perkawinan beda agama menurut ormas islam di...
TRANSCRIPT
PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT ORMAS ISLAM DI
INDONESIA (STUDI FATWA NU DAN MUHAMMADIYAH)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun oleh :
Muhammad Taufiq Rahman
NIM. 1111044100053
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H / 2018 M
v
ABSTRAK
Muhammad Taufiq Rahman, NIM 1111044100053, “PERKAWINAN
BEDA AGAMA MENURUT ORMAS ISLAM DI INDONESIA
(STUDI FATWA NU DAN MUHAMMADIAH)”, Konsentrasi
Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2018 M. Ix + 50
halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui fatwa dari dua ormas Islam
terbesar di Indonesia tentang hukum perkawinan beda agama, yang mana
menurut pendapat dari kedua ormas tersebut tentang perkawinan beda
agama haram/tidak sah dikarnakan banyak mudhorotnya. Dalam
penelitian ini di kaji 2 (dua) hal: a. Apa dasar hukum fatwa NU dalam
Bahtsul Masail dan Muhammadiyah dalam Majelis Tarjih tentang
perkawinan beda agama? b. Apa relevansi fatwa NU dan
Muhammadiyah tentang perkawinan beda agama dalam konteks ke
Indonesiaan saat ini?
Studi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang
menggunakan metode deskriftif-analitis, dimana mendeskripsikan
perkawinan beda agama menurut fatwa ormas NU dan Muhammadiah.
Sumber penelitian ini adalah al-Qur’an, Hadist, serta buku” fiqh.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: a. Dasar hukum NU dalam
Bahtsul Masail dan Muhammadiyah dalam Majelis Tarjih adalah
didasarkan pada imam empat madzhab yaitu Hanafi, Syafi’i, Hambali,
dan Maliki. Sehingga diputuskanlah fatwa perkawinan beda agama
hukumnya haram. Sedangkan dasar hukum Muhammadiyah merujuk
pada surat al-Imran ayat 113. b. Fatwa NU dan Muhammadiyah dinilai
kurang relevan di karnakan masih banyaknya masyarakat yang kurang
mengetahui bahkan masih ada yang menjadi pelaku perkawinan beda
agama tersebut.
Kata Kunci : Perkawinan, Beda Agama, Menurut Ormas Islam di
Indonesia (Studi Fatwa Nu dan Muhammadiyah)
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.A
Daftar pustaka: Tahun 1969-2018
vii
Studi Hukum Keluarga (Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Afwan Faizin, M.A., Dosen Pembimbing Akademik. Semoga beliau
senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah swt.
4. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis dan
membimbing penulis dari awal masuk kuliah hingga bisa menyelesaikan
skripsi ini, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.
5. Bapak Faza, Ibu Siti Sholehah, S.Ag, dan Ibu Yanti, terima kasih atas bantuan
administrasi pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.
6. Seluruh staf dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh staf kantor Pengadilan Agama Tangerang Kota.
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan dalam
mengumpulkan referensi kepada penulis.
9. Yang tercinta dan selalu penulis cintai dan sayangi sepanjang hayat, ayahanda
H. Aseli Firdaus dan ibunda HJ. Linda Mujiati orang tua penulis, adik
Muhammad Luthfi Rahman, calon teman hidupku Yuliestia Tri Utari, S,Kom.,
terima kasih tak terhingga atas do’a, semangat, kasih sayang, pengorbanan dan
ketulusan dalam mendampingi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga kalian selalu diberi
kesehatan dan semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt.
10.Teman-teman keluarga Besar prodi Peradilan Agama angkatan 2011 kelas A
dan B yang menjadi teman seperjuangan. Khusus kepada Muhammad Nazir,
Muhammad Fathinnudin, Fahrul Roji, Muhammad Rizki Romdhon, Samsul
Bahri, Nurul Khomsah, Ratnasari, Razak, serta teman-teman yang tidak bisa
saya sebutkan semua namanya satu persatu. Terima kasih atas
kebersamaannya, motivasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan
bersama kalian semuanya.
11.Seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt. Hanya
viii
untaian kata terimakasih serta do’a yang dapat penulis berikan. Semoga semua
pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, serta arahannya kepada
penulis senantiasa diberi kesehatan dan dalam lindungan Allah swt, diridhoi
setiap langkah kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik di
akhirat kelak.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,
hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah swt dengan balasan
yang berlipat ganda. Penulispun berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Tangerang, 18 Juni 2018
Penulis
Muhammad Taufiq Rahman
x
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 3
D. Telaah Pustaka........................................................................... 4
E. Kerangka Teori ......................................................................... 5
F. Metode Penelitian ...................................................................... 6
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 7
BAB II : NIKAH BEDA AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF ...................................................................... 9
A. Pengertian Syarat dan Rukun Nikah, dan Hikmah Perkawinan 9
B. Perkawinan Beda Agama dan Hukum ...................................... 11
x
C. Pendapat Para Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama ........ 15
BAB III : PROFIL NU DAN MUHAMMADIYAH DAN FATWA ......... 30
A. Profil Nahdlatul Ulama.............................................................. 30
B. Profil Muhammadiyah............................................................... 32
C. Fatwa NU Tentang Perkawinan Beda Agama......................... 34
D. Fatwa Muhammadiyah Tentang Perkawinan Beda Agama...... 35
E. Dasar - dasar Fatwa NU dan Muhammadiyah Tentang
Perkawinan Beda Agama ......................................................... 35
BAB IV : PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT NU DAN
MUHAMMADIYAH ................................................................... 40
A. Fatwa NU Dalam Bahtsul Masail ............................................. 40
B. Fatwa Muhammadiyah Dalam Majelis Tarjih .......................... 42
C. Perbandingan Fatwa NU dan Muhammadiyah.......................... 45
BAB V : PENUTUP .................................................................................... 48
A. Kesimpulan ............................................................................... 48
B. Saran ......................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 51
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan pengaruh
transformasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja
membawa kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan
perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan
hukumnya. Dalam hal ini fatwa menjadi sebuah jawaban hukum atas
persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah umat Islam. Upaya ini
dilakukan mengingat universalitas ajaran Islam. Dengan demikian, hukum
Islam (fiqh) harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fiqh
sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syari’ah dapat berubah
sesuai dengan situasi yang sering berubah pula. Dengan demikian, sifat fiqh
sangat fleksibel.1
Pada dasarnya, hukum Islam (fiqh) dihadirkan dalam rangka
merealisasikan kemaslahatan umat manusia (li-tahqiq mashalih al-nas), yang
harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan. Dalam kerangka inilah selalu
diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Jangankan perbedaan antara umat sekarang
dengan masa lebih seribu tahun lalu; masa hidup Imam Syafi’i saja diperlukan
dua pendapat berbeda yang disebut qaul qadim (pendapat Imam Syafi’i di
Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir) dan qaul jadid (pendapat Imam Syafi’i
ketika ia pindah ke Mesir).2
Dalam konteks ke-Indonesiaan salah satu upaya merealisasikan hukum
Islam yang dinamis adalah dengan adanya fatwa. Fatwa ini dikeluarkan apabila
terdapat persoalan hukum yang memerlukan penyelesaian baik dilakukan oleh
lembaga yang berkompenten maupun ulama perseorangan. Fatwa merupakan
pendapat atau jawaban hukum terhadap persoalan yang diajukan atau terjadi
1 Ilyas Supena, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media,
2002, h. 1. 2 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara HukumIslam dan
Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, h. 32
2
dalam masyarakat.3 Dalam hal ini masyarakat ada yang mengajukan kepada
NU yang kemudian dibahas dalam forum bahtsul masail, ada yang mengajukan
ke Muhammadiyah yang kemudian menggelar majelis tarjih dan ada pula yang
mengajukan ke MUI yang kemudian menggelar sidang fatwa. Dengan
demikian, fatwa tentang persoalan hukum biasanya dikeluarkan oleh lembaga
atau organisasi sosial keagamaan walaupun memang ada juga yang secara
perseorangan.
Nahdlatul Ulama (NU) telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama
melalui putusan Lajnah Bahtsul Masa’il, Nahdlatul Ulama. Fatwa itu
ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.
Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang
berlainan agama di Indonesia hukumnya haram dan tidak sah. Secara khusus,
Ahmad Zahro menjelaskan bahwa maksud dari metode istinbat yang ada dalam
Nahdlatul Ulama adalah cara yang digunakan ulama dan intelektual NU untuk
menggali dan menetapkan suatu keputusan hukum fiqh dalam Lajnah Bahtsul
Masa’il.3
Dalam sidang Muktamar Tarjih ke-22 pada tahun 1989 di Malang, para
ulama Muhammadiyah telah menetapkan keputusan bahwa pernikahan beda
agama tidak sah. Laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik
(Hindu, Budha, Konghuchu atau agama selain Islam lainnya). Begitupun
dengan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi dan
Nasrani) hukumnya haram. Menurut ulama Muhammadiyah, wanita ahlul kitab
di zaman sekarang berbeda dengan zaman Nabi dahulu. Selain itu menikahi
wanita non Islam juga mempersulit membentuk keluarga sakinah yang sesuai
syariat Islam.
Dalam fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan
beda agama ini pada prinsipnya mempunyai kesimpulan hukum bahwa wanita
muslim diharamkan menikah dengan laki-laki non mulim atau laki-laki muslim
diharamkan menikah dengan wanita ahlul kitab. Dengan fatwa ini maka perlu
diadakan kajian lebih mendalam mengenai Fatwa MUI Nomor: 4/Munas
3 Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h 167
3
VII/MUI/8/2005 tersebut, berikut dasar hukum serta relevansinya dalam
konteks ke-Indonesiaan. Penulis memandang perlu mengkaji Fatwa MUI
Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 ini, karena belakangan ini disinyalir banyak
terjadi pernikahan beda agama, dan terjadi kontroversi tentang hukum
pernikahan beda agama tersebut di kalangan ulama.
B. Rumusan Masalah
Pentingnya masyarakat mengetahui hukum perkawinan beda agama agar
mengetahui larangan yang di tetapkan dalam agama Islam tentang perkawinan
beda agama dikarenakan perkawinan tersebut tidak baik atau lebih banyak
mudhorot yang akan berlangsung dalam menjalani hubungan keluarga
kedepannya.
Disini penulis melakukan penelitian terhadap dua ormas NU dan
Muhammadiyah tentang perkawinan beda agama tersebut. NU menetapkan
hukum menggunakan berdasarkan al-Qur’an, Hadist, dan Ijtima’ para ulama
sedangkan Muhammadiyah hanya berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
Sehingga, ditetapkanlah hukum perkawinan beda agama adalah tidak sah.
