pbl blok 21

45
Diabetes Melitus Tipe II Alvivin 102011215/D4 - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universtas Kristen Krida Wacana al vivinnnn@yahoo .com - Jalan Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta 11510 Pendahuluan Menurut America Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah factor dimana diapat defisiensi insulin absolute atau relative dan gangguan fungsi insulin. 1 Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia.Berikut akan dibahas mengenai diabeter mellitus tipe II, dari gejala klinik, patofisiologi sampai ke penatalaksanaannya. 1

Upload: alvivin

Post on 18-Jan-2016

83 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Diabetes Mellitus tipe 2

TRANSCRIPT

Page 1: PBL Blok 21

Diabetes Melitus Tipe II

Alvivin

102011215/D4 - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universtas Kristen Krida Wacana

al vivinnnn@yahoo .com - Jalan Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Menurut America Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes mellitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980

dikatakan bahwa diabetes merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu

jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan

problema anatomic dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah factor dimana diapat

defisiensi insulin absolute atau relative dan gangguan fungsi insulin.1

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan

angka insidens dan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia.Berikut akan

dibahas mengenai diabeter mellitus tipe II, dari gejala klinik, patofisiologi sampai ke

penatalaksanaannya.

Isi

Anamnesis

Pada anamnesis hal-hal yang perilu ditanyakan adalah :

Identitas pasien

Nama : Tn.A

Usia : 45 tahun

Selain itu perlu juga ditanyakan alamat,pekerjaan,dan status.

Keluhan utama

Merasa semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu

Berikut adalah pertanyaan untuk menggali keluhan utama :

o Lemasnya terus-menerus atau hilang timbul?

o Lemasnya sampai tidak bisa berjalan atau seperti apa?

o Semakin lemas saat melakukan apa?

1

Page 2: PBL Blok 21

o Lemas menghilang saat melakukan apa?

o Adakah gejala lain seperti lemas? Seperti pusing atau demam?

Riwayat penyakit sekarang

Berikut adalah pertanyaan yang dapat menggali RPS :

o Apakah terdapat gejala 3P (Poliuria, Polidipsi, dan Polifagia)?

o Apakah terjadi penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas?

o Apakah mata terlihat buram, atau penglihatan ganda?

o Apakah sering merasa kesemutan?

o Apakah terdapat luka di kaki dan penyembuhan yang lama?

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menderita diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum metformin dan

glibenklamid secara teratur.

Riwayat pengobatan

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat kebiasaan

Tanyakan status nutrisi dan asupan makanannya

Riwayat social dan ekonomi

Pemeriksaan Fisik1

Pengukuran tinggi badan dan berat badan.

Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran pengukuran tekanan darah dalam

posisi berdiri untuk mencari kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik.

Pemeriksaan funduskopi.

Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.

Pemeriksaan jantung.

Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari.

Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan

pemeriksaan neurologis.

Tanda-tanda penyakit lain yang menimbulkan DM tipe lain.

Pemeriksaan Penunjang1,2

Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.

Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil

2

Page 3: PBL Blok 21

dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan

adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang seyogyanya

dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program

pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi

setempat dan juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler

dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai

pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa

darah kapiler.

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji

diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/ tanda DM,

sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan unutk mengidentifikasi mereka yang

tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan

dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, unutk

memastikan diagnosis definitif.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah-satu resiko DM

sebagai berikut:

1. Usia ≥ 45 tahun

2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23 kg/m2 yang disertai

dengan faktor:

o Kebiasaan tidak aktif

o Turunan pertama dari orang tua dengan DM

o Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat

DM-gestasional

o Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)

o Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL

o Menderita policyctic ovarial sydrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang

terkait dengan resistensi insulin

o Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah

puasa terganggu (GDPT) sebelmnya.

o Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular

Pemeriksan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, tolenransi gluksosa

yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan

3

Page 4: PBL Blok 21

sementara menuju DM, setelah 5-10 tahun 1/3 kelompok TGT akan menjadi DM, 1/3

tetap TGT, dan 1/3 lainnya akan kembali normal. TGT sering berkaitan dengan

resistensi insulin. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi

dan dislipidemia.

TTGO (Tes Torelansi Glukosa Oral)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):

o Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

( dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani

seperti biasa.

o Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

o Diperiksa konsetrasi glukosa darah puasa

o Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit

o Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah unutk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai

o Diperiksa glukosa darah dua jam sudah beban glukosa

o Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok

Hasil pemeriksaan glukosa darah dalam 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3

yaitu:

o < 140 mg/dL → normal

o 140 sampai < 200 mg/dL → toleransi glukosa terganggu

o ≥ 200 mg/dL → diabetes

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Masa

Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik

kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada keturunan pertama (first degree

relative), 3) masuk kelompok etnik resoko tinggi (African American, Latino, Native

American, Asian American, Pasific Islander), 4) wanita dengan riwayat melahirkan

bayi dengan berat ≥ 4000 gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG), 5)

hipertesi ( tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat

antihipertensi), 6) kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL, 7)

wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat toleransi glukosa terganggu

4

Page 5: PBL Blok 21

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), 9) keadan lain yang berhubungan

dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) dan 10) riwayat penyakit

kardiovaskular. Pada tes penyaringan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah

puasa atau sewaktu atau TTGO.

