perkawinan beda agama oleh lembaga sosial

15
Perkawinan Beda Agama Dari Pandangan HAM Tugas Makalah Dosen : Asep Yuyun, SH.,M.Kn Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Hukum Islam II Zainal Abidin 430.200.12.2868 SEKOLAH TINGGI HUKUM GALUNGGUNG TASIKMALAYA 2013

Upload: zainal-abidin

Post on 19-Jul-2015

140 views

Category:

Law


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

Perkawinan Beda Agama Dari Pandangan HAM

Tugas Makalah

Dosen : Asep Yuyun, SH.,M.Kn

Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Hukum

Islam II

Zainal Abidin

430.200.12.2868

SEKOLAH TINGGI HUKUM GALUNGGUNG

TASIKMALAYA

2013

Page 2: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat

dan hidayah-Nya, tak lupa sholawat serta salam terlimpah curahkan

kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW kepada

keluarganya, sahabatnya serta kita selaku umatnya yang taat kepada

ajarannya sampai akhir zaman, sehingga makalah ini dapat

terselesaikan dengan tepat waktu untuk memenuhi salah satu tugas

Hukum Islam II.

Makalah ini berisikan tentang Perkawinan Beda Agama oleh

Lembaga Sosial, saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca pada umumnya dan rekan Sekolah Tinggi Hukum

Galunggung Tasikmalaya pada khususnya.

Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

ikut serta membantu dalam proses penyusunan makalah ini,

sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu. Saran

dan kritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk

kesempurnaan penulisan makalah ini.

Tasikmalaya, 02 November 2014

Penyusun

Page 3: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................... i

Daftar isi.............................................................................................. ii

A. PENDAHULUAN

- Latar Belakang................................................... ............................... 1

- Rumusan Masalah............................................................................. 2

B. PEMBAHASAN

C. PENUTUP

- Kesimpulan........................................................................................ 9

- Saran...............................................................................................10

Daftar Pusaka.................................................................................... 12

Page 4: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

i

A. Pendahuluan

- Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai masyarakat yang sangat majemuk,

baik dari segi budaya, ras, etnik maupun agama. Sehingga karena kemajemukannya sering

terjadi lalu lintas antar suku, ras, dan agama yang tidak bisa dihindari. Salah satu fenomena

yang tidak dapat dihindari dari lalu lintas kemajemukan adalah perkawinan beda agama,

karena perkawinan beda agama bukanlah sesuatu hal yang baru dalam masyarakat

Indonesia. Dahulu orang Hindhu menikah dengan orang Islam, orang Budha dengan orang

Kristen. Hal ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi karena cinta dan kasih antar

manusia bisa melewati etnis, budaya dan agama (Tim Percik, 2009:1).

Indonesia memiliki dasar hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut UUP pasal 1 ayat 1 menyatakan

bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. UUP memandang sah apabila perkawinan

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan pasal 2UUP.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dianggap sah jika

sesuai dengan agamanya. Indonesia mengakui 6 agama yang dipercayai. Agama tersebut

adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

Menurut KHI BAB II Pasal 2, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon

ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melakukanya merupakan ibadah. Perkawinan

menurut agama Kristen dan Katholik adalah suatu ikatan cinta kasih tetap dan taat yang

menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan hubungan cinta Kristus dengan Gerejanya.

Sebagaimana yang diatur dalam kitab kejadian 1-26 sampai 30, 2.7 sampai 25 juga

Perjanjian Baru episus V: 21 sampai 33 (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:27). Perkawinan

menurut agama hindu adalah hubungan yang sakral dan hanya yang sah bila sudah

dilakukan menurut agama tersebut (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:25). Perkawinan

menurut agama budha adalah ikatan yang fleksibel karena selalu mengadaptasi adat-adat

yang hidup dalam masyarakat (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:26).

KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif bagi umat

Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan beda agama. Pasal 40 KHI

menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita karena keadaan tertentu seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam

(pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur adanya perkawinan

beda agama, namun secara tersirat melarang adanya praktek perkawinan beda agama yang

tertuang dalam pasal 2 ayat 1 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

Page 5: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

ii

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari prinsip di atas seharusnya seorang

yang beragama Islam harus menikah dengan orang yang beragama Islam pula. Sedangkan

orang yang beragama Kristen ataupun Katolik dalam kepercayaannya juga tidak

diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama. Adanya peraturan yang

melarang perkawinan beda agama ternyata belum mampu mencegah perkawinan beda

agama dalam masyarakat. Aturan dalam KHI dan UU Perkawinan di Indonesia seharusnya

mampu menjadi pedoman yang bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini peneliti menemukan

sebuah lembaga yang yang bisa memfasilitasi perkawinan beda agama. Lembaga tersebut

adalah Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Percik, merupakan lembaga independen

yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini

didirikan pada awal tanggal 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang

terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian

masyarakat.