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
a. Apa dasar hukum fatwa NU dalam Bahtsul Masail dan Muhammadiyah
dalam Majelis Tarjih tentang perkawinan beda agama?
b. Apa relevansi fatwa NU dan Muhammadiyah tentang perkawinan beda
agama dalam konteks keindonesiaan saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Untuk mengetahui dasar hukum fatwa NU dan Muhammadiyah tentang
perkawinan beda agama.
c. Untuk mengetahui relevansi fatwa NU dan Muhammadiyah
4
D. Telaah Pustaka
Hasil penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang di temukan ada
beberapa karya ilmiah yang membahas tentang perkawinan beda agama, antara
lain :
Pertama, buku Perkawinan Antar Agama dalam teori dan praktek yang
ditulis O.S. Eoh, MS. Buku ini menjelaskan tentang perkawinan yang
dipandang dalam perspektif agama yang ada di Indonesia dan pelaksanaan
perkawinan antar agama tersebut.4
Kedua, buku Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Nikah Beda
Agama dan Respon para Pemuka Agama Terhadapnya yang ditulis Wahyu
Sunandar. Pembahasan disajikan tentang fatwa MUI dan respon pemuka agama
dalam perkawinan beda agama.5
Ketiga, buku Perkawinan Beda Agama Menurut Nahdlatul ‘Ulama
(Analisis putusan Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul ‘Ulama) yang ditulis
Andrian Hendinar. Buku ini disajikan fatwa NU dalam Lajnah Bahtsul Masail
saja tentang perkawinan beda agama.6
Keempat, buku yang berjudul Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-
Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, ditulis oleh M. Karsayuda. Dalam
BAB IV buku ini menjelaskan tentang pertimbangan larangan menikahi wanita
kitabiyah. Menurut fatwa MUI golongan ahli kitab di Indonesia yang ada
sekarang, khususnya umat Nasrani yang sekarang tidak memenuhi syarat
kitabiyah, dan ditakutkan bahwa mafsadat karena perkawinan beda agama ini
lebih besar dari maslahatnya.7
Berdasarkan pemaparan diatas, belum ada skripsi yang membahas tentang
Perkawinan beda Agama menurut Ormas Islam NU dan Muhammadiyah. Pada
akhirnya penyusun tertarik untuk meneliti tentang perkawinan beda agama
4 O.S.Eoh, perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT.Raja
GrafindoPersada, 1996), h. 117. 5 Wahyu Sunandar, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Nikah Beda Agama
dan Respon para Pemuka Agama Terhadapnya, Jakarta: 2011. 6 Andrian Hendinar, Perkawinan Beda Agama Menurut Nahdlatul ‘Ulama (Analisis
putusan Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul ‘Ulama), Yogyakarta: 2016. 7 M.Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media, 2006), h. 150.
5
yang dikeluarkan oleh NU dan Muhammadiyah dan ingin menyusunnya dalam
bentuk skripsi.
E. Kerangka Teori
Perkawinan beda agama merupakan suatu perkawinan yang dilakukan oleh
orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Bahwa perkawinan beda agama di golongkan menjadi
tiga kategori. Ketiga kategori hukum ini adalah8 :
Pertama, perkawinan antara seorang laki-laki non-muslim dengan wanita
muslim hukumnya adalah haram. Seorang wanita muslim yang beriman itu
haram dinikahi oleh laki-laki kafir, dan laki-laki kafir itu haram menikahi
wanita Muslimah.
Kedua, perkawinan antara laki-laki muslim dengan seorang wanita
musyrikah adalah haram untuk mengawininya. Karena seorang laki-laki
muslim maupun wanita muslimah dilarang untuk menikahi dan dinikahi oleh
seorang musyrikah, baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
(Nasrani/Yahudi) hukumnya adalah halal. Laki-laki muslim diperbolehkan
menikahi wanita ahlul kitab asalkan wanita teresebut beriman dan menjaga
kehormatannya.
Hukum positif Indonesia, menjelaskan bahwa peraturan tentang
perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Undang-undang perkawinan secara khusus tidak menjelaskan
peraturan perkawinan beda agama yang menyebabkan pemahaman multi tafsir,
beberapa pasal yang disinyalir mengatur tentang masalah perkawinan beda
agama di Indonesia, yaitu: Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f). Implikasi dari
pasal tersebut adalah pada intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991
tentang kompilasi hukum Islam (KHI) yang secara jelas melarang perkawinan
beda agama. Pasal 40 huruf (c) dan pasal 44 KHI menerangkan bahwa seorang
8 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006).h. 133-135.
6
laki-aki atau perempuan yang beragma Islam dilarang untuk melangsungkan
perkawinan dengan seorang laki-laki maupun perempuan yang tidak beragama
Islam.
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga telah menetapkan terkait
permasalahan perkawinan beda agama. Fatwa tersebut di tetapkan pada
Muktamar ke XXVIII di Yogyakarta pada akhir november 1989 dan
Muhammadiyah mengadakan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang
Jawa Timur. NU menetapkan fatwa terkait pernikhan beda agama di Indonesia
hukumnya haram dan tidak sah dan Muhammadiah juga berfatwa demikian dan
di kuatkan dengan beberapa alasan bahwasanya ahli kitab di zaman sekarang
berbeda dengan zaman Nabi dikarnakan ahli kitab di zaman sekarang sudah
banyak menyekutukan Allah SWT, perkawian beda agama dapat di pastikan
tidak dapat terwujudnya keluarga sakinah sebagai tujuan utama,.
F. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk jenis penelitian dokumen sehingga dalam
penelitian ini metode pengumpulan datanya dilakukan melalui penelusuran
terhadap dokumen berupa fatwa NU dan Muhammadiyah tentang perkawinan
beda agama. Sumber data tersebut berupa literature yang terkait dengan
substansi penelitian ini. Sumber data ini meliputi :
a. Sumber Primer
Sumber data primer dalam penelitan ini adalah fatwa NU Nomor:
28/Munas XXVIII/NU/11/1998 dan Muhammadiyah Nomor: 22/Munas
XXII/1989 tentang perkawinan beda agama.
b. Sumber Sekunder
Sumber penunjang sebagai bahan pendukung dalam pembahasan skripsi
ini yaitu buku-buku lain yang berisi tentang perkawinan beda agama dalam
hukum Islam misalnya hasil bahtsul Masail NU dan buku masail
fiqhiyyah.
7
2. Metode Analisis Data
Adapun untuk menganalisa data setelah data terkumpul, maka dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.9
Metode ini digunakan untuk
mendeskripsikan fatwa NU dan Muhammadiyah tentang perkawinan beda
agama dan dasar hukumnya. Adapun yang dimaksud dengan analisis adalah
berfikir tajam dan mendalam. Dalam penelitian ini setelah dideskripsikan
tentang fatwa NU dan Muhammadiyah dan dasar hukumnya kemudian akan
dianalisis secara mendalam dengan pendapat-pendapat lainnya tentang
pernikahan beda agama sekaligus relevansinya dalam konteks ke-Indonesiaan
saat ini. Di samping itu juga penulis menggunakan metode content analisis,
yaitu merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.10
Yang
dibutuhkan akan dikumpulkan dengan metode analisis terhadap buku atau
dokumen yang ada kaitannya dengan pembahasan ini, yaitu fatwa NU dan
Muhammadiyah tentang perkawinan beda agama.
G. Sistematika Penulisan.
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu :
Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Kemudian Bab II membahas tentang sekilas tentang nikah beda agama
yang meliputi kajian tentang pengertian dan syarat-rukun nikah, hikmah nikah,
pengertian nikah beda agama dan dasar hukumnya, serta pendapat para ulama
tentang pernikahan beda agama.
9 Moh Nadzir, Metode Penelitian,Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996, h. 63
10 Nong Muhadjir, Methode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasis, 1989, h.76
8
Pada bab III dibahas mengenai profil Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, fatwa NU dan Mhammadiyah tentang nikah beda agama, dan
dasar-dasar fatwa NU dan Muhammadiyah tentang pernikahan beda agama.
Bab IV merupakan analisis terhadap fatwa NU dan Muhammadiyah
tentang perkawinan beda agama dalam Bahtsul Masail dan Majelis Tarjih,
dasar hukum dalam fatwa NU dan Muhammadiyah tentang perkawinan beda
agama, dan analisis fatwa MUI tentang perkawinan beda agama relevansinya
dengan konteks Indonesia saat ini.
Terakhir adalah bab V yakni penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran
dan kata penutup.
9
BAB II
NIKAH BEDA AGAMA MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Syarat, Rukun Nikah, dan Hikmah Perkawinan
Menurut undang-undang perkawinan, yang dikenal dengan undang-undang
No. 1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan adalah Ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Bachtiar, definisi perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua
hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu
yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu
merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat
mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara
kelangsungan manusia di bumi.1
Menurut Goldberg, perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat
populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang
tahan uji. Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban
yang bertahan lama dan bahkan abadi serta pelesatarian kebudayaan dan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan inter-personal.2
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
1 Bachtiar, A. Menikahlah, Maka Engkau Akan Bahagia!. Yogyakarta. Saujana 2004
2 Maramis, W.F & Yuwana, T.A . Dinamika Perkawinan Masa Kini. Malang : Diana,
1990
10
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam perkawinan umpamanya
rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah
bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang
berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada didalam hakikat
dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan Syarat
adalah sesuatu yang berada diluarya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu
ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap
unsur yang menjadi rukun.
Dalam hal rukun perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan
mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama dan perbedaan ini
tidak bersifat substansial. Adapula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak
merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. Rukun pernikahan menurut jumhur
ulama ada empat yaitu sighat (ijab dan qabul), istri, suami, dan wali.3
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku
antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang
menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang
dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang
lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat
perkawinan.
Menurut ulama Syafi‟iyah yang dimaksud dengan perkawinan di sini
adalah keseluruhan secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan
segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun
perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.
Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk dalm
rukun, karena mahar tersebut tidak mesti di sebut dalam akad perkawinan dan
tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian,
mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.
3 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 45
11
UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan.
UU Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana
syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun
perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh
Syafi‟i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.4
B. Perkawinan Beda Agama dan Hukum
Hukum pernikahan beda agama dalam Islam termasuk masalah khilafiyah
yang diperdebatkan. Namun demikian, mayoritas ulama dan MUI memutuskan
bahwa pernikahan beda agama dalam Islam adalah haram (tidak di
perbolehkan).
1. Haram
Mayoritas ulama dari 4 mahzhab, MUI, NU, Muhammadiyah dan lainnya
telah bersepakat bahwa menikahi pria atau wanita non muslim hukumnya
haram. Pernyataan ini didasari oleh dalil-dalil Al-Quran surat al-Baqarah ayat
221 dan al-Mumtahanah ayat 10 yang menjelaskan bahwa orang-orang
mukmin dilarang menikahi wanita musyrik. Menikah dengan orang kafir tidak
dihalalkan dalam islam.