HbA1C

Pengukuran HbA1c adalah standar kriteria untuk pemantauan jangka panjang

kontrol glukosa darah dan mencerminkan glikemia selama 3 bulan

sebelumnya.Pengukuran HbA1c yang sebelumnya tidak dianggap berguna untuk

diagnosis diabetes mellitus karena kurangnya standarisasi internasional dan

ketidakpekaan untuk mendeteksi bentuk-bentuk intoleransi glukosa ringan. 

Dalam laporan 2009, sebuah komite ahli internasional yang ditunjuk oleh

American Diabetes Association (ADA), Asosiasi Eropa untuk Studi Diabetes, dan

International Diabetes Association merekomendasikan tes HbA1c untuk

mendiagnosis tipe 1 dan tipe 2 diabetes mellitus. 

Rekomendasi komite untuk diagnosis diabetes mellitus adalah tingkat HbA1c

sebesar 6,5% atau lebih tinggi, dengan konfirmasi dari tes ulang (kecuali gejala klinis

yang hadir dan tingkat glukosa > 200 mg/dL). 

Profil lipid pada keadaan puasa (kolestrol total, HDL, LDL, trigliserida)

Kreatinin serum

Albuminuria

Keton, sedimen dna protein dalam urin

EKG

Foto sinar-X dada

Differential Diagnosis

Diabetes Melitus Tipe 1

Pasien dengan DM-1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplisof

dengan polidipsia, poliura, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang

terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat

dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapat pengobatan

segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan

umumnya penderita peka terhadap insulin.

5

Page 6: PBL Blok 21

Tes untuk membedakan tipe 2 dan tipe 1 Diabetes

Mengurkur konsentrasi insulin atau C-peptida (sebuah fragmen dari proinsulin yang

berfungsi sebagai penanda untuk sekresi insulin) jarang diperlukan untuk

mendiagnosis diabetes mellitus tipe 2 atau membedakan tipe 2 diabetes dari diabetes

mellitus tipe 1. Kadar insulin umumnya tinggi di awal perjalanan tipe 2 diabetes

mellitus dan secara bertahap berkurang dari waktu ke waktu. Tingkat C-peptida puasa

lebih dari 1 ng / dL pada pasien yang telah menderita diabetes selama lebih dari 1-2

tahun adalah sugestif dari diabetes tipe 2 (yaitu, residu beta-fungsi sel). Dirangsang C-

peptida konsentrasi (setelah tantangan makan standar seperti Sustacal atau setelah

glukagon) agak dipertahankan sampai akhir dalam perjalanan diabetes mellitus tipe 2.

Tidak adanya respon C-peptida untuk konsumsi karbohidrat mungkin menunjukkan

jumlah sel beta kegagalan.

Antibodi terhadap insulin, sel-sel islet, atau asam glutamat dekarboksilase (GAD)

yang absen di tipe 2 diabetes mellitus. Diabetes autoimun laten dewasa (LADA)

adalah bentuk-onset lambat diabetes tipe 1 yang terjadi di tengah baya (biasanya

putih) orang dewasa. Hal ini dapat dibedakan dari diabetes tipe 2 dengan mengukur

antibodi anti-GAD65. Pasien tersebut dapat merespon insulin secretagogues untuk

jangka waktu singkat (bulan).

Autoantibodi dapat berguna dalam membedakan antara tipe 1 diabetes dan diabetes

tipe 2. Islet-cell (IA2), anti-GAD65, dan anti-insulin autoantibodi dapat hadir dalam

tipe, awal 1 tapi tidak tipe 2, diabetes.

Pengukuran-sel islet (IA2) autoantibodi dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis dapat

membantu membedakan tipe 1 dan diabetes tipe 2. Penurunan titer ini setelah 6 bulan.

Anti-GAD65 antibodi sugestif dari diabetes tipe 1. Mereka dapat hadir pada saat

diagnosis dan terus-menerus positif dari waktu ke waktu.

