjelasan, pengarahan dan mempertemukan mereka dengan tokoh
agama yang terkait jika diperlukan. Keputusan terakhir diserahkan sepenuhnya
terhadap masing-masing keluarga. d. Jika terjadi kesepakatan, maka pihak keluarga mendiskusikan tentang bagaimana
prosesi perkawinan beda agama yang akan dilakukan sesuai agama masing-masing,
menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya. e. Mempelai mengurus surat-surat kelengkapan sebagai syarat pencatatan
perkawinan.
ii
f. Setelah semua syarat administrasi lengkap, pihak Percik melakukan pendampingan
kepada calon mempelai untuk masuk dalam prosesi perkawinan sesuai yang telah
direncanakan sebelumnya. g. Setelah prosesi perkawinan didepan pemuka agama selesai, pihak KCS mencatatkan
perkawinan mereka dengan mencantumkan agama masingmasing dalam akta nikah.
3. Pandangan tokoh agama terhadap fasilitasi perkawinan beda agama oleh Percik
adalah sebagai berikut: a. Pendeta Gereja Kristen
Masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan Percik, menurut Pendeta
Kristen tidak ada masalah, karena dengan adanya fasilitasi tersebut, bisa
mempermudah orang-orang yang hendak melakukan perkawinan beda agama. Dasar
yang digunakan Pendeta tersebut, adalah kitab Lucas 10:29. Tidak semua gereja mau
menerima atau melayani pemberkatan perkawinan beda agama. Alasan yang
menolak perkawinan beda agama yaitu menggunakan dalil dalam Korintus 6:14.
b. Prof Zuhri Menurut salah satu pakar hukum Islam di STAIN, perkawinan beda agama itu tidak
ideal. Karena perkawinan tersebut pasti akan menemukan berbagai masalah.
Misanya masalah kejiwaan atau masalah berebut anak. Menurutnya, lebih baik
perkawinan beda agama itu ditinggalkan. Seperti teori Imam Syari’i yang berbunyi
Tarqul khilafi mustahabbun, (meninggalkan perbedaan itu yang dipilih) jika
perkawinan beda agama itu kontroversi, maka lebih baik di tinggalkan.
c. Tokoh Ta’mir Masjid Menurut para tokoh takmir, Perkawinan beda agama haram hukumnya. Hal ini
didasari oleh ketentuan al qur’an surat al baqarah ayat 221, yaitu larangan larangan
laki-laki muslim untuk menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga diharamkan menikah dengan laki-laki
musyrik. Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan membawa
pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa seorang muslim masuk
neraka.
- Saran 1. Bagi Pasangan Hendaknya pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda
agama berfikir ulang sebelum malaksankan dan meminta pendapat kepada tokoh
agama tentang perkawinanya tersebut melarang agama atau tidak, jangan hanya
mementingkan nafsu belaka. 2. Bagi Pemerintah Tidak adanya aturan yang tegas terhadap perkawinan beda agama
maka Pemerintah perlu meninjau ulang kajian hukum terhadap perkawinan beda
agama agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
i
3. Bagi Percik Dengan adanya pasangan yang datang ke Percik untuk minta di fasiliasi
perkawinan beda agama maka di harapkan percik lebih aktif dan lebih giat dalam
menaggapi persoalan-persoalan yang ada dimasyarakat tidak hanya masalah
perkawinan. 4. Bagi Akademik Bagi STAIN, Khususnya program Study ahwal-alsyahsiyyah
diharapkanmampu mengakomodir mahasiswa agar tidak terjerumus oleh hal-hal
yang melanggar syari’ah. 5. Bagi Tokoh Agama Sebagai tokoh Agama yang notabene panutan masyarakat
hendaknya lebih matang dalam mengambil suatu keputusan apakah hal ini
diperbolehkan atau tidak, jangan hanya mementingkan politik maupun golongan
semata.
ii
Daftar Pustaka
- Nikmah, Sri. 2011 Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan
Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia (Studi
Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas
Agama di Kelurahan Bugel Salatiga)
- Tim Percik, 2008. Pergumulan Perkawinan Beda Agama,
Salatiga. Percik Press
- Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia : Antara
Fiqh Munakahat dan UU perkawinan. Jakarta : Prenada
Media