نحىا ولا ؤهخ ا ولهخ ا ؤهي ا حزى الوشسمذا ر س ا ه يا خ شسمخ ا ه لىا ه نحىارا ولا اعججزننا و
يا ؤهي ا ولعجد ا ؤهىا حزى الوشسم س ا ه يا خ شسك ا ه لىا ه ال بزا الى دعىىا اولئلا اعججننا و
اا وللا زه ا وجيا ثبذه ا والوغفسحا الجـ خا الى دعى زرم سوىا لعل هنا لل بسا ا
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu‟min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik [dengan wanita-wanita mu‟min] sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu‟min lebih baik dari orang musyrik
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenamedia Group, 2006), h. 59-61
12
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya [perintah-perintah-Nya] kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”. (QS Al-Baqarah: 221)
بهب يا ا ال ر ذا جبءمنا اذا اهى ا فبهزحىهي ا ههجسد ا الوؤهوبهي ا اعلنا للا علوزوىهي ا فبىا ثب
ذ ا با رىهنا واا لهي ا حلىىا هنا ولا ل هنا حل ا هي ا لا النف بزا الى رسجعىهي ا فلا هؤه فقىا ه ولا ا
ننا جبحا نحىهي ا اىا عل زوىهي ا اا اذاا ر هبا وسـئـلىا النىافسا ثعصنا روسنىا ولا اجىزهي ا ر
فقزنا فقىا هبا ولسـئـلىا ا ا حننا لننا ذا اننا حننا للا ا ث
ن ا وللا ن ا عل حن
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Mumtahanah: 10
2. Diperbolehkan (antara makruh dan mubah)
Pendapat dari ulama yang kedua tentang hukum pernikahan beda agama
antara makruh dan mubah. Pernyataan mereka didasari oleh surat al-Maidah
ayat 5 yang menjelaskan bahwa menikahi wanita ahlul kitab dihalalkan untuk
seorang mukmin.
Mengapa demikian, Sebab posisi wanita dalam keluarga adalah menjadi
makmum. Belum tentu bisa membimbing suaminya. Jadi jika suaminya non
muslim maka bisa berisiko merusak pondasi keimanan rumah tangga.
13
جذ لـننا احل ا الىما يا وطعبما الط کوىطعبهننا حل ا النزتا اورىا ال ر ذا ل هنا حل ا لـ هيا والوحص
ذا ذا الوؤه يا هيا والوحص زوىهي ا اذاا قجلننا هيا الـنزتا اورىا ال ر يا اجىزهي ا ار سا هحص غ
يا وبىا نفساوه اخداى ا هز خريا ولا هسبفح خسحا فى وهىا عوله ا حجطا فقدا ثبل يا هيا ال الخسس
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
Termasuk orang-orang merugi”. (QS. Al-Maidah: 5)
Diperbolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab
dikarenakan adanya pendapat yang mengatakan bahwa wanita ahli kitab
berbeda dari wanita musyrik. Namun demikian dalam surat Al-bayyinah Allah
Ta‟ala menjelaskan bahwa ahli kitab dan orang-orang musyrik termasuk orang
kafir.
يا اى ا يا وا النزتا اهلا هيا مفسوا ال ر ا الوشسم يا جه نا بزا ف هب خلد الجس خا شسا هنا اولئلا ف
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang
yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya.
mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6)
Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Persoalan nikah beda agama dillaksanakan berdasarkan melalui
peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken yang
lazim disingkat GHR) yang dimuat dalam S.1898 Nomor 158. Pasal 1 dari
peraturan tersebut menyatakan bahwa “Perkawinan di Indonesia antara dua
orang yang masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain,
dinamakan perkawinan campuran”.Ayat 2 dari pasal tersebut menjelaskan
bahwa “Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan
penghalang bagi suatu perkawinan”. Dalam melaksanakan kehidupan bagi
14
suami isteri yang kawin atas perbedaan agama atau kebangsaan tersebut
ditetapkan sama hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 GHR itu
yaitu “ Dalam suatu perkawinan campuran itu si isteri prihal hukum perdata
dan hukum publik, selama perkawinan berlangsung, turut pada hukum yang
berlaku bagi suami”.
Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
solusi yang diberikan oleh peraturan tersebut di atas telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Di dalam undang-undang yang disebutkan
belakangan ini solusi yang diberikan hanyalah bagian kecil dari perbedaan
calon suami isteri yaitu bila berbeda kebangsaan saja atau kewarganegaraan
saja. Hal ini diatur dalam Pasal 57 UUP yang berbunyi “Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”. Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut
cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan
Republik Indonesia (Pasal 58 UUP).
Selanjutnya dalam UU No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat
1, telah ditetapkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari pasal ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa dimanapun warga Indonesia menikah, keabsahannya
tetap bergantung pada peraturan agama orang tersebut.
Dalam hal memaknai UU no 1 tahun 1974 berkaitan dengan pernikahan
beda agama ada beberapa pendapat:
Pertama, UU No 1 Tahun 1974 telah mengatur pernikahan beda agama di
mana keabsahan atau tidaknya perkawinan tersebut bergantung pada aturan-
15
aturan yang berlaku menurut agama yang dianut, dengan bunyi Pasal 2 ayat 1,
telah ditetapkan“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kedua, bagi sebagian orang masih mengaggap bahwa nikah beda agama di
Indonesia legal keabsahannya, ini berdasar pada GHR S.1898 Nomor 158.
Pasal 2 yang berbunyi “Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak
merupakan penghalang bagi suatu perkawinan”.
Ketiga, Belum ada aturan main soal pernikahan beda agama, jadi UU No 1
Tahun 1974 masih perlu perbaikan dan penyempurnaan kaitannya
dengan pernikahan beda agama.
C. Pendapat Para Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama
Terdapat perberdaan pendapat di antara para ulama yakni tentang siapa
musyrikah yang haram dinikahi sebagaimana maksud ayat di atas. bahwa
musyrikah yang dilarang dinikahi adalah musyrikah dari bangsa Arab saja,
karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur‟an memang tidak mengenal
kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini,
seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari non-
Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang yang diduga mempunyai kitab
suci atau serupa kitab suci,5
Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikah baik dari
bangsa Arab maupun non-Arab selain ahli kitab tidak boleh dinikahi. Menurut
pendapat ini, siapapun yang bukan muslim atau ahli kitab (beragama Kristen
atauYahudi) haram dinikahi.6
Di samping mendasarkan ayat di atas, Yusuf Qardhawi juga mendasarkan
pada ayat al-Mumtahanah ayat 10:
5 M. Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, 1367 H), vol. VI, h. 187-190
6 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991), h. 5
16
بهب يا ا ال ر ذا جبءمنا اذا اهى ا فبهزحىهي ا ههجسد ا الوؤهوبهي ا اعلنا للا علوزوىهي ا فبىا ثب
ذ ا با رىهنا واا لهي ا حلىىا هنا ولا ل هنا حل ا هي ا لا النف بزا الى رسجعىهي ا فلا هؤه فقىا ه ولا ا
ننا جبحا نحىهي ا اىا عل زوىهي ا اا اذاا ر هبا وسـئـلىا النىافسا ثعصنا روسنىا ولا اجىزهي ا ر
فقزنا فقىا هبا ولسـئـلىا ا ا حننا لننا ذا اننا حننا للا ا ث
ن ا وللا ن ا عل حن
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka beriman maka janganlah kamu kembalikan
mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orangorang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah
kepada mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali dengan perempuan-perempuan
kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan
hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Mumtahanah: 10)
Menurut Yusuf Qardlawi, konteks ayat di atas, secara keseluruhan beserta
asbabun nuzulnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-kawafir
(perempuan-perempuan kafir), yakni al-watsaniyat (perempuan-perempuan
penyembah berhala).7
Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang laki-laki muslim boleh
menikah dengan wanita ahli kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam
surat al-Maidah ayat 5.8
النا االنزبةاحل اأورىا اال ري اوطعبم جبدا االط النن اأحل اوالوحصبداالىم الهنا احل اوطعبهنن ن
اهحا اأجىزهي زوىهي صياهياالوؤهبداوالوحصبداهياال رياأورىااالنزبةاهياقجلنناإذااآر
7 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.
580 8 Syekh al-Imam al-Zahid al-Mufiq, Al-Muhazzib fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.), h. 61. „Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-Ansyari al-Najd al-Hanbali,
Majmu Fatawa, Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, (Beirut: Dar al-„Arabiyah li al-Thiba‟ah wa al-
Nasyr al-Tawzi‟, 1398 H), Jilid XII, h. 178
17
اثبلا انفس اوهي ا اهز خرياأخداى اول اهسبفحي س اهياغ خسح اا اف اوهى اعوله احجط افقد وبى
الخبسسيا
Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
orang-rang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.
(Q.S. al-Maidah : 5)
Mempertegas pendapat tersebut, al-Thabathaba‟i menyatakan, larangan
mengawini laki-laki dan wanita musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221
ditujukan kepada laki-laki dan wanita dari kalangan penyembah berhala, dan
tidak termasuk Ahli kitab,9 karena nikah dengan ahli kitab tidak dilarang. Bila
dibandingkan antara surat al-Maidah ayat 5 dengan surat al-Baqarah ayat 221,
maka tampaklah adanya perbedaan antara status musyrik dengan ahli kitab.
Masing-masing mempunyai ketentuan sendiri, yakni haram menikahi orang
musyrik dan boleh menikahi ahli kitab. Ini disebabkan karena perbedaan antara
ahli kitab dengan musyrik ketika dua kata penghubung “ اا و ” seperti yang
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 105. Ayat tersebut jelas menunjukkan
adanya perbedaan antara ahli kitab dengan musyrik, karena dibatasi oleh kata
penghubung “ وا ”. Karenanya wajar menurut mayoritas ulama antara ahli kitab
dengan musyrik berbeda.
Dalam sejarah Rasulullah SAW mengawini Maria al-Qibtiyah, seorang
wanita yang semula beragama Nashrani (Kristen). Praktek Rasulullah ini
kemudian diikuti oleh beberapa sahabat. Di antaranya „Usman bin „Affan
menikahi Nailah binti al-Fara Fisah al-Kalbiyah yang beragama Nashrani.