MODY3

Maturity Onset of Diabetes of the Young (MODY) adalah sebuah bentuk diabetes

yang disebabkan oleh mutasi genetic.MODY merupakan sebuah bentuk diabetes

monogenic.Setiap gen yang bermutasi menyebabkan sedikit tipe diabetes yang

berbeda.Bentuk yang paling sering ditemukan adalah MODY3 dan MODY2 karena

mutasi pada genetic HNF1A dan GCK.Biasanya MODY didiagnosa pada akhir masa

anak2, remaja, ataupun tahap awal dewasa.Namun sekarang lebih sering berkembang

6

Page 7: PBL Blok 21

pada orang dewasa mulai umur 50-an.Banyak orang dengan MODY salah didiagnosa

menjadi memiliki diabetes tipe 1 atau tipe 2.Namun, hasil diagnose MODY dapat

menyebabkan pemberian perawatan yag berbeda dan dapat membantu menemukan

apabila ada anggota keluarga yang juga terkena MODY.

Orang yang menderita MODY sering memiliki gejala atau hasil lab yang tidak

biasa untuk diabetes tipe 1 dan tipe 2. Contohnya MODY bisa terdapat pada:

o Pasien diabetes tipe1 yang memiliki hasil tes darah terhadap antibody negatif, yang

biasanya dilakukan pada saat diagnose diabetes.

o Pasien diabetes tipe 1 yang menghasilkan sejumlah insulin yang signifikan beberapa

tahun setelah diagnosis. (detectable blood levels of c-peptide, proinsulin, and/ or

insulin)

o Pasien diabetes tipe 2 yang memiliki berat badan normal atau tidak terlalu kelebihan

berat badan dan tidak menunjukkan tanda kekebalan insulin

o Pasien diabetes yang merupakan anggota keluarga dari 3 generasi sederet atau lebih

yang telah didiagnosa memiliki diabetes.

o Pasien diabetes yang memiliki gula darah yang stabil cenderung agak meningkat

dimana secara tiba-tiba sering ditemukan MODY dengan gejala yang sering mengarah

ke diabetes tipe 1 atau tipe 2.

LADA4

Diabetes autoimun laten dewasa (LADA) adalah bentuk-onset lambat diabetes tipe

1 yang terjadi di tengah baya (biasanya putih) orang dewasa. Hal ini dapat dibedakan

dari diabetes tipe 2 dengan mengukur antibodi anti-GAD65. Pasien tersebut dapat

merespon insulin secretagogues untuk jangka waktu singkat (bulan).

Orang yang memiliki LADA memiliki tanda dari diabetes tipe 1 dan tipe

2. Diagnosis biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Para peneliti memperkirakan

bahwa sebanyak 10 persen orang didiagnosis dengan diabetes tipe 2 memiliki

LADA. Beberapa ahli percaya bahwa LADA adalah perkembangan secara perlahan

dari diabetes tipe 1 karena pasien memiliki antibodi terhadap sel beta pankreas

penghasil insulin.

Kebanyakan orang dengan LADA masih memproduksi insulin mereka sendiri

ketika pertama kali didiagnosis, seperti orang-orang dengan diabetes tipe 2. Pada

tahap awal penyakit ini, penderita LADA tidak memerlukan suntikan

insulin. Sebaliknya, mereka mengontrol kadar glukosa darah mereka dengan

7

Page 8: PBL Blok 21

pengaturan makanan, aktivitas fisik, dan obat diabetes oral. Namun, beberapa tahun

setelah diagnosis, orang dengan LADA harus mengambil insulin untuk mengontrol

kadar glukosa darah. Selama LADA berlangsung, sel-sel beta pankreas kemungkinan

tidak lagi membuat insulin karena sistem kekebalan tubuh telah menyerang dan

menghancurkannya, seperti pada diabetes tipe 1.

Working Diagnosis

Berdasarkan hasil anamnesis maka ditentukan bahwa diagnosisnya adalah diabetes

mellitus tipe II.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara :1

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200

mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah

diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk

diagnosis DM.

3. Dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitive dan

spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki

keterbasan sendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek

sangat jarang dilakukan.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi criteria normal atau DM, maka dapat

digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh:

o TGT : Diagnoisis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan

glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11.0 mmol/L)

o GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa

didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L)

Tabel 1.Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Patokan Penyaring dan Diagnosis DM5

Tabel 2.Langkah-langkah Diagnosis DM6

8

Page 9: PBL Blok 21

Epidemiologi2

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,

kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 sampai 1,6% kecuali di dua tempat yaitu

Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.

Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah

urban yaitu di kelurahan Kayu Putih adalah 5,69% dan di daerah rural di suatu daerah di

daerah Jawa Barat tahun 1995 adalah 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di

daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi

diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban

dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus

Terkait Malnutrisi (DMTM) atau sekarang disebut diabetes tipa lain di daerah rural di Jawa

Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.

Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM

tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang mengejutkan. Demikian juga di Makasar prevalensi

terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian

dan Pengambangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Resiko Penyakit

Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951

wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM (unadjusted) di lima wilayah DKI sebesar

12,1% dengan DM terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%.

