pediatric

19
TUGAS PRESENTASI KASUS Oleh : Ilma Anisa G99141051 / D10-2015 BRA Isabela Ratu Windriya G99141102 / D11-2015 Pembimbing dr. Annang Giri Mulyo, Sp.A, M.Kes KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

Upload: ilma-anisa

Post on 04-Jan-2016

222 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Tugas Preskas

TRANSCRIPT

Page 1: Pediatric

TUGAS PRESENTASI KASUS

Oleh :

Ilma Anisa G99141051 / D10-2015

BRA Isabela Ratu Windriya G99141102 / D11-2015

Pembimbing

dr. Annang Giri Mulyo, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2015

Page 2: Pediatric

1. Skoring TB pada Anak

Catatan :

1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter

2. Jika dijumpai skrofuloderma langsung didiagnosis TB

3. Berat badan dinilai saat datang

4. Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku

5. Foto rontgen bukan alat diagnosis utama pada TB anak

6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem

skoring TB anak

7. Didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini

masih bersifat tentatif/sementara, nilai definitive menunggu hasil

penelitian yang sedang dikerjakan

Sumber : Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, UKK Pulmonologi PP IDAI,

2005.

Page 3: Pediatric

2. Uji Tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat

antigenik kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah

terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk

imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di

lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan

fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran

indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas

dan beratnya proses penyakit.

Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama

dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi

terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifitas lebih dari 90%.

Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU

(tuberculin unit) buatan Statens Serum Institute Denmark dan PPD (purified

protein derivative) dari Biofarma.

Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD

RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah.

Pembacaan dilakukan 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan

terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi atau eritemanya. Indurasi

diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan

pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur

transparan dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi

sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan

sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan

perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula.

Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter > 10 mm dinyatakan

positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar

disebabkan infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh

imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Bacille Calmette-Guerin (BCG)

merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan,

sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi

Page 4: Pediatric

positif tidak sekuat infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif

tuberkulin secara bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu,

dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikkan.

Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10 – 15 mm

dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB

alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi bila

ukuran indurasi > 15 mm, hasil postif ini sangat mungkin karena infeksi TB

alamiah. jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun,

faktor BCG dapat diabaikan.

Apabila diameter indurasi 0 – 4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif.

Diameter 5 – 9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan

oleh kesalahan teknis (trauma dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang

dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin

dapat diulang.untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2

minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal

berjarak 2 cm.

Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun

(immunocompromised) maka cut off point hasil positif yang digunakan adalah

> 5 mm. Keadaan immunocompromised ini dapat dijumpai pada pasien dengan

gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien yang

mendapat imunosupresan jangka panjang (> 2 minggu). Pada anak yang

mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif

juga digunakan batas > 5 mm. Uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam

kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi morbili, measles, mumps, rubella

(MMR), dan varisela, karena dapat terjadi anergi (negatif palsu karena

terganggunya reaksi tuberkulin). Anergi adalah keadaan penekanan sistem

imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap

tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut :

a. Infeksi TB alamiah

1) Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)

Page 5: Pediatric

2) Infeksi TB dan sakit TB

3) TB yang telah sembuh

b. Imunisasi BCG

c. Infeksi mikobakterium atipik

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut :

a. Tidak ada infeksi TB

b. Dalam masa inkubasi infeksi TB

c. Anergi

Satu hal yang perlu dicermati saat pembacaan uji tuberkulin adalah

kemungkinan uji tuberkulin positif palsu atau negatif palsu. Uji tuberkulin

positif palsu dapat juga ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan

interpretasi salah, demikian juga hasil negatif palsu dapat disebabkan karena

penyimpanan tuberkulin yang tidak baik sehingga potensinya menurun.

Sumber : Diagnosis Tuberkulosis pada Anak, UKK Respirologi PP IDAI, 2008.

3. Obat Mukolitik

Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan sekret

saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan

mukopolisakarida dari sputum. Agen mukolitik berfungsi dengan cara

mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan

komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat di pasaran adalah

bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein.

a. Bromheksin

Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine merupakan

suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan kepada penderita

bronkitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain. Obat ini juga digunakan

di unit gawat darurat secara lokal di bronkus untuk memudahkan pengeluaran

dahak pasien. Menurut Estuningtyas (2008) data mengenai efektivitas klinis

obat ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam pada

Page 6: Pediatric

masa akan datang. Efek samping dari obat ini jika diberikan secara oral adalah

mual dan peninggian transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan

dengan hati-hati pada pasien tukak lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti

yang dianjurkan adalah tiga kali, 4-8 mg sehari.

b. Ambroksol

Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki

mekanisme kerja yang sama dengan bromheksin. Ambroksol sedang diteliti

tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai

perangsang produksi surfaktan pada anak lahir prematur dengan sindrom

pernafasan.

c. Asetilsistein

Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita penyakit

bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus, penyakit

bronkopulmonari akut, penjagaan saluran pernafasan dan kondisi lain yang

terkait dengan mukus yang pekat sebagai faktor penyulit. Asetilsistein

diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes hidung. Asetilsistein

menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Kerja utama dari

asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan

viskositasnya dan seterusnya memudahkan penyingkiran sekret tersebut.