9 M. Husain al-Thabathaba‟i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, (Beirut: Mu‟assasah al-A‟lam
li al-Mathbu‟ah, 1403 Hatau1983 M), Juz II, h. 203
18
Sedangkan Huzaifah menikahi seorang wanita Yahudi yang berasal dari Negeri
Madyan.10
Sekalipun mayoritas ulama pada dasarnya sepakat membolehkan laki-laki
muslim menikahi wanita ahli kitab, namun dalam kebolehan tersebut juga
terdapat perbedaan pendapat:
1. Menurut sebagian mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali
memandang bahwa hukum pernikahan tersebut adalah makruh;
2. Menurut pandangan sebagian pengikut mazhab Maliki, seperti Ibnu Qasim
dan Khalil, menyatakan bahwa pernikahan tersebut diperbolehkan secara
mutlak;
3. Al-Zarkasyi (mazhab Syafi‟i) berpendapat bahwa pernikahan tersebut
disunatkan apabila wanita ahli kitab tersebut diharapkan dapat masuk
Islam, seperti pernikahan „Usman bin „Affan dengan Nailah.11
Adapun golongan yang tidak membolehkan laki-laki muslim dengan ahli
kitab diantaranya golongan Syi‟ah Imamiyah dan Sayyid Quthub. Mereka
berargumentasi dengan surat al-Baqarah ayat 221 di atas. Menurut golongan
ini ahli kitab termasuk ke dalam golongan musyrik berdasarkan riwayat Ibnu
„Umar ketika beliau ditanya tentang hukum mengawini wanita-wanita Yahudi
dan Nashrani. Beliau menjawab dengan ayat di atas dan menambahkan: “saya
tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan pada anggapan seorang
wanita (Nashrani), bahwa Tuhannya „Isa padahal „Isa hanya seorang manusia
dan hamba Allah”.12
Kemudian mereka juga beralasan dengan surat al-Mumtahanah ayat 10:
10
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996), h. 47-48 11
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 13 12
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid II, h. 28
19
اثئوبها اأعلن اللا ا افبهزحىهي اههبجساد االوؤهبد اجبءمن اإذا اآهىا اال ري اأهب افئىاب ا ي
اا الهناولاهناحلىىالهي احل الاهي اإلىاالنف بزا افلارسجعىهي اهؤهبد وآرىهناهباعلوزوىهي
ارا اول ا اأجىزهي زوىهي اآر اإذا نحىهي ار اأى نن اعل اجبح اول فقىاا االنىافساأ اثعصن وسنىا
اعل ننااوللا ااحنناث لنناحنناللا فقىاااذ فقزناولسألىااهباأ احنن اواسألىااهباأ ن
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang
telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Karena ahli kitab termasuk kepada golongan kafir maka Allah melarang
kaum muslim berpegang kepada tali perkawinan wanita-wanita kafir.13
Al-Thabarsi memahami makna surat al-Maidah ayat 5 menunjukkan
kepada wanita ahli kitab yang telah memeluk Islam. Atas dasar pemahaman
demikian ia berpendapat bahwa melakukan akad nikah dengan ahli kitab
hukumnya terlarang secara permanen.14
Pendapat ini didasarkan pada surat al-
Baqarah ayat 221. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat sahabat
„Abdullah bin „Umar yang secara tegas melarang perkawinan seorang pria
muslim dengan wanita ahli kitab, dengan alasan mereka adalah orang-orang
musyrik.
13
Humaidi bin „Abd al-„Aziz al-Humaidi, Ahkam Nikah al-Kuffur „ala Mazahib al-
Arba‟ah, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1992), h. 25 14
Abu al-Fadhl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Bayan fi
Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim wa al-Sab al-Matsani, (Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats „Arabi, t.th.), Juz
VI, h. 65-66
20
Pendapat „Abdullah ibn „Umar ini, menurut Muhammad „Ali al-Shabuni,
didorong oleh kehati-hatian yang amat sangat akan kemungkinan timbulnya
fitnah bagi suami atau anak-anaknya jika nikah dengan wanita ahli kitab.
Sebab, kehidupan suami istri akan membawa konsekuensi logis berupa
timbulnya cinta kasih di antara mereka, dan hal tersebut dapat membawa suami
condong kepada agama istrinya. Di samping itu, kebanyakan anak cenderung
kepada ibunya.15
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, bahwa Islam melarang
perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim, baik
calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci,
seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang
mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun
pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab
yang serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme,
Politeisme dan sebagainya.16
Hal ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:
نحىا ولا ؤهخ ا ولهخ ا ؤهي ا حزى الوشسمذا ر س ا ه يا خ شسمخ ا ه لىا ه نحىا ولا اعججزننا و ر
يا ؤهي ا ولعجد ا ؤهىا حزى الوشسم س ا ه يا خ شسك ا ه لىا ه ال بزا الى دعىىا اولئلا اعججننا و
اا وللا زه ا وجيا ثبذه ا والوغفسحا الجـ خا الى دعى زرم سوىا لعل هنا لل بسا ا
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu‟min lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu”.
Sebab turunnya ayat ini berhubungan dengan Kannaz ibn Hasin al-
Ghanawi yang diutus Rasulullah SAW ke makkah membawa sebuah misi. Di
Makkah dia mengenal seorang wanita bernama „Anaz yang sangat di cintainya
15
Muhammad „Ali al-Shabuni, Rawa‟i‟ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 537 16
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, Terj. Masykur
AB, et. Al., Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000), h. 336
21
sejak masa Jahiliyah (sebelum Islam), Kannaz datang menemuinya dan
memberi tahunya bahwa Islam telah melarang apa pun yang biasa dilakukan
pada zaman Jahiliyah.
Ada lagi sebab lain di turunkannya wahyu ini sebagai mana yang
disebutkan Abdullah bin Abbas berhubungan dengan kasus Abdullah bin
Rawahah, seorang sahabat Nabi SAW yang memiliki seorang budak wanita
hitam. Suatu ketika dia marah padanya ketika Nabi SAW mengetahuinya.
Alasan yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu mengapa
sehingga orang-orang yang beriman terlarang menikahi orang musyrik adalah
karna mereka akan menjerumuskanmu kedalam Neraka.
Ini berarti perkawinan semacam itu mungkin akan menyesatkan pihak
yang muslim menuju jalan kemusyrikan, karena pertalian antara suami dan istri
itu bukan hanya berhubungan seksual semata melainkan juga hubungan batin
dan budaya. Memang mungkin seorang Muslim dapat mempengaruhinya yang
musyrik, keluarga dan keturunannya agar berkenan memeluk Islam.
Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan laki-laki
muslim. Kenapa wanita muslim dilarang menikah dengan laki-laki musyrik
atau ahli kitab, sementara laki-laki muslim diperbolehkan oleh sebagian ulama
untuk menikah dengan wanita ahli kitab. Dalam hal ini bisa diberikan sebuah
alasan hukum, bahwa surat al-Baqarah ayat 221 memang sama-sama melarang
wanita dan pria muslim untuk menikah dengan musyrik atau musyrikah. Akan
tetapi pada sisi lain Allah juga berfirman dalam surat al-Maidah ayat 5 di atas
yang menyatakan bahwa terdapat wanita muhshanat (yang terpelihara) dari
mu‟minat dan ahli kitab serta adanya sunnah Nabi dan praktik sahabat. Dengan
landasan ini maka kebolehan menikah dengan ahli kitab hanya diperuntukkan
bagi laki-laki muslim bukan sebaliknya
Ada terdapat kesepakatan pendapat para ulama “Ahlussunnah Wal
Jama‟ah” bahwa menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani di perbolehkan
22
karena ia pernah di peraktekkan oleh para sahabat Nabi SAW seperti Utsman,
Thalhah, ibn Abbas, Hudzaifah.17
Sekalipun ada beberapa contoh dari para sabat yang shaleh yang menikah
dengan ahli kitab, namun seseorang harus cukup berhati-hati sebelum
melaksanakan perkawinan semacam itu. Para sahabat memiliki sifat yang patut
dicontoh dan kehidupan mereka penuh dengan ketaqwaan dan kesehajaan.
Maka setelah menikahi wanita ahli kitab yang berbeda agama dan berbeda pula
upacara keagamaannya, mereka tau bagaimana cara untuk tetap mengendalikan
istrinya sehingga anak-anak mereka tak dipengaruhi oleh ibunya.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa secara garis besar, ada tiga
pendapat yang berkembang seputar pernikahan antara muslim atau muslimah
dengan non-muslim (musyrika atau ahli kitab). Pertama, Pendapat yang
melarang secara mutlak. Tidak ada ruang dan celah sama sekali untuk
melakukan pernikahan beda agama, baik antara seorang muslim dengan
musyrikahatauahli kitab maupun antara muslimah dengan musyrik atau ahli
kitab. Kedua, pendapat yang membolehkan secara mutlak. Pendapat ini
membuka ruang dan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan pernikahan
beda agama, baik antara seorang muslim dengan musyrikahatauahli kitab
maupun antara muslimah dengan musyrik atau ahli kitab. Ketiga, pendapat
pertengahan yang membolehkan pernikahan beda agama dalam lingkup
terbatas, yakni antara seorang muslim dengan perempuan ahli kitab, dengat
persyaratan tertentu.
Para ulama yang melarang pernikahan beda agama melandaskan
pendapatnya kepada beberapa dalil dan penafsiran berikut ini. Pertama, Allah
SWT melarang pernikahan antara seorang muslimataumuslimah dan
musyrikataumusyrikah, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat
221.
17
Abdur Rahman, Inilah Syariah Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1990, h. 194.
23
Ayat tersebut secara jelas dan tegas melarang pernikahan antara muslim,
baik laki-laki maupun wanita, dengan orang-orang musyrik. Dalam pandangan
para ulama kelompok pertama ini, term musyrik diartikan sebagai orang yang
menyekutukan Allah dengan yang lain. Dengan demikian, penganut agama
selain Islam adalah orang musyrik, sebab hanya Islam-lah satu-satunya agama
yang memelihara kepercayaan tauhid secara murni.
Kedua, penganut agama Yahudi dan Nashrani juga melakukan
kemusyrikan sehingga tidak boleh menikah atau dinikahi oleh orang Islam. Di
dalam al-Qur‟an, penganut agama Yahudi dan Nashrani memang diberi label
khusus dengan sebutan ahli kitab dan para wanitanya boleh dinikahi
berdasarkan surat al-Ma‟idah ayat 5, namun kebolehan menikahi wanita
kitabiyah sebagaimana termaktub pada ayat tersebut telah digugurkan oleh
ketentuan yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 221.18
Hal ini
disebabkan konsep kepercayaan yang dimiliki penganut Yahudi dan Nashrani
mengandung kemusyrikan yang nyata. Argumentasi rasional yang sering
dikutip dalam konteks ini adalah pernyataan sahabat Nabi Muhammad SAW,
„Abdullah bin „Umar bin al-Khaththab: “Saya tidak mengetahui kemusyrikan
yang lebih besar dari keyakinan seseorang (perempuan) bahwa Tuhannya
adalah „Isa atau salah seorang hamba Allah”.19
Pendapat kelompok pertama yang mengharamkan pernikahan beda agama
secara mutlak antara lain dikemukakan oleh sahabat Nabi SAW „Abdullah bin
„Umar dan Sekte Syi‟ah Imamiyah. Pendapat ini juga banyak dianut oleh
kalangan Syafi‟iyah seperti di Indonesia sebagaimana tercermin dalam
pandangan umum ulama dan masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI),
dalam fatwanya tertanggal 8 Juni 1980, telah mengharamkan pernikahan antara
laki-laki muslim dan wanita musyrik atau wanita ahli kitab dan demikian pula
sebaliknya. Hal ini kembali ditegaskan melalui Keputusan Fatwa MUI Nomor:
18
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), cet. ke-3, h. 196 19
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), Juz V,
h.2024
24
4 atau MUNAS VII atau MUI atau 8 atau 2005 yang ditetapkan pada tanggal
29 Juli 2005 bersamaan dengan Musyawarah Nasional VII MUI tahun 2005.
Pendapat umum ini pula yang kemudian diadopsi dan diikuti oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pendapat yang membolehkan pernikahan beda agama dalam segala macam
dan bentuknya juga mendasarkan pendapatnya kepada dalil-dalil yang
digunakan kelompok pertama, namun dengan penafsiran yang berbeda dan
ditambah dengan berbagai argumentasi yang rasional. Pertama, surat al-
Baqarah ayat 221 memang melarang pernikahan orang muslim dan orang
musyrik, baik laki-laki maupun perempuan, namun perlu dicermati dengan
seksama siapa yang dimaksud dengan “musyrikataumusyrikah” pada ayat itu.