9

Page 10: PBL Blok 21

Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup

tinggi, hampir 3 kali lipat dari kasus DM yang sudah terdeteksi.

Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan

terutama yang disebabkan oleh kerena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka

dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau leebih tepat lagi dalam kurun waktu 1

atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis.

Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati

peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlaj pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada

tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.

Dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan

peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86%-138% yang disebabkan

oleh karena :

Faktor demografi: 1) Jumlah penduduk meningkat ; 2) Penduduk usia lanjut

bertambah banyak; 3) Urbanisasi makin tak terkendali.

Gaya hidup yang kebarat-baratan: 1) Penghasilan per capita tinggi; 2)Restoran siap

santap; 3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan.

Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi.

Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih

panjang.

Etiologi7

Agaknya, diabetes mellitus tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (yaitu,

asupan kalori berlebihan, pengeluaran tidak memadai obesitas, kalori) yang ditumpangkan di

atas genotipe rentan. Indeks massa tubuh di mana berat badan berlebih meningkatkan risiko

untuk diabetes bervariasi dengan kelompok-kelompok ras yang berbeda.

Sebagai contoh, dibandingkan dengan orang-orang keturunan Eropa, orang-orang dari

keturunan Asia berada pada peningkatan risiko untuk diabetes pada tingkat lebih rendah dari

kelebihan berat badan. Hipertensi dan prehipertensi yang dikaitkan dengan risiko lebih besar

terkena diabetes dalam putih dibandingkan dengan Amerika Afrika. Selain itu, di lingkungan

rahim mengakibatkan berat badan lahir rendah dapat mempengaruhi beberapa individu untuk

mengembangkan tipe 2 diabetes mellitus. Sekitar 90% pasien yang mengidap diabetes

mellitus tipe 2 adalah obesitas. Namun, besar berbasis populasi, penelitian prospektif telah

menunjukkan bahwa diet padat energi dapat menjadi faktor risiko perkembangan diabetes

yang independen dari obesitas awal.Diabetes mellitus dapat disebabkan oleh kondisi lain.

Beberapa studi menunjukkan bahwa polusi lingkungan mungkin memainkan peran dalam

10

Page 11: PBL Blok 21

pengembangan dan perkembangan diabetes melitus tipe 2.Sebuah platform terstruktur dan

terencana diperlukan untuk sepenuhnya mengeksplorasi potensi-menginduksi diabetes

polutan lingkungan. Diabetes sekunder dapat terjadi pada pasien yang memakai

glukokortikoid atau ketika pasien memiliki kondisi yang menentang aksi insulin (misalnya,

sindromCushing,akromegali,pheochromocytoma).

Patofisiologi8

Pada diabetas melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi

jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini

dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah

lubang kuncinya yang kurang, hinga walaupun anak kunci (insulin) banyak, tetapi karena

lubang kunci (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan

kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan

demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 di

samping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi dan normal. Keadaan ini disebut

resistensi insulin.

Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor

yang berperan antara lain :

Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel)

Kurang gerak badan

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Faktor keturunan (herediter)

Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Yang

menyolok adalah peningkatan jumlah jaringan amilois pada sel beta yang disebut amilin.

Baik pada DM tipe 1 ataupun tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu

melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin.

Kekurangan glukosa sebagai sumber energi pada sel menyebabkan berbagai macam

akibat diantaranya muncul dari tingginya kadar glukosa dalam darah disebabkan adanya

resistensi insulin atau sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin. Pada sebagian

besar pasien DM tipe 2 mengalami hiperinsulinemia pada awalnya sebagai bentuk

kompensasi terhadap kurangnya glukosa yang masuk ke dalam sel, konsekuensi terjadinya

hiperinsulinemia berkepanjangan adalah terjadinya defiensi insulin yang dalam keadaan ini

relatif.

11

Page 12: PBL Blok 21

Sel kekurangan sumber enegi dan menimbulkan respon glikogenesis,

glukoneogenesis, dan lipolisis unutk menghasilkan glukosa unutk energi. Hal ini

memperparah hiperglikemia. Penghancuran protein dan lemak tubuh menyebabkan

penurunan berat badan. Glukosa disekresi di urin dalam bentuk diuresis yang selanjutnya

dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh. Pasien menjadi dehidrasi, selalu

merasa haus dan minum air dalam jumlah banyak (polidipsia).

Sekresi insulin residual berarti bahwa seseorang dengan Diabetes melitus tipe 2 tidak

mengalami ketoasidosis diabetik, namun orang tersebut dapat mengalami koma hiperosmolar

non-ketotik (HONK) yang diinduksi oleh hiperglikemia berkepanjangan serta dehidrasi dan

hipernatremia.