- Rumusan Masalah

Dari Pernyataan Di atas terdapat Rumusan Masalah yaitu diantaranya :

1. Pengertian perkawinan dengan menjelaskan berdasarkan Undang-undang

perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

2. Perkawinan dengan Beda Agama menurut UUP, KHI dan FIKIH.

3. Pengertian Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan HAM.

Page 6: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

i

B. Pembahasan

Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pengertian

perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat 1

menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri”. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang

perlu diperhatikan yaitu:

1. Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara formal baik dalam

hubungan antara satu sama lain maupun mereka dengan masyarakat luas. Ikatan

batin diartikan adanya satu tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia

dan kekal. Untuk itu dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan

lahir dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu kesatuan yang

utuh.

2. Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu

hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak adanya perkawinan

sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa orang Barat.

3. Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua

jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah

“hidup bersama” (Syarifuddin, 2006:40).

Perdebatan hukum tentang perkawinan beda agama sudah berlangsung sejak lama

sehingga menimbulkan pemikiran yang baru tentang keabsahan suatu perkawinan. Melalui

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa

keabsahan suatu perkawinan tergantung pada agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40

dan 41 telah melarang adanya perkawinan beda Agama namun jika perkawinan tersebut

tetap dilakukan maka perkawinan itu akan menjadi rusak / batal (fasad) sesuai dengan pasal

75.

Adanya peraturan yang tegas tentang perkawinan beda agama ternyata belum mampu

membendung pelaku-pelaku perkawinan beda agama. Persoalanpersoalan tersebut

membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perkawinan dan ternyata ada

sebuah lembaga sosial yang bisa memfasilitasi adanya perkawinan beda agama, lembaga

tersebut bernama Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Pertanyaan yang ingin dijawab

adalah (1) Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama ? (2) Bagaimana

proses perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? (3)

Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian

lapangan (field research). Peneltian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif

dengan teknik melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data

Page 7: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

ii

menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan

sistematis selanjutnya ditarik kesimpulan.

Hasil penelitian ini adalah Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda

agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang

(mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan Percik

yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama,

lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh

pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Pandangan Tokoh Agama

terhadap perkawinan beda agama pun berbeda, ada yang melihat dalam perkawinan beda

agama hal itu boleh saja karena untuk menghormati has asasi manusia namun ada juga

tokoh agama yang berpendapat lain bahwa perkawinan beda agama itu tidak ideal karena

dalam perkawinan beda agama kebanyakan memiliki banyak persoalan dalam perjalanan

hidupnya.1

Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada aturan yang

tegas mengenai perkawinan beda agama. UU tersebut hanya menganggap bahwa

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu” (pasal 2 ayat1).

Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Secara tegas KHI melarang perkawinan beda agama. Aturan ini tercantum dalam pasal

75 (1) yaitu perkawinan batal karena salah satu dari suami atau istri murtad. Pengadilan

Agama yang notabene sebagai pemutus suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI

sebagai dasar dalam menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa

perceraian dapat putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan

terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal tersebut

secara tegas KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di sisi lain KHI ternyata

membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena pada saat peralihan agama dalam

rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan”, maka secara tidak langsung KHI

juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama. Jadi ketika ada peralihan agama dalam

rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI

juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama.2

Perkawinan Beda Agama Menurut fikih

1 Nikmah, Sri. 2011 Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam

dan Perundang-undangan di Indonesia (Studi Terhadap Pasangan

Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel

Salatiga) 2 Tim Percik, 2008. Pergumulan Perkawinan Beda Agama , Salatiga. Percik

Press

Page 8: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

i

1. Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab

a) Kaum musrikin dan ahli kitab

Ayat Al-quran disamping menjelaskan tentang pernikahan golongan mukminin juga

menjelaskan tentang pernikahan dengan golongan ahli kitab dan musrik yang sekaligus

menjadi dasar hukum nikah beda agama diatara mereka. Dasar hukum pernikahan orang

islam dengan ahli kitab dan orang musrik dalam firman Allah SWT yang artinya :

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia

menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan

wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih

baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang

Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-

Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (Depag,

1976:53). QS. Surat Al-Baqoroh ayat 221.