Asetilsistein juga bisa menurunkan viskositas sputum. Efektivitas maksimal

terkait dengan pH dan mempunyai aktivitas yang paling besar pada batas basa

kira-kira dengan pH 7 hingga 9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1

menit, dan efek maksimal akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10 menit setelah

diinhalasi. Semasa trakeotomi, obat ini juga diberikan secara langsung pada

trakea. Efek samping yang mungkin timbul berupa spasme bronkus, terutama

pada pasien asma. Selain itu, terdapat juga timbul mual, muntah, stomatitis,

pilek, hemoptisis, dan terbentuknya sekret berlebihan sehingga perlu disedot

(suction). Maka, jika obat ini diberikan, hendaklah disediakan alat suction.

Biasanya, larutan yang digunakan adalah asetilsistein 10% hingga 20%.

Sumber : Obat Lokal, Buku Ajar Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2008.

Page 7: Pediatric

4. Antihistamin

Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya

peradangan dan gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam

menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan

menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran.

Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1.

Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa molekular

ini akan mencegah untuk sementara timbulnya reaksi alergi.

Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel

endotel, pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna,

saluran genitourinarius dan jaringan vaskular. Reseptor H2 terdapat di saluran

cerna dan dalam jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri

dan otot polos bronkus. Di kulit juga terdapat reseptor H3 yang merupakan

autoreseptor, mengatur pelepasan dan sintesis histamin. Namun, peranan dalam

menimbulkan gatal dan inflamasi masih belum jelas.

a. Antihistamin generasi pertama

Sejak tahun 1937-1972, ditemukan beratus-ratus antihistamin dan

digunakan dalam terapi, namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini

dalam dosis terapi efektif untuk menghilangkan bersin, rinore, gatal pada mata,

hidung dan tenggorokan pada seasonal hay fever, tetapi tidak dapat melawan

efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. AH1 efektif untuk mengatasi

urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik hasilnya kurang baik.

Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi

berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan reseptor H1 di organ

sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak

reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin generasi

pertama.

Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal

atau dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya untuk

pengobatan influensa. Kelas ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine,

Page 8: Pediatric

prometazin, hidroksisin dan lain-lain. Pada umumnya obat antihistamin

generasi pertama ini mempunyai efektifitas yang serupa bila digunakan

menurut dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama lain menurut

gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang tidak diinginkan obat ini adalah

menimbulkan rasa mengantuk sehingga mengganggu aktifitas dalam pekerjaan,

harus berhati-hati waktu mengendarai kendaraan, mengemudikan pesawat

terbang dan mengoperasikan mesin-mesin berat.

Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini

memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat

menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang

menempel pada reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa

mengantuk. Selain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian alkohol dan obat

antidepresan misalnya minor tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus

berhati-hati. Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek samping

antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan

berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.

Page 9: Pediatric

b. Antihistamin generasi kedua

Setelah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat

menghambat sekresi asam lambung akibat histamin yaitu burinamid, metilamid

dan simetidin. Ternyata antihistamin generasi kedua ini memberi harapan

untuk pengobatan ulkus peptikum, gastritis atau duodenitis. Antihistamin

generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi pertama,

memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak.

Reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek samping yang

ditimbulkan agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat

baik, dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk meringankan gejala alergi

sepanjang hari, terutama untuk penderita alergi yang tergantung pada musim.

Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka panjang pada penyakit

Page 10: Pediatric

kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin pada asma masih

belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat mencegah

bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat meredakan gejala ringan

asma kronik dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada penderita dengan

hiperreaktif bronkus.

Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas dan terutama untuk reaksi

cepat dibanding dengan reaksi lambat, sehingga antihistamin generasi kedua

diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan dalam antihistamin

generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin. Terfenadin

diperkenalkan di Eropa pada tahun 1981 dan merupakan antihistamin pertama

yang tidak mempunyai efek sedasi dan diijinkan beredar di Amerika Serikat

pada tahun 1985. Namun, pada tahun 1986 pada keadaan tertentu dilaporkan

terjadinya aritmia ventrikel, gangguan ritme jantung yang berbahaya, dapat

menyebabkan pingsan dan kematian mendadak. Beberapa faktor seperti

hipokalemia, hipomagnesemia, bradikardia, sirosis atau kelainan hati lainnya

atau pemberian bersamaan dengan juice anggur, antibiotika makrolid (misalnya

eritromisin), obat anti jamur (misalnya itraconazole atau ketoconazole)

berbahaya karena dapat memperpanjang interval QT. Pada tahun 1997 FDA

menarik terfenadin dari pasaran karena telah ditemukannya obat sejenis dan

lebih aman.

1) Astemizol (Hismanal®) merupakan antihistamin kedua yang tidak

menyebabkan sedasi diperbolehkan beredar di Amerika Serikat (Desember

1988). Obat ini secara cepat dan sempurna diabsorpsi setelah pemberian secara

oral, tetapi astemizol dan metabolitnya sangat banyak distribusinya dan

mengalami metabolisme sangat lambat. Namun, karena kasus aritmia jantung

dan kematian mendadak telah diamati setelah penggunaan astemizol pada

keadaan yang serupa dengan terfenadin, maka pada astemizole diberikan tanda

peringatan dalam kotak hitam.