Efek dari menderita diabetes melitus dapat bermanifestasi mempengaruhi banyak

sistem dalam tubuh seperti pada mata, ginjal dan pada persarafan (neuropati diabetik). Pada

neuropatik diabetik proses kejadiannya berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang

berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur dipol, sintesis advance glycosilation end

products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan akttivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi

berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf

menurun bersama dengan rendahnya mioinositol dalam sel yang terjadi karena efek

hiperglikemia (sorbitol da fruktoda) yang merusak sel saraf. Manifestasi neuropati diabetik

sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan yang terdeteksi dengan pemeriksaan

elektrofisologis, hingga keluhan nyeri hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati

lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.

Rasa yang dikeluhkan pasien karena neuropati diabetik bervariasi mulai dari kesemutan,

kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti ditusuk, disobek, ditikam.

Gejala Klinik1

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya

DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut dibawah ini.

Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Penatalaksanaan

12

Page 13: PBL Blok 21

Medika Mentosa2,9

Macam-macam obat hipoglikemik oral :

Golongan Insulin Sensitizing

Biguanid

Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam

konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat

dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin bisanya

diberika dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan

dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat

terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindari sebaiknya tidak diberikan pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada

laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-

hati pada orang usia lanjut.

Mekanisme kerja. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja

insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.

Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa

darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah

diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam

dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.

Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin diatas diduga terjadi melalui

peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP activated

protein kinase (AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan

glukosa. Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas acetyl Co-A karboksilase

(ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim lipogenik.

Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemia

sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihipoglikemik. Pada

pemakaian kombinasi dengan sulfonylurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh

sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai

20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak

menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian sulfonylurea.

Kombinasi sulfonylurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional

karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa

darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal

13

Page 14: PBL Blok 21

keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat

menurunkan glukosa darah yang lebih banyak.

Pemakaian kombinasi dengan sulfonylurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan

diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study)

dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan

tunggal metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal.

Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan

glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonylurea lebih baik

dibandingkan kobinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan

kombinasi metformin dan insulin lebih baik daripada insulin saja.

Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin dan

ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan

bersamaan dengan makanan.

Di samping berpengaruh terhadap glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada

komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogem

activator inhibitor (PAI-1).

Penggunaan dalam klinik. ,etformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai

kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone.

Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa

darah puasa (60-70 mg/dl) dan A1C (1-2%) dibandingkan dengan placebo pada pasien yang

tidak terkendali hanya dengan diet. Efektifitas metformin menurunkan glukosa darah pada

orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi

insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin

sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia

dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil

maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.

Glitazone

Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga mempunyai efek

farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.

Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak

berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki

konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1C 1,4-2,6 % dibandingkan

14

Page 15: PBL Blok 21

dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan

sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.

Mekanisme kerja. Glitazone merupakan agonist peroxisome proliferator activated receptor

gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan

target kerja insulin seperti jaringan adipose, oto skelet dan hati, sedang reseptor pada organ

tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiaasi adiposity, dan kerja insulin.

Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas

insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT-1, GLUT-4, p85alphaPI-3k dan uncoupling

protein-2 (UCP). Selain daripada itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan

mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin, dll.

Glitazone diabsorpsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan

makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam

bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.

Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai

monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara

klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali

sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5 %

dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan

menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi

dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal.

Golongan Sekretagok Insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh

sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.

Sulfonilurea

Sulfonylurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini

digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila

konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea

sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau

mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjangg dengan

sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relative murah. Berbagai macam obat

15

Page 16: PBL Blok 21

golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis

dan mekanisme kerjanya.

Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin

yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih

mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada

diabetes mellitus tipe 1.

Efek akut obat golongan sulfonylurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama.

Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada

pemakaian jangka lama >12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. (bahkan

sampai >20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu dianjurkan

untuk memakai glibenklamid sehari sekali. Glibenklamid menurunkan kadar glukosa darah

puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36% dan 21%.

Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah.Pada

pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang.

Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dengan

dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana

kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih

besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis

yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup

bermakna.

Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi

glukosa puasa < 200 mg/dl, SU sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara

bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila

glukosa darah puasa >200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya

diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang

diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan

makanan porsi terbesar.

Kombinasi sulfonylurea dengan insulin. Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan

bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa

darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama,

tidak tergantung dari kadar glukosa darah puasanya. Dengan memberikan dosis insulin kerja

16

Page 17: PBL Blok 21

sedang atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat

dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah

siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonylurea seperti biasanya.

Kombinasi sulfonylurea dan insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis

insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat

diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.

Glinid

Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid. Kerjana

juga melalui reseptor sulfonylurea dan mempunyaii struktur yang mirip dengan sulfonylurea

tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme

dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan

glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel

pada kompleks sulfonylurea sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.

Sedang nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa

darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa

postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek

terhadap glukosa puasa maka kekuatannya untuk menurunkan A1C tidak begitu kuat.