Kelompok ini memahami dan menafsirkan kata “musyrikataumusyrikah”
terbatas pada kaum musyrikin Arab yang hidup pada masa Nabi SAW yang
sekarang sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, tidak ada halangan untuk
menikah dengan orang musyrik yang ada pada saat ini. Pemahaman bahwa
musyrikah yang dimaksud adalah musyrikah Arab saja antara lain
dikemukakan oleh Ibnu Jarir al-Thabari, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
dalam Tafsir al-Manar.20
Kedua, surat al-Ma‟idah ayat 5. Para ulama sepakat bahwa ayat ini secara
jelas membolehkan laki-laki muslim untuk menikahi wanita Ahli kitab. Namun
kelompok kedua memberi penafsiran yang luas terhadap ayat ini. Menurut
mereka, jika Allah SWT membolehkan laki-laki muslim menikahi ahli wanita
kitab, maka kebolehan itu mesti dipahami sebaliknya juga.21
Di samping itu,
term Ahli kitab tidak hanya mencakup orang-orang Yahudi dan Nashrani saja,
20
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, 1367 H.), h. 187-193
21 Siti Musdah Mulia, Islam dan Pernikahan Antar Agama, (Jakarta: KKA-200atauYWP,
2003), h. 8
25
tetapi juga mencakup orang-orang Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konficius,
Shinto, dan agama-agama lainnya. Dengan demikian, semua penganut
kepercayaan dan agama yang ada di dunia ini pada umumnya boleh dinikahi
dan menikah dengan orang Islam.
Pendapat yang membolehkan pernikahan beda agama sebatas antara laki-
laki muslim dan wanita kitabiyah mendasarkan pendapatnya kepada dalil dan
argumentasi sebagai beikut. Pertama, surat al-Ma‟idah ayat 5 secara jelas dan
tegas membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah dengan syarat
wanita yang dinikahi adalah muhshanat, wanita baik-baik yang menjaga
kehormatan dirinya („afifah).22
Kedua, kebolehan menikahi wanita kitabiyah
didasarkan kepada praktek Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Nabi
SAW menikahi Maria al-Qibthiyah yang menurut riwayat adalah wanita
kitabiyah. Di antara para sahabat Nabi, ada yang menikahi wanita kitabiyah,
seperti „Usman bin „Affan, Thalhah bin „Ubaidillah, Ibnu „Abbas, Jabir, Ka‟ab
bin Malik, al-Mughirah bin Syu‟bah, dan lainnya.23
Menurut Ibnu Katsir,
setelah turun surat al-Ma‟idah ayat 5, banyak sahabat menikahi wanita Ahli
kitab karena mereka memahami ketentuan ayat tersebut sebagai ketentuan
khusus (mukhashshish) dari ketentuan umum yang terdapat di dalam surat al-
Baqarah ayat 221.
Kelompok kedua ini berbeda pendapat tentang siapa saja yang masuk
kategori sebagai wanita Ahli kitab yang boleh dinikahi tersebut. Menurut
jumhur ulama, yang dimaksud Ahli kitab pada ayat tersebut adalah penganut
agama Yahudi dan Nashrani sebagaimana penggunaan istilah tersebut di dalam
al-Qur‟an secara umum. Meskipun mereka juga melakukan kemusyrikan, tetapi
mereka diberi istilah khusus dan diperlakukan secara khusus, termasuk dalam
22
„Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Makkah: Dar al-Qur‟an al-Karim, 1972), Juz I,
h. 532
23 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1977), Jilid II, h. 101.
Lihat juga Abul „A‟la al-Maududi, al-Islam fi al-Muwajahah al-Tahaddiyah al-Mu‟ashsharah,
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1983), h. 112
26
pernikahan. Wanita kitabiyah yang halal dinikahi tidak hanya terbatas pada
masa Nabi SAW saja, tetapi juga mencakup wanita kitabiyah pada masa
sekarang dari berbagai bangsa dan ras.24
Menurut qaul mu‟tamad di kalangan
Syafi‟iyah, wanita kitabiyah yang boleh dinikahi tersebut hanyalah yang
menganut agama Yahudi dan Nashrani sebagai nenek moyangnya sejak
sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul. Orang yang baru masuk
agama Yahudi dan Nashrani setelah al-Qur‟an diturunkan, maka tidak
termasuk dalam term Ahli kitab. Sementara itu, ada pula yang membatasi
kepada Ahli kitab yang hidup di Dar al-Islam dan membayar jizyah (membayar
pajak). Sedangkan yang tidak membayar jizyah berlaku hukum perang terhadap
mereka dan tidak boleh dinikahi berdasarkan ketentuan surat al-Taubah ayat
29.25
Kelompok ketiga ini mengharamkan pernikahan antara orang muslim
dengan orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan dalil
surat al-Baqarah ayat 221. Mereka juga melarang wanita muslim menikah
dengan laki-laki Ahli kitab dengan alasan surat al-Maidah ayat 5 hanya
membolehkan laki-laki muslim dan wanita kitabiyah. Jika dibolehkan
sebaliknya, tentu al-Qur‟an dan al-Sunnah akan menjelaskannya.
Ketidak jelasan, persisnya ketidak pastian ini mendorong banyaknya
upaya-upaya lari dari “hukum” dengan cara-cara yang sebetulnya seharusnya
negara bertanggung jawab agar hal itu tidak terjadi. Seperti menikah di luar
negeri, yang menunjukkan bahwa negara kita tidak mampu melindungi
warganya sendiri, malah negara lain yang memberi perlindungan, seperti
Singapura dan Australia. Maraknya menikah di luar negeri menunjukkan
kepada orang-orang luar bahwa negara kita belum menjamin sepenuhnya hak-
hak warga negaranya. Bahwa diskriminasi masih menghantui setiap pasangan
24
„Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh „Ala Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-
Ihya‟ al-Turats al-„Arabi, 1969), Juz IV, h. 75
25 Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa, (Riyadh: al-Mamlakah al-„Arabiyah al-Sa‟udiyah,
1398 H), Juz 32, h. 203-204
27
beda agama yang akan menikah, sehingga mereka ramai-ramai mengesahkan
perkawinannya di luar negeri.
Hikmah yang terdapat didalamnya sangat beragam. Dengan keislamannya,
seorang muslimah mendapatkan kemuliannya. Disaat seorang Muslimah
menikah dengan non-Muslim, maka non-muslim ini yang kemudian bersetatus
sebagai suami akan memiliki kendali atas dirinya.
Sudah menjadi hal umum bila seorang suami memiliki kendali atas
dirinya. Hal ini justru akan merendahkan status wanita muslimah
tersebut.hukum syariat pun tidak meralakan penghinaan ini dan karenanya
islam pun melarang seorang wanita muslimah menikah dengan seorang non-
muslim.
Seorang suami non-muslim kelak akan memperlakukan istrinya yang
muslimah sesuai ajaran yang dianutnya yakni ajaran non-muslim. Hal ini tentu
menjadi bencana tersendiri bagi seorang istri muslimah. Bahkan sedikit sekali
dari perkawinan beda agama ini yang mampu bertahan dan mempertahankan
agamanya masing-masing. Selain itu, umumnya anak-anak yang dilahirkanpun
lebih cenderung kepada kepercayaan ayah.
Disaat seorang wanita muslimah menikah dengan non-muslim, maka
dengan pernikahannya tersebut ia seolah hanya melahirkan anak-anak yang
kafir dan bukan anak-anak generasi Islam.inilah yang sesungguhnya yang tidak
diinginkan dalam syari‟at.
Pernikahan seorang wanita beriman kepada lelaki kafir hanya akan
menjerumuskan wanita tersebut kepada kekufuran. Seorang suami terkadang
mengajak istrinya untuk menganut agama yang di yakininya. Kaum wanita pun
terkadang mengikuti semua yang dilakukan suami mereka, termasuk
didalamnya mengikuti keyakinannya. Dalam ayat pun jelas hikmah yang
tampak dalam larangan tersebut, yakni , “mereka mengajak ke neraka.” (Al-
Baqarah:221).
28
Kaum muslimin dilarang menikahi wanita musyrik, karena pada umumnya
mereka sendiri yang telah memilih untuk menjadi musyrikdengan segala dalih
yang ia milikinya. Terkadang merekapun mengikuti kemusyrikan orang tuanya
tanpa mau menyadari kebenaranyang datang dari ajaran yang benar. Ia tidak
mengindahkan semua dakwah dan seruan yang ditujukanuntuknya hingga
kekufuran inilah yang kelak menjadi penghalang utama dengan islam dan
kaum muslimin. Kekufuran inilah yang kelak menghalangi tumbuhnya rasa
kasih sayang antara dirinya dan suaminya yang muslim.
Yang di maksud beda agama disini adalah perempuan muslimah dngan
laki-laki non muslim dan sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan non
muslim.dalam istilah fiqih di sebut kawin dengan orang kafir. Orang yang tidak
beragama islam dalam dalam pandangan islam di kelompokkan kepada kafir
kitabi yang di sebut juga dengan ahli kitab, dan kafir bukan kitabi atau di sebut
juga musyrik atau pagan.
Haram bagi seorang muslim untuk menikah dengan kafir majusi baik ia
menyembah api, komunisme, atau berhala, berdasarkan firman Allah:
اولا اأعججزننا اولى اهياهشسمخ س اخ اهؤهخ اولهخ ا االوشسمبداحز ىاؤهي نحىا نحىااولار ار
اإلى ادعىى ئل اأول اأعججننا اولى اهياهشسك س اخ اهؤهي اولعجد ال بزاااالوشسمياحز ىاؤهىاا
ادعىاإلىاالج خاوالوغفسحاثئذهااوجياآبرهالل بسالعل هنا زرم سوىااوللا
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah:221)
29
Hikmah yang terdapat didalamnya sangat beragam. Dengan keislamannya,
seorang muslimah mendapatkan kemuliannya. Disaat seorang muslimah
menikah dengan non-muslim, maka non-muslim ini yang kemudian bersetatus
sebagai suami akan memiliki kendali atas dirinya.
Sudah menjadi hal umum bila seorang suami memiliki kendali atas
dirinya. Hal ini justru akan merendahkan status wanita muslimah tersebut.
Hukum syariat pun tidak merelakan penghinaan ini dan karenanya islam pun
melarang seorang wanita muslimah menikah dengan seorang non-muslim.26
26
Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad. Indahnya Syariat Islam. (Depok: Gema Insani, 2006) h.