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang

diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan

dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang

beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al

Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud

menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka

hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Depag, 1976: 158).

Surat Al- Maidah ayat 5.

Menurut Al-jaziri sebagaimana dikutip oleh sukarja dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

a) Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab samawi.

Contoh: orang yang menyembah berhala dan orang murtad yang disamakan dengan

mereka.

b) Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi.

Contoh: orang-orang majizi yang menyembah api.

c) Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang Yahudi yang

percaya kepada kitab taurat dan orang-orang nasrani yang mempercayai injil.

Sementara itu Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-Muslim menjadi golongan

musrik, murtad, bahai, dan ahli kitab. Musrik adalah penyembah berhala, mulhid

adalah golongan ateis, murtad adalah golongan yang keluar dari agama islam, bahai

termasuk Murtad. Ahli kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani.

Page 9: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

ii

Titik tolak penggolongan al-Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf al- Qardawi dari segi nama

untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama, hanya Yusuf Qardawi menambahkan golongan

Ateis dan Bahai. Dua golongan pertama disebut oleh al-Jaziri adalah Musrik. Golongan

Mulhid, Murtad dan bahai, dalam hukum nikah oleh Yusuf Qardhawi dari segi nama untuk

tiap golongan. Dalam rincianya sama, hanya Yusuf Qardhawi menambahkan golongan ateis

dan bahai. Ahlul kitab adalah penganut taurat dan injil. Kaum yahudi dan samiri adalah

penganut Taurat. Penganut injil adalah Nasrani yang seakar dalam agama mereka, seperti

orang prancis, jerman dan lain-lain. Masalah yang pelik adalah golongan Ahlul Kitab. Apakah

mereka tidak musrik atau juga termasuk golongan musrik (LSIK, 1994:2-3). Paramufassir

memandang bahwa perkawinan seorang mukmin dipandang halal jika mereka masih

berpegang pada kitab-kitab yang masih murni namun jika kitab atau keyakinannya sudah

menyimpang maka haram untuk dinikahi sesuai dengan surat albayyinah ayat 1: “Orang-

orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak

akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”,

Dan al-hajj ayat 17 yang berbunyi:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-

iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi

keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala

sesuat”.

Hukum pria islam yang menikah dengan wanita bukan islam dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Dengan wanita musrik dan wanita murtad hukumnya haram sesuai dengan surat

albaqarah 221.

2. Dengan wanita ahli kitab ada tiga hukum yaitu halal, haram, dan yang menghalalkan

tapi siasat tidak menghendakinya.

a) Golongan yang menghalalkan berpendirian bahwa menikahi perempuan ahli kitab

(yahudi dan nasrani) halal hukumnya asalkan perempuan ahli kitab itu merupakan

agama keturunan dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut

sebelum masa nabi muhammad dibangkitkan menjadi rosul.

b) Golongan yang mengharamkan yaitu ibnu umar sesuai dengan albaqarah 221.

c) Golongan yang menggap halal tetapi siasat tidak menghendakinya yang

menimbulkan hukum mubah dalam perkawinan itu karena dalam perkawinan itu ada

bahaya kalau-kalau sisuami ikut agama istrinya (LSIK, 1994: 6-13).

Page 10: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

i

A. Non-Muslim Memeluk Islam

Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun Musrik, dapat dibagi atas dua

keadaan. Pertama, perkawinan itu terjadi diantara mereka setelah mereka hijrah dan

dilakukan di Da’arul Islam. Kedua, perkawinan itu terjadi di negeri mereka sendiri, yaitu di

Daarul Harbi. Daarul Islam adalah negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum muslimin.

Darul Harbi adalah negeri dimana kaum muslimin tidak mempunyai tidak mempunyai

kekuasaan untuk mengaturnya. Perkawinan yang terjadi diantara mereka dalam dua

keadaan tersebut mungkin sesuai dengan syarat dan rukun akad pernikahan Islam, mungkin

berbeda. Bila persyaratan perkawinan mereka sesuai dengan perkawinan islam, maka

perkawinan mereka itu sah dalam pandangan islam. Bila berbeda dengan persyaratan

perkawinan islam maka perkawinannya dianggap tidak sah (LSIK, 1994:4).

B. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam

Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa wanita islam haram menikah dengan pria non

muslim. Hal itu sesuai dengan al-baqoroh 221 (LSIK, 1994:5).

Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)

Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholis (1995:245-246) Indonesia memiliki

peraturan mengenai hak asasi manusia, melalui TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang hak

asasi manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal. Ketetapan MPR tersebut menyatakan

bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara

kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut

meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak berkomunikasi,

hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.

Indonesia juga memiliki undang-undang lain mengenai hak asasi manusia, yaitu

undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. Peraturan

mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang tersebut didasarkan pada DUHAM

(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) atau Universal Declaration of human rights yang

dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Undang-Undang ini

secara rinci mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan

keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan

pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintah, hak

wanita dan hak anak. Selain tentang hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban

dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam penegakan hak asasi

manusi, serta fungsi dan tugas Komnas Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan

payung dari seluruh perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu,

Page 11: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

ii

pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung , dikenakan sanksi

pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (2005:257) sejak UU Perkawinan

disahkan pada 1974, sejumlah persoalan muncul, di antaranya berkaitan dengan masalah

nikah beda agama, yaitu:

Pertama, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa sahnya perkawinan tergantung

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang

sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka salah satu harus mengikuti

agama yang lain. Kemudian kembali ke agamanya semula setelah perkawinan terlaksana.

Kedua, dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran pemerintah sebatas melakukan

pencatatan nikah. Pemerintah hanya mengatur aspek administrasi perkawinan. Namun

kedua ayat tersebut dalam prakteknya berlaku secara kumulatif. Kedua-duanya harus

diterapkan bagi persyaratan sahnya suatu perkawinan.

Berkaitan dengan perkawinan beda agama, dalam KHI ada dua pasal yang melarang.

Pertama, pasal 40 yang menyatakan seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang wanita yang tidak beragama islam. Kedua, pasal 44 menyatakan seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama

islam. Perbedaan agama dalam KHI dipandang sebagai penghalang bagi pasangan yang

hendak melangsungkan perkawinan.

Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-Undang Perkawinan tahun 1974

pasal 2 ayat (1) dan (2), serta KHI pasal 40 dan 44 bertentangan dengan isi DUHAM pasal 16

ayat 1 yang menyebutkan, “Iaki-laki dan perempuan dewasa dengan tidak dibatasi

kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk

keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa

perkawinan, di kala perceraian.” Ayat 2, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan

berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.” Sementara ayat 3

menyebut, “Keluarga adalah kesatuan sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan

berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.” Selain itu, Juga bertentangan

dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang berbunyi

“Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah.” Dan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi, “Perkawinan yang sah

hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang

bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.”3

3 Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara

Fiqh Munakahat dan UU perkawinan. Jakarta : Prenada Media

Page 12: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

i

C. PENUTUP

- Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan mengenai perkawinan beda

agama yang difasilitasi oleh lembaga Percik Salatiga, yaitu sebagai berikut:

1. Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama diasumsikan

sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang (mempermudah)

untuk melakukan perkawinan beda agama. Menurut Percik, melakukan perkawinan

beda agama tidak melanggar UU Perkawinan. Mengenai keabsahan suatu

perkawinan percik mengacu pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa

sahnya suatu perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu, jika perkawinan beda agama sudah disahkan oleh pemuka

agama dari masing-masing pihak maka perkawinan tersebut sudah sah sesuai

Undang- Undang, sehingga perkawinan beda agama menjadi sah menurut agama

dan negara. Hal ini juga didasari oleh isi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia) atau Universal Declaration of human rights dan UU No. 39 tahun 1999

tentang hak asasi manusia.

2. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi

mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang

diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda

agama. Adapun prosedur perkawinan beda agama yang difasilitasi Percik adalah

sebagai berikut:

a. Calon mempelai datang ke Percik untuk konsultasi masalah rencana perkawinan

yang dihadapi. b. Kemudian dari pihak Percik mengadakan diskusi dengan tokoh agama yang terkait

dan berwenang dalam melakukan perkawinan. c. Percik membantu memfasilitasi kedua belah pihak untuk berdiskusi dan

menyelesaikan masalah yang ada. Percik hanya bertugas memfasilitasi, dengan cara

memberikan penjelasan, pengarahan dan mempertemukan mereka dengan tokoh

agama yang terkait jika diperlukan. Keputusan terakhir diserahkan sepenuhnya

terhadap masing-masing keluarga. d. Jika terjadi kesepakatan, maka pihak keluarga mendiskusikan tentang bagaimana

prosesi perkawinan beda agama yang akan dilakukan sesuai agama masing-masing,

menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya. e. Mempelai mengurus surat-surat kelengkapan sebagai syarat pencatatan

perkawinan.