Penghambat alfa glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran

cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan

hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan

hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.

Mekanisme kerja. Acarbose merupakan penghambat kuat alpha glukosidasae yang

terdapat pada dinding eritosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis

akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan

memperpanjang peningkatan glukosa darah post-prandial, dan mempengaruhi respons insulin

plasma. Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat

menyebabkan hipoglikemia.

17

Page 18: PBL Blok 21

Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti

meteorismus, flatulence, dan diare. Flatulence merupakan efek yang tersering terjadi pada

hampir 50% pengguna obat ini. Penghambat alfa glukosidase dapat menghambat

bioavaibilitas metformin jika diberikan bersamaan pada orang normal.

Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran pencernaan.

Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh

flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh

eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui

feses.

Penggunaan dalam klinik. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai

kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonylurea. Untuk mendapatkan efek

maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saar makanan utama. Hal ini perlu karena

merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat

yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau

sesudahnya makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hiperglikemik Oral 1,4

o Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap

o Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obatan

tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24

jam)

o Bila memberikannya bersama dengan obat lain, pikirkanlah keungkian adanya interaksi obat

o Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat

oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin

o Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

Insulin2

Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes

tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Ada beberapa jenis; insulin rekombinasi

manusia adalah yang paling sering digunakan, walaupun beberapa pasien lebih memilih

menggunakan insulin sapi atau babi. Sediaan dengan kombinasi yang berbeda antara lama

kerja pendek dengan menengah/ panjang sering digunakan. Analog insulin adalah insulin

18

Page 19: PBL Blok 21

yang mengalami modifikasi kimiawi, yang lebih singkat sehingga memungkinkan langsung

pemebrian sebelum makan. Obat hipoglikemik oral (misalnya metformin) terkadang

diberikan bersama terapi insulin untuk penderita diabetes tipe 2 untuk memperbaiki

sensitivitas terhadap insulin.

Indikasi :

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Katoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO hampir maksimal

Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar,strok)

Kehamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali

dengan perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Table 3 : Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus 10

Baik Sedang Buruk

Glukosa darah (mg/dL)

- Puasa

- 2 jam postprandial

A1C (%)

Kol.total (mg/dL)

Kol.LDL (mg/dL)

Kol.HDL (mg/dL)

Trigliserida (mg/dL)

IMT (kg/m2)

Tekanan darah (mmHg)

80-100

80-144

<6,5

<200

<100

>45

<150

18,5-23

≤130/80

100-125

145-179

6,5-8

200-239

100-129

150-199

23-25

130-140/80-90

≥126

≥180

≥8

≥240

≥130

≥200

>25

>140/90

Non Medika Mentosa

Terapi Gizi Medis1,2

19

Page 20: PBL Blok 21

Terapi gizi medis pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang

didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan

individual. Beberapa manfaat dari terapi gizi medis :

1. Menrunkan berat badan

2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik

3. Menurunkan kadar glukosa darah

4. Memperbaiki proil lipid

5. Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin

6. Memperbaiki sisten koagulasi darah

Tujuan terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah mendekati normal :

Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dL

Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dL

Kadar A1C <7%

2. Tekanan darah <130/80 mmHg

3. Profil lipid :

Kolesterol LDL <100 mg/dL

Kolesterol HDL >40 mg/dL

Trigliserida <150 mg/dL

4. Berat badan senormal mungkin

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan

pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status

kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu juga terdapat beberapa faktor

fisiologis seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada

usia tua, dan lain-lain. Pada infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang

tinggi perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus.

Jenis Bahan Makanan1,2

Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetesi tidak boleh

lebih dari 55-65% total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika

dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA). Pada

setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.

20

Page 21: PBL Blok 21

Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori

per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan

protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam

amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.1,4

Lemak. Mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini

sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A,D,E,dan K.

Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetesi karena

terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes.

Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total,

kolesterol VLDL, dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh

rantai panjang, dapat melinduni jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki

agregasi trombosit.

Latihan Jasmani 1,2

Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satunya.

Aktivitas minimal dari otot skelet lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal

paru, dibutuhkan oleh semua orang yang termasuk diabetesi sebagai kegiatan sehari-hari,

misalnya bangun tidur, memasak, bekerja, berbicara, berfikir,. Jenis latihan jasmani bagi

diabetesi diantaranya jalan, jogging, berenang dan bersepeda, dengan durasi 30-60 menit.4

Kegiatan fisik diabetisi (tipe 1 maupun 2), akan mengurangi resiko kejadian

kardiovaskular dan meningkatkan angka harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan

ras nyaman, baik secara psikis, fisik maupun sosial dan tampak sehat.

Komplikasi10

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor :

1. Komplikasi metabolik akut

2. Komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.

Komplikasi metabolik akut 10

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang realtif akut dari

konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe-1

adalah ketoasidosis diabetik (KDA).