336-340
30
BAB III
PROFIL NU DAN MUHAMMADIYAH
DAN FATWA TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
A. Profil Nahdlatul Ulama
NU (Nahdlatul Ulama) adalah organisasi keagamaan sekaligus organisasi
kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, mempunyai
makna penting dam ikut menentukan perjalanan sejarah Indonesia. NU lahir
dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri, sebagai organisasi
berwatak keagamaan Ahlussunnah Wal Jama‟ah, maka NU menampilkan sikap
akomodatif terhadap berbagai mahdzab keagamaan yang ada. Dan sebagai
organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-
nilai lokal. NU berkulturasi dan berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya
masyarakat lokal. Dengan demikian NU memiliki wawasan multikultural,
dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat
yang memiliki hak hidup di Republik Indonesia tercinta ini.1
Melalui forum Bahtsul Masail, para ulama NU selalu aktif mengagendakan
pembahasan tentang problematika aktual tersebut dengan berusaha secara
optimal untuk memecahkan kebuntuan hukum Islam akibat dari perkembangan
sosial masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas, sementara secara
tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur‟an dan Hadist, atau ada
landasannya namun pengungkapannya secara tidak jelas.2
1 Hasil-Hasil Muktamar NU ke-XXXII, Asrama Haji Makasar 22-27 Maret 2010.
Diterbitkan Oleh Sekertariat Jendral PBNU. 2 Sahal Mahfud, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas
dan Konbes NU, Surabaya: Dian Tama, 2005.
31
Menghadapi sebuah kenyataan seperti ini disertai dengan perubahan
masyarakat yang begitu cepat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dampaknya ikut mempengaruhi sosial keagamaan baik dalam
aspek aqidah maupun muamalah yang kadang-kadang belum di ketahui dasar
hukumnya, atau sudah diketahui, namun masyarakat umum belum mengetahui,
maka para ulama Nu merasa bertanggung jawab dan terpanggil untuk
memecahkannya melalui Bahtsul Masail dalam muktamar, Musyawarah
Nasional dan Konferensi Besar sebagai forum tertinggi NU yang memiliki
otoritas untuk merumuskan berbagai masalah keagamaan, baik Masail
Dinniyah Waqi’iyyah maupun Maudhu’iyyah.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam‟iyyah sekaligus gerakan diniyyah
islamiyah dan ijtima‟iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham
Ahlussunnah Wal Jama‟ah sebagai basis ideologi. (dasar beraqidah) dan
menganut salah satu dari empat mahdzab: Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hanbali
sebagai pegangan dalam berfiqih.
Dengan menganut salah satu dari empat mahdzab dalam fiqih, Nu sejak
berdirinya memang selalu mengambil sikap dasar untuk “bermahdzab”. Sikap
ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih
dari refrensi (Maraji’) berupa kitab-kitab fiqih yang pada umunya
dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: “ibadah,
mu’amalah, munakahah (hukum keluarga), dan jinnayah/qadha’
(pidana/peradilan).
NU bertujuan menegakkan ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah Wal
Jama‟ah dan menganut salah satu dari empat mahdzab di tengah-tengah
kehidupan masyarakat Indonesia.
Ada tiga tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses
pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah
32
(Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang), Kiai Kholil
(Bangkalan).
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme,
merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi
pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun
1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau di kenal juga
dengan “Nahdlatul Fikri” (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian
didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat .
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim
Asy‟ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prisip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I‟tiqad Ahlussunnah Wal Jama‟ah. Kedua kitab tersebut
kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan
rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan, dan politik.
B. Profil Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang besar di Indonesia, nama
organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai oang-orang pengikut Nabi
Muhmmad SAW.3
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh
penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Gerakan Muhammadiyah
berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih
maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Isalam bukan sekedar agama yang
3 www.islamislami.com-Inspirasi Islam, Profil Lengkap Muhammadiyah Organisasi
Islam Besar di Indonesia.
33
bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem
kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal
8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama
Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan K.H. A Dahlan. Beliau adalah
pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai
pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud,
beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak
hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya
berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian
keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para
pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya,
akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya
sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu
singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar
daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka
didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada
diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau
juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang
disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-
laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga
tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat
tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH
Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat
Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun
34
1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan
seperti saat ini menjadi Muktamar 5 tahunan.
C. Fatwa NU Tentang Perkawinan Beda Agama
Fatwa NU dalam pandangan nikah beda agama sudah sangat jelas dan
tegas bahwasanya pernikahan tersebut haram seorang Muslim/Muslimah
menikah dengan orang yang beragama selain dengan Islam (non-Muslim).
Penegasan hukum haram nikah beda agama itu dikemukakan oleh perwakilan
PBNU, KH. Ahmad Ishomuddin, yang hadir sebagai saksi ahli dalam sidang
gugatan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Mahkamah Konstitusi
(MK).
Menurut KH. Ahmad, pernikahan beda agama diharamkan dalam ajaran
Islam. Hal ini sudah sesuai dengan kesepakatan seluruh ulama di Indonesia.
Perempuan muslim hanya boleh dinikahkan dengan pria yang beraga Islam,
karna seluruh ulama menyepakati mengharamkan muslimah menikah dengan
non-muslim. Selain itu, seoarang pria muslim juga hanya boleh dinikahkan
dengan wanita yang beraga Islam (Muslimah), haram hukumnya menikah
dengan wanita non-Muslim apalagi Yahudi dan Nasrani.
Menurut KH. Ahmad sangat kecil kemungkinan bisa mengajak wanita
Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Selain itu, pria muslim juga dilarang
menikah dengan wanita Hindu dan Budha.
Perkawinan seorang muslim dengan non-muslim juga akan menimbulkan
banyak masalah pelik dalam kehidupan berkeluarga seperti keimanan, soal
anak, dan halal haramnya aturan dalam keluarga. Sehingga muslim lebih utama
menghindari pria/wanita non-muslim.4
4 https://ddhongkong.org/nu-tegaskan-larangan-bagi-muslim-menikah-dengan-non-
muslim/(diakses 22juni 2018)
35
Sah menikahi wanita Yahudi dan Nasrani dengan syarat yang telah di
sebutkanperihal wanita Israel dan lainnya, demikian pula dengan wanita Samiri
dan Sha’ibah jika keduanya bersepakat dengan Yahudi dan Nasrani dalam
ajaran pokok agama mereka, walaupun keduanya tidak sepakat dalam hal-hal
yang tidak bersifat prinsif. Jika maka keduanya tidak sepakart dalam ajaran
Yahudi dan Nasrani maka haram untuk di nikahi.
D. Fatwa Muhammadiyah Tentang Perkawinan Beda Agama
Adapun fatwa Muhamadiyah tentang nikah beda agama adalah haram dan
sudah menjadi putusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang Jawa
Timur. Namun demikian kami mentarjihkan/menguatkan pendapat yang
mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain:
a. Ahlul kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul kitab pada zaman Nabi
SAW. Semua Ahlul kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau
menyekutukan Allah SWT dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah
(menurut Yahudi), dan Isa anak Allah (menurut Nasrani).
b. Pernikahan beda agama dapat di pastikan tidak akan mungkin mewujudkan
keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
c. Insya Allah umat Islam pria tidak kekurangan wanita muslimah, bahkan
realitanya wanita muslimah lebih banyak dri kaum laki-laki.
d. Sebagai upaya syadz-adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga
keimanan calon suami/istri dan anak-anak yang akan dilahirkan.5
E. Dasar-dasar Fatwa NU dan Muhammadiyah Tentang Perkawinan Beda
Agama
Nikah beda agama memiliki mafsadah atau mudharat yang lebih besar
daripada manfaatnya, terlebih hal ini berkaitan dengan akidah dan syariah
seorang muslim. Adapun penjelasannya sebagaiman berikut:
5https://www.fatwatarjih.com/2014/08/hukum-nikah-beda-agama.html?m=1(diakses 22
juni 2018)
36
1. Akidah
a. Orang Kafir Mengajak Kepada Kekafiran
Menurut Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsiral-Munir, sebab diharamkannya
pernikahan antara muslim dengan musyrik ataupun muslimah dengan kafir
baik termasuk golongan ahli kitab atau tidak, karena mereka orang-orang
musyrik baik laki-laki ataupun perempuan mengajak kepada kekafiran, dan
melakukan amalan yang dapat membawa ke neraka. Demikian karena, mereka
tidak memiliki agama yang benar yang dapat membimbing mereka, juga tidak
memiliki pedoman kitab langit yang menunjukkan mereka ke jalan yang benar,
disamping perbedaan tabiat antara hati muslim yang penuh cahaya dan iman
dan hati kafir yang gelap dan sesat.6
Lanjutnya, karena dengan berkumpul dan berbesan dengan mereka
menghendaki adanya saling memberi masukan, nasihat, cinta, kasih sayang,
dan pertukaran pemikiran-pemikiran yang sesat, serta kebiasaan dalam hal
perilaku dan adat mereka yang tidak syar‟i. Terlebih dalam mendidik anak dan
keturunan nantinya sesuai dengan nafsu dan kesesatan mereka.
Intinya, „illah sebab diharamkannya menikahi wanita musyrikah karena bisa
mengajak ke neraka.
b. Menghindari nikah beda agama supaya bisa menjaga keimanan yang dapat
menyelamatkan dari api neraka.
Demikian karena Allah memerintahkan agar menjaga diri dan keluarga dari
api neraka, sebab kalau salah satu pasangan dalam keluarga tidak beriman,
maka akan ada anak keturunannya yang akan mengikuti orang utannya yang
tidak beriman, dan ini sama saja menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
Padahal sudah sangat jelas Allah memerintahkan agar menjaga keimannan diri
dan keluarga dalam surat al-tahrim : 6. Begitu juga, menjaga keimanan
6 Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munirfi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-
Manhaj, Damaskus: Dar el-Fikr al-Mu‟ashir, Cet.2 1418. h.2/292.
37
merupakan wasiat nabi ibrahim kepada anak keturunannanya sebagaimana
diabadikan di dalam surat al-baqarah.
Ibnu katsir menjelaskan tentang larangan menikah beda
agama, “mereka mengajak ke dalam neraka”, bahwa hidup dan berkumpul
dengan mereka memotivasi untuk mencintai dunia dan mementingkannya atas
negeri akhirat.
c. Hilangnya Sumber Kebahagiaan
Menurut Ibnu katsir, agama itu sangat penting, karena memiliki istri yang
beragama itu lebih mahal. Sebab, dalam Islam, wanita shalihah adalah sebaik
baik perhiasan dunia. Karenanya, memiliki istri yang beragama merupakan
sumber kebahagiaan dan keberkahan hidup. Sebagai sabda Rasulullah saw:
لى هللا عليه وسلم قال: "حىكح المزأة ألربع: لمالها، ولحسبها عه أبي هزيزة، عه الىبي ص
ولجمالها، ولديىها؛ فاظفز بذاث الديه حزبج يداك.
“Wanita dinikahi karena empat hal: harta, keturunan, cantik dan agamanya.
Maka pilihlah yang beragama, maka kamu akan beruntung”. (HR. Bukahri
Muslim).
عه ابه عمز: أن رسىل هللا صلى هللا عليه وسلم قال: "الدويا مخاع، وخيز مخاع الدويا
المزأة الصالحت.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita
shalihah”. (HR. Bukahri Muslim)
Hal tersebut menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki pasangan
yang tidak beragama Islam berarti ia telah kehilangan sumber kebahagiaan
hidup. Karena sumber kebahagiaan sejati adalah pada keimanan pasangan.