2) Loratadin (Claritin®) mempunyai farmakokinetik serupa dengan

terfenadin, dalam hal mulai bekerjanya dan lamanya. Seperti halnya terfenadin

dan astemizol, obat ini mula-mula mengalami metabolisme menjadi metabolit

Page 11: Pediatric

aktif deskarboetoksi loratadin (DCL) dan selanjutnya mengalami metabolisme

lebih lanjut. Loratadin ditoleransi dengan baik, tanpa efek sedasi, serta tidak

mempunyai efek terhadap susunan saraf pusat dan tidak pernah dilaporkan

terjadinya kematian mendadak sejak obat ini diperbolehkan beredar pada tahun

1993.

3) Cetirizin (Ryzen®) adalah metabolit karboksilat dari antihistamin generasi

pertama hidroksizin, diperkenalkan sebagai antihistamin yang tidak

mempunyai efek sedasi. (dipasarkan pada Desember 1995). Obat ini tidak

mengalami metabolisme, mulai kerjanya lebih cepat dari pada obat yang

sejenis dan lebih efektif dalam pengobatan urtikaria kronik. Efeknya antara

lain menghambat fungsi eosinofil, menghambat pelepasan histamin dan

prostaglandin D2. Cetirizin tidak menyebabkan aritmia jantung, namun

mempunyai sedikit efek sedasi sehingga bila dibandingkan dengan terfenadin,

astemizol dan loratadin obat ini lebih rendah.

c. Antihistamin generasi ketiga

Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin,

norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah

merupakan metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan mengembangkan

antihistamin generasi ketiga adalah untuk menyederhanakan farmakokinetik

dan metabolismenya, serta menghindari efek samping yang berkaitan dengan

obat sebelumnya.

1) Feksofenadin (Telfast ®) merupakan metabolit karboksilat dari

antihistamin generasi kedua terfenadin dan diijinkan untuk dipasarkan oleh

FDA pada Juli 1996. Setelah diketahui bahwa feksofenadin tidak berpengaruh

buruk terhadap elektrofisiologi jantung dan mempunyai efektivitas sama

seperti terfenadin maka feksofenadin menggantikan terfenadin dan telah

dipasarkan di Indonesia dengan nama dagang Telfast ( di Amerika : Allegra

®). Sifat-sifat kimia feksofenadin adalah : secara oral cepat diabsorpsi, hanya

sekitar 5% mengalami metabolisme, sisanya diekskresi dalam urin dan feses

tanpa mengalami perubahan. Hasil ini tidak dipengaruhi oleh adanya gangguan

pada fungsi hati atau ginjal. Pada penderita usia lanjut atau penderita dengan

Page 12: Pediatric

gangguan fungsi ginjal, kadar feksofenadine dalam plasma darah dapat

meningkat 2 kali dari pada normal. Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan,

karena indeks terapi obat ini relatif tinggi.

Feksofenadin tidak berpengaruh pada interval QT pada percobaan binatang

atau pada manusia yang diberi 10 kali lipat dosis standar 60 mg 2 kali sehari.

Feksofenadin tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak mempunyai

efek samping terhadap susunan saraf pusat.

2) Norastemizole mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan

astemizole, dan menurut McCullogh dkk norastemizole menghambat reseptor

H1 13 sampai 16 kali lebih kuat. Pada percobaan dengan binatang, konstriksi

bronkus akibat histamin juga dihambat 20 sampai 40 kali lebih kuat dibanding

astemizole. Mulai kerja norastemizole lebih cepat dibanding astemizole.

Norastemizole tidak mengalami metabolisme, diekskresi dalam urin dalam

bentuk tidak berubah, waktu paruh plasma sekitar satu minggu, jadi setengah

dari pada waktu paruh astemizole. Dalam percobaan pada tikus, obat ini tidak

menaikkan berat badan. Terhadap jantung, pengaruhnya relatif lebih aman

meskipun dalam kombinasi dengan obat lainnya, tidak meningkatkan interval

QT setelah pemberian per os dengan dosis tunggal 100 mg. Obat ini belum

dipasarkan di Indonesia.

3) DCL (diproduksi oleh Schering Plough) lebih kuat dari pada loratadin

terhadap reseptor H1. Juga diketahui bahwa obat ini menghambat reseptor

muskarinik M1 dan M3 sehingga meningkatkan efek dalam pengobatan asma

bronkiale. DCL mula kerjanya sedikit lebih lambat dan mempunyai waktu

paruh dalam plasma lebih panjang dibandingkan dengan loratadine. Dalam

percobaan binatang dengan dosis yang tinggi ternyata tidak berpengaruh

terhadap interval QT dan denyut jantung meskipun dengan dosis sampai 100

mg/ kg BB. Pada kombinasi dengan eritromisin, kadar DCL dalam plasma

sedikit menurun.

Sumber : Anti Histamin, Buku Ajar Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2008.