21

Page 22: PBL Blok 21

Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria

berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak

bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).

Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ke- tosis. Peningkatan produksi keton

meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang

jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan

elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan

penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian

akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari

potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.

DKA ditangani dengan (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin,

(2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan keadaan yang mungkin

mempercepat ketoasidosis.

Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat—diberikan melalui infus

intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering—dan infus glukosa dalam air atau

salin akan meningkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis dan pembentukan benda

keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga memerlukan

penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada

penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat terjadinya

dekompensasi diabetik akut dan DKA.

Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberi pengobatan

antibiotika. Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi

metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih

tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa

ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa | serum lebih besar dari 600 mg/dl.

Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, d iuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien

dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka

mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian

elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK

tidak terdapat ketosis.

Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi

insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependen insulin

mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang

dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi

22

Page 23: PBL Blok 21

hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat,

gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah

laku yang aneh, senso- rium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan

hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat

menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan

hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena.

Kadang-kadang diberikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara intramuskulär

untuk meningkatkan kadar glukosa darah.

Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan

hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) yang

seringkah meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar

glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah

hipoglikemia adalah dengan | menurunkan dosis insulin, dan dengan demikian menurunkan

hiperglikemia.

Komplikasi Kronik Jangka Panjang 10

Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil—

mikroangiopati dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar— makroangiopati.

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina

(retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati \

diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan

peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar

dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan

pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuh-

kan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita IGT.

Namun, manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul

15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.

Ada kaitan yang kuat antara Hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya

retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil)

dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat

mengakibatkan kebutaan (Gbr. 63-2). Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati

adalah fotokoagulasi keseluruhan retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan

parut korioretinai. Setelah pemberian sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800

23

Page 24: PBL Blok 21

parut yang ditempatkan pada kutub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya

dapat menekan neovas- kularisasi dan perdarahan yang menyertainya.

Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi

nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini,

pasien mungkin memerlukan diálisis atau transplantasi ginjal.

Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol

fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga

mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan.

Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar

mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan

mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwarat dan menyebabkan hilangnya akson.

Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati.

Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensai getaran dan proprioseptik, dan

gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot, dan

atrofi. Neuropati dapat menyrang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polioneuropati),

saraf-saraf kranila atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai

diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dan gastroparesis, hipotensi postural,

dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokard

akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap

hipoglikemia dan tidak menyadar i reaksi-reksi hipoglikemia.

Mikroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.

Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi

penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan gangguan ini berupa : (1) penimbunan

sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia dan (3) kelainan pembekuan darah.

Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika

mengenai arteri-arteri perifer, dapat menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai

klaudikasio intermitten dan gangren pada ektremitas serta insufisiensi serebral dan stroke.

Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan

infark miocardium. Diabetes juga mengganggu kehamilan.

Perempuan yang menderita diabetes dan hamil, cenderung mengalami abortus spontan,

kematian janin intrauterin, ukuran janin besar, dan bayi prematur i dengan insidens sindrom

distres pemapasan yang i tinggi, serta malformasi janin. Tetapi, sekarang ini kehamilan ibu-

ibu dengan diabetes telah mengalami j perbaikan berkat pengontrolan glukosa darah yang

lebih ketat selama kehamilan, kelahiran yang dibuat lebih dini, dan kemajuan-kemajuan di

24

Page 25: PBL Blok 21

bidang I neonatologi dan pena tala ksanaaan komplikasi pada j neonatus. Perubahan

lingkungan hormonal selama hamil menyebabkan peningkatan kebutuhan insulin j yang

progresif, yang mencapai puncaknya pada se- I mester ketiga, dan penurunan tajam

kebutuhan insu- i lin setelah melahirkan.

Bukti klinis dan percobaan sekarang ini menunjukkan bahwa timbulnya komplikasi diabetik

jangka panjang karena kelainan kronik metabolisme disebabkan oleh insufisiensi sekresi

insulin. Komplikasi diabetik dapat dikurangi atau dicegah jika pengobatan diabetes cukup

efektif untuk membawa kadar glukosa ke dalam kisaran normal seperti yang diindikasikan

oleh hemoglobin glikat.

Pentingnya pengontrolan glukosa dalam menurunkan atau menefegah komplikasi

diabetes telah disoroti oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang

merupakan pusat penelitian selama lebih dari 10 tahun. Pasien dengan diabetes tipe I yang

menerima terapi insulin secara efektif dan menurunkan kadar hemoglobin glikat hingga <

70%, 50% hingga 75% mengalami penurunan dalam komplikasi mikroangiopati mayor

termasuk retinopati, nefropati, dan neuropati. Penelitian selama 10 tahun yang dilakukan

United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), memperlihatkan pentingnya

pengontrolan glukosa untuk menurunkan risiko komplikasi pada pasien dengan diabetes tipe

2.