38
2. Syariah
Dilihat dari syariah, nikah beda agama memiliki banyak mudlarat,
diantaranya:
a). Nikah Beda Agama Sama dengan Zina
Dari fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah yang beristinbath dari nash-
nash al-qur‟an menyatakan haramnya nikah beda agama. Ini berarti ketika
terjadi pernikahan antara dua mempelai yang berbeda agama, maka akadnya
tidak sah. Kalau akadnya tidak sah, ini berarti hubungan antara kedua
mempelai adalah hubungan yang haram, dan apabila terjadi persetubuhan maka
itu adalah zina bukan ibadah.
b). Hilangnya Banyak Pahala Ibadah
Banyak ayat ataupun hadis yang mengajarkan agar rumah tangga diisi
dengan ketaatan dan saling mengingatkan antara pasangan untuk beribadah dan
bertaqwa kepada Allah. Karenanya, ketika salah satu pasangan tidak beriman,
itu berarti banyak pahala yang akan hilang dan tidak teraih karena tidak bisa
melakukan ibadah secara bersamaan.
c). Hukum Anak
Anak yang lahir dari pernikahan beda agama mengikuti agama orang tua
yang paling benar, yaitu Islam. Terlebih dijelaskan dalam hadis bahwa anak
yang baru lahir terlahir dalam fitrah yaitu Islam. Sabda Rasulullah saw,“Tiap-
tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya
sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.”
d). Hukum Waris
Suami istri yang berbeda agama, maka apabila salah satu dari keduanya
meninggal maka tidak bisa saling mewarisi. Karena beda agama termasuk
39
salah satu penghalang yang menghalangi seseorang untuk mendapat harta
waris. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
لكافز المسلم{قال رسىل هللا صلى هللا عليه وسلم: }ال يزد المسلم الكافز وال ا
“Seorang muslim tidak mewarisi kafir dan tidak pula sebaliknya”. (HR. Imam
Muslim)
Dalam Kifayah Al-Akhyar dijelaskan bahwa hadis tersebut tidak
membedakan baik nasab, orang yang membebaskan budak ataupun suami istri.
40
BAB IV
PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT NU DAN NUHAMMADIYAH
A. Fatwa NU Dalam Bahtsul Masail
1. Latar Sosiologis Lahirnya Fatwa
Lahirnya fatwa perkawinan beda agama didasari dari keresahan
masyarakat yang tidak/belum mengetahui apa hukum dari perkawinan beda
agama tersebut. Maka, disini NU mengambil peran dalam memecahkan
permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sehingga NU
membentuk Muktamar untuk memecahkan permasalahan yang ada pada
masyarakat Indonesia dengan membentuk Lajnah Bahtsul Masail.
2. Dasar Hukum Fatwa
Melalui forum Bahtsul Masail, para ulama Nu selalu aktif mengagendakan
pembahasan tentang problematika aktual tersebut dengan berusaha secara
optimal untuk memecahkan kebuntuan hukum Islam akibat dari perkembangan
sosial masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas, sementara secara
tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur‟an dan Hadist, ijtima‟ ulama
atau ada landasannya namun pengungkapannya secara tidak jelas.1
Tidak boleh/haram atau tidak sah, kalau perempuan kafir tersebut bukan
kafir kitabi yang murni yang keturunan asli (orang tuanya masuk kedalam
agama tersebut) sebelum di nash (diubah) sebelum masa kerasulan Nabi
Muhammad SAW, seperti perempuam murtad, majusi, watsani, kafir kitabi,
yang orang tuanya masik kedalam agama itu sesudah di makhsuh (ubah) seperti
anak-anak putra putri kita Indonesia.
1 Sahal Mahfud, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas
dan Konbes NU, Surabaya: Dian Tama, 2005.
41
Dalam Islam, “ahli kitab” adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka
yang percaya kepada kitabullah, Taurat, dan Injil, yang masing-masing
diturunkan kepada Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. dan menikah dengan wanita ahli
kitab memang diperkenankan dalam Islam berdasarkan petunjuk al-Qur‟an.2
Dalam kasus ini NU telah berfatwa dalam bhatsul masail yang
memutuskan bahwa perkawinan beda agama dilarang atau tidak sah di
karenakan perkawinan beda agama tersebut akan berdampak buruk kedepannya
dalam membina rumah tangga yang bahagia.
Perkawinan dengan non-Muslim di zaman sekarang berbeda dengan
zaman nabi di karenakan seseorang ahli kitab di zaman sekarang tidak beriman
kepada Allah SWT, melainkan menyekutukan Allah SWT atau menyembah
berhala.
Pernikahan lelaki Muslim dengan wanita kafir yang bukan murni ahli
kitab, seperti wanita penyembah berhala, majusyi, atau salah seorang dari
kedua orang tuanya adalah orang kafir., sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman.” Pelarangan dalam ayat ini menunjukan keharamannya.
Berbeda dengan lelaki muslim dengan lelaki kafir. Dalam al-Kifayah
disebutkan adanya dua pendapat tentang kebolehan wanita berhala menikah
dengan lelaki ahli kitab. Kemudian, haramkah wanita penyembah berhala
tersebut menikah dengan lelaki sesama penyembah berhala. Menurut Imam al-
Subuki, semestinya hukumnya haram, jika kita berpendapat bahwa mereka itu
termasuk yamg dimaksudkan dalam ayat tersebut diatas. Dan jika tidak
termasuk maka hukumnya tidak halal namun tidak pula haram.
Yang di maksud wanita ahli kitab yang masih murni, adalah wanita Israel.
Ia halal bagi kita sebagaimana firman Allah SWT: “dan dihalalkan mengawini
2 Abdur Rahman, Inilah Syariah Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1990, h. 193.
42
wanita-wanita yang memiliki kehormatan di antara orang-orang yang di beri
al-kitab sebelum kamu”.
Yang dimasud dengan al-kitab adalah, Taurat dan Injil, dan bukan kitab-
kitab yang lain sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris, dan Ibrahim a.s.
karena kitab-kitab tersebut tidak di turunkan secara teratur sistematik, dan bisa
di pelajari ataupun dibaca. Para Nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang
pengertian-pengertiannya saja, atau karena kitab-kitab tersebut hanya memuat
kata hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak memuat hukum-hukum syariat.
B. Fatwa Muhammadiyah Dalam Majelis Tarjih
1. Latar Sosiologis Lahirnya Fatwa
Lahirnya fatwa perkawinan beda agama didasari dari keresahan
masyarakat yang tidak/belum mengetahui apa hukum dari perkawinan beda
agama tersebut. Maka, disini Muhammadiyah mengambil peran sama halnya
dengan NU dalam memecahkan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat sehingga Muhammadiyah membentuk Muktamar untuk
memecahkan permasalahan yang ada pada masyarakat Indonesia dengan
membentuk Majelis Tarjih untuk membahas permasalahan yang ada
dimasyarakat.3
2. Dasar Hukum fatwa
Hukum nikah beda agama menurut syariat Islam itu sudah kami
terangkan beberapa kali dalam rubrik tanya jawab agama ini, bahkan telah pula
menjadi keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur.
Kesimpulannya, para ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram
menikah dengan selain laki-laki Muslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki
3 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa tarjih:
tanya Jawab Agama 1-6
43
Muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu,
Konghuchu dan lainnya).4 Dalilnya firman Allah:
نحىا ولا ؤهت ا ولهت ا يؤهي ا حتى الوششمتا ت يا خيش ا ه ششمت ا ه لىا ه نحىا ولا اعجبتنن و ت
ؤهي ا ولعبذ ا يؤهىا حتى الوششمييا يا خيش ا ه ششك ا ه لىا ه ال بسا الى يذعىىا اولئلا اعجبلا و
اا وللا يتزم شوىا لعل هنا لل بسا ايته ا ويبييا ببره ا والوغفشةا ـ تاالجا الى يذعى
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [QS. al-
Baqarah (2): 221]
Yang diperselisihkan para ulama ialah: Bolehkah laki-laki Muslim
menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani,
Katolik/Protestan) Ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5. Ada pula yang mengatakan tidak
boleh. Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang
mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan,antara lain:
a. Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada
pada waktu zaman Nabi SAW. Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah
jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa
Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut
Nasrani).
b. Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan
keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
4 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa tarjih:
tanya Jawab Agama 1-6
44
c. Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan
realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-
lakinya.
d. Sebagai upaya syadz-adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga
keimanan calon suami/isteri dan anak-anak yang akan dilahirkan.
Bahkan, sekalipun seorang laki-laki Muslim boleh menikahi wanita
Ahlul Kitab menurut sebagian ulama sebagaimana kami katakan, namun dalam
kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap tidak menganjurkan
perkawinan tersebut karena syarat wanita Ahlul Kitab yang disebut dalam surat
al-Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka yang membolehkan perkawinan
tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-ihshan (اإلحصبىا), yang artinya wanita
Ahlul Kitab tersebut haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan,
bukan pezina. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5:
کنا حل ا النتبا اوتىا ال زييا وطعبما الط يبت لـننا احل ا اليىما تا ل هنا حل ا وطعبهننا لـ هيا والوحص
تا تا الوؤه غيشا هحصييا اجىسهي ا اتيتوىهي ا اراا قبلننا هيا الـنتبا اوتىا ال زييا هيا والوحص
يوبىا ي نفشا وهيا اخذاى ا هت خزيا ولا هسبفحييا خشةا فى وهىا اعوله ا حبظا فقذا ببل الخسشييا هيا ال
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.” [QS. al-Maidah (5): 5]
Dan perlu diketahui, negara kita tidak mengakui perkawinan beda agama,
karena menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2
ayat 1 dinyatakan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Ini artinya, negara kita
tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun
45
pengantin laki-laki beragama Islam). Oleh karena itu, perkawinan tersebut
tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di KUA. Dan yang
dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di Catatan Sipil,
sebagaimana penduduk non-Muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka
di sana.
C. Perbandingan Fatwa Nu dan Muhammadiyah
Persamaan fatwa yang di rumuskan oleh NU dan Muhammadiyah dalam
perkawinan beda agama ialah, keduanya sepakat mengharamkan atau tidak sah
perkawinan beda agama di Indonesia.
Perbedaan fatwa NU dan Muhammadiyah melalui dasar hukum yang di
ambil dari kedua ormas tersebut. NU menggunakan dasar hukum al-Qur‟an,
Hadist, dan ijtima‟ ulama, metode istinbat hukum yang dipakai oleh Nahdlatul
Ulama (NU), adalah: metode Qauli, Ilhaqi, Manhaji. Sedangkan
Muhammadiyah hanya berlandaskan al-Qur‟an dan Hadist dan tidak
mempercayai pendapat 4 mazhab metodenya pun Muhammadiyah
menggunakan metode Ijma’, Qiyas Maslahah Mursalah.
Sebab berbedanya adalah NU menggunakan pendapat dari para 4 mazhab
yakni, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan mazhab Hanbali. Sedangkan
Muhammadiyah tidak mempercayai tokoh 4 mazhab sehingga muhammadiah
membentuk mazhab tersendiri yakni Majelis Tarjih.