Page 13: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

ii

f. Setelah semua syarat administrasi lengkap, pihak Percik melakukan pendampingan

kepada calon mempelai untuk masuk dalam prosesi perkawinan sesuai yang telah

direncanakan sebelumnya. g. Setelah prosesi perkawinan didepan pemuka agama selesai, pihak KCS mencatatkan

perkawinan mereka dengan mencantumkan agama masingmasing dalam akta nikah.

3. Pandangan tokoh agama terhadap fasilitasi perkawinan beda agama oleh Percik

adalah sebagai berikut: a. Pendeta Gereja Kristen

Masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan Percik, menurut Pendeta

Kristen tidak ada masalah, karena dengan adanya fasilitasi tersebut, bisa

mempermudah orang-orang yang hendak melakukan perkawinan beda agama. Dasar

yang digunakan Pendeta tersebut, adalah kitab Lucas 10:29. Tidak semua gereja mau

menerima atau melayani pemberkatan perkawinan beda agama. Alasan yang

menolak perkawinan beda agama yaitu menggunakan dalil dalam Korintus 6:14.

b. Prof Zuhri Menurut salah satu pakar hukum Islam di STAIN, perkawinan beda agama itu tidak

ideal. Karena perkawinan tersebut pasti akan menemukan berbagai masalah.

Misanya masalah kejiwaan atau masalah berebut anak. Menurutnya, lebih baik

perkawinan beda agama itu ditinggalkan. Seperti teori Imam Syari’i yang berbunyi

Tarqul khilafi mustahabbun, (meninggalkan perbedaan itu yang dipilih) jika

perkawinan beda agama itu kontroversi, maka lebih baik di tinggalkan.

c. Tokoh Ta’mir Masjid Menurut para tokoh takmir, Perkawinan beda agama haram hukumnya. Hal ini

didasari oleh ketentuan al qur’an surat al baqarah ayat 221, yaitu larangan larangan

laki-laki muslim untuk menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga diharamkan menikah dengan laki-laki

musyrik. Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan membawa

pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa seorang muslim masuk

neraka.

- Saran 1. Bagi Pasangan Hendaknya pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda

agama berfikir ulang sebelum malaksankan dan meminta pendapat kepada tokoh

agama tentang perkawinanya tersebut melarang agama atau tidak, jangan hanya

mementingkan nafsu belaka. 2. Bagi Pemerintah Tidak adanya aturan yang tegas terhadap perkawinan beda agama

maka Pemerintah perlu meninjau ulang kajian hukum terhadap perkawinan beda

agama agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Page 14: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

i

3. Bagi Percik Dengan adanya pasangan yang datang ke Percik untuk minta di fasiliasi

perkawinan beda agama maka di harapkan percik lebih aktif dan lebih giat dalam

menaggapi persoalan-persoalan yang ada dimasyarakat tidak hanya masalah

perkawinan. 4. Bagi Akademik Bagi STAIN, Khususnya program Study ahwal-alsyahsiyyah

diharapkanmampu mengakomodir mahasiswa agar tidak terjerumus oleh hal-hal

yang melanggar syari’ah. 5. Bagi Tokoh Agama Sebagai tokoh Agama yang notabene panutan masyarakat

hendaknya lebih matang dalam mengambil suatu keputusan apakah hal ini

diperbolehkan atau tidak, jangan hanya mementingkan politik maupun golongan

semata.

Page 15: Perkawinan Beda Agama oleh Lembaga Sosial

ii

Daftar Pustaka

- Nikmah, Sri. 2011 Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan

Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia (Studi

Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas

Agama di Kelurahan Bugel Salatiga)

- Tim Percik, 2008. Pergumulan Perkawinan Beda Agama,

Salatiga. Percik Press

- Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia : Antara

Fiqh Munakahat dan UU perkawinan. Jakarta : Prenada

Media