Prognosis7

Prognosis dari pasien dengan diabetes mellitus sangat dipengaruhi dari derajat

pengaturan penyakit mereka. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan peningkatakn resiko

komplikasi mikrovaskuler, yang ditunjukkan pada Diabetes Control and Complications Trial

(DCCT) pada individu dengan DM tipe 1 dan United Kingdom Prospective Diabetes Study

(UKPDS) pada orang dengan DM tipe 2.

Pengembalian regulasi glukosa menjadi normal selama upaya pencegahan dari

progesitivitas pre diabetes ke diabeters adalah sebuah indicator yang baik untuk

memperlambat progresivotas penyakit dan berhubungan dengan prognosis yang lebih baik.

Pencegahan1,2

Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah

orang-orang yang belum sakit. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggungjawab

bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus

mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup beresiko. Menjelaskan

25

Page 26: PBL Blok 21

kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya.

Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola

makan seimbang adalah alternative terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-

anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional yang

selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan

menurunkankadarkolestrol.

Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan

juga cara hidup beresiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan

olahraga teratur. Dengan menganjurkan olahraga kepada kelompok beresiko tinggi, misalnya

anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat

efektif dan murah.

Motto memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat

menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi,

yaitu penyediaan sarana olahraga yang merata sampai ke pelosok.

Pencegahan Sekunder

Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya

lebih kecil; yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya

tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan menerima

kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah

kadar glukosa harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang

tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus

normal. Dan suapaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa

darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara nonfarmakologis dulu secara maksimal,

misalnya dengan diet dan olahraga, tidak merokok, dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru

menggunakkan obat baik oral maupun insulin.

Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada

pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan

primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit

paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan

keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.

Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan

lain yang sudah dapat pelatihan untuk itu. (diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil

apabila cakupan pasien diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini berobat

juga harus dapat mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya

26

Page 27: PBL Blok 21

kelompok penduduk dengan resiko tinggi. Di AS saja kelompok ini sama besar dengan yang

terdiagnosis, bisa dibayangkan keadaan di Indonesia.

Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru

dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila

diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena reversible. Untuk negara berkembang

termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.

Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosa

ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan

berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang

harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu

agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.

Pencegahan Tersier

Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk ke dalam

pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :

Pencegahan komplikasi diabetes yang pada consensus dimasukkan sebagai

pencegahan sekunder.

Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit

organ.

Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan

Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali anatara pasien dengan dokter

maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya.

Dalam hal ini peran penyuluhan sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien

untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang

jumlahnya terbatas. Oleh karena itu harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk

keperluan itu yaitu penyuluh diabetes (diabetes educator).

Penutup

Diabetes Melitus tipe II merupakan penyakit metabolic yang ditandai dengan peningkatan

glukosa darah (hiperglikemia) dan disertai gejala utama yaitu polidipsi, poliuri, dan

polifagia.DM tipe II penatalaksaannya adalah dengan diberikan obat-obat yang tergolong

27

Page 28: PBL Blok 21

Anti Diabetik Oral (ADO, dan apabila tidak mempan terhadap ADO maka dapat diberikan

insulin.

28

Page 29: PBL Blok 21

Daftar Pustaka

1. Sidartawan S, Ahmad R, Asman M, Imam S, Agung P, Putu M.A,dkk. Konsensus pengelolaan dan pecegahan diabetes mellitus tipe II. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia ;2008.h.1-41.

2. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam

jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen penyakit dalam UI;2008.h.1873-95.

3. Diunduh dari :http://monogenicdiabetes.uchicago.edu/what-is-monogenic-diabetes/mody-

maturity-onset-diabetes-of-the-young/, 1 November 2013.

4. Medscape Journal. Latent Autoimmune Diabetes of The Adult. Diunduh dari :

http://www.medscape.com/viewarticle/764562, 1 November 2013.

5. Diunduh dari:http://www.morphostlab.com/direktori-penyakit/metabolic-disease/diabetes-mellitus-diabetes-melitus-metabolic-disease.html, 1 November 2013.

6. Diunduh dari :http://sikkahoder.blogspot.com/2012/05/video-diabetes-dan-cara-diagnosis.html, 1 November 2013

7. Medscape Journal. Type 2 Diabetes Mellitus. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview, 1 November 2013.

8. Schteingart DE. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit dalam: Pankreas :

Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Edisi VI. Vol. II. Jakarta: EGC. h.1259-74.

9. Sulistia GG, Rianto S, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Ed5. Jakarta;

Departemen Farmakologi Universitas Indonesia. h.481-95.

10. Robbins, Contran, Kumar. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi 5. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran ECG;2004.

29