Nikah beda agama Nikah merupakan salah satu asas pokok hidup yang
paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu
bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan, namun juga dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan
itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
yang lainnya.
46
Disisi lain juga sebenarnya pertalian dalam sebuah pernikahan adalah
pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan
saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga yang
berbeda. Betapa tidak, dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya,
kasih-mengasihi, akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari
kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan dan
saling tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan
mencegah segala kejahatan. Selain itu juga, dengan penikahan seseorang akan
terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Al-Qur‟an sendiri telah memerintahkan kepada umat Muslim untuk
menikah jika mereka telah mampu untuk menjalaninya, sebagaimana terdapat
dalam QS. an-Nūr: 32:
نحىا ننا اليبهى وا لحييا ه ا يغهنا فقشاءا ي نىىا اىاا واهبئننا عببدمنا هيا والص فضله ا هيا للا
ا علين ا واسع ا وللا
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.”5
Ayat di atas dengan jelas memerintahkan umat Muslim untuk menikah,
jika mereka tidak mampu dalam hal finansial maka Allah sendiri yang akan
memampukan mereka dengan karuniaya.Namun juga, dewasa ini menurut
peneliti pernikahan bukanlah sebagai suatu hal yang sakral lagi, dikarenakan
semakin banyak praktek pernikahan antara orang Muslim dengan orang-orang
non Muslim. Karena mereka hanya melihat dari satu sisi yakni masalah materi,
dengan alasan ini banyak kaum Muslim tergiur untuk menikah dengan non
Muslim karena mereka melihat segi materi saja.
Hal ini hanya sebagian kecil dari contoh yang terjadi di masyarakat kita,
namun masih banyak alasan-alasan mengapa orang Muslim menikah dengan
5 QS. Annur:32.
47
orang non Muslim. Padahal dalam Islam sudah disinggung perihal pernikahan
antara orang-orang Muslim dengan orang non Muslim, namun sampai saat ini
para ulama‟ dan tokoh-tokoh Muslim masih belum menemukan kesepakatan
yang mutlak perihal pernikahan beda agama ini. Hal ini dikarenakan oleh
situasi dan kondisi serta latar belakang kehidupan masyarakat dan pendidikan
para ulama dan tokoh yang berbeda, sehingga produk pemikirannya pun
berbeda.Namun, secara ideal normatif jumhur ulama‟ berpendapat bahwa
pernikahan beda agama tidak dihalalkan, akan tetapi di sisi lain dihalalkannya
pernikahan beda agama juga mendapat persyaratan yang sangat ketat, hal ini
dimaksudkan agar seyogyanya kaum Muslim menikah dengan kaum Muslim
juga, bukan dengan orang-orang non Muslim.
Dalam hal ini ada tiga kategori yang dijadikan patokan dalam
memberikan ketentuan hukum pernikahan dengan orang non-Muslim, yang
pertama pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik, kedua
pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan ahl al-Kitab, dan yang
ketiga pernikahan antara perempuan Muslimah dengan laki-laki non Muslim.
Ideal normatif yang ditawarkan para ulama‟ klasik ialah sesuai dengan QS. al-
Baqarah: 221, QS. al-Maidah: 5 dan QS. al-Mumtahanah: 10. Para ulama
dengan tegas mengharamkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan
perempuan non Muslim kecuali perempuan ahl al-Kitab. Dan juga
mengharamkan pernikahan antara perempuan Muslimah dengan laki-laki non
Muslim.
Fatwa NU dalam bahtsul masail yang di laksanakan di Yogyakarta pada
akhir November 1989 memutuskan hasil perkawinan beda agama berdasarkan
al-Qur‟an, Hadist, dan Ijtima‟ para ulama. Maka, perkawinan beda agama
menurut Nahdlatul „Ulama (NU) adalah haram.
Sedangkan fatwa menurut Muhammadiyah dalam Majelis Tarjih ke XXII
yang di laksanakan di kota malang memutuskan perkawinan beda agama di
Indonesia hukumnya haram dan tidak sah. Putusan ini berdasarkan pada
sumber al-Qur’an, dan Hadist. Tentu kitab-kitab yang dijadikan maraji‟
48
(rujukan) adalah kitab-kitab Tafsir dan kitab-kitab Hadist, terutama yang telah
ada syaratnya, sehingga lebih memudahkan.6
6 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-Fatwa Tarjih:
tanya jawab agama 1-6.
48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari Uraian bab pertama sampai bab keempat maka bisa ditarik beberapa
kesimpulan yaitu:
Lembaga Lajnah Bahtsul Masa’il merupakan lembaga milik Nahdlatul
Ulama yang mempunyai tugas memberi jawaban akan permasalahan
keagamaan yang ada di masyarakat Islam, khususnya untuk warga Nahdliyyin,
dalam hal istinbat hukum Nadhlatul Ulama tidak langsung berdasarkan pada
al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi merujuk pada empat Imam madzhab.
Menurut mazhab Hanafi, menikahi perempuan ahli kitab itu haram
hukumnya bilamana perempuan ahli kitab itu berada disuatu negri yang sedang
berperang dengankaum muslimin, karena mengawini perempuan ahli kitab ini
akan dapat menimbulkan kerugian dan bahaya. Dalam keadaan perang itu,
anak-anak hasil perkawinan itu akan lebih cenderung kepada agama ibunya.
Mazhab Maliki sebaliknya, mengajukan dua alternatif pandangan,
pertama menikah dengan perempuan ahli kitab hukumnya makruh, baik
perempuan itu seorang kafir zimmi. Pendapat kedua, menikahi perempuan ahli
kitab itu bukan makruh karena al-Qur’an mendiamkannya. Dalam artian
menikahi perempuan ahli kitab boleh-boleh saja.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali menyakini bahwa kedua orang tua
perempuan itu haruslah ahli kitab, jika ibunya seorang penyembah berhala,
maka perkawinan dengan ahli kitab itu tidak diperkenanan, sekalipun
perempuan itu telah dewasa dan menerima agama ayahnya. Selanjutnya Imam
Syafi’i mengatakan bahwa ahli kitab yang di halalkan adalah ahli kitab Yahudi
dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, juga tidak termasuk ahli kitab, orang-
orang arab yang masuk kedalam Yahudi dan Nasrani karena asal agama
mereka sesat dengan menyembah berhala, kemudian mereka berpindah ke
agama ahli kitab bukan karna mereka beriman pada Taurat dan Injil dan
sembelihan mereka juga tidak halal.
49
Metode istinbat hukum yang dipakai oleh Nadhlatul ulama adalah:
metode qauli, ilhaqi, dan manhaji. Dalam menyelesaikan kasus perkawinan
beda agama Nadhlatul Ulama menggunakan metode istinbat qauli yang
menghasilkan fatwa pada Mukhtamar NU tahun 1960, Mukhtamar Thariqah
Mu’tabarah tahun 1968, dan Mukhtamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir
November 1989 yang menegaskan bahwa nikah antara dua orang berlainan
agama di Indonesia hukumnya haram dan tidak sah. Keputusan Lajnah Bahtsul
Masa’il ini didasarkan pada pemahaman kitab Tuhfah al-Tullab bi Sharh al-
Tahrir dan Hashiyah al-Sharqawi
Lembaga Majelis Tarjih merupakan lembaga milik Muhammadiyah
selayaknya Nahdlatul Ulama yang memiliki Bhatsul Masail yang tugasnya
meberikan jawaban akan permasalahan berdasarkan al Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam menyelesaikan masalah pernikahan beda agama Muhammadiyah
menggunakn metode Ijmak, Qiyas maslahah Mursalah. Maka Majelis Tarjih
menjatuhkan putusan fatwa pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah
1330 H) di Malang. Dalam hal tersebut Muhammadiyah bersependapat dengan
para ulama bahwasanya pernikahan beda agama tersebut haram dan tidak sah
di karnakan ahlul kitab di zaman sekarang berbeda dengan zaman Rasul dan
yang sekarang sudah banyak yang mensekutukan Allah SWT.
Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat dalam
masalah seorang pria menikahi wanita non-Muslim berdasarkan surat al-
Maidah ayat 5. “Namun, hendaknya melihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga
dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki
Muslim,” tutur ulama Muhammadiyah. Dalam banyak hal, kata ulama
Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak
membawa kemudhorotan. Maka pernikahan yang seperti itu juga di larang atau
haram.
B. Saran
1. Hendaknya pemerintah merancang peraturan khusus mengenai
pernikahan beda agama, karena pada kenyataannya di lapangan masih
50
banyak masyarakat Islam pindah agama karna di Indonesia tidak
adanya peraturan pernikahan beda agama ini.
2. Perlu adanya penyuluhan dari pemerintah dah tokoh agama dan
elemen ormas keagamaan agar masyarakat dapat mengetahui berbagai
hal tentang pernikahan tersebut.
51
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut:
Dar al-Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1969).
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996)
Abu al-Fadhl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-
Bayan fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim wa al-Sab al-Matsani, (Beirut: Dar
al-Ihya’ al-Turats ‘Arabi, t.th.).
Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU, (Yogyakarta: LkiS, 2004)
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987),
Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Makkah: Dar al-Qur’an al-Karim,
1972).
Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad. Indahnya Syariat Islam. (Depok: Gema Insani,
2006)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenamedia Group, 2006),
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara HukumIslam
dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002,
Humaidi bin ‘Abd al-‘Aziz al-Humaidi, Ahkam Nikah al-Kuffur ‘ala Mazahib
al-Arba’ah, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1992).
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Riyadh: al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-
Sa’udiyah, 1398 H).
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid II.
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
1998).
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991).
M. Husain al-Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah
al-A’lam li al-Mathbu’ah, 1403 Hatau1983 M).
Moh Nadzir, Metode Penelitian,Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996.
52
M. Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, 1367 H).
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Rawa’i’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-
Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.).
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Terj.
Masykur AB, et. Al., Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 2000).
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), cet. ke-3
Nong Muhadjir, Methode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasis,
1989,
QS. Annur:32. Al-Qur'an Indonesia
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, 1367 H.)
Siti Musdah Mulia, Islam dan Pernikahan Antar Agama, (Jakarta: KKA-
200atauYWP, 2003)
Supena, Ilyas, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam,Yogyakarta: Gama
Media, 2002,
Syekh al-Imam al-Zahid al-Mufiq, Al-Muhazzib fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 61. Lihat juga ‘Abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Qasim al-Ansyari al-Najd al-Hanbali, Majmu Fatawa,
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, (Beirut: Dar al-‘Arabiyah li al-Thiba’ah
wa al-Nasyr al-Tawzi’, 1398 H), Jilid XII,
Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munirfi al-Aqidah wa al-
Syari’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dar el-Fikr al-Mu’ashir, Cet.2 1418.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995),
Sumber Internet
https://ddhongkong.org/nu-tegaskan-larangan-bagi-muslim-menikah-dengan-
non-muslim/(diakses 22juni 2018)
https://www.fatwatarjih.com/2014/08/hukum-nikah-beda-
agama.html?m=1(diakses 22 juni